• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Balance Yang Perlu Dikuasai Orang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konsep Balance Yang Perlu Dikuasai Orang"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

5 Konsep Balance Yang Perlu Dikuasai

Orang Accounting

Semua orang accounting tahu ‘balance’ adalah kata keramat, segalanya, tidak boleh ditawar-tawar, harga mati! Demikian keramatnya sampai-sampai ada pemeo—diantara orang accounting sendiri—yang menyebutkan:

Balance belum tentu benar, tetapi kalau tidak balance sudah pasti salah!”

Artinya, jika anda staf accounting maka saat tutup buku (di akhir bulan/tahun) tidak boleh pulang sebelum ‘Neraca Saldo’ dalam kondisi balance. Kalau perlu lembur sampai jam 11 malam! Sebab jika belum balance bisa dipastikan buku anda mengandung kesalahan. Dan jika anda seorang cash accountant, maka aturan yang sama berlaku setiap sore hari (menjelang penutupan buku kas); tidak boleh pulang sebelum rekonsiliasi kas menghasilkan saldo yang balance antara fisik dengan buku (catatan). Sebab jika belum balance maka bisa dipastikan ada yang “tidak beres” dengan Buku Kas anda.

Sifat keramat itu lah yang membuat ‘balance’ menjadi semacam ‘mantra ajaib’ berkekuatan magis. Bayangkan:

Anda akan merasakan kelegaan luar biasa begitu berhasil menemukan ‘biang kerok’ selisih yang sempat membuat buku tak balance berhari-hari. Sariawan yang sempat mewabah (dan membuat seisi ruangan bisu) mendadak sembuh begitu buku terlihat balance.

Malah ada yang bilang, nemu “balance” itu rasanya seperti:

 Nemu duit 1 milyar; atau

 Mendapat jawaban “I love you too” untuk pertamakalinya setelah 5 tahun kirim sms “I Love

you” namun tak pernah dibalas.

Intinya: Anda belum bisa disebut orang accounting jika belum pernah pusing gara-gara urusan balance-atau-unbalance.

“Ah, biasa aja tuh. Saya nggak pernah dipusingkan oleh urusan balance, apalagi setelah pakai software akuntansi” kata admin Unyu.

Ya, saya sendiri juga sudah jarang dipusingkan oleh urusan ‘debit-credit’ balance yang lumrah dialami oleh pemula. Bukan tidak samasekali, tapi jarang. Bukan karena software, tapi karena sudah terbiasa saja—“wis kulino” kalau istilahnya Mas Wong.

“Tantangan utama belajar akuntansi, ya, membiasakan diri dengan debit-credit dan balance itu” kata Unyu.

(2)

puas hanya karena sudah tidak dipusingkan oleh urusan balance terkait

jurnal-menjurnal dan laporan keuangan saja. Sebab, semakin lama anda berkarir di wilayah akuntansi, semakin besar tanggungjawab yang anda pikul, akan semakin banyak urusan balance lainnya penting untuk dipahami.

Setidaknya ada 5 macam balance yang perlu dipahami oleh orang accounting, seperti saya tuliskan di bawah.

1. ‘Debit–Credit’ Balance

Seperti kata Mas Unyu, ‘debit-dan-kredit’ memang konsep balance yang paling fundamental, thus wajib dikuasai oleh orang accounting. Dengan kata lain, seseorang bisa dipastikan gagal belajar akuntansi bila tidak paham konsep debit-credit balance ini.

Nah, bagaimana caranya memahami konsep debit-credit balance?

Pertama, anda pahami persamaan akuntansi berikut ini: A = L + E

Dari struktur persamaan di atas jelas terlihat, A pada sisi Kiri pasti selalu sama dengan ‘L + E’ di sisi Kanan. Dengan kata lain, A di sisi Kiri selalu dalam kondisi seimbang (balance)

dengan ‘L+E’ yang ada di sisi Kanan. Thus, setiap perubahan pada A pasti diikuti oleh perubahan pada L+E.

Contoh: A = L + E 3 = 2 + 1

3 = 3 (Seimban alias balance)

Jika A di sisi kiri kita tambah dengan angka 1, maka L+E di sisi Kanan juga harus ditambah angka 1:

3+1 = 2 + 1 + 1

4 = 4 (Seimbang alias balance)

Atau, jika A di sisi kiri kita kurangi dengan angka 1, maka L+E di sisi kanan juga harus dikurangi 1, maka:

3-1 = 2+1-1

2 = 2 (Seimbang alias balance)

(3)

Persamaan A=L+E yang selalu balance di atas mewakili kondisi ‘Laporan Posisi Keuangan’ (=Neraca) suatu perusahaan pada tanggal tertentu.

Bagaimana Akuntansi menerapkan konsep seimbang (balance) di atas?

Kembali ke persamaan, A = L + E

Dimana:

A = Aset = Kekayaan perusahaan yang wujudnya bisa jadi berupa Kas, Piutang, Persediaan,

Tanah, Bangunan, Kendaraan, Mesin, Merk Dagang dan aset tak berwujud lainnya.

L = Liabilitas = Kewajiban perusahaan kepada pihak lain yang wujudnya bisa jadi Utang

Jangka Pendek kepada supplier yang biasa disebut Utang Dagang, Utang Gaji, Utang Pajak, Utang Sewa, Utang Bunga dan Pokok Cicilan kepada Finance, Utang Jangka Panjang kepada Bank dan Lembaga Pemberi Pinjaman lainnya.

E = Ekuitas (kadang disebut “Ekuitas Pemilik”) = Nilai bersih investasi dari para pemegang

saham (setelah dikurangi kewajiban dan utang) yang berupa Modal Saham dan Laba Ditahan.

Maka:

Aset (A) = Liabilitas (L) + Ekuitas (E)

Dalam penerapannya, persamaan ini bisa dibaca:

 Aset perusahaan, sebagiannya merupakan hak kreditur (‘liabilitas’ dari sisi perusahaan) dan

sebagiannya lagi merupakan hak dari pemegang saham (‘ekuitas’ dari sisi perusahaan); ATAU

 Aset Perusahaan, sebagiannya didanai dari Liabilitas (Kewajiban dan Utang) dan sebagiannya

lagi dari Ekuitas (Penjualan saham)

Kedua deskripsi di atas mengandung pengertian yang sama, yakni:

“Jika semua aset perusahaan dijual (pada nilia pasar wajar) maka hasil penjualannya sebagaian harus dibayarkan kepada kreditur (vendors, suppliers, bank, lembaga

pembiayaan, Ditjen Pajak, pegawai, dll) yang memberi perusahaan pinjaman/utang, dan sisanya dibayarkan kepada para pemegang saham yang menginvestasikan dananya pada perusahaan.”

Secara teknis, dalam menerapkan sistim double-entry, anda harus memasukkan jurnal yang mencerminkan kondisi seimbang di atas, pada setiap transaksi yang anda akui (catat) dalam operasional perusahaan sehari-hari.

(4)

Tgl 01/01/2015, para pemegang saham menyetorkan modal sebesar Rp 2,000,000,000 ke dalam kas perusahaan, anda mencatat transaksi tersebut dengan jurnal—yang debit dan kreditnya dalam kondisi balance—sebagai berikut:

[Debit]. Kas = Rp 2,000,000,000 (Aset)

[Kredit]. Modal Saham= Rp 2,000,000,000 (Ekuitas)

Lalu, tgl 15/02/2015, perusahaan menerima pinjaman tunai dari bank (untuk memperbesar dana operasional perusahaan) sebesar Rp 1,000,000,000, maka anda mencatatnya dengan jurnal:

[Debit]. Kas = Rp 1,000,000,000 (Aset)

[Kredit]. Utang Bank = Rp 1,000,000,000 (Liabilitas)

Selanjutnya, tgl 30/03/2015, perusahaan mulai membeli aktiva tetap berupa ‘Tanah dan Bangunan Kantor’ (untuk menunjang operasional perusahaan) sebesar Rp 500,000,000, anda catat transaksi tersebut dengan jurnal sbb:

[Debit]. Tanah dan Bangunan Kantor = Rp 500,000,000 (Aset) [Kredit]. Kas = Rp 500,000,000 (Aset)

Tanggal 01/04/2015, perusahaan juga membeli Kendaraan untuk menunjang operasional perusahaan senilai Rp 300,000,000, maka transaksi tersebut anda catat dengan jurnal: [Debit]. Kendaraan = Rp 300,000,000 (Aset)

[Kredit]. Kas = Rp 300,000,000 (Aset)

Berikutnya, Tgl 10/04/2015, perusahaan mulai membeli Persediaan Barang Jadi (untuk dijual nantinya) senilai Rp 200,000,000 dengan cara berhutang pada Toko ABC, transaksi ini anda catat dengan jurnal:

[Debit]. Persediaan = Rp 200,000,000 (Aset)

[Kredit]. Utang Toko ABC = Rp 200,000,000 (Liabilitas)

Demikian seterusnya, setiap transaksi yang anda akui dicatat dalam format double-entry yang mencerminkaan kondisi seimbang sesuai dengan persamaan akuntansi di atas.

(5)

Itu baru contoh transaksi yang melibatkan akun-akun Laporan Posisi Keuangan (Neraca). Bagaimana dengan transaksi-transaksi yang melibatkan akun-akun Laporan Laba/Rugi? Kedua, pahami persamaan LABA/RUGI di bawah ini:

Laba/Rugi (tahun Berjalan) = Pendapatan – Biaya/Beban

Ketiga, pahami hubungan “Laporan Laba/Rugi” dengan “Laporan Posisi Keuangan” (=Neraca), sbb:

Ekuitas (di Neraca) = Modal Saham + Saldo Laba Ditahan – Dividend

Sementara,

Saldo Laba Ditahan = Akumulasi Laba Ditahan + Laba/Rugi (Tahun Berjalan)

(6)

Contoh (Praktikal):

Pada tanggal 25/04/2015, perusahaan menjual keseluruhan Persediaan Barang Jadinya kepada pelanggan DEF seharga Rp 300,000,000 dengan HPP 200,000,000 dan Beban Operasional untuk periode yang sama sebesar Rp 50,000,000. Atas transaksi tersebut dicatat:

[Debit]. Piutang Dagang DEF = Rp 300,000,000 (‘Aset’ berupa ‘Piutang’ di ‘Neraca’ bertambah)

[Kredit]. Pendapatan = Rp 300,000,000 (‘Pendapatan’ berupa ‘Penjualan’ di ‘Laba/Rugi’ bertambah)

(Jurnal untuk mengakui penjualan dan Piutang) Dan;

[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 200,000,000 (‘Biaya’ berupa ‘HPP’ di ‘Laba/Rugi’ bertambah)

(7)

(Jurnal untuk mengakui penurunan nilai persediaan dan timbulnya HPP) Serta;

[Debit]. Beban Operasional = Rp 50,000,000 (‘Beban’ di ‘Laba/Rugi’ bertambah)

[Kredit]. Utang Usaha = Rp 50,000,000 (‘Liabilitas’ berupa ‘Utang’ di ‘Neraca’ bertambah) (Jurnal untuk mengakui timbulnya beban operasional yg menimbulkan utang usaha di sisi lainnya karena belum dibayar).

Jika semua akun kelompok ‘Laporan Posisi Keuangan’ (=Neraca) dikumpulkan maka hasilnya menjadi sbb:

[Debit]. Piutang Dagang DEF = 300,000,000 (Aset – bertambah) [Kredit]. Persediaan Barang Jadi = 200,000,000 (Aset – berkurang) [Kredit]. Utang Usaha = Rp 50,000,000 (Liabilitas – bertambah)

Artinya, di sisi ‘Aset’ bertambah 100 Juta, tetapi di sisi ‘Liabilitas’ hanya bertambah 50 juta. Artinya juga, Laporan Posisi Keuangan (Neraca) tidak dalam kondisi seimbang! (ada selisih lagi 50 juta) Pertanyaannya: Dimanakah selisih yang lagi 50 juta tersebut?

Mari kita tengok pada kelompok ‘Laba/Rugi’. Jika jurnalnya dikumpulkan jadinya sbb: [Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 200,000,000 (Biaya – L/R)

[Debit]. Beban Operasional = Rp 50,000,000 (Beban – L/R) [Kredit]. Pendapatan = Rp 300,000,000 (Pendapatan – L/R) Jika dimasukkan ke dalam “Persamaan Laba/Rugi” jadinya: Laba/Rugi = Pendapatan – Biaya – Beban

Laba/Rugi = 300 juta – 200 juta – 50 juta Ada Laba sebesar Rp 50 juta!

Nah, angka Laba inilah masuk ke akun ‘Laba Ditahan’ pada kelompok ‘Laporan Posisi Keuangan’ (=Neraca) sebesar Rp 50 juta. Tentu bukan merangkak lalu tiba-tiba masuk ke Neraca, melainkan melalui proses TUTUP BUKU di akhir periode.

Esensi dari tutup buku, semua saldo akun kelompok Laba/Rugi (biasa disebut ‘Temporary Account’) dinol(0)-kan dengan jurnal pembalik. Untuk semua terkait laba/rugi di atas dijurnal balik, sbb:

[Debit]. Pendapatan = 300,000,000 (pendapatan diletakkan di sisi debit) [Kredit]. HPP = 200,000,000 (HPP diletakkan di sisi kredit)

[Kredit]. Beban Operasional = 50,000,000 (Beban OP diletakkan di sisi kredit [Kredit]. Laba/Rugi = 50,000,000 (muncul saldo Laba/Rugi baru)

Dengan dimasukkannya jurnal pembalik di atas maka:

(8)

 Saldo akun HPP menjadi 0 (nol);

 Saldo Beban OP juga menjadi 0 (nol); dan

 Muncul akun baru bernama “Laba/Rugi” dengan saldo kredit sebesar Rp 50 juta.

(Catatan: akun laba/rugi bersaldo kredit artinya perusahaan membukukan “laba”, sedangkan jika bersaldo debit berarti perusahaan membukukan “rugi”.)

Selanjutnya, akun Laba/Rugi bersaldo kredit 50 juta yang baru muncul itupun juga harus ditutup alias di-0(nol)-kan dengan jurnal pembalik:

[Debit]. Laba/Rugi = Rp 50 juta (saldo akun ‘Laba/Rugi’ di kelompok Laba/Rugi menjadi nol)

[Kredit]. Laba Ditahan = Rp 50 juta (masuk ‘Ekuitas’ di kelompok ‘Neraca’) Dengan jurnal pembalik terakhir ini maka:

 Semua akun di kelompok ‘Laba/Rugi’ menjadi bersaldo 0 (inilah yang disebut “ditutup

buku”); dan

 ‘Saldo Laba Ditahan’ (pada ‘Ekuitas’) bertambah sebesar Rp 50 juta dan membuat ‘Laporan

Posisi Keuangan’ (Neraca) menjadi seimbang alias balance.

Seperti Mas Unyu bilang, sebagai orang accounting minimal anda harus menguasai konsep dan teknik Debit-Credit Balance di atas. Gagal memahaminya, maka bisa dipastikan anda akan selalu pusing tujuh keliling setiap menjelang tutup buku; sedikit ada selisih anda akan kesulitan dalam melakukan penelusuran.

Pertanyaannya: Apakah menguasai Debit-Credit Balance saja sudah cukup bagi orang accounting?

Untuk posisi staff (entah itu Cash Accountant, A/R Accountant, A/P Accountant, Fixed Asset Accountant, Junior Auditor Internal dan Junior Auditor External), YA, cukup. Namun untuk posisi management (Chief Accountant, Chief Internal Auditor) ke atas, NO, tidak cukup. Masih ada setidaknya 4 konsep balance lainnya yang penting untuk anda pahami untuk bisa sukses menjalankan fungsi di management level.

Kita masuk ke konsep balance yang kedua…

2. ‘Reliability–Relevancy’ Balance

(9)

Namun, ada 2 (dua) parameter kualitas Laporan Keuangan yang seringkali berbenturan, yaitu antara: Keandalan (reliability) dan Ketepatwaktuan (relevancy).

Di satu sisi Laporan Keuangan harus akurat dan tidak mengandung salahsaji bersifat material thus tidak menyesatkan pengguna, alias bisa diandalkan (reliable). Namun di sisi lainnya juga harus disajikan secara tepatwaktu (relevant). Masalahnya, untuk memastikan keandalan perlu proses validasi, verifikasi, check-and-recheck, dan proses audit yang bisa jadi mengkonsumsi waktu ekstra lama.

Pertanyaannya: Jika waktu yang diperlukan untuk memastikan keandalan laporan keuangan sampai melewati batas ketepatwaktuan, apa yang harus anda lakukan?

Jawabannya: Mencari titik trade-off yang paling imbang (balance)! Dimana titik-imbangnya?

Jika saat ini masih di staff-level, apalagi masih entry-level, maka titik imbang yang anda cari adalah: apa kata boss saja. Maksud saya, anda tidak punya kewajiban untuk ikut pusing memikirkan hal rumit seperti ini; tinggal nurut apa kata atasan saja. Disuruh validasi ulang ya anda validasi ulang, disurug verifikasi ya verifikasi, disuruh cepat-cepat ya anda kerjakan secepat-cepatnya. Begitu saja lebih baik.

Tetapi jika anda seorang atasan, Chief Accountant misalnya, atau Financial and

Accounting Manager, maka anda wajib tahu mana yang harus diperioritaskan dan mana yang harus dikorbankan.

Jika kelak sampai ke executive level, anda akan menemukan bahwa dilemma serupa terjadi hampir di semua department. Urusan mencari titik trade-off yang paling imbang terbilang klasik. Klasik banget. Misalnya:

Di Marketing Dept – Dilemma antara memberikan pelayanan ekstra (untuk customer

satisfaction) dengan Budgeted Marketing Cost yang tentu saja ada batasnya. Atau antara credit policy yang longgar (untuk meningkatkan customer loyalty) dengan dengan sistim penagihan yang agresif (untuk menekan bad-debt), dlsb.

Di Production Dept – Dilemma antara kualitas dengan volume produksi. Jika speed digenjot

sudah pasti akan mengorbankan kualitas. Sementara jika kualitas diketatkan maka sudah pasti menurunkan kecepatan yang artinya akan mengorbankan leadtime thus delivery time yang sudah dikomitmenkan. Atau mengadopsi teknologi baru (untuk mempercepat proses tanpa mengorban kualitas) namun dibatasi oleh manufacturing overhead. Atau tambah shift waktu kerja (untuk menggenjot volume tanpa mengorbankan kualitas) namun dibatasi pula oleh Labor Cost, dlsb.

(Saya bisa teruskan sampai ke R&D, Store Front, HRD, IT, hingga satpam dan officeboy. Tapi cukuplah. Yang jelas ini sesuatu yang biasa, klasik, dan terjadi dimana-mana, bukan hanya di accounting saja).

(10)

Titik trade-off untuk semua dilemma di atas (termasuk antara reliability dan relevancy pada laporan keuangan) kuncinya ada pada: RISIKO! Konkretnya:

 Mana yang mengandung risiko paling tinggi (jika dikorbankan), maka itulah yang harus

diperioritaskan; ATAU

 Mana yang mengandung risiko paling rendah (jika dikorbankan), maka itulah yang terpaksa

dikorbankan.

Nah, antara Keandalan (reliability) dan Ketepatwaktuan (relevancy) pada Laporan Keuangan, mana yang lebih tinggi potensi risikonya jika dikorbankan?

Normatifnya: Semuanya penting. Tidak ada standard dan kode etik yg menyebutkan boleh

mengorbankan salahsatunya. Why? Tidak tepatwaktu berisiko disanksi atau bahkan didenda oleh pihak luar. Sedangkan jika mengandung kesalahan (apalagi ada skandal), risiko nya malah lebih besar lagi, salah-salah bisa masuk bui. Itu sebabnya anda tidak akan pernah memperoleh jawaban pasti meskipun sudah cari keliling dunia. Para suhu enggan

memberitahu para junior secara terang-terangan, mana yang lebih penting antara reliability dan relevancy.

Fragmatisnya: Risiko jangka pendek lebih penting untuk dihindari. Dengan kata lain,

ketepatwaktuan (relevancy) diutamakan. Sebab begitu anda langgar batas akhir pelaporan otomatis anda kena masalah. Sedangkan risiko jangka panjang (ketidakakuratan dan skandal) butuh waktu lama hingga timbul ke permukaan yang sementara itu mungkin sudah keburu kedaluarsa atau sudah sempat direvisi.

Menurut anda, mana yang lebih baik; pendekatan normative atau pragmatis? Silahkan dipertimbangkan.

Sayapun sebenarnya juga enggan memberitahu. Tapi, well, di JAK saya share sajalah. Ini tidak berlaku universal, tapi saya ingin menawarkan 2 pointers sebagai bahan pertimbangan:

Pertama, laporan keuangan (beserta segala data yang ada di dalamnya) adalah informasi

penting bisa digunakan sebagai input dalam proses pengambilan keputusan bisnis. Bener nggak? Nah, yang namanya informasi (apapun itu dan sebagus apapun kualitasnya) TAK ADA GUNANYA bila sudah TIDAK RELEVAN!

Kedua, khususnya ‘risiko kepatuhan’ (compliance-risk) terhadap Ditjen Pajak,

sebenar-dan-sebagus apapun laporan anda—sampai mengorbankan ketepatwaktuan misalnya—tetap saja akan diperiksa, official assessment tetap jalan, hanya persoalan waktu. Dan sekali mereka turun memeriksa maka pantang pulang dengan tangan kosong. Why? Sebab mereka turun pemeriksaan juga ada beban operasional, siapa suruh nanggung? Iya kan? Dengan kata lain: PASTI ADA TEMUAN! Dan temuan oleh auditor DJP ya sudah pasti risiko (kurang bayar plus denda).

(11)

3. ‘Short-Long Term Profit’ Balance

Tujuan utama perusahaan adalah “laba” (profit). Betul? Iya lah. Masa orang accounting nggak tahu.

Masalahnya, profit saja tidak cukup. Yang paling diharapkan adalah profit yang terus meningkat dari waktu ke waktu, dari periode ke periode, dari tahun buku ke tahun buku berikutnya, sehingga perusahaan terus bertumbuh (growth).

“Pertumbuhan” itulah yang kemudian melahirkan 2 macam orientasi dalam pencapaiannya, yakni: profit jangka pendek (short-term profit) dan profit jangka panjang (long-term profit). Anda yang bekerja sebagai akuntan di KAP (kecuali berposisi sebagai Partner) tentu tidak perlu tahu hal-hal seperti ini. Sebab fungsi anda di sana hanya memeriksa laporan keuangan klien apakah sesuai PSAK atau tidak. Tetapi, bila anda bekerja di dalam suatu perusahaan non-KAP, terutama yang sudah management-level, akan seringkali dihadapkan pada dilemma prioritas antara “Laba jangka pendek” (short-term profit) dengan “Laba Jangka Panjang” (long-term profit).

Dilemma itulah yang kerap membuat para akuntan manajemen berbenturan dengan anggota manajemen lainnya. Kadang berkembang menjadi konflik pribadi berpanjangan.

Pada sesi “pemangkasan beban/biaya” (cost cutting), dalam rangka

memperbaiki/menaikkan laba, misalnya. Yang terjadi, biasanya, orang accounting cenderung berorientasi jangka pendek (short-term); mereka menawarkan cost-cutting yang sifatnya aggressive. Misalnya:

 Untuk mengatasi pembengkakan ‘Beban Operasional Gaji’: PHK sebagian staff OP!  Untuk mengatasi pembengkakan ‘HPP – Labor Cost’: stop overtime!

 Untuk mengatasi pembengkakan ‘HPP – Overhead – Electricity’: Turunkan daya listrik!  Untuk mengatasi pembengkakak ‘Capital Expense – Fixed Asset Purchase’: Repair (no

purchase)!

 Untuk menekan ‘bad-debt’: Stop credit sales!  Dan lain sebagainya.

Hasilnya?

Impressive! Penurununan cost bisa langsung terlihat di periode berikutnya. Namun dampak jangka panjang yang timbul juga tak kalah impressivenya:

 Yang paling segera muncul setelah PHK pastinya ‘Biaya Pesangon Pegawai’ (Employee’s

(12)

sebagian pegawai terPHK tergolong berfungsi vital. Thus BOP Gaji turun tapi bengkak di outsourcing cost, karena terpaksa mempekerjakan pegawai paruh waktu untuk memuluskan operasional. Dan ketika perusahaan beroperasi secara normal kembali, timbul beban

rekrutmen dan training yang sungguh tak terduga. General Manager hanya geleng-geleng kepala sambil ngedumel, “no no no..”

 Overtime dihentikan begitu saja akibatnya volume produksi menurun, production leadtime

(thus deliverytime) morat-marit, banyak pelanggan complain, sebagiannya minta diskon karena telat penyerahan, bahkan ada pula yang membatalkan pesanan. Hasilnya, HPP Labor Cost memang turun drastic tetapi juga diikuti oleh penurunan revenue yang drastic akibat diskon dan pembatalan. Production dan Marketing Manager ngamuk-ngamuk, semua masalah dikembalikan ke accounting!

 Dampak dari penurunan daya listrik, Overhead listrik memang turun tapi overhead genset

(plus solar) meningkat tajam. Belum lagi mesin-mesin tertentu menjadi sering ngadat karena running dengan daya yang tidak stabil, biaya maintenance membengkak. Engineering uring-uringan setiap hari, bolak-balik masuk bengkel.

 Kebijakan ‘repair only’ (no purchase) untuk fixed asset, di satu sisi menurunkan capital

expense akibat pembelian fixed baru secara drastic tetapi juga menaikkan Beban

Pemeliharaan (Maintenance) di sisi lainnya. Fraud (kickback) yang menyertai pembelian fixed asset baru bisa ditekan sampai ke titik nol, tapi apakah tidak ada fraud (kickback) yang menyertai wilayah maintenance? You bet it.

 Lalu bad-debt, memang bisa ditekan, hasilnya langsung terlihat di periode berikutnya, akan

tetapi penurunan sales mulai terlihat karena banyak pelanggan yang merasa kecewa akibat tidak bisa memperoleh fasilitas credit lagi. Menjadi parah bila keresahan beberapa pelanggan mewabah ke pelanggan yang selama ini sangat loyal. Dan yang tak pernah diduga oleh orang accounting, pelanggan yang beli tunai, jauh jauh lebih rewel dibandingkan yang beli kredit (apalagi yang terpaksa), ada saja yang di complain. Akibatnya? Beban customer relation bengkak!

Tidak mudah memang. Butuh perhitungan cermat dan komprehensif untuk menentukan titik paling imbang (balance) ketika harus memilih antara kebijakan berorientasi short-term dengan long-term profit. Misal:

 PHK sebagaian pegawai bulanan okay untuk menurunkan BOP Gaji, tetapi perlu pilah-pilah,

harus dihubungkan dengan sistim penilaian kinerja, sehingga bisa dipastikan pegawai yang dieliminasi memang benar-benar menjadi beban bagi operasional perusahaan selama ini. Pertimbangkan juga untuk mengirimkan mereka ikut workshop agar lebih terampil, lebih tinggi outputnya, thus tidak menjadi beban lagi.

 Overtime biasanya terjadi karena over-capacity. Labor Cost tinggi bukan karena penambahan

(13)

 Ketika Overhead listrik bengkak, biang keroknya memang penggunaan listrik berlebih, tentu

karena selalu ada daya yang melimpah, sehingga dengan mudah diboroskan. Penurunan daya listrik—idealnya—memang bisa memaksa production dept untuk lebih kreatif dalam menggunakan listrik tanpa mengganggu operasional di production sendiri. Hanya saja, perlu disadari bahwa yang namanya manusia cenderung cari gampangnya. “Nggak cukup daya ya sudah, berapapun ouputnya ya segitu saja” begitu kira-kira mindsetnya. Perlu diingat penggunaan listrik terkait dengan panjangnya waktu, thus sama seperti overtime. Oleh sebab itu gunakan pendekatan system; perbaiki production planning, production setup, costing system, layout, dlsb.

 Capital Expense terkait pembelian fixed asset baru. Yang masalah bukan pembelian fixed

assetnya, melainkan pembelian fixed asset yang tidak disertai: cost-and-benefit, payback, BEP dan ROI analysis. Yang bermasalah lainnya adalah pembelian fixed asset yang tidak melalui ‘adu-harga’ (tender), kolusi, kickback, dlsb. Atasi itu, bukan melarang fixed asset purchase.

 Penghentikan penjualan kredit untuk menekan bad-debt bagus. Tetapi sebelum itu harus ada

customer-ranking analysis. Sehingga penghentian fasilitas kredit benar-benar hanya diberlakukan terhadap pelanggan yang bermasalah saja. Bukan inversal.

 Dan seterusnya.

Secara kesuluruhan, orang accounting—khususnya yang bekerja di dalam perusahaan—perlu memahami ‘short-long’ term profit’ balance. Jangan mentang-mentang orang accounting lalu ‘conservatism principle‘ nya selalu dikedepankan. Ingat, balance!

4. ‘Historical–Future’ Balance

Akuntansi Keuangan (Financial Accounting) berorientasi pada data historis—semua angka yang disajikan dalam laporan keuangan adalah rangkuman dari transaksi di masa yang telah lewat. Sementara Akuntansi Manajemen (Management Accounting) berorientasi pada data masa kini dan masa depan—costing data masa kini, budget dan forecast menggunakan data masa kini dan masa depan.

Akuntan yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP), termasuk auditor, sudah pasti berorientasi pada data historis—tidak punya kewajiban terhadap kejadian ekonomis dimasa yang akan datang. Sedangkan akuntan yang bekerja di dalam perusahaan—mau tidak mau— harus dihadapkan pada data historis sekaligus masa kini dan masa depan.

Staff accounting di dalam perusahaan, dari Clerk (Data Entry) sampai Chief Accountant, juga hanya fokus pada data historis saja. Ada nota (bukti transaksi yang sudah terjadi)— dengan menggunakan bekal Debit-Credit Balance—bisa anda analisa, ukur, akui dan sajikan menjadi Laporan Keuangan. Misalnya: pada tanggal 31 Desember 2014 tahunya perusahaan sudah punya:

 Statements of Financial Position Per 31-Des-2014 (historis)

(14)

 Cash Flow Statements 1 Jan s/d 31 Des 2014 (historis)

Asalkan ketiganya sudah akurat, tidak mengandung salahsaji bersifat material, dan disampaikan tepatwaktu, selesai perkara!

Tetapi, setelah menjadi seorang Financial Controller (FC) atau CFO, itu saja tidaklah cukup. Kelak jika anda menjadi seorang FC dan CFO (aamiin), disamping memastikan ‘Laporan Keuangan 2014‘ sudah tersaji secara andal dan relevan, anda juga

bertanggungjawab untuk memastikan—minimal—’Budgeted Financial Statement‘ bisa terealisasi seperti yang diharapkan. Thus, rampungnya tutup buku per tanggal 31 Desember 2014, bukan akhir dari persoalan. Anda masih harus:

Pertama, membandingkan antara ‘Financial Statements 2014’ dengan ‘Budgeted Financial Statements 2014’ yang sudah tersusun sejak 31 Desember 2013, untuk mengetahui apakah kinerja keuangan perusahaan sudah sesuai rencana? Apakah ada perbedaan dan

penyimpangan (differences/discrepancies)? Diamana penyimpangan terjadi? Mengapa terjadi? Dan seterusnya. Ini harus dipertanggungjawabkan oleh CFO dan Chief Executive Officer (CEO) di hadapan Rapat Tahunan Dewan Direksi (Board of Director Annual Meeting).

Kedua, mulai menyusun ‘Budgeted Financial Statements 2015’ (untuk dibandingkan dengan

Financial Statements 2015’ nanti pada tanggal 31 Desember 2015 tentunya). Pada tugas kedua inilah anda dihadapkan pada dilemma antara berorientasi pada data historis atau yang akan datang.

CEO dan para pemegang saham sudah pasti mengharapkan Laba dan Key Performance Indicators (KPIs) yang terus meningkat (baca: progressive). Mereka cenderung menuntut para direktur untuk bekerja dengan target yang setinggi mungkin. Sebagai FC atau CFO, anda juga diharapkan mampu “mengawal” rencana tersebut sehingga benar terealisasi di akhir 2015 nanti.

Artinya, anda dipaksa untuk berorientasi pada data masa depan (Forecast dan Budget)! Sebagai bagian dari management anda wajib mendukung rencana tersebut, thus anda juga harus mampu berorientasi pada data masa depan. Namun di sisi lainnya, bagaimanapun juga anda orang accounting, anda tahu bahwa data historis sangat bermanfaat sebagai input dalam membuat rencana masa depan (budget) yang lebih realistis.

CEO dan pemegang saham boleh saja mematok target yang tinggi, anda juga perlu

menyikapinya secara positive. Namun harus disadari pula bahwa target yang terlalu tinggi, disamping mustahil untuk dicapai (thus akan menjadi target kosong), juga menimbulkan distress berlebih. Dalam kondisi distress berlebih, semua awak management akan cenderung mengambil keputusan yang tidak masuk-akal—termasuk earning management yang sifatnya illegal!

Di sini anda dituntut untuk mampu menemukan titik yang paling seimbang (balance) antara data historis dengan data masa depan.

Dimana titik imbangnya?

(15)

Konkretnya:

Yang namanya budget sudah pasti data masa depan (belum terjadi), mau tidak mau anda harus menggunakan budget. Ini tidak masalah, sebab Budget basisnya 4 element utama, yaitu:

 Penjualan (Sales) yang sudah ada kontrak (confirmed), namun belum diserahkan (not

delivered yet)—karena jasa/baranya belum ready—sehingga belum menjadi Piutang (Receivable). Tingkat kepastiannya berkisar antara 70 hingga 90%. Tinggal anda pastikan (tentunya dengan pemantauan ketat) perusahaan bisa merealisasikan penjualan ini tanpa hambatan.

 Penjualan (Sales) yang sudah diserahkan (delivered), sehingga sudah menjadi Piutang

(Receivables), namun belum jatuh tempo (not due yet), thus tingkat kepastiannya sudah mencapai 90%. Tinggal anda pastikan collection berjalan efektif sehingga bad-debt bisa diminimalkan.

 Pembelian (Purchase) atas barang/jasa yang sudah diterima (Received) oleh perusahaan,

sehingga sudah menjadi Utang (Payables), hanya saja belum jatuh tempo (not due yet). Ini bisa anda asumsikan pasti 100% (conservatism principles).

 Pembelian (Purchase) yang sudah ada kontraknya (confirmed), tetapi belum diterima oleh

perusahaan (not delivered yet) sehingga belum menjadi Utang (Payables). Tingkat kepastiannya anda hitung 100% juga (conservatism principles).

 Budgeted HPP, Overhead dan BOP agak tricky, jadi anda harus taktis di sini. Untuk volume

dan consumption anda gunakan data historis sebagai patokan, tetapi rate per

unit/headcount harus mempertimbangkan data masa depan (e.g. kenaikan harga barang akibat inflasi, kenaikan UMR, dslb).

 Budgeted Cash Flow, sudah pasti mengikuti Sales dan Purchase di atas.

Yang repot adalah ketika CEO menyelipkan unsur ‘Peramalan’ (Forecast) ke dalam Budgeted Financial Statements. Disamping untuk mengenjot target kerja para direktur, hal ini juga lumrah dilakukan untuk meyakinkan para pemegang saham dan menggaet calon investor serta calon kreditur. Ini murni ‘khayalan’ thus tidak bisa disebut sebagai data. Probabilitas antara terealisasi dengan gagalnya 50:50. Sebagai orang accounting anda tidak bisa menerima ini. Ini samasekali tidak realistic, anda harus yakinkan CEO bahwa ini tidak bisa masuk ke Budgeted Financial Statements. Sebagai gantinya anda buatkan “Projected Financial Statements” yang menggunakan data Forecast sebagai basisnya!

Overall, anda harus bisa “bermain” cerdas antara menggunakan data historis-atau-masa depan. Cari titik yang paling imbang (balance)!

5. ‘Common–Best Practice’ Balance

(16)

khusus di accounting anda dilarang TERLALU KREATIF, salah-salah bisa dinilai melakukan praktek “creative accounting.”

Persepsi ini membuat orang accounting menjadi terlalu rigid dalam menjalankan proses akuntansi; tidak berani menggunakan cara berbeda selain yang sudah lazim digunakan. Misalnya: Merekonsiliasi buku ‘Buku Kas Perusahaan’ dengan ‘Catatan Bank’.

Common practice: Anda menajalankan proses rekonsiliasi dengan cara membandingkan

saldo kas menurut catatan perusahaan dengan saldo kas yang tercantum pada Rekening Koran. Karena Rekening Koran baru diterima tanggal 5 setiap bulannya maka otomatis rekonsiliasi baru bisa anda jalankan setelah tanggal 5. Akibatnya? Anda tutup buku tanpa rekonsiliasi kas (paling nanti diadjust kalau rekening Koran sudah datang), iya kan? Atau lebih parahnya lagi, anda hanya tutup buku di akhir Desember. Nah, ini contoh ‘common practice’ yang buruk. Bandingkan dengan best practice di berikut ini.

Best Practice: Sekarang hampir semua bank sudah ada fasilitas internet banking, thus

perusahaan bisa melihat saldo rill kas di bank kapan saja. Thus anda tidak harus mengikuti petunjuk buku (membandingkan saldo catatan dengan saldo di printout rekening koran). Rekonsiliasi bisa anda lakukan setidaknya setiap menjelang akhir pekan. Dengan cara ini, di akhir bulan anda tinggal merekonsiliasi transakdi minggu terakhir yang jumlahnya mungkin hanya beberapa baris. Lebih efektif, cepat, akurat, tanpa melanggar standar.

Contoh lain, pengakuan “Pajak Tangguhan” misalnya.

Common Practice: Bila ‘Laba-Akuntansi’ lebih tinggi dibandingkan ‘Laba-Fiskal’ disebabkan

oleh ‘beda-waktu’ (timming difference), maka akui Laba sesuai ‘Laba-Fiskal’ dan akui

‘Liabilitas Pajak Tangguhan’ sebesar selisihnya. Bener nggak? Dan bila sebaliknya ‘Laba Fiskal’ lebih tinggi dibandingkan ‘Laba-Akuntansi’ maka akui Laba sesuai ‘Laba-Fiskal’ dan akui ‘Aset Pajak Tangguhan’ sebesar selisihnya. Ini common practicenya. Apa yang hasil dari common practice ini? Setidaknya dari pengalaman saya pribadi, terutama di perusahaan menengah, hampir selalu terjadi penumpukan. ‘Aset Pajak Tangguhan’ nongkrong dan kian membesar dari periode-ke-periode tanpa pernah terealisasi. Terbersit dalam pikiran saya, “mau sampai kapan aset pajak tangguhan nongkrong di sini?” Tandatanya besar. Sangat meragukan legitimasinya. Disamping itu Laporan Posisi Keuangan perusahaan menjadi aneh dan nampak buruk.

Best Practice: Konsep pajak tangguhan bagus dalam teori, namun tidak praktikal. Nyatanya

jarang (hampir tak pernah) terealisasi. Menurut saya, tidak usah mengakui pajak tangguhan, kecuali sudah ada komitmen dari Kantor Pajak (DJP). Tapi ya rasanya nggak mungkin dapat komitmen. Menurut saya nggak usah.

Contoh terakhir mungkin, penentuan costing system yang akan diterapkan di dalam perusahaan.

Common practice: Anda pilih salahsatu jenis costing system yang ada. Hasilnya? Anda

terpaksa menerima kelemahan dari system yang anda pilih.

Best practice: anda bisa mix beberapa costing system dan terapkan mereka secara hybrid,

(17)

Best practices’ bukan sesuatu yang perlu untuk ditabukan. Namun bukan berarti semua common practice itu buruk.

Pertanyaan: Dimana titik imbangnya?

Jawaban: Standard-and-Legal Compliance!

Sepanjang patuh pada PSAK/IFRS dan UU Pajak, best practice selalu baik untuk diadopsi. Bagaimanapun juga lingkungan bisnis terus berubah, kian lama kian kompleks. Cara kerja akuntansi juga perlu adaptif mengikuti perubahan yang ada, tanpa melanggar standard. Itulah beberapa konsep balance yang perlu anda pahami. ‘Debit-credit’ balance adalah

pondasi—thus menjadi skill dasar—bagi kita di accounting. Namun semakin jauh melangkah (dan menggali) semakin banyak model ‘balance’ yang perlu kita pahami dan praktekkan, baik di lingkungan bisnis maupun lingkungan pribadi sehari-hari.

To become really good, you need to live it, breathe it, and sleep it” ~Tony Hsieh (CEO of Zappos.com)

Untuk benar-benar ahli di bidang akuntansi, anda perlu mewujudkannya dalam perilaku hidup sehari-hari. Bayangkan semua kejadian bisa anda terjemahkan ke dalam prinsip-prinsip dan cara kerja akuntansi.

 Saat berangkat ke kampus misalnya, bayangkan uang saku (dan semua pengorbanan orang

tua) di sisi debit, lalu apa yang akan mengimbanginya di sisi kredit sehingga menjadi balance?

 Saat berharap kenaikan gaji,dari perusahaan, tempatkan angka kenaikan itu di sisi kredit

buku anda, lalu apa yang bisa anda taruh di sisi debit sehingga balance thus fair bagi perusahaan?

 Saat pegawai/bawahan bekerja sedemikian keras hingga mengabaikan kehidupan sosialnya,

tempatkan pengorbanan mereka di sisi kredit buku anda, lalu imbal balik apa yang bisa anda bisa berikan di sisi debit?

 Saat anak-anak selalu memaklumi kesibukan anda di kantor hingga jarang punya waktu untuk

mereka, tempatkan pengertian mereka di sisi kredit buku anda, lalu apa yang bisa anda berikan di sisi debit?

Saat anda diberikan tubuh yang sehat, kehidupan yang tenang, keluarga yang harmonis, rejeki yang cukup, sahabat yang peduli, tetangga yang ramah,

Referensi

Dokumen terkait

parameter dari Brown, yaitu metode peramalan yang digunakan penulis untuk. mendapatkan

Sepulang dari mengantarkan kakek dia langsung kerumah Syifa, namun alangkah terkejutnya dia bahwa rumah Syifa telah kosong, ia sadar ia membuat hati Syifa sakit sehingga Syifa

Metode peramalan akan membantu dalam mengadakan pendekatan analisa terhadap tingkah laku atau pola dari data yang lalu, sehingga dapat memberikan cara pemikiran

Hak-hak mendasar para pekerja yang digaji, pekerja bebas dalam industri pariwisata dan kegiatan lain yang terkait, harus mendapat jaminan dengan pengawasan dari pemerintah negara

Saat ini kerap terjadi pelanggaran privasi di media sosial berbasis ojek online, timbulnya pelanggaran privasi pada ojek online ini karena aplikasi

tahap penyelidikan umum untuk membatasi daerah potensial endapan bahan galian dengan.. kategori sumber daya tereka, yang menjadi tahap

Savannah to get someone who is always beside her. It can be seen that Savannah always wants John is close to her. The only thing Savannah can do is creating

Begitu pula dengan hasil observasi siswa menunjukkan adanya peningkatan pada tanggung jawab, kerjasama dan kedisiplinan saat pembelajaran dengan memperoleh nilai