• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi Virus Hepatitis C Pada Komunitas Gigolo Surakarta Menggunakan Nested PCR yang Mengamplifikasi Sebagian Regio NS5B

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Deteksi Virus Hepatitis C Pada Komunitas Gigolo Surakarta Menggunakan Nested PCR yang Mengamplifikasi Sebagian Regio NS5B"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

DETEKSI VIRUS HEPATITIS C PADA KOMUNITAS GIGOLO SURAKARTA

MENGGUNAKAN NESTED PCR YANG MENGAMPLIFIKASI

SEBAGIAN REGIO NS5B

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Wike Astrid Cahayani

G.0008023

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

(2)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Infeksi yang disebabkan Virus Hepatitis C (HCV) telah menjadi beban

kesehatan masyarakat. Diperkirakan 170 juta orang terinfeksi HCV di seluruh

dunia (Chevaliez et al., 2009). Dalam kurun waktu 20-30 tahun, sekitar 80% dari

kasus tersebut berkembang menjadi infeksi hepatitis C kronis yang dapat

menyebabkan sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler (Alter, 2007). Selain itu,

angka kejadian infeksi hepatitis C di Indonesia hampir 2,4% dari seluruh

penduduk (WHO, 2003). Adanya koinfeksi HCV pada pasien HIV (Human

Immunodeficiency Virus) positif juga menimbulkan masalah baru karena dapat

mempercepat penurunan sistem imunitas tubuh, terutama oleh infeksi HCV

genotipe 1 (Balogun et al., 2010).

Saat terjadi infeksi hepatitis C akut, gejala pada penderita seringkali tidak

tampak sehingga terjadi keterlambatan diagnosis (Alter, 2007). Padahal, infeksi

hepatitis C akut dapat berkembang menjadi kronis sehingga dapat meningkatkan

mortalitas dan morbiditas (Alter, 2007; Schnuriger et al., 2006). Oleh karena itu,

deteksi dini terhadap infeksi hepatitis C berperan penting dalam mencegah

penularan lebih lanjut, khususnya pada kelompok dengan risiko tinggi. Deteksi

dini juga bermanfaat membantu tenaga kesehatan dalam menentukan diagnosis

serta penatalaksanaan yang sesuai, sehingga kasus infeksi hepatitis C dapat diatasi

(3)

commit to user

Pada umumnya, kelompok yang memiliki risiko tinggi tertular infeksi

hepatitis C pernah menggunakan narkotika suntik, memiliki tato atau tindik, dan

seseorang dengan HIV/AIDS (Albeldawi et al., 2010; Jafari et al., 2010). Adapun

riwayat berhubungan seksual dengan banyak pasangan, dikategorikan sebagai

faktor risiko rendah (Albeldawi et al., 2010). Meskipun tergolong berisiko rendah,

aktivitas seksual merupakan aktivitas yang umum, sehingga penularan HCV dapat

terjadi secara lebih luas. Di Amerika Serikat misalnya, kelompok dengan pasangan

seksual lebih dari 50 orang memiliki prevalensi anti-HCV 5% lebih besar

dibandingkan kelompok dengan pasangan seksual kurang dari 50 orang

(Armstrong et al., 2006). Selain itu, kasus koinfeksi HCV pada pasien HIV juga

meningkat pada kelompok yang memiliki aktivitas seksual berisiko tinggi dan

menggunakan jarum suntik (Operskalski dan Kovacs, 2011).

Berkaitan dengan permasalahan tersebut, alasan dipilihnya komunitas

pekerja seks komersial pria (gigolo) di Surakarta dalam penelitian ini karena

mereka aktif secara seksual. Perilaku aktif secara seksual dalam komunitas gigolo

tidak hanya dengan pasangan wanita, tetapi juga dengan pria dan transgender

(Baral et al., 2010; dos Ramos Farías et al., 2011). Di samping memiliki perilaku

seksual yang berisiko, komunitas gigolo juga mempunyai perilaku berisiko tinggi

lain yang mempermudah penyebaran infeksi HCV, seperti penggunaan narkotika

suntik, tato, dan tindik (Baral et al., 2010; Estcourt et al., 2000). Hal ini

menjadikan mereka sebagai subjek penelitian yang unik serta lebih rentan

terinfeksi hepatitis C dibandingkan pekerja seks komersial wanita (dos Ramos

(4)

commit to user

Selain pengetahuan tentang faktor risiko penularan, pemahaman akan

identifikasi genotipe dan subtipe HCV juga dibutuhkan dalam mempelajari

epidemiologi tentang HCV. Regio NS5B diamplifikasi karena memiliki karakter

yang sangat informatif serta heterogen (Baclig et al., 2010; Cantaloube et al.,

2006). Hasil penelitian Cantaloube et al. (2006) dan Murphy et al. (2007)

memperlihatkan bahwa NS5B mampu membedakan HCV subtipe 1a dari subtipe

1b dalam lebih dari 90% kasus. Dengan demikian, regio NS5B berpotensi

memfasilitasi identifikasi subtipe HCV secara lebih akurat. Identifikasi subtipe

HCV ini bermanfaat sebagai langkah awal dalam studi epidemiologi molekuler

mengenai strain HCV yang beredar di Indonesia.

Studi ini merupakan bagian dari penelitian payung epidemologi molekuler

Human Blood Borne Viruses yang dilakukan oleh Laboratorium Mikrobiologi

Fakultas Kedokteran UNS, bekerja sama dengan Laboratorium Biomedik Fakultas

Kedokteran UNS dan Division of Virology Faculty of Medicine Tottori University

Japan. Kerjasama penelitian tersebut berupa penelitian epidemiologi molekular

yang difokuskan terhadap Human Immunodeficiency Virus, Hepatitis B Virus,

Hepatitis C Virus, Hepatitis D Virus, Human T-Lymphotropic Virus 1/2, dan

Torque Teno Virus di Indonesia. Berkaitan dengan studi tersebut, produk

Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dihasilkan akan disekuensing dan

dianalisis secara molekuler. Namun, dalam skripsi ini hanya dilaporkan data

epidemiologi dan hasil pemeriksaan serologi molekuler HCV dan tidak dilakukan

(5)

commit to user B. Perumusan Masalah

Bagaimanakah virus hepatitis C pada komunitas gigolo di Surakarta

menggunakan Nested PCR yang mengamplifikasi sebagian regio NS5B?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan jangka pendek dari penelitian ini adalah memperoleh data awal

epidemiologi infeksi hepatitis C pada komunitas gigolo di Surakarta. Data awal ini

diharapkan dapat digunakan untuk membuat kebijakan di bidang kesehatan dalam

rangka mengeradikasi infeksi hepatitis C.

Adapun tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah mengetahui profil

epidemiologi dan strain human blood borne viruses (khususnya HCV) yang

beredar di Indonesia, sekaligus untuk pengumpulan isolat virus yang dapat

digunakan untuk studi lanjutan HCV di bidang patogenesis, diagnosis, terapi, dan

vaksin.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang epidemiologi HCV

pada komunitas gigolo di Surakarta.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah diperolehnya data awal mengenai

infeksi hepatitis C yang dapat digunakan oleh petugas maupun dinas kesehatan

dalam melaksanakan program preventif, diagnosis, maupun kuratif terhadap

(6)

commit to user

5 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Virus Hepatitis C (HCV)

a. Klasifikasi HCV

HCV termasuk dalam famili Flaviviridae dan genus Hepacivirus

(ICTVdB, 2006). HCV dapat diklasifikasikan dalam beberapa genotipe dan

subtipe berdasarkan susunan gennya. Genotipe HCV dibedakan antara satu

dengan lainnya berdasarkan 31-33% perbedaan urutan nukleotida, sedangkan

subtipe dibedakan berdasarkan 20-25% perbedaan urutan nukleotida

(Simmonds et al., 2005). Saat ini terdapat tujuh genotipe HCV yang

diklasifikasikan menjadi beberapa subtipe, yaitu a, b, c, d, dan seterusnya

(Sharma, 2010; Simmonds et al., 2005).

b. Morfologi dan Komponen HCV

HCV termasuk virus yang berukuran kecil (kurang lebih 55-65 nm),

berbentuk sferis, dan memiliki selubung glikoprotein (Sharma, 2010). Genom

HCV merupakan RNA rantai tunggal positif sepanjang 9,6 kb dengan daerah

Open Reading Frame (ORF) yang diapit oleh 5’-Untranslated Region (UTR)

dan 3’-UTR (Lemon et al, 2007).

Poliprotein HCV yang dihasilkan secara fungsional dapat dibagi

menjadi tiga daerah, yaitu N-terminal, tengah, dan C-terminal. Daerah

(7)

commit to user

envelope glycoprotein 1 dan 2 (E1 dan E2). Daerah tengah terdiri atas protein

p7 dan NS2. Daerah C-terminal terdiri atas protein nonstruktural (NS3, NS4A,

NS4B, NS5A, dan NS5B) yang berfungsi penting dalam replikasi RNA

(Lemon et al, 2007; Sharma, 2010).

Ujung 5’-UTR diketahui sangat terkonservasi dan telah digunakan

dalam deteksi HCV secara klinis (Simmonds et al., 2005). Meskipun demikian,

regio ini tidak mampu mendiskriminasi subtipe secara akurat. Di sisi lain,

terdapat regio NS5B yang lebih potensial dalam membedakan subtipe HCV

dibandingkan 5’UTR. Heterogenitas pada sekuens NS5B lebih banyak,

sehingga NS5B memiliki akurasi yang lebih tinggi dalam mendeteksi subtipe

HCV (Baclig et al, 2010).

2. Hepatitis C pada Pekerja Seks Komersial Pria (Gigolo)

Kelompok yang berisiko terhadap penularan infeksi HCV dapat

diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok dengan risiko tinggi,

sedang, dan rendah (Albeldawi et al., 2010, Jafari et al., 2010). Kelompok risiko

tinggi meliputi pengguna narkotika suntik, penderita hemofilia, penderita HIV,

serta pengguna tato dan tindik. Kelompok dengan risiko sedang meliputi resipien

transfusi darah, resipien transplantasi organ, dan bayi yang dilahirkan oleh ibu

dengan infeksi hepatitis C. Kelompok dengan risiko rendah terdiri atas kelompok

yang memiliki banyak pasangan seksual atau berhubungan seksual dengan orang

yang terinfeksi hepatitis C, serta pekerja kesehatan yang terpapar HCV melalui

(8)

commit to user

Penggunaan narkotika suntik dilaporkan sebagai rute utama yang

berperan dalam penularan infeksi HCV (Albeldawi et al., 2010; Roy et al.,

2001). Studi meta-analisis yang dikemukakan oleh Hagan et al. (2011)

menyebutkan bahwa prevalensi infeksi HCV pada pengguna narkotika suntik

bervariasi antara 40-90%. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan prevalensi

infeksi HCV pada pengguna narkotika nonsuntik yang hanya berkisar 5% (Fuller

et al., 2004). Terkait dengan komunitas gigolo, Baral et al. (2010), menemukan

sebanyak 8% dari 50 gigolo di Moscow, Rusia, merupakan pengguna narkotika

suntik. Adapun di Australia, studi terhadap komunitas yang sama menemukan

17% (16/94) gigolo dengan anti-HCV positif memiliki riwayat sebagai pengguna

narkotika suntik (Estcourt et al., 2000).

Tato dan tindik merupakan faktor risiko tinggi lain dalam penularan

infeksi hepatitis C (Jafari et al., 2010; Roy et al., 2001). Pada penelitian Roy et

al. (2001), di antara 247 remaja jalanan di Kanada yang memiliki setidaknya

satu tato pada tubuh mereka, 10,3% positif anti-HCV, sedangkan di antara 342

remaja yang memiliki satu tindik atau lebih, 13,5% positif anti-HCV. Prevalensi

anti-HCV positif tersebut lebih besar dibandingkan angka seropositif HCV pada

remaja yang tidak menggunakan tato dan tindik, yaitu hanya 6,7% dari 284

remaja (Roy et al., 2001). Mengenai studi di Indonesia, sejauh yang peneliti

ketahui belum terdapat studi yang mengobservasi faktor risiko penggunaan

narkotika suntik, tato, maupun tindik pada komunitas gigolo.

Di samping risiko terinfeksi HCV melalui penggunaan narkotika suntik,

(9)

commit to user

seksual mereka. Penelitian tentang transmisi HCV melalui hubungan seksual

pada masyarakat umum dikemukakan oleh Kao et al. (2000) yang menemukan

adanya risiko penularan infeksi HCV di antara pasangan suami istri. Penelitian

lain juga mendapati kasus hepatitis C akut pada seorang istri yang telah menikah

selama 30 tahun dengan suami yang terinfeksi hepatitis C (Nishimura et al.,

2010). Risiko penularan HCV melalui aktivitas seksual ini akan meningkat

seiring bertambahnya jumlah pasangan seksual yang terlibat (Armstrong et al.,

2006).

Adapun penelitian yang mengobservasi prevalensi HCV pada komunitas

pekerja seks komersial terdapat dalam beberapa studi. Pada studi yang dilakukan

terhadap 1.527 pekerja seks komersial wanita di Korea Selatan, didapatkan 1,4%

partisipan dengan anti-HCV positif (Kweon et al., 2006). Semua subjek tidak

memiliki riwayat HIV positif maupun menggunakan narkotika suntik. Penelitian

serupa yang melibatkan 1.144 pekerja seks komersial wanita di Kongo

menunjukkan adanya prevalensi anti-HCV sebesar 6,6% (Laurent et al., 2001).

Studi lain yang dilakukan terhadap 625 pekerja seks komersial wanita di enam

kota di Argentina menunjukkan prevalensi hepatitis C sebesar 4,3% (Pando et

al., 2006).

Berbeda dengan penelitian pada pekerja seks komersial wanita, studi

tentang prevalensi HCV pada komunitas gigolo masih terbatas. Pada penelitian

Baral et al. (2010), 8% dari 50 gigolo di Moscow, Rusia, terinfeksi HCV.

Sementara itu, prevalensi HCV pada gigolo di Argentina sebesar 6,1% dari 82

(10)

commit to user

studi mengenai data epidemiologi HCV pada komunitas gigolo. Sejauh yang

peneliti peroleh, terdapat satu penelitian terkait HCV pada komunitas pekerja

seks di Indonesia, yaitu penelitian Basri et al. (2003) yang mengemukakan

prevalensi anti-HCV sebesar 9,1% pada 33 orang pekerja seks komersial wanita

di kota Padang.

3. Koinfeksi HCV dengan HIV

Hingga tahun 2007, diperkirakan 33 juta orang di dunia telah terinfeksi

HIV. Di Indonesia, jumlah penduduk yang terinfeksi HIV diperkirakan

meningkat menjadi 270.000 orang pada tahun 2007, di mana sebelumnya 93.000

orang pada tahun 2001 (UNAIDS, 2008). Dari seluruh orang yang terinfeksi

HIV di dunia, sekitar 4-5 juta orang mengalami koinfeksi dengan HCV

(Operskalski dan Kovacs, 2011). Adapun di Indonesia, belum terdapat data

resmi mengenai prevalensi koinfeksi HCV dengan HIV.

Terdapat rute penularan infeksi HIV yang hampir sama dengan infeksi

HCV, yaitu melalui penggunaan narkotika suntik dan hubungan seksual. Oleh

karena itu, kejadian koinfeksi HCV dengan HIV sangat mungkin terjadi (Chen et

al., 2011). Infeksi HIV berdampak signifikan terhadap riwayat alamiah penyakit

hepatitis C. Koinfeksi HIV dengan HCV dapat mempercepat tingkat kerusakan

hepar yang mengakibatkan elevasi ALT, mempercepat terjadinya sirosis hati,

serta meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler (Chen et al., 2011; Thomas et

al., 2000).

Terkait jalur penularan infeksi HIV dan HCV, terdapat koinfeksi HCV

(11)

commit to user

Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa serta Asia (Operskalski dan Kovacs,

2011). Penggunaan tato dengan cara yang tidak aman juga disinyalir

berkontribusi dalam terjadinya koinfeksi HCV dengan HIV (Thomas et al.,

2011). Akan tetapi, berbeda dengan penggunaan narkotika suntik, koinfeksi

HCV terjadi kurang dari 15% pada populasi yang tertular HIV melalui hubungan

seksual (Operskalski dan Kovacs, 2011; Thomas et al., 2011).

B. Kerangka Pemikiran

Data awal epidemiologi HCV pada komunitas gigolo di Surakarta Komunitas gigolo di Surakarta

Faktor risiko transmisi HCV: 1. Aktivitas seksual dengan lebih

dari satu pasangan

2. Penggunaan narkotika suntik 3. Tato

4. Tindik

(Albeldawi et al., 2010; Armstrong et al., 2006; Baral et al., 2010; dos Ramos Farías et al., 2011; Jafari et al., 2010; Roy et al., 2001)

Skrining anti-HCV

Anti-HCV negatif

Amplifikasi sebagian genom HCV NS5B dengan Nested PCR

Anti-HCV positif

(12)

commit to user

11 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan pendekatan

cross-sectional.

B. Lokasi penelitian

Deteksi serologi dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan deteksi

molekuler dilakukan di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas

Sebelas Maret.

C. Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunitas gigolo di

Surakarta. Subjek yang bersedia menandatangani surat persetujuan menjadi

partisipan studi serta informed consent untuk semua tindakan yang akan dilakukan,

dilibatkan dalam penelitian ini. Penelitian ini telah mendapatkan ethical clearance

dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Surakarta/RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

D. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non

probability sampling, menggunakan teknik quota sampling dengan jumlah sampel

(13)

commit to user E. Alur Kerja Penelitian

Sampel darah

Skrining dengan kit Ortho HCV Ab PA II®

Anti-HCV positif Anti-HCV negatif

Sintesis cDNA

Nested PCR

Elektroforesis Fraksinasi

Aliquot Plasma

Isolasi RNA HCV dari aliquot plasma

F. Instrumentasi Penelitian

1. Alat penelitian

a. Centrifuge (Eppendorf, Hamburg, Deutschland)

b. Mastercycler Personal® PCR (Eppendorf, Hamburg, Deutschland)

c. Micropipette (P1000, P200, P10) (Gilson, Middleton, WI)

d. Vortex (Thermo Fisher Scientific, Worcester, MA)

e. Digital scale (Mettler Toledo, Greifensee, Switzerland)

f. Autoclave (Hirayama, Saitama, Japan)

(14)

commit to user h. Magnetic stirrer (Biomega, Redding, CA)

i. Deepfreezer (New Brunswick Scientific, Edison, NJ)

j. Aparatus elektroforesis (chamber, comb, dan power supply) (BioRad,

Los Angeles, CA)

k. Gel DocTM XR (Bio-Rad, Hercules, CA)

l. Refrigerator (Sharp, Osaka, Japan)

m. Class II safety cabinet (ESCO, Portland, OR)

n. Tube rack

o. Beaker glass

2. Bahan penelitian

a. Filter tips RNase/DNase pyrogen free (10 l, 200 l, dan 1000 l)

b. Microcentrifuge tube 1,5 ml

c. PCR tube dan PCR cap

d. Polypropylene (PP) tube 15 ml

e. F96 MicroWell Plates (Nunc, Rochester, NY)

f. Sarung tangan

g. Masker

h. Kertas tisu

i. Bufer Tris-EDTA (TE) pH 8

j. Etidium bromida (EtBr) 0,5 μg/ml

k. Agarose

l. Bufer TAE (Tris-acetate EDTA) 1 x (Promega, Madison, WI)

(15)

commit to user n. Etanol 70% dan 96%

o. Kit Ortho HCV Ab PA II® (Fujirebio, Tokyo, Japan)

p. Kit PureLink™ Viral RNA/DNA (Invitrogen, Carlsbad, CA)

q. Kit SuperScriptFirst-Strand Synthesis System Mix (Invitrogen,

Carlsbad, CA)

r. Kit Platinum® PCR SuperMix (Invitrogen, Carlsbad, CA)

s. Loading Quick®λ/Hind III digest, DNA-110 (Toyobo, Osaka, Japan)

t. Loading Quick®ϕX174/Hae III digest, DNA-112 (Toyobo, Osaka, Japan)

G. Cara Kerja

1. Fraksinasi Plasma Darah

Sampel darah disentrifugasi pada kecepatan 3.000 rpm selama 15

menit. Setelah itu, diperoleh tiga lapisan pada tabung. Lapisan pertama adalah

plasma darah, lapisan kedua merupakan peripheral blood mononuclear cell

(PBMC), dan lapisan ketiga adalah red blood cell (RBC). Plasma darah pada

lapisan pertama diambil sebanyak mungkin tanpa mengenai dua lapisan di

bawahnya, kemudian dibuat aliquot. Sebagian aliquot dipergunakan langsung

untuk skrining dan sebagian lain disimpan pada suhu –80°C.

2. Pemeriksaan Serologi HCV

Pemeriksaan serologi sampel darah untuk anti-HCV menggunakan kit

Ortho HCV Ab PA II® (Fujirebio). Satu mililiter reconstituting solution

dimasukkan ke dalam tabung control particles lyophilized, kemudian dicampur

menggunakan micropipette. Setelah itu, F96 MicroWellPlates (Nunc)

(16)

commit to user

setiap sampel yang diperiksa. Dari ketiga well tersebut, pada well ke-1

dimasukkan 75 µl sample diluent, sedangkan pada well ke-2 dan ke-3

masing-masing dimasukkan 25 µl sample diluent. Plasma darah sebanyak 25 µl

dimasukkan ke dalam well ke-1 dan dicampur menggunakan micropipette.

Selanjutnya, transfer antar well dilakukan sebagai berikut: 25 µl larutan

diambil dari well ke-1, dimasukkan ke dalam well ke-2 dan dicampur

menggunakan micropipette; 25 µl larutan diambil dari well ke-2, dimasukkan

ke dalam well ke-3 dan dicampur menggunakan micropipette; dari well ke-3

diambil 25 µl larutan kemudian dibuang ke tempat sampah infeksius.

Selanjutnya, 25 µl control particle dimasukkan ke dalam well ke-2 dan 25 µl

sensitized particle dimasukkan ke dalam well ke-3. F96 MicroWellPlates

(Nunc) ditutup dengan plastik dan diinkubasi selama dua jam pada suhu ruang.

Setelah dua jam, pola aglutinasi yang terjadi di dasar well diinterpretasi

sebagai berikut:

a. Positif dua (++): partikel yang teraglutinasi menyebar secara seragam di

dasar well dan dikelilingi lingkaran merah.

b. Positif satu (+): partikel membentuk pola cincin dengan garis terluar

terlihat kasar dan tidak teratur, serta dikelilingi lingkaran merah kecil.

c. Positif negatif (+-): partikel membentuk pola cincin bergaris luar halus

dengan lubang di tengah. Pada hasil seperti ini, dilakukan pemeriksaan

(17)

commit to user

d. Negatif (-): partikel membentuk titik di tengah dasar well dengan garis

luar halus, atau partikel membentuk pola cincin dengan lubang sangat

kecil di tengahnya dan bergaris luar halus.

3. Isolasi Asam Nukleat

Isolasi asam nukleat menggunakan kit PureLinkViral RNA/DNA

(Invitrogen).

a. Preparasi lisat untuk volume plasma 200 μl.

Dua puluh lima mikroliter Proteinase K, 200 μl cell-free sample, dan

200 μl Lysis Buffer dimasukkan ke dalam microcentrifuge tube steril. Setelah

itu, microcentrifuge tube ditutup dan di-vortex selama 15 detik. Kemudian,

lisat diinkubasi pada suhu 56°C selama 15 menit. Proses presipitasi

dilakukan dengan menambahkan 250 μl 96% etanol ke dalam tabung.

Selanjutnya, tabung ditutup dan di-vortex selama 15 detik. Lisat diinkubasi

pada suhu ruang selama lima menit.

b. Purifikasi lisat.

Lisat dipindahkan dari microcentrifuge tube ke Viral Spin Column

dalam tabung koleksi dan disentrifugasi pada 6.000 rpm selama satu menit.

Selanjutnya, cairan bersama tabung koleksi dibuang dan spin column

ditempatkan dalam Wash Tube baru. Spin column dicuci dengan 500 μl Wash

Buffer (W5) dan disentrifugasi pada kecepatan 6.000 rpm selama satu menit.

Cairan yang tertampung dalam Wash Tube dibuang dan Wash Tube

digunakan kembali. Spin column dicuci kembali dengan 500 μl Wash Buffer

(18)

commit to user

disentrifugasi pada 14.000 rpm selama satu menit untuk membuang sisa

Wash Buffer (W5). Kemudian, spin column diletakkan dalam 1,7 ml

Recovery Tube dan dielusi dengan 50 μl TE. Spin column diinkubasi pada

suhu ruang selama satu menit, kemudian disentrifugasi pada 14.000 rpm

selama satu menit. Setelah langkah tersebut, Recovery Tube berisi asam

nukleat virus murni sehingga spin column dapat dibuang. Asam nukleat

murni selanjutnya dapat disimpan pada suhu -80°C atau digunakan untuk

tahap berikutnya (Invitrogen, 2006).

4. Sintesis cDNA

Sintesis cDNA dari RNA menggunakan kit SuperScript™

First-Strand Synthesis System Mix (Invitrogen). Enam mikroliter asam nukleat

(RNA), 1 μl primer random hexamer, dan 1 μl Annealing Buffer dimasukkan

ke dalam PCR tube, kemudian diinkubasi pada suhu 65°C selama lima menit.

Setelah itu, campuran reaksi didinginkan pada suhu 4°C selama satu menit dan

di-spin down. Berikutnya, 10 μl 2X First-Strand Reaction Mix dan 2 μl

SuperScript® III/RNaseOUT™ Enzyme Mix ditambahkan ke dalam PCR tube,

dicampur menggunakan micropipette, kemudian di-spin down. Inkubasi

dilakukan selama 50 menit pada suhu 50°C dan reaksi diakhiri pada suhu 85°C

selama lima menit. Setelah didinginkan pada suhu 4°C, cDNA ini dapat

disimpan pada suhu –20°C atau langsung digunakan untuk PCR (Life

(19)

commit to user

5. Amplifikasi Sebagian Regio NS5B dengan Nested PCR

Nested PCR dilakukan menggunakan kit Platinum® PCR SuperMix

(Invitrogen). Pasangan primer oligonukleotida yang digunakan untuk

mengamplifikasi sebagian regio NS5B adalah hep31b, sense outer (5’-TGG

GST TCT CDT ATG AYA CC-3’); hep32, antisense outer (5’-GCD GAR

TAC CTG GTC ATA GC-3’); hep33b, sense inner (5’-AYA CCC GMT GYT

TTG ACT C-3’); hep34b, antisense inner (5’-CCT CCG TGA AKR CTC

KCA G-3’). Kode huruf standar yang digunakan sebagai alternatif basa adalah

D = A, G, atau T; K = G atau T; M = A atau C; R = A atau G; S = C atau G;

dan Y = C atau T.

Prosedur amplifikasi sebagian regio NS5B dengan Nested PCR dimulai

dengan mencairkan Platinum® PCR SuperMix (Invitrogen) pada suhu kamar,

kemudian dilakukan spin down. Selanjutnya, 4,5 μl cDNA ditambahkan pada

22,5 μl Platinum® PCR SuperMix (Invitrogen), 0,57 μl primer forward

(hep31b), dan 0,57 μl primer backward (hep32). Tahapan siklus Nested PCR

putaran pertama terdapat pada tabel 1.

Tabel 1. Tahapan Siklus Nested PCR Putaran Pertama.

Tahapan Suhu Waktu Siklus

Denaturasi awal 94ºC 2 menit 1 siklus

Denaturasi 94ºC 30 detik

40 siklus

Annealing 55ºC 30 detik

Elongasi 72ºC 1 menit

Elongasi akhir 72ºC 10 menit 1 siklus

Final hold 4ºC

(20)

commit to user

Selanjutnya, diambil 2,5 μl produk PCR putaran pertama dan

ditambahkan pada 22,5 μl Platinum® PCR SuperMix (Invitrogen), 0,53 μl

primer forward (hep33b), dan 0,53 μl primer backward (hep34b). Tahapan

siklus Nested PCR putaran kedua terdapat pada tabel 2. Ukuran produk PCR

yang didapatkan dari Nested PCR putaran kedua adalah 328 bp.

Tabel 2. Tahapan Siklus Nested PCR Putaran Kedua.

Tahapan Suhu Waktu Siklus

Denaturasi awal 94ºC 2 menit 1 siklus

Denaturasi 94ºC 30 detik

40 siklus

Annealing 60ºC 30 detik

Elongasi 72ºC 1 menit

Elongasi akhir 72ºC 10 menit 1 siklus

Final hold 4ºC

(White et al., 2000).

6. Elektroforesis

Analisis produk Nested PCR dilakukan dengan elektroforesis pada

agarose 1,5% dalam larutan TAE. Untuk membuat 200 ml larutan agarose

1,5%, 3 gram agarose dimasukkan ke dalam beaker glass, kemudian

ditambahkan 1xTAE hingga 200 ml. Agarose tersebut dicairkan, setelah itu

dicampur menggunakan magnetic stirrer dalam keadaan panas dan

didinginkan hingga 55ºC sebelum dituangkan. EtBr ditambahkan hingga

mencapai konsentrasi 0,5 μg/ml, kemudian dicampur menggunakan magnetic

stirrer. Selanjutnya, agarose dituangkan ke dalam gel tray yang sudah

dipasangi comb dan didiamkan pada suhu kamar selama 15-20 menit sampai

(21)

commit to user

ke dalam electrophoresis chamber dan digenangi (sampai cukup tergenang)

dengan bufer TAE. Kemudian, 5 μl Loading Quick® λ/Hind III digest, DNA

-110 (Toyobo) dimasukkan ke dalam sumur pertama dan 5 μl Loading Quick®

ϕX174/Hae III digest, DNA-112 (Toyobo) dimasukkan ke dalam sumur kedua,

dilanjutkan 2,5 l produk Nested PCR ke dalam sumur berikutnya secara urut

sesuai nomor sampel. Elektroforesis dilakukan pada voltase 100 Volt selama

30 menit (Prasetyo, 2011).

H. Analisis Data

Analisis data terkait faktor risiko dan hasil pemeriksaan Nested PCR

(22)

commit to user

21 BAB IV

HASIL PENELITIAN

Dalam penelitian ini, telah dilakukan wawancara dan pemeriksaan darah

terhadap 30 gigolo di Surakarta pada bulan Mei hingga Juni tahun 2011. Hasil uji

skrining terhadap anti-HCV menunjukkan 23,3% (7/30) gigolo yang terlibat dalam

penelitian memiliki anti-HCV positif. Gambar uji skrining dan interpretasinya

dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2. Karakteristik sosiodemografi gigolo di

Surakarta dan angka seropositif HCV terdapat pada tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik Sosiodemografi Gigolo di Surakarta

(23)

commit to user

Faktor risiko penularan HCV yang diteliti dalam skripsi ini adalah aktivitas

seksual gigolo dengan lebih dari satu pasangan seksual, penggunaan narkotika

suntik, tato, dan tindik. Secara keseluruhan, faktor risiko transmisi HCV pada

gigolo di Surakarta dan angka seropositif HCV terangkum dalam tabel 4.

Tabel 4. Faktor Risiko Penularan HCV pada Komunitas Gigolo di Surakarta

Faktor Risiko Total (orang)

risiko. Berikut gambaran faktor risiko transmisi HCV yang terdapat pada gigolo

(24)

commit to user

Tabel 5. Faktor Risiko Transmisi HCV pada Gigolo dengan Anti-HCV Positif

Responden

Terdapat satu responden yang mengalami koinfeksi dengan HIV dari

ketujuh responden dengan anti-HCV positif, yaitu responden AK1911053106.

Berdasarkan tabel 5, responden diketahui tidak memiliki riwayat menggunakan

narkotika suntik maupun tato. Faktor risiko yang dimiliki responden adalah

aktivitas seksual dengan lebih dari satu pasangan dan penggunaan tindik.

Sebelumnya, responden juga pernah melakukan operasi plastik pada daerah

hidung, bibir, dan dagu atas indikasi kosmetik di suatu salon kecantikan. Selain

mengalami koinfeksi dengan HIV, tujuh bulan sebelum wawancara dan

pemeriksaan darah dilakukan, responden juga sempat dirawat di rumah sakit

karena menderita tuberkulosis (TB) paru.

Faktor risiko aktivitas seksual dengan lebih dari satu pasangan dimiliki

(25)

commit to user

terlibat dengan gigolo di Surakarta tercantum dalam tabel 6. Pengklasifikasian

jumlah pasangan seksual tersebut disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Armstrong et al. (2006).

Tabel 6. Jumlah Pasangan Seksual Gigolo di Surakarta

Jumlah Pasangan

berhubungan seksual dengan 20-49 pasangan seksual, sedangkan lima gigolo

dengan anti-HCV positif mempunyai riwayat aktivitas seksual dengan lebih dari

50 pasangan seksual. Jumlah pasangan seksual diperoleh dari perhitungan

keseluruhan pasangan yang terlibat dalam aktivitas seks komersial maupun non

komersial dengan gigolo, berjenis kelamin pria dan wanita, Warga Negara Asing

(WNA), serta pasangan yang terlibat dalam pesta seks. Rincian jumlah pasangan

seksual tersebut dapat dilihat pada lampiran 4.

Mengenai faktor risiko penggunaan narkotika suntik, faktor ini hanya

dimiliki oleh satu dari tujuh gigolo dengan anti-HCV positif, yaitu

AK1911060805. Responden AK1911060805 menggunakan narkotika suntik saat

berada dalam penjara dan pernah menggunakannya secara bergantian dengan

penghuni penjara lain. Selama di penjara, responden menggunakan narkotika

(26)

commit to user

narkotika dan jarum suntik bersama pada komunitas gigolo di Surakarta

selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 5.

Faktor risiko penggunaan tato terdapat pada dua orang gigolo dari tujuh

gigolo dengan anti-HCV positif. Hasil wawancara mengenai riwayat penggunaan

tato pada responden terdapat pada lampiran 6. Kedua responden dengan tato

tersebut adalah:

1. Responden AK1911053104

Responden melakukan prosedur tato di rumah dengan bantuan teman.

Responden mengaku menggunakan alkohol saat menato bagian tubuhnya, akan

tetapi jarum tato dipergunakan secara bergantian dengan lima orang teman yang

lain. Dengan demikian, tindakan tato responden AK1911053104 tergolong tidak

steril.

2. Responden AK1911060805

Responden mendapatkan tato saat di penjara. Tato diperoleh secara tidak

steril karena jarum tato digunakan secara bergantian dengan penghuni penjara lain.

Adapun faktor risiko penggunaan tindik terdapat pada empat orang gigolo

dari tujuh gigolo dengan anti-HCV positif. Data mengenai penggunaan tindik pada

responden dapat dilihat pada lampiran 7. Keempat gigolo dengan tindik tersebut

adalah:

1. Responden AK1911052503

Responden melakukan prosedur tindik di tempat komersial pada salah satu

pusat perbelanjaan. Responden mengaku tidak tahu secara pasti apakah prosedur

(27)

commit to user 2. Responden AK1911053106

Responden melakukan prosedur tindik di salah satu pusat perbelanjaan.

Responden mengaku tidak tahu apakah prosedur tindik dilakukan secara steril.

Akan tetapi, menurut responden jarum pada alat tindik yang saat itu digunakan

juga dimanfaatkan secara bergantian dengan orang lain.

3. Responden AK1911060804

Responden melakukan prosedur tindik di rumah. Responden menyatakan

bahwa tindik yang dilakukan telah melalui langkah yang steril dan jarum yang

digunakan untuk menindik tidak dipakai secara bergantian.

4. Responden AK1911060805

Responden melakukan prosedur tindik di rumah. Responden tidak

mengetahui secara pasti apakah telah melakukan prosedur sterilisasi secara benar.

Jarum yang dipergunakan untuk menindik tidak digunakan secara bergantian.

Sesuai alur kerja penelitian, sampel anti-HCV positif yang diperoleh dari

skrining awal selanjutnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan Nested PCR. Hasil

pemeriksaan Nested PCR yang dilakukan tidak berhasil mengamplifikasi sebagian

gen HCV NS5B pada semua sampel anti-HCV positif. Gambar hasil elektroforesis

(28)

commit to user

27 BAB V

PEMBAHASAN

Deteksi HCV yang dilakukan pada penelitian ini telah melibatkan 30

gigolo di Surakarta. Deteksi tersebut dilakukan dengan skrining anti-HCV, di

mana hasil positif selanjutnya diperiksa dengan Nested PCR yang tujuannya

mengamplifikasi sebagian regio NS5B. Hasil dari pemeriksaan ini kemudian

disajikan secara deskriptif bersama faktor risiko penyebaran infeksi hepatitis C,

sehingga diharapkan dapat menghasilkan data awal epidemiologi infeksi hepatitis

C pada komunitas gigolo di Surakarta.

Skrining anti-HCV dan Nested PCR yang dilakukan terhadap sampel

plasma darah dapat mengarahkan pada diagnosis terjadinya infeksi hepatitis C akut

maupun kronis. Perbedaan antara infeksi hepatitis C akut dari infeksi kronis

tergantung dari presentasi klinis yang tampak pada penderita, misal adanya gejala

ikterus dan apakah terdapat riwayat peningkatan level serta durasi dari serum

alanine aminotransferase (ALT) (Ghany et al., 2009). Setelah terjadi paparan akut,

RNA HCV pada umumnya terdeteksi di dalam serum sebelum terbentuknya

antibodi terhadap HCV. RNA HCV tersebut dapat diidentifikasi sejak dua minggu

setelah terjadi paparan, sedangkan anti-HCV belum bisa terdeteksi hingga 8-12

minggu kemudian (Centers for Disease Control and Prevention, 2003; Ghany et

(29)

commit to user

Pada penelitian ini, diperoleh angka seropositif HCV pada tujuh responden

(23,3%) dan angka seronegatif HCV pada 23 responden (76,7%). Mengenai faktor

risiko yang diteliti, dideskripsikan bersama hasil pemeriksaan serologi dengan

anti-HCV positif. Faktor risiko penularan HCV yang dipilih adalah riwayat

aktivitas seksual dengan lebih dari satu pasangan, penggunaan narkotika suntik,

penggunaan tato, serta penggunaan tindik.

Pada responden yang memiliki faktor risiko berhubungan seksual dengan

20-49 pasangan, angka seropositif HCV diperoleh sebesar 22,2% (2/9). Adapun

pada responden yang melakukan aktivitas seksual dengan lebih dari atau sama

dengan 50 pasangan, angka seropositif HCV didapatkan sebesar 31,3% (5/16). Hal

tersebut menunjukkan bahwa anti-HCV positif lebih banyak ditemui pada

responden dengan jumlah pasangan seksual terbanyak, yaitu lebih dari 50 orang.

Hasil demikian sejalan dengan penelitian Armstrong et al. (2006).

Pada faktor risiko penggunaan narkotika dalam komunitas gigolo, angka

seropositif HCV didapatkan sebesar 42,9% (3/7). Faktor risiko pemakaian

narkotika ini terbagi menjadi narkotika suntik dan nonsuntik. Angka seropositif

HCV pada gigolo yang menggunakan narkotika suntik adalah 100% (1/1),

sedangkan pada gigolo yang memakai narkotika nonsuntik adalah 33,3% (2/6).

Pada gigolo yang tidak menggunakan narkotika jenis apapun, angka seropositif

HCV diperoleh sebesar 17,4% (4/23). Sebelumnya diketahui bahwa penggunaan

narkotika suntik merupakan salah satu rute utama dalam penularan infeksi HCV

(Albeldawi et al., 2010). Pada penelitian Quaglio et al. (2003) juga didapatkan

(30)

commit to user

dibandingkan pengguna narkotika nonsuntik, yaitu 81,6% banding 20%. Oleh

karena itu, hasil yang berbeda dari penelitian ini dimungkinkan karena jumlah

responden yang diteliti jauh lebih sedikit dibandingkan penelitian Quaglio et al.

(2003) maupun penelitian lain dengan hasil yang serupa.

Adapun angka seropositif HCV pada gigolo yang memiliki tato adalah

28,6% (2/7). Pada gigolo yang tidak memiliki tato, angka seropositif HCV 21,7%

(5/23). Semua gigolo yang menato bagian tubuh mereka tidak melakukan prosedur

sterilisasi sebelumnya. Pada penelitian Roy et al. (2001), angka seropositif HCV

pada kelompok yang memiliki tato adalah 18,2%, lebih besar jika dibandingkan

angka seropositif HCV pada kelompok yang tidak memiliki tato (5,3%). Hasil

yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Roy

et al. (2001). Roy et al. (2001) dan Jafari et al. (2010) juga mengemukakan bahwa

terdapat peningkatan risiko terjadinya infeksi hepatitis C pada seseorang yang

mendapatkan tato secara tidak profesional atau tidak melalui prosedur sterilisasi.

Pada gigolo dengan faktor risiko penggunaan tindik, angka seropositif

HCV diperoleh sebesar 36,4% (4/11), sedangkan pada gigolo yang tidak

menggunakan tindik diperoleh lebih kecil, yaitu 15,8% (3/19). Dari 11 gigolo yang

menggunakan tindik, terdapat dua orang yang menempuh prosedur steril,

sedangkan enam orang tidak melakukan secara steril dan tiga orang lainnya tidak

tahu secara pasti apakah mereka sudah melewati prosedur yang steril. Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian Chaudhry et al. (2010) dan Roy et al.

(31)

commit to user

ditemui pada kelompok yang menggunakan tindik dibandingkan kelompok yang

tidak menggunakan tindik.

Anti-HCV positif menunjukkan terjadinya infeksi hepatitis C di masa lalu

atau saat ini (Centers for Disease Control and Prevention, 2003). Sesuai algoritma

dari kerangka pemikiran yang telah disusun sebelumnya, sampel dengan anti-HCV

positif diuji dengan Nested PCR. Setelah produk PCR divisualisasi dengan

elektroforesis, tidak didapatkan sampel dengan PCR positif. Interpretasi hasil

deteksi hepatitis C di mana anti-HCV positif dengan PCR negatif, menunjukkan

adanya infeksi hepatitis C akut dengan viremia rendah, infeksi HCV yang telah

diobati, kondisi non-viremia pada infeksi hepatitis C kronis, atau adanya hasil

negatif palsu akibat kesalahan prosedur laboratorium (Albeldawi et al., 2010;

Centers for Disease Control and Prevention, 2003; Ghany et al., 2009).

Dalam penelitian ini, kemungkinan hasil negatif palsu akibat kesalahan

prosedur laboratorium dapat dieliminasi, mengingat pemeriksaan serologi dan

Nested PCR telah diulang beberapa kali. Di samping itu, kontrol amplifikasi

eksternal juga sudah digunakan dalam Nested PCR. Pada deteksi molekuler

terhadap sebagian gen E1-E2 HCV, Nested PCR juga memberikan hasil yang

negatif meskipun telah menggunakan sampel dan kit yang sama. Oleh karena itu,

hal tersebut menyingkirkan kemungkinan adanya kontaminasi pada sampel,

kerusakan kit dan primer, maupun kesalahan dalam teknik penelitian.

Pada seseorang dengan infeksi hepatitis C aktif, terdapat situasi tertentu di

mana hasil PCR dapat menjadi negatif (Centers for Disease Control and

(32)

commit to user

sedangkan titer anti-HCV meningkat selama fase infeksi akut. Dengan demikian,

RNA HCV dapat tidak terdeteksi pada orang tertentu selama fase akut infeksi

hepatitis C. Di samping itu, terdapat penelitian yang telah mengobservasi penderita

dengan infeksi hepatitis C kronis dan ditemukan hasil positif RNA HCV yang

intermiten (Thomas et al., 2000). Oleh karena itu, dengan tidak adanya informasi

klinis tambahan, maka makna dari suatu hasil negatif RNA HCV belum dapat

diketahui dan perlu dilakukan pemantauan lebih lanjut (Centers for Disease

Control and Prevention, 2003).

Hasil PCR negatif juga dapat mengindikasikan adanya infeksi HCV yang

sudah diobati. Telah diketahui bahwa 15-25% dapat mengalami kesembuhan

sehingga hasil PCR menjadi negatif (Alter dan Seeff, 2000). Oleh karena itu,

untuk menentukan apakah infeksi hepatitis C pada seseorang telah teratasi, harus

ditunjukkan melalui hasil negatif dari pemeriksaan PCR yang dilakukan dalam 4-6

bulan berikutnya (Ghany et al., 2009).

Pada penderita infeksi hepatitis C kronis, viremia dapat diklasifikasikan

menjadi tiga derajat, yaitu viremia ringan dengan level RNA HCV < 106 kopi/ml,

viremia sedang dengan level RNA HCV 106-108 kopi/ml, dan viremia berat

dengan level RNA HCV > 108 kopi/ml (Rahman dan Mannan, 2010). Dalam hal

ini, hasil PCR dapat menjadi negatif pada pasien hepatitis C kronis dengan viremia

ringan terkait level RNA HCV yang rendah (Scott et al., 2006). Di samping itu,

terdapat penelitian pada pasien hepatitis C kronis di Jepang dengan RNA HCV

seronegatif yang sebelumnya seropositif, setelah enam dari 310 pasien tersebut

(33)

commit to user

al., 1999). Pada kondisi tersebut, level viremia pada pasien hepatitis C kronis tidak

dipengaruhi oleh derajat kerusakan pada hepar, kecuali pada beberapa pasien yang

memasuki stadium akhir penyakit hepar, di mana pasien tersebut memiliki level

RNA HCV yang rendah bahkan mungkin tidak terdeteksi (Pawlotsky, 2002;

Rahman dan Mannan, 2010). Penurunan kadar viremia pada penyakit hepar

stadium akhir ini lebih dimungkinkan akibat terjadinya deplesi pada sel-sel

hepatosit dan fibrosis hepar yang meluas, daripada adanya perubahan struktur

virus (Pawlotsky, 2002).

Selain faktor viremia rendah dan infeksi HCV yang sudah diobati, terdapat

faktor lain yang dapat menyebabkan RNA HCV terdeteksi negatif pada sampel

responden. Faktor tersebut adalah adanya variasi atau polimorfisme yang terlibat

dalam respon imun yang berkontribusi pada kemampuan tubuh untuk

mengeliminasi virus (Ge et al., 2009). Hal ini disimpulkan dari penelitian genome

wide association study (GWAS) yang berhasil mengidentifikasi adanya single

nucleotide polymorphism (SNP) pada kromosom 19q13, yaitu rs12979860, yang

terkait kuat dengan terjadinya sustained virological response (SVR) pada infeksi

hepatitis C kronis dan pembersihan HCV spontan pada fase infeksi akut (Ge et al.,

2009; Thomas et al., 2009). SVR tercapai apabila RNA HCV pasien tetap negatif

setelah enam bulan pasca pengobatan hepatitis C (Veldt et al., 2007). Individu

yang memiliki genotipe C/C pada SNP rs12979860 berkesempatan mencapai

status SVR hingga tiga kali lipat lebih besar dibandingkan pasien lain dengan

genotipe C/T dan T/T. Hal ini mengindikasikan bahwa alel C dapat mendukung

(34)

commit to user

SNP rs12979860 terletak 3 kb upstream dari gen interleukin-28B (IL-28B)

yang menyandi interferon (IFN)-λ3 (Ge et al., 2009). IFN-λ3 termasuk dalam

keluarga sitokin IFN-λ yang berperan sebagai sitokin antivirus endogen. Saat sel

hepatosit terinfeksi RNA HCV, akan terbentuk protein retinoid-acid inducible

gene 1 (RIG1) dan Toll-like receptor 3 (TLR3) dalam sitoplasma hepatosit, suatu

protein yang berfungsi sebagai pattern recognition receptor yang dapat

mendeteksi adanya infeksi virus. Keduanya mengaktifkan faktor transkripsi

interferon regulatory factor 3 (IRF3) dan IRF 7 yang berfungsi sebagai sinyal

terhadap nukleus hepatosit untuk membentuk IFN-α dan IFN-β. Sebagai respon

terhadap sinyal tersebut, gen IL28B pada kromosom 19 juga mengekspresikan

IFN-λ3. IFN-α dan IFN-β kemudian ditranspor ke luar sel untuk berikatan dengan

reseptor IFN tipe I yang terdapat pada membran sel hepatosit dan

antigen-presenting cell (APC), sedangkan IFN-λ3 berikatan dengan reseptor IFN tipe III.

Ikatan pada reseptor tersebut mengaktifkan jalur transduksi sinyal Janus

kinase-signal transducer and activator of transcription (JAK-STAT) yang memicu

pembentukan molekul efektor interferon-stimulated genes (ISGs). ISGs ini

selanjutnya berperan dalam menghambat replikasi HCV (Balagopal et al., 2010;

Gonzalez dan Keffe, 2011).

Selain rs12979860, sejauh ini terdapat sembilan SNP lain pada gen IL-28B

yang telah berhasil diidentifikasi. SNP tersebut adalah rs12980275, rs8105790,

rs11881222, rs8103142, rs28416813, rs4803219, rs8099917, rs7248668,

rs10853728 (Chen et al., 2011; Ito et al., 2011; Lin et al., 2011). Dari kesembilan

(35)

commit to user

akhir pengobatan infeksi hepatitis C, yaitu rs8099917 (Balagopal et al., 2010;

Chen et al., 2011). SNP rs8099917 terletak 8 kb upstream dari gen IL-28B

(Balagopal et al., 2010; Mahboobi et al., 2011). Akan tetapi, terdapat sebuah studi

meta-analisis yang melaporkan bahwa SNP rs12979860 lebih erat kaitannya

dengan pencapaian SVR pada pasien hepatitis C kronis dibandingkan SNP

rs8099917 (Lin et al., 2011; Mahboobi et al., 2011).

Meskipun mekanisme inhibisi replikasi HCV yang dimediasi oleh IFN-λ3

telah dipahami, namun sampai saat ini masih belum jelas bagaimana polimorfisme

pada gen IL28B meregulasi aktivitas dan fungsi dari IFN-λ3 sehingga terdapat

respon yang berbeda pada beberapa orang yang terinfeksi hepatitis C. Sejauh ini,

penelitian yang dikemukakan oleh Ge et al. (2009), Gonzalez dan Keffe (2011),

serta Thomas et al. (2009), hanya menyimpulkan bahwa adanya polimorfisme

pada IL28B dapat mendukung terjadinya pembersihan spontan HCV pada fase

akut dan memprediksi hasil terapi pada pasien hepatitis C kronis. Dengan

demikian, polimorfisme tersebut dapat berdampak pada status klinis pasien yang

terinfeksi HCV, sehingga pada individu-individu tertentu hasil pemeriksaan PCR

(36)

commit to user

35 BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Dua puluh tiga koma tiga persen dari 30 gigolo di Surakarta memiliki

anti-HCV positif.

2. Gigolo dengan HCV seropositif mempunyai faktor risiko terinfeksi HCV

melalui aktivitas seksual dengan lebih dari satu pasangan, penggunaan

narkotika suntik, tato, dan tindik.

3. Deteksi dengan Nested PCR pada sebagian gen HCV NS5B menunjukkan

hasil yang negatif pada semua sampel HCV seropositif.

B. Saran

1. Penelitian mengenai deteksi HCV ini diharapkan dapat dilanjutkan dengan

komunitas gigolo yang lebih besar dan mencakup wilayah yang lebih luas.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh petugas kesehatan

dan pihak terkait dalam melakukan sosialisasi peningkatan status

(37)

commit to user

36

DAFTAR PUSTAKA

Albeldawi M., Rodriguez E.R., Carey W.D. 2010. Hepatitis C virus: prevention, screening, and interpretation of assays. Cleaveland Clin J Med. 77:616-626.

Alter M.J. 2007. Epidemiology of hepatitis C infection. World J Gastroenterol. 13:2436-2441.

Alter H.J. and Seeff LB. 2000. Recovery, persistence, and sequelae in hepatitis C virus infection: a perspective on long-term outcome. Semin Liver Dis. 20:17–35.

Armstrong G.L., Wasley A., Simard E.P., McQuillan G.M., Kuhnert W.L., Alter M.J. 2006. The prevalence of hepatitis C virus infection in the United States, 1999 through 2002. Ann Intern Med. 144:705-714.

Baclig M.O., Chan V.F., Ramos J.D.A., Cervantes J.G., Natividad F.F. 2010. Correlation of the 5’untranslated region (5’UTR) and non-structural 5B (NS5B) nucleotide sequences in hepatitis C virus subtyping. Int J Mol Epidemiol Genet. 1:236-244.

Balagopal A., Thomas D.L., Thio C.L. 2010. IL28B and the control of hepatitis C virus infection. J Gastro. 139:1865–1876.

Balogun T.M., Emmanuel S., Wright K.O. 2010. Hepatitis C virus co infection in HIV positive patients. Nig Q J Hosp Med. 20:117-120.

Baral S., Kizub D., Masenior N.F., Peryskina A., Stachowiak J., Stibich M., Moguilny V., et al. 2010. Male sex workers in Moscow, Russia: a pilot study of demographics, substance use patterns, and prevalence of HIV-1 and sexually transmitted infections. AIDS Care. 1:112–118.

Basri H, Zubir N, Julius. 2003. Gambaran HbsAg dan anti-HCV pada pekerja seks komersil di kota Padang. Acta Med Indones. 25: 140-143.

Cantaloube J.F., Laperche S., Gallian P., Bouchardeau F., de Lamballerie X., de Micco1 P. 2006. Analysis of the 5’noncoding region versus the NS5B region in genotyping hepatitis C virus isolates from blood donors in France. J Clin Microbiol. 44:2051-2056.

(38)

commit to user

Chaudhry M.A., Rizvi F., Afzal M., Ashraf M.Z., Niazi S., Beg A., Kharal T.H. 2010. Frequency of risk factors for hepatitis B (HBV) and hepatitis C virus (HCV). Ann Pak Inst Med Sci. 6:161-163.

Chen J.J., Yu C.B., Du W.B., Li L.J. 2011. Prevalence of hepatitis B and C in HIV-infected patients: a meta-analysis. Hepatobiliary Pancreat Dis Int. 10:122-127.

Chen J.Y., Lin C.Y., Wang C.M., Lin Y.T., Kuo S.N., Shiu C.F., Chang S.W., et al. 2011. IL28B genetic variations are associated with high sustained virological response (SVR) of interferon-α plus ribavirin therapy in Taiwanese chronic HCV infection. Genes Immun. 12:300-309.

Chevaliez S., Alias M.B., Brillet R., Pawlotsky J.M. 2009. Hepatitis C virus transmitted infections among trans (male to female transvestites, transsexuals, or transgender) and male sex workers in Argentina: high HIV, HPV, HBV, and syphilis prevalence. Int J Infect Dis. 15:635-640.

Estcourt C.S., Marks C., Rohrsheim R., Johnson A.M., Donovan B., Mindel A. 2000. HIV, sexually transmitted infections, and risk behaviours in male commercial sex workers in Sydney. Sex Transm Inf. 76:294-298.

Fuller C.M., Ompad D.C., Galea S., Wu Y., Koblin B., Vlahov D. 2004. Hepatitis C incidence—a comparison between injection and noninjection drug users in New York city. J Urban Health. 81:20-24.

Ge D., Fellay J., Thompson A.J., Simon J.S., Shianna K.V., Urban T.J., Heinzen E.L., et al. 2009. Genetic variation in IL28B predicts hepatitis C treatment-induced viral clearance. Nature. 461:399-401.

Ghany M.G., Strader D.B., Thomas D.L., Seeff L.B. 2009. Diagnosis, management, and treatment of hepatitis C: an update. Hepatology. 49:1335-1374.

(39)

commit to user

Hagan H., Pouget E.R., Jarlais D.C.D. 2011. A systematic review and meta-analysis of interventions to prevent hepatitis C virus infection in people who inject drugs. J Infect Dis. 204:74-83.

ICTVdB. 2006. Index of Viruses-Flaviviridae. In : ICTVdB-The Universal Virus Database, version 4. Büchen-Osmond, C (Ed), Columbia University, New York, USA. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ICTVdb/Ictv/fs_index.htm. (1 Januari 2011).

Invitrogen. 2006. PureLink™ Viral RNA/DNA Kits. http://tools.invitrogen.com/ content/sfs/manuals/purelink_viral_rna_dna_man.pdf. (19 Januari 2011).

Ito K., Higami K., Masaki N., Sugiyama M., Mukaide M., Saito H., Aoki Y., et al. 2011. The rs8099917 polymorphism, when determined by a suitable genotyping method, is a better predictor for response to pegylated alpha interferon/ribavirin therapy in Japanese patients than other single nucleotide polymorphisms associated with interleukin-28b. J Clin Microbiol. 49:1853-1860.

Jafari S., Copes R., Baharlou S., Etminan M., Buxton J. 2010. Tattooing and the risk of transmission of hepatitis C: a systematic review and meta-analysis. Int J Infect Dis. 1145:xxx.e1–xxx.e13.

Kao J.H., Liu C.J., Chen P.J., Chen W., Wang T.H., Chen D.S. 2000. Low incidence of hepatitis C virus transmission between spouses: a prospective study. J Gastroenterol Hepatol. 15:391–395.

Kweon S.S., Shin M.H., Song H.J., Jeon D.Y., Choi J.S. 2006. Seroprevalence and risk factors for hepatitis C virus infection among female commercial sex workers in South Korea who are not intravenous drug users. Am J Trop Med Hyg. 74:1117-1121.

Laurent C., Henzel D., Kabeya C.M., Maertens G., Larouzé B., Delaporte E. 2001. Seroepidemiological survey of hepatitis C virus among commercial sex workers and pregnant women in Kinshasa, Democratic Republic of Congo. Int J Epid. 30:872-877.

Lemon S.M., Walker C., Alter M.J., Yi M.K. 2007. Hepatitis C Virus. In : Knipe D.M. and Howley P.M. (eds). Fields Virology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, pp: 1254-1265.

(40)

commit to user

Lin C.Y., Chen J.Y., Lin T.N., Jeng W.J., Huang C.H., Huang C.W., Chang S.W., et al. 2011. IL28B SNP rs12979860 is a critical predictor for on-treatment and sustained virologic response in patients with hepatitis C virus

genotype-1 infection. PLoS ONE. 6: e18322.

doi:10.1371/journal.pone.0018322.

Mahboobi N., Behnava B., Alavian S.M. 2011. IL28B SNP genotyping among Iranian HCV-infected patients: a preliminary report. Hepat Mon. 11:386-387.

Murphy D.G., Willems B., Deschênes M., Hilzenrat N., Mousseau R., Sabbah S. 2007. Use of sequence analysis of the NS5B region for routine genotyping of hepatitis C virus with reference to C/E1 and 5’ untranslated region sequences. J Clin Microbiol. 45:1102–1112.

Nishimura N., Isoda N., Higashizawa T., Otake T., Tsukui M., Nagashima S., Takahashi M. 2010. A case of acute hepatitis C caused by interspousal transmission after 30 years of marriage. Clin J Gastroenterol. 3:50–56.

Operskalski E.A. and Kovacs A. 2011. HIV/HCV co-infection: pathogenesis, clinical complications, treatment, and new therapeutic technologies. Curr HIV/AIDS Rep. 8:12-22.

Pando M.A., Berini C., Bibini M., Fernandez M., Reinaga E., Maulen S., Marone R., et al. 2006. Prevalence of HIV and other sexually transmitted infections among female commercial sex workers in Argentina. Am J Trop Med Hyg. 74:233–238.

Pawlotsky J.M. 2002. Use and interpretation of virological tests for hepatitis C.

Hepatology. 36:S65-S73.

Prasetyo A.A. 2011. Teknik Biologi Molekuler Dasar. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press, pp: 94-95.

Quaglio G., Lugoboni F., Pajusco B., Sarti M., Talamini G., Lechi A., Mezzelani P., et al. 2003. Factors associated with hepatitis C virus infection in injection and noninjection drug users in Italy. Clin Infect Dis. 37:33-40.

Rahman M.A. and Mannan S.R. 2010. Degree of viremia and liver histology in chronic hepatitis C. AKMMC J. 1:17-20.

(41)

commit to user

Schnuriger A., Dominguez S., Valantin M.A., Tubiana R., Duvivier R., Ghosn J., Simon A., et al. 2006. Early detection of hepatitis C virus infection by use of a new combined antigen-antibody detection assay: potential use for high-risk individuals. J Clin Microbiol. 44:1561-1563.

Scott J.D., McMahon B.J., Bruden D., Sullivan D., Homan C., Christensen C., Gretch D. 2006. High rate of spontaneous negativity for hepatitis C virus RNA after establishment of chronic infection in Alaska natives. Clin Infec Dis. 42:945-952.

Sharma S.D. 2010. Hepatitis C virus: molecular biology and current therapeutic options. Indian J Med Res. 131:17-34.

Simmonds P., Bukh J., Combet C., Deléage G., Enomoto N., Feinstone S., Halfon P., et al. 2005. Consensus proposal for a unified system of nomenclature of hepatitis C virus genotype. Hepatology. 42:962-973.

Thomas D.L., Astemborski J., Rai R.M., Anania F.A, Schaeffer M., Galai N., Nolt K., et al. 2000. Natural history of hepatitis C virus infection: host, viral, and environmental factors. J Am Med Assoc. 284:450-456.

Thomas D.L., Leoutsakas D., Zabransky T., Kumar M.S. 2011. Hepatitis C in HIV-infected individuals: cure and control, right now. J Int AIDS Soc. 14:1-8.

Thomas D.L., Thio C.L., Martin M.P., Qi Y., Ge D., O’huigin C., Kidd J. 2009. Genetic variation in IL28B and spontaneous clearance of hepatitis C virus. Nature. 461:798-801.

UNAIDS. 2008. Report on the Global AIDS Epidemic.

http://www.unaids.org/en/media/unaids/contentassets/dataimport/pub/globa lreport/2008/jc1510_2008globalreport_en.zip. (5 Desember 2011).

Veldt B.J., Heathcote E.J., Wedemeyer H., Reichen J., Hofmann W.P., Zeuzem S., Manns M.P., et al. 2007. Sustained virologic response and clinical outcomes in patients with chronic hepatitis C and advanced fibrosis. Ann Intern Med. 147:677-684.

White P.A., Zhai X., Carter I., Zhao Y., Rawlinson W.D. 2000. Simplified hepatitis C virus genotyping by heteroduplex mobility analysis. J Clin Microbiol. 38:477-482.

WHO. 2003. Global Alert and Response: Hepatitis C.

(42)

commit to user

Gambar

Tabel 1. Tahapan Siklus Nested PCR Putaran Pertama.
Tabel 2. Tahapan Siklus Nested PCR Putaran Kedua.
Tabel 3. Karakteristik Sosiodemografi Gigolo di Surakarta
Tabel 4. Faktor Risiko Penularan HCV pada Komunitas Gigolo di Surakarta
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pada aspek pengetahuan diketahui mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik namun kurang mengenai buku yang digunakan dalam menentukan kode penyakit, bab

[r]

Berdasarkan hasil statistik dapat dikatakan bahwa tidak ada pengaruh sterilisasi ozon dengan penurunan angka kuman udara di ruang rawat inap di RSU PKU

sebelumnya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah terdapat perbedaan antara kinerja keuangan Bank Pemerintah dengan kinerja keuangan Bank Asing

Beberapa mahasiswa yang pernah melaksanakan kerja praktek di PT PJB Unit Pembangkitan - Gresik Jawa Timur antara lain, Try Rahadi Sulistomo (2409100054) yang membahas tentang

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keberadaan NPL yang tidak wajar akan menyebabkan hilangnya kesempatan oleh bank untuk memperoleh pendapatan dari kredit yang

Dalam ilustrasi di atas, peribahasa yang sesuai adalah lempar batu sembunyi tangan yang artinya adalah menyalahkan orang lain atas perbuatan yang dilakukan.Oleh sebab itu, jawaban

Jika unit-unit kristal tersusun secara homogen membentuk padatan maka padatan yang terbentuk memiliki bangun yang sama dengan bangun unit kristal yang membentuknya namun dengan