• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01802

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01802"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

 Thomas Groome mengatakan bahwa pendidikan,

education, berasal dari bahasa Latin yaitu e

(keluar)-ducare (memimpin) atau memimpin ke luar. Akar kata ini menunjukkan bahwa pendidikan bertujuan untuk menolong orang untuk menemukan kebenaran yang telah ada di dalam diri mereka.

 Pendidikan bukanlah semata merupakan upaya dari

seorang pendidik untuk memindahkan pengetahuan kepada para murid; lebih dari pada itu, pendidikan menolong mereka yang dididik untuk mengingat apa yang telah mereka ketahui sehingga mereka dapat dengan kritis merefleksikan hal tersebut.

 Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan sesuatu

(3)

 Dengan kata lain, pendidikan yang baik yang

mengintegrasikan/menggabungkan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang secara bersama-sama dapat menolong para pembelajar untuk menciptakan pedagogi mereka sendiri.

 Salah satu pendekatan yang digunakan di dalam dunia pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang demikian adalah pedagogi kontekstual, mengajaran

konteks sebagai teks; dan hal ini bukanlah merupakan ide yang baru di dunia pendidikan agama Kristen.

 Cara pendidikan ini menekankan pada pentingnya

menghubungkan pembelajaran peserta didik pada konteks kehidupan dan juga menghubungkan realita-realita

(4)

 Di dalam pedagogi Alkitab, hubungan di antara teks

dan konteks kehidupan para peserta didik dinilai sebagai salah satu unsur yang paling penting.

 Di dalam bukunya, The Art of Teaching the Bible: A

Practical Guide for Adults (2001), Christine Blair menggarisbawahi bahwa para orang dewasa dapat belajar dengan maksimal ketika pembelajaran yang mereka lakukan didasarkan pada pengalaman

(5)

 Model pedagogi Alkitab yang bersifat kontekstual kini

telah diperkenalkan oleh berbagai ahli Alkitab seperti Mary A. Tolbert dan lainnya di dalam buku Teaching the Bible: The Discourse and Politics of Biblical

Pedagogy (1998).

 Mereka memfokuskan diri pada

pendekatan-pendekatan kontekstual terhadap kitab suci. Para penulis ini mempertimbangkan secara serius

keberagaman para pembaca dan konteks mereka

(6)

 Di dalam dunia penafsiran Alkitab, metode yang selama ini mendominasi penafsiran terhadap kitab suci adalah

metode historis-kritis yang mulai berkembang pada tahun 1700 dan 1800 hingga kini.

 Metode ini memiliki tujuan utama untuk menafsirkan arti kesejarahan yang objektif dari sebuah teks dengan

menggunakan metode-metode tata bahasa/kritik aparatus dan sejarah.

 Seperti yang dikatakan oleh Klein, Blomberg, dan

(7)

 Namun sejak awal tahun 1960-an posisi ini berubah

seiring dengan kemunculan metode-metode lainnya seperti kritik narasi (close reading) dan kritis

tanggapan-pembaca (reader-response criticism) yang mempertanyakan dominasi dari metode historis-kritis. Metode-metode lainnya yang ikut muncul di

antaranya adalah kritik feminis, teologi pembebasan, kritik ideologi, kritik Marxist yang kemudian diikuti oleh kemunculan pendekatan poskolonial.

 Di dalam dunia biblika, para pioner dari pendekatan

(8)

 Di dalam kritik mereka terhadap metode

historis-kritis, para ahli postcolonial seperti Sugitharajah

mengatakan bahwa metode historis-kritis baik yang lama (kritik teks, kritik sumber, kritik bentuk dll) beserta dengan metode historis-kritis yang baru

(metode sosial-science) merupakan produk kolonial.

 Hal ini disebabkan karena sifat dari

pendekatan-pendekatan ini yang bertujuan untuk melayani kepentingan kolonial dan juga melanggengkan

(9)

 Dua hal mendasar yang merupakan kesalahan dari

metode historis-kritis yang disoroti oleh para ahli

postkolonial adalah berhubungan dengan pandangan positivisme dan objektivisme. Soares-Prabhu

mengemukakan bahwa paham objektivitas

merupakan suatu bentuk ilusi tentang kenetralan yang objektif yang meniru netralitas yang sudah seharusnya di dalam ilmu fisika.

 Ketika pandangan ini dikenakan pada studi biblika

maka para ahli yang menggunakan metode historis-kritis berharap bahwa mereka dapat menemukan

(10)

 Di sinilah ketika ideologi objektivisme ini

digabungkan dengan ilmu kebahasaan, tata bahasa, dan sejarah maka “satu arti yang tepat dan benar” dapat ditemukan.

 Hal ini berarti pula bahwa dengan menggunakan

metode historis-kritis maka para ahli Alkitab yang berasal dari berbagai belahan dunia dapat

(11)

 Konsekuensi dari cara berpikir yang mengandalkan unsur objektivitas di dalam menafsirkan teks-teks kitab suci

adalah sehubungan dengan hilangnya suara pembaca atau penafsir yang dengan subjektivitas berpikirnya dapat

menjadi ancaman utama bagi terciptanya cara membaca yang netral – yang objektif.

 Hal ini disebabkan karena pembaca dengan segala pemikirannya (termasuk emosinya) tidak cocok jika

disejajarkan dengan model cara berpikir yang positif yang menuntut adanya sebuah pandangan yang objektif.

 Berdasarkan keterangan inilah maka Soares-Prabhu mengatakan bahwa objektivisme adalah landasan atau

alasan utama bagi kegagalan metode historis-kritis karena ia tidak mengijinkan maupun mengikutsertakan “pembaca yang nyata” beserta dengan latar belakang kebudayaan

(12)

 Hingga di sini seruan “keramat” untuk melakukan

eksegese (membawa keluar arti sebuah teks) dan bukan eisegese (membawa masuk

pemikiran/pandangan seseorang ke dalam teks)

didasari oleh keinginan untuk menjauhkan penafsir dari segala upaya untuk menafsirkan teks dari sudut pandang yang lain selain dari sudut pandang

kesejarahan.

 Cara berpikir metode historis-kritis seperti inilah

(13)

 Di dalam kerangka berpikir seperti inilah maka

pendekatan postkolonial yang merayakan peranan para pembaca yang berasal berbagai lokasi sosialnya di dalam menafsirkan teks kitab suci hadir dan turut memperkaya dunia penafsiran teks-teks Alkitab.

 Pendekatan ini disambut baik terutama bagi para

(14)

 Di sinilah, pembacaan kitab suci yang selama ini

berpusat pada metode histori-kritis yang sangat kental dengan budaya Barat/Eropa sedikit demi sedikit kehilangan kekuatan dan dominasinya.

 Di sini pula metode poskolonial membantu kita untuk

(15)

Pendekatan Poskolonial di dalam

Studi Biblika

 Pembahasan tentang alasan dasar kemunculan metode poskolonial di dalam dunia penafsiran Alkitab membawa kita pada pertanyaan mendasar tentang apa itu

pendekatan poskolonial.

 Di dalam tataran konseptual, pendekatan poskolonial dapat dihubungkan dengan teologi pembebasan

(liberation theology) karena keduanya mempunyai tujuan yang serupa yaitu untuk menopang dan mendukung

orang-orang yang dianggap sebagai “the Other” / Yang Lain – orang-orang kecil dan mereka yang

(16)

 Namun, pada tahun 1990-an, mereka yang

menggunakan teologi pembebasan mulai sadar

tentang tingkat kompleksitas yang belum disentuh oleh gerakan pembebasan seperti dinamika

penindasan yang terjadi mulai dari lingkungan internal hingga kepada lingkungan komunitas, kompleksitas bangsa, kebudayaan, dan bahkan

identitas seksual yang bersifat ambigu dan bahkan

berubah, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk membentuk dan menjalin hubungan berkelanjutan dengan kelompok-kelompok yang tidak

(17)

 Dengan kata lain teologi pembebasan hanya

memfokuskan dirinya pada isu kemiskinan dan kekayaan dan belum mempertimbangkan secara serius tentang

berbagai dimensi dari penindasan yang dapat muncul di dalam berbagai bentuk yang dihadapi di dalam konteks kekinian kita.

 Di sinilah, pendekatan poskolonial hadir sebagai suatu kerangka berpikir alternatif yang bertujuan untuk

menbahas tantangan-tantangan dan peluang-peluang baru yang kita hadapi di masa kini.

 Metode ini terutama mengakui adanya pluralitas

penindasan dan tidak melihat “Yang Lain” sebagai sebuah kategori yang homogen. Metode ini, dengan kata lain,

(18)

 Di dalam studi biblika, kritik postkolonial dapat dilihat sebagai suatu gerakan yang memisahkan diri dari cara pembacaan Alkitab yang berpusat pada para ahli biblika yang berasal dari Amerika Utara dan Eropa yang telah mendominasi dunia penafsiran Alkitab selama ini.

 Di sini para penafsir kitab suci dituntun untuk menuju kepada suatu pembacaan yang lebih beragam dengan menggunakan metode yang beragam pula.

 Seperti yang telah dikatakan oleh Sugirtharajah, tujuan

pendekatan ini adalah untuk mempertimbangkan masalah kolonialisme sebagai isu penting di dalam membaca teks-teks kitab suci.

 Kritik ini menaruh perhatian terhadap masalah yang berhubungan dengan perluasan kekuasaan,

(19)

 Di sini pembacaan secara poskolonial mengijinkan

para penafsir untuk mengkritik cerita-cerita yang syarat dengan agenda imperialisme dan bahkan mengkritik ideologi para penulis teks-teks Alkitab tersebut.

 Lebih lanjut, pendekatan ini digunakan untuk

mengkritisi bentuk penafsiran-penafsiran teks-teks Alkitab yang digunakan oleh pihak-pihak tertentu

terutama oleh kaum penguasa untuk melegitimasikan penjajahan mereka di negara-negara yang bukan

(20)

 Di dalam konteks Indonesia sendiri yang pernah hidup di dalam penjajahan bangsa Eropa terutama Belanda selama kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun, metode

postkolonial sangat berguna untuk memahami

penggunaan teks-teks kitab suci oleh pihak penjajah

untuk melegitimasikan bentuk penjajahannya di Indonesia.  Selain itu, metode ini juga diperlukan untuk menganalisa

pengaruh dari penjajahan itu sendiri terhadap cara umat Kristen di Indonesia membaca dan menafsirkan kitab suci.  Hal ini penting mengingat bahwa kekristenan yang

(21)

 Ketika kita dengan sadar mengkritisi bentuk-bentuk

penafsiran yang kebanyakan tertuang di dalam tradisi dan dogma gereja kita yang tidak sesuai dengan semangat

keIndonesiaan kita maka kita secara sadar pula berusaha untuk membebaskan diri dari berbagai rantai penjajahan yang membelenggu kehidupan kekristenan kita yang telah berlangsung selama berabad-abad lamanya.

 Di samping itu dan yang terutama menurut hemat saya adalah bahwa metode ini juga akan memungkinkan kita untuk secara kritis menganalisa berbagai bentuk

penjajahan yang terjadi di dalam negara kita yang

dilakukan oleh para penguasa kita sendiri dan kemudian secara sadar dan berani mengkritik dan melakukan

(22)

 Satu hal penting yang harus diingat tentang

pendekatan poskolonial adalah bahwa pendekatan ini bersifat interdisiplinari. Artinya bahwa ia

membutuhkan pendekatan-pendekatan lainnya yang sudah ada di dalam studi biblika seperti sosiologi,

antropologi, arkeologi, feminis, dll untuk mendekati teks secara mendalam.

 Fernando Segovio mengatakan bahwa ada tiga dunia

penting yang harus diselidiki dan dianalisa oleh pembaca: dunia di dalam text, dunia modern, dan dunia kini.

 Pertama, para pembaca Alkitab harus menganalisa

(23)

 Dunia ini merupakan dunia kekaisaran kolonial seperti Asiria, Babilonia, Persia, Yunani dan Romawi. Di sini,

dinamika politik, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan di antara kekuasaan sentral dan mereka yang tidak

memiliki kekuasaan di dalam kekaisaran2 tersebut sangat mempengaruhi penulisan Alkitab.

 Contohnya: kekuasaan Raja Yosia pada masa kekuasaan Asiria mempengaruhi penulisan kitab Yosua-Raja-raja; kekuasaan kekaisaran Persia mempengaruhi kemunculan kitab Ezra dan Nehemiah.

 Di sini tulisan-tulisan yang dihasilkan menyangkut kawin campur misalnya yang ada di Ezra-Nehemiah ataupun

(24)

 Dunia kedua yang harus diselidiki adalah dunia

modern yang sangat mendominasi pembacaan dan penafsiran Alkitab. Segovia mendorong pembaca

untuk menaruh perhatian pada ekpansi imperialisme Barat yang merupakan bagian dari manifestasi

kekristenan Barat.

 Perlu kita ingat bahwa sejak awal perdagangan

imperialise Eropa pada abad ke-15 hingga pada masa pendirian kekaiseran Barat di abad ke-19 hingga pada tahap kontemporari kapitalisme yang dipimpin oleh super-power Amerika-Eropa, tradisi imperialistik

(25)

 Para misionaris yang dilindungi oleh kekaiseran

membenarkan dominasi Barat sebagai kehendak Allah.

 Dengan mendasarkan diri pada teks-teks seperti Keluaran, banyak misionaris Kristen yang datang dan menguasai

tanah yang merupakan kepemilikan orang2 non-Kristen Asia, Afrika dan suku Asli Amerika.

 Para misionaris itu mengkristenkan para penduduk asli tersebut atau mempromosikan klaim akan kesuperioritas dan keterpilihan mereka sebagai umat Allah (Dube 2000, 17). Contoh hal ini dapat dilihat di dalam banyak cerita tentang masuknya para misionaris di Pulau Timor,

(26)

 Di sinilah, di dalam pedagogi Alkitab, adalah sangat penting untuk menganalisa bagaimana orang2 Barat membaca dan menafsirkan Alkitab dan mempelajari asumsi-asumsi sosiopolitik-ekonomi yang dimiliki oleh pembaca2 modern.

 Hanya dengan tindakan itulah maka kita bisa secara kritis menilai apakah tafsiran2 yang telah dihasilkan tersebut menindas dan menjajah kita.

 Dunia ketiga yang harus kita pertimbangkan adalah dunia pembaca kini. Segovio mengatakan bahwa realitas

imperialisme dan kolonialisme tidak pernah diberikan

atau diterima dengan pasif. Memang benar ada orang yang dengan sepenuh hati menerima dominasi Barat tetapi

(27)

 Dengan menganalisa bagaimana pembaca modern

berhubungan dan menafsirkan kita suci maka kita dapat menempatkan Alkitab pada koteks kehidupan kita dan memeriksa dinamika center dan margin di antara kita.

 Singkatnya, di dalam pedagogi Alkitab, analisa

(28)

 Lebih lanjut, dengan memfokuskan diri pada

unsur-unsur politik dan operasi kekuasan di dalam proses produksi dan transmisi Kitab Suci yang merupakan fokus utama dari pendekatan poskolonial maka

pedagogi yang dilakukan dapat diarahkan pada tujuan untuk memberdayakan diri sendiri maupun mereka yang dididik untuk menjadi agen-agen di dalam

(29)

 Para peserta didikpun akan dimampukan untuk

menetapkan dan memformulasikan kembali sejarah dan pengalaman2 mereka.

 Upaya pemberdayaan ini akan memampukan peserta

didik untuk pada akhirnya berbicara untk diri mereka sendiri - memperjuangkan dan mempertahankan

agenda2 mereka sendiri.

 Di sinilah mereka menolak untuk diwakili atau

(30)

 Hingga di sini ketika pendekatan poskolonial

digunakan untuk pegagogi Alkitab maka menurut Boyung Lee ada beberapa implikasi dari pendekatan ini bagi pedagogi Alkitab yang membebaskan:

1. PAK harus didasarkan pada pemahaman bahwa Alkitab adalah kitab yang dihasilkan di dalam suatu kebudayaan tertentu sehingga ia bersifat kontekstual dan dialogis. Hal ini berarti bahwa Alkitab

mengundang para pembaca modern untuk

menafsirkan kembali dengan mempertimbangkan realitas modern yang ada. Pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana caranya untuk membaca pesan

(31)

2. PAK harus menantang teologi-teologi kolonial Barat yang membenarkan adanya upaya penguasaan dan

penindasan bangsa lain.

3. PAK harus menjadi “countercultural discipline” yang menaruh perhatian pada suara-suara yang tersembunyi baik di dalam gereja maupun masyarakat. Alkitab harus dipahami sebagai yang merupakan “roti dan batu” bagi kaum yang termarginalisasi seperti para perempuan.

Pedagogi PAK harus bertujuan untuk mencari kebenaran, pembebasan dan keadilan.

(32)

Pedagogi Alkitab Poskolonial di

dalam Praksis

Ada lima tahap membaca Alkitab secara poskolonial menurut Christine Blair (The Art of Teaching the

Bible):

(33)

 Remembering (Mengingat): di tahap ini kelas akan

menyelami teks, pasal2, atau topik yang ada di Kitab Suci. Fokus utamanya adalah untuk mengajak orang untuk berbagi apa yang telah mereka ketahui tentang teks atau topik. Misalnya tentang makna kisah Rahab di dalam Yosua 2:1-24: Apa dan bagaimana gereja

membaca teks memahami teks ini; perspektif mereka sendiri, bagaimana para anak didik memahami

tentang fenomena pelacur di wilayah mereka sendiri; bagaimana dengan penutupan Gang Dolly pada

(34)

 Reflecting (refleksi): pada tahan ini pendidik

memperkenalkan berbagai penafsiran tentang cerita yang dibahas seperti Rahab tadi: bagaimana

penafsiran androsentris/berpusat pada laki-laki yang kita ketahui tentang Rahab; bagaimana para Rabi

membaca Rahab; bagaimana penafsiran feminis tentang cerita ini; bagaimana penafsiran para ahli poskolonial terdahulu tentang cerita ini? Setelah itu peserta diajak untuk berefleksi secara kritis semua perbedaan pendapat ini dan memberikan tanggapan mereka. Pendidik semampunya menyediakan

(35)

 Reinterpreting (Menafsirkan ulang): pada tahap ini

pendidik memperkenalkan pendekatan poskolonial yang akan membahas hal-hal seperti  dinamika

kekuasaan di antara kekaisaran Timur Dekat Kuno dan Israel pada saat teks ditulis; situasi2 sosio-politik internal dan kebijakan2 politik Israel menganalisa

(36)

 Re-searching (Mencari ulang):bagaimana kita sendiri

yang hidup di konteks kekinian menafsirkan teks tersebut? Apa pesan yang baru yang kita temukan

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

terhadap Kitab Suci al-Qur‟an menitik beratkan kepada metode tahlili , dalam artian ia menafsirkan ayat al-Qur’an secara runtut dan komprehensif dengan beraneka

Sumber penafsiran yang digunakan dalam Kitab Al-Qur´an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) adalah: bi al- ma’tsur , baik menafsirkan al-Qur’an dengan al-.. 15

Penelitian ini berupaya untuk mempelajari secara spesifik teologi Kitab Suci dan pendekatan penafsiran dari dua tokoh, yaitu Ephraim Radner, yang mengusulkan gagasan

Dalam penulisan kitab ini Ibnu Katsir menggunakan metode tafsir tahlili. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan penafsiran ayat dengan cara analitis atau menafsirkan ayat-ayat

Persoalan perempuan dalam perspektif pemikiran agama, muncul karena adanya penafsiran terhadap Kitab Suci yang berbicara tentang kedudukan laki-laki dan perempuan.. Dalam al-Quran,

Metode penafsiran yang digunakan Ibnu ‘Asyur dalam kitab tafsir Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr adalah metode taḥliliy karena ibnu ‘Asyur dalam menafsirkan

Melihat dari cara kerja Syeikh Muhyiddin dalam menafsirkan al-Qur’an dalam kitab ini, beliau menggunakan metode tahlili (analisis), yakni suatu cara kerja penafsiran

Sehubungan akan dilaksanakannya PUISI LIRIH Halaman ke Tiga maka Kami dari penyelenggara kegiatan turut mengundang saudarai/sahabat/teman untuk hadir dan ikut serta merayakan “PULIH