commit to user
(Studi Kasus SMA Muhammadiyah I danMA Muallimin Yogyakarta)
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Sejarah
TESIS
Oleh K u s w o n o S861102015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
PROGRAM PAS CASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
xvi
Kuswono. 2012. S861102015. Pendidikan Karakter di Sekolah Islam (Studi
Kasus SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta). Tesis.
Pembimbing I Prof. Dr. Husain Haikal, MA., Pembimbing II: Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman guru mengenai pendidikan karakter, sumber-sumber pendidikan karakter, penerapan dan pengamalan (aktualisasi) nilai-nilai pembentuk karakter di sekolah Islam. Penelitian dilaksanakan di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta dan MA Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Bentuk penelitian adalah kualitatif deskriptif, dengan strategi studi kasus tunggal terpancang. Penelitian ini menggunakan teknik cuplikan yakni purposive
sampling atau criterion-based selection. Pengumpulan data dilakukan melalui
observasi langsung, wawancara mendalam dan pencatatan dokumen. Untuk mengetahui kesahihan (validitas) data dilakukan dengan triangulasi yaitu triangulasi data, triangulasi metode, dan triangulasi teori. Analisis penelitian menggunakan model analisis interaktif yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pemahaman guru mengenai pendidikan karakter bersandar kepada ajaran-ajaran Islam untuk menciptakan manusia
ber-akhlaqul karimah. Sumber-sumber pendidikan karakter adalah al-Quran dan
sunah/hadis serta ijtihad. Penanaman nilai karakter dilakukan melalui pembelajaran di kelas, keteladanan para tokoh, guru, dan teman sebaya, pembiasaan berperilaku baik dengan adanya peraturan tata tertib, rapor kepribadian, dan ekstrakurikuler bidang keilmuan, keterampilan, olahraga, seni, dan keorganisasian. Bentuk pengamalan nilai-nilai pembentuk karakter lebih kepada kegiatan Islami seperti shalat berjamaah, membaca dan menghafal al-Quran, bakti sosial, aktif dalam kegiatan keorganisasian IPM, Hizbul Wathan, Tapak Suci. Kegiatan mubaligh intilan, mubaligh jumat, mubaligh hijarah, puasa, khutbah jumat, mengisi pengajian, dan upacara bendera. Kegiatan ini mencerminkan nilai religius, kerjasama, kepemimpinan, cinta tanah air, peduli sosial, peduli lingkungan, dan kreatif.
commit to user
xvii
Kuswono. 2012. S861102015. Character Education in Islamic Schools (A Case
Study on SMA Muhammadiyah I and MA Muallimin Yogyakarta). Thesis.
Consultant I: Prof. Dr. Husain Haikal, MA., II: Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. History Education Departement, Sebelas Maret University, Surakarta.
ABSTRACT
This research aims to find out the teacher’s perception on character education, sources of character education, character-building values application and actualization at Islamic schools. This research was conducted in SMA Muhammadiyah I and MA Muallimin Yogyakarta.
This study was a descriptive qualitative research with a single embedded case study. The data was collected using direct observation, in-depth interview and documentation. The data validation was done using triangulation method is data triangulation, methodological triangulation and theoretical triangulation. The analysis was done using an interactive model of analysis encompassing data collecting, data reduction, data display and conclusion drawing.
The result of research showed that teacher’s perception on character education relied on Islamic precepts to create akhaqul karimah-human beings. The sources of character education included al-Quran and Sunah/Hadis as well as ijtihad. The character value implantation was carried out through learning in the classroom, precedents from figures, teachers and peers, well-behaving familiarization in the presence of rule and order, personality report, and extracurricular activities in knowledge, skill, sport, art, and organization fields. The form of character-building values actualization emphasized more on the Islamic activities such as collectively shalat, reading and reciting Quran, social service, participating actively in IPM, Hizbul Wathan, and Tapak Suci organizational activities. In addition, there were Mubaligh Intilan, Mubaligh Jumat, Mubaligh Hijarah, fasting, Friday sermon, becoming the orator in pengajian, and flag ceremony. Such these activities reflected on religious, cooperative, leadership, loving-to-homeland, social care, environmental care, and creative values.
commit to user i
PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH ISLAM
(Studi Kasus SMA Muhammadiyah I danMA Muallimin Yogyakarta)Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Sejarah
TESIS
Oleh K u s w o n o S861102015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
PROG RAM P ASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user ii
HALAMAN PERSETUJUAN
TESIS
PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH ISLAM
(Studi Kasus SMA Muhammadiyah Idan MA Muallimin Yogyakarta)
Disusun oleh
Kuswono
NIM. S861102015
Komisi
Pembimbing Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof. Dr. Husain Haikal, MA
NIP. 194409091970101001
... ...
Pembimbing II
Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd
NIP. 195603031986031001
... ...
Telah dinyatakan memenuhi syarat
Pada tanggal Juli 2012
Mengetahui
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Program PascaSarjana UNS
commit to user iii
HALAMAN PENGESAHAN
PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH ISLAM
(Studi Kasus SMA Muhammadiyah Idan MA Muallimin Yogyakarta)
TESIS
Sekretaris Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd
commit to user iv
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
1. Tesis yang berjudul: “Pendidikan Karakter di Sekolah Keagamman (Studi Kasus
di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta)” ini adalah karya
sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan
oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara
tertulis digunaan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber
acuan daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam
karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan
perundang-undangan (Permendiknas, No. 17 Tahun 2010).
2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain
harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS
sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester
(enam bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari
sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Program Studi Pendidikan Sejarah PPs
UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh
Program Studi Pendidikan Sejarah PPs UNS. Apabila saya melakukan
pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi
akademik yang berlaku.
Surakarta, 16 Juli 2012 Mahasiswa,
Kuswono
commit to user v
HALAMAN MOTTO
“Orang Mukmin yang Paling Sempurna Imannya adalah yang Paling Baik
Akhlaknya
“
(HR. Tirmizi)“
Iman seseorang tidak akan diterima tanpa disertai amal perbuatan, begitu juga
amal perbuatan tidak akan diterima tanpa adanya iman
“(HR. At-Tabrani)
“Jalan hidup yang terjal menuntun kepada kematangan jiwa,
getaran hati nurani sebagai petunjuk Ilahi”
commit to user vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
commit to user vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
serta inayah-Nya sehingga dapat diselesaikannya tesis ini. Banyak pihak secara
langsung ataupun tidak langsung memberikan bantuan dalam terselesaikannya tesis
ini. Dalam kesempatan baik ini, ucapan terima kasih diberikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan izin dalam penyusunan tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ahmad Yunus, MS., selaku Direktur Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penyusan tesis ini.
3. Bapak Dr. Hermanu Joebagio, M. Pd., selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
sekaligus sebagai pembimbing kedua yang bersedia meluangkan waktu untuk
membimbing dan memberikan saran-saran dalam penyusunan tesis ini.
4. Bapak Prof. Dr. Husain Haikal, MA., selaku pembimbing pertama yang tidak
henti-hentinya memberikan dorongan, nasehat dan saran-saran dalam
penulisan tesis ini.
5. Bapak Tri Ismu Husnan Purwono, S.H., selaku kepala SMA Muhammadiyah I
Yogyakarta yang telah memberi izin penelitian guna menyelesaikan
penyusunan tesis ini.
6. Bapak M. Ikhwan Ahada, MA., selaku direktur Madrasah Muallimin
Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberi izin penelitian guna
commit to user viii
7. Ibu dan Bapak Guru SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin
Muhammadiyah Yogyakarta yang telah bersedia membantu dalam
pengumpulan data guna penyusunan tesis ini.
8. Siswa SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Muhammadiyah
Yogyakarta yang telah bersedia membantu proses pengumpulan data dalam
penyusunan tesis ini.
9. Para Guru dan Dosen yang telah mendidik peneliti dengan penuh kesabaran,
dari semenjak SD, SMP, SMA sampai sekarang di perguruan tinggi, terima
kasih atas semua ilmu yang telah diberikan.
10. Teman-teman kelas Pendidikan Sejarah PPs UNS angkatan 2011, terima kasih
atas semangat dan kerjasamanya.
11. Ibunda dan ayahanda di rumah terima kasih atas jerih payah, dorongan, dan
doa yang selalu dicurahkan kepada peneliti.
Mengingat keterbatasan tenaga dan ilmu yang dimiliki masih terdapat banyak
kekurangan dalam penulisan tesis ini. Kritik dan saran yang bersifat membangun
selalu diharapkan untuk memperbaiki tesis ini.
Surakarta, Juli 2012
Peneliti
commit to user
ix
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
PERSETUJUAN ... ii
PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
DAFTAR ISTILAH ... xiv
ABSTRAK ... xvi
ABSTRACT ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 11
BAB II LANDASAN TEORI ... 13
commit to user
x
1. Kajian Teori ... 13
a. Pengertian Karakter, Akhlak, Moral, dan Etika ... 13
b. Pengertian Pendidikan Karakter ... 29
c. Karakteristik Siswa SMA/MA (Usia Remaja) ... 45
d. Pendidikan Islam Pola Pembaruan ... 51
2. Penelitian yang Relevan ... 61
B. Kerangka Pikir Penelitian... 63
BAB III METODE PENELITIAN ... 66
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 66
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 66
C. Data dan Sumber Data ... 66
D. Teknik Sampling ... 67
E. Teknik Pengumpulan Data ... 68
F. Kesahihan (Validitas) Data ... 70
G. Teknik Analisis Data ... 71
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73
A. Hasil Penelitian ... 73
1. Lokasi SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta 74 a. SMA Muhammadiyah I Yogyakarta ... 74
b. MA Muallimin Yogyakarta ... 80
2. Sajian Data ... 84
commit to user
xi
b. Al-Quran dan Al-Hadis: Sumber Pendidikan Karakter di
SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta .... 89
c. Penanaman Nilai Pembentuk Karakter di Siswa SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta ... 93
1) Proses Pembelajaran di Kelas ... 102
2) Pembiasaan Berperilaku Baik ... 107
3) Keteladanan ... 112
4) Budaya Sekolah ... 119
5) Kegiatan Ekstrakurikuler (Pengembangan Diri) ... 123
d. Pengamalan (Aktualisasi) Nilai Pembentuk Karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogakarta ... 128
e. Kekhasan penanaman Pendidikan karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Yogyakarta ... 132
B. Pokok-Pokok Temuan Penelitian ... 137
C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 134
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 210
A. Simpulan ... 210
B. Implikasi ... 212
C. Saran ... 218
DAFTAR PUSTAKA ... 220
commit to user
xii
DAFTAR TABEL
1. Daftar Asrama Siswa Madrasah Muallimin Yogyakarta ... 82
2. Kegiatan Pembelajaran dan Nilai Pembentuk Karakter ... 140
3. Proses Penerapan Nilai-Nilai Pembentuk Karakter di SMA
Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta ... 156
4. Proes Pendidikan dalam Wahana Sekolah, Keluarga dan Masyarakat ... 158
5. Kegiatan dalam Proses Pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1
Yogyakarta dan Muallimin ... 161
commit to user
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pelaksanaan Penelitian dan Penyusunan Laporan Penelitian ... 228
2. Pedoman Observasi dan Wawancara ... 229
3. Catatan Lapangan Hasil Wawancara dan Observasi ... 230
4. Silabus dan RPP SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta 246 5. Lembar Penilaian Kepribadian Siswa ... 270
6. Struktur Kurikulum SMA Muhammadiyah I dan MA Muallimin Yogyakarta ... 280
7. Peta Tempat Penelitian ... 289
8. Foto Dokumentasi Penelitian ... 292
9. Surat Izin Penelitian ... 303
commit to user
xiv
DAFTAR ISTILAH
Akhlaq al-Karimah Sifat dan sikap yang baik sesuai dengan ajaran Islam.
Amanah Dapat dipercaya
Amar Maruf Melakukan yang baik
Balaghah Teknik penyampaian, digunakan untuk menunjukan suatu
ilmu yang berhubungan dengan seluk beluk menyusun suatu kalimat yang singkat, padat dan menarik
Emgain (m3in) Sebutan untuk Madrasah Muallimin Muhammadiyah
Yogyakarta.
Fathanah Cerdas, pandai.
Fatwa Nasihat keagamaan yang diberikan seorang alim.
Hizbul Wathan Organisasi kepanduan bagian dari organisasi Muhammadiyah
Ijtihad Berfikir secara mendalam dengan menggunakan metode dan
syarat-syarat tertentu.
IPM (Ikatan Pelajar Muhammdiyah) suatu organisasi otonom di bawah naungan Muhammadiyah sebagai wadah para siswa Muhammadiyah berlatih mengelola organisasi
Mubaligh Hijrah Berdakwah/Menyebarkan ajaran Islam ke tempat/daerah lain.
Mubaligh Jumat Berdakwah yang dilakukan setiap hari Jumat (waktu libur
sekolah untuk Muallimin).
Mubaligh/Kader Intilan Santri yang ikut berdakwah dengan tujuan untuk mempelajari
cara-cara berdakwah.
Muhi Sebutan untuk SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta
Mukmin Muttaqin
Orang Islam yang beriman.
Sebutan untuk orang yang bertakwa ( berasal dari kata taqwa)
Musyrif Guru/ustadz/pendidik yang telah ditugaskan di lingkungan
asrama untuk membantu pimpinan (pamong/bapak) asrama dalam membina para siswa.
Nahi munkar Menjauhi atau mencegah hal yang buruk.
Osis Organisasi Siswa Intra Sekolah
PERC (Political and Economic Risk Consultancy)
Pesantren Suatu lembaga pendidikan Islam dengan menitikberatkan
kepada pelajaran Islam secara mendalam.
Santri Sebutan bagi orang Islam yang taat menjalankan syariat
Islam.
Sidiq Jujur, benar (sifat yang dimiliki para Rasul Allah).
Sunah/Hadis 1. Sesuatu hukum yang berasal dari Nabi Saw yang tidak
termasuk fardlu(wajib).
commit to user
xv
ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi, baik pada masa sebelum kenabian maupun sesudahnya.
Tabligh Berdakwah menyampaikan ajaran Islam.
Tahfidz Menghafal al-Quran.
Taklid Menerima pendapat seseorang alim dalam masalah agama
tanpa menujukkan dalil dari al-Quran dan Hadis.
Ta’dib Usaha menciptakan keadaan (situasi) untuk mendorong jiwa
dan hati manusia berprilaku beradab sesuai dengan harapan yang diinginkan
Ta’lim Pengajaran, atau suatu proses pembelajaran terus menerus
sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi indera sampai akhir usia
Tarbiyah Proses pendidikan yang mempunyai tujuan, sasaran dan target
dengan memasukan ajaran Tuhan (Allah) sebagai sumber pendidikan melalui langkah-langkah yang sistematis dalam berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran.
Taushiyah Pengajian (siraman rohani) dari para kiai mengenai ajaran
agama (Islam).
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan di Indonesia saat ini sedang mengalami masa peralihan, mencari
bentuk baru untuk mencapai pendidikan yang lebih demokratis. Peralihan dalam
sistem pendidikan merupakan suatu keharusan dengan adanya kenyataan
pendidikan banyak dipengaruhi oleh nuansa politik yang bersifat memusat.
Pendidikan yang semula dikelola secara memusat bergerak menuju sistem
pengelolaan yang bersifat mandiri (Zamroni, 2006: 114). Hal itu merupakan jalan
untuk mencapai fungsi dan tujuan pendidikan sesuai dengan undang-undang
nomor 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional yakni sebagai
berikut.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Upaya tersebut merupakan sebuah penerapan dari amanat pembukaan UUD
1945 yang berbunyi “. . . mencerdaskan kehidupan bangsa . . . .” dan demi
tercapainya cita-cita nasional yang ideal. Fungsi dan tujuan pendidikan akan
tercapai apabila pendidikan benar-benar dikelola dan diterapkan dengan sungguh
kepada siswa. Langkah awal yang harus dilakukan pihak pemerintah adalah
mencari strategi yang cocok untuk mencapai cita-cita dan tujuan pendidikan
commit to user
nasional dengan berlandaskan Pancasila. Ironisnya Pancasila sebagai salah satu
acuan bidang pendidikan, bidang ekonomi, sosial-politik, budaya dan acuan
pembentuk karakter bangsa tidak mampu diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila hanya dijadikan sebagai perbincangan tanpa diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari, akibatnya nilai-nilai itu terasing dan mudah sekali
terlupakan. Mati surinya nilai-nilai Pancasila sepertinya menjadi salah satu
penyebab bobroknya mental bangsa. Kenyataan ini semakin menambah citra
buruk terhadap dunia pendidikan Indonesia karena nilai-nilai Pancasila erat
kaitannya dengan pendidikan. Di balik pembenahan pendidikan yang dilakukan
terus menerus, namun tampaknya hasil yang diinginkan belum juga terwujud.
Peralihan pengelolaan dari pusat ke pengelolaan pendidikan secara mandiri masih
sedikit pengaruhnya untuk kemajuan dalam bidang pendidikan. Harus diakui
memang sulit membenahi bangsa yang telah terperosok terlalu dalam, ditambah
lagi korupsi yang merajalela secara tidak langsung terus menghantam sistem
pendidikan Indonesia.
Survei PERC (Political and Economic Risk Consultancy) mengenai skor
korupsi di Asia Tenggara pada tahun 2006 menempatkan Indonesia sebagai
negara terkorup dengan skor 8.16 dalam rentan skor 1 sampai dengan 10 (Masnur
Muslich, 2011: 2). Hasil survei PERC dari tahun 2008 menyebutkan Indonesia
mencetak nilai 9,07 dari angka 10 (kompasiana.com., 10 Nopember 2011). Pada
tahun 2011 Busyro Muqodas menyatakan bahwa Indonesia masih menduduki
commit to user
korupsi dalam bidang pendidikan lebih dari Rp 204,2 miliar, bidang kesehatan
lebih dari Rp113,4 miliar, dan infrastruktur lebih dari Rp 597,5 miliar. Selain itu,
kehutanan lebih dari Rp 2,3 triliun, minyak dan gas lebih dari Rp 40,1 triliun,
keuangan daerah lebih dari Rp 1,3 triliun, dan perbankan lebih Rp 1,8 triliun.
Ditambahlagi saat ini sekitar Rp 50 triliun potensi kerugian negara dari kasus
korupsi pembayaran pajak (republika.co.id, 20 Juni 2012).
Berita lain yakni dari Organisasi Fund for Peace, mereka merilis indeks
terbaru mengenai Failed State Index (indek negara gagal) tahun 2012 Indonesia
berada di posisi 63 tahun 2011 berada pada posisi 64. Sementara negara nomor 1
yang dianggap gagal adalah Somalia. Fund for Peacemenggunakan indikator dan
subindikator, salah satunya indek persepsi korupsi sebagai alat pengukur untuk
membuat indeks Failed State Index. Keterangan dalam vivanews.com hari Kamis
21 Juni 2012 menyatakan bahwa dari 182 negara, Indonesia berada di urutan 100
untuk urusan indeks korupsi. Indonesia hanya berbeda 82 dari negara paling korup
berdasarkan indeks lembaga ini, yakni Somalia. Negara yang dianggap paling
baik adalah New Zealand.
Hasil survei PERC dalam hal pendidikan menyatakan bahwa dari 12 negara
Asia yang disurvei PERC, sistem pendidikan Indonesia menempati posisi
terburuk. Peringkat terbaik diduduki oleh Korea Selatan, kemudian Singapura,
Jepang, Taiwan, India, Cina, dan Malaysia. Indonesia menempati peringkat ke-12
setingkat di bawah Vietnam (Masnur Muslich, 2011: 2). Berdasarkan data dalam
Education for All (EFA) Global Monitroring Report yang dikeluarkan UNESCO
commit to user
pendidikan Indonesia berada pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei. Tahun
sebelumnya (2010) dengan ukuran yang sama, peringkat Indonesia berada pada
urutan 65 ( www.murdijarahardjo.com, diakses pada 20 Juni 2012).
Jelas dari data hasil survei tersebut menunjukan betapa hancurnya karakter,
moralitas, dan semakin terpuruknya pendidikan bangsa ini. Kondisi seperti ini
lambat laun akan menghancurkan seluruh potensi yang dimiliki bangsa Indonesia.
Tanpa memandang remeh bagian lain, sektor pendidikan yang seharusnya mampu
memcahkan masalah ini, namun kendalanya prestasi pendidikan Indonesia
ternyata tidak terlalu membanggakan. Pembenahan pendidikan selama ini belum
menunjukan hasil yang memuaskan.
Tampaknya sistem pendidikan di Indonesia selama ini masih belum
mempunyai rumusan yang tepat untuk mengangkat dari lembah keterpurukan.
Padahal berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk memajukan
pendidikan. Perombakan sistem pendidikan nasional tentu dimaksudkan untuk
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Berbagai hal yang bersangkutan
dengan pendidikan dibenahi, kurikulum diganti, guru-guru dan pengelola
pendidikan diberi penataran, sistem pembelajaran diperbarui, sebagai upaya
meningkatkan mutu pendidikan. Hanya saja hasil yang dicapai belum
menggembirakan. Bahkan Arif Rachman mengatakan bahwa pendidikan di
Indonesia telah gagal membangun akhlak dan moral bangsanya. Masyarakat dan
pemerintah Indonesia telah kehilangan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat
commit to user
Rusaknya akhlak semakin hari cenderung meningkat, sepertinya bangsa
Indonesia mengalami penurunan moral yang begitu parah. Tekanan budaya luar
begitu kuat, sehingga mempengaruhi bahkan membentuk perilaku yang jauh dari
jati diri dan kepribadian bangsa. Hilangnya jati diri bangsa salah satunya karena
pendidikan terlalu menekankan pada sisi pengetahuan saja. Kemampuan
seseorang hanya diukur dengan tingginya kecerdasan intelektual (Intellectual
Quotient), nilai rapor, dan ujian. Akibatnya banyak orang pandai tetapi emosinya
tidak terkendali bahkan justru menjadi pengacau karena nilai-nilai yang
ditanamkan melalui pendidikan lebih banyak pada tataran pengetahuan saja.
Nilai pengetahuan (kognitif) dalam proses pembelajaran terlalu ditonjolkan
dalam pendidikan, sementara nilai sikap (afektif) dan nilai perilaku
(psikomotorik) kurang diperhatikan. Orientasi yang berlebihan terhadap ranah
pengetahuan membuat siswa berusaha mati-matian untuk mendapatkan nilai ujian
yang tinggi sedangkan mutu dan nilai moralnya serta kepribadiannya tidak
diperhatikan (Paul Suparno, 2001: 28). Sehingga pendidikan tidak menghasilkan
manusia-manusia yang andal, bahkan tidak jarang siswa tetap mempunyai
karakter yang memprihatinkan.
Keprihatinan itu mencoba dijawab dengan adanya sebuah gagasan yakni
pendidikan karakter untuk membangun peradaban bangsa. Gagasan ini sebagai
langkah untuk menanamkan dan memperbaiki nilai moral dan karakter bangsa
melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut diangkat
sebagai solusi untuk memperbaiki kehidupan bangsa Indonesia jangka pendek,
commit to user
yang maju dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi dan
bidang yang lainnya dengan tetap menjunjung tinggi moralitas dalam
kehidupannya.
Muhammad Nuh mengatakan bahwa dunia pendidikan menjadi salah satu
harapan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa sehingga masyarakat
mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan
demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan
bersama. Pendidikan karakter untuk membangun karakter bangsa menjadi penting
dan mutlak untuk menjadikan bangsa yang demokratis, cerdas, mempunyai budi
pekerti dan sopan santun (Muhammad Nuh, 2 Mei 2011) sehingga keberadaannya
sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya sendiri maupun
masyarakat pada umumnya.
Rancangan pendidikan karakter juga telah mendapat perhatian dari Susilo
Bambang Yudhoyono. Presiden RI periode 2009-2014 ini menyebutkan lima pilar
dalam pendidikan karakter yang harus dibangun yakni pertama, manusia
Indonesia harus bermoral, berakhlak, dan berperilaku baik. Kedua, bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan rasional, berpengetahuan dan memiliki
daya nalar tinggi. Ketiga, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mampu
menciptakan pembaruan dan mengejar kemajuan serta bekerja keras mengubah
keadaan. Keempat, memperkuat semangat harus bisa, seberat apapun masalah
yang dihadapi jawabannya selalu ada. Kelima, manusia Indonesia harus menjadi
commit to user
Rajasa dalam Masnur Muslich (2011: viii) terdapat tiga hal pokok dalam
pembinaan karakter bangsa yakni sebagai berikut.
1. Pendidikan sebagai arena menghidupkan kembali karakter luhur bangsa
Indonesia yang memiliki karakter cinta tanah air, kepahlawanan, dan berani
menghadapi tantangan.
2. Pendidikan sebagai sarana untuk membangkitkan karakter bangsa yang dapat
mempercepat pembangunan untuk meningkatkan daya saing.
3. Pendidikan sebagai sarana untuk menghidupkan kembali karakter luhur dan
menumbuhkan karakter yang baru untuk bersaing dalam sendi-sendi
kehidupan berbangsa menghadapi tantangan.
Tidak dapat dipungkiri pendidikan merupakan salah satu bagian yang
bertanggung jawab untuk melahirkan warga negara Indonesia yang berkarakter
kuat sebagai modal dalam pembangunan peradaban tinggi dan unggul. Karakter
yang kuat merupakan produk pendidikan yang bermutu, ketika sebagian besar
karakter masyarakat kuat dan baik, maka peradaban dapat dibangun dengan baik
pula. Sebaliknya jika sebagian besar karakter masyarakat buruk dan lemah akan
mengakibatkan peradaban yang dibangun menjadi keropos, karena karakter
bangsa sebagai landasan untuk membangun peradaban tidak dalam keadaan baik.
Penanaman nilai karakter dapat dilakukan dalam berbagai segi kehidupan.
Di dalam dunia pendidikan nilai-nilai pembentuk karakter dapat diterapkan
melalui setiap mata pelajaran. Proses pembelajaran tidak hanya menyampaikan
materi pelajaran sebagai pengetahuan, melainkan mendidik siswa sampai kepada
commit to user
setiap mata pelajaran. Setiap materi pembelajaran yang disampaikan harus
menyampaikan nilai karakter yang terkandung dalam materi tersebut atau
setidaknya yang mempunyai hubungan dengan materi yang disampaikan.
Pendidikan karakter yang dimasukan dalam setiap pelajaran diharapkan
mampu menciptakan manusia-manusia yang mempunyai moralitas baik dan
berwawasan kebangsaan serta mempunyai patriotisme yang tinggi terhadap
negara. Tentunya pendidikan karakter akan tercapai dalam setiap pembelajaran
apabila seluruh unsur dalam pembelajaran terpenuhi. Unsur pokok pembelajaran
seperti guru, siswa, sarana dan prasarana dalam proses pembelajaran dan budaya
lingkungan harus saling mendukung.
Selain di sekolah negeri milik pemerintah, pendidikan karakter diterapkan
juga di sekolah berbasis keagamaan (Islam). Sekolah seperti ini tentunya memiliki
kekhasan dalam kurikulum pembelajarannya, pendidikan keagamaan (Islam)
mempunyai bagian lebih banyak dibandingkan dengan sekolah umum lainnya.
Pelajaran seperti pelajaran akidah, akhlak, tafsir, al-Quran, Hadis, dan sebagainya
diajarkan di sekolah Islam di samping ilmu-ilmu umum lainnya. Tentu hal
tersebut akan mempengaruhi dan memberi warna yang berbeda terhadap pola
pembentukan karakter kepada siswa.
Penelitian ini akan mencoba melihat penerapan pendidikan karakter di
sekolah Islam yang difokuskan dalam proses pembelajaran, budaya sekolah dan
pengembangan diri siswa di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin
Yogyakarta. Latar belakang berdirinya pendidikan Muhammadiyah dan
commit to user
pembaharuan yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Susunan kurikulum, visi
dan misi pendidikan, lingkungan, budaya sekolah dan pengembangan diri di SMA
Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogakarta tentu akan menghasilkan
karakter yang unik. Apalagi keduanya merupakan sekolah Islam yang memadukan
antara unsur keislaman dengan unsur kemutakhiran di bawah payung
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam berpandangan pembaruan yang ikut
menggerakan perkembangan pendidikan di Indonesia.
Penelitian ini akan menarik karena sekolah-sekolah Islam di atas mencoba
memadukan ajaran-ajaran Islam pola pembaruan dengan ilmu-ilmu umum yang
dikemas dalam sebuah pengelolaan mutakhir dengan tujuan membumikan
kembali kemurnian nilai-nilai agama (Islam) tanpa mengenyampingkan kemajuan
ilmu pengetahuan lainnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasar pada kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa tahun
2010-2025 dengan bertujuan untuk membina dan mengembangkan karakter
warga negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan
Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kebijakan pemerintah mengenai penerapan pendidikan karakter dalam
setiap mata pelajaran merupakan tugas baru bagi para pendidik. Tentunya
commit to user
Untuk mengetahui penerapan pendidikan karakter maka akan dilakukan
penelitian di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta sebagai
sekolah yang mempunyai kesamaan latar belakang keagamaan sekaligus
mempunyai organisasi induk yang sama yakni Muhammadiyah. Sebagai
organisasi Islam yang begitu berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia
Muhammadiyah mempunyai komitmen untuk menciptakan manusia yang
mempunyai akhlak terpuji (karakter baik). Sebagaimana yang telah dipaparkan di
atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut di bawah ini.
1. Bagaimana pemahaman guru mengenai pendidikan karakter di SMA
Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta?
2. Apa sumber pendidikan karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA
Muallimin Yogyakarta?
3. Bagaimana proses penanaman nilai karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan
MA Muallimin Yogyakarta?
4. Bagaimana pengamalan (aktualisasi) nilai-nilai pembentuk karakter pada
siswa di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta?
5. Bagaimana kekhasan dalam penanaman pendidikan karakter di SMA
Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas penelitian ini mempunyai target yang
hendak dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni ingin
commit to user
Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta. Selain dari itu, Tujuan lain
dari penelitian ini adalah sebagai berikut di bawah ini.
1. Memperoleh gambaran pemahaman guru di SMA Muhammadiyah 1 dan MA
Muallimin Yogyakarta mengenai pendidikan karakter.
2. Mendapatkan gambaran mengenai sumber-sumber dalam penerapan
pendidikan karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin
Yogyakarta.
3. Mendeskripsikan dan menganalisis (persamaan, perbedaan, dan kekhasan)
penerapan nilai-nilai karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin
Yogyakarta.
4. Memperoleh pemahaman mengenai pengamalan (aktualisasi) pendidikan
karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta.
5. Menggambarkan persamaan, perbedaan, dan khasan penanaman pendidikan
Karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai pendidikan karakter di SMA Muhammadiyah 1 dan
MA Muallimin Yogyakarta yang merupakan sekolah yang mempunyai latar
belakang keagamaan tentunya mempunyai menfaat dan kegunaan. Manfaat itu
diantaranya sebagai berikut di bawah ini.
1. Dapat dijadikan model atau bahan koreksi dan evaluasi mengenai
implementasi pendidikan karakter di sekolah.
2. Untuk memahami sumber-sumber pembentuk karakter pada siswa di SMA
commit to user
3. Sebagai tolak ukur mengenai kualitas pembelajaran, kekhasan dalam
penanaman pendidikan karakter di sekolah Islam, dan pengamalan nilai
karakter dalam kehidupan.
4. Untuk memahami dengan jelas mengenai pengamalan (aktualisasi) nilai-nilai
pembentuk karakter pada siswa SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin
Yogyakarta.
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kajian Teori
Menarik untuk dikaji mengenai istilah pendidikan karakter yang belakangan
ini menjadi topik perbincangan. Adakah persamaan, ataukah berbeda dengan
akhlak sebagai ciri khas dalam sekolah Islam? Sebagian orang merasa bingung
mengenai arti dan pemaknaan dari pendidikan karakter, dan akhlak. Terkadang
kata-kata tersebut diartikan sama oleh salah satu pihak dan diartikan berbeda oleh
pihak lain. Pendidikan karakter dan akhlak akan dijadikan sebagai suatu kajian
untuk mencari arti istilah dari keduanya, ditambah dua istilah lain yakni moral dan
etika.
Karakter sebagai kesatuan dari berbagai perilaku yang telah terbiasa,
dilakukan secara alamiah (tanpa tekanan) serta menjadi ciri khas dalam diri
manusia. Sementara istilah akhlak juga merujuk kepada perilaku dalam diri
manusia. Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan dikemukakan mengenai
pengertian karakter, akhlak, moral, dan etika dari berbagai pendapat. Kemudian
akan dilanjutkan mengenai konsep pendidikan karakter, dan akan dibahas juga
mengenai karakteristik siswa SMA/MA yang rata-rata berada dalam usia remaja
serta pendidikan Islam yang cenderung terkait dengan istilah akhlak.
a. Pengertian Karakter, Akhlak, Moral, dan Etika
Sebelum membahas mengenai pendidikan karakter tentunya akan lebih baik
jika mengetahui mengenai pengertian dari karakter. Karakter dalam kajian ini
commit to user
mempunyai arti sebagai karakter pada diri manusia. Karakter manusia tentunya
tidak akan terlepas dari etika maupun moral sebagai nilai dan norma yang ada
dalam kehidupan masyarakat. Moral merupakan salah satu bagian dari pembentuk
karakter manusia. Thomas Lickona selalu mengkaitkan tiga komponen karakter
dengan moral yakni pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral
feeling) dan perilaku moral (moral action).
Karakter berasal dari kata Character (Inggris), Charassein yang artinya
mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan, sehingga karakter merupakan
perpaduan tabiat manusia yang bersifat tetap dan menjadi ciri khusus pada diri
seseorang (Haedar Nasir, 2011: 13). Menurut Victor Battistich (2005:3) karakter
adalah perwujudan dari perkembangan perilaku baik seseorang sebagai pribadi
intelektual, sosial, emosional, dan etis. Istilah karakter itu sendiri sedikitnya
memuat dua hal yakni nilai-nilai (values) dan kepribadian. Suatu karakter
merupakan cerminan dari nilai melekat dalam sebuah perilaku manusia. Karakter
yang baik pada gilirannya adalah suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang
dimiliki oleh orang atau sesuatu, sebagai sesuatu yang asli bukan sekadar
kepura-puraan. Dari hal ini, maka kajian pendidikan karakter akan bersentuhan dengan
wilayah filsafat moral atau etika yang bersifat umum, seperti kejujuran, tanggung
jawab, disiplin dan lain sebagainya. Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai
menjadi upaya yang gamblang mengajarkan nilai-nilai, untuk membantu siswa
mengembangkan kemampuannya dalam bertindak dengan cara-cara yang baik.
Said Ahmad Hasan (2010: 3) mengatakan dalam bukunya yang berjudul
commit to user
karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk
dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan
terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat
dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Karakter merupakan modal membangun
peradaban tingkat tinggi, masyarakat yang memiliki sifat jujur, mandiri, bekerja
sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos kerja
tinggi akan menghasilkan sistem kehidupan sosial yang teratur dan baik. Peran
pendidikan dalam hal ini yakni membentuk tatanan kehidupan yang penuh
peradaban yang saling menghargai satu dengan yang lainnya menuju pada
keharmonisan dalam kehidupan (Sabar Budi Raharjo, 2010: 230).
Menurut Simon Philips sebagaimana yang dikutip oleh Education Center
UNY, mengatakan bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada
suatu sistem yang melandasi pada suatu pemikiran, sikap dan perilaku yang
ditampilkan. Karakter berarti jati diri seseorang yang meliputi keseluruhan sikap
atau tingkah laku seseorang yang dapat dikenali dalam berbagai situasi. Karakter
adalah sifat seseorang yang sangat menonjol sehingga merupakan ciri khas (trade
mark) orang tersebut (Educational Center BEM REMA UNY, 2011: 7-8).
Amitai Etzioni sebagaimana yang dipaparkan Daniel Goleman bahwa
karakter adalah bakat psikologis yang dibutuhkan oleh perilaku moral. Goleman
mengatakan bahwa karakter adalah kumpulan keterampilan yang terdapat dalam
kecerdasan emosional (Daniel Goleman, a.b., T., Hermaya, 2003: 406).
commit to user
demokratis, pekembangan karakter dilandasi oleh kecerdasan emosional dengan
beberapa tahap. Tahap pertama adalah disiplin diri, kehidupan yang penuh
keutamaan, dan pengendalian diri. Tahap kedua yang berkaitan dengan karakter
yakni kemampuan mendorong dan membimbing diri sendiri, mempunyai rasa
empati, toleransi dan kemampuan menerima perbedaan. Kemampuan ini sangat
dibutuhkan dalam masyarakat yang beraneka ragam sehingga memungkinkan
hidup rukun (Daniel Goleman, a.b., T., Hermaya, 2003: 407).
Doni Koesoema (2010:104) mendefinisikan karakter sebagai kepribadian.
Kepribadian sebagai ciri dan karakteristik atau gaya, sifat khas dari seseorang
yang bersumber dari bentukan yang diterima dari lingkungan (Educational Center
BEM REMA UNY, 2011: 7-8). Gordon Allport mengartikan kepribadian sebagai
suatu organisasi dimanis dalam individu sebagai sistem psikofisik yang
menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan
(Inge Hutagalung, 2007: 2). Woodworth mengartikan kepribadian sebagai kualitas
tingkah laku total individu, begitu juga Derlega, Winstead dan Jones
mengungkapkan bahwa kepribadian sebagai sistem yang relatif stabil mengenai
karakterisrik individu yang bersifat internal, yang berpengaruh terhadap pikiran,
perasaan dan tingkah laku yang relatif tetap (Syamsu Yusuf LN dan Achmad
Juntika Nurihsan, 2008: 3).
Struktur kepribadian terdiri dari tiga sistem yakni id, ego dan superego.
Ketiganya menjadi penyusun terbentuknya kepribadian seseorang. Id (naluri)
sebagai sistem penyusun kepribadian bawaan dan asli dimiliki oleh setiap orang
commit to user
kesenangan, kepuasaan kebutuhan naluriah. Ego sebagai bagian dari kepribadian
yang memiliki hubungan dengan dengan dunai nyata. Ego yang mengendalikan,
memerintah dan mengatur bagi id dan superego. Ego bersifat realistis, menjadi
penghubung antara naluri dengan lingkungan sekitar. Sedangkan Superego
sebagai cabang moral atau hukum dalam kepribadian yang menilai suatu
perbauatn baik atau buruk, baoleh atau tidak boleh. Superego berfungsi
menghambat id. Superego berkaitan dengan imbalan, hukuman, perasaan bangga,
perasaan berdosa dan rendah diri (Gerald Corey, 1999: 14-15).
Dalam Islam, kepribadian dikenal dengan istilah Syakhshiyah sebagai
kesatuan sistem kalbu, akal dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku
(Syamsu Yusuf LN & A. Juntika Nurihsan, 2008: 212). Isjoni mengungkapkan
kepribadian sebagai keseluruhan dari seseorang yang terdiri dari unsur fisik dan
kejiwaan secara sadar (Abdul Majid & Dian Andayani, 2011: 99). Kesamaan
konsep antara kepribadian dengan karakter terletak pada pengaruh yang diberikan
olah keduanya yakni pengaruh terhadap pikiran, perasaan dn perilaku serta sifat
dari keduanya yang sama-sama terpatri dalam diri seseorang. Inilah yang menjadi
alasan kepribadian disamakan dengan konsep karakter.
Doni Koesoema sebagai orang yang setuju dengan kesamaan konsep antara
kepribadian dan karakter menyatakan karakter merupakan sebuah kondisi dinamis
stuktur antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas determinisme
kodratinya, melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral
mangatasi determinisme alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya
commit to user
yang sifatnya stabil dan dinamis untuk senantiasa berkembang maju mengatasi
kekuarangan dan kelamahan dirinya (Doni Koesoema A, 2010: 104). Dengan
demikian ada keterkaitan antara akhlak dengan karakter pada diri manusia.
Menurut Al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Mustakim mengatakan
akhlak adalah (sifat atau keadaan) dari pelaku yang tetap dan meresap dalam jiwa,
daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan mudah dan wajar tanpa
memerlukan pikiran dan pertimbangan. Sedangkan akhlak merupakan bentuk
jamak dari khulq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Khulq memiliki akar kata yang sama dengan Khaliq (Pencipta) dan makhluq
(yang diciptakan) berasal dari kata khalaqa yang artinya menciptakan (Abdul
Karim, 2007: 34).
Abuddin Nata menyatakan Akhlak (akhlaq) kerasal dari kata khilaqunatau
khuluqun yang berhubungan serta dengan khaliq dan mahluq. Dalam bahasa
Yunani akhlak sering disebut dengan ethick yang berasal dari kata ethikos. Ethick
sejajar juga dengan moral, dalam bahasa Latin berasal dari kata mores yang
mengandung arti tabiat, adat istiadat, atau budi pekerti (Abuddin Nata, 2000: 35).
Ibnu Misakawaih mengartikan akhlak sebagai keadaan jiwa yang mendorong
melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pemikiran dan
pertimbangan-pertimbangan (Abuddin Nata, 2000: 36).
Hakikat akhlak menurut Ghazali ada dua syarat yakni suatu perbuatan
dilakukan dengan terbiasa bahkan berulang-ulang dilakukan. Syarat kedua adalah
perbuatan yang dilakukan harus tumbuh dengan mudah tanpa adanya
commit to user
perbuatan itu baik menurut akal pikiran, norma dan hukum maka dinamakan
akhlak baik dan bila menimbulkan perbuatan yang jelek maka disebut akhlak
yang buruk (Mustaqim dalam Ruswan Thoyib dan Darmu’in (penyunting), 1999:
87). Pendapat Ghazali tentang pengertian akhlak hampir serupa dengan pengertian
karakter menurut Ibrahim Anis.
Menurut Ibrahim Anis akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa,
yang dengannya lahir bemacam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Senada dengan Ibrahim Anis, Abdul
Karim Zaidan akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa
yang dengan sorotan dan pertimbangannya seseorang dapat menilai perbutannya
baik atau buruk untuk kemudian melakukan dan meninggalkannya. Sementara itu,
Anis Matta mendefinisikan akhlak (karakter) sebagai nilai-nilai dan pemikiran
yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa lalu terlihat dalam
tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, alami, dan reflek (Dwi Budiyanto, 2011:
82-83).
Ahmad Amin akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Pendapat Ahmad
Amin diperjelas oleh Abuddin Nata yang mengartikan akhlak sebagai perbuatan
yang sudah menjadi kebiasaan, mendarah daging dan dilakukan secara terus
menerus tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran terlebih dahulu (Abuddin
Nata, 2000: 36). Stephen Covey mengemukakan bahwa kebiasaan sebagai titik
pertemuan dari pengetahuan, keterampilan dan keinginan. Pengetahuan sebagai
pandangan mengenai apa yang harus dilakukan. Keterampilan sebagai cara
commit to user
(Aunurrahman, 2009: 123). Proses pembelajaran, adanya tata tertib, dan budaya di
sekolah merupakan bagian dari kegiatan yang memberikan pembiasaan untuk
berperilaku baik kepada siswa. Sedangkan menurut Farid Ma’ruf akhlak adalah
kehendak jiwa dilakukan dengan ringan, mudah, spontan, berkelanjutan.
Perbuatan tersebut bisa berbetuk perilaku buruk dan yang baik. Sebagai ukuran
baik buruknya akhlak adalah akal dan sariat agama (Islam) (Abuddin Nata, 2000:
36).
Pengertian-pengertian akhlak di atas pada intinya mempunyai pengertian
yang sama dengan pengertian karakter. Lebih lanjut Mami Hajaroh (2009: 88)
akhlak adalah suatu sifat yang melekat dalam jiwa dan menjadi kepribadian yang
memunculkan suatu perilaku yang spontan, mudah, tanpa rekayasa dan tanpa
memerlukan pemikiran. Menurut Yunahar Ilyas yang dikutip oleh Mami Hajaroh
(2009: 89-91) menerangkan bahwa Akhlak memiliki lima ciri yakni pertama,
akhlak rabbaniyakni ajaran akhlak yang bersumber pada al-Quran yang bertujuan
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Kedua, akhlak manusiawi yakni
ajaran akhlak dalam Islam yang sejalan dengan tuntunan fitrah manusia. Ketiga,
akhlak universal yakni akhlak yang mencakup segala aspek kehidupan manusia
baik dimensi vertikal maupun horisontal. Nilai akhlak ini bersifat umum dan
berlaku di manapun (Mami Hajaroh, 2009: 89-91).
Keempat, akhlak keseimbangan, yakni perilaku manusia yang mempunyai
dua kecenderungan yakni berlaku baik dan buruk. Kekuatan atau sifat baik
dikendalikan oleh hati nutani, dan akal. Kekuatan buruk dikendalikan oleh hawa
commit to user
keterbatasan manusia. Kenyataan bahwa manusia memiliki kelebihan dan
kekurangan, sehingga Islam memberikan kesempatan kepada manusia yang
melakukan kekeliruan untuk memperbaiki diri dengan bertobat dan kembali
kepada jalan yang benar (Mami Hajaroh, 2009: 89-91).
Akhlak yang baik menurut Ghazali terbagi menjadi empat yang semuanya
dilandasi oleh akal dan agama secara seimbang. Induk akhlak yang pertama
hikmah dan kebijaksanaan, nilai yang terkandung hati yang bersih, pikiran yang
cerdas, prasangka yang tepat, dan cerdik. Kedua, keberanian, nilai yang
terkandung pemurah, penolong, tabah menahan cobaan, teguh, lemah lembut, dan
menekan kekerasan. Ketiga, lapang dada didalamnya mengandung nilai ramah,
pemalu, pemaaf, suka menolong, tidak menggantungkan diri kepada orang lain.
Keempat keadilan mengajarkan rasa tolong menolong dalam hal yang baik
(Abuddin Nata, 2000: 38-40). Sedangkan Thomas Lickona dalam bukunya
Educating for Character (How our schools can teach respect and responsibility)
mengemukakkan tiga nilai karakter sebagai berikut di bawah ini.
Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior. Good character consists of knowing the good, desiring the good, and doing the good. Habits of the mind, habits of the heart, and habits of action. All three are necessary for leading a moral life; all three make up moral maturity. When we think about the kind of character we want for our children, it’s clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right. Even in the face of pressure from without
and temptation from within (Thomas Lickona, 1991: 51).
Thomas Lickona (1991: 51) lebih menekankan tiga nilai karakter yang
menurutnya saling terkait yakni mengetahui moral, perasaan moral, dan perilaku
commit to user
mengetahui yang baik (knowing the good), menumbuhkan keinginan untuk
mengetahui yang baik (desiring the good), dan melakukan tindakan-tindakan yang
baik (doing the good). Kebiasaan berpikir, keinginan bertindak, dan kebiasaan
dalam tindakan, ketiganya diperlukan untuk memimpin kehidupan moral
membentuk kematangan moral. Ketika berpikir tentang jenis karakter, diharapkan
mereka dapat menilai apa yang benar, sangat peduli tentang apa yang benar, dan
kemudian melakukan apa yang mereka yakini benar. Bahkan dalam menghadapi
tekanan dari luar dan godaan dari dalam.
Gambar 1. Competence of Good Character (kompetensi dari karakter baik) menurut Thomas Lickona (1991: 53)
Thomas Lickona (1991: 53) membagi kompetensi karakter baik menjadi
tiga bagian yakni moral knowing(pengetahuan moral) yang terdiri dari kesadaran
moral, memahami nilai moral, mengambil cara pandang, alasan moral, membuat
keputusan, dan pengetahuan diri. Moral feeling (perasaan Moral) terdiri dari hati
nurani, harga diri, empati, mencintai, kontrol diri dan kerendahan hati. Moral
commit to user
action (tindakan moral) yang terbagi menjadi tiga yakni kemampuan
(kompetensi), kemauan dan kebiasaan.
Menurut Yoyon Bachtiar Irianto (2010: 5)moral knowingberkenaan dengan
kesadaran (awareness), nilai-nilai (values), sudut pandang (perspective taking),
logika (reasoning), menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self
knowledge). Moral loving berkenaan dengan kepercayaan diri (self esteem),
kepekaan terhadap orang lain (emphaty), mencintai kebenaran (loving the good),
pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (humility). Moral doing
berkenaan dengan perwujudan dari moral knowing dan moral loving yang
berbentuk sikap reflektif dalam perilaku keseharian.
Mengenai karakter Lickona beranggapan bahwa pembentukan karakter tidak
akan terlepas dari pengetahuan, perasaan dan perilaku moral pada diri manusia.
Disisi lain Lawrance Kholberg melihat moralitas dari berbagai teori yakni teori
common sense (akal sehat), menurut teori ini setiap orang mengetahui apa yang
benar dan apa yang salah. Setiap manusia mempunyai naluri bawaan untuk
membedakan yang baik dengan tidak baik. Berikutnya yakni teori emosional
relativistis, teori ini memandang bahwa moral manusia dapat dilihat dari emosi
dan kebutuhan. Moralitas digunakan sebagai aturan kelakuan dan norma
relativistis dari budaya anak dan anak harus menyesuaikan diri dengan keadaan
tersebut. Teori kognitif-developmental (progresif) melihat moralitas sebagai
seperangkat pertimbangan dan keputusan rasional yang berlaku untuk setiap
kebudayaan, yaitu prinsip kesetaraan manusia dan prinsip keadilan (Lawrance
commit to user
Lawrance Kohlberg melihat bahwa para remaja menerapkan struktur
pengetahuan moral, menafsirkan tindakan dan perilaku sesuai dengan struktur
mental mereka sendiri. Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat
rasional dan mendorong menuju tahap perkembangan yang lebih tinggi. Kholberg
menyatakan bahwa remaja berusia 16 tahun merupakan sebuah tahapan tertinggi
dalam proses tercapainya pertimbangan moral (Aunurrahman, 2006: 61). Di
Indonesia usia 16 tahun berada pada tahap sekolah menengah, jika mengikuti teori
Kholberg di atas tahap ini sebagai proses pencarian jati diri yang menentukan
karakter individu ke depan.
Kata moral selalu mengacu kepada baik buruknya manusia sebagai manusia.
Norma-norma moral adalah ukuran untuk mementukan betul-salahnya sikap dan
tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia. Immanuel
Kant mengartikan moralitas sebagai kesesuaian tindakan dengan norma batiniah,
yakni kesadaran hati kepada kewajiban sebagai manusia. Bertindak moral berarti
mengharuskan bertindak demi kewajiban semata (imperatif kategoris), bukan
untuk mencapai tujuan tertentu yang bersifat emosional (SP. Lili Tjahadi, 1991:
64).
Sedangkan moral menurut K. Bertens yakni nilai dan norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
moralitas berarti sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan
dengan baik dan buruk (K. Bertens, 1999: 7). Perilaku baik dan buruk akan
terpengaruh oleh pengetahuan seseorang mengenai ajaran moral. Ajaran-ajaran
wejangan-commit to user
wejangan, patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tulisan
mengenai bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia
yang baik. Sumber ajaran tersebut adalah ajaran agama, tradisi, adat istiadat, atau
ideologi tertentu yang disampaikan oleh orang tua, guru, para pemuka agama
ataupun pemuka adat, dan para pembuat kebijakan (pemerintah).
Etika merupakan sebuah ilmu bukan ajaran. Jadi etika dan ajaran ajaran moral tidak berada pada tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggungjawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral ... etika tidak berwenang untuk menetapkan, apa yang boleh kita lakukan dan apa yang tidak. wewenang itu di klaim oleh pelbagai fihak yang memberikan ajaran moral. ... etika berusaha mengerti mengapa, atau atas dasar apa kita harus hidup menurut norma-norma tertentu. Ajaran moral dapat diibaratkan dengan buku petunjuk bagaimana kita harus memperlakukan sepeda motor kita dengan baik, sedangkan etika memberikan kita pengertian tentang struktur dan teknologi sepeda motor sendiri (Frans Magnis Suseno, 2001:14).
Frans Magnis Suseno (2001: 14) membedakan antara etika dengan ajaran
moral, etika adalah filsafat atau pemikiran kritis mendasar tentang ajaran-ajaran
dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah pemikiran sistematis tentang
moralitas, etika tidak mempunyai wewenang untuk secara langsung membuat
manusia menjadi lebih baik (Frans Magnis Suseno, 2001: 15). Sementara
Immanuel Kant memahami etika sebagai suatu filosofis untuk menyelidiki hukum
tindakan atau prinsip-prinsip moral dalam tingkah laku manusia (SP. Lili Tjahadi,
1991: 64). Menutut K. Bertens (1999: 6) pengertian etika dapat dibedakan
menjadi tiga pengertian yakni sebagai berikut di bawah ini.
1) Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan
commit to user
2) Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral, atau disebut juga kode etik.
3) Etika adalah ilmu tentang yang baik atau buruk atau ilmu yang menyelidiki
tingkah laku moral (K. Bertens, 1999: 15), dalam hal ini etika diartikan
sebagai filsafat moral.
Moral memiliki makna mengenai bagaimana berperilaku sesuai dengan
tuntutan norma-norma atau nilai-nilai yang telah berlaku dan diakui oleh
kelompok atau masyarakat sedangkan etika selain dituntut untuk berperilaku
sesuai dengan norma juga dituntut untuk memahami alasan-alasan atau
dasar-dasar moral yang rasional untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik (Amril M,
2002: 19). Menurut Amril M dalam bukunya berjudul Etika Islam
mengungkapkan tataran etika dalam Islam telah menyatukan berbagai konsep
teologis, filsafat dan sufi dengan menyeimbangkan antara ketuhanan dan
keduniawian sebagai religiuos theories dengan ciri Islami. Islam memandang
keputusan etika didasarkan kepada wahyu Allah Swt dan sunah nabi Muhammad
Saw dengan proses alih nilai dari sifat-sifat Allah dan Rasulullah ke dalam
perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari (Amril M, 2002: 5).
Hubungan antara moralitas dengan agama, menutut Kant agama sebagai
pengakuan semua kewajiban manusia sebagai perintah Illahi. Kant menempatkan
moralitas lebih dulu ada dibandingkan dengan agama. Moralitas juga mengarah
kepada agama, namun moralitas tidak mengatasnamakan agama, justeru menurut
Kant agama yang menggadaikan moralitas. Manusia bisa melakukan perbuatan
baik dalam arti moral tanpa harus paham mengenai Tuhan. Motivasi perbuatannya
commit to user
berpendapat bahwa moralitas mengarah kepada agama melalui pemahaman
mengenai kebaikan tertinggi. Kebaikan tertinggi berada pada Tuhan dengan
demikian maka perlu adanya penyelarasan diri dengan perintah Tuhan yang
sempurna secara moral (SP. Lili Tjahadi, 1991: 57).
Moral dalam agama begitu penting sebagai ajaran dari wahyu Tuhan. Ajaran
moral diterima karena alasan keimanan, namun tidak serta merta norma moral
diterima karena alasan keagamaan. Terdapat alasan-alasan yang lebih umum
untuk menerima aturan-aturan moral dengan alasan rasional. Agama berbicara
mengenai moralitas dengan memberikan motivasi dan inspirasi supaya umatnya
mematuhi nilai dan norma berdasarkan iman. Jika norma moral tidak dipatuhi
maka kesalahan itu disebut sebagai dosa. Sedangkan apabila ditinjau dari filsafat
moral, maka moral berbicara tentang topik-topik etis dan berusaha
memperlihatkan baik atau buruk dengan dengan menunjukan alasan-alasan yang
masuk akal. Dari sudut filsafat moral kesalahan moral adalah pelanggaran prinsip
etis yang harus dipatuhi (K. Bertens, 1999: 36-37).
Moralitas tidak hanya monopoli manusia yang beragama saja melainkan
harus dimiliki oleh semua manusia. Filsuf terkemuka dari Perancis, Jean Paul
Sarte sebagai seorang ateis mengatakan bahwa moralitas merupakan suatu urusan
antar mausia saja (humanistis), manusia bertanggungjawab kepada dirinya sendiri
dalam kehidupan bermasyarakat. Kenyataan bahwa dewasa ini tidak sedikit orang
yang menganut paham humanisitis dan sekuler tanpa menghubungkan apapun
commit to user
Pendapat Kant, Sarte dan Abuddin Nata mempunyai perbedaan dalam
mengartikan moral. Abuddin Nata meletakkan moral lebih kepada perbuatan
lahiriah dengan berpedoman kepada motif materil semata. Moral menurut
Abuddin Nata bersifat sekuler dan duniawi, sikap baik dalam moral biasanya ada
selama ikatan-ikatan material atau sikap itu tidak mempunyai hubungan yang
nyata dengan yang segi ketuhanan. Lebih lanjut Abuddin Nata membedakan
moral dengan pengertian akhlak dalam Islam. Nata mengartikan akhlak Islam
terbentuk dari jiwa tauhid atau akidah yang diajarkan Allah SWT (Abuddin Nata,
2000: 37). Namun perbedaan pendapat tersebut tidak begitu mempengaruhi isi
dari nilai moral karena keduanya mengakui bahwa moral mengandung
nilai-nilai yang umum (universal).
Pengertian etika dan akhlak juga tidak terlalu jauh beda bahkan tidak jarang
kedua istilah ini disamakan arti oleh beberapa pihak. Terlepas dari itu Abdul
Majid dan Dian Andayani (2011: 15) membedakan antara etika dengan akhlak.
Etika sebagai filsafat moral yang bertolak dari akal pikir, bukan dari agama.
Sedangkan akhlak mengajarkan baik dan buruk berdasarkan ajaran Islam yang
bersumber dari Allah Swt dan Rasul-Nya.
Dengan demikian dari pengertian-pengertian di atas terdapat kesamaan arti
antara karakter dan akhlak yakni suatu perilaku yang dilakukan tanpa tekanan,
terbiasa dilakukan, dan menjadi ciri khas seseorang. Karakter dan akhlak
mempunyai kesamaan yang terbentuk tersusun oleh norma-norma moral
sebagaimana yang disebutkan oleh Thomas Lickona yakni moral knowing, moral
commit to user
akhlak yakni dari pernyataan Ahmad Tafsir yang mengungkapkan “ karakter itu
sama dengan akhlak dalam pandangan Islam. Akhlak dalam Islam adalah
kepribadian. Kepribadian itu komponennya tiga yaitu tahu (pengetahuan), sikap,
dan perilaku” (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2011: iv). Perbedanya terdapat
pada penekanannya, akhlak lebih kepada perilaku sesuai dengan nilai-nilai agama
(Islam) sementara karakter perpaduan dari berbagai pikiran, kecintaan, dan
perilaku (cipta, rasa, dan karsa). Ketika moralitas telah terbentuk dalam diri
seseorang maka akan tercipta kedamaian dalam diri mulai terbentuk karakter yang
baik sesuai dengan yang diinginkan. Namun ketika moral sebagai komponen
karakter tidak terbentuk maka tujuan pendidikan karakter tidak akan tercapai.
Perbedaan karakter dengan moral menurut Abdul Majid dan Dian Andayani
(2011: 14) dapat dilihat dari pemaknaannya. Karakter lebih tinggi tingkatannya
karena karakter bukan sekedar mengajarkan yang benar dan yang salah, tetapi
menanamkan kebiasaan baik sehingga manusia mampu memahami, merasakan,
dan melakukan yang baik. Moral menurut Ratna Megawangi adalah pengetahuan
seseorang mengenai baik dan buruk, namun jika dilihat dari inti keduannya
(karakter dan moral) tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh (Abdul Majid
dan Dian Andayani, 2011: 15).
b. Pengertian Pendidikan Karakter
Sebelum mengetahui mengenai pengertian pendidikan karakter, akan lebih
baik apabila dibahas mengenai pengertian pendidikan dari berbagai sudut
pandang. Menurut Ibnu Khaldun pendidikan merupakan usaha untuk melahiran
commit to user
selanjutnya, maka pendidikan akan mengerahkan pada pengembangan sumber
daya manusia yang berkualitas. Sementara peran pendidikan menurut Ibnu
Khaldun yakni untuk melahirkan budaya masyarakat bekerja untuk melestarikan
dan meningkatkan kualitas hidup, dengan demikian pendidikan adalah
pembentukan nilai-nilai dari pengalaman untuk berusaha mempertahankan
kelangsungan hidup manusia dalam berbagai bentuk kebudayaan serta
perkembangan zaman (Marsudin Siregar, 1999: 16).
Suroso Prawiroharjo mengartikan pendidikan sebagai bantuan pendidik
yang membuat siswa dewasa, artinya kegiatan pendidik berhenti, tidak diperlukan
lagi, apabila kedewasaan yang diinginkan telah tercapai. George F. Kneller
mengartikan pendidikan dalam arti luas sebagai suatu tindakan atau pengalaman
yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan dan
perkembangan jiwa, karakter, atau kemampuan fisik individu. Secara teknis,
Kneller mengartikan pendidikan sebagai proses dimana masyarakat melalui
lembaga (sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga lain) dengan sengaja
mentransformasikan warisan budayanya berupa nilai-nilai, pengetahuan, dan
keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi (Dwi Siswoyo, 2008: 16-18).
Ki Hadjar Dewantara memaknai pendidikan sebagai tuntunan di dalam
hidup tumbuhnya anak-anak, agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya. John Dewey memaknai pendidikan sebagai rekonstruksi atau
reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman dan yang
menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Menurut