commit to user
أ
PRAKTIK
SOCIAL DISCLOSURE
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
ASRI DIAH SUSANTI
F 0306003
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
Penelitian ini bertujuan untuk mengalisis apakah ada information gap antara
demand dan supply praktik social disclosure di Indonesia dan menguji pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan informasi sosial. Karakteristik perusahaan diproksi dengan size, profitabilitas, leverage, dan tipe industri. Penelitian ini juga menguji proporsi dewan komisaris independen dan kepemilikan institusi sebagai variabel kontrol.
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer digunakan untuk mengukur komponen demand yang diperoleh dari hasil wawancara kuesioner terhadap 50 orang narrow financial based stakeholdsers. Sedangkan untuk komponen supply diukur dengan menggunakan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari hasil analisis 70 laporan tahunan perusahaan tahun 2008 yang listing di BEI.
Analisis dilakukan dengan membandingkan tingkat demand dan supply
untuk menemukan information gap. Uji regresi berganda juga dilakukan untuk menguji pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan informasi sosial. Pengujian logistic regression, ANOVA, dan T-test juga dilakukan untuk mendukung hasil penelitian.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata demand dari responden terhadap pengungkapan informasi sosial adalah sebesar 3,76 dalam skala likert 5. Semua perusahaan (100%) mengungkapkan informasi sosialnya dengan tingkat rata-rata sebesar 40,24% (metode unweighted) dan 40,58% (metode weighted). Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum ada information gap antara tingkat demand dan supply praktik social disclosure di Indonesia. Hasil ini juga menunjukkan adanya peningkatan supply praktik pengungkapan sosial di Indonesia dari penelitian yang dilakukan Suhardjanto dan Aulia (2009) yang hasilnya menujukkan rata-rata pengungkapan sosial di Indonesia pada tahun 2007 hanya sebesar 22,23%.
Hasil pengujian multiple regression menunjukkan bahwa variabel size
berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan sosial (β=0,08, ρ-value 0,000). Hasil ini sesuai dengan penelitian Suhardjanto dan Aulia (2009). Variabel Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap tingkat pengungkapan sosial (β=-0,43, ρ-value 0,002).
commit to user
ج
DEMAND
DAN
SUPPLY
PRAKTIK
SOCIAL DISCLOSURE
DI INDONESIA
Company characteristics are indentified as size, profitability, leverage, and industrial type. This study also examines independent board of commissioner composition and the institusional ownership as control variable.This research uses primary and secondary data. Primary data uses 50 respondents from narrow financial based stakeholders in questionnaire issued. Secondary data uses 70 annual report of Indonesian listing firm’s 2008 on IDX.
For analyzing, we compare demand and supply social disclosure for finding information gap. This research is also conducted by examination of multiple regression, logistic regression, ANOVA, and T-test.
The result shows that level demand of social disclosure on average is 3.76 in 5 likert scale. There is one hundred percent (100%) disclosed social information and practice of social disclosure in Indonesia on average is 40.24% in unweighted method and 40.58% in weighted method. This result suggest that there is an information gap between demand and supply practice of social disclosure in Indonesia. Suhardjanto and Aulia (2009) investigated that practice of social disclosure in Indonesia just on average is 22.23%. This fact shows supply of financial stakeholder increase 20.01% that means awareness of company in Indonesia about social activity is going up.
Multiple regression test indicates that the company size has a positive effect to social disclosure (β=0.08, ρ-value 0.000). This result consistent with Suhardjanto and Aulia (2009). The result of multiple regression also suggest that there is negative influence of independent board of commissioner to social disclosure (β=-0.43, ρ-value 0.02).
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
Bab pertama dalam penelitian ini akan memaparkan latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan juga manfaat penelitian bagi
pihak-pihak yang berkepentingan, serta sistematika penulisan.
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang disoroti dunia dalam kasus
sosialnya, terutama dalam hal korupsi. Negara kita ini menduduki ranking
keempat dunia dan dinobatkan sebagai negara terkorup di Asia dalam kasus
korupsi (Okezone.com, Februari 2009). Kasus yang sedang hangat dibicarakan
dalam beberapa kurun waktu terakhir ini diantaranya adalah kasus korupsi yang
melibatkan pejabat tinggi pemerintahan yang dikenal "Kasus Cicak Vs Buaya"
dan kasus korupsi dalam Perusahaan Gas Negara (Okezone.com, Februari 2009;
Kompas, Juli 2009).
Kasus Cicak versus Buaya merupakan kasus kompleks yang melibatkan
nama tiga institusi besar di Indonesia, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Kasus ini diduga kuat merupakan tindakan pelemahan terhadap KPK. Kasus ini
mulai terkuak dengan ditemukkannya testimoni dari Antasari Azhar, dan diikuti
oleh bukti lain yaitu hasil penyadapan rekaman telepon antara Anggodo Wijoyo
dan pejabat tinggi pemerintah (Kompas, 6 Juli 2009). Istilah Cicak dan Buaya
commit to user
Istilah ini kemudian berkembang di masyarakat, cicak diinterpretasikan sebagai
gerakan melawan koruptor (Cinta Indonesia Cinta KPK), sedangkan buaya sendiri
digunakan sebagai lambang untuk menggambarkan koruptor yang menggantikan
lambang tikus (Kompas, 12 Juli 2009). Dalam Kompas edisi 3 November 2009
disebutkan bahwa dalam perkembangannya, kasus ini merupakan titik awal untuk
menguak kasus Bank Century.
Dalam kasus korupsi PT PGAS, ditemukan adanya dua penyimpangan,
pertama adalah adanya insider trading dalam penjualan saham PT PGAS dalam
divestasi saham PT PGAS. Kedua adalah kasus korupsi dengan jalan
memanipulasi pasar saham, sehingga harga saham PT PGAS jatuh, dan target
APBN tidak terpenuhi (Okezone.Com). Kasus di atas bukan merupakan kasus
satu-satunya yang terjadi, masih banyak kasus korupsi yang dilakukan dalam
perusahaan BUMN maupun swasta, diantaranya kasus korupsi PT. Bahana
Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), Bank Harapan Santosa (BHS), BLBI, Bank
Surya, dan PT. Siak Zamrud Pusako (Wikipedia.Com, Feb 2009).
Selain kasus korupsi di atas, masih banyak kasus sosial lain yang terjadi di
Indonesia, diantaranya menyangkut kesehatan dan keamanan produk dan
penggunaan tenaga kerja di bawah umur. Dalam artikel Departemen Perindustrian
9 Agustus 2007 disebutkan bahwa di Indonesia, telah terjadi banyak kasus
penggunaan bahan kimia berbahaya bagi kesehatan. Diantaranya penggunaan
formalin yang dikemukakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM).
Pengujian kandungan formalin dilakukan terhadap 98 sampel produk makanan
commit to user
sampel ikan asin-22 tercemar (65%), dan 41 sampel produk tahu semuanya
tercemar (100%). Selain produk makanan, BPOM juga menemukan 80% dari
jajanan sekolah dinyatakan mengandung bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan
seperti boraks, natrium siklamat, rodamin B dan sakarin.
Dalam majalah Kompas edisi Januari 2009, disebutkan bahwa Markas
Besar Kepolisian RI menangkap Anthoni, pengusaha sarang burung wallet yang
mempekerjakan 17 orang anak di bawah umur. Anak-anak tersebut direkrut
melalui Yayasan Tiga Putra Jaya, Putri Sehati, Mekar Jaya, dan Makmur Jaya.
Anak-anak tersebut dipekerjakan selama 10-14 jam per hari dengan upah Rp 350
ribu per bulan. Upah dibayarkan per tahun. Namun kenyataannya anak-anak tidak
dibayar. Praktik penggunaan pekerja di bawah umur biasanya berlatar belakang
masalah ekonomi, seperti Dedi, seorang anak warga Kampung Panjangsari,
Kelurahan Parakan Wetan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, terpaksa harus
bekerja keras sebagai juru parkir kendaraan di Komplek Klenteng, Temanggung
(Liputan 6.com, 11 November 2009). Sekretaris KAN-PBPTA Cilegon, Maksum
dalam Radar Banten (Februari, 2009) mengatakan,
"Di lapangan masih banyak anak-anak di bawah umur yang dipekerjakan orang tuanya. Padahal kita telah gencar melakukan sosialisasi sampai ke masing-masing kecamatan tentang larangan anak di bawah usia 18 tahun dipekerjakan"
Maraknya kasus sosial di atas memunculkan tuntutan terhadap perusahaan
untuk memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata
kelola perusahaan yang semakin bagus (good corporate governance) dan
memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan
commit to user
sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan
karyawan, dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi (Anggraini,
2006). Tuntutan ini menunjukkan adanya kesadaran tentang pentingnya
pengungkapan sosial untuk menyediakan produk-produk yang ramah lingkungan
dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip
Hak Asasi Manusia (Monika dan Hartanti, 2008).
Berbagai reaksi muncul dari fenomena peningkatan permintaan
pengungkapan sosial. Pada tanggal 20 Juli 2007, disahkan Undang-undang nomor
40 tentang penerapan CSR, yang dikuatkan melalui peraturan pemerintah (PP)
dimana perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang/berkaitan dengan
sumber daya alam wajib melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Ketentuan itu sudah ditetapkan dalam UU Perseroan Terbatas (PT), UU Investasi
dan UU Minerba (Mineral dan Batubara) (Budhiartha, 2008). Undang-undang
tersebut secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan
sosial perusahaan mengingat adanya sanksi pelanggaran undang-undang ini
(Undang-Undang No.40 tahun 2007 Pasal 74 Ayat 1).
Selain dipengaruhi oleh undang-undang yang dibuat regulator, kesadaran
perusahaan merupakan komponen signifikan dalam pengungkapan aktivitas
sosial. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa perusahaan dalam annual report
mereka sebagai berikut,
commit to user
Bagi Jasa Marga, masyarakat merupakan stakeholder yang penting. Terbangunnya interaksi yang harmonis antara perusahaan dan komunitas di sekitarnya pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang mendukung kelangsungan operasional perusahaan, sekaligus bermanfaat bagi masyarakat.(Annual Report PT Jasa Marga, 2008)
Suhardjanto dan Aulia (2009) menyebutkan bahwa banyaknya kasus
korupsi, pelanggaran HAM, ancaman keselamatan pelanggan atas produk dan
aspek sosial lainnya di Indonesia yang sering diungkapkan di media memicu
untuk dilakukannya penelitian, khususnya di ranah bisnis. Beberapa penelitian
telah mengkaji masalah social disclosure ini dan hasilnya menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan social disclosure secara rata-rata di Indonesia (Suhardjanto
dan Aulia, 2009; Monika dan Hartanti, 2008; Nurlaela dan Islahudin, 2007).
Dalam Suhardjanto dan Aulia (2009) disebutkan bahwa rata-rata tingkat
pengungkapan informasi sosial perusahaan sebesar 22%. Namun angka tersebut
dikategorikan rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Guthrie dan Parker
(1990) meneliti pengungkapan sosial perusahaan Amerika Serikat, Inggris, dan
Australia. Dan hasilnya menunjukkan bahwa 98% perusahaan Inggris, 85%
perusahaan Amerika Serikat, dan 56% perusahaan Australia melaporkan
pengungkapan sosial mereka dalam laporan tahunan.
Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat permintaan yang tinggi terhadap
pengungkapan sosial tidak diimbangi dengan pemenuhan akan permintaan
tersebut (supply). Dari hal tersebut penulis tertarik untuk meneliti apakah ada
information gap antara tingkat permintaan (demand) dan pemenuhan akan
commit to user
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian
ini memberikan bobot tertimbang pada tingkat pengungkapan sosial perusahaan.
Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, tahap 1 (satu) untuk mengukur tingkat
permintaan terhadap pengungkapan sosial dengan melakukan survey kuesioner
dan tahap 2 (dua) dengan melakukan analisis pengungkapan sosial dalam laporan
tahunan, dengan menggunakan leverage, tipe industri, ukuran perusahaan, dan
profitabilitas sebagai variabel independen, yang dikontrol dengan mekanisme
Corporate Governance yaitu kepemilikan institusi dan komposisi dewan
komisaris independen. Maka, judul penelitian ini adalah "DEMAND DAN
SUPPLY PRAKTIK SOCIAL DISCLOSURE DI INDONESIA"
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, permasalahan yang dimunculkan dalam
penelitian ini sebagai berikut :
1. Adakah information gap antara demand dan supply pengungkapan sosial.
Demand ditunjukkan dengan indeks tertimbang yang diperoleh dari
narrow financial based stakeholder sedangkan supply ditunjukkan
dengan pengungkapan informasi sosial dalam annual report.
2. Apakah karakteristik perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan
commit to user
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya information gap antara
demand dan supply pengungkapan sosial dan mengetahui pengaruh karakteristik
perusahaan (ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas, dan tipe industri)
terhadap social disclosure.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat termasuk:
1. Dapat memberikan kontribusi terhadap literatur penelitian akuntansi
khususnya mengenai topik karakteristik perusahaan ataupun
pengungkapan sosial.
2. Bagi perusahaan, dapat memberikan masukan dalam perbaikan
pengungkapan aktivitas sosial dalam laporan keuangan.
3. Bagi stakeholder seperti investor, kreditor dan pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya, dapat menjadi acuan tambahan dalam
menganalisis informasi yang disajikan oleh perusahaan berkenaan dengan
pengungkapan informasi sosial.
4. Bagi regulator, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan bagi penyusunan standar akuntansi sosial dan sebagai bahan
masukan dalam peningkatan kualitas standar peraturan yang ada.
5. Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
commit to user
E. Sistematika Laporan
Adapun sistematika laporan adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN
HIPOTESIS
Bab ini membahas landasan teori yang diantaranya berupa
tinjauan pustaka, kerangka teoritis, dan dilanjutkan dengan
penelitian terdahulu yang dikembangkan (hipotesis).
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisi desain penelitian; populasi, sample, dan teknik
sampling; pengukuran variable; instrument penelitian; sumber
data; metode pengumpulan data; serta metode analisis data.
BAB IV : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini membahas mengenai data yang digunakan, pengolahan
data tersebut dengan alat analisis yang diperlukan dan hasil dari
analisis data.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data
yang telah dilakukan, saran-saran yang diajukan dari hasil
commit to user
BAB II
TELAAH PUSTAKA
Selanjutnya pada Bab II ini akan dijelaskan mengenai literatur yang
digunakan meliputi teori-teori yang digunakan dan penelitian terdahulu,
dilanjutkan dengan kerangka teoritis dan pengembangan hipotesis.
A. Telaah Literatur
Masalah social disclosure di Indonesia telah banyak diteliti diantaranya
dilakukan oleh Suhardjanto dan Aulia (2009); Monika dan Hartanti (2008);
Nurlaela dan Islahudin (2007); Sayekti dan Wondabio (2007). Walaupun
demikian belum ada penelitian yang mengukur seberapa besar permintaan akan
praktik social disclosure ini. Penelitian ini seperti penelitian yang dilakukan
Suhardjanto (2008) dengan menghasilkan indeks tertimbang yang mengukur
seberapa besar permintaan akan pengungkapan di bidang lingkungan hidup. Dari
penelitian tersebut, peneliti mencoba menggunakan indeks tertimbang untuk
mengukur tingkat permintaan pengungkapan di bidang sosial. Indeks akan
diperoleh melalui wawancara kuesioner kepada narrow financial based
stakeholders. Penelitian ini juga menganalisis praktik pengungkapan sosial oleh
perusahaan di Indonesia sebagai komponen supply yang mengukur tingkat
pemenuhan permintaan akan pengungkapan sosial tersebut. Dalam bagian
selanjutnya akan dijelaskan hal-hal dan variabel yang berkaitan untuk
commit to user
1. Annual report (Laporan Tahunan)
Laporan tahunan dan laporan keuangan merupakan salah satu informasi
yang secara formal wajib dipublikasikan sebagai sarana pertanggungjawaban
pihak manajemen terhadap pengelolaan sumber daya pemilik, serta jendela
informasi yang memungkinkan bagi pihak-pihak diluar manajemen, mengetahui
kondisi perusahaan. Menurut Wikipedia (2007), annual report didefinisikan
sebagai:
An Annual report is a comprehensive report on a company's activities
throughout the preceding year. Annual reports are intended to give shareholders and other interested persons information about the company's activities and financial performance.
Yustina (2003) mengungkapkan bahwa annual report atau laporan tahunan
merupakan media komunikasi bagi manajemen perusahaan untuk memberikan
informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan merupakan sarana
pertanggungjawaban kepada publik atas sumber daya yang dikelolanya.
Sedangkan tujuan laporan tahunan menurut Standar Akuntansi Keuangan adalah
memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja, dan arus kas perusahaan
yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka
membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban
(stewardship) manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan
kepada mereka.
Penelitian ini menggunakan laporan tahunan karena laporan tahunan akan
menjadi salah satu bahan rujukan bagi para investor dan calon investor dalam
commit to user
Dengan demikian, tingkat pengungkapan (disclosure level) yang diberikan oleh
pihak manajemen perusahaan akan berdampak kepada pergerakan harga saham
yang pada gilirannya juga akan berdampak pada volume saham yang
diperdagangkan dan return. Darwin (2007) juga mengungkapkan bahwa kinerja
sosial di dalam laporan tahunan atau laporan terpisah adalah untuk mencerminkan
tingkat akuntabilitas, responsibilitas, dan transparansi korporat kepada investor
dan stakeholders lainnya. Pengungkapan tersebut bertujuan untuk menjalin
hubungan komunikasi yang baik dan efektif antara perusahaan dengan publik dan
stakeholders tentang bagaimana perusahaan telah mengintegrasikan CSR dalam
setiap aspek kegiatan operasinya.
Beberapa yurisdiksi menghendaki perusahaan untuk menyiapkan dan
mengungkapkan annual report. Di dalam Wikipedia (2007) disebutkan:
Most jurisdictions require companies to prepare and disclose annual reports, and many require the annual report to be filed at the companies registry. Companies listed on a stock exchange are also required to report at more frequent intervals (depending upon the rules of the stock exchange involved.
Yurisdiksi mengenai kewajiban mengeluarkan annual report bagi
perusahaan di Indonesia, dikeluarkan oleh lembaga resmi pemerintah, yaitu
BAPEPAM-LK. Perusahaan di Indonesia yang melakukan penawaran kepada
publik (go public), wajib menyampaikan laporan perusahaaannya kepada
BAPEPAM-LK secara periodik.
Disclosure (pengungkapan) dalam annual report merupakan sumber
commit to user
tentunya akan sangat bergantung dari mutu dan luas pengungkapan yang disajikan
dalan annual report.
2. Pengungkapan Sosial (Social Disclosure)
Pengungkapan merupakan penyajian sejumlah informasi yang dibutuhkan
untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien (Hendriksen, 1991).
Sedangkan menurut Suwardjono (2005), pengungkapan berkaitan dengan cara
penyampaian atau penjelasan hal-hal informatif yang dianggap penting dan
bermanfaat bagi pemakai selain apa yang dinyatakan melalui statement keuangan
utama.
Suwardjono (2005) menyatakan ada dua sifat pengungkapan, yaitu:
pengungkapan yang bersifat wajib (required/regulated/mandatory disclosure) dan
pengungkapan yang bersifat sukarela (voluntary disclosure). Pengungkapan yang
bersifat wajib meliputi pengungkapan yang didasarkan atas ketentuan/standar
yang berlaku. Sedangkan pengungkapan sukarela berisi pengungkapan yang
dilakukan perusahaan selain apa yang diwajibkan oleh standar alat atau badan
pengawas. Secara lebih lanjut pengungkapan menurut sifatnya ini telah dijabarkan
dalam standar dan regulator sebagai berikut.
a. Pengungkapan Wajib (mandatory disclousure)
Pengungkapan Wajib merupakan pengungkapan minimum yang
disyaratkan oleh peraturan yang berlaku. Peraturan tentang standar
pengungkapan informasi bagi perusahaan yang telah melakukan
commit to user
tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan dan Peraturan No.
VIII.G.2 tentang Laporan Tahunan. Peraturan tersebut diperkuat dengan
Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-17/PM/1995, yang selanjutnya
diubah melalui Keputusan Ketua Bapepem No. Kep-38/PM/1996 yang
berlaku bagi semua perusahaan yang telah melakukan penawaran umum
dan perusahaan publik. Peraturan tersebut diperbaharui dengan Surat
Edaran Ketua Bapepam No. SE-02/PM/2002 yang mengatur tentang
penyajian dan pengungkapan laporan keuangan emiten atau perusahaan
publik untuk setiap jenis industri.
b. Pengungkapan Sukarela (voluntary disclosure)
Salah satu cara meningkatkan kredibilitas perusahaan adalah melalui
pengungkapan sukarela secara lebih luas untuk membantu investor dalam
memahami strategi bisnis manajemen. Pengungkapan Sukarela
merupakan pengungkapan butir-butir yang dilakukan secara sukarela oleh
perusahaan tanpa diharuskan oleh peraturan yang berlaku.
Pengertian dari pengungkapan informasi sosial perusahaan atau Corporate
social disclosure (CSD) sendiri adalah proses pengkomunikasian dampak sosial
dan lingkungan hidup dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok
khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan, hal
tersebut memperluas tanggung jawab organisasi (khususnya perusahaan), di luar
peran tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemilik modal,
commit to user
Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 (Revisi
1998) Paragraf kesembilan telah diatur bahwa setiap unit/pelaku ekonomi selain
berusaha untuk kepentingan pemegang saham dan mengkonsentrasikan diri pada
pencapaian laba juga mempunyai tanggung jawab sosial, dan hal itu perlu
diungkapkan dalam laporan tahunan. Selain telah diatur dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan tersebut, beberapa teori juga mendasari praktik
pengungkapan sosial dalam perusahaan. Beberapa teori tersebut diantaranya,
a. Agency Theory
Agency theory merupakan salah satu dari paradigma teori yang paling
penting selama 20 tahun (Lambert, 2001 dalam Oliveira, 2008). Teori ini
menempatkan pengungkapan sebagai mekanisme yang dapat mengurangi kos
yang dihasilkan dari konflik antara manajer dengan pemegang saham
(compensation contracts) dan dari konflik antara perusahaan dan kreditornya
(debt contracts). Oleh karena itu, pengungkapan merupakan mekanisme untuk
mengontrol kinerja manajer. Sebagai konsekuensinya, manajer didorong untuk
mengungkap voluntary information
Dalam teori ini terjadi pergeseran filosofis pengelolaan organisasi entitas
bisnis yaitu tanggung jawab perusahaan yang hanya berorientasi kepada pengelola
(agen) dan pemilik (Principles) mengalami perubahan kepada pandangan
manajemen modern yang didasarkan pada teori stakeholder, yaitu terdapatnya
perluasan tanggung jawab perusahaan dengan dasar pemikiran bahwa pencapaian
tujuan perusahaan sangat berhubungan erat dengan pola (setting) lingkungan
commit to user b. Legitimacy Theory
Teori ini menyatakan bahwa organisasi secara terus-menerus memastikan
bahwa operasi mereka berada dalam batas dan norma masyarakat. Hal ini
didasarkan pada pikiran bahwa terdapat kontrak sosial antara perusahaan dengan
masyarakat, yang mengharuskan perusahaan untuk melaporkan secara sukarela,
aktivitas tertentu yang diharapkan oleh masyarakat (Purnomosidhi, 2006). Tilt,
(1994) dalam Haniffa et. al. (2005) juga disebutkan bahwa perusahaan memiliki
kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai
justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan
untuk melegitimasi tindakan perusahaan.
Dari sudut pandang legitimacy theory, pengungkapan informasi digunakan
sebagai alat bagi perusahaan agar operasi serasi dengan nilai-nilai sosial, untuk
menunjukkan image tanggung jawab sosial dan meningkatkan legitimasi sosial
(Patten, 2002 dalam Oliveira et al., 2008). Legitimacy theory dapat juga
digunakan untuk analisis akuntansi sosial dan lingkungan bagi perusahaan
(Guthrie dan Parker, 1989; Patten, 2002 dalam Oliveira et al., 2008). Hal ini juga
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gao, Heravi dan Xiao (2005) yang
menyebutkan,
commit to user c. Signalling Theory
Dalam keadaan adanya asimetri informasi (Akerlof, 1970), signaling
theory menyatakan bahwa perusahaan dengan kinerja yang tinggi (perusahaan
bagus) menggunakan informasi keuangan untuk mengirim sinyal kepada pasar
(Spence, 1973).
Kos atas sinyal bad news adalah lebih tinggi daripada good news, hal ini
diperlihatkan dalam penelitian Spence (1973). Oleh karena itu, manajer lebih
termotivasi untuk mengungkapkan private information secara sukarela. Hal ini
disebabkan oleh ekspektasi manajer bahwa menyediakan sinyal good news
mengenai kinerja perusahaan kepada pasar akan mengurangi asimetri informasi
(Oliveira et al., 2008).
Dari uraian di atas, penulis lebih tertarik untuk meneliti pengungkapan
sukarela dibandingkan dengan pengungkapan wajib oleh perusahaan. Hal ini
dikarenakan pengungkapan wajib relatif sudah banyak ditaati oleh emiten,
sebaliknya kesediaan emiten untuk memberikan pengungkapan sukarela masih
relatif rendah. Hal tersebut bisa dilihat dari hasil penelitian-penelitian di bawah
ini.
Penelitian terdahulu tentang pengungkapan sukarela terutama dalam hal
pengungkapan sosial diantaranya, penelitian yang dilakukan oleh Guthrie dan
Parker (1990) mengenai area pengungkapan sosial dalam laporan tahunan
perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa 98% perusahaan Inggris, 85% perusahaan
commit to user
mereka dalam laporan tahunan. Mereka juga menemukan bahwa 40% perusahaan
melaporkan isu terkait dengan sumber daya manusia, 31% mengenai isu
keterlibatan komunitas, 13% mengenai isu lingkungan, dan 7% mengenai isu
terkait dengan energi dan produk. Cakupan pengungkapan tanggung jawab sosial
yang hampir sama (sumber daya manusia, produk, praktek bisnis, keterlibatan
dengan lingkungan, serta lingkungan) juga terjadi di Kanada (Zeghal dan Ahmed,
1990).
Penelitian di negara berkembang menunjukkan hasil yang tidak jauh
berbeda. Di Malaysia (Kin, 1990), dari 100 perusahaan publik, 64 perusahaan
melaporkan informasi mengenai peningkatan produk dan jasa, 31 perusahaan
melaporkan isu terkait dengan sumber daya manusia, dan 22 perusahaan
melaporkan isu keterlibatan komunitas. Sementara di Hong Kong, Lynn (1992)
memperlihatkan bahwa hanya 17 perusahaan (dari 264 yang diteliti) yang
mengungkapkan aktivitas sosial, dengan titik berat pada pengembangan staff dan
hubungan dengan komunitas.
Monika dan Hartanti (2008) mengungkapkan bahwa social disclosure
perusahaan publik di Indonesia terus mengalami peningkatan secara rata-rata, dan
rata-rata pengungkapan sosial tertinggi terjadi di tahun 2006. Tetapi jika dianalisa
lebih lanjut rata-rata perusahaan publik di Indonesia hanya memiliki nilai
pengungkapan sosial sebesar 27% - 31% dari nilai maksimum yang seharusnya
dapat dicapai. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan publik di
Indonesia masih memiliki kinerja sosial relatif rendah dibandingkan yang
commit to user
di Indonesia mengalami peningkatan, namun rata-rata tingkat pengungkapan
informasi sosial perusahaan hanya sebesar 22%. Dalam Aulia (2009) juga
disebutkan perusahaan manufaktur merupakan tipe industri yang memiliki
persentase pengungkapan paling tinggi yaitu sebesar 37%, diikuti sektor keuangan
sebesar 30%, kemudian sektor jasa sebesar 23%.
Pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan umumnya bersifat
voluntary (sukarela), unaudited (belum diaudit), dan unregulated (tidak
dipengaruhi oleh peraturan tertentu). Luas pengungkapan mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu, dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi,
sosial budaya suatu negara, teknologi informasi, kepemilikan perusahaan dan
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Ada tiga
konsep pengungkapan yang umumnya diusulkan, yaitu:
1. Adequate disclosure (pengungkapan cukup)
2. Fair disclosure (pengungkapan wajar)
3. Full disclosure (pengungkapan penuh)
Menurut Igulens dan Gond (2001) dalam Winindah (2007) Ada empat cara
dalam mengukur pengungkapan aktivitas sosial perusahaan, yaitu:
1. Analisis kandungan informasi dalam laporan tahunan
2. Indikator Polusi
3. Survei dengan kuesioner
4. Indikator reputasi perusahaan
5. Data yang dihasilkan oleh indikator peneliti
commit to user
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) metode untuk mengukur social
disclosure. Metode pertama adalah dengan melakukan analisis kandungan
informasi dalam laporan tahunan. Metode ini digunakan karena memberikan
gambaran mengenai pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam
laporan tahunan mereka. Kelemahan metode ini adalah metode ini sangat bersifat
subjektif sehingga pengukuran pengungkapan sosial kurang tepat dan akurat.
Untuk menanggulangi kelemahan metode ini, digunakan metode pengukuran yang
kedua yaitu dengan menggunakan survei kuesioner. Metode kedua ini akan
memberikan tingkat ketepatan yang lebih tinggi karena pengukuran tidak
dilakukan oleh peneliti sendiri, tetapi dilakukan oleh responden.
Dari kedua tipe ini akan menghasilkan dua metode dalam pengukuran
pengungkapan sosial yaitu unweighted atau tanpa indeks (pengukuran dilakukan
hanya melalui analisis kandungan informasi dalam laporan tahunan) dan metode
weighted atau dengan indeks (pengukuran dilakukan baik melalui analisis
kandungan informasi dalam laporan tahunan maupun dengan melakukan survei
kuesioner). Metode weighted akan memberikan bobot tertimbang terhadap
tingkat pengungkapan sosial.
Metode weighted dipakai dengan tujuan untuk mengatasi kelemahan dari
penelitian sebelumnya, seperti penelitian Sayekti dan Wondabio (2007) yang
mengungkapkan bahwa kelemahan dari penelitian mereka adalah tingkat
pengungkapan (disclosure level) tidak bisa diukur dengan tepat karena hanya
menggunakan dummy variable (1 untuk item yang diungkapkan dan 0 untuk
commit to user
kuantitas tingkat pengungkapan (disclosure level), tetapi tidak menunjukkan
kualitas tingkat pengungkapan sosial. Hasil penelitian Hasseldine, Salama, dan
Toms (2004) menjelaskan bahwa pengungkapan kualitatif dalam laporan tahunan
mempunyai dampak yang lebih kuat dari pada pengungkapan kuantitatif.
Weighted index ini diperoleh dari wawancara kuesioner terhadap narrow
based financial stakeholder dengan menggunakan item-item pengungkapan sosial
dalam GRI (Global Reporting Initiative 2008). Item-item pengungkapan sosial
yang terdapat dalam GRI 2008 terdiri dari empat aspek, yaitu:
(1) Tenaga kerja dan Indikator Performa Pekerjaan
(2) Indikator Performa Hak Asasi Manusia
(3) Indikator Performa Masyarakat
(4) Indikator Performa Tanggung Jawab Produk
3. Narrow Financial Based Stakeholder
Menurut Harrison dan Freeman (1999); Frooman (1999) dalam Suhardjanto
(2008), stakeholder diklasifikasikan ke dalam dua sudut pandang, yaitu :
a. Stategic Management (Financial Focus)
Clarkson (1995) membagi perspektif strategic management ke dalam dua
kelompok stakeholder berdasarkan pengaruhnya terhadap eksistensi perusahaan.
Dua kelompok tersebut adalah stakeholder primer dan stakeholder sekunder.
Stakeholder primer mempunyai tingkat keterkaitan tinggi dengan perusahaan. Jika
hubungan dengan kelompok ini tidak baik, maka dipastikan akan terjadi masalah
commit to user
perusahaan. Contoh dari stakeholder primer adalah pemegang saham dan kreditor.
Sedangkan stakeholder sekunder adalah kelompok yang mempunyai hubungan
saling mempengaruhi, tetapi secara financial tidak berpengaruh secara langsung
terhadap keberlangsungan perusahaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah
media (press), akademisi, dan lingkungan.
b. Moral Based (Broader Focus)
Werhene dan Freeman (1997) mengklasifikasikan perspektif moral based ke
dalam empat kelompok stakeholder etik, yaitu interest based, rights based, duty
based, dan virtue based stakeholder. Interest based disebut juga narrow financial
based stakeholder. Kelompok ini lebih fokus pada costs and benefit untuk
maksimalisasi laba. Termasuk dalam kelompok ini adalah investor, kreditor,
manajemen, direktur, politisi, dan organisasi regional. Right based lebih
menekankan pada hak perlindungan (seperti hak dalam distribusi kesejahteraan
dan kebebasan) dari pada masalah financial. Contoh dari kelompok stakeholder
ini adalah administrasi pemerintah, serikat pekerja, organisasi pemberi pinjaman
internasional, dan organisasi kemanusiaan. Sedangkan virtue based lebih
menitikberatkan pada pelaksanaan tindakan dan peraturan secara etis yang
meliputi keadilan dan kebijaksanaan. Contoh dari kelompok ini diantaranya
kelompok lingkungan hidup, media, universitas, komunitas local, kelompok
wanita, dan generasi masa depan. Kelompok terakhir adalah duty based yang
memfokuskan pertimbangan kepatuhan terhadap norma masyarakat, komunitas,
commit to user
masyarakat dan kelompok keagamaan. Rangkuman klasifikasi Moral Based
Stakeholder bisa dilihat dalam Tabel II.1.
Tabel II.1
Klasifikasi Moral Based Stakeholder
Core-Financial Partial Financial Non-Financial
Virtue
Penelitian ini menggunakan perspektif broader based – narrow financial
based stakeholder karena pengungkapan sosial merupakan tanggung jawab moral
perusahaan terhadap stakeholdernya. Alasan lainnya adalah perspektif broader
based lainnya (rights based, duty based, dan virtue based) lebih fokus di bidang
non-financial, sehingga tidak akan muncul konflik kepentingan. Sedangkan
broader based – narrow financial based stakeholder lebih fokus pada bidang
financial yang akan menimbulkan konflik kepentingan. Morrison (2006)
menyatakan bahwa perusahaan yang mengungkapkan aktivitas sosialnya dalam
annual report akan mengalami dua konsekuensi yang bertentangan.
Pengungkapan ini akan berdampak negatif pada aktivitas finansial yaitu
pengurangan produktivitas dan menimbulkan biaya tinggi. Tetapi disisi
non-finansial akan menimbukan dampak positif yaitu dalam hal pengurangan pajak
commit to user
4. Karakteristik Perusahaan
Mutu dan luas pengungkapan annual report masing-masing berbeda.
Perbedaan ini dapat terjadi karena karakteristik, kebijakan, budaya, filosofi
manajemen masing-masing perusahaan juga berbeda (Wardhani, 2009).
Karakteristik menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah ciri-ciri khusus,
mempunyai sifat khas (kekhususan) sesuai dengan perwatakan tertentu, yang
membedakan sesuatu (orang) dengan sesuatu yang lain (Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2002). Karakteristik perusahaan merupakan ciri-ciri khusus
yang melekat pada perusahaan, menandai sebuah perusahaan dan
membedakannya dengan perusahaan lain. Karakteristik perusahaan dapat berupa
ukuran perusahaan (size), jumlah pemegang saham, status pendaftaran perusahaan
di pasar modal, auditor, rate of return, earning margin, leverage, rasio likuiditas,
basis perusahaan, rencana penerbitan sekuritas pada tahun berikutnya, jenis
industri, profile, dan karakteristik lainnya (Marwata, 2001 dalam Wardhani,
2009).
Perbedaan karakteristik antar perusahaan menyebabkan relevansi dan
urgensi pengungkapan yang tidak sama pada setiap perusahaan (Ahmad dan
Sulaiman, 2004). Berbagai penelitian terdahulu yang menguji pengaruh
karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan sosial, diantaranya penelitian
yang dilakukan oleh Haniffa et. al. (2005); Cowen et. al. (1997); Trotman et. al.
(1981); Kelly (1981); Sembiring (2003); Sembiring (2005); Sayekti (2006);
McGure et. al. (1988); Roberts (1992); Utomo (2000); Anggraini (2006) yang
commit to user
berkorelasi positif dengan pengungkapan informasi sosial; Suhardjanto dan Aulia
(2009) menyimpulkan bahwa size berpengaruh terhadap pengungkapan sosial.
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa tingkat leverage juga berkorelasi
dengan tingkat pengungkapan informasi sosial, meskipun hasilnya beragam.
Roberts (1992) menemukan korelasi yang positif, sedangkan Sembiring (2003)
dan Sayekti (2006) menemukan korelasi yang negatif. Suhardjanto dan Aulia
(2009) juga menemukan korelasi negatif antara leverage dengan pengungkapan
sosial. Selanjutnya, Haniffa et. al. (2005) dan Sembiring (2005) tidak
menemukan korelasi antara tingkat leverage dan pengungkapan sosial.
5. Corporate Governance
Kaihatu (2006) menyebutkan bahwa Corporate governance digunakan
sebagai variabel kontrol, karena dipandang sebagai cara yang efektif untuk
menggambarkan hak dan tanggung jawab masing-masing kelompok stakeholder
dalam sebuah perusahaan. Good corporate governance didefinisikan sebagai
konsep yang didasarkan pada teori keagenan. Penerapan mekanisme corporate
governance yang baik dapat menyeimbangkan berbagai kepentingan yang ada
dalam perusahaan. Konsep good corporate governance diharapkan dapat menjadi
alat untuk memberikan keyakinan kepada investor bahwa mereka akan menerima
return atas dana yang telah diinvestasikan (Darmawati, dkk., 2004).
Menurut Ho dan Wong (2001) corporate governance dipandang sebagai
cara yang efektif untuk menggambarkan hak dan tanggung jawab masing-masing
commit to user
indikator utama standar corporate governance dalam sebuah ekonomi. Ho dan
Wong (2001) juga menjelaskan bahwa pengaruh dari mekanisme corporate
governance terhadap pengungkapan informasi sosial perusahaan dapat bersifat
sebagai komplementer (tambahan) atau substitusi (pengganti). Ketika corporate
governance bersifat komplementer (tambahan), maka dengan semakin kuatnya
penerapan mekanisme corporate governance perusahaan, maka akan cenderung
juga untuk mengeluarkan pengungkapan sukarela. Substitusi (pengganti) berarti
perusahaan lebih memilih untuk meningkatkan salah satu komponen karena
manajemen menganggap penerapan corporate governance merupakan ”garansi”
bagi investor, serta dapat mengurangi biaya keagenan yang ditimbulkan oleh
asimetri informasi.
Penelitian yang menguji pengaruh faktor-faktor corporate governance
terhadap tingkat pengungkapan informasi sosial dalam laporan tahunan
perusahaan telah banyak dilakukan. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh
Haniffa et al. (2005); Sembiring (2005); Anggraini (2006); Sayekti (2006) yang
menguji pengaruh ukuran dewan komisaris, ukuran komite audit, kualitas auditor
eksternal, dan struktur kepemilikan terhadap pengungkapan sosial. Dalam
penelitian Suhardjanto dan Aulia (2009), corporate governance yaitu komposisi
komisaris independen dan latar belakang pendidikan presiden komisaris
digunakan sebagai variabel kontrol. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua variabel
commit to user
B. Kerangka Konseptual
Secara garis besar model penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama
menjelaskan permintaan social disclosure (SD Demand) berdasarkan narrow
financial based stakeholders. Tahap kedua menjelaskan tingkat pemenuhan
permintaan praktik social disclosure (SD Supply) dan hubungannya dengan
karakteristik perusahaan dan variabel kontrolnya yaitu corporate governance
mechanism. Berikut ini merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan
model penelitian dan hubungan masing-masing variabel dalam penelitian.
commit to user
C. Pengembangan Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan untuk menjawab rumusan masalah yang
kedua yaitu menguji apakah karakteristik perusahaan berpengaruh terhadap
tingkat pengungkapan sosial (baik menggunakan indeks (weighted) maupun tidak
menggunakan indeks (unweighted)). Karakteristik perusahaan meliputi leverage,
tipe industri, size, dan profitabilitas. Corporate governance digunakan sebagai
variabel kontrol, meliputi kepemilikan institusi dan komposisi dewan komisaris
independen. Berikut ini merupakan telaah penelitian terdahulu dan pengembangan
hipotesis yang dilakukan,
1. Leverage
Teori keagenan memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage
yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena biaya
keagenan perusahaan dengan struktur modal seperti itu lebih tinggi (Jensen dan
Meckling, 1976). Tambahan informasi diperlukan untuk menghilangkan keraguan
pemegang obligasi terhadap dipenuhinya hak-hak mereka sebagai kreditur
(Schipper, 1981 dalam Marwata, 2001; Meek et.al, 1995 dalam Fitriany, 2001).
Oleh karena itu perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi memiliki kewajiban
untuk melakukan ungkapan yang lebih luas daripada perusahaan dengan rasio
leverage yang rendah.
Pendapat lain dikemukakan oleh Belkaoui dan Karpik (1989) bahwa
sesuai dengan teori agensi maka manajemen perusahaan dengan tingkat leverage
yang tinggi akan mengurangi pengungkapan tanggung jawab sosial yang
commit to user
Belkaoui dan Karpik (1989) ini menunjukkan leverage berpengaruh negatif
signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Setelah
melihat beberapa penelitian yang telah dilakukan, misalnya penelitian Aulia dan
Suhardjanto (2009); Fitriany (2001); Belkaoui dan Karpik (1989); Amalia (2005)
hasilnya menunjukkan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap
pengungkapan sosial, maka hipotesis satu dirumuskan sebagai berikut.
H1: leverage berpengaruh negatif terhadap pengungkapan sosial
2. Tipe Industri
Perusahaan yang termasuk dalam industri yang high-profile akan
memberikan informasi sosial lebih banyak dibandingkan perusahaan yang
low-profile. Roberts (1992) dalam Hackston dan Milne (1996) mendefinisikan industri
yang high-profile adalah industri yang memiliki visibilitas konsumen, risiko
politis yang tinggi, atau menghadapi persaingan yang tinggi. Preston (1977) dalam
Hackston dan Milne (1996) mengatakan bahwa perusahaan yang memiliki
aktivitas ekonomi yang memodifikasi lingkungan, seperti industri ekstraktif, lebih
mungkin mengungkapkan informasi mengenai dampak lingkungan dibandingkan
industri yang lain. Cowen, et al. (1987) dalam Hackston dan Milne (1996)
mengatakan bahwa perusahaan yang berorientasi pada konsumen diperkirakan
akan memberikan informasi mengenai pertanggungjawaban sosial karena hal ini
akan meningkatkan image perusahaan dan mempengaruhi penjualan.
Klasifikasi tipe industri oleh banyak peneliti sifatnya sangat subyektif dan
commit to user
mengelompokkan perusahaan otomotif, penerbangan dan minyak sebagai industri
yang high-profile. Sedangkan Diekers dan Perston (1977) dalam Hackston dan
Milne (1996) mengatakan bahwa industri ekstraktif merupakan industri yang
high-profile. Patten (1991) dalam Hackston dan Milne (1996) mengelompokkan
industri pertambangan, kimia dan kehutanan sebagai industri yang high-profile.
Atas dasar pengelompokkan di atas, penelitian ini kemudian mengelompokkan
industri konstruksi, pertambangan, pertanian, kehutanan, perikanan, kimia,
otomotif, barang konsumsi, makanan dan minuman, kertas, farmasi dan plastik
sabagai industri yang high-profile.
H2: Tipe industri berpengaruh terhadap pengungkapan sosial
3. Profitabilitas
Di dalam Oliveira et al. (2008) dijelaskan hubungan antara profitabilitas
dengan pengungkapan. Agency theory menyatakan bahwa aktivitas pengungkapan
merupakan sebuah mekanisme untuk mengontrol kinerja manajer. Oleh karena
itu, manajer terdorong untuk mengungkapkan informasi sukarela untuk
mempertahankan posisi mereka. Konsisten dengan signalling theory, perusahaan
dengan tingkat profitabilitas yang besar diharapkan lebih dapat mengungkapkan
good news untuk menghindarkan undervaluation atas saham perusahaan. Political
cost theory mendorong ide bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang
tinggi memiliki dorongan yang kuat untuk mengungkapkan lebih banyak, dalam
rangka memperlihatkan kepada pasar bagaimana dan dari mana, laba perusahaan
commit to user
Rasio profitabilitas memberikan informasi mengenai kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan tingkat pengembalian (rate of return); dan
mengukur tingkat efisiensi dan efektivitas dari aktivitas operasional perusahaan
akan penggunaan asset yang dimiliki perusahaan dalam pengkreasian nilai
perusahaan. Kestabilan rasio ini menunjukkan stabilitas tingkat pengembalian
(rate of return) atas modal yang ditanam oleh investor. Haniffa dan Cooke (2005)
menunjukkan bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi akan
lebih banyak mengungkapkan informasi sukarela ke publik.
Profitabilitas dan pengungkapan perusahaan memiliki hubungan yang
positif artinya semakin baik profitabilitas perusahaan maka semakin baik pula
pengungkapan perusahaan (Ullmann, 1985; Haniffa dan Cooke, 2005). Beberapa
peneliti menemukan hubungan positif antara profitabilitas dan keluasan
pengungkapan (Shingvi dan Desai, 1997).
H3 : profitabilitas berpengaruh positif terhadap pengungkapan sosial
4. Size (Ukuran Perusahaan)
Perusahaan besar umumnya menjadi sorotan banyak pihak, baik dari
masyarakat secara umum maupun pemerintah. Perusahaan dengan ukuran yang
lebih besar relatif lebih diawasi oleh lembaga-lembaga pemerintah, sehingga
mereka berupaya menyajikan pengungkapan yang lebih baik untuk dapat
meminimalisasi tekanan-tekanan pemerintah (Tjakradinata, 2000). Marwata
(2001) juga menyebutkan bahwa perusahaan besar memiliki sumber daya yang
commit to user
membiayai penyediaan informasi untuk keperluan internal. Informasi itu sekaligus
menjadi bahan untuk keperluan pengungkapan informasi kepada pihak eksternal,
sehingga tidak perlu ada tambahan biaya yang besar untuk dapat melakukan
pengungkapan dengan lebih lengkap. Sebaliknya, perusahaan dengan sumber daya
yang relatif kecil mungkin tidak memiliki informasi siap saji sebagaimana
perusahaan besar.
commit to user
BAB III
METODE PENELITIAN
Setelah dalam bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai landasan teori
dan pengembangan hipotesis, maka pada Bab III ini akan menjelaskan mengenai
desain penelitian, data, alat uji, dan pengujian hipotesis yang dilakukan.
A. Desain Penelitian
Secara garis besar desain dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tahap.
Tahap pertama yaitu melakukan survei kuesioner untuk mengukur komponen
demand. Survei ini dilakukan terhadap 70 orang narrow financial based
stakeholder yang akan menghasilkan indeks tertimbang. Indeks ini akan
menunjukkan tingkat permintaan akan pengungkapan sosial. Indeks juga akan
memberikan bobot terhadap praktik pengungkapan sosial perusahaan agar kualitas
pengungkapan lebih tepat dan akurat.
Tahap kedua akan dilakukan pengukuran untuk komponen supply. Dalam
tahap ini akan dilakukan pengukuran pengungkapan sosial dalam laporan tahunan.
Pengukuran dilakukan dengan dummy variable yaitu memberikan score 1 untuk
item GRI 2008 yang diungkapkan dalam annual report dan memberikan score 0
untuk item yang tidak diungkapkan dalam annual report. Tingkat pemenuhan
permintaan akan pengungkapan sosial (supply) bisa dilihat dari score yang telah
commit to user
Penelitian ini juga melakukan hypothesis testing. Pengujian hipotesis
dilakukan dengan menguji leverage, tipe industri, ukuran perusahaan, dan
profitabilitas sebagai variabel independen, yang dikontrol dengan mekanisme
corporate governance yaitu kepemilikan institusi dan komposisi dewan komisaris
independent terhadap social disclosure. Pengujian dilakukan baik dengan
menggunakan indeks (weighted) maupun tidak menggunakan indeks
(unweighted).
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling
Populasi dapat dijelaskan sebagai kumpulan atau kelompok orang,
peristiwa atau sesuatu yang menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian
(Sekaran, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang
listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2008 dan kelompok narrow
financial based stakeholder. Penggunaan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia sebagai populasi, karena Bursa Efek Indonesia merupakan satu-satunya
bursa efek yang ada di Indonesia sehingga diharapkan akan memperoleh jumlah
populasi sekaligus sampel yang besar dan dapat memperkuat power of test-nya.
Sedangkan penggunaan kelompok narrow financial based stakeholder karena
kelompok ini syarat dengan konflik kepentingan seperti yang telah dijelaskan
pada Bab II.
Sampel merupakan bagian dari populasi yang terdiri dari elemen-elemen
commit to user
2000). Proses pengambilan sampel dilakukan melaului dua tahap, yaitu sampling
untuk demand dan supply.
Tahap 1 (satu)
Tahap 1 (satu) merupakan sampling untuk komponen demand. Sampling
ini dilakukan dengan wawancara kuesioner item-item social disclosure
berdasarkan standar GRI 2008 terhadap 70 orang narrow financial based
stakeholder yang terdiri atas direktur, manajer, investor, politisi, kreditur dan
organisasi regional. Untuk proporsi penyebaran kuesioner, yaitu sebesar 50
kuesioner atau 71,43% disebarkan kepada investor dan manajer, dan sisanya
sebesar 20 kuesioner atau 28,56% disebarkan untuk kelmpok narrow financial
based stake holder lainnya. Detail jumlah penyeberan kuesioner bisa dilihat dalam
Tabel III.1 berikut.
Tabel III.1
Proporsi Penyebaran Kuesioner No Kelompok narrow financial
based stake holder
terbesar diberikan kepada investor dan manajer. Hal ini dilakukan mengingat
kedua kelompok tersebut syarat akan konflik kepentingan seperti yang dijelaskan
commit to user
Kuesioner penelitian menggunakan skala likert 5 (angka 5 menunjukkan
item social disclosure sangat penting diungkapkan dalam annual report, angka 4
menunjukkan item social disclosure penting diungkapkan dalam annual report,
angka 3 menunjukkan item social disclosure cukup penting diungkapkan dalam
annual report, angka 2 menunjukkan item social disclosure tidak penting
diungkapkan dalam annual report, sedangkan angka 1 menunjukkan item social
disclosure sangat tidak penting diungkapkan dalam annual report). Sedangkan
item-item social disclosure berdasarkan GRI 2008 bisa dilihat dalam Lampiran 2.
Hasil sampling ini akan menghasilkan index untuk memberikan bobot
tertimbang dalam analisis pengungkapan sosial dalam laporan tahunan emiten.
Selain digunakan untuk membuat weighted index, hasilnya juga dapat
menunjukkan seberapa besar tingkat permintaan akan pengungkapan sosial yang
diinginkan narrow financial based stakeholder.
Tahap 2 (dua)
Pada tahap 2 (dua) akan dilakukan sampling komponen supply. Komponen
supply diukur dengan metode unweighted dan weighted. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode purposive
sampling. Penelitian ini mengambil 70 annual report perusahaan di Indonesia
sesuai dengan kriteria. Kriteria yang digunakan untuk memilih sampel adalah
sebagai berikut :
1. Perusahaan yang telah terdaftar penuh (fully listed company) di Bursa Efek
Indonesia (BEI), minimal 2 tahun berturut-turut. Hal ini menunjukkan
commit to user
2. Untuk keperluan analisis data maka perusahaan harus mempublikasikan
annual report secara lengkap untuk tahun finansial 2008.
3. Perusahaan yang menjadi sampel harus memiliki tanggal tutup buku 31
Desember.
4. Perusahaan melaporkan informasi yang bersifat moneter dalam satuan
mata uang rupiah.
Hasil analisis tahap 2 (dua) akan menunjukkan tingkat pemenuhan
permintaan (supply) dalam laporan tahunan perusahaan. Pada tahap 2 (dua) ini
juga akan dilakukan uji analisis karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan
sosial.
C. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui survei kuesioner menggunakan kriteria
GRI 2008 kepada narrow financial based stakeholder yaitu investor,
kreditor-institusi financial, manajemen, direktur, politisi, organisasi regional. Data primer
ini digunakan untuk mengukur demand (Tahap 1). Sedangkan data sekunder
diperoleh dari laporan-laporan, catatan dan arsip yang diperoleh dari beberapa
sumber diantaranya:
1. Laporan tahunan perusahaan sampel yang dipublikasikan di
www.idx.co.id
2. Data perusahaan dari Indonesian Capital Market Directory
commit to user
Data sekunder digunakan untuk mengukur komponen supply dan menguji
analisis karakteristeik perusahaan terhadap pengungkapan sosial (Tahap 2).
D. Pengukuran Variabel
Sekaran (2000) menyatakan bahwa variabel merupakan sesuatu yang
mempunyai nilai yang dapat berbeda/berubah. Nilai ini dapat berbeda dalam
waktu yang lain untuk objek/orang yang sama atau dapat juga berbeda pada waktu
yang sama untuk orang/objek yang berbeda.
Penelitian ini menggunakan dua variabel utama, yaitu variabel independen
dan dependen, ditambah dengan variabel kontrol. Adapun definisi dan
pengukuran masing-masing variabel akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Variabel Independen
Variabel independen menurut Sekaran (2000) merupakan salah satu
variabel yang mempengaruhi variabel dependen, baik pengaruh itu secara positif
maupun negatif
a. Leverage (X1)
Leverage diproksi dengan Debt to equity ratio dengan perhitungan total
hutang dibagi total modal sendiri. Rasio ini menunjukkan seberapa besar dari
total keseluruhan aset perusahaan yang diperoleh atau didanai oleh utang. Hal
ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Kokubu et. al., (2001). Sedangkan
rumus yang digunakan untuk menghitung leverage adalah sebagai berikut,
Ekuitas Total
commit to user b. Tipe Industri (X2)
Kriteria untuk menentukan perusahaan dengan high-profile dengan low-profile
digunakan pengelompokkan menurut Roberts (1992), Preston (1977) dan
Patten (1991) dalam Hackston dan Milne (1996). Perusahaan-perusahaan yang
termasuk dalam industri konstruksi, pertambangan, pertanian, kehutanan,
perikanan, kimia, otomotif, barang konsumsi, makanan dan minuman, kertas,
farmasi dan plastik sabagai industri yang high-profile. Sementara industri
property dan real estate, perdagangan, jasa dan investasi dikategorikan
menjadi industri low-profile. Tipe industri diukur menggunakan variabel
dummy (1 = perusahaan yang termasuk dalam industri yang high-profile, 0 =
perusahaan yang termasuk dalam industri yang low-profile).
c. Profitabilitas (X3)
Profitabilitas perusahaan dapat dilihat dari tingkat pengembalian atas asset
(Freedman dan Jaggi, 2005) Penelitian ini menggunakan ROA sebagai
pengukur tingkat profitabilitas karena ROA menunjukkan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba serta mengukur tingkat efisiensi
operasional secara keseluruhan dan efisiensi perusahaan dalam menggunakan
harta yang dimilikinya (Haniffa dan Cooke, 2005). ROA adalah rasio yang
diukur berdasarkan perbandingan antara laba setelah pajak dengan total aktiva
perusahaan.
d. Size (X4)
Size atau ukuran perusahaan, merupakan variabel yang dapat diukur
commit to user
Semakin besar nilai total asset, penjualan, total tenaga kerja, dan nilai
kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ukuran perusahaan (Haniffa dan
Cooke, 2005). Proksi yang digunakan untuk mengukur variabel size dalam
penelitian ini mengacu pada penelitian Aulia (2009) yaitu dengan
menggunakan total aktiva perusahaan. Total aktiva digunakan karena total
aktiva berisi keseluruhan aktiva yang dimiliki perusahaan baik lancar maupun
tidak lancar, sehingga lebih menunjukkan ukuran perusahaan sebenarnya
(Aulia, 2009)
2. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pengungkapan social (social
disclosure). Untuk mengukur pengungkapan sosial digunakan metode weigthed
index. Weighted index berarti memberikan indeks tertimbang kepada setiap item
yang diungkapkan. Indeks tertimbang diperoleh dari hasil survei kuesioner
menggunakan kriteria GRI 2008 kepada narrow financial based stakeholder yaitu
investor, kreditor-institusi financial, manajemen, direktur, politisi, organisasi
regional.
Standar GRI dipakai dalam penelitian ini karena GRI menyediakan
petunjuk yang memadai dalam pelaporan aktivitas sosial bagi perusahaan dan
stakeholder-nya untuk pengembangan yang berkelanjutan. Sedangkan metode
weighted index digunakan karena indeks yang diperoleh menunjukkan kesesuaian
commit to user
Berikut ini merupakan persamaan yang digunakan untuk menghitung
variasi social disclosure (Li et al., 2008):
Dimana, nj = jumlah item untuk jth perusahaan. nj = 40. Xij = 1 jikaitem
diungkapkan, 0 jika item tidak diungkapkan.
3. Variabel Kontrol
a. Kepemilikan Institusi (X5)
Adalah kepemilikan saham oleh investor institusional dalam suatu perusahaan.
Fidyati (2004) menyebutkan bahwa kepemilikan saham oleh institusi dapat
menjadi kendala manajer yang berusaha bertindak oportunis untuk
kepentingan pribadinya. Dengan sempitnya keleluasaan manajer, diharapkan
laporan yang disajikan lebih dapat dipercaya, sehingga kualitasnya juga lebih
tinggi. Kepemilikan institusi diproksikan dengan persentase kepemilikan
saham oleh investor institusional dari total keseluruhan kepemilikan saham
yang beredar dalam perusahaan.
b.Proporsi Dewan Komisaris Independen (X6)
Ditunjukkan melalui besarnya persentase dewan komisaris yang berasal dari
luar perusahaan (independen) terhadap total keseluruhan anggota dewan
komisaris yang ada dalam suatu perusahaan, dengan persentase minimal 30%
commit to user
(2002) dan Chau dan Leung (2006), komposisi komisaris independen dihitung
dengan:
dilakukan sebagai prasyarat untuk melakukan pengujian hipotesis; descriptive
statistic; dan pengujian hipotesis menggunakan analisis multiple regression.
Selain pengujian utama, dilakukan juga logistic regression dan t-test untuk
mendukung hasil pengujian utama. Pengujian dilakukan dengan menggunakan
bantuan software SPSSrelease 17. Berikut ini akan dijelaskan mengenai
tahapan-tahapan pengujian dalam penelitian ini.
1. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu
kuesioner (Ghozali, 2006). Pengujian validitas dalam penelitian ini dilakukan
dengan melakukan korelasi bivariate antara masing-masing skor indikator dengan
total skor konstruk. Sedangkan uji reliabilitas digunakan untuk mengukur suatu
kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Suatu kuesioner
dikatan reliable atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan konsisten
atau stabil dari waktu ke waktu. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan