• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revitalisasi Bahasa Indonesia sebagai Ba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Revitalisasi Bahasa Indonesia sebagai Ba"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Revitalisasi Bahasa Indonesia sebagai Basis Transformasi

Budaya Bangsa

Oleh: Andik Wahyun Muqoyyidin1

1

Dosen Tetap Fakultas Agama Islam

Universitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum (UNIPDU) Jombang

PENDAHULUAN

Sebagai bahasa resmi (negara), usia bahasa Indonesia sudah mencapai bilangan ke-66 tahun. Bahkan, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah berusia 83 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, dalam rentang usia tersebut idealnya sudah mampu mencapai tingkat maturasi atau “kematangan” dan “kesempurnaan” hidup, sebab sudah banyak merasakan liku-liku dan pahit getirnya perjalanan sejarah. Untuk menggetarkan gaung penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar pun pemerintah telah menempuh “politik kebahasaan” denganmenetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa.

Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Indonesia justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis pun bermunculan. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap fleksibel dan inklusif dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu?.

(2)

terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing―padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Agaknya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah menganjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahkan, juga telah menunjukkan perhatian yang cukup besar dan serius dalam upaya menumbuhkembangkan bahasa Indonesia. Melalui “tangan panjang”-nya, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B), pemerintah telah meluncurkan beberapa kaidah kebahasaan baku agar dapat dijadikan sebagai acuan segenap lapisan masyarakat dalam berbahasa Indonesia, seperti Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI), Tata Bahasa Indonesia Baku (TBIB), maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Akan tetapi, beberapa kaidah yang telah dikodifikasi dengan susah-payah itu tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian masyarakat luas. Akibatnya bisa ditebak. Pemakaian bahasa Indonesia bermutu rendah: kalimatnya rancu dan kacau, kosakatanya payah, dan secara semantik sulit dipahami maknanya. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar seolah-olah hanya bersifat sloganistis, tanpa tindakan nyata dari penuturnya.

Pembelajaran Bahasa Indonesia

(3)

latar belakang etnis maupun agama. Berdasarkan hal ini maka sudah selayaknya revitalisasi penggunaan bahasa Indonesia melalui program pembelajaran di sekolah harus selalu ditingkatkan dari hari ke hari.

Realitas pengembangan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa standar dalam ragam kegiatan ilmiah merupakan hal yang patut diperhatikan pembinaannya. Mengapa? Karena secara ideologis, fungsi bahasa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 khususnya berkaitan dengan fungsinya sebagai penanda identitas nasional belum sepenuhnya diimplementasikan dalam kehidupan sosial dan kultural.

Indonesia memiliki keberagaman nilai yang sangat luas, terhampar dari Sabang hingga Merauke. Dalam konteks perbedaan nilai yang beragam tersebut, maka perlu dibangun ruang dialog (public sphere) kebahasaan yang lebih terbuka. Ruang ini penting untuk memberikan kesempatan yang sama besar bagi nilai-nilai lokalitas maupun etnisitas dalam memberikan pengayaan terhadap bahasa Indonesia melalui program pembelajaran di sekolah.

Namun demikian, membangun kesetaraan nilai melalui pengembangan kebahasaan tidaklah cukup dengan membangun standar baku kebahasaan, tetapi lebih jauh semangat pengembangan kesetaraan nilai kebahasaan harus diwacanakan secara terus menerus dalam seluruh aktivitas pendidikan tanpa memperkecil arti nilai-nilai yang bersifat lokalitas (local wisdom).

(4)

komunikasi pembelajaran dan rutinitas kehidupan nasional pada gilirannya akan memberikan pengaruh kuat pada perubahan cara pandang para siswa kita terhadap setiap fenomena yang muncul. Hal ini juga paling tidak akan memberikan dampak positif pada pemahaman generasi muda akan nilai-nilai adiluhung budaya bangsa yang termanifestasi melalui bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila kebijakan revitalisasi penggunaan bahasa Indonesia di semua jenjang pendidikan dilakukan di dalam konteks kesetaraan sistem nilai, tertata secara sistemik dan sistematis. Mengapa harus demikian? Karena bahasa secara umum dapat menjadi inspirasi perubahan yang mampu mempengaruhi perilaku dan cara berpikir para siswa kita dalam mengambil keputusan penting yang bersifat lebih luas. Kesalahan penggunaan bahasa di dalam satu bentuk komunikasi seringkali diikuti oleh kesalahan-kesalahan lain yang bersifat struktural dan substantif. Jika dalam sebuah komunikasi pembelajaran tidak terjadi pengertian yang setara antara guru dan siswa, maka tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan kesalahan penafsiran yang berakibat hilangnya makna bahasa yang dimaksudkan dalam komunikasi yang dilakukan. Akibatnya proses belajar hanya akan melahirkan miskonsepsi kurikuler.

(5)

kita dalam proses pembelajaran di kelas maupun kegiatan-kegiatan kurikuler lainnya di dalam konteks yang lebih luas.

Revitalisasi Bahasa Indonesia

Revitalisasi secara etimologis bermakna ‘proses penghidupan kembali’. Sesuatu yang telah mati dihidupkan kembali melalui sebuah proses yang berpijak pada metodologi ilmiah, dengan refleksi dalam setiap tahapan siklus proses, dan berkesinambungan. Upaya revitalisasi merupakan usaha secara intens menggali dan membangkitkan kembali nilai-nilai yang lama terkubur (tenggelam). Revitalisasi makna kultural bahasa Indonesia adalah usaha membangkitkan kembali makna kultural bahasa Indonesia sebagai media mempersatukan bangsa. Tentu saja, bahasa bukan satu-satunya wahana untuk menyembuhkan degradasi multidimensional bangsa Indonesia yang menyerang sel kekebalan tubuh bangsa, yaitu persatuan dan kesatuan. Paling tidak, upaya tersebut mampu memberi kontribusi positif dalam rangka menciptakan bahasa Indonesia yang lebih baik.

Penobatan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional oleh Bapak Pendiri Bangsa (founding fathers) memiliki bobot kultural yang kental dan hanya mencerminkan satu watak masyarakat, yakni Indonesia. Namun sayang, kekayaan makna kultural ini, hari ini, telah banyak dilupakan dan dinafikan.

(6)

pada model soal pilihan ganda (multiple choice) yang memassifkan aplikasi bahasa itu sendiri. Implikasinya, bahasa menjadi kehilangan makna semantis, estetis, serta sosiolinguistik-nya. Padahal ketiganya menyiratkan makna kultural yang mampu memberi kontribusi positif menuju masyarakat yang lebih beradab (civilited).

Anasir semantik menghadirkan kebermaknaan kosakata bahasa. Tinjauan makna ini memberi kekayaan estetika bahasa. Apabila sebuah komunitas mampu menemukan nilai-nilai estetis dalam alat komunikasinya, yakni bahasa yang dipergunakan, maka komunitas tersebut mampu berkomunikasi secara santun dan memiliki pola pendekatan yang beradab. Pola komunikasi dalam segala aktivitas kehidupan jika menggunakan anasir estetis dijamin akan terhindar dari kesalahpahaman komunikasi yang berpotensi konflik. Sebuah pesan dari komunikator apabila diterima dengan gejala keliru-tafsir akan melahirkan pemahaman yang berbeda dari komunikan. Faktanya, seorang komunikator dewasa ini dalam menyampaikan pesan cenderung menyukai untuk menggunakan tuturan provokatif dan mengabaikan estetika bahasa. Jika tujuannya hanya untuk mendapatkan perhatian dari komunikan, tujuan tersebut sudah lama tercapai. Tetapi jika tujuannya adalah menyampaikan pesan maka konfliklah yang mungkin tercapai.

Hasil Ujian Nasional (UN) bahasa Indonesia enam tahun terakhir terus menurun. Untuk SMP, nilai rata-rata UN bahasa Indonesia tahun 2006 adalah 7.46, tahun 2007 menjadi 7.39, dan tahun 2008 menjadi 7.00. Untuk tingkat SMA Jurusan Bahasa, nilai rata-rata bahasa Indonesia tahun 2006 adalah 7.40, tahun 2007 menjadi 7.08, dan tahun 2008 turun lagi menjadi 6.56. Hal yang sama terjadi juga di SMA Jurusan IPA dan IPS (Kompas, 1/11/2008 dan 12/1/2009).

(7)

Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sebagian besar kasus ketidaklulusan siswa dalam UN SMA, SMK dan MA tahun 2010 disebabkan jebloknya nilai pelajaran bahasa Indonesia.

Kemendikbud menemukan, rata-rata mata pelajaran bahasa Indonesia menjadi momok bagi siswa SMA, SMK dan MA di semua jurusan. Menurut Mendikbud, M. Nuh, banyak siswa yang tidak lulus UN dan harus mengulang karena salah satu mata pelajaran tidak memenuhi syarat, terutama bahasa Indonesia. Pada UN tahun 2010/2011 ini pun, nilai bahasa Indonesia menempati posisi paling bontot dari enam mata pelajaran yang di-UN-kan.

Fakta-fakta di atas tentu mengganggu, menyulitkan, menghambat perkembangan bahasa Indonesia, bahkan menghilangkan pesona bahasa Indonesia. Apa yang salah dengan pembelajaran bahasa Indonesia? Bagaimana kita menyikapinya? Upaya apa yang mesti dilakukan untuk meningkatkan kegairahan belajar bahasa Indonesia, simbol identitas nasional kita itu?

Kondisi pembelajaran bahasa Indonesia yang demikian memprihatinkan, mau atau tidak, mengharuskan kita untuk melakukan langkah revitalisasi, yaitu dengan menghidupkan dan menggairahkan kembali proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah didukung etos dan semangat guru yang andal serta kegairahan siswa yang terus meningkat intensitasnya dalam belajar dan berlatih berbahasa.

(8)

Kedua, guru harus menawarkan bahasa Indonesia secara superior. Pembelajaran bahasa Indonesia harus dikemas semenarik mungkin, sehingga menumbuhkan rasa cinta dan semangat belajar para siswa. Kalau para siswa sudah cinta, mereka akan memberikan perhatian tinggi dan berusaha menjaga bahasa Indonesia dari rupa-rupa pengaruh yang ada. Selain pembelajaran di kelas, secara periodik para siswa diajak berkunjung ke media massa dan penerbit buku yang berkualitas, agar kecintaan mereka terhadap bahasa Indonesia semakin kuat.

Ketiga, lembaga pemerintah, perusahaan dan sekolah mewajibkan para pegawai, karyawan, dan para komunitas sekolahnya (kepala sekolah, guru, staf dan siswa) untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, minimal selama jam kantor dan jam sekolah. Untuk mengefektifkannya,reward and punishmentdapat diberlakukan.

Keempat, lomba-lomba pidato berbahasa Indonesia, lomba menulis esai, lomba menulis cerpen, lomba bermain drama dan lomba-lomba yang memacu tumbuh kembangnya sikap positif dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia mesti digalakkan. Selama ini kita terlalu bangga dengan lomba-lomba yang berbau sains dan teknologi.

Kelima, para penulis berita, para presenter, tayangan-tayangan telivisi hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang santun, bahasa Indonesia yang baik dan benar serta komunikatif demi pengembangan dan keberadaan bahasa Indonesia yang kita cintai.

(9)

Ketujuh, di era globalisasi dan teror media massa yang begitu kuat intensitasnya saat ini, semua pihak harus bekerja sama menjaga agar bahasa Indonesia tetap menjadi identitas dan kebanggaan nasional. Peran penting bahasa Indonesia harus tetap dijaga dan ditumbuhkembangkan. Komitmen untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta komunikatif harus ditumbuhkembangsuburkan dan dipelihara.

Sedangkan dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah langkah revitalisasi yang mesti ditempuh, di antaranya, pertama, menciptakan dan sekaligus memberdayakan guru. Upaya pemberdayaan guru hendaknya dimulai sejak calon guru menempuh pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan) agar kelak setelah benar-benar menjadi guru tidak asing lagi dengan dunianya dan siap pakai. Jelas, tuntutan ideal semacam ini bukan tugas yang ringan bagi LPTK, sebab selain harus mampu mencetak lulusan yang punya kemampuan akademik tinggi, juga harus memiliki integritas kepribadian yang kuat dan ketrampilan mengajar yang andal.

Kedua, guru hendaknya tidak terlalu banyak dibebani oleh tuntutan kurikulum yang dapat memasung kreativitasnya dalam proses pembelajaran. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hendaknya memberikan ruang dan peluang yang begitu terbuka bagi para guru dalam melakukan inovasi pembelajaran dan mengaplikasikan kreativitas pembelajaran secara optimal dalam mengemas kegiatan mengajar-belajar.

Tujuan pembelajaran bahasa bukanlah untuk menjadikan siswa sebagai ahli bahasa, melainkan sebagai seorang yang dapat menggunakan bahasa untuk keperluannya sendiri, dapat memanfaatkan sebanyak-banyaknya apa yang ada di luar dirinya dari mendengar, membaca, dan mengalami, serta mampu berkomunikasi dengan orang di sekitarnya tentang pengalaman dan pengetahuannya.

(10)

siswa. Hal ini perlu dipikirkan, sebab bahan ajar yang ada dalam buku paket dinilai belum sepenuhnya mampu menarik minat dan gairah siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia.

Jika langkah revitalisasi tersebut dapat terwujud, tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah bukan mustahil diraih. Anjuran pemerintah untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar kepada seluruh masyarakat pun tidak akan bersifat sloganistis an sich. Bahkan, mungkin pada gilirannya nanti bahasa Indonesia benar-benar akan menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di era globalisasi, fleksibel dan inklusif, dan para penuturnya akan tetap bangga dan setia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah derap peradaban jaman. Sebab, jutaan generasi yang memiliki kebanggaan dan kecintaan terhadap bahasa nasional dan negaranya akan lahir dari sekolah.

Transformasi Budaya Bangsa

Bahasa adalah salah satu produk budaya manusia. Sebagai sebuah produk budaya, bahasa dituntut untuk selalu dinamis sesuai dengan perkembangan kebudayaan yang ada pada masyarakat penuturnya. Dengan demikian, sebuah bahasa akan tetap adaptif terhadap kebutuhan komunikasi masyarakat pendukungnya. Selain mengemban fungsi sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan sarana ekspresi dalam menuangkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep serta sarana transformasi atas nilai-nilai kebudayaan itu sendiri.

(11)

planning) baik pada tingkat pusat maupun di daerah. Kesemua upaya tersebut bermuara pada pemakaian bahasa (language use).

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang serbamulti: multibahasa, multiagama dan multietnis dengan menggunakan satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah merekatkan semua kalangan dan menerima semua perbedaan kebahasaan dan kebudayaan daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Jaminan negara terhadap bahasa seperti telah terjabarkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 32 Ayat (1) dan (2), yang mendudukkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Dengan status demikian, nasionalisasi bahasa Indonesia semakin kukuh sebagai lambang jatidiri bangsa.

Krauss (1992) dalam Mahsun (2004) mengelompokkan bahasa ke dalam tiga kelompok berdasarkan gejala umum yang terjadi pada bahasa-bahasa di dunia, seperti jumlah penutur, prestise sosiokultural, dan dukungan pemerintah terhadap pemakaiannya, yakni: a). kelompok bahasa yang tidak lagi dikuasai dan digunakan oleh anak-anak dari penutur suatu bahasa; b). kelompok bahasa yang dalam satu/dua generasi tidak lagi dikuasai dan dipelajari oleh keturunan penutur suatu bahasa; dan c). kelompok bahasa yang termasuk kategori aman yang masing-masing disebut moribund, endangered dan safe. Padahal di lain pihak, bahasa daerah memegang peran penting bagi perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia.

Upaya untuk mentransformasi budaya (baca: bahasa) daerah ke dalam kosa kata bahasa nasional diharapkan sebagai langkah nyata pemeliharaan bahasa-bahasa daerah, di samping itu dari sanalah kita berpijak bahwa keberagaman tercipta sebagai kekayaan bukan sebaliknya.

(12)

daerah, (b) lambang identitas daerah, (c) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (d) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, (e) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Selain itu, dalam hubungannya dengan revitalisasi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (a) pendukung bahasa nasional, (b) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (c) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia, serta (d) dalam keadaan tertentu dapat berfungsi sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah (Alwi dan Dendy Soegono (2000) dalam Mahsun (2004)).

Sebagaimana yang kita ketahui segala sesuatu yang ada dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat itu sendiri. Baik buruknya perilaku atau sikap masyarakat juga bergantung pada kebudayaannya. Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang secara kontinu ditaati dan diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya. Secara sadar atau tidak sadar, secara terstruktur maupun tidak terstruktur, masyarakat melalui anggota-anggotanya akan mengajarkan kebudayaannya. Proses mengajarkan inilah yang disebut sebagai transformasi budaya atau pewarisan kebudayaan.

(13)

Proses transformasi budaya dapat dilakukan melalui ucapan, sikap, atau perilaku yang sudah terpola. Dengan kata lain, transformasi kebudayaan dilakukan melalui proses belajar yang selanjutnya bisa berupa sosialisasi dan enkulturasi.

Selanjutnya, setelah anak beranjak besar atau remaja, ia akan belajar dari teman seusianya. Ia mulai mengenal nilai-nilai, norma-norma, atau budaya yang mungkin berbeda dengan yang ada dalam lingkungan keluarganya. Setelah dewasa, ia akan semakin luas mengembangkan potensinya seiring dengan perkembangan kepribadiannya.

Sosialisasi adalah suatu proses ketika seseorang mempelajari cara hidup masyarakat untuk mengembangkan potensi dirinya. Proses sosialisasi diawali dari keluarga. Seorang anak yang baru lahir akan diajarkan berbagai kemampuan dan pengetahuan dasar yang ditentukan dengan kebiasaan atau kebudayaan tempat keluarga tersebut tinggal.

Ia akan dikenalkan status dan peran sosial orang-orang di sekelilingnya, seperti panggilan ayah, ibu, kakak, atau paman dan bibi. Ia juga akan dikenalkan nilai dan norma sosial yang ada di lingkungan keluarga dan sekitarnya. Enkulturasi adalah proses seseorang mempelajari dan menyesuaikan diri, baik pemikiran maupun sikapnya terhadap adat istiadat, sistem sosial, nilai, norma, dan aturan yang hidup atau berlaku dalam budayanya.

Proses ini juga sebenarnya sering diartikan sebagai sosialisasi kebudayaan, terutama dalam kaitannya dengan pewarisan kebudayaan atau transformasi budaya. Sosialisasi merupakan pengenalan seseorang terhadap lingkungan sosial atau masyarakatnya, sedangkan enkulturasi merupakan proses pengenalan seseorang dengan budaya atau kebudayaan yang berlaku dalam masyarakatnya.

(14)

merupakan suatu yang menyatu atau integral. Jadi, apa yang diwariskan atau diajarkan dalam sosialisasi merupakan sesuatu yang diajarkan pula dalam enkulturasi.

Untuk mengembalikan kehidupan masyarakat Indonesia ke jalan yang telah ditempuh para pendiri bangsa (founding fathers) yang berbasis moral agama, kita perlu mengadakan perubahan budaya dan mengekalkan perubahan tersebut dalam sastra dan bahasa. Maka disinilah letak pentingnya revitalisasi bahasa Indonesia sebagai basis transformasi budaya bangsa. Karena berpalingnya kita dari pemikiran-pemikiran dasar para pendiri bangsa, pengalaman bangsa kita tercinta ini menjadi suram yang ditandai oleh merosotnya moral atau demoralisasi, runtuhnya kesadaran berbangsa, semaraknya paham-paham Barat seperti relativisme moral, free values dan paham-paham Barat lainnya yang kurang begitu relevan. Tak lain dan tak bukan, apa yang dapat kita laksanakan dalam dunia sastra dan bahasa adalah mengadakan perubahan (transformasi) besar-besaran. Hal tersebut dapat dilaksanakan dalam bentuk tulisan yang bersifat jurnal ilmiah atau majalah ilmiah/budaya dan dikirim pada lembaga-lembaga yang bersangkutan.

KESIMPULAN

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Asy’ari, Abuhasan. 2009.Catatan 50 Tahun Polemik Kebudayaan. Dian Rakyat: Jakarta. Nyahu, Anthony. 2009. Revitalisasi Bahasa dan Sastra Dayak Ngaju sebagai Lambang

Identitas Daerah di Tengah Pergaulan Masyarakat Heterogen.

http://nyahudayak.blogspot.com/2009/11/revitalisasi-bahasa-dan-sastra-dayak.html

Pasti, Y. Priyono. 2011. Revitalisasi Bahasa Indonesia. http://www.equator-news.com/kolom/revitalisasi-bahasa-indonesia

Ridjal, Fauzie dan M. Rusli Karim (ed). 1991. Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan. Tiara Wacana: Yogyakarta.

Suyanto. 2009. Pembelajaran Bahasa Indonesia. http://www.dinaspendidikan-parepare.info/index.php?option=com_content&view=article&id=109:pembelajaran -bahasa-indonesia&catid=59:artikel-pembelajaran

Tuhusetya, Sawali. 2009. Revitalisasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah.

http://pawiyatan.com/2009/04/06/revitalisasi-pembelajaran-bahasa-indonesia-di-sekolah/

Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Referensi

Dokumen terkait

Data primer yang di dapat berupa laju infiltrasi air ke dalam tanah dan nilai laju infiltrasi sebelum dan sesudah adanya lubang resapan biopori dan jumlah

Pemilihan Prosedur iklan harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti panjang dari video komersial, kelompok sasaran dari pengiklan, persediaan waktu yang

Indikator mutu klinis Periode Mei-Desember 2016 Kepatuhan memberikan tandatangan dan nama dokter pada penulisan resep psikotropika di Rekam Medis pada penderita ganguan jiwa

Informasi hanya untuk bahan spesifik yang telah ditentukan dan mungkin tidak berlaku jika bahan tersebut digunakan dalam kombinasi dengan bahan. lain atau dalam proses lain,

Dalam bagian ini, fungsi masjid yang meliputi fungsi harian, mingguan, dan tahunan direlasikan atau dihubungkan dengan pola permukiman kampung Luar Batang yang

[r]

Pangruwating Diyu adalah sebuah ilmu sebagai kunci orang dapat memahami isi indraloka pusat tubuh manusia yang berada di dalam rongga dada yaitu pintu gerbang atau kunci rasa

Perancangan Desain Kampanye Sosial Kewaspadaan Orang Tua terhadap Fenomena Curhat di Situs Jejaring Sosial dan akhirnya Makalah Proyek Akhir ini