BAB II
PENGATURAN TENTANG BATAS WILAYAH LAUT
A. Indonesia Sebagai Negara Kepulauan
Sebagai mana diketahui, negara Indonesia memiiki kondisi geografis yang
sangat khas. Indonesia memiliki wilayah daratan yang berbentuk
gugusan-gugusan pulau sebanyak 17.508 pulau-pulau. Terbentang dari sabang hingga
Marauke dan dipisahkan oleh laut-laut di antara pulau-pulaunya. Sebagai negara
kepulauan, Indonesia diuntungkan memiliki tiga jenis wilayah yaitu wilayah darat,
laut, dan udara yang mungkin tidak semua negara memilikinya. Kondisi geografis
seperti itu memiliki potensi sekaligus kelemahan. Potensi terbesarnya adalah
sumber daya yang ada di dalamnya.
Kaitannya dengan wilayah, negara-negara di dunia setelah Perang Dunia II
banyak melakukan penetapan dan pengaturan mengenai batasan batasan
wilayahnya, termasuk dalam penetapan wilayah laut negara-negara pantai.
Didorong oleh banyak faktor seperti politik,ekonomi, dan keamanan, penetapan
batas wilayah laut adalah sangat penting peranannya. Usaha penetapan wilayah
laut juga dilakukan oleh Indonesia. Pada saat Indonesia memproklamirkan diri
sebagai sebuah negara merdeka, Indonesia mengklaim teritorialnya adalah bekas
jajahan Belanda yang sebelumnya disebut Netherland Indische. Saat itu Indonesia
menyatakan merdeka dengan klaim peta yang dipakai sebagai penentu teritorial
Ordonantie (TZMKO) tahun 1939 dengan lebar laut wilayah adalah 3 mil laut di
ukur dari garis air terendah dari pulau-pulau di Indonesia.6
pada saat Indonesia diprokalmasikan sebagai negara yang merdeka pada
tanggal 17 agustus 1945 oleh dwi-tunggal Soekarno-Hatta, Indonesia merupakan
negara yang terdiri atas beribu pulau-pulau yang tersebar dari sabang sampai
marauke dan dapat disebut sebagai negara pulau-pulau. Undang-Undang Dasar
1945 yang resmi diberlakukan pada tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara kesatuan dalam bentuk republik, namun sayangnya ketika
itu tidak disebutkan batas-batas wilayah nasional Indonesia sesungguhnya.
Negara Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah
lama diperjuangkan di forum internasional. Diawali dengan Deklarasi Djuanda
tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Mochtar
Kusumaatmadja dengan tim negosiasi Indonesia lainnya menawarkan konsep
“Negara Kepulauan” untuk dapat diterima di konferensi Hukum Laut Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) III, sehingga dalam ”The United Nations Conventions On the Law of The sea (UNCLOS) 1982” dicantumkan Bagian IV mengenai negara
kepulauan, konsepsi itu menyatukan kepulauan, Indonesia boleh menarik garis
pangkal (baseline-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost
points of the outermost island and drying reefs). Hal itu diundangkan dengan UU
No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960
sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional. Menurut UNCLOS
6
1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis
dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia.
Selama ini terdapat upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia
untuk mengembalikan jiwa kebaharian dalam pembangunan kelautan di
Indonesia. Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno,
mendeklarasikan Wawasan Nusantara pada tanggal 13 Desember tahun 1957 yang
dikenal dengan “Deklarasi Djoeanda” yang memandang laut merupakan satu
keutuhan wilayah dengan darat, ini merupakan titik awal kebangkitan bangsa
bahari setelah kemerdekaan Indonesia. Hal ini kemudian diundangkan dengan
Undang-Undang No.4 Tahun 1960 dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah No. 8 Tahun 1962. Dengan terbitnya UNCLOS 1982 tersebut maka
membawa konsekuensi logis bagi bangsa Indonesia yaitu adanya amanat yang
harus dilaksanakan berupa hak-hak dan kewajiban dalam pengelolaan wilayah
kelautan Indonesia berdasarkan hukum Internasional.7 Perjuangan-perjuangan
Indonesia di dunia Internasional membawa hasil yang memuaskan dengan
diakuinya dan diterimanya konsep negara kepulauan serta perairan
pedalaman/perairan kepulauan. Predikat sebagai negara kepulauan tidak hanya
menambah hak-hak negara atas perairan pedalaman sebagai laut wilayahnya,
namun di dalamnya juga terdapat berbagai kewajiban-kewajiban internasional
yang harus dipenuhi oleh Indonesia. Hal itu merupakan suatu permasalahan
tersendiri apabila melihat kemampuan Indonesia sebagai negara kepulauan untuk
7
memenuhi berbagai kewajiban negara kepulauan dan mengimplementasikan isi
dari UNCLOS 1982.8
Negara Indonesia mencatat tonggak sejarah baru di bidang hukum laut dan
memperkokoh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ketika
pada tanggal 13 Desember 1957 Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja
mengeluarkan sebuah pernyataan (deklarasi) mengenai wilayah perairan Negara
Republik Indonesia yang lengkapnya sebagai berikut : ”Bentuk Geografi
Indonesia sebagai suatu Negara Kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau
mempunyai sifat corak tersendiri. Bagi keutuhan territorial dan untuk melindungi
kekayaan Negara Indonesia”. Semua kepulauan serta laut terletak di antaranya
harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat. Penentuan batas laut teritorial
seperti termaksud dalam Territiralle Zeen en Maritime Kringen Ordonnantie 1939
Pasal 1 angka 1 tidak sesuai lagi dengan pertimbangan-pertimbangan di atas
karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan
teritorialnya sendiri-sendiri. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu maka
pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang
menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak
memandang daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada
wilayah pedalaman atau Nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak
Indonesia.
8
Pengumuman pemeritah Indonesia tersebut yang sekarang dikenal dengan
sebutan Deklarasi Djuanda itu disiapkan dalam rangka menghadiri Konferensi
Hukum Laut di Jenewa pada bulan Februari 1958. Pengumuman Pemerintah
Indonesia yang menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan itu mendapat
protes keras dari Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda, dan New Zealand,
tetapi mendapat dukungan dari Uni Soviet (waktu itu), dan Republik Rakyat Cina,
Filipina, Ekuador. Pemerintah Indonesia terus melanjutkan kebijakan tersebut
karena menyangkut kedaulatan negara atas wilayah laut dan sumber kekayaan
yang terkandung didalamnya. Deklarasi Djuanda dipertegas lagi secara juridis
formal dengan dibuatnya Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960 tentang
Perairan Inonesia. Dengan adanya UU No.4/Prp/Tahun 1960 tersebut, menjadikan
luas wilayah laut Indonesia yang tadinya 2.027.087 km2 (daratan) menjadi
5.193.250km2, suatu penambahan yang wilayah berupa perairan nasional (laut)
sebesar 3.166.163 km2.
Di pihak lain, yaitu dalam tataran internasional masyarakat internasional
melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terus melakukan berbagai upaya
kodifikasi hukum laut melalui konferensi-konferensi internasional, yaitu
konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 (United Nations Conference on the
Law of the Sea – UNCLOS I) yang menghasilkan 4 (empat) Konvensi, tetapi
konferensi tersebut gagal menentukan lebar laut teritorial dan konsepsi negara
kepulauan yang diajukan Indonesia, kemdian dilanjutkan dengan Konferensi
ketentuan penting tersebut, yang penetapan lebar laut teritorial dan negara
kepulauan.
UNCLOS I dan UNCLOS II telah gagal menentukan lebar laut teritorial
dan konsepsi Negara Kepulauan karena berbagai kepentingan setiap Negara, maka
PBB terus melanjutkan upaya kodifikasi dan unifikasi hukum laut internasional
terutama dimulai sejak tahun 1973 di mana 1970-an itu merupakan awal
kebangkitan kesadaran masyarakat internasional atas pentingnya mengatur dan
menjaga lingkungan global termasuk lingkungan laut, sehingga melalui proses
panjang dari tahun 1973-1982 akhirnya Konferensi ketiga (UNCLOS III) itu
berhasil membentuk sebuah Konvensi yang sekarang dikenal dengan Konvensi
PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention On the Law of the
Sea) yang ditandatangani oleh 119 Negara di Teluk Montego Jamaika tanggal 10
Desember 1982.9
Penandatangan akhir tersebut guna menyusun suatu ketentuan hukum
internasional yang komprehensif berkaitan dengan hukum laut di bawah judul
Konvensi PBB mengenai Hukum Laut, mungkin merupakan perkembangan
paling penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional
berkenaan dengan lautan bebas. Dalam kaitan ini, yang perlu dikemukakan
hanyalah bahwa sebagian terbesar dari Konvensi, yang memuat
ketentuan-ketentuan hukum yang cukup penting di dalamnya, meskipun hukum yang lama
9
banyak yang berubah karenanya, saat ini tampaknya menuntut konsensus umum
dari masyarakat internasional.10
Indonesia yang merupakan Negara Kepulauan yang diperjuangkan oleh
Mochtar Kusumaatmadja dari sejak Deklarasi Juanda tahun 1957 sampai
diakuinya konsepsi tersebut oleh dunia internasional dalam Konvensi Hukum
Laut tahun 1982 adalah suatu kebanggan yang luar biasa bagi bangsa dan Negara
Indonesia, tetapi sebagian masyarakat Indonesia tidak begitu mengenal dengan
baik bahwa Indonesia mempunyai luas laut 2/3 (dua per tiga) dari luar daratan dan
pemerintah juga tidak begitu fokus melakukan pembangunan yang berorientasi ke
laut, tetapi masih terfokus pada paradigma pembangunan di darat.
Padahal pembangunan yang dicanangkan oleh para pendahulu itu sudah
termaktub dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dalam Bab II mengenai
Pola Dasar Pembangunan Nasional menegaskan bahwa “wawasan dalam
mencapai tujuan pembangunan nasional adalah Wawasan Nusantara yang
mencakup satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan
ekonomi, dan satu kesatuan pertahanan dan keamanan”. Dengan di tetapkannya
Wawasan Nusantara sebagai konsepsi kesatuan wilayah, bangsa, dan negara yang
memandang Indonesia sebagai kesatuan yang meliputi tanah (darat) dan air (laut)
secara tidak terpisahkan merupakan tahapan akhir dari perjuangan konsepsi
Wawasan Nusantara yang dimulai sejak Deklarasi Djuanda pada tanggal 13
Desember 1957.
10
Wawasan Nusantara yang dalam status juridisnya adalah negara kepulauan
(archipelagic states) sudah diakui oleh masyarakat internasional dengan adanya
Konvensi Hukum Laut 1982 yang diatur dalam Bab IV Pasal 46 yang berbunyi
sebagai berikut :11
(a) “archipelagic state” means a state constituted wholly by one or more
archipelagos and may include other islands;
(b) “archipelagic state” means a group of islands, including parts of
islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands, waters and other natural features from an intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically have been regarded as such.
Pada pasal 46 ayat 1 disebutkan bahwa “negara kepulauan adalah suatu
negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup
pulau-pulau lain”. Maksud dari pasal 46 ayat 1 UNCLOS 1982 tersebut adalah
secara yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda artinya dengan definisi
negara-negara yang secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan. Hal ini
disebabkan dalam Pasal 46 ayat 2 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa kepulauan
adalah suau gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya
dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain sedemikian erat
sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu
kesatuan geografis, ekonomi, dan politik yang hakiki atau yang secara historis
dianggap sebagai demikian. Dengan kata lain, Pasal 46 UNCLOS 1982 ini
11
membedakan pengertian yuridis antara negara kepulauan (archipelagic state)
dengan kepulauan (archipelago).
perbedaan yang diuraikan dalam Pasal 46 UNCLOS 1982 di atas
menimbulkan konsekuensi bahwa penarikan garis pangkal kepulauan
(archipelagic baseline) tidak bisa dilakukan oleh semua negara yang
mengatasnamakan dirinya sebagai negara kepulauan. Hal ini dikarenakan ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi bila ingin melakukan penarikan garis
pangkal lurus kepulauan yaitu: pertama, satu kesatuan geografis, ekonomi, politik
dan Historis; kedua, ada ketentuan khusus Hukum Laut (speific rules) yang
membuktikan keberadaan pulau negara kepulauan yang relatif kecil (small island,
socially, and economically insignificant) tidak bisa dijadikan tempat menarik garis
pangkal kepulauan. 12
Mengenai ketentuan garis pangkal kepulauan Indonesia terdapat di dalam
PP Nomor 38 Tahun 2002, pengaturan mengenai garis pangkal kepulauan terdapat
di dalam pasal 3 yang mengetur ketentuan garis pangkal lurus kepulauan.
Pasal 3 ayat 1 :
Di anatara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan
Indonesia, garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial adalah Garis
Pangkal Lurus Kepualauan.
Pasal 3 ayat 2 :
Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah
garis lurus yang menghubungkan titiktitik terluar pada Garis Aris Rendah pada
12
titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar
pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering terluar yang
lainnya yang berdampingan.
Dan dalam pasal lainnya terdapat ketentuan garis pangkal wilayah lautnya.
Dalam Konvensi ini juga ditegaskan bahwa negara kepulauan memiliki
kedaulatan atas perairan laut yang terletak di dalam garis-garis pangkal
kepulauannya (archipelagic baselines). Negara kepulauan juga memiliki
kedaulatan atas udara di atas perairannya dan atas dasar laut dan tanah
dibawahnya.13
Di balik keberhasilan Indonesia yang telah memperjuangkan lebar laut
teritorial sejauh 12 mil laut dan perjuangan yang terpenting diterimanya konsep
wawasan nusantara menjadi negara kepulauan oleh dunia Internasional adalah
tersimpangnya tanggung jawab besar dalam memanfaatkan perairan Indonesia
(perairan pedalaman,perairan kepulauan dan laut teritorial) dan kekayaan sumber
daya alam di dalamnya dengan seoptimal mungkin bagi kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Tanggung jawab besar yang diemban oleh NKRI
ini untuk menjadikan negara ini menjadi negara besar yang memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia seusai dengan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Indonesia mempunyai peranan yang maha penting utuk
menjaga Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai wilayah laut
sangat luas dan mengelola kekayaan sumber daya alamnya dengan baik dan benar.
13
Peranan tersebut dapat berupa adanya anggaran yang memadai untuk
pembangunan di bidang kelautan dan penegakan hukum dan kedauatan NKRI di
perairan Indonesia, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Landas
Kontinen, dan Laut lepas sebagaimana diatur oleh Konvensi Hukum Laut tahun
1982 dan hukum internasional lainnya. Indonesia secara juridis formal sudah
sangat kuat atas wilayah lautnya, tetapi konsekuensinya adalah Indonesia harus
menjaga kekayaan sumberdaya alam di laut dan memanfaatkannya dengan
optimal bagi kepentingan nasional dan seluruh rakyat Indonesia. Indonesia jangan
hanya bangga menjadi negara kepulauan, tetapi tidak mau dan tidak mampu
menjaga laut kekayaannya. Apabila Indonesia tidak mau menjaganya dengan baik,
maka apa yang terjadi selama berupa illegal fishing yang dilakukan oleh
nelayan-nelayan asing, transaksi atau perdagangan ilegal, perampokan (piracy),
pencemaran/perusakan lingkungan laut, terus berlangsung, maka akan terkuras
kekayaan laut Indonesia.oleh karena itu, Indonesia harus bangkit membangun
bidang kelautan termasuk membangun infrastruktur, peralatan, dan penegakan
hukumnya, sehingga status Indonesia sebagai negara kepulauan tidak hanya di
atas kertas perjanjiannya saja, tetapi harus menjadikan negara besar yang
memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kewajiban Indonesia sebagai Negara Kepulauan sudah diatur oleh Pasal
47 sampai Pasal 53 Konvensi Hukum Laut tahun 1982. Pasal 47 Konvensi Hukum
Laut tahun 1982 menyatakan bahwa Negara Kepulauan dapat menarik garis
pangkal lurus kepulauan (archipelagic baselines) dan aturan ini sudah
Kewajiban Indonesia sebagai negara kepulauan yang terikat oleh Konvensi
Hukum Laut tahun 1982 sudah terlaksana dengan baik, seperti pengukuran lebar
laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landasan kontinen
seperti yang dikehendaki oleh Pasal 48 Konvensi Hukum Laut tahun 1982
walaupun belum semua ditetapkan. Penetapan batas zona-zona mairitm tersebut
harus dengan kesepakatan dengan negara-negara tetangga baik dengan negara
yang saling berhadapan maupun negara berdampingan. Kewajiban Indonesia
lainnya adalah menghormati persetujuan-persetujuan yang sudah ada, hak-hak
penangkapan ikan tradisional, dan pemasangan kabel-kabel bawah laut yang
dilakukan oleh negara-negara tetangga, menghormati hak lintas damai (right of
innocent passage), dan hak lintas alur laut kepulauan (right of archipelagic sea
lanes passage).
Kewajiban Indonesia sebagai negara kepulauan yang menyangkut hak-hak
negara lain dipastikan sudah dan akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, tetapi
persoalan bukan itu. Kewajiban Indonesia yang terpenting sebagai negara
kepulauan adalah kewajiban melaksanakan kedaulatan NKRI di perairan
kepulauan, yaitu kewajiban memanfaatkan sumber daya alam hayati dan
nonhayati di perairan kepulauan serta melaksanakan penegak hukumnya. Perairan
kepulauan adalah bagian dari kedaulatan NKRI dan perairan ini yang sejak dahulu
diperjuangkan oleh para pendahulu negara ini termasuk oleh dengan adanya
Deklarasi Djuanda dan perjuangan oleh Mochtar Kusumaatmadja di forum
Internasional sampai terbentuknya Konvensi Hukum Laut tahun 1982. Di perairan
dan pertabangan lainnya yang belum dimanfaatkan secara optimal karena
ketidakberdayaan sumber daya manusia dan teknologi.14
B. Wilayah Yuridiksi Indonesia
a. Negara Kepulauan
Kedudukan Indonesia sebagai negara pantai, khususnya sebagai negara
kepulauan,berkewajiban untuk menetapkan batas terluar dari kawasan laut yang
berada dalam yuridiksi nasionalnya dan dituangkan dalam peta yang memadai
sebagaimana ditentukan dalam konvensi internasional di bidang hukum laut, dan
mendepositnya di lembaga depositnya di lembaga deposit sesuai ketentuan
konvensi internasional. Dengan telah terciptanya konvensi hukum laut PBB
(United Nations Convention On the Law of The Sea 1982), maka perairan yang
berada dalam yuridiksi nasional Indonesia menjadi ± 5,8 juta km2 dari ± 3 juta
km2 sebelumya. Dari luas kawasan tersebut 0,4 juta km2 merupakan laut territorial
Indonesia 2,8 juta km2 perairan kepulauan: zona ekonomi ekslusif (termasuk zona
tambahan) 2,6 juta km2.
Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah
kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional.
Pengaturan batas-batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan
pengelolaan Wilayah Negara, dan hak–hak berdaulat. Negara berkepentingan
14
https://www.academia.edu/6765421/PERMASALAHAN_INDONESIA_
untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan di laut bebas dan dasar laut
internasional sesuai dengan hukum internasional.
Pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan
alam, perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi. Pengelolaan
Wilayah Negara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan dan
kelestarian lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan kesejahteraan dalam arti
upaya-upaya pengelolaan Wilayah Negara hendaknya memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraaan masyarakat yang tinggal di
Kawasan Perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti pengelolaan Wilayah
Negara untuk menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta
perlindungan segenap bangsa. Sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan
dalam arti pembangunan kawasan perbatasan yang memperhatikan aspek
kelestarian lingkungan yang merupakan wujud dari pembangunan yang
berkelanjutan.
Dengan ditetapkannya konvensi PBB tentang hukum laut Internasional
tahun 1982, wilayah laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan diperkirakan
mencapai 7.9 juta km2 terdiri dari 1.8 juta km2 daratan, 3.2 juta km2 laut teritorial
dan 2.9 juta km2 perairan ZEE. Wilayah perairan 6.1 juta km2 tersebut adalah
77% dari seluruh luas Indonesia,. Indonesia sebagai Negara yang mengelola laut
dan perairan laut nusantara yang menghubungkan antar laut secara global, perlu
secara serius bukan hanya memperhatikan aspek keseimbangan lingkungan di
wilayah laut Indonesia, namun juga mempunyai kepentingan untuk memantau
laut (termasuk pantai) Indonesia telah dimanfaatkan untuk perikanan, rekreasi,
pembuangan limbah, sumber energi, sumber air, batubara, minyak, bahan
bangunan, kehutanan, peternakan/tambak, pemukiman industri.15
Sebagai konsekuensi dari penarikan garis pangkal kepulauan, timbul
persoalan mengenai perairan laut yang terletak pada sisi dalamnya, tegasnya, apa
nama perairan tersebut dan bagaimana pula status hukumnya. Pasal 49 ayat 1
UNCLOS 1982 menyatakan perairan tersebut sebagai perairan yang ditutup oleh
garis pangkal kepulauan dan dinamakan perairan kepulauan (archipelagic waters)
tanpa memerhatikan kedalamnya ataupun jaraknya dari pantai. Dengan kata lain,
perairan kepulauan merupakan perairan yang berada atau terletak pada sisi dalam
garis pangkal kepulauan.
Suatu Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar
kepuylauan itu, dengan ketentuan bahwa did lam garis pangkal demikian termasuk
pula-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan
dan daerah daratan, termsuk atol adalah antara sutu berbanding stud an Sembilan
berbanding satu.16
15
http://ardikadjun-ceritaapasaja.blogspot.com/2013/05/batas-batas-wilayah-perairan-indonesia. html, diakses pada tanggal 10 Februari jam 23.25.
16
b. Laut Teritorial
Dalam perkembangan hukum Internasional, batas kekuasaan yang
merupakan batas wilayah suatu negara sangat dipegang erat. Pelanggaran terhadap
wilayah suatu negara dapat berakibat fatal, bahkan dapat menimbulkan
kerenggangan hubungan, dan apabila berlarut-larut akan berakibat peperangan.
Dengan batas wilayah dituntut hubungan yang lebih baik bagi setiap negara dan
perjanjian-perjanjian yang diciptakan perlu ditaati agar tidak merugikan
kepentingan negara lain.
Negara-negara pantai mempunyai kedaulatan penuh di laut teritorilnya
(termasuk dasar laut dan udara diatasnya) dengan disertai kewajiban untuk
menjamin hak lintas damai bagi kapal-kapal asing. 17
Penentuan batas wilayah Laut teritorial yang meliputi kelautan di dalam
perbuatannya perlu memperhatikan bentuk konsekuensi dan pertimbangan lain
sehingga kepentingan-kepentingan publik internasional sama-sama berjalan.18
Laut teritorial atau yang dalam bahasa inggris disebut “maritime belt”, “marginal sea” dan “territorial sea” adalah sebuah kawasan kelautan yang
dimiliki oleh suatu negara pantai, yang mana dalam kawasan kelautan tersebut
berlaku juridiksi negara antai tersebut. Dalam bahasa yang lebih sederhana dalam
laut teritorial, negara pantai memiliki kedaulatan absolut atas apa yang terjadi
didalamnya.
17
Albert W. Koers, Konvensi perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Gajah Mada University Press,Yogyakarta,1991,penerjemah Rudi M. Rizki,Wahyuni Bahar, hal 3
18
Sebelum diadakannya konvensi Hukum Laut tahun 1930, sejarah dunia
telah mencatat bahwa banyak negara pantai yang dengan sendirinya dan tanpa
pemberitahuan dengan negara tetangga, melakukan klaim atas lebar laut
teritorialnya. Hal ini pernah terjadi pada negara-negara Skandinavia seperti
Denmark, Swedia dan Norwegia yang mengklaim lebar laut teritorial mereka
selebar 4 mil laut yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain seperti Spanyol
dan Portugis yang mengeluarkan klaim lebar laut teritorial seluas 6 mil laut pada
abad ke-18. Bahkan Tsar Rusia, Mexico, Colombia dan Guatemala mengeluarkan
klaim lebar laut teritorial selebar 12 mil laut dari garis pantai mereka.
Karena potensi ekonomi dan politik laut teritorial yang sangat besar dan
rawan akan konflik antar negara, maka masyarakat dunia mulai memikirkan untuk
membuat suatu peraturan-peraturan hukum internasional yang bisa memayungi
kepentingan-kepentingan dan menjaga kedaulatan laut teritorial masing-masing
negara. Upaya masyarakat internasional tersebut dimulai dengan konvensi
kodifikasi Den Haag tahun 1930 yang secara khusus membahas masalah laut
teritorial. Namun, konvensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari
laut teritorial dan hak penangkapan ikan pada jalur tambahan. Dengan kata lain,
konvensi kodifikasi Den Haag telah gagal menetapkan batas laut teritorial.
Konvensi ini merupakan satu-satunya konvensi internasional mengenai hukum
laut yang diselanggarakan oleh Liga Bangsa-Bangsa.19
Untuk mengetahui tentang laut teritorial Indonesia konseptual, laut teritorial
merupakan perluasan dari wilayah teritorial darat. Sejak konferensi Den haag
19
tahun 1930 di mana waktu itu lebar laut teritorial hanya 3 mil kemudian
konferensi Hukum Laut tahun 1958, negara-negara pantai mendukung hukum
laut. Kemudian ketentuan laut teritorial dimodifikasikan kedalam konvensi hukum
laut tahun 1982 (UNCLOS). Di mana dalam konvensi tersebut memberikan ruang
gerak suatu negara dapat untuk menikmati yuridiksi eksklusif atas tanah dan
lapisan tanah dibawahnya sejauh 12 mil ke arah laut bebas atau ke arah negara
tetangga.
Secara umum pengertian Laut Teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar
garis pangkal yang tidak melebihi lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal.
Negara pantai memiliki kedaulatan penuh di perairan pedalaman. Kedaulatan ini
meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya.
Meski negara mempunyai kedaulatan di laut teritorial ini, namun di laut ini masih
dimungkinkan negara-negara lain menikmati hak lintas damai, yaitu hak setiap
negara untuk melewati laut ini.20
Menurut Colombos, ada beberapa bagian dari laut yang secara universal
diakui sebagai kepanjangan wilayah teritorial dimkana di dalamnya diakui
yuridiksi negara pantai.21
Lebar laut teritorial, sesuai dengan Pasal 3 UNCLOS tahun 1982 adalah
maksimum 12 mil laut dari pantai, diukur dari garis pangkal.
Yang di maksud dengan garis pangkal (baseline) adalah garis yang ditarik
pada pantai pada waktu air laut surut. Garis pangkal (baseline) ini ada tiga
macam, yaitu :
20
nur yanto, Op.Cit, hal.21
21
a. Garis Pangkal Normal (normal baseline),yaitu garis pangkal yang
ditarik pada pantai pada waktu air laut surut dengan mengikuti
lekukan-lekukan pantai.
b. Garis Pangkal Lurus dari ujung ke ujng (straight baseline from point to
piont), yaitu garis pangkal yang ditarik dengan menghubungkan
titik-titik atau ujung-ujung terluar dari pantai pada waktu air laut surut.
Penarikan garis pangkal ini hanya bisa dilakukan pada pantai-pantai
yang berliku-liku atau jika di depannya terdapat pulau atau gugusan atau
deretan pulau.
c. Garis Pangkal kepulauan (arcipelago baseline), yaitu garis pangkal yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang-karang terluar
kepulauan itu.22
C. Zona Ekonomi Eksklusif
Zona ekonomi eksklusif merupakan salah satu pranata hukum laut yang
relatif baru yang belum di kenal dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958. Zona
Ekonomi Eksklusif dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari proses kristalisasi
dari kalim-klaim sepihak negara-negara dengan berbagai nama dan substansi, baik
secara individual maupun kolektif mengenai perikanan di laut lepas yang
berbatasan dengan laut teritorialnya masing-masing. Klaim-klaim sepihak ini
berlangsung secara berkeseimbangan, baik pada masa sebelum Konferensi Hukum
22
Laut Jenewa 1958 maupun sesudahnya hingga Konferensi Hukum Laut PBB
1973-1982.23
Pada zona ekonomi eksklusif suatu negara pantai, negara-negara, baik
negara itu negara pantai, negara tak berpantai, maupun negara yang secara
geografis tidak beruntung, memiliki hak dan kebebasan serta memikul kewajiban
pada zona ekonomi eksklusif suatu negara pantai.24
Negara pantai di wilayah dimaksud tidak dapat semena-mena menerapkan
hukum nasionalnya, kecuali tidak bertentangan dengan hukum nasionalnya,
kecuali tidak bertentangan dengan hukum internasional baik yang berasal dari
perjanjian/traktat, konvensi dan sebagainya. Bagi negara pantai seperti halnya
Indonesia, ZEEI merupakan wilayah yang mempunyai kedaulatan penuh dalam
kaitannya masalah ekonomi dan sngat memperhatikan segala kewajibannya yang
berupa kewajiban internasional, antara lain :
1. Menghormati hak-hak negara lain dalam melakukan pelayaran maupun
penerbangan, yang merupakan kebebasan dari negara-negara dalam
melintasi wilayah dimaksud, dan kebebasan dalam melakukan
pemasangan kabel-kabel, pipa-pipa di bawah laut.
2. Dalam pengelolaan salah satu jenis sumber daya alam yang terdapat di
ZEE Indonesia, seperti halnya ikan. Kewajiban bagi Pemerintah
Indonesia untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
(total allowed catch), sehingga diketahui secara pasti berapa jumlah
23
i wayan parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, yrama widya, Bandung, 2014, hal 143
24
tangkapan secara keseluruhan dan kemampuan negara Indonesia
mengusahakan lingkungan dan tangkapannya.
Pada ZEEI mempunyai dan melaksanakan hak :
1. Hak berdaulat untuk melakukan ekploirasi dan eksploitasi pengelolaan
dan berupaya untuk melindungi, melestarikan sumber daya alam yaitu
menjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut. Hak berdaulat
dalam hal ini tidak sama dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan
dilaksanakan atas laut wilayah maupun perairan pedalaman.
2. Hak untuk melaksanakan penegakan hukum dilakukan oleh aparat
yang mengenai secara langsung, dalam upaya untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan perdamaian.
3. Hak untukmelaksanakan hot porsuit terhadap kapal-kapal asing yang
melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan ZEEI.
4. Hak eksklusif untuk membangun, mengizinkan dan mengatur
pembangunan, pengoprasian dan penggunaan pulau-pulau buatan,
instalasi-instalasi dan bangunan-bangunannya. Disamping itu
mempunyai yuridiksi namun tidak berakibat atas batas laut teritorial.
5. Hak untuk menentukan kegiatan ilmiah berupa penelitian-penelitian
dengan diterima/tidaknya permohonan yang diajukan pada pemerintah,
kemudian atas pemohonannya pemerintah dapat menyatakan :
a. Tidak menolak permohonan yang di ajukan.
b. Bahwa keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemohon tidak
c. Bahwa permohonan belum memenuhi kewajiban atas proyek
penelitiannya, kecuali apabila dinyatakan sebaliknya.
Segala kegiatan berupa hak-hak melekat pada areal laut tersebut
merupakan perwujudan dari perlindungan dan pengawasan negara pantai di
bidang pertahanan dan keamanan, dan memberikan peluang-peluang
sebesar-besarnya bagi negara pantai, dalam membenahi serta memelihara lingkungan laut
sebagai sumber daya alam semesta. Hak-hak tersebut timbul bukan merupakan
tindakan sepihak dari pemerintah negara pantai, melainkan dengan
memperhatikan lingkungan maupun geografi wilayah, juga tidak adanya
pertentangan dengan dengan hukum internasional yang melandasi hukum nasional
suatu negara. Keadaan tersebut semakin nampak nyata setelah dihasilkannya
konvensi hukum laut.25
Negara Indonesia dalam hal mempunyai hak berdaulat, hak-hak lain,
yuridiksi dan kewajiban-kewajiban terdapat dalam Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983, di mana pasal tersebut menyatakan :
(1) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia mempunyai
dan melaksanakan :
a. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi,
pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan nonhayati
dari dasar laut dan tanah dibawahnya serta air di atasnya dan
25
kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis
zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin.26
b. Yuridiksi yang berhubungan dengan :
1) Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan,
instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya.
2) Penenlitian ilmiah mengenai kelautan perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut.
3) Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan
Konvensi Hukum Laut yang berlaku.
(2) sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah di bawahnya, hak
berdaulat, hak-hak lain, yuridiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1983 dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan
Landas Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan dantara Republik
Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan.
Hukum Internasional yang berlaku.
(3) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta kebebasan pelayaran dan
penerbangan internsional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa
bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut
internasional yang berlaku.27
Secara yuridis pemerintah Indonesia dapat membuat suatu Pulau buatan di
wilayah ZEEI, namun pulau buatan tersebut bukanlah merupakan Pulau yang
26
Nur Yanto,SH.,MH, Op.Cit, hal.41
27
dapat dijadikan dasar sebagai pulau terluar dan sebagai tempat menentukan garis
pangkal yang digunakan untuk menentukan lebarnya laut teritorial dan ZEE.
Karena jika pulau buatan dapat dijadikan sebagai pulau terluar dan tempat
menentukan garis pangkal yang digunakan untuk menentukan lebarnya laut
teritorial dan ZEE sebagai tempat untuk menentukan/menetapkan batas wilayah
maka kepastian hukum internasional untuk masyarakat internasional tidak tercapai
dan kemungkinan besar akan menimbulkan gesekan di antara masarakat
internasional tentang batas wilayah.28
d. Zona Tambahan
Zona Tambahan menurut Konvensi Jenewa tahun 1958 adalah bagian dari
laut bebas yang berdekatan dengan Laut Wilayah. Dalam Rancangan Konvensi
lebar Zona Tambahan ditentukan tidak boleh lebih jauh dari 24 mil diukur dari
Garis Dasar (Pasal 33 UNCLOS 1982). Di Zona Tambahan ini negara pantai tidak
mempunyai sovereinitas sebagaimana halnya dengan Laut Wilayah, karena Zona
Tambahan bukan bagian dari wilayah nasional. Meskipun demikian, Negara
Pantai dapat menyelenggarakan kewnangan hukumnya di Zona Tambahan yang
perlu untuk :
1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran atas aturan-aturan beacukai,
keuangan, imigrasi dan kesehatan yang berlaku di wilayah darat atau di
Laut Wilayahnya.
28
2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang atau
peraturan-peraturan di bidang tersebut di atas yang telah dilakukan di
wilayah darat atau di laut.
Sejauh ini pemerintah Indonesia belum mengklaim Zona Tambahan
sepanjang wilayah tepi luar laut. Dari sudut ekonomi klaim Zona Tambahan perlu
untuk mencegah pelanggaran bea cukai, keuangan, imigrasi.
Setiap negara pantai yang laut teritorialnya melebihi 12 mil laut berarti ia
juga akan mempunyai zona tambahan (contiguous zone) yang mempunyai peranan
penting dalam keamanan dan pembangunan ekonominya. Pembentukan rezim
zona tambahan mempunyai sejarah tersendiri terutama bermula dari praktik
Inggris dan Amerika Serikat. Inggris pernah mengeluarkan peraturan
pemberantasan penyeludupan tahun 1669 dan tahun 1673 di mana Inggris dapat
menahan kapal yang diduga telah melakukan penyeludupan wool,teh,minuman
keras (liquor) dan barang-barang terlarang lainnya yang terjadi pada jarak 6-12
mil dari pantainya. Inggris memperluas juridiksi anti penyeludupan terhadap kapal
yang berlabuh atau mondar-mandir (hovering) dan kapal tersebut dapat diperiksa
oleh petugas Bea Cukai dalam jarak 12-25 mil karena Inggris sudah mempunyai
“Hovering Acts”. Sementara itu Amerika Serikat mengeluarkan peraturan tahun
1790 yang menetapkan bahwa kapal-kapal dapat diperiksa oleh petugas Bea
Cukai dalam jarak 12 mil bahkan Amerika Serikat dapat menembak kapal yang
tidak memperlihatkan perintah petugas apabila melanggar seperti dalam kasus
kapal yang membawa budak Belian (slavery) yang mondar-mandir dalam jarak 12
melarang kapal asing membawa minuman keras, miniman keras menjadi jarang
dan mahal, sehingga mengundang terjadinya penyeludupan dari Kanada, Bahama,
Kuba.
Kasus yang terkenal adanya pelanggaran di zona tambahan tersebut aalah
kasus the Grace adn Ruby tahun 1922 Massachusetts. Dengan adanya peraturan
tersebut timbul kasus yang terkenal dengan “the grace and Ruby”: dimana
pengadilan menyatakan sebagai berikut :
“the more fact, therefore, that the Grace and Riby was beyond the three mil limit, does not of it sell make the seizure unlawful and estabilish a lack of juridiction...In direcing taht she seized ... and brought into the country to answer for her offence I am not prepared to say that the Treasury Department exceeded
its power”
Inti dari pernyataan tersebut adalah bahwa penangkapan kapal Grace and
Ruby ketika berada 3 mil bukan merupakan penangkapan illegal karenanya dapat
ditangkap langsung dan Treasury Department tidak melibihi kekuasaannya.
Konsep zona tambahan sudah diatur oleh Konvensi Hukum Laut tahun
1982, yaitu yang terdapat dalam Pasal 33 yang berbunyi sebagai berikut :
1. In a zone contiguous to its territorial sea, described as the contiguous zone, the coastal State may exercise the control necessary to :
(a) prevent infringement of its customs, fisca, immigration or sanitary laws and regulations within its territory or territorial sea;
(b) punish infringement of the above laws and regulations committed within its territory or territorial sea.
2. The contiguous zone may not extend beyond 24 nautical miles from the baselines from which the breadthof the territorial sea is measured.
Di zona tambahan setiap negara pantai dapat melaksaakan pengawasan
yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea
Negara pantai mempunyai zona tambahan yang jauhnya tidak boleh melebihi 24
mil yang diukur dari garis pangkal di mana lebar laut teritorial diukur atau sejauh
12 mil diukur dari laut teritorial suatu Negara pantai. Status zona tambahan
berbeda dengan status laut territorial, kalau laut teritorial adalah milik kedaulatan
suatu Negara pantai secara mutlak, sedangkan status zona tambahan adalah
tunduk pada rejim juridiksi pengawasan Negara pantai, bukan bagian dari
kedaulatan Negara.29
29