• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pancasila Sebagai Dan Philosophische Grondsl

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pancasila Sebagai Dan Philosophische Grondsl"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PANCASILA SEBAGAI PHILOSOPHISCHE GRONDSLAG1

Oleh : Hermawan Prasojo PENDAHULUAN

“Pancasila berarti, justru karena ia tidak sakti”2, demikian Goenawan Mohammad menyampaikan pandangannya dalam naskah pidatonya saat

peluncuran politikana.com. Pandangan Gunawan Muhammad ini seolah mewakili

perspektif baru dalam memandang Pancasila. Setelah hampir selama 32 tahun

Pancasila seolah ‘dikeramatkan’, pasca Reformasi Pancasila justru seperti hilang

begitu saja. Hal ini disebabkan manipulasi penerapan Pancasila di masa Orde

Baru yang mengakibatkan orang menjadi sinis terhadap Pancasila, sebab

Pancasila adalah label politik Orde Baru. Mengkaji dan mengembalikan

Pancasila dianggap mengembalikan kewibawaan Orde Baru. Setidaknya

pandangan Gunawan Mohammad memberikan angin segar bahwa Pancasila

masih ada yang peduli, sebab tidak sedikit di luar itu yang justru terang-terangan

menganggap Pancasila sudah usang dan harus diganti. Di sisi lain, ada pula yang

tetap berupaya hampir ‘mengkeramatkan’ Pancasila sebagaimana pada masa Orde

Baru berkuasa.

Perdebatan status Pancasila tidak berhenti sebatas itu. Pancasila,

dikalangan ilmuwan masih diperdebatkan statusnya, apakah ia sebagai ideologi

atau bukan. Di satu pihak, ada pendapat bahwa Pancasila tidak seharusnya

1Kata Philoshophiche Grondslag adalah bahasa Belanda yang berarti filsafat dasar. Kosakata Bahasa Belanda ini dijadikan judul bukan berarti tidak mencintai bahasa Indonesia, hanya sekedar ingin mendekatkan dengan akar sejarah lahirnya Pancasila, sebab kata-kata tersebut yang disampaikan Pidato Bung Karno dihadapan Dokuritsu Junbi Cosakai ("Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan") pada tanggal 1 Juni 1945

(2)

dianggap sebagai ideologi, seperti terlihat pada pendapat Ongkhokham,

Armahedy Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis Suseno. Menurut

Onghokham Pancasila merupakan ’dokumen politik, bukan falsafah atau ideologi’,

dan harus dilihat sebagai kontrak sosial, yaitu kompromi atau persetujuan sesama

warga negara tentang asas-asas negara baru yang dapat disamakan dengan

dokumen-dokumen penting negara lain seperti Magna Carta di Inggris, Bill of

Rightsdi Amerika Serikat danDroitdel’hommedi Perancis (Kompas, 6 Desember

2001). Melihat Pancasila sebagai ideologi, menurut Mahzar, menyebabkan

monointerpretasi terhadap Pancasila oleh penguasa, sementara Garin menilai

bahwa Pancasila dijadikan alat industrialisasi monokultur yang berakibat

terjadinya sentralisasi. Keduanya berpendapat bahwa Pancasila tidak boleh lagi

menjadi sekadar ideologi politik negara, melainkan harus berkembang menjadi

paradigma peradaban global. Franz Magnis Suseno menyatakan, ‘Pancasia lebih tepat disebut kerangka nilai atau cita-cita luhur bangsa Indonesia secara

keseluruhan daripada sebuah ideologi’

Di pihak lain, anggapan bahwa Pancasila merupakan ideologi, baik dalam

pengertian ideologi negara, atau ideologi bangsa masih dipertahankan oleh

pemikir pemikir lain. Pendapat mereka bukan merupakan tanggapan langsung

terhadap pendapat yang menolak Pancasila sebagai ideologi. Ini terlihat pada

pandangan Koentowijoyo, Azyumardi Azra, Asvi Warman Adam dan Budiarto

Danujaya (dalam Kompas 23 Juni 2004 ; 9 Juni 2004 ; 1 Juni 2004), James

(3)

muncul sebagai bagian dari kekecewaan terhadap perkembangan Pancasila selama

ini, yaitu terhadap interpretasi dan pelaksanaan Pancasila di bawah rezim-rezim

pemerintah Indonesia sebelumnya. Dengan kata lain, kedua kubu yang

memberikan penilaian berbeda tentang status Pancasila tersebut meletakkan

analisisnya dalam kerangka evaluasi terhadap perkembangan Pancasila seperti

yang dipraktekkan pada jaman Orde Lama di bawah kekuasaan Soekarno, dan

Orde Baru di bawah kekuasaan Suharto.3

Di tengah terpaan krisis multidimensi yang berkepanjangan, Bangsa

Indonesia kali ini memang benar-benar membutuhkan pandangan hidup. Hal ini

penting, mengingat pengaruh ideologi asing dalam berbagai bidang kehidupan tak

terelakkan. Kapitalisme, terutama sangat tampak dalam perkembangan ekonomi.

Jurang antara kaya dan miskin justru semakin lebar. Berkaitan dengan

pendapatan, Prof Esmi Warasih mengatakan bahwa masalah pemerataan

pendapatan memang menjadi perhatian yang utama dalam pembangunan sekarang

ini. Agar pelaksanaan pembangunan nasional dapat berjalan lancar, maka

bersamaan dengan itu harus pula diwujudkan stabilitas nasional yang sehat dan

dinamis baik di bidang politik maupun ekonomi. Kegoncangan-kegoncangan

ekonomi jelas akan menghambat pembangunan dan secara politis mengganggu

integrasi nasional. 4 Ketergangguan integrasi nasional ditunjukkan dengan

beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan hal itu, seperti misalnya

kasus kekerasan atas nama agama, konflik etnis, konflik atas nama agama, konflik

rakyat dan pengusaha, serta kasus-kasus yang lain.

3Agus Wahyudi, Pancasila Doktrin Yang Ideologis atau Konsepsi Politis, Makalah, Yogyakarta, 2009, hal 2

(4)

Berdasarkan beberapa hal di atas, maka tampaknya bangsa Indonesia harus

segera menentukan dengan tegas filsafat dasarnya, fundamen, pikiran terdasarnya

yang oleh Soekarno disebut dengan pikiran ‘sedalam-dalamnya’.5 Apakah Pancasila masih relevan sebagai ideologi, sekedar sebagai kontrak politik, atau

bahkan diganti.

PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah Pancasila adalah ‘isme’ (ideologi) yang dibutuhkan bangsa Indonesia atau sekedar kontrak politik ?

2. Bagaimana Reaktualisasi Pancasila Sebagai Filsafat Dasar

(Philoshophische Gronslag)Bangsa Indonesia?

(5)

PEMBAHASAN

1. Apakah Pancasila adalah ‘isme’ (Ideologi) atau Sekedar Kontrak Politik?

Konsep ideologi, menurut sejarah perkembangannya, dapat dibedakan

dalam dua pendekatan, pertama, pendekatan positif atau netral, yaitu ketika

ideologi dipahami dalam pengertian yang murni deskriptif, artinya sebagai sistem

pemikiran (system of thought), sistem kepercayaan (system of belief) atau sebagai

praktek simbolik (symbolic practises). Ideologi dalam pengertian ini dianggap

hadir dan menggerakkan tindakan atau rencana politik sehari-hari, tidak

dipersoalkan apakah rencana atau program yang digerakkan dengan basis ideologi

atau ajaran ini akan mengubah atau mempertahankan tatanan sosial (social order).

Pendekatan kedua adalah pendekatan kritis, yaitu ketika ideologi dipahami

sebagai sesuatu yang berhubungan dengan proses mempertahankan relasi

kekuasaan yang tidak seimbang atau sebagai proses mempertahankan dominasi.

Dengan demikian, ideologi di sini dilihat sebagai bukan secara apa adanya, tetapi

selalu dianggap berhubungan dengan realitas sosial dan relasi kekuasaan.

Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia mengatakan bahwa

Pancasila bukan Ideologi. Menurut Ismail Yusanto, Pancasila hanya sebagai set

of phylosophi (seperangkat gagasan filosofis) bukan sebagai ideologi. Sebab,

kalau ideologi mengandung dua unsur penting yang pertama pemikiran

(6)

lahirlah sistem. Inilah yang tidak dimiliki oleh pancasila dan hanya sebagai

perangkat falsafah.6

Tetapi mengatakan bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai

ideologi mengaburkan makna yang lebih kompleks dari konsep ideologi dan

peranannya. Barangkali yang ditolak bukan Pancasila sebagai ideologi, melainkan

pengertian ideologi Pancasila yang selama ini memperkuat otoritarianisme negara.

Jadi, ideologi Pancasila tetap memiliki makna yang penting, dan menganggap

Pancasila sebagai ideologi juga bukan tanpa dasar. Dalam perkembangan sejarah

faktanya adalah Pancasila yang dirumuskan dan dibentuk dalam rangkaian

sidang-sidang BPUPKI dan PPKI menjelang dan setelah diumumkan Proklamasi

Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 memang telah mengalami

perkembangan. Ia diinterpretasikan dan bahkan dilaksanakan oleh berbagai aktor

dan kekuatan politik untuk mewarnai kehidupan berbangsa sepanjang sejarah

Indonesia dengan caranya masing-masing. Sejak proklamasi kemerdekaan

Indonesia negeri ini telah mengalami berbagai perubahan penting di dalam sistem

politiknya; dari yang ‘liberal’ kepada bentuk yang ‘otoriter’ dan diberi nama ‘demokrasi terpimpin’; dari pemerintah sipil kepada pemerintahan militer; dari sistem kepartaian yang multi-mayoritas kepada sistem mayoritas tunggal ;

dari ’Orde Lama’ ke ’Orde Baru’. Perubahanperubahan ini cukup mendasar. Yang menarik adalah semuanya membenarkan diri atas nama Pancasila

Hal ini tampaknya tak lepas dari perumusan awal Pancasila itu sendiri

yang adalah inspirasi untuk sebuah kehidupan bersama yang mengakui dirinya

(7)

mengandung ‘kurang’, karena senantiasa bergulat antara ‘eka’ dan ‘bhineka’.

Sebab itu tepat sekali ketika Bung Karno menggunakan kiasan ‘menggali’ dalam merumuskan Pancasila. ‘Menggali’ melibatkan bumi dan tubuh; Pancasila lahir dari jerih payah sejarah, dan – seperti halnya hasil bumi -- menawarkan sesuatu yang tetap bisa diolah lebih lanjut. Ia tak ‘ready-for-use’. Ia tak menampik tafsir

yang kreatif. Ia membuka kemungkinan untuk tak jadi doktrin, sebab tiap doktrin

akan digugat perkembangan sejarah – dan sebab itu Bung Karno mengakui: tak

ada teori revolusi yang ‘ready-foruse’. Yang juga tampak dalam keterbukaan untuk kreatifitas itu adalahsifatnya yang tak bisa mutlak. Tiap ‘sila’ mau tak mau

harus diimbangioleh ‘sila’ yang lain: bangsa ini tak akan bisa hanya menjalankan

‘sila’ keberagamaan (‘Ketuhanan Yang Maha Esa’) tanpa juga diimbangi ‘sila’ kesatuan bangsa (‘kebangsaan Indonesia’), dan sebaliknya. Kita juga tak akan patut dan tak akan bisa bila kita ingin menerapkan ‘sila’ nasionalisme tanpa

diimbangi perikemanusiaan, dan begitulah seterusnya7. Kenyataan ini sering

diartikan, seperti dikatakan Clifford Geertz, bahwa Indonesia merupakan State

Manque, dimana ’aspirasi yang satu ke aspirasi yang lain tak kunjung terpenuhi’ dan ‘bangsa Indonesia tetap saja tersandung-sandung dari satu sistem politik ke sistem politik lainnya’. Mochtar Pabotinggi menulis apakah seandainya Geertz menunggu duapuluh tahun ia akan tetap menempatkan Indonesia sebagai state

manque ?8

7Gunawan Mohammad,Op. Cit, hal 8

8Dikutip oleh Agus Wahyudi dariPabotinggi, Mochtar, “Indonesia: Historicizing the New Order’s

(8)

Dewasa ini, pada masa yang sering disebut dengan era reformasi, memang

terjadi kembali perubahan yang meniscayakan transformasi nilai dan penyesuaian

tatanan kelembagaan. Meskipun demikian perubahan ini nampaknya disertai oleh

kesadaran kolektif yang lebih percaya diri berkenaan defenomena hubungan

antara Pancasila dan perubahan perubahansistem politik sosial, dan ekonomi di

Indonesia selama ini, penjelasannya sangat sederhana. Ada banyak cara yang

menyebabkan orang bisa sampai pada kesimpulan yang sama dan kesimpulan

yang berbeda-beda dapat diturunkan dari sumber doktrin atau ajaran yang sama.

Inilah yang sebenarnya terjadi dibalik munculnya “praktek“ Pancasila yang

berbeda-beda di Indonesia. Fenomena semacam ini sebenarnya berlaku umum,

bukan merupakan sesuatu yang khas Pancasila atau melulu terjadi di Indonesia.

T.E. Utley dan J. Stuart Mclure mencatat kesaksiannya, seseorang yang menerima

ajaran sosial dan politik kepausan tidak berarti mengatakan bahwa orang itu

niscaya mengikuti arah tindakan sosial dan politik tertentu yang diambil langsung

dari ajaran itu. Dalam kenyataannya penerimaan ajaran ini nampak sejalan dengan

berbagai pandangan yang luas dan berbedabeda berkenaan dengan masalah

ekonomi, sosial, dan konstitusional. Sebaliknya, seseorang yang merupakan

anggota Partai Buruh di Inggris tidak dengan sendirinya menerima semua atau

sebagian besar doktrin-doktrin sosial dan ekonomi yang abstrak pada Partai itu.

Studi Douglas E. Ramage berjudul Politics in Indonesia : Democracy, Islam and

the Ideology of Tolerance (Routledge, London, 1995), juga memperjelas

kesalahan ilusi bahwa Pancasila dapat disepakati sebagai sebuah doktrin yang

(9)

ekonomi. Ramage menunjukkan bahwa sejak Orde Baru, Pancasila sebagai dasar

negara tidak lagi dipersoalkan, dan perdebatan yang berkembang adalah mengenai

makna dan implikasi Pancasila bagi struktur politik dan partisipasi warga negara

dalam proses politik. Menurut Ramage, Pancasila memiliki fungsi tertentu,

yaitu ’sebagai referensi ideologi yang potensial untuk [memecahkan]

masalah-masalah fundamental dalam kehidupan nasional’.9

Pancasila sebagai ideologi merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak,

dan ini bisa menampakkan diri dalam pengertian formal atau informal. Menolak

Pancasila sebagai ideologi tidak masuk akal, bukan hanya karena penolakan

semacam ini bersifat ideologis, tetapi juga karena hal ini akan potensial

mempersempit ’keleluasaan berpikir’ yang harus dijaga berdasarkan prinsip

kebebasan, yang menyarankan bahwa kemauan setiap orang atau kelompok untuk

mengartikulasikan dan merumuskan pemahaman tertentu tentang kehidupan harus

tetap dikembangkan. Kebebasan berpikir merupakan hak termasuk elit penguasa

yang memang berkepentingan dengan ideologi formal, maupun warga negara

biasa dan masyarakat sipil yang berkepentingan dengan bagaimana kedua

pengertian ideologi tersebut dalam praktek mempengaruhi kehidupan mereka.

Sekali lagi, ideologi penting dan merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak

karena dalam setiap masyarakat selalu diharapkan tersedia keberadaan sebuah

struktur bersama yang terbentuk dari idea-idea dan karena itu, ‘salah satu fungsi

penting dari lembaga sosial adalah mempertahankan dan menyebarkan ideologi

9Dikutip dariRamage, Douglas E., “Pancasila Discourse in Suharto’s Late New Order”, in

Democracy in Indonesia 1950s and 1990s, David Bourchier and John Legge (eds),

(10)

bersama (common ideology) diantara mereka yang membentuk sebuah

masyarakat’10. Dalam hal ini, keberadaan Pancasila sebagai Ideologi bersama, atau yang oleh Bung Karno disebut sebagai Weltanchauung, sebuah pandangan

tentang dunia dan kehidupan sangat diperlukan. Bung Karno menyadari betul

bahwa bangsa Indonesia terdiri dari banyak faham. Itulah mengapa Pancasila

disebutnya dengan menggali Pancasila. Bahkan Bung Karno mengatakan, “tak

ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah Candradimuka’ yang ‘mendidih’ di mana pelbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya. Tak

ada sebuah negara yang dinamis ‘kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya’11. Disinilah peran Pancasila sebagai filsafat dasar sangat dibutuhkan menjadi payung bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila dalam pengertian

tersebut telah menjadi suatu sistem atau cita-cita atau keyakinan sehingga telah

menjadi ideologi yang mengandung tiga unsur yaitu : logos

(rasionalitas/penalaran), pathos (penghayatan), dan ethos (kesusilaan).

Pancasila masih sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Hasil survey

Badan Pusat Statistik menemukan dalam surveinya, publik masih membutuhkan

Pancasila. Dari 12.000 responden yang ditanya, 79,26 persen menyatakan

Pancasila penting dipertahankan, sementara 89 persen masyarakat berpendapat

permasalahan bangsa, disebabkan kurangnya pemahaman nilai-nilai Pancasila,"

kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melansir hasil survei itu dalam pidato

kebangsaan di Gedung MPR, Rabu 1 Juni 2011. Hal ini membuktikan bangsa

Indonesia sangat membutuhkan Pancasila.

(11)

2. Bagaimana Reaktualisasi Pancasila Sebagai Filsafat Dasar (Philoshophische Gronslag) Bangsa Indonesia

Istilah filsafat diambil dari bahasa Yunani “Philos” artinya suka,cinta, dan sophia artinya kebijaksanaan. Jadi kata itu berarti cinta kepada keistimewaan12.

Pancasila sebagai Filsafat Dasar setidaknya dapat dijelaskan melalui aspek

sebagai berikut13:

a. Aspek Ontologis

Dasar ontologi Pancasila adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak

monopluralis, oleh karenanya disebut juga sebagai dasar antropologis.

Subyek pendukungnya adalah manusia, yakni : yang berketuhanan, yang

berperikemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang

berkeadilan pada hakikatnya adalah manusia.

b. Aspek Epistemologi

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya adalah suatu sistem

pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila menjadi pedoman

dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta,

manusia, masyarakat, bangsa, dan negara tentang makna hidup serta dasar

bagi manusia Indonesia untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi

dalam hidup dan kehidupan. Aspek Aksiologi

Kehidupan manusia sebagai makhluk subjek budaya, pencipta, dan

penggerak nilai berarti manusia secara sadar mencari, memilih, dan

12Otje Salman,Filsafat Hukum Perkembangan dan dinamika masalah, Refka Adi tama, Bandung, 2009, hal 3

(12)

melaksanakan (menikmati) nilai. Jadi nilai merupakan fungsi rohani

jasmani manusia. Pancasila dalam hal ini menjadi nilai, sumber nilai,

hakikat nilai, termasuk membingkai etika, ketuhanan, dan agama.

Reaktualisasi Pancasila

Reaktualisasi Pancasila sebagai filsafat dasar bangsa Indonesia diperlukan

mengingat beberapa waktu terakhir Pancasila menjadi terpinggirkan seolah-olah

turut bersalah atas kegagalan Orde Baru. BJ. Habibie dalam pidatonya

mengatakan bahwa Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi, justru di tengah

denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan

kebebasan berpolitik. Salah satu faktor penyebab mengapa Pancasila seolah

terlupakan menurut BJ Habibie adalah salah satunya dikarenakan penolakan

segala hal yang berhubungan dengan orde baru. Harus diakui di masa lalu

memang terjadi mistisisasi Pancasila secara sistematif, terstruktur, dan massif.

Pancasila menjadi alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan, maka etika

kepemimpinan berganti, Pancasila ikut dijustifikasi menjadi bagian Orde Baru dan

seperti menjadi sebuah trauma sejarah, mucullah

demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol,

dari rezim politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena

dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik

sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan14. Ada tiga

kesalahan besar ‘Orde Baru’ dalam memandang kelima prinsip Pancasila. Yang pertama adalah membuat Pancasila hampir-hampir keramat. Yang kedua,

(13)

membuat Pancasila bagian dari bahasa, bahkan simbol eksklusif, si berkuasa.

Yang ketiga, mendukung Pancasila dengan ancaman kekerasan.

Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah

menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok, penolakan terhadap

kemajemukan, dan segala tindakan yang kontraproduktif terhadap perjalanan

bangsa. Hal ini menjadi penting untuk menentukan ke arah mana biduk

peradaban bangsa mau dibawa15. Gunawan Mohammad mengatakan16:

Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita seakan-akan telah

kehilangan bahasa untuk menangkis 100 tahun kekerasan yang tersirat dalam

sikap sewenang-wenang yang juga pongah.

Reaktualisasi Pancasila atau seperti kata Bung Karno yang dikutip oleh Gunawan

Mohammad ‘Menggali Pancasila Kembali’ perlu memberhatikan beberapa hal

berikut :

1. Pancasila jangan dimutlakkan dan harus terbuka

Seperti pada saat pertama kali diusulkan. Pancasila bukanlah sesuatu yang

kaku dan mutlak. Pancasila justru mesti terbuka, bahkan sejak dahulu

Pancasila adalah Ideologi terbuka. Yang juga tampak dalam keterbukaan

untuk kreatifitas itu adalah sifatnya yang tak bisa mutlak. Tiap ‘sila’ mau tak mau harus diimbangi oleh ‘sila’ yang lain: bangsa ini tak akan bisa

hanya menjalankan ‘sila’ keberagamaan (‘Ketuhanan Yang Maha Esa’) tanpa juga diimbangi ‘sila’ kesatuan bangsa (‘kebangsaan Indonesia’), dan

sebaliknya. Kita juga tak akan patut dan tak akan bisa bila kita ingin

15ibid

(14)

menerapkan ‘sila’ nasionalisme tanpa diimbangi perikemanusiaan, dan

begitulah seterusnya. Memutlakkan satu ‘sila’ saja akan melahirkan kesewenangwenangan juga tak akan berhasil.

Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu

dijabarkan secara rasional dan kritis agar membuka iklim hidup yang bebas

dan rasional pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila harus bersifat terbuka.

Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia

dan tidak menutup diri terhadap nilai dan pemikiran dari luar yang memang

diakui menunjukkan arti dan makna yang positif bagi pembinaan budaya

bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi sebagai

gejala wajar.

2. Pancasila dipandang sebagai Ideologi yang dinamik

Ideologi Pancasila dipandang sebagai ideologi yang menunjukkan sifatnya

yang dinamik, yaitu memiliki kesediaan untuk mengadakan pembaharuan

yang berguna bagi perkembangan pribadi manusia dan masyarakat. Untuk

menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai

Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat

diartikan sebagai kemampuan untuk menyeleksi nilai-nilai baru dan mencari

alternatif bagi pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi,

dan pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila tidak apriori menolak

bahan-bahan baru dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai

yang dipertimbangkan dapat memperkaya dan memperkembangkan

(15)

Indonesia. Bangsa Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, tidak

defensif dan tertutup sehingga sesuatu yang berbau asing harus ditangkal

dan dihindari karena dianggap bersifat negatif. Sebaliknya tidak diharapkan

bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu kaku, sehingga segala sesuatu yang

menimpa dirinya diterima secara buta tanpa pedoman untuk menentukan

mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk diintegrasikan dalam

pengembangan dirinya.17

3. Nilai-nilai Pancasila diungkapkan dan dirumuskan dari sumber nilai utama

yaitu :

a. Nilai-nilai yang bersifat fundamental, universal, mutlak, dan abadi dari

Tuhan YME tercermin dalam inti ajaran-ajaran agama dalam kitab suci.

b. Nilai-nilai yang bersifat kolektif nasional yang merupakan intisari dari

nilai-nilai yang luhur budaya masyarakat yang tersebar di seluruh

nusantara

Kedua nilai tersebut diharapkan menjadikan Pancasila benar-benar menjadi

filsafat dasar(philoshophisce gronslag)yang mewadahi perbedaan faham, agama,

dan latar belakang budaya Bangsa Indonesia serta membingkainya dalam

persatuan yang dinamis, tidak kaku, namun penuh nilai. Inilah rasanya yang oleh

Bung Karno dikatakan bahwa Pancasila adalah Weltanchauung, sebuah

pandangan tentang dunia dan kehidupan, ia sebenarnya sedang meniti buih untuk

selamat sampai ke seberang18.

(16)

PENUTUP

1. Perbedaan para pakar, dan pendapat berbagai kalangan tentang Pancasila

adalah Ideologi atau bukan tidak perlu diberdebatkan lebih jauh, mengingat

dasar yang disampaikan oleh mereka yang tidak setuju bahwa Pancasila

adalah ideologi justru berangkat dari asumsi sejarah penerapan Pancasila di

masa orde baru. Peranannya sebagai Filsafat Dasar (Philoshophische

Gronslag) menjadikan Pancasila dalam hal ini memiliki prasyarat disebut

sebagai ideologi atau ‘isme’ bangsa Indonesia karena yang mengandung tiga unsur yaitu : logos(rasionalitas/penalaran), pathos(penghayatan), danethos

(kesusilaan).

2. Substansi dari adanya dinamika dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam

kehidupan praksis adalah selalu terjadinya perubahan dan pembaharuan

dalam mentransformasikan nilai Pancasila ke dalam norma dan praktik

hidup dengan menjaga konsistensi, relevansi, dan kontekstualisasinya.

Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang berkesinambungan terjadi

apabila ada dinamika internal (self-renewal) dan penyerapan terhadap

nilai-nilai asing yang relevan untuk pengembangan dan penggayaan ideologi

Pancasila. Muara dari semua upaya perubahan dan pembaharuan dalam

mengaktualisasikan nilai Pancasila adalah terjaganya akseptabilitas dan

kredibilitas Pancasila oleh warganegara dan warga masyarakat Indonesia.

Reaktualisasi dan Revitalisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara sangat diperlukan dengan memandang Pancasila tidak

(17)

Ideologi yang dinamik, dan merumuskan nilai Pancasila ke dalam dua nilai

utama yaitu nilai yang bersifat fundamental dan nilai yang bersifat kolektif

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Sulfikar,Epistemologi Pancasila,Kompas, Rabu 3 Nopember 2004

Habibie, BJ. Pidato Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 2011, Republika.Co.id, Diakses Tanggal 20 Desember 2011

Mohammad, Gunawan,Menggali Pancasila Kembali, Jakarta, 2009

Mulyono, Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila dalam Kehidupan, UNDIP, Semarang, Tanpa Tahun

Prihartono, Edi,Pancasila, Universitas Gunadarma, Jakarta

Salman, Otje, Filsafat Hukum Perkembangan dan Dinamika Masalah, Refika Aditama, Bandung, 2010

Soekarno,Pantja-sila, Pidato Pengukuhan Pancasila 1 Juni 1949, Republika.co.id, Diakses Tanggal 23 Desember 2011

Suparto, Revitalisasi Pancasila, Dekonstruksi Ideologi Nasional, Kompas, Oktober 2004

Wahyudi, Agus, Pancasila Doktrin yang Ideologis atau Konsepsi Politis, UGM, Yogyakarta, 2009

(19)

Referensi

Dokumen terkait

The derivational process happens because there is word category changing after the verb root is added with circumfix ke-an.. The root of word is a verb „ ingin’ which

Evaluasi teknis dilakukan terhadap peserta yang memenuhi syarat evaluasi administrasi. Unsur-unsur yang dievaluasi sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen pemilihan :

Hasil analisis multivariat pada penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang memiliki pengaruh paling kuat adalah skor GCS dengan nilai significancy p<0,001 dan

Setelah mendapat penjelasan dari penelitian tentang “ Pengetahuan dan Sikap ibu Hamil Trimester III terhadap Pencegahan Anemia Defisinesi Zat Besi di Klinik Cahaya Kecamatan

Program ini yang juga merupakan salah satu program di bawah Pelan Induk Pelancongan Luar Bandar adalah bermatlamat untuk menggalakkan penyertaan masyarakat luar bandar

Dari berbagai pengertian di atas maka dapat disimpulkan definisi konsep kinerja guru merupakan hasil pekerjaan atau prestasi kerja yang dilakukan

Seperti yang dikemukakan oleh Prabowo di Amigos Café, Mega Kuningan Jakarta, Selasa 31 Maret malam, bahwa keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi bahwa quick count

Pembelajaran tematik adalah pembelajaran yang diawali dengan suatu pokok bahasan atau tema tertentu yang dikaitkan dengan pokok bahasan lain, konsep tertentu