• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Karakter di Sekolah Islam (Studi Kasus SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan Karakter di Sekolah Islam (Studi Kasus SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta)"

Copied!
245
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

(Studi Kasus SMA Muhammadiyah I danMA Muallimin Yogyakarta)

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Sejarah

TESIS

Oleh K u s w o n o S861102015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

PROGRAM PAS CASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

xvi

Kuswono. 2012. S861102015. Pendidikan Karakter di Sekolah Islam (Studi

Kasus SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta). Tesis.

Pembimbing I Prof. Dr. Husain Haikal, MA., Pembimbing II: Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman guru mengenai pendidikan karakter, sumber-sumber pendidikan karakter, penerapan dan pengamalan (aktualisasi) nilai-nilai pembentuk karakter di sekolah Islam. Penelitian dilaksanakan di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta dan MA Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.

Bentuk penelitian adalah kualitatif deskriptif, dengan strategi studi kasus tunggal terpancang. Penelitian ini menggunakan teknik cuplikan yakni purposive

sampling atau criterion-based selection. Pengumpulan data dilakukan melalui

observasi langsung, wawancara mendalam dan pencatatan dokumen. Untuk mengetahui kesahihan (validitas) data dilakukan dengan triangulasi yaitu triangulasi data, triangulasi metode, dan triangulasi teori. Analisis penelitian menggunakan model analisis interaktif yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pemahaman guru mengenai pendidikan karakter bersandar kepada ajaran-ajaran Islam untuk menciptakan manusia

ber-akhlaqul karimah. Sumber-sumber pendidikan karakter adalah al-Quran dan

sunah/hadis serta ijtihad. Penanaman nilai karakter dilakukan melalui pembelajaran di kelas, keteladanan para tokoh, guru, dan teman sebaya, pembiasaan berperilaku baik dengan adanya peraturan tata tertib, rapor kepribadian, dan ekstrakurikuler bidang keilmuan, keterampilan, olahraga, seni, dan keorganisasian. Bentuk pengamalan nilai-nilai pembentuk karakter lebih kepada kegiatan Islami seperti shalat berjamaah, membaca dan menghafal al-Quran, bakti sosial, aktif dalam kegiatan keorganisasian IPM, Hizbul Wathan, Tapak Suci. Kegiatan mubaligh intilan, mubaligh jumat, mubaligh hijarah, puasa, khutbah jumat, mengisi pengajian, dan upacara bendera. Kegiatan ini mencerminkan nilai religius, kerjasama, kepemimpinan, cinta tanah air, peduli sosial, peduli lingkungan, dan kreatif.

(3)

commit to user

xvii

Kuswono. 2012. S861102015. Character Education in Islamic Schools (A Case

Study on SMA Muhammadiyah I and MA Muallimin Yogyakarta). Thesis.

Consultant I: Prof. Dr. Husain Haikal, MA., II: Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. History Education Departement, Sebelas Maret University, Surakarta.

ABSTRACT

This research aims to find out the teacher’s perception on character education, sources of character education, character-building values application and actualization at Islamic schools. This research was conducted in SMA Muhammadiyah I and MA Muallimin Yogyakarta.

This study was a descriptive qualitative research with a single embedded case study. The data was collected using direct observation, in-depth interview and documentation. The data validation was done using triangulation method is data triangulation, methodological triangulation and theoretical triangulation. The analysis was done using an interactive model of analysis encompassing data collecting, data reduction, data display and conclusion drawing.

The result of research showed that teacher’s perception on character education relied on Islamic precepts to create akhaqul karimah-human beings. The sources of character education included al-Quran and Sunah/Hadis as well as ijtihad. The character value implantation was carried out through learning in the classroom, precedents from figures, teachers and peers, well-behaving familiarization in the presence of rule and order, personality report, and extracurricular activities in knowledge, skill, sport, art, and organization fields. The form of character-building values actualization emphasized more on the Islamic activities such as collectively shalat, reading and reciting Quran, social service, participating actively in IPM, Hizbul Wathan, and Tapak Suci organizational activities. In addition, there were Mubaligh Intilan, Mubaligh Jumat, Mubaligh Hijarah, fasting, Friday sermon, becoming the orator in pengajian, and flag ceremony. Such these activities reflected on religious, cooperative, leadership, loving-to-homeland, social care, environmental care, and creative values.

(4)

commit to user i

PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH ISLAM

(Studi Kasus SMA Muhammadiyah I danMA Muallimin Yogyakarta)

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Sejarah

TESIS

Oleh K u s w o n o S861102015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

PROG RAM P ASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(5)

commit to user ii

HALAMAN PERSETUJUAN

TESIS

PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH ISLAM

(Studi Kasus SMA Muhammadiyah Idan MA Muallimin Yogyakarta)

Disusun oleh

Kuswono

NIM. S861102015

Komisi

Pembimbing Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Dr. Husain Haikal, MA

NIP. 194409091970101001

... ...

Pembimbing II

Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd

NIP. 195603031986031001

... ...

Telah dinyatakan memenuhi syarat

Pada tanggal Juli 2012

Mengetahui

Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Program PascaSarjana UNS

(6)

commit to user iii

HALAMAN PENGESAHAN

PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH ISLAM

(Studi Kasus SMA Muhammadiyah Idan MA Muallimin Yogyakarta)

TESIS

Sekretaris Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd

(7)

commit to user iv

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis yang berjudul: “Pendidikan Karakter di Sekolah Keagamman (Studi Kasus

di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta)” ini adalah karya

sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan

oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara

tertulis digunaan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber

acuan daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam

karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan

perundang-undangan (Permendiknas, No. 17 Tahun 2010).

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain

harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS

sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester

(enam bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari

sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Program Studi Pendidikan Sejarah PPs

UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh

Program Studi Pendidikan Sejarah PPs UNS. Apabila saya melakukan

pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi

akademik yang berlaku.

Surakarta, 16 Juli 2012 Mahasiswa,

Kuswono

(8)

commit to user v

HALAMAN MOTTO

“Orang Mukmin yang Paling Sempurna Imannya adalah yang Paling Baik

Akhlaknya

(HR. Tirmizi)

Iman seseorang tidak akan diterima tanpa disertai amal perbuatan, begitu juga

amal perbuatan tidak akan diterima tanpa adanya iman

(HR. At-Tabrani)

“Jalan hidup yang terjal menuntun kepada kematangan jiwa,

getaran hati nurani sebagai petunjuk Ilahi”

(9)

commit to user vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

(10)

commit to user vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat, hidayah

serta inayah-Nya sehingga dapat diselesaikannya tesis ini. Banyak pihak secara

langsung ataupun tidak langsung memberikan bantuan dalam terselesaikannya tesis

ini. Dalam kesempatan baik ini, ucapan terima kasih diberikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan izin dalam penyusunan tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ahmad Yunus, MS., selaku Direktur Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penyusan tesis ini.

3. Bapak Dr. Hermanu Joebagio, M. Pd., selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

sekaligus sebagai pembimbing kedua yang bersedia meluangkan waktu untuk

membimbing dan memberikan saran-saran dalam penyusunan tesis ini.

4. Bapak Prof. Dr. Husain Haikal, MA., selaku pembimbing pertama yang tidak

henti-hentinya memberikan dorongan, nasehat dan saran-saran dalam

penulisan tesis ini.

5. Bapak Tri Ismu Husnan Purwono, S.H., selaku kepala SMA Muhammadiyah I

Yogyakarta yang telah memberi izin penelitian guna menyelesaikan

penyusunan tesis ini.

6. Bapak M. Ikhwan Ahada, MA., selaku direktur Madrasah Muallimin

Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberi izin penelitian guna

(11)

commit to user viii

7. Ibu dan Bapak Guru SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin

Muhammadiyah Yogyakarta yang telah bersedia membantu dalam

pengumpulan data guna penyusunan tesis ini.

8. Siswa SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Muhammadiyah

Yogyakarta yang telah bersedia membantu proses pengumpulan data dalam

penyusunan tesis ini.

9. Para Guru dan Dosen yang telah mendidik peneliti dengan penuh kesabaran,

dari semenjak SD, SMP, SMA sampai sekarang di perguruan tinggi, terima

kasih atas semua ilmu yang telah diberikan.

10. Teman-teman kelas Pendidikan Sejarah PPs UNS angkatan 2011, terima kasih

atas semangat dan kerjasamanya.

11. Ibunda dan ayahanda di rumah terima kasih atas jerih payah, dorongan, dan

doa yang selalu dicurahkan kepada peneliti.

Mengingat keterbatasan tenaga dan ilmu yang dimiliki masih terdapat banyak

kekurangan dalam penulisan tesis ini. Kritik dan saran yang bersifat membangun

selalu diharapkan untuk memperbaiki tesis ini.

Surakarta, Juli 2012

Peneliti

(12)

commit to user

ix

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR ISTILAH ... xiv

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II LANDASAN TEORI ... 13

(13)

commit to user

x

1. Kajian Teori ... 13

a. Pengertian Karakter, Akhlak, Moral, dan Etika ... 13

b. Pengertian Pendidikan Karakter ... 29

c. Karakteristik Siswa SMA/MA (Usia Remaja) ... 45

d. Pendidikan Islam Pola Pembaruan ... 51

2. Penelitian yang Relevan ... 61

B. Kerangka Pikir Penelitian... 63

BAB III METODE PENELITIAN ... 66

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 66

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 66

C. Data dan Sumber Data ... 66

D. Teknik Sampling ... 67

E. Teknik Pengumpulan Data ... 68

F. Kesahihan (Validitas) Data ... 70

G. Teknik Analisis Data ... 71

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73

A. Hasil Penelitian ... 73

1. Lokasi SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta 74 a. SMA Muhammadiyah I Yogyakarta ... 74

b. MA Muallimin Yogyakarta ... 80

2. Sajian Data ... 84

(14)

commit to user

xi

b. Al-Quran dan Al-Hadis: Sumber Pendidikan Karakter di

SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta .... 89

c. Penanaman Nilai Pembentuk Karakter di Siswa SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta ... 93

1) Proses Pembelajaran di Kelas ... 102

2) Pembiasaan Berperilaku Baik ... 107

3) Keteladanan ... 112

4) Budaya Sekolah ... 119

5) Kegiatan Ekstrakurikuler (Pengembangan Diri) ... 123

d. Pengamalan (Aktualisasi) Nilai Pembentuk Karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogakarta ... 128

e. Kekhasan penanaman Pendidikan karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Yogyakarta ... 132

B. Pokok-Pokok Temuan Penelitian ... 137

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 134

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 210

A. Simpulan ... 210

B. Implikasi ... 212

C. Saran ... 218

DAFTAR PUSTAKA ... 220

(15)

commit to user

xii

DAFTAR TABEL

1. Daftar Asrama Siswa Madrasah Muallimin Yogyakarta ... 82

2. Kegiatan Pembelajaran dan Nilai Pembentuk Karakter ... 140

3. Proses Penerapan Nilai-Nilai Pembentuk Karakter di SMA

Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta ... 156

4. Proes Pendidikan dalam Wahana Sekolah, Keluarga dan Masyarakat ... 158

5. Kegiatan dalam Proses Pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1

Yogyakarta dan Muallimin ... 161

(16)

commit to user

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pelaksanaan Penelitian dan Penyusunan Laporan Penelitian ... 228

2. Pedoman Observasi dan Wawancara ... 229

3. Catatan Lapangan Hasil Wawancara dan Observasi ... 230

4. Silabus dan RPP SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta 246 5. Lembar Penilaian Kepribadian Siswa ... 270

6. Struktur Kurikulum SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta ... 280

7. Peta Tempat Penelitian ... 289

8. Foto Dokumentasi Penelitian ... 292

9. Surat Izin Penelitian ... 303

(17)

commit to user

xiv

DAFTAR ISTILAH

Akhlaq al-Karimah Sifat dan sikap yang baik sesuai dengan ajaran Islam.

Amanah Dapat dipercaya

Amar Maruf Melakukan yang baik

Balaghah Teknik penyampaian, digunakan untuk menunjukan suatu

ilmu yang berhubungan dengan seluk beluk menyusun suatu kalimat yang singkat, padat dan menarik

Emgain (m3in) Sebutan untuk Madrasah Muallimin Muhammadiyah

Yogyakarta.

Fathanah Cerdas, pandai.

Fatwa Nasihat keagamaan yang diberikan seorang alim.

Hizbul Wathan Organisasi kepanduan bagian dari organisasi Muhammadiyah

Ijtihad Berfikir secara mendalam dengan menggunakan metode dan

syarat-syarat tertentu.

IPM (Ikatan Pelajar Muhammdiyah) suatu organisasi otonom di bawah naungan Muhammadiyah sebagai wadah para siswa Muhammadiyah berlatih mengelola organisasi

Mubaligh Hijrah Berdakwah/Menyebarkan ajaran Islam ke tempat/daerah lain.

Mubaligh Jumat Berdakwah yang dilakukan setiap hari Jumat (waktu libur

sekolah untuk Muallimin).

Mubaligh/Kader Intilan Santri yang ikut berdakwah dengan tujuan untuk mempelajari

cara-cara berdakwah.

Muhi Sebutan untuk SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta

Mukmin Muttaqin

Orang Islam yang beriman.

Sebutan untuk orang yang bertakwa ( berasal dari kata taqwa)

Musyrif Guru/ustadz/pendidik yang telah ditugaskan di lingkungan

asrama untuk membantu pimpinan (pamong/bapak) asrama dalam membina para siswa.

Nahi munkar Menjauhi atau mencegah hal yang buruk.

Osis Organisasi Siswa Intra Sekolah

PERC (Political and Economic Risk Consultancy)

Pesantren Suatu lembaga pendidikan Islam dengan menitikberatkan

kepada pelajaran Islam secara mendalam.

Santri Sebutan bagi orang Islam yang taat menjalankan syariat

Islam.

Sidiq Jujur, benar (sifat yang dimiliki para Rasul Allah).

Sunah/Hadis 1. Sesuatu hukum yang berasal dari Nabi Saw yang tidak

termasuk fardlu(wajib).

(18)

commit to user

xv

ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi, baik pada masa sebelum kenabian maupun sesudahnya.

Tabligh Berdakwah menyampaikan ajaran Islam.

Tahfidz Menghafal al-Quran.

Taklid Menerima pendapat seseorang alim dalam masalah agama

tanpa menujukkan dalil dari al-Quran dan Hadis.

Ta’dib Usaha menciptakan keadaan (situasi) untuk mendorong jiwa

dan hati manusia berprilaku beradab sesuai dengan harapan yang diinginkan

Ta’lim Pengajaran, atau suatu proses pembelajaran terus menerus

sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi indera sampai akhir usia

Tarbiyah Proses pendidikan yang mempunyai tujuan, sasaran dan target

dengan memasukan ajaran Tuhan (Allah) sebagai sumber pendidikan melalui langkah-langkah yang sistematis dalam berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran.

Taushiyah Pengajian (siraman rohani) dari para kiai mengenai ajaran

agama (Islam).

(19)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan di Indonesia saat ini sedang mengalami masa peralihan, mencari

bentuk baru untuk mencapai pendidikan yang lebih demokratis. Peralihan dalam

sistem pendidikan merupakan suatu keharusan dengan adanya kenyataan

pendidikan banyak dipengaruhi oleh nuansa politik yang bersifat memusat.

Pendidikan yang semula dikelola secara memusat bergerak menuju sistem

pengelolaan yang bersifat mandiri (Zamroni, 2006: 114). Hal itu merupakan jalan

untuk mencapai fungsi dan tujuan pendidikan sesuai dengan undang-undang

nomor 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional yakni sebagai

berikut.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Upaya tersebut merupakan sebuah penerapan dari amanat pembukaan UUD

1945 yang berbunyi “. . . mencerdaskan kehidupan bangsa . . . .” dan demi

tercapainya cita-cita nasional yang ideal. Fungsi dan tujuan pendidikan akan

tercapai apabila pendidikan benar-benar dikelola dan diterapkan dengan sungguh

kepada siswa. Langkah awal yang harus dilakukan pihak pemerintah adalah

mencari strategi yang cocok untuk mencapai cita-cita dan tujuan pendidikan

(20)

commit to user

nasional dengan berlandaskan Pancasila. Ironisnya Pancasila sebagai salah satu

acuan bidang pendidikan, bidang ekonomi, sosial-politik, budaya dan acuan

pembentuk karakter bangsa tidak mampu diterapkan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Nilai-nilai Pancasila hanya dijadikan sebagai perbincangan tanpa diamalkan

dalam kehidupan sehari-hari, akibatnya nilai-nilai itu terasing dan mudah sekali

terlupakan. Mati surinya nilai-nilai Pancasila sepertinya menjadi salah satu

penyebab bobroknya mental bangsa. Kenyataan ini semakin menambah citra

buruk terhadap dunia pendidikan Indonesia karena nilai-nilai Pancasila erat

kaitannya dengan pendidikan. Di balik pembenahan pendidikan yang dilakukan

terus menerus, namun tampaknya hasil yang diinginkan belum juga terwujud.

Peralihan pengelolaan dari pusat ke pengelolaan pendidikan secara mandiri masih

sedikit pengaruhnya untuk kemajuan dalam bidang pendidikan. Harus diakui

memang sulit membenahi bangsa yang telah terperosok terlalu dalam, ditambah

lagi korupsi yang merajalela secara tidak langsung terus menghantam sistem

pendidikan Indonesia.

Survei PERC (Political and Economic Risk Consultancy) mengenai skor

korupsi di Asia Tenggara pada tahun 2006 menempatkan Indonesia sebagai

negara terkorup dengan skor 8.16 dalam rentan skor 1 sampai dengan 10 (Masnur

Muslich, 2011: 2). Hasil survei PERC dari tahun 2008 menyebutkan Indonesia

mencetak nilai 9,07 dari angka 10 (kompasiana.com., 10 Nopember 2011). Pada

tahun 2011 Busyro Muqodas menyatakan bahwa Indonesia masih menduduki

(21)

commit to user

korupsi dalam bidang pendidikan lebih dari Rp 204,2 miliar, bidang kesehatan

lebih dari Rp113,4 miliar, dan infrastruktur lebih dari Rp 597,5 miliar. Selain itu,

kehutanan lebih dari Rp 2,3 triliun, minyak dan gas lebih dari Rp 40,1 triliun,

keuangan daerah lebih dari Rp 1,3 triliun, dan perbankan lebih Rp 1,8 triliun.

Ditambahlagi saat ini sekitar Rp 50 triliun potensi kerugian negara dari kasus

korupsi pembayaran pajak (republika.co.id, 20 Juni 2012).

Berita lain yakni dari Organisasi Fund for Peace, mereka merilis indeks

terbaru mengenai Failed State Index (indek negara gagal) tahun 2012 Indonesia

berada di posisi 63 tahun 2011 berada pada posisi 64. Sementara negara nomor 1

yang dianggap gagal adalah Somalia. Fund for Peacemenggunakan indikator dan

subindikator, salah satunya indek persepsi korupsi sebagai alat pengukur untuk

membuat indeks Failed State Index. Keterangan dalam vivanews.com hari Kamis

21 Juni 2012 menyatakan bahwa dari 182 negara, Indonesia berada di urutan 100

untuk urusan indeks korupsi. Indonesia hanya berbeda 82 dari negara paling korup

berdasarkan indeks lembaga ini, yakni Somalia. Negara yang dianggap paling

baik adalah New Zealand.

Hasil survei PERC dalam hal pendidikan menyatakan bahwa dari 12 negara

Asia yang disurvei PERC, sistem pendidikan Indonesia menempati posisi

terburuk. Peringkat terbaik diduduki oleh Korea Selatan, kemudian Singapura,

Jepang, Taiwan, India, Cina, dan Malaysia. Indonesia menempati peringkat ke-12

setingkat di bawah Vietnam (Masnur Muslich, 2011: 2). Berdasarkan data dalam

Education for All (EFA) Global Monitroring Report yang dikeluarkan UNESCO

(22)

commit to user

pendidikan Indonesia berada pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei. Tahun

sebelumnya (2010) dengan ukuran yang sama, peringkat Indonesia berada pada

urutan 65 ( www.murdijarahardjo.com, diakses pada 20 Juni 2012).

Jelas dari data hasil survei tersebut menunjukan betapa hancurnya karakter,

moralitas, dan semakin terpuruknya pendidikan bangsa ini. Kondisi seperti ini

lambat laun akan menghancurkan seluruh potensi yang dimiliki bangsa Indonesia.

Tanpa memandang remeh bagian lain, sektor pendidikan yang seharusnya mampu

memcahkan masalah ini, namun kendalanya prestasi pendidikan Indonesia

ternyata tidak terlalu membanggakan. Pembenahan pendidikan selama ini belum

menunjukan hasil yang memuaskan.

Tampaknya sistem pendidikan di Indonesia selama ini masih belum

mempunyai rumusan yang tepat untuk mengangkat dari lembah keterpurukan.

Padahal berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk memajukan

pendidikan. Perombakan sistem pendidikan nasional tentu dimaksudkan untuk

peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Berbagai hal yang bersangkutan

dengan pendidikan dibenahi, kurikulum diganti, guru-guru dan pengelola

pendidikan diberi penataran, sistem pembelajaran diperbarui, sebagai upaya

meningkatkan mutu pendidikan. Hanya saja hasil yang dicapai belum

menggembirakan. Bahkan Arif Rachman mengatakan bahwa pendidikan di

Indonesia telah gagal membangun akhlak dan moral bangsanya. Masyarakat dan

pemerintah Indonesia telah kehilangan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat

(23)

commit to user

Rusaknya akhlak semakin hari cenderung meningkat, sepertinya bangsa

Indonesia mengalami penurunan moral yang begitu parah. Tekanan budaya luar

begitu kuat, sehingga mempengaruhi bahkan membentuk perilaku yang jauh dari

jati diri dan kepribadian bangsa. Hilangnya jati diri bangsa salah satunya karena

pendidikan terlalu menekankan pada sisi pengetahuan saja. Kemampuan

seseorang hanya diukur dengan tingginya kecerdasan intelektual (Intellectual

Quotient), nilai rapor, dan ujian. Akibatnya banyak orang pandai tetapi emosinya

tidak terkendali bahkan justru menjadi pengacau karena nilai-nilai yang

ditanamkan melalui pendidikan lebih banyak pada tataran pengetahuan saja.

Nilai pengetahuan (kognitif) dalam proses pembelajaran terlalu ditonjolkan

dalam pendidikan, sementara nilai sikap (afektif) dan nilai perilaku

(psikomotorik) kurang diperhatikan. Orientasi yang berlebihan terhadap ranah

pengetahuan membuat siswa berusaha mati-matian untuk mendapatkan nilai ujian

yang tinggi sedangkan mutu dan nilai moralnya serta kepribadiannya tidak

diperhatikan (Paul Suparno, 2001: 28). Sehingga pendidikan tidak menghasilkan

manusia-manusia yang andal, bahkan tidak jarang siswa tetap mempunyai

karakter yang memprihatinkan.

Keprihatinan itu mencoba dijawab dengan adanya sebuah gagasan yakni

pendidikan karakter untuk membangun peradaban bangsa. Gagasan ini sebagai

langkah untuk menanamkan dan memperbaiki nilai moral dan karakter bangsa

melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut diangkat

sebagai solusi untuk memperbaiki kehidupan bangsa Indonesia jangka pendek,

(24)

commit to user

yang maju dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi dan

bidang yang lainnya dengan tetap menjunjung tinggi moralitas dalam

kehidupannya.

Muhammad Nuh mengatakan bahwa dunia pendidikan menjadi salah satu

harapan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa sehingga masyarakat

mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan

demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan

bersama. Pendidikan karakter untuk membangun karakter bangsa menjadi penting

dan mutlak untuk menjadikan bangsa yang demokratis, cerdas, mempunyai budi

pekerti dan sopan santun (Muhammad Nuh, 2 Mei 2011) sehingga keberadaannya

sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya sendiri maupun

masyarakat pada umumnya.

Rancangan pendidikan karakter juga telah mendapat perhatian dari Susilo

Bambang Yudhoyono. Presiden RI periode 2009-2014 ini menyebutkan lima pilar

dalam pendidikan karakter yang harus dibangun yakni pertama, manusia

Indonesia harus bermoral, berakhlak, dan berperilaku baik. Kedua, bangsa

Indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan rasional, berpengetahuan dan memiliki

daya nalar tinggi. Ketiga, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mampu

menciptakan pembaruan dan mengejar kemajuan serta bekerja keras mengubah

keadaan. Keempat, memperkuat semangat harus bisa, seberat apapun masalah

yang dihadapi jawabannya selalu ada. Kelima, manusia Indonesia harus menjadi

(25)

commit to user

Rajasa dalam Masnur Muslich (2011: viii) terdapat tiga hal pokok dalam

pembinaan karakter bangsa yakni sebagai berikut.

1. Pendidikan sebagai arena menghidupkan kembali karakter luhur bangsa

Indonesia yang memiliki karakter cinta tanah air, kepahlawanan, dan berani

menghadapi tantangan.

2. Pendidikan sebagai sarana untuk membangkitkan karakter bangsa yang dapat

mempercepat pembangunan untuk meningkatkan daya saing.

3. Pendidikan sebagai sarana untuk menghidupkan kembali karakter luhur dan

menumbuhkan karakter yang baru untuk bersaing dalam sendi-sendi

kehidupan berbangsa menghadapi tantangan.

Tidak dapat dipungkiri pendidikan merupakan salah satu bagian yang

bertanggung jawab untuk melahirkan warga negara Indonesia yang berkarakter

kuat sebagai modal dalam pembangunan peradaban tinggi dan unggul. Karakter

yang kuat merupakan produk pendidikan yang bermutu, ketika sebagian besar

karakter masyarakat kuat dan baik, maka peradaban dapat dibangun dengan baik

pula. Sebaliknya jika sebagian besar karakter masyarakat buruk dan lemah akan

mengakibatkan peradaban yang dibangun menjadi keropos, karena karakter

bangsa sebagai landasan untuk membangun peradaban tidak dalam keadaan baik.

Penanaman nilai karakter dapat dilakukan dalam berbagai segi kehidupan.

Di dalam dunia pendidikan nilai-nilai pembentuk karakter dapat diterapkan

melalui setiap mata pelajaran. Proses pembelajaran tidak hanya menyampaikan

materi pelajaran sebagai pengetahuan, melainkan mendidik siswa sampai kepada

(26)

commit to user

setiap mata pelajaran. Setiap materi pembelajaran yang disampaikan harus

menyampaikan nilai karakter yang terkandung dalam materi tersebut atau

setidaknya yang mempunyai hubungan dengan materi yang disampaikan.

Pendidikan karakter yang dimasukan dalam setiap pelajaran diharapkan

mampu menciptakan manusia-manusia yang mempunyai moralitas baik dan

berwawasan kebangsaan serta mempunyai patriotisme yang tinggi terhadap

negara. Tentunya pendidikan karakter akan tercapai dalam setiap pembelajaran

apabila seluruh unsur dalam pembelajaran terpenuhi. Unsur pokok pembelajaran

seperti guru, siswa, sarana dan prasarana dalam proses pembelajaran dan budaya

lingkungan harus saling mendukung.

Selain di sekolah negeri milik pemerintah, pendidikan karakter diterapkan

juga di sekolah berbasis keagamaan (Islam). Sekolah seperti ini tentunya memiliki

kekhasan dalam kurikulum pembelajarannya, pendidikan keagamaan (Islam)

mempunyai bagian lebih banyak dibandingkan dengan sekolah umum lainnya.

Pelajaran seperti pelajaran akidah, akhlak, tafsir, al-Quran, Hadis, dan sebagainya

diajarkan di sekolah Islam di samping ilmu-ilmu umum lainnya. Tentu hal

tersebut akan mempengaruhi dan memberi warna yang berbeda terhadap pola

pembentukan karakter kepada siswa.

Penelitian ini akan mencoba melihat penerapan pendidikan karakter di

sekolah Islam yang difokuskan dalam proses pembelajaran, budaya sekolah dan

pengembangan diri siswa di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin

Yogyakarta. Latar belakang berdirinya pendidikan Muhammadiyah dan

(27)

commit to user

pembaharuan yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Susunan kurikulum, visi

dan misi pendidikan, lingkungan, budaya sekolah dan pengembangan diri di SMA

Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogakarta tentu akan menghasilkan

karakter yang unik. Apalagi keduanya merupakan sekolah Islam yang memadukan

antara unsur keislaman dengan unsur kemutakhiran di bawah payung

Muhammadiyah sebagai organisasi Islam berpandangan pembaruan yang ikut

menggerakan perkembangan pendidikan di Indonesia.

Penelitian ini akan menarik karena sekolah-sekolah Islam di atas mencoba

memadukan ajaran-ajaran Islam pola pembaruan dengan ilmu-ilmu umum yang

dikemas dalam sebuah pengelolaan mutakhir dengan tujuan membumikan

kembali kemurnian nilai-nilai agama (Islam) tanpa mengenyampingkan kemajuan

ilmu pengetahuan lainnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasar pada kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa tahun

2010-2025 dengan bertujuan untuk membina dan mengembangkan karakter

warga negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan

Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan

Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Kebijakan pemerintah mengenai penerapan pendidikan karakter dalam

setiap mata pelajaran merupakan tugas baru bagi para pendidik. Tentunya

(28)

commit to user

Untuk mengetahui penerapan pendidikan karakter maka akan dilakukan

penelitian di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta sebagai

sekolah yang mempunyai kesamaan latar belakang keagamaan sekaligus

mempunyai organisasi induk yang sama yakni Muhammadiyah. Sebagai

organisasi Islam yang begitu berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia

Muhammadiyah mempunyai komitmen untuk menciptakan manusia yang

mempunyai akhlak terpuji (karakter baik). Sebagaimana yang telah dipaparkan di

atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut di bawah ini.

1. Bagaimana pemahaman guru mengenai pendidikan karakter di SMA

Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta?

2. Apa sumber pendidikan karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA

Muallimin Yogyakarta?

3. Bagaimana proses penanaman nilai karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan

MA Muallimin Yogyakarta?

4. Bagaimana pengamalan (aktualisasi) nilai-nilai pembentuk karakter pada

siswa di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta?

5. Bagaimana kekhasan dalam penanaman pendidikan karakter di SMA

Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas penelitian ini mempunyai target yang

hendak dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni ingin

(29)

commit to user

Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta. Selain dari itu, Tujuan lain

dari penelitian ini adalah sebagai berikut di bawah ini.

1. Memperoleh gambaran pemahaman guru di SMA Muhammadiyah 1 dan MA

Muallimin Yogyakarta mengenai pendidikan karakter.

2. Mendapatkan gambaran mengenai sumber-sumber dalam penerapan

pendidikan karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin

Yogyakarta.

3. Mendeskripsikan dan menganalisis (persamaan, perbedaan, dan kekhasan)

penerapan nilai-nilai karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin

Yogyakarta.

4. Memperoleh pemahaman mengenai pengamalan (aktualisasi) pendidikan

karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta.

5. Menggambarkan persamaan, perbedaan, dan khasan penanaman pendidikan

Karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai pendidikan karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan

MA Muallimin Yogyakarta yang merupakan sekolah yang mempunyai latar

belakang keagamaan tentunya mempunyai menfaat dan kegunaan. Manfaat itu

diantaranya sebagai berikut di bawah ini.

1. Dapat dijadikan model atau bahan koreksi dan evaluasi mengenai

implementasi pendidikan karakter di sekolah.

2. Untuk memahami sumber-sumber pembentuk karakter pada siswa di SMA

(30)

commit to user

3. Sebagai tolak ukur mengenai kualitas pembelajaran, kekhasan dalam

penanaman pendidikan karakter di sekolah Islam, dan pengamalan nilai

karakter dalam kehidupan.

4. Untuk memahami dengan jelas mengenai pengamalan (aktualisasi) nilai-nilai

pembentuk karakter pada siswa SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin

Yogyakarta.

(31)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kajian Teori

Menarik untuk dikaji mengenai istilah pendidikan karakter yang belakangan

ini menjadi topik perbincangan. Adakah persamaan, ataukah berbeda dengan

akhlak sebagai ciri khas dalam sekolah Islam? Sebagian orang merasa bingung

mengenai arti dan pemaknaan dari pendidikan karakter, dan akhlak. Terkadang

kata-kata tersebut diartikan sama oleh salah satu pihak dan diartikan berbeda oleh

pihak lain. Pendidikan karakter dan akhlak akan dijadikan sebagai suatu kajian

untuk mencari arti istilah dari keduanya, ditambah dua istilah lain yakni moral dan

etika.

Karakter sebagai kesatuan dari berbagai perilaku yang telah terbiasa,

dilakukan secara alamiah (tanpa tekanan) serta menjadi ciri khas dalam diri

manusia. Sementara istilah akhlak juga merujuk kepada perilaku dalam diri

manusia. Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan dikemukakan mengenai

pengertian karakter, akhlak, moral, dan etika dari berbagai pendapat. Kemudian

akan dilanjutkan mengenai konsep pendidikan karakter, dan akan dibahas juga

mengenai karakteristik siswa SMA/MA yang rata-rata berada dalam usia remaja

serta pendidikan Islam yang cenderung terkait dengan istilah akhlak.

a. Pengertian Karakter, Akhlak, Moral, dan Etika

Sebelum membahas mengenai pendidikan karakter tentunya akan lebih baik

jika mengetahui mengenai pengertian dari karakter. Karakter dalam kajian ini

(32)

commit to user

mempunyai arti sebagai karakter pada diri manusia. Karakter manusia tentunya

tidak akan terlepas dari etika maupun moral sebagai nilai dan norma yang ada

dalam kehidupan masyarakat. Moral merupakan salah satu bagian dari pembentuk

karakter manusia. Thomas Lickona selalu mengkaitkan tiga komponen karakter

dengan moral yakni pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral

feeling) dan perilaku moral (moral action).

Karakter berasal dari kata Character (Inggris), Charassein yang artinya

mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan, sehingga karakter merupakan

perpaduan tabiat manusia yang bersifat tetap dan menjadi ciri khusus pada diri

seseorang (Haedar Nasir, 2011: 13). Menurut Victor Battistich (2005:3) karakter

adalah perwujudan dari perkembangan perilaku baik seseorang sebagai pribadi

intelektual, sosial, emosional, dan etis. Istilah karakter itu sendiri sedikitnya

memuat dua hal yakni nilai-nilai (values) dan kepribadian. Suatu karakter

merupakan cerminan dari nilai melekat dalam sebuah perilaku manusia. Karakter

yang baik pada gilirannya adalah suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang

dimiliki oleh orang atau sesuatu, sebagai sesuatu yang asli bukan sekadar

kepura-puraan. Dari hal ini, maka kajian pendidikan karakter akan bersentuhan dengan

wilayah filsafat moral atau etika yang bersifat umum, seperti kejujuran, tanggung

jawab, disiplin dan lain sebagainya. Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai

menjadi upaya yang gamblang mengajarkan nilai-nilai, untuk membantu siswa

mengembangkan kemampuannya dalam bertindak dengan cara-cara yang baik.

Said Ahmad Hasan (2010: 3) mengatakan dalam bukunya yang berjudul

(33)

commit to user

karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk

dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan

sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan

terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat

dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Karakter merupakan modal membangun

peradaban tingkat tinggi, masyarakat yang memiliki sifat jujur, mandiri, bekerja

sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos kerja

tinggi akan menghasilkan sistem kehidupan sosial yang teratur dan baik. Peran

pendidikan dalam hal ini yakni membentuk tatanan kehidupan yang penuh

peradaban yang saling menghargai satu dengan yang lainnya menuju pada

keharmonisan dalam kehidupan (Sabar Budi Raharjo, 2010: 230).

Menurut Simon Philips sebagaimana yang dikutip oleh Education Center

UNY, mengatakan bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada

suatu sistem yang melandasi pada suatu pemikiran, sikap dan perilaku yang

ditampilkan. Karakter berarti jati diri seseorang yang meliputi keseluruhan sikap

atau tingkah laku seseorang yang dapat dikenali dalam berbagai situasi. Karakter

adalah sifat seseorang yang sangat menonjol sehingga merupakan ciri khas (trade

mark) orang tersebut (Educational Center BEM REMA UNY, 2011: 7-8).

Amitai Etzioni sebagaimana yang dipaparkan Daniel Goleman bahwa

karakter adalah bakat psikologis yang dibutuhkan oleh perilaku moral. Goleman

mengatakan bahwa karakter adalah kumpulan keterampilan yang terdapat dalam

kecerdasan emosional (Daniel Goleman, a.b., T., Hermaya, 2003: 406).

(34)

commit to user

demokratis, pekembangan karakter dilandasi oleh kecerdasan emosional dengan

beberapa tahap. Tahap pertama adalah disiplin diri, kehidupan yang penuh

keutamaan, dan pengendalian diri. Tahap kedua yang berkaitan dengan karakter

yakni kemampuan mendorong dan membimbing diri sendiri, mempunyai rasa

empati, toleransi dan kemampuan menerima perbedaan. Kemampuan ini sangat

dibutuhkan dalam masyarakat yang beraneka ragam sehingga memungkinkan

hidup rukun (Daniel Goleman, a.b., T., Hermaya, 2003: 407).

Doni Koesoema (2010:104) mendefinisikan karakter sebagai kepribadian.

Kepribadian sebagai ciri dan karakteristik atau gaya, sifat khas dari seseorang

yang bersumber dari bentukan yang diterima dari lingkungan (Educational Center

BEM REMA UNY, 2011: 7-8). Gordon Allport mengartikan kepribadian sebagai

suatu organisasi dimanis dalam individu sebagai sistem psikofisik yang

menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan

(Inge Hutagalung, 2007: 2). Woodworth mengartikan kepribadian sebagai kualitas

tingkah laku total individu, begitu juga Derlega, Winstead dan Jones

mengungkapkan bahwa kepribadian sebagai sistem yang relatif stabil mengenai

karakterisrik individu yang bersifat internal, yang berpengaruh terhadap pikiran,

perasaan dan tingkah laku yang relatif tetap (Syamsu Yusuf LN dan Achmad

Juntika Nurihsan, 2008: 3).

Struktur kepribadian terdiri dari tiga sistem yakni id, ego dan superego.

Ketiganya menjadi penyusun terbentuknya kepribadian seseorang. Id (naluri)

sebagai sistem penyusun kepribadian bawaan dan asli dimiliki oleh setiap orang

(35)

commit to user

kesenangan, kepuasaan kebutuhan naluriah. Ego sebagai bagian dari kepribadian

yang memiliki hubungan dengan dengan dunai nyata. Ego yang mengendalikan,

memerintah dan mengatur bagi id dan superego. Ego bersifat realistis, menjadi

penghubung antara naluri dengan lingkungan sekitar. Sedangkan Superego

sebagai cabang moral atau hukum dalam kepribadian yang menilai suatu

perbauatn baik atau buruk, baoleh atau tidak boleh. Superego berfungsi

menghambat id. Superego berkaitan dengan imbalan, hukuman, perasaan bangga,

perasaan berdosa dan rendah diri (Gerald Corey, 1999: 14-15).

Dalam Islam, kepribadian dikenal dengan istilah Syakhshiyah sebagai

kesatuan sistem kalbu, akal dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku

(Syamsu Yusuf LN & A. Juntika Nurihsan, 2008: 212). Isjoni mengungkapkan

kepribadian sebagai keseluruhan dari seseorang yang terdiri dari unsur fisik dan

kejiwaan secara sadar (Abdul Majid & Dian Andayani, 2011: 99). Kesamaan

konsep antara kepribadian dengan karakter terletak pada pengaruh yang diberikan

olah keduanya yakni pengaruh terhadap pikiran, perasaan dn perilaku serta sifat

dari keduanya yang sama-sama terpatri dalam diri seseorang. Inilah yang menjadi

alasan kepribadian disamakan dengan konsep karakter.

Doni Koesoema sebagai orang yang setuju dengan kesamaan konsep antara

kepribadian dan karakter menyatakan karakter merupakan sebuah kondisi dinamis

stuktur antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas determinisme

kodratinya, melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral

mangatasi determinisme alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya

(36)

commit to user

yang sifatnya stabil dan dinamis untuk senantiasa berkembang maju mengatasi

kekuarangan dan kelamahan dirinya (Doni Koesoema A, 2010: 104). Dengan

demikian ada keterkaitan antara akhlak dengan karakter pada diri manusia.

Menurut Al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Mustakim mengatakan

akhlak adalah (sifat atau keadaan) dari pelaku yang tetap dan meresap dalam jiwa,

daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan mudah dan wajar tanpa

memerlukan pikiran dan pertimbangan. Sedangkan akhlak merupakan bentuk

jamak dari khulq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.

Khulq memiliki akar kata yang sama dengan Khaliq (Pencipta) dan makhluq

(yang diciptakan) berasal dari kata khalaqa yang artinya menciptakan (Abdul

Karim, 2007: 34).

Abuddin Nata menyatakan Akhlak (akhlaq) kerasal dari kata khilaqunatau

khuluqun yang berhubungan serta dengan khaliq dan mahluq. Dalam bahasa

Yunani akhlak sering disebut dengan ethick yang berasal dari kata ethikos. Ethick

sejajar juga dengan moral, dalam bahasa Latin berasal dari kata mores yang

mengandung arti tabiat, adat istiadat, atau budi pekerti (Abuddin Nata, 2000: 35).

Ibnu Misakawaih mengartikan akhlak sebagai keadaan jiwa yang mendorong

melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pemikiran dan

pertimbangan-pertimbangan (Abuddin Nata, 2000: 36).

Hakikat akhlak menurut Ghazali ada dua syarat yakni suatu perbuatan

dilakukan dengan terbiasa bahkan berulang-ulang dilakukan. Syarat kedua adalah

perbuatan yang dilakukan harus tumbuh dengan mudah tanpa adanya

(37)

commit to user

perbuatan itu baik menurut akal pikiran, norma dan hukum maka dinamakan

akhlak baik dan bila menimbulkan perbuatan yang jelek maka disebut akhlak

yang buruk (Mustaqim dalam Ruswan Thoyib dan Darmu’in (penyunting), 1999:

87). Pendapat Ghazali tentang pengertian akhlak hampir serupa dengan pengertian

karakter menurut Ibrahim Anis.

Menurut Ibrahim Anis akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa,

yang dengannya lahir bemacam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa

membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Senada dengan Ibrahim Anis, Abdul

Karim Zaidan akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa

yang dengan sorotan dan pertimbangannya seseorang dapat menilai perbutannya

baik atau buruk untuk kemudian melakukan dan meninggalkannya. Sementara itu,

Anis Matta mendefinisikan akhlak (karakter) sebagai nilai-nilai dan pemikiran

yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa lalu terlihat dalam

tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, alami, dan reflek (Dwi Budiyanto, 2011:

82-83).

Ahmad Amin akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Pendapat Ahmad

Amin diperjelas oleh Abuddin Nata yang mengartikan akhlak sebagai perbuatan

yang sudah menjadi kebiasaan, mendarah daging dan dilakukan secara terus

menerus tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran terlebih dahulu (Abuddin

Nata, 2000: 36). Stephen Covey mengemukakan bahwa kebiasaan sebagai titik

pertemuan dari pengetahuan, keterampilan dan keinginan. Pengetahuan sebagai

pandangan mengenai apa yang harus dilakukan. Keterampilan sebagai cara

(38)

commit to user

(Aunurrahman, 2009: 123). Proses pembelajaran, adanya tata tertib, dan budaya di

sekolah merupakan bagian dari kegiatan yang memberikan pembiasaan untuk

berperilaku baik kepada siswa. Sedangkan menurut Farid Ma’ruf akhlak adalah

kehendak jiwa dilakukan dengan ringan, mudah, spontan, berkelanjutan.

Perbuatan tersebut bisa berbetuk perilaku buruk dan yang baik. Sebagai ukuran

baik buruknya akhlak adalah akal dan sariat agama (Islam) (Abuddin Nata, 2000:

36).

Pengertian-pengertian akhlak di atas pada intinya mempunyai pengertian

yang sama dengan pengertian karakter. Lebih lanjut Mami Hajaroh (2009: 88)

akhlak adalah suatu sifat yang melekat dalam jiwa dan menjadi kepribadian yang

memunculkan suatu perilaku yang spontan, mudah, tanpa rekayasa dan tanpa

memerlukan pemikiran. Menurut Yunahar Ilyas yang dikutip oleh Mami Hajaroh

(2009: 89-91) menerangkan bahwa Akhlak memiliki lima ciri yakni pertama,

akhlak rabbaniyakni ajaran akhlak yang bersumber pada al-Quran yang bertujuan

memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Kedua, akhlak manusiawi yakni

ajaran akhlak dalam Islam yang sejalan dengan tuntunan fitrah manusia. Ketiga,

akhlak universal yakni akhlak yang mencakup segala aspek kehidupan manusia

baik dimensi vertikal maupun horisontal. Nilai akhlak ini bersifat umum dan

berlaku di manapun (Mami Hajaroh, 2009: 89-91).

Keempat, akhlak keseimbangan, yakni perilaku manusia yang mempunyai

dua kecenderungan yakni berlaku baik dan buruk. Kekuatan atau sifat baik

dikendalikan oleh hati nutani, dan akal. Kekuatan buruk dikendalikan oleh hawa

(39)

commit to user

keterbatasan manusia. Kenyataan bahwa manusia memiliki kelebihan dan

kekurangan, sehingga Islam memberikan kesempatan kepada manusia yang

melakukan kekeliruan untuk memperbaiki diri dengan bertobat dan kembali

kepada jalan yang benar (Mami Hajaroh, 2009: 89-91).

Akhlak yang baik menurut Ghazali terbagi menjadi empat yang semuanya

dilandasi oleh akal dan agama secara seimbang. Induk akhlak yang pertama

hikmah dan kebijaksanaan, nilai yang terkandung hati yang bersih, pikiran yang

cerdas, prasangka yang tepat, dan cerdik. Kedua, keberanian, nilai yang

terkandung pemurah, penolong, tabah menahan cobaan, teguh, lemah lembut, dan

menekan kekerasan. Ketiga, lapang dada didalamnya mengandung nilai ramah,

pemalu, pemaaf, suka menolong, tidak menggantungkan diri kepada orang lain.

Keempat keadilan mengajarkan rasa tolong menolong dalam hal yang baik

(Abuddin Nata, 2000: 38-40). Sedangkan Thomas Lickona dalam bukunya

Educating for Character (How our schools can teach respect and responsibility)

mengemukakkan tiga nilai karakter sebagai berikut di bawah ini.

Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior. Good character consists of knowing the good, desiring the good, and doing the good. Habits of the mind, habits of the heart, and habits of action. All three are necessary for leading a moral life; all three make up moral maturity. When we think about the kind of character we want for our children, it’s clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right. Even in the face of pressure from without

and temptation from within (Thomas Lickona, 1991: 51).

Thomas Lickona (1991: 51) lebih menekankan tiga nilai karakter yang

menurutnya saling terkait yakni mengetahui moral, perasaan moral, dan perilaku

(40)

commit to user

mengetahui yang baik (knowing the good), menumbuhkan keinginan untuk

mengetahui yang baik (desiring the good), dan melakukan tindakan-tindakan yang

baik (doing the good). Kebiasaan berpikir, keinginan bertindak, dan kebiasaan

dalam tindakan, ketiganya diperlukan untuk memimpin kehidupan moral

membentuk kematangan moral. Ketika berpikir tentang jenis karakter, diharapkan

mereka dapat menilai apa yang benar, sangat peduli tentang apa yang benar, dan

kemudian melakukan apa yang mereka yakini benar. Bahkan dalam menghadapi

tekanan dari luar dan godaan dari dalam.

Gambar 1. Competence of Good Character (kompetensi dari karakter baik) menurut Thomas Lickona (1991: 53)

Thomas Lickona (1991: 53) membagi kompetensi karakter baik menjadi

tiga bagian yakni moral knowing(pengetahuan moral) yang terdiri dari kesadaran

moral, memahami nilai moral, mengambil cara pandang, alasan moral, membuat

keputusan, dan pengetahuan diri. Moral feeling (perasaan Moral) terdiri dari hati

nurani, harga diri, empati, mencintai, kontrol diri dan kerendahan hati. Moral

(41)

commit to user

action (tindakan moral) yang terbagi menjadi tiga yakni kemampuan

(kompetensi), kemauan dan kebiasaan.

Menurut Yoyon Bachtiar Irianto (2010: 5)moral knowingberkenaan dengan

kesadaran (awareness), nilai-nilai (values), sudut pandang (perspective taking),

logika (reasoning), menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self

knowledge). Moral loving berkenaan dengan kepercayaan diri (self esteem),

kepekaan terhadap orang lain (emphaty), mencintai kebenaran (loving the good),

pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (humility). Moral doing

berkenaan dengan perwujudan dari moral knowing dan moral loving yang

berbentuk sikap reflektif dalam perilaku keseharian.

Mengenai karakter Lickona beranggapan bahwa pembentukan karakter tidak

akan terlepas dari pengetahuan, perasaan dan perilaku moral pada diri manusia.

Disisi lain Lawrance Kholberg melihat moralitas dari berbagai teori yakni teori

common sense (akal sehat), menurut teori ini setiap orang mengetahui apa yang

benar dan apa yang salah. Setiap manusia mempunyai naluri bawaan untuk

membedakan yang baik dengan tidak baik. Berikutnya yakni teori emosional

relativistis, teori ini memandang bahwa moral manusia dapat dilihat dari emosi

dan kebutuhan. Moralitas digunakan sebagai aturan kelakuan dan norma

relativistis dari budaya anak dan anak harus menyesuaikan diri dengan keadaan

tersebut. Teori kognitif-developmental (progresif) melihat moralitas sebagai

seperangkat pertimbangan dan keputusan rasional yang berlaku untuk setiap

kebudayaan, yaitu prinsip kesetaraan manusia dan prinsip keadilan (Lawrance

(42)

commit to user

Lawrance Kohlberg melihat bahwa para remaja menerapkan struktur

pengetahuan moral, menafsirkan tindakan dan perilaku sesuai dengan struktur

mental mereka sendiri. Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat

rasional dan mendorong menuju tahap perkembangan yang lebih tinggi. Kholberg

menyatakan bahwa remaja berusia 16 tahun merupakan sebuah tahapan tertinggi

dalam proses tercapainya pertimbangan moral (Aunurrahman, 2006: 61). Di

Indonesia usia 16 tahun berada pada tahap sekolah menengah, jika mengikuti teori

Kholberg di atas tahap ini sebagai proses pencarian jati diri yang menentukan

karakter individu ke depan.

Kata moral selalu mengacu kepada baik buruknya manusia sebagai manusia.

Norma-norma moral adalah ukuran untuk mementukan betul-salahnya sikap dan

tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia. Immanuel

Kant mengartikan moralitas sebagai kesesuaian tindakan dengan norma batiniah,

yakni kesadaran hati kepada kewajiban sebagai manusia. Bertindak moral berarti

mengharuskan bertindak demi kewajiban semata (imperatif kategoris), bukan

untuk mencapai tujuan tertentu yang bersifat emosional (SP. Lili Tjahadi, 1991:

64).

Sedangkan moral menurut K. Bertens yakni nilai dan norma yang menjadi

pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

moralitas berarti sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan

dengan baik dan buruk (K. Bertens, 1999: 7). Perilaku baik dan buruk akan

terpengaruh oleh pengetahuan seseorang mengenai ajaran moral. Ajaran-ajaran

(43)

wejangan-commit to user

wejangan, patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tulisan

mengenai bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia

yang baik. Sumber ajaran tersebut adalah ajaran agama, tradisi, adat istiadat, atau

ideologi tertentu yang disampaikan oleh orang tua, guru, para pemuka agama

ataupun pemuka adat, dan para pembuat kebijakan (pemerintah).

Etika merupakan sebuah ilmu bukan ajaran. Jadi etika dan ajaran ajaran moral tidak berada pada tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggungjawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral ... etika tidak berwenang untuk menetapkan, apa yang boleh kita lakukan dan apa yang tidak. wewenang itu di klaim oleh pelbagai fihak yang memberikan ajaran moral. ... etika berusaha mengerti mengapa, atau atas dasar apa kita harus hidup menurut norma-norma tertentu. Ajaran moral dapat diibaratkan dengan buku petunjuk bagaimana kita harus memperlakukan sepeda motor kita dengan baik, sedangkan etika memberikan kita pengertian tentang struktur dan teknologi sepeda motor sendiri (Frans Magnis Suseno, 2001:14).

Frans Magnis Suseno (2001: 14) membedakan antara etika dengan ajaran

moral, etika adalah filsafat atau pemikiran kritis mendasar tentang ajaran-ajaran

dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah pemikiran sistematis tentang

moralitas, etika tidak mempunyai wewenang untuk secara langsung membuat

manusia menjadi lebih baik (Frans Magnis Suseno, 2001: 15). Sementara

Immanuel Kant memahami etika sebagai suatu filosofis untuk menyelidiki hukum

tindakan atau prinsip-prinsip moral dalam tingkah laku manusia (SP. Lili Tjahadi,

1991: 64). Menutut K. Bertens (1999: 6) pengertian etika dapat dibedakan

menjadi tiga pengertian yakni sebagai berikut di bawah ini.

1) Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan

(44)

commit to user

2) Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral, atau disebut juga kode etik.

3) Etika adalah ilmu tentang yang baik atau buruk atau ilmu yang menyelidiki

tingkah laku moral (K. Bertens, 1999: 15), dalam hal ini etika diartikan

sebagai filsafat moral.

Moral memiliki makna mengenai bagaimana berperilaku sesuai dengan

tuntutan norma-norma atau nilai-nilai yang telah berlaku dan diakui oleh

kelompok atau masyarakat sedangkan etika selain dituntut untuk berperilaku

sesuai dengan norma juga dituntut untuk memahami alasan-alasan atau

dasar-dasar moral yang rasional untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik (Amril M,

2002: 19). Menurut Amril M dalam bukunya berjudul Etika Islam

mengungkapkan tataran etika dalam Islam telah menyatukan berbagai konsep

teologis, filsafat dan sufi dengan menyeimbangkan antara ketuhanan dan

keduniawian sebagai religiuos theories dengan ciri Islami. Islam memandang

keputusan etika didasarkan kepada wahyu Allah Swt dan sunah nabi Muhammad

Saw dengan proses alih nilai dari sifat-sifat Allah dan Rasulullah ke dalam

perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari (Amril M, 2002: 5).

Hubungan antara moralitas dengan agama, menutut Kant agama sebagai

pengakuan semua kewajiban manusia sebagai perintah Illahi. Kant menempatkan

moralitas lebih dulu ada dibandingkan dengan agama. Moralitas juga mengarah

kepada agama, namun moralitas tidak mengatasnamakan agama, justeru menurut

Kant agama yang menggadaikan moralitas. Manusia bisa melakukan perbuatan

baik dalam arti moral tanpa harus paham mengenai Tuhan. Motivasi perbuatannya

(45)

commit to user

berpendapat bahwa moralitas mengarah kepada agama melalui pemahaman

mengenai kebaikan tertinggi. Kebaikan tertinggi berada pada Tuhan dengan

demikian maka perlu adanya penyelarasan diri dengan perintah Tuhan yang

sempurna secara moral (SP. Lili Tjahadi, 1991: 57).

Moral dalam agama begitu penting sebagai ajaran dari wahyu Tuhan. Ajaran

moral diterima karena alasan keimanan, namun tidak serta merta norma moral

diterima karena alasan keagamaan. Terdapat alasan-alasan yang lebih umum

untuk menerima aturan-aturan moral dengan alasan rasional. Agama berbicara

mengenai moralitas dengan memberikan motivasi dan inspirasi supaya umatnya

mematuhi nilai dan norma berdasarkan iman. Jika norma moral tidak dipatuhi

maka kesalahan itu disebut sebagai dosa. Sedangkan apabila ditinjau dari filsafat

moral, maka moral berbicara tentang topik-topik etis dan berusaha

memperlihatkan baik atau buruk dengan dengan menunjukan alasan-alasan yang

masuk akal. Dari sudut filsafat moral kesalahan moral adalah pelanggaran prinsip

etis yang harus dipatuhi (K. Bertens, 1999: 36-37).

Moralitas tidak hanya monopoli manusia yang beragama saja melainkan

harus dimiliki oleh semua manusia. Filsuf terkemuka dari Perancis, Jean Paul

Sarte sebagai seorang ateis mengatakan bahwa moralitas merupakan suatu urusan

antar mausia saja (humanistis), manusia bertanggungjawab kepada dirinya sendiri

dalam kehidupan bermasyarakat. Kenyataan bahwa dewasa ini tidak sedikit orang

yang menganut paham humanisitis dan sekuler tanpa menghubungkan apapun

(46)

commit to user

Pendapat Kant, Sarte dan Abuddin Nata mempunyai perbedaan dalam

mengartikan moral. Abuddin Nata meletakkan moral lebih kepada perbuatan

lahiriah dengan berpedoman kepada motif materil semata. Moral menurut

Abuddin Nata bersifat sekuler dan duniawi, sikap baik dalam moral biasanya ada

selama ikatan-ikatan material atau sikap itu tidak mempunyai hubungan yang

nyata dengan yang segi ketuhanan. Lebih lanjut Abuddin Nata membedakan

moral dengan pengertian akhlak dalam Islam. Nata mengartikan akhlak Islam

terbentuk dari jiwa tauhid atau akidah yang diajarkan Allah SWT (Abuddin Nata,

2000: 37). Namun perbedaan pendapat tersebut tidak begitu mempengaruhi isi

dari nilai moral karena keduanya mengakui bahwa moral mengandung

nilai-nilai yang umum (universal).

Pengertian etika dan akhlak juga tidak terlalu jauh beda bahkan tidak jarang

kedua istilah ini disamakan arti oleh beberapa pihak. Terlepas dari itu Abdul

Majid dan Dian Andayani (2011: 15) membedakan antara etika dengan akhlak.

Etika sebagai filsafat moral yang bertolak dari akal pikir, bukan dari agama.

Sedangkan akhlak mengajarkan baik dan buruk berdasarkan ajaran Islam yang

bersumber dari Allah Swt dan Rasul-Nya.

Dengan demikian dari pengertian-pengertian di atas terdapat kesamaan arti

antara karakter dan akhlak yakni suatu perilaku yang dilakukan tanpa tekanan,

terbiasa dilakukan, dan menjadi ciri khas seseorang. Karakter dan akhlak

mempunyai kesamaan yang terbentuk tersusun oleh norma-norma moral

sebagaimana yang disebutkan oleh Thomas Lickona yakni moral knowing, moral

(47)

commit to user

akhlak yakni dari pernyataan Ahmad Tafsir yang mengungkapkan “ karakter itu

sama dengan akhlak dalam pandangan Islam. Akhlak dalam Islam adalah

kepribadian. Kepribadian itu komponennya tiga yaitu tahu (pengetahuan), sikap,

dan perilaku” (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2011: iv). Perbedanya terdapat

pada penekanannya, akhlak lebih kepada perilaku sesuai dengan nilai-nilai agama

(Islam) sementara karakter perpaduan dari berbagai pikiran, kecintaan, dan

perilaku (cipta, rasa, dan karsa). Ketika moralitas telah terbentuk dalam diri

seseorang maka akan tercipta kedamaian dalam diri mulai terbentuk karakter yang

baik sesuai dengan yang diinginkan. Namun ketika moral sebagai komponen

karakter tidak terbentuk maka tujuan pendidikan karakter tidak akan tercapai.

Perbedaan karakter dengan moral menurut Abdul Majid dan Dian Andayani

(2011: 14) dapat dilihat dari pemaknaannya. Karakter lebih tinggi tingkatannya

karena karakter bukan sekedar mengajarkan yang benar dan yang salah, tetapi

menanamkan kebiasaan baik sehingga manusia mampu memahami, merasakan,

dan melakukan yang baik. Moral menurut Ratna Megawangi adalah pengetahuan

seseorang mengenai baik dan buruk, namun jika dilihat dari inti keduannya

(karakter dan moral) tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh (Abdul Majid

dan Dian Andayani, 2011: 15).

b. Pengertian Pendidikan Karakter

Sebelum mengetahui mengenai pengertian pendidikan karakter, akan lebih

baik apabila dibahas mengenai pengertian pendidikan dari berbagai sudut

pandang. Menurut Ibnu Khaldun pendidikan merupakan usaha untuk melahiran

(48)

commit to user

selanjutnya, maka pendidikan akan mengerahkan pada pengembangan sumber

daya manusia yang berkualitas. Sementara peran pendidikan menurut Ibnu

Khaldun yakni untuk melahirkan budaya masyarakat bekerja untuk melestarikan

dan meningkatkan kualitas hidup, dengan demikian pendidikan adalah

pembentukan nilai-nilai dari pengalaman untuk berusaha mempertahankan

kelangsungan hidup manusia dalam berbagai bentuk kebudayaan serta

perkembangan zaman (Marsudin Siregar, 1999: 16).

Suroso Prawiroharjo mengartikan pendidikan sebagai bantuan pendidik

yang membuat siswa dewasa, artinya kegiatan pendidik berhenti, tidak diperlukan

lagi, apabila kedewasaan yang diinginkan telah tercapai. George F. Kneller

mengartikan pendidikan dalam arti luas sebagai suatu tindakan atau pengalaman

yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan dan

perkembangan jiwa, karakter, atau kemampuan fisik individu. Secara teknis,

Kneller mengartikan pendidikan sebagai proses dimana masyarakat melalui

lembaga (sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga lain) dengan sengaja

mentransformasikan warisan budayanya berupa nilai-nilai, pengetahuan, dan

keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi (Dwi Siswoyo, 2008: 16-18).

Ki Hadjar Dewantara memaknai pendidikan sebagai tuntunan di dalam

hidup tumbuhnya anak-anak, agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan

setinggi-tingginya. John Dewey memaknai pendidikan sebagai rekonstruksi atau

reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman dan yang

menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Menurut

Gambar

Gambar 1. Competence of Good Character (kompetensi dari karakter baik)
  Gambar 2.
Gambar 3. Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 4. Model Analisis Data Matthew B. Milles dan Hubberman (Milles dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Konsumen hanya tinggal memilih produk yang ingin dibeli kemudian setelah mendapat konfirmasi dari pihak Hikari, konsumen diharapkan segera melakukan pembayaran dengan cara transfer.

RESPON MAHASISWA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TERHADAP PROGRAM UANG KULIAH TUNGGAL (UKT)..

PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING DI

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui biaya transportasi dengan metode transportasi yang digunakan PT Hanin Nusa Mulya, menghitung biaya transportasi PT Hanin Nusa

Perkembangan Angka Putus Sekolah/ Trend of Drop-Outs. Perkembangan Angka Mengulang/ Trend of Repetition Rate. Perkembangan Angka Lulusan/ Trend of Completion Rate. Perkembangan

How learners reach the different levels depends on many factors, including teaching methodology, students’ motivation, their reason or purpose for learning, the course book

Sentriol adalah organel yang berperan penting dalam pembelahan sel melalui proses yang disebut mitosis.. Sentriol hanya ditemukan pada

Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut (DPRP), adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua sebagai Badan Legislatif Daerah Provinsi Papua. Sebagai