• Tidak ada hasil yang ditemukan

TELAAH ALAT UKUR STRUKTUR DAN FUNGSI SISTEM KARDIORESPIRASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TELAAH ALAT UKUR STRUKTUR DAN FUNGSI SISTEM KARDIORESPIRASI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Rencana Disertasi :

PEMODELAN KARDIORESPIRATOMETER BERBASIS VIBRASI DADA

TELAAH ALAT UKUR STRUKTUR DAN FUNGSI

SISTEM KARDIORESPIRASI

KARYA ILMIAH 2

Oleh :

NURIDA FINAHARI

NIM. 0730703012

PROGRAM DOKTOR ILMU KEDOKTERAN

KEKHUSUSAN TEKNOLOGI KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PROGRAM PASCA SARJANA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

TELAAH ALAT UKUR STRUKTUR DAN FUNGSI

SISTEM KARDIORESPIRASI

KARYA ILMIAH 2

Oleh :

NURIDA FINAHARI

NIM. 0730703012

Menyetujui,

Pembimbing Akademik

Dr. dr. M. Rasjad Indra, MS

(3)

KERANGKA RENCANA DISERTASI

Rencana Judul Disertasi : Pemodelan kardiorespiratometer berbasis vibrasi dada

Aktifitas b. Aliran Proses dan Latar Belakang Teori

Rencana Judul Karya Ilmiah :

1. Fisioanatomi dan sinkronisasi sistem kardiorespirasi 2. Telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem kardiorespirasi 3. Kajian model matematik sistem kardiorespirasi

4. Getaran kulit dada sebagai indikator fungsi sistem kardiorespirasi 5. Pengembangan teknik pengukuran sistem kardiorespirasi

(4)

ABSTRAK

Nurida Finahari; Program Pascasarjana Universitas Brawijaya; Telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem kardiorespirasi; Pembimbing Akademik : M. Rasjad Indra.

Sinkronisasi sistem kardiorespirasi merupakan fenomena yang nyata. Berbagai penelitian membuktikan hal tersebut melalui beberapa cara, mulai dari analisis model matematis, eksperimentasi di bawah kondisi fisiologis normal, pembebanan dalam latihan terkendali maupun dalam kondisi patologis. Penelitian tentang sinkronisasi dengan metode eksperimen umumnya dilakukan dengan memanfaatkan data kombinasi elektrokardiografi dan spirometri yang dikuantifikasi ulang menjadi variabel baru. Untuk dapat mengembangkan teknik pengukuran yang lebih baik diperlukan pemahaman yang lebih dalam tentang desain, cara kerja dan metode analisis data elektrokardiografi (dan/atau echokardiogarfi) serta spirometri.

Kata kunci: sinkronisasi, elektrokardiografi, spirometri, pengembangan

ABSTRACT

Nurida Finahari; Postgraduate program Brawijaya University; Review of structure and function of cardiorespiratory system devices; Supervisor : M. Rasjad Indra.

Cardiorespiratory system synchronization is a real phenomenon. There are several research that conducted to studied it in a lot of ways, such as mathematical modelling analysis, normal physiological experiments, under control load excercises or even under pathological conditions. These synchronization experimental studies used to be done by using combination data from electrocardiography and spirometry records that quantifies to develops new variables. To develop the better measurement techniques, it is needed to have deep understanding about design, procedures and analysis method of electrocardiography (and/or echocardiography) and spirometry records.

(5)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN 2

KERANGKA RENCANA DISERTASI 3

ABSTRAKS 4

DAFTAR ISI 5

DAFTAR GAMBAR 6

I. PENDAHULUAN 7 1.1. Latar Belakang 7 1.2. Permasalahan 8

II. TINJAUAN PUSTAKA 8 2.1. Stetoskop 8 2.2. Echokardiografi 9 2.3. Elektrokardiografi 11

2.4. Spirometri 14

2.5. Analisis akurasi getaran sebagai sensor 16

III. PEMBAHASAN 18

IV. PENUTUP 21

4.1. Kesimpulan 21

4.2. Saran 21

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Stetoskop 8

Gambar 2. Echokardiogram 10

Gambar 3. Kertas elektrokardiogram 11

Gambar 4. Sistem sumbu listrik ECG 12

Gambar 5. Elektrokardiogram normal 12

Gambar 6. Spirometer modern dan tampilan hasil pengukurannya 15

Gambar 7. Contoh keluaran data sensor getaran 16

Gambar 8. Hasil analisis akurasi 18

(7)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keselarasan antara detak jantung dan laju respirasi (sinkronisasi kardiorespirasi) merupakan fenomena nyata meskipun bukan merupakan variabel utama interaksi kardiorespirasi (Toledo, et.al; 2002). Dari hasil simulasi matematis diketahui bahwa peningkatan volume paru-paru akibat peningkatan tekanan alveolar, menyebabkan perubahan tekanan intratorak. Perubahan ini berpengaruh pada perfusi paru-paru, aliran vena dan keluaran jantung (Darowski; 2000). Sinkronisasi kardiorespirasi juga dapat dilihat pada subyek yang mengalami pernafasan terkendali (

paced breathing

) yaitu pernafasan yang disesuaikan dengan sinyal eksternal (Pomortsev, et.al; 1998). Efek sinkronisasi tampak lebih kuat jika dilihat pada subyek sehat yang melakukan pernafasan terkendali dibandingkan jika subyek bernafas secara spontan (Prokhorov, et.al; 2003). Interaksi negatif sistem kardiorespirasi tampak pada penggunaan respirator untuk subyek penderita hipertensi,

coronary artery disease

(CAD) dan kelainan sistem kardiovaskular lainnya, karena memberikan beban tambahan pada jantung (Etemadinejad; 2005). Efek negatif tersebut tidak dominan pada subyek sehat.

Penelitian-penelitian tentang sinkronisasi kardiorespirasi pada umumnya masih dilakukan dengan memanfaatkan data-data hasil rekaman terpisah dari alat ukur jantung dan paru-paru, yang dikuantifikasi menjadi variabel baru. Data elektrokardiografi dan aliran udara dari termistor nasal digabungkan dalam

Ambulatory solid-state recorder

(Medikor, TOM-signaltechnik, Graz, Austria) untuk menghasilkan data fase relatif gelombang R dan inspirasi onset yang mendahuluinya, yang dinyatakan sebagai variabel koordinasi kardiorespirasi (Betterman, et.al; 2002). Kombinasi elektrokardiografi bipolar dan metode pletismografi induktif digunakan untuk menggambarkan interaksi sistem kardiorespirasi bayi pada berbagai kondisi tidur (Mrowka, et.al; 2003). Elektrokardiografi dan spirometer juga digunakan untuk meneliti

vasovagal syncope

sebagai indikator sinkronisasi (Lipzits, et.al; 1998).

(8)

1.2. Permasalahan

Permasalahan yang dibahas dalam artikel ini adalah bagaimana pengetahuan tentang desain dan cara kerja sistem kardiorespirasi dapat digunakan sebagai gambaran arah pengembangan peralatan baru yang lebih akurat, efektif serta efisien untuk menjelaskan mekanisme sinkronisasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. STETOSKOP

(Hendee; 2004)

Stetoskop adalah peralatan medis akustik (berbasis suara) yang digunakan dalam auskultasi yaitu istilah teknik yang mengacu pada aktivitas mendengarkan suara di dalam tubuh manusia. Auskultasi dilakukan untuk mengevaluasi sistem sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal. Meskipun demikian, stetoskop umumnya digunakan untuk mendengarkan bunyi jantung dan pernafasan.

Stetoskop ditemukan di Perancis pada tahun 1816 oleh René-Théophile-Hyacinthe Laennec, masih berupa tabung bambu sederhana. Stetoskop standar yang digunakan dan menjadi dasar pengambangan stetoskop modern didesain oleh George Camman pada tahun 1852. Stetoskop yang digunakan pada saat ini umumnya adalah stetoskop akustik dan stetostop elektronik.

Gambar 1: Stetoskop (Hendee; 2004)

a. Stetoskop bambu sederhana b. Stetoskop akustik modern

(9)

membentuk gelombang tekanan yang merambat ke telinga. Dalam hal ini diafragma mentransmisikan suara frekuensi tinggi sedangkan bell untuk suara berfrekuensi rendah. Meskipun stetoskop akustik sudah menggunakan diafragma namun frekuensi suara yang ditangkap telinga masih dalam level sangat rendah. Permasalahan ini diperbaiki dengan metode

invention of the stratified continuous (inner) lumen

pada tahun 1999 dan mekanisme kinetika akustik pada tahun 2002.

Stetoskop elektronik mempertinggi gelombang suara tubuh manusia secara elektronis meskipun derajat penggandaannya masih terbatas. Stetoskop elektronik memerlukan proses konversi gelombang tekanan suara menjadi sinyal listrik yang kemudian diperbesar dan diproses untuk menghasilkan pendengaran yang optimal. Metode penangkapan gelombang suara pada stetoskop elektronik bervariasi dari sekedar menempatkan mikropon pada

chestpiece

hingga penggunaan kristal piezo-elektrik yang ditempelkan pada diafragma. Kristal piezo-elektrik ini merubah tekanan udara berdasarkan perubahan medan listrik yang diakibatkan getaran suara tubuh. Penggunaan kristal piezo-elektrik memperbaiki kinerja

chestpiece

mikropon yang sangat dipengaruhi suara pengganggu (

ambient noise

).

2.2. ECHOKARDIOGRAFI

Echokardiografi adalah teknik standar yang digunakan untuk menggambarkan irisan jantung dalam gambar 2 dimensi (Poh, et.al; 2008). Alat ini dapat menggambarkan ukuran, bentuk dan kapasitas pemompaan jantung, kerusakan katup jantung, lokasi dan luas kerusakan pada jaringan atau mengidentifikasi abnormalitas aliran darah. Jika dikombinasikan dengan teknik-teknik lain, misalnya doppler ultrasonik atau penguatan kontras di intravena, echokardiografi dapat digunakan untuk memonitor struktur dan fungsi katup jantung, komunikasi abnormal dari ruang-ruang jantung, kebocoran aliran darah dan penghitungan kapasitas jantung.

(10)

tersebut, misalnya melalui pengembangan transesofageal-echokardiografi, echokardiografi 3 dimensi atau doppler-echokardiografi.

(a) (b)

Gambar 2: Echokardiogram (Ommen, et.al; 2000)

(a) Gambar jantung normal yang menunjukkan kondisi 4 ruangan. Grafik di ujung kanan bawah menunjukkan siklus jantung, tanda merah menunjukkan posisi pembentukan gambar. (b) Gambar jantung abnormal yang menunjukkan kelainan ventrikular septal. Grafik di ujung

kanan bawah menunjukkan siklus jantung, tanda merah menunjukkan posisi pembentukan gambar.

Echokardiografi bekerja dengan mengaplikasikan bunyi ultrasonik. Dalam hal ini digunakan prinsip sonografi untuk organ jantung (Ommen, et.al; 2000). Alat ini bekerja dalam 3 tahapan sebagai berikut:

a. Tahap pembentukan gelombang suara

Gelombang suara biasanya dihasilkan dengan menggunakan transduser piezoelektrik yang dibungkus probe. Mesin ultrasonik membangkitkan sinyal elektrik pendek yang kuat untuk menggetarkan transduser pada frekuensi yang diinginkan, antara 2 – 15 MHz. Gelombang suara tersebut difokuskan ke satu arah melalui pendesainan bentuk transduser, penempatan lensa didepan transduser atau penggunaan serangkaian sistem kontrol dari mesin pembangkit suara. Gelombang suara akhirnya berbentuk kurva lengkung yang merambat pada tubuh hingga ke lapisan yang telah ditentukan dan memantul ke segala arah pada saat densitas jaringan berubah. Pantulan gelombang tersebut sebagian ditangkap kembali oleh transduser.

b. Penangkapan gema

(11)

c. Penganalisisan gema

Scanner gelombang suara melakukan 3 prosedur penganalisisan untuk tiap gelombang gema, yaitu:

- menghitung waktu antara pentransmisian gelombang hingga gema diterima

- menentukan panjang focal untuk array fase. Panjang focal ini menentukan ketajaman gambar yang dihasilkan.

- Menghitung kekuatan gema dari frekuensi gelombang pantulan. Pergeseran peralatan selama proses ini berlangsung merubah frekuensi yang ditangkap. Dari 3 hal tersebut, scanner suara akan menentukan posisi, intensitas dan derajat saturasi pixel (untuk gambar digital) yang harus dinyalakan.

2.3. ELEKTROKARDIOGRAFI

Elektrokardiografi adalah peralatan yang mengukur aktivitas elektris jantung melalui penempatan elektrode-elektrode pada titik-titik tubuh tertentu (Conrath, Opthof ; 2005). Hasil pencatatan digambarkan pada kertas elektrokardiogram yang umumnya digerakkan dengan kecepatan 25 mm/detik. Kertas ini berkotak-kotak dengan ukuran 1 mm2. Setiap 1 kotak mewakili pencatatan 0,04 detik. Setiap 5 kotak kecil membentuk 1 blok besar yang mewakili pencatatan 0,2 detik. Dibutuhkan 5 blok untuk menyatakan pencatatan 1detik. Data elektrokardiogram diperoleh dari hasil pengukuran potensial listrik sesuai penempatan elektrode yang diinginkan. Sinyal listrik ini dideteksi menggunakan amplifier instrumen biomedis. Kualitas diagnosis elektrokardiogram didasarkan pada kondisi kalibrasi sinyal listrik 10 mm/mV, yaitu kondisi dimana 1 mm hasil pencatatan mewakili 0,1 mV sinyal listrik tubuh. Sinyal standar 1 mV harus dapat menggerakkan stylus elektrokardiogram secara vertikal sejauh 10 mm.

(12)

Dalam elektrokardiografi dikenal istilah lead yaitu kombinasi posisi elektroda yang membentuk garis imajiner pada tubuh dimana sinyal listrik dapat diukur (MacLeod, Birchler; 2007). Terdapat 2 tipe lead yaitu unipolar dan bipolar. Tipe unipolar hanya punya 1 elektroda yang terletak pada pusat segitiga Einthoven (gambar 4a) berupa titik potensial nol. Dalam hal ini arus listrik mengalir keluar pada 3 arah radial AVR, AVL dan AVF. Tipe bipolar mendasarkan pengukuran arus listrik tubuh pada perbedaan potensial pada titik-titik tertentu. Meskipun terdapat 12 lead acuan untuk ECG namun umumnya hanya 3 lead yang pertama yang umum digunakan, yaitu:

1. Lead I untuk penempatan elektroda negatif di tangan kanan sedangkan elektroda positif di tangan kiri.

2. Lead II untuk penempatan elektroda negatif di tangan kanan sedangkan elektroda positif di kaki kiri.

3. Lead III untuk penempatan elektroda negatif di tangan kiri sedangkan elektroda positif di kaki kiri.

Gambar 4 : Sistem sumbu listrik ECG (MacLeod, Birchler; 2007) (a) Segitiga Einthoven, (b) Sistem limb-lead ECG

(13)

elektrokardiogram. Interval PR lebih besar dari 200 ms mengindikasikan

heart block

derajat 1. Interval PR yang pendek mengindikasikan sindrom pre-eksitasi yang mengakibatkan aktivasi ventrikel yang terlalu awal, seperti tampak pada sindrom Wolff -Parkinson-White. Depresi garis PR mengindikasikan adanya luka pada atrium atau perikarditis. Kompleks QRS dipicu oleh depolarisasi ventrikel. Karena ventrikel memiliki otot yang lebih banyak dari atrium, gelombang QRS lebih besar dari gelombang P. Durasi gelombang QRS normal biasanya antara 0,06-0,1 detik (sekitar 3 kotak) namun bisa lebih lama kalau terjadi abnormalitas konduksi. Tidak semua kompleks QRS terdiri atas gelombang Q, R dan S. Berbagai kombinasi bentuk gelombang pada interval ini diinterpretasi dengan beberapa cara meskipun terdapat konvensi penamaan agar diperoleh hasil pembacaan yang benar. Durasi, amplitudo dan bentuk kompleks QRS digunakan untuk mendiagnosa aritmia jantung, abnormalitas konduksi, hipertropi ventrikular, infark miokardial dan beberapa jenis penyakit lainnya. Gelombang Q normal menyatakan depolarisasi septum interventrikular. Gelombang Q lebih besar dari 1/3 tinggi gelombang R tetapi jika durasinya lebih besar dari 0,04 detik bisa mengindikasikan adanya infark miokardial. Segmen ST merupakan garis hubung antara kompleks QRT dengan gelombang T. Panjang segmen ST normal antara 0,08-0,12 detik dengan bentuk konkav menghadap atas. Kesalahan pengukuran pada segmen ini adalah 15-20% untuk kesalahan positif (

false positive

) dan 20-30% untuk kesalahan negatif (

false negative

). Gelombang T menyatakan repolarisasi ventrikel. Interval dari awal kompleks QRS hingga akhir gelombang T menyatakan periode refraktori absolut. Setengah gelombang T yang terakhir menyatakan periode refraktori relatif. Pada umumnya gelombang T dinyatakan sebagai gelombang positif. Gelombang T negatif mengindikasikan terjadinya iskemia koronari, sindrom Wellen dan hipertropi ventrikular kiri. Bentuk gelombang T yang berubah mengindikasikan hiperkalemia, hipokalemia atau infark miokardial. Jika abnormalitas konduksi terjadi, bentuk gelombang T bisa menyerupai kompleks QRS terbalik yang disebut

appropriate T wave discordance

. Interval QT diukur dari awal kompleks QRS hingga akhirl gelombang T dengan durasi antara 0,3-0,44 detik (0,45 untuk wanita). Interval QT merupakan ukuran waktu ventrikel untuk menjalani depolarisasi –repolarisasi lengkap. Interval ini digunakan untuk mengevaluasi laju detak jantung yang dikenal dengan sebutan sindrom QT panjang/pendek. Evaluasi laju detak jantung mengikuti faktor koreksi Bazette

'

RR

QT

QT

c

, dimana QTc adalah interval QT hasil

(14)

Gambar 5: Elektrokardiogram normal (Mark; 1998)

Untuk menghasilkan data yang akurat, monitor elektrokardiografi modern menyediakan 2 mode filter untuk pemrosesan sinyal yaitu mode monitor (untuk pemantauan siklus jantung rutin) dan mode diagnosa yang digunakan untuk mendeteksi kondisi-kondisi abnormal/patologis (Braunwald; 1997). Pada mode monitor, filter frekuensi rendah disetel untuk nilai 0,5 atau 1 Hz sedangkan untuk frekuensi tinggi disetel pada nilai 40 Hz. Filter frekuensi rendah disebut

high-pass filter

karena hanya frekuensi di atas nilai setting saja yang bisa lewat. Filter ini berfungsi menurunkan sinyal gangguan akibat rambatan gelombang dalam tubuh. Sebaliknya filter frekuensi tinggi disebut

low-pass filter

karena hanya frekuensi di bawah nilai setting saja yang bisa lewat. Dalam hal ini filter berfungsi untuk mengurangi sinyal gangguan dari jaringan sumber tenaga (frekuensi jaringan listrik, 50-60Hz). Pada mode diagnosa, filter frekuensi rendah disetel pada nilai 0,05 Hz yang memungkinkan pendeteksian segmen gelombang ST secara akurat. Filter frekuensi tinggi disetel pada nilai 40, 100 atau 150 Hz. Jadi mode diagnosa mengakomodasi sinyal frekuensi dalam rentang yang lebih lebar dari mode monitor.

2.4. SPIROMETRI

Spirometri adalah prosedur evaluasi fungsi pulmonari yang paling umum khususnya untuk mengukur volume dan kecepatan udara inspirasi/ekspirasi (Quanjer; 2008) dengan menggunakan alat ukur spirometer. Spirometer banyak digunakan untuk mengevaluasi kondisi-kondisi penyakit pernafasan seperti asma, fibrosis pulmonari dan COPD (

Chronic Obstructive Pulmonary Disease

).

(15)

akan ditampilkan dalam bentuk grafik V-t (

volume-time

) dan

v

-V (

flow-volume

) yang menyatakan laju aliran udara inspirasi dan ekspirasi. Peralatan yang digunakan untuk pengukuran volume umumnya didasarkan pada water bell dan Bellow wedge, sedangkan untuk pengukuran laju aliran udara bisa menggunakan

Fleisch-pneumotach, Lilly (screen)

pneumotach, turbine, Pitot tube, hot-wire anemometer

atau

ultrasound

.

Meskipun demikian, akurasi spirometer ditentukan oleh kerjasama dan usaha subyek sehingga membutuhkan ulangan untuk mendapatkan akurasi yang cukup. Karena membutuhkan kerjasama dan pengertian subyek yang menjalani tes, alat ini tidak dapat digunakan untuk balita atau orang yang kehilangan kesadaran. Pengembangan terbaru dari spirometer dengan akurasi yang lebih tinggi adalah pletismograf yang berbentuk ruangan.

a. spirometer USB b. body plethysmograph

(16)

2.5. ANALISIS AKURASI GETARAN SEBAGAI SENSOR (Mack, et.al; 2003)

Penelitian tentang perilaku manusia pada saat tidur menjadi perhatian para peneliti di Amerika Serikat sejak 1922. Hal tersebut didasari fakta bahwa sekitar 40% orang dewasa di sana mengalami kelainan pola tidur sedangkan 70 juta di antara menderita penyakit yang berkaitan dengan pola tidur. Pengetahuan tentang perilaku tidur menjadi sangat penting sehingga dilakukan pemantauan terhadap aktivitas obyek pada saat tidur. Pemantauan tersebut diharapkan dapat memberikan data kualitas tidur.

Tujuan utama penelitian tentang aktivitas tidur tersebut adalah untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman masalah polisomnografi (PSG) yang awalnya melibatkan setidaknya penggunaan 3 peralatan yang berbeda. Peralatan-peralatan tersebut adalah elektroencepalograf (EEG) untuk mengukur aktivitas otak, elektrooculograf (EOG), untuk mengukur aktifitas otot mata, dan elektromiograf (EMG) untuk mengukur aktifitas otot tangan dan kaki. Penggunaan 3 peralatan tersebut sangat mengganggu aktifitas tidur itu sendiri. Perbaikan metode pengukuran kualitas tidur dilakukan melalui penggunaan aktigraf yang berbasis prinsip akselerometer. Meskipun dapat digunakan untuk memantau aktivitas obyek selama 24 jam, akurasi aktigraf tergantung pada konsistensi obyek dalam menuliskan jurnal aktivitasnya untuk disesuaikan dengan pencatatan aktigraf. Hal tersebut menimbulkan masalah akurasi data. Hal ini yang mendorong digunakannya sensor getaran sebagai alat pemantau aktifitas dan mengukur kualitas tidur obyek.

Penggunaan sensor getaran sebagai alat ukur didasari pengetahuan bahwa kualitas tidur dapat dipantau dari karakteristik fisiologis seperti suhu badan, posisi dan gerakan pada saat tidur, detak jantung serta laju pernafasan. Karena sensor yang direncanakan tidak bersifat intrusif maka dapat ditempatkan pada kursi diagnosa, tempat tidur ICU dan keperluan pediatrik. Sensor ini dimaksudkan sebagai peralatan alternatif yang lebih murah dibandingkan dengan peralatan yang telah ada.

(17)

Uji validitas akurasi data hasil pencatatan sensor getaran dilakukan dengan menempatkan 2 buah sensor pada tempat tidur obyek, masing-masing untuk mengukur detak jantung dan gerak pernafasan. Sebagai kalibrator digunakan pulse-oximeter yang memiliki akurasi ±1% untuk membandingkan data pencatatan detak jantung. Laju pernafasan dikalibrasi dengan cara mengambil sampel data selama 1 menit dimana obyek diminta menghitung jumlah pengambilan nafas. Hasil pencatatan sensor dibandingkan dengan hasil hitungan obyek. Obyek penelitian diambil 22 orang, pengukuran dilakukan dalam 2 posisi, telentang dan tertelungkup. Hasil pencatatan filter 2 band untuk detak jantung dan gerak pernafasan, tampak pada gambar 7. Analisis akurasi sensor ditunjukkan pada gambar 8.

Gambar 7: Contoh keluaran data sensor getaran (Mack, et.al; 2003)

Hasil pencatatan filter 2 band, grafik atas menunjukkan data detak jantung, grafik bawah menunjukkan data laju pernafasan

(18)

b. Hasil pengukuran detak jantung dengan menggunakan pulse-oximeter dan sensor getaran untuk posisi telentang

Gambar 8: Hasil analisis akurasi (Mack, et.al; 2003)

Hasil analisis akurasi untuk data detak jantung menunjukkan bahwa semua data terletak dalam rentang akurasi 5% kesalahan dari hasil pencatatan pulse-oximeter, bahkan 68% data terletak dalam rentang kesalahan 2%. Detak jantung yang terukur meliputi variasi yang cukup luas yaitu antara 49-84. Meskipun data hasil pencatatan laju pernafasan tidak ditunjukkan, namun analisis akurasi menunjukkan hasil yang sama antara hasil pencatatan sensor dan perhitungan obyek. Diakui bahwa jika dilakukan pengukuran yang lebih teliti akan didapatkan variabilitas namun variabilitas data yang akan muncul hanya dalam skala kecil saja. Disimpulkan bahwa penggunaan sensor getaran sebagai alat ukur karakteristik fisiologis jantung dan aktifitas pernafasan dapat memberikan akurasi yang tinggi.

III. PEMBAHASAN

(19)

memerlukan penanganan khusus berkaitan dengan pola gelap terang yang dihubungkan dengan kondisi fisioanatomi organ yang didiagnosa.

Metode pengukuran dengan menggunakan elektrokardiografi bisa dikatakan sebagai alternatif pengukuran fisioanatomi tubuh manusia yang bersifat khas. Selain dapat menampilkan data kualitatif dan kuantitatif, pola gambar yang dihasilkan elektrokardiografi memberikan kemudahan dalam melakukan analisisnya. Meskipun demikian, karena memanfaatkan sifat kelistrikan sel tubuh, transmisi sinyal data elektrokardiografi juga dipengaruhi sinyal-sinyal elektris tubuh dari organ-organ di sekitarnya akibat timbulnya gelombang elektromagnetis dari aktivitas fisiologisnya. Sinyal-sinyal pengganggu tersebut seringkali menimbulkan pola data elektrokardiogram yang salah dimana gambaran patologis muncul dari elektrokardiogram jantung yang sehat atau sebaliknya pola normal muncul dari elektrokardiogram jantung yang sakit. Hal tersebut yang menjadi dasar bahwa data elektrokardiografi selalu dikombinasikan dengan data dari alat ukur lain untuk menghasilkan analisis yang valid. Di sisi lain diperlukan mode operasi yang berbeda untuk penggunaan normal dan patologis dimana mode monitor elektrokardiograf patologis memberikan rentang frekuensi yang lebar. Hal tersebut dapat meningkatkan resiko tertangkapnya sinyal-sinyal pengganggu sehingga pola data yang tertangkap dapat menjadi bias.

Hal yang sama terjadi pada pemakaian spirometri untuk menganalisis kondisi pernafasan. Meskipun telah dikembangkan dengan menggunakan komponen-komponen modern yang menawarkan akurasi tinggi, akurasi data spirometri tetap tergantung pada tingkat pengendalian diri pasien dalam melakukan proses pernafasan. Pola pernafasan konvensional yang dilakukan pasien sangat variatif dari satu siklus ke siklus berikutnya. Hal ini menyebabkan variabilitas yang tinggi pada data hasil pengukuran. Proses pengulangan pengambilan data yang dilakukan meskipun dapat memperkecil kesalahan tetapi juga bisa menyebabkan munculnya rasa tidak nyaman pada pasien.

(20)

pengembangan lebih lanjut mengacu pada adanya sinyal-sinyal pengganggu yang muncul, baik yang bersumber dari lingkungan organ yang dideteksi maupun dari kinerja peralatan itu sendiri.

Sebagai tolak ukur pengembangan peralatan, proses interaksi antara kedua osilator biologis tersebut mungkin bisa didekati dari karakteristik gelombang interferensinya. Gelombang interferensi adalah gelombang hasil perpaduan 2 atau lebih gelombang tunggal yang berbeda karakteristiknya. Perpaduan tersebut dapat bersifat penguatan ataupun perlemahan. Mengingat interaksi fisik yang terjadi pada sistem kardiorespirasi cenderung lemah maka diperlukan sensor ataupun amplifier sinyal yang berkemampuan tinggi.

Pemanfaatan sensor getaran untuk mengukur kinerja sistem kardiorespirasi telah dilakukan dengan akurasi hasil pencatatan yang tinggi khususnya untuk pengukuran laju pernafasan (Mack, et.al; 2003). Mengingat peralatan tersebut berfungsi pada rentang variasi detak jantung yang lebar (49-84 BPM), potensi munculnya variabilitas hasil pengukuran cukup tinggi sehingga kepresisian peralatan masih perlu dibuktikan. Hal tersebut menunjukkan adanya peluang untuk proses pengembangan. Penggunaan 2 buah sensor juga mengakibatkan meningkatnya peluang kemunculan sinyal pengganggu akibat aliran pemrosesan sinyal yang panjang. Jika dikaitkan dengan tujuan awal desain khususnya dalam mereduksi biaya, penggunaan 2 buah sensor berakibat pada penggandaan penggunaan peralatan bantu sebagaimana tampak pada diagram skematik sistem pemrosesan sinyal pada gambar 9. Maka masih diperlukan rekayasa pengembangan peralatan yang lebih sederhana (1 sensor) yang dapat mengukur karakteristik fisiologis kardiorespirasi secara akurat dan presisi.

Sensor

(21)

IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari telaah teoritis di atas adalah :

1. Cara kerja alat ukur sistem kardiorespirasi umumnya didasarkan pada rambatan gelombang, baik yang bersumber dari dalam tubuh maupun yang dibangkitkan oleh peralatannya sendiri.

2. Masih terdapat banyak keterbatasan hasil pengukuran sehingga diperlukan proses perbaikan dan pengembangan.

3. Getaran yang dihasilkan jantung dan paru-paru dapat dijadikan alternatif variabel ukur baru untuk mengevaluasi kinerja sistem kardiorespirasi.

4. Penggunaan sensor getaran masih membutuhkan pengembangan kapasitas dan kualitas data hasil pengukuran, disamping penyederhanaan sistem pemrosesan sinyalnya.

4.2. Saran

(22)

DAFTAR PUSTAKA

ATS (American Thoracic Society); 2008; Pulmonary Function Test; 61 Broadway · New York, NY 10006-2755 · Voice: 212-315-8600 · Fax: 212-315-6498

Bettermann H, Cysarz D, van Leeuwen P; 2002; Comparison of two different approaches in the detection of intermittent cardiorespiratory coordination during night sleep;

BioMed Central Physiology 2 (18) ; 1-17.

Braunwald E; 1997; Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, Fifth Edition, p. 108, Philadelphia, W.B. Saunders Co

Conrath C, Opthof T; 2005; The patient U wave; Cardiovasc Res67 (2): 184-6

Darowski, M; 2000; Heart and lung support interaction — modeling and simulation (abstract); Frontiers of Medical & Biological Engineering, 10 (3): 157-165(9)

Etemadinejad S.; 2005; A study on the respirator effects on cardiovascular system;

Journal of Mazandaran University of Medical Sciences; 15 (45); 31-34

Goland S, Czer LS, Luthringer D, Siegel RJ; 2008; A case of arrhythmogenic right ventricular cardiomyopathy; Can J Cardiol24 (1): 61-2.

Hendee, W.R; 2004; Accreditation, Certification and Maintenance of Certification in Medical Physics: The Need for Convergence; NCCAAPM meeting, Nov 19th. Lipsitz, LA, Hayano J, Sakata S, Okada A, Morin RJ; 1998; Complex Demodulation of

Cardiorespiratory Dynamics Preceding Vasovagal Syncope; Circulation; 98 :977-983

Mack DC, Kell SW, Alwan M, Turner B, Felder RA; 2003; Non-invasive analysis of physiological signals (naps): a vibration sensor that passively detects heart and respiration rates as part of a sensor suite for medical monitoring; Summer

Bioengineering Conference, June 25-29, Sonesta Beach Resort in Key Biscayne,

Florida

MacLeod R; Birchler B; 2007; Computer Based Learning Unit; University of Leeds; Sydney

Mark JB; 1998; Atlas of Cardiovascular Monitoring; New York: Churchill Livingstone. Mrowka R, Cimponeriu L, Patzak A, Rosenblum MG.; 2003; Directionality of coupling of

physiological subsystems: age-related changes of cardiorespiratory interaction during different sleep stages in babies; Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol

285: R1395–R1401

(23)

Poh KK, Levine RA, Solis J, Shen L, Flaherty M, Kang YJ, Guerrero JL, Hung J; 2008; Assessing aortic valve area in aortic stenosis by continuity equation: a novel approach using real-time three-dimensional echocardiography; European Heart Journal.

Pomortsev AV, Zubakhin AA, Abdushkevitch VG, Sedunova LF; 1998; Proc. XVII Congress of Physiologists of Russia; ed GA Kuraev (Rostov: Rostov State University) p. 316.

Prokhorov MD, Ponomarenko VI, Gridnev VI, Bodrov MB, Bespyatov AB; 2003; Synchronization between main rhythmic processes in the human cardiovascular system; Phys. Rev. E 68 041913–22

Quanjer PH.; 2008; Become an expert in spirometry; Leiden University, Nederlands

(

http://www.spirxpert.com/)

Gambar

Gambar 1: Stetoskop (Hendee; 2004)
Gambar 2: Echokardiogram (Ommen, et.al; 2000) (a)  Gambar jantung normal yang menunjukkan kondisi 4 ruangan
Gambar 3: Kertas elektrokardiogram (Conrath, Opthof; 2005)
Gambar 4 : Sistem sumbu listrik ECG (MacLeod, Birchler; 2007)
+6

Referensi

Dokumen terkait

O U T P U T P R O S E S I N P U T PUSKESMAS INTERVENSI PENEMPATAN TIM NUSANTARA SEHAT Kondisi awal Puskesmas Kondisi Pkm pasca 2 thn penempatan Fasilitas Puskesmas

Meskipun demikian, aktivitas SOD memiliki hubungan terbalik yang signifikan dengan ukuran tumor payudara (p=0,018; r=-0,430), sehingga dapat dikatakan ada hubungan

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa pengendalian pintu dan lampu rumah melalui sms berbasis atmega328p ini bekerja seperti apa yang

indvidu dan masyarakat, dari suatu keadaan yang kufur menjadi beriman kondisi yang buruk menjadi yang lebih baik, situasi yang kacau menjadi lebih kondusif. Islam

Mengenai pelepasan hak atas tanah diatur dalam Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah

1) Penggunaan media pembelajaran bukan merupakan fungsi tambahan, tetapi memiliki fungsi tersendiri sebagai sarana bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar

Ketimpangan ekonomi dalam hal ini pembagian pendapatan adalah ketimpangan perkembangan ekonomi antara berbagai daerah pada suatu wilayah yang akan menyebabkan

Prinsip utama konsep distribusi dalam pandangan Islam adalah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan sehingga kekayaan yang ada