BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasar modal merupakan salah satu pilar ekonomi Indonesia yang dapat
menjadi penggerak ekonomi nasional melalui peranannya sebagai wahana sumber
pembiayaan bagi perusahaan dan alternatif investasi bagi para pemodal. Pasar modal
pada dasarnya bertujuan untuk menjembatani aliran dana dari pihak yang memiliki
dana (investor), dengan pihak perusahaan yang memerlukan dana (untuk ekspansi
usaha ataupun untuk memperbaiki struktur modal perusahaan) (Tandelilin, 2001).
Untuk mewujudkan peranannya tersebut Pasar Modal Indonesia menciptakan dan
mengembangkan berbagai produk, salah satunya adalah reksa dana.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang pasar modal, reksa dana
didefenisikan sebagai wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari
masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh
manajer investasi. Dari defenisi tersebut tersirat bahwa reksa dana merupakan suatu
sarana bagi pemodal baik perorangan maupun institusi yang ingin melakukan
investasi di pasar modal namun mempunyai berbagai keterbatasan seperti waktu serta
pengetahuan dalam bidang pasar modal.
Manajer investasi selaku pengelola reksa dana akan menginvestasikan dana
pasar uang, dimana komposisi portofolio efek antara keduanya disesuaikan dengan
kebijakan investasi reksa dana sebagaimana peraturan yang berlaku.
Produk reksa dana di Indonesia dimulai pada tepatnya tanggal 7 September
1995 yaitu ketika Bapepam memberikan pernyataan efektif atas reksa dana perseroan
bersifat tertutup PT. BDNI Reksa Dana yang dikelola oleh Manajer Investasi PT.
BDNI Securities. Selanjutnya perkembangan reksa dana mengalami kemajuan ketika
pemerintah memberlakukan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang pasar modal
dan peraturan pelaksanaannya.
Dalam undang-undang tersebut dimuat ketentuan peraturan yang berkaitan
dengan reksa dana yaitu bentuk-bentuk reksa dana yang diterbitkan di Indonesia.
Bentuk reksa dana tersebut ialah perseroan dan Kontrak Investasi Kolektif (KIK).
Sejak ditetapkannya ketentuan wahana investasi tersebut dalam UUPM,
perkembangan reksa dana meningkat secara pesat, namun peningkatan tersebut hanya
terjadi pada reksa dana yang berbentuk KIK.
Sebagaimana telah dinyatakan diatas bahwa reksa dana di Indonesia terutama
yang berbentuk KIK terus mengalami perkembangan. Reksa dana tersebut meliputi
jenis reksa dana saham, reksa dana pendapatan tetap, reksa dana campuran, reksa
dana terproteksi, reksa dana indeks, dan reksa dana syariah. Di samping
perkembangan dalam jumlah terjadi juga kenaikan total dana yang berhasil di himpun
dari masyarakat atau biasa disebut total Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana.
Berikut statistik perkembangan reksa dana di Indonesia yang dimulai dari tahun1996
Tabel 1.1
Perkembangan Reksa Dana di Indonesia
Sumber: www.bapepam.go.id (Data diolah)
Tabel 1.1 diatas memperlihatkan perkembangan reksa dana yang dimulai dari
Tahun 1996 dimana pada tahun tersebut telah terbentuk 25 reksa dana dengan total
Nilai Aktiva Bersih (NAB) sebesar Rp 2,78 triliun, kemudian meningkat mencapai
angka Rp 8 triliun pada Juni 1997. Namun, krisis keuangan yang terjadi pada Tahun
1997 turut bereaksi negatif untuk reksa dana. Banyak masyarakat yang menarik
dananya dan hal tersebut menyebabkan total NAB reksa dana turun menjadi Rp 4,9
triliun di akhir tahun 1997. Pertumbuhan reksa dana mulai normal kembali pada
108 reksa dana. Terlihat bahwa pada tahun berikutnya NAB reksa dana mengalami
peningkatan yang cukup tajam yaitu menunjukkan angka Rp 49,6 triliun dan terus
meningkat hingga penghujung Tahun 2004 total NAB reksa dana mencapai Rp 104
triliun dengan 246 reksa dana yang telah terbentuk. Pada Tahun 2005, reksa dana
mulai mengalami krisis kembali.
Pemerintah menaikkan tingkat suku bunga sehingga total NAB reksa dana
merosot hingga ke angka Rp 29 triliun, terlihat sangat drastis bila dibandingkan
dengan total NAB pada akhir Tahun 2004. Diketahui penurunan NAB tersebut juga
dikarenakan agen penjual yang salah dalam memasarkan reksa dana, dan pemahaman
investor yang kurang benar mengenai produk reksa dana. Namun, selama Tahun
2006, industri reksa dana mulai menunjukkan tanda-tanda ke arah kebangkitan
setelah sempat mengalami keterpurukan akibat adanya penarikan dan penyertaan
dalam jumlah besar (massive redemption) yang terjadi pada Tahun 2005 dan akhirnya
seiring dengan penurunan tingkat suku bunga, pada akhir Tahun 2007 NAB reksa
dana meningkat menunjukkan angka Rp 92 triliun dengan jumlah reksa dana yang
terbentuk mencapai 473 reksa dana.
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa kepercayaan investor terhadap
industri reksa dana sudah mulai pulih. Tahun berikutnya total NAB reksa dana
melemah kembali ke angka Rp 74 triliun, namun jumlah reksa dana tetap mengalami
peningkatan menjadi 567 reksa dana. Berikutnya NAB terus mengalami
telah mencapai Rp 241,66 triliun dan jumlah reksa dana yang terbentuk adalah 894
reksa dana.
Jumlah maupun jenis reksa dana yang terbit di Indonesia cenderung
meningkat secara terus menerus. Hal tersebut akan membuat pemodal mempunyai
lebih banyak alternatif pilihan dalam berinvestasi di reksa dana. Namun demikian
peningkatan jumlah dan jenis reksa dana tersebut pada sisi lain dapat pula
menimbulkan kebingungan ataupun kesulitan bagi para calon pemodal dalam
memilih reksa dana karena keterbatasan informasi maupun pengetahuan yang
dimilikinya.
Sebelum berinvestasi di reksa dana, ada baiknya investor terlebih dahulu
mengetahui serta memahami dengan baik jenis reksa dana apa yang sesuai dengan
tujuan dan kebutuhan investasinya. Setiap jenis reksa dana memiliki kinerja yang
berbeda-beda yang bisa dilihat dari nilai aktiva bersih dari setiap jenis reksa dana
tersebut. Kinerja untuk setiap jenis reksa dana per tanggal 16 Januari 2015 yang
tercatat di website resmi Otoritas Jasa Keuangan dapat dilihat pada Tabel 1.2 berikut
ini:
Tabel 1.2
Kinerja Setiap Jenis Reksa Dana Jenis
Terproteksi 339 43.61
ETF-Saham 4 0.47
Syariah-Fixed Income 8 0.37
Syariah-Terproteksi 17 1.46
Syariah-Indeks 1 0.14
Total 894 241,6
Sumber:
Menurut data statistik Otoritas Jasa Keuangan awal Tahun 2015 ini,
komposisi reksa dana yang paling besar diduduki oleh reksa dana saham yang total
asetnya mencapai Rp 102.57 triliun atau 42.45% dari total NAB secara keseluruhan.
Hal tersebut membuktikan bahwa reksa dana saham merupakan jenis reksa dana yang
paling diminati investor pada umumnya karena memiliki kinerja yang menjanjikan.
Pengukuran kinerja reksa dana saham memerlukan tolak ukur (benchmark).
Tolak ukur kinerja reksa dana adalah kinerja pasar saham yang disebut dengan Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG). Tingginya tingkat pengembalian yang bahkan
mampu mengalahkan IHSG membuat reksa dana saham menjadi sangat menarik
untuk dijadikan sebagai pilihan investasi.
Berikut merupakan tabel yang menunjukkan perbandingan antara return reksa
dana saham dengan IHSG dalam periode waktu 10 tahun terhitung mundur mulai
Tahun 2013. Ke 13 reksa dana saham ini merupakan reksa dana saham yang aktif
dan menyediakan data yang dibutuhkan hingga 10 tahun terakhir. Melalui tabel ini Lanjutan Tabel 1.2
diperoleh informasi yang membuktikan bahwa reksa dana saham mampu
menghasilkan return diatas IHSG.
Tabel 1.3
Perbandingan Return Reksa Dana Saham terhadap IHSG
Sumber: rudiyanto.blog.kontan.co.id
Dalam IDX Newsletter edisi Februari 2015 dikabarkan bahwa kinerja reksa
dana saham dalam negeri sepanjang tahun lalu menghasilkan return atau kenaikan
harga per unit sebesar 27,86% melampaui kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) yang sebesar 22,29%. Ini merupakan kabar baik yang tentunya akan membuat
semakin banyak investor yang melirik reksa dana saham dan tertarik untuk
berinvestasi di dalamnya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat pengembalian reksa dana saham
Berinvestasi pada reksa dana saham memiliki tantangan tersendiri karena reksa dana
saham merupakan investasi dengan karakteristik high risk-high return.
Melihat perkembangannya yang tidak stabil maka penting bagi investor secara
berkala menilai kinerja reksa dana saham untuk menjaga nilai kekayaan investor.
Memilih reksa dana saham yang akan memberikan pengembalian seperti yang
diharapkan membutuhkan cara pandang dan analisa yang tepat. Di samping
memperhatikan return, investor juga perlu mempertimbangkan tingkat risiko suatu
investasi sebagai dasar pembuatan keputusan investasinya. Risiko merupakan
kemungkinan perbedaan antara return aktual yang diterima dengan return yang
diharapkan. Semakin besar kemungkinan perbedaannya, berarti semakin besar risiko
investasi tersebut ( Tandelilin, 2001 ).
Tidak tepatnya investor dalam memilih suatu reksa dana akan menimbulkan
sejumlah konsekuensi seperti tidak sesuainya investasi dengan tujuannya, atau malah
yang lebih buruk lagi pemodal dapat menanggung sejumlah risiko yang tidak
dikehendakinya, seperti misalnya tidak profesionalnya para pengelola reksa dana
sehingga dapat berakibat pada turunnya kekayaan investor.
Pengukuran kinerja reksa dana merupakan salah satu upaya positif untuk
memajukan industri reksa dana, selain sebagai panduan calon investor dalam memilih
reksa dana yang tepat, pengukuran kinerja reksa dana akan memungkinkan investor
untuk mengidentifikasi apakah kinerja reksa dana saham yang akan mereka pilih
mampu menyaingi kinerja pasar (IHSG), mampu memberikan tingkat return yang
return tersebut juga sesuai dengan tingkat risiko yang ditanggung. Dengan demikian,
dalam melakukan pengukuran kinerja reksa dana kita tidak hanya perlu
memperhatikan tingkat returnnya saja, tetapi juga tingkat risikonya. Pengukuran
kinerja dengan melibatkan faktor risiko memberikan informasi yang lebih mendalam
bagi investor tentang sejauh mana suatu return yang diberikan oleh manajer investasi
dikaitkan dengan risiko yang diambil untuk mencapai kinerja tersebut.
Dalam buku dan literatur investasi, reksa dana adalah sekumpulan dari
portofolio. Oleh karena itu, pengukuran kinerja reksa dana dikenal juga dengan istilah
Evaluation of Portfolio Performance. Metode evaluasi kinerja portofolio secara
khusus hanya mengukur risk and return dari portofolio investasi (reksa dana) yang
bersangkutan. Beberapa metode yang sering digunakan dalam evaluasi kinerja reksa
dana antara lain yaitu Metode Sharpe, Metode Treynor dan Metode Jensen. Metode
tersebut merupakan metode yang telah diterima dan berlaku sebagai standar dalam
pengukuran kinerja reksa dana. Pengukuran dengan Metode Sharpe adalah
didasarkan atas risk-premium (selisih antara rata-rata pendapatan yang dihasilkan
oleh reksa dana dengan rata-rata pendapatan yang dihasilkan oleh investasi bebas
resiko) dibandingkan terhadap standard deviasi (risiko total). Pengukuran ini akan
menghasilkan besaran Indeks Sharpe dari masing-masing reksa dana saham. Metode
Treynor didasarkan atas risk- premium dibandingkan terhadap risiko pasar (Beta).
Pengukuran ini akan menghasilkan besaran Indeks Treynor dari masing-masing reksa
dana saham.
konsep Security Market Line (SML). SML adalah garis pasar sekuritas yang
merupakan garis yang menghubungkan portofolio pasar dengan investasi bebas
risiko. Indeks Jensen adalah besar penyimpangan/perbedaan antar tingkat
pengembalian suatu reksa dana saham dengan tingkat pengembalian pada SML
(Pratomo dan Nugraha, 2009). Penggunaan Metode Jensen dapat menimbulkan
masalah yaitu kemungkinan adanya perbedaan SML yang sebenarnya (teoritis)
dengan SML empirik. Penelitian empirik terhadap SML umumnya menemukan
fenomena adanya bias apabila dibandingkan dengan garis teoritisnya. Bias tersebut
adalah terlalu tingginya intersep apabila dibandingkan dengan garis teoritisnya.
Karena adanya bias tersebut, peneliti tidak menggunakan Metode Jensen dalam
penilaian kinerja reksa dana saham (Usman dan Ratnasari, 2004).
Pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk menggunakan Metode Sortino
selain Metode Sharpe dan Metode Treynor. Dalam metode ini diperkenalkan suatu
rasio baru, rasio tersebut menghitung suatu excess return portofolio dari Minimum
Acceptable Return (MAR) untuk setiap downside deviation. Ratio ini kemudian
dikenal dengan nama Sortino Ratio. Tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia
digunakan sebagai tingkat bunga bebas risiko. Besarnya Minimal Acceptable Return
(MAR) adalah tingkat suku bunga minimum yang diharapkan sebagai return oleh
setiap investor dari investasi yang dilakukannya. Namun, karena penelitian ini
dilakukan terhadap reksa dana saham secara umum, bukan untuk suatu investor
tertentu, maka tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia digunakan sebagai
menguntungkan atau risiko dan return yang lebih besar dari MAR akan dikatakan
sebagai return yang menguntungkan. Metode ini hampir serupa dengan pengukuran
yang dilakukan oleh Metode Sharpe dengan dua perbedaan utama yaitu imbal hasil
aset bebas risiko diganti dengan imbal hasil minimum yang diharapkan, dan standar
deviasi yang digunakan hanya standar deviasi dari imbal hasil portofolio yang berada
di bawah imbal hasil minimum yang ditetapkan, dimana dalam penelitian ini imbal
hasil minimum yang ditetapkan berasal dari nilai Suku Bunga Sertifikat Bank
Indonesia.
Yang menjadi alasan mengapa peneliti memilih Metode Sortino sebagai salah
satu metode yang digunakan dalam mengevaluasi kinerja dari reksa dana saham yaitu
karena Metode Sortino merupakan metode yang tepat serta dipercaya lebih akurat
dalam mengevaluasi kinerja reksa dana saham pada kondisi pasar yang bergejolak.
Dalam kondisi return reksa dana negatif, hasil evaluasi kinerja dengan Metode
Sharpe dan Treynor bisa saja menyesatkan. Penilaian yang dimaksud bisa
memberikan hasil menyesatkan itu lebih berkaitan penilaian terhadap optimalitas risk
and return. Umumnya pengukuran di atas menggunakan cara membagi return dengan
risiko. Return yang digunakan pada Sharpe Ratio dan Treynor menggunakan excess
return, yaitu selisih antara return reksa dana dengan risk free ( Return RD – RF).
Pada sisi risiko, Sharpe Ratio menggunakan Standar Deviasi sebagai risiko sementara
Treynor Ratio menggunakan Beta (sensitivitas reksa dana terhadap pergerakan pasar).
Jika evaluasi kinerja dilakukan pada saat pasar negatif, peringkat yang dihasilkan
paling rendah) bisa memberikan rekomendasi yang menyesatkan karena yang dipilih
malahan reksa dana yang risikonya lebih besar. Namun, kelemahan daripada metode
ini dapat diatasi dengan melakukan penyesuaian dengan menggunakan Metode
Sortino. Untuk itulah penulis memilih menggunakan Metode Sortino dalam
penelitian ini dengan harapan hasil penelitian tetap akurat meski kondisi pasar
bergejolak.
Dari evaluasi kinerja portofolio berupa reksa dana saham yang dilakukan,
maka akan didapatkan hasil perhitungan kinerja yang nantinya akan sangat berguna
bagi investor dalam keputusannya memilih reksa dana saham yang tepat. Semakin
tinggi nilai kinerja reksa dana saham tersebut, biasanya dianggap semakin baik.
Terlebih apabila hasil kinerja yang dihitung ternyata lebih besar jika dibandingkan
dengan kinerja pasar (benchmark), tentunya reksa dana saham tersebut akan semakin
menarik perhatian investor untuk menanamkan investasinya pada reksa dana saham
tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti memilih judul
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat perbedaan kinerja reksa dana saham dan IHSG dengan
menggunakan Metode Sharpe di Bursa Efek Indonesia periode Tahun 2012-2014?
2. Apakah terdapat perbedaan kinerja reksa dana saham dan IHSG dengan
menggunakan Metode Treynor di Bursa Efek Indonesia periode Tahun 2012-2014?
3. Apakah terdapat perbedaan kinerja reksa dana saham dan IHSG dengan
menggunakan Metode Sortino di Bursa Efek Indonesia periode Tahun 2012-2014?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan kinerja antara
reksa dana saham dan IHSG di Indonesia dengan menggunakan Metode Sharpe,
Metode Treynor dan Metode Sortino dalam rangka pemilihan reksa dana saham yang
tepat untuk dijadikan sebagai wahana berinvestasi.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah: A. Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam bidang
manajemen, khususnya manajemen keuangan tentang analisis pengukuran kinerja
B. Praktis
1) Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti
serta dapat mengimplementasikan ilmu dan teori yang peneliti dapat selama
di perkuliahan.
2) Bagi investor
Penelitian ini dapat memberikan masukan dan gambaran bagi para investor
baik perorangan maupun institusi yang ingin melakukan investasi di pasar
modal namun mempunyai berbagai keterbatasan waktu serta pengetahuan
dalam bidang pasar modal. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai
pedoman untuk memilih atau menentukan mana reksa dana saham yang
kinerjanya paling baik yang akan dijadikan sebagai pilihan investasi. Selain
itu informasi hasil penilaian kinerja portofolio dapat digunakan untuk
mengubah batasan yang diberikan kepada manajer investasi, tujuan investasi
atau jumlah uang yang dialokasikan kepada manajer investasi tersebut.
3) Bagi Manajer Investasi
Bagi manajer investasi, hasil penelitian yang menunjukkan penilaian kinerja
portofolio dapat digunakan sebagai bahan evaluasi kinerjanya. Dengan
evaluasi kinerja ini, seorang manajer investasi dapat mengidentifikasi sumber
keunggulan dan kekurangan. Ini berarti hasil penilaian dapat digunakan
sebagai umpan balik dan mekanisme kontrol yang membuat proses
mempertahankan atau bahkan meningkatkan keunggulannya, dan di sisi lain
dapat menekan dan memperbaiki kekurangannya.
4) Bagi Akademisi
Bagi akademisi, penelitian ini dilakukan untuk menambah wawasan dalam
berpikir dan dalam meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan. Selain
itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber bacaan, landasan
berpijak dan referensi bagi para peneliti yang tertarik untuk meneliti dengan