BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pengertian sejarah menurut R. Moh Ali dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah adalah
ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan kejadian atau peristiwa yang merupakan
realita kehidupan manusia.1 Berbagai aspek kehidupan manusia yang mempunyai dimensi
sosial; seperti soal pakaian, makanan, pemukiman, rumah tangga, kesehatan, pendidikan dan
kesenian serta upacara adat-istiadat juga kepercayaan dan lain sebagainya, merupakan sejarah
sosial. Hal ini membawa angin segar bahwa ada hal lain dalam kehidupan suatu komunitas
yang cukup menarik dan penting di samping kehidupan politik.2
Simaninggir merupakan daerah pedalaman
3
1
R. Moh. Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Yogyakarta: PT.LKiS Pelangi Aksara, 2005, hal. 6.
2
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan ilmu sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,1992, hal. 50
3
Daerah Pedalaman adalah suatu ranah pinggiran, yang secara sosial, ekonomi dan fisik jauh tersisih dari jalur utama, bersifat “tradisonal”, belum berkembang dan tertinggal. Tania Murray Li, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal 2.
yang berada di Kecamatan Parlilitan
Kabupaten Tapanuli Utara sampai 2002. Pemukiman di daerah Simaninggir ini sendiri belum
jelas sejak kapan mulai berdirinya, namun yang pasti di Simaninggir ini pernah ada aktivitas
kehidupan dari masyarakat Batak Toba. Dari hasil wawancara, jumlah penduduk Desa
Simaninggir pada tahun 1950-an adalah sekitar 90 kepala keluarga, yang masing-masing
keluarga mempunyai 9-10 anak (Sembilan sampai sepuluh anak) sehingga jumlah penduduk
terletak di pinggir atau puncak dari Dolog Pinapan (Bukit Pinapan)4
Penduduk yang berlindung di Simaninggir tersebut berasal dari Bakkara, Balige,
Sipintu-pintu, Dolok Sanggul, Parbuluan, Pandumaan dan lain sebagainya. Lama-kelamaan
penduduk makin banyak yang tinggal dan menetap di tempat itu sampai akhirnya mereka
membangun tempat tinggal seadanya dan menjadi sebuah pemukiman.
. Awalnya Simaninggir
merupakan tempat persembunyian bagi Sisingamangaraja, beserta ajudannya yang bermarga
Nainggolan dari daerah Samosir saat terjadi Perang Batak untuk menghindari serangan dari
penjajah yakni Kolonial Belanda. Simaninggir merupakan tempat yang dapat melindungi
mereka karena letak geografisnya yang mendukung yakni tepat di atas bukit dengan lembah
yang curam dan hutan belantara sehingga sulit bahkan tidak dapat diketahui oleh penjajah.
Pada masa itu Sisingamangaraja bersembunyi di salah satu gua, di mana sekarang
ini gua tersebut diberi nama “Liang Sisingamangaraja”. Setelah perang Batak usai dengan
tertangkap dan meninggalnya Sisingamangaraja, maka ajudannya yang bermarga Nainggolan
dari Samosir tersebut kehilangan seorang pemimpin, maka beliau tidak ada pilihan lain selain
tinggal menetap di Simaninggir, karena beliau merasa situasi di luar Simaninggir sebagai
tempat persembunyian yang aman masih sangat dikuasai oleh Belanda. Lama-kelamaan
marga Nainggolan tersebut mendirikan tempat tinggal seadanya dan memulai aktivitas
sehari-harinya dengan membuka lahan untuk bertani serta memanfaatkan hasil alam
Simaninggir. Marga Nainggolan inilah yang kemudian menjadi Raja Huta atau Sipukka Huta
yang dalam bahasa Sejarah kita sebut sebagai Primus interpares.
4
Dari pada menerima keterpinggiran daerah pedalaman itu sebagai suatu kenyataan
“alami”, penulis berusaha menempatkan kondisi keterpinggiran itu dari segi ingatan historis
dan dalam proses khusus yang menyebabkan daerah tersebut menjadi ditinggalkan oleh
penduduknya. Sebagai latar kehidupan sosial yang pernah ada oleh penulis menarik untuk
menelitinya dalam konteks kajian sejarah sosial.
Awalnya, lingkungan tempat tinggal mereka tersebut dipimpin oleh seorang Raja
ihutan (primus interparesnya) bermarga Nainggolan.5
Tradisi ini menjadi adat kebiasaan mereka setiap kali mata air menjadi kering atau
pun keruh. Sampai pada periodisasi penulisan ini, kehidupan di Simaninggir masih sangat
terbelakang, disebabkan faktor letak dan kondisi geografis. Lokasi ini tidak dapat dijangkau
oleh transportasi dan penerangan listrik sampai pada akhir penulisan skripsi ini. Hal inilah
yang menjadi penghambat interaksi dengan lingkungan lain dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Dari keterangan di atas menunjukkan Desa Simaninggir tergolong desa
tertinggal
Dari persamaan nasib yang mereka
alami menumbuhkan rasa solidaritas yang kuat di antara mereka, sehingga terjadi akulturasi
budaya yang melahirkan kebudayaan baru yang berbeda dari sebelumnya. Seperti pada saat
mual atau mata air di desa tersebut tiba-tiba menjadi kering bahkan pernah menjadi keruh,
raja huta dan raja adat akan mengumpulkan penduduk untuk memanggil roh leluhur yang
mereka percayai sebagai penjaga mual tersebut dan menyiapkan sesajen sambil meminta
untuk mengembalikan kejernihan mata air tersebut.
6
5Wawancara
dengan Tiomina Marbun, Hutari, 19 Agustus 2012.
. Dilihat dari isolasi geografisnya, juga rendahnya kualitas sumber daya dan
6
potensi manusianya, selain Desa Simaninggir bukan hanya kriterianya sebagai desa
tertinggal, bahkan ditinggalkan sama sekali oleh penduduknya setelah beberapa di antara
warga berhasil dalam kehidupan pendidikan dan ekonominya, kemudian perlahan-lahan
menarik anggota keluarga lainnya meninggalkan Desa Simaninggir. Hasil suatu proses
transformasi pendidikan tidak pernah bersifat seluruhnya positif, yaitu kemajuan bahkan
telah menjadi negatif yaitu kemunduran.
Secara teoritik perubahan dalam kehidupan masyarakat dapat berdampak
kemunduran (regress) dan kemajuan (progress).7
Ada satu motto hidup dalam masyarakat Batak Toba yang dituangkan dalam syair
lagu ciptaan Nahum Situmorang yaitu “Anakkonhi do na Ummarga di Ahu”. Artinya: anak
adalah harta yang paling berharga bagi saya. Realisasinya adalah biarlah orang tua menderita
yang penting dapat menyekolahkan anaknya. Setelah melihat lingkungan dan pengalaman,
hal ini menunjukkan bahwa pendidikan anak mendapat tempat dan nilai yang lebih tinggi
dari nilai yang lainnya. Tidak dapat diingkari pula, salah satu cara yang cukup penting dalam
upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah melalui pendidikan. Dorongan Faktor pendidikan telah mengakibatkan
dampak yang sangat kontras bagi Desa Simaninggir yaitu perubahan. Bahwa ada
perubahan-perubahan yang merupakan hasil dari pendidikan yakni, membuka kemajuan bagi penduduk
Desa Simaninggir sekaligus membawa kemunduran bagi Desa Simaninggir itu sendiri, yang
mana saat ditinggalkan daerah tersebut kembali menjadi semak belukar dan telah menjadi
saksi bisu dari kehidupan penduduk Desa Simaninggir yang pernah ada.
keduanya. Rumah tangga yang terisolasi dari dunia luar. Tempat tinggalnya di daerah pinggiran, terpencil dari pusat keramaian dan jalur komunikasi, atau jauh dari pusat perdagangan, pusat informasi dan pusat diskusi di desa. Robert, Chambers, Pembangunan Desa Mulai dari Belakang, Jakarta: LP3ES, 1988, hal. 56.
7
“hamajuon“ (kemajuan) yang menjadi semboyan orang Batak Toba pada akhir abad XIX
sampai pertengahan abad ke XX bahkan sampai sekarang. Telah dapatnya masyarakat Batak
Toba membaca dan menulis menyebabkan informasi tulisan melalui media pun dapat segera
diketahui sehingga mempengaruhi sikap dan pemikiran mereka.8
Dalam tradisi orang Batak Toba, saat mereka sukses diperantauan tidak kembali
membangun kampung halaman, melainkan membangun harajaon (kerajaan) di tempat
mereka merantau. Produk dari pendidikan tersebut menimbulkan mobilitas sosial (vertikal
dan horizontal). Secara vertikal menimbulkan golongan elit yang berperan dalam segala
bidang kehidupan (politik, sosial, ekonomi) dan horizontal menimbulkan perpindahan
penduduk (tetap dan sementara) dari tempat asal ke tempat baru yang lebih menjanjikan
untuk menuntut pendidikan yang lebih baik dan atau kehidupan yang lebih mapan. Berbeda
dengan masyarakat Minangkabau khususnya yang lebih mengutamakan pembangunan
kampung halamannya. Padahal dalam semboyan masyarakat Batak Toba ada disebutkan
Dorongan “hamajuon” keterbukaan tanah Batak Toba, serta berita yang sampai ke
Tapanuli mengenai sumber penghasilan baru di Sumatera Timur yaitu adanya perkebunan
tembakau, Berita ini sampai ke Desa Simaninggir dengan sebutan “panombangan”. Inilah
awalnya masyarakat Simaninggir mulai berkompetisi untuk menyekolahkan anaknya demi
meraih tingkat hidup yang lebih tinggi dan untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi
semakin gencar. Motif pandang untuk kehidupan masa depan yang lebih cemerlang dan
makmur merupakan pendorong bagi orang tua di Simaninggir. Setelah sukses dalam
pendidikan dan berhasil di perantauan, anak-anak mereka malah meninggalkan kampung
halamannya di Simaninggir.
8Ibid.
“MARTABE” (Marsipature Hutana Be) yang artinya, membangun kampung halaman
masing-masing. Realisasinya, masyarakat Simaninggir yang notabene adalah orang Batak
Toba malah meninggalkan kampung halamannya demi kehidupan dan pendidikan yang
mapan. Mengingat daerah pedalaman Simaninggir, telah tersisih melalui perjalanan sejarah
dengan keterlibatan “pendidikan” sebagai pencerahan yang membawa kemajuan menjadi
faktor penyebab utamanya, sebagai aktivitas kehidupan sosial yang pernah ada, oleh penulis
menarik untuk menelitinya.
Migrasi penduduk ini dimulai sejak tahun 1947 dan mencapai puncak perpindahan
pada tahun 1954 serta berakhirnya mobilisasi pada tahun 2002. Simaninggir setelah ditinggal
pergi oleh penduduknya pada tahun 2002 kembali menjadi semak belukar yang menyimpan
album kehidupan seperti puing-puing perumahan penduduk dan akses jalan setapak menuju
desa tersebut serta lahan pertanian yang berubah menjadi padang ilalang sebagai tempat
pengembalaan hewan ternak yaitu kerbau milik masyarakat Banuarea selaku desa tetangga
Simaninggir.
Supaya dalam pembabakan waktu tidak meluas, maka penulis menentukan
periodisasi yang tepat, di mana penelitian dimulai dari tahun 1954 di mana sejak tahun inilah
penduduk mulai mengecap pendidikan yang merupakan sarana satu-satunya yang dapat
dipergunakan penduduk untuk meningkatkan kemajuan masyarakat tersebut pada saat itu.
Sebab ilmu pengetahuan itu tak lain merupakan suatu pola perkembangan yang cukup pesat
dan kuat. Penulisan penelitian diakhiri pada tahun 2002 yang menunjukkan berakhirnya
1.2Rumusan Masalah
Dalam rangka melakukan sebuah penelitian yang menjadi landasan dari penelitian
itu sendiri adalah apa yang menjadi akar permasalahannya. Berangkat dari latar belakang di
atas, maka dibuatlah suatu perumusan mengenai masalah yang hendak diteliti sebagai
landasan utama dalam penelitian sekaligus menjaga sinkronisasi dalam uraian penelitian.
Untuk mempermudah penulisan dalam upaya menghasilkan penelitian yang objektif, maka
pembahasannya dirumuskan terhadap masalah-masalah sebagai berikut :
1. Apa yang melatarbelakangi sejarah terbentuknya Desa Simaninggir sebelum tahun
1954?
2. Bagaimana dinamika kehidupan sosial penduduk Simaninggir sampai periode 2002?
3. Mengapa kemudian Desa Simaninggir ditinggalkan oleh penduduknya selama
periode 1954-2002?
1.3Tujuan dan Manfaat Penulisan
Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang telah dikaji oleh
penulis maka yang menjadi permasalahan adalah apa yang menjadi tujuan penulis dalam
penelitian ini, serta manfaat yang didapatkan dari hasil penulisan. Memang masa lampau
manusia tidak dapat ditampilkan dalam konstruksi seutuhnya, namun rekonstruksi manusia
perlu dipelajari sehingga diharapkan mampu memberikan pelajaran bagi kehidupan manusia
di masa kini dan akan datang.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui latar belakang sejarah terbentuknya Desa Simaninggir sebelum tahun
2. Mengetahui dinamika kehidupan sosial penduduk Desa Simaninggir sampai periode
2002 .
3. Mengetahui sebab penduduk berangsur-angsur meninggalkan Desa Simaninggir
selama periode 1954-2002 .
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut :
1. Menambah wawasan pembaca mengenai sejarah kehidupan masyarakat di Desa
Simaninggir.
2. Menambah pengetahuan sekaligus memotivasi peneliti dan para pembaca dalam
menghasilkan karya-karya historiografi yang berkaitan dengan sejarah daerah yang
lebih lengkap, sehingga dapat memberikan referensi literatur yang berguna terhadap
dunia akademis, terutama dalam studi Ilmu Sejarah.
3. Menjadi suatu deskripsi yang berguna bagi pemerintah dan masyarakat Simaninggir
dalam menyelenggarakan proses pembangunan sarana dan prasarana untuk desa
tersebut.
1.4Tinjauan Pustaka
Dalam memahami masalah penelitian ini, diperlukan beberapa referensi yang dapat
dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka.
Tania Murray Li (2002) dalam bukunya yang berjudul Proses Transformasi Daerah
Pedalaman di Indonesia menjelaskan tentang perubahan yang berlangsung pada masyarakat
pedalaman secara umum di Indonesia. Buku ini membahas sejarah dan ciri-ciri masyarakat
mencari nafkah, dan bergesernya hubungan dengan sumber daya alam, pasar, dan dengan
negara. Buku ini membantu penulis mengetahui persoalan-persoalan mengenai proses
perubahan dalam masyarakat pedalaman di Desa Simaninggir yang diteliti oleh penulis,
yakni dalam perubahan ciri-ciri masyarakat pedalaman, khususnya dengan kaitan mencari
nafkah.
Buku Sejarah Nasional Indonesia IV karya Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto (1984), menguraikan tentang Perlawanan Daerah Sumatera Utara
terhadap Kolonialisme Belanda, khususnya perang di Tanah Batak melawan penjajah. Buku
ini menjelaskan perlawanan yang dilakukan oleh Sisingamangaraja beserta pasukannya dari
berbagai daerah di Tapanuli Utara. Setiap kampung-kampung di Tapanuli Utara memiliki
pemerintahan sendiri, dan di setiap kampung Sisingamangaraja mempunyai ajudan.
Dalam buku ini juga membahas setiap tindakan Pemerintah Belanda, terutama
keganasan Kolonial Belanda yang mereka luapkan melalui pembakaran rumah-rumah
penduduk, pemaksaan kepada kepala kampung untuk menyerahkan pajak dan lain
sebagainya. Buku ini menjadi referensi bagi penulis dalam memahami latar belakang historis
terbentuknya Desa Simaninggir. Dari Buku ini juga penulis ketahui faktor apa saja yang
menyebabkan Masyarakat Batak Toba akhirnya memilih Desa Simaninggir sebagai tempat
persembunyian dan lama-kelamaan menjadi tempat pemukiman mereka.
Buku Pemikiran tentang Batak : Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera
Utara karya Bungaran Antonius Simanjuntak (2001), menguraikan tentang pengenalan
sistem pendidikan modern bagi orang Batak, yang pada mulanya adalah untuk
bahwa pendidikan menjadi faktor pendorong dan perangsang sifat dinamika orang Batak
memang terjadi. Terutama dengan dukungan munculnya sumber-sumber mata pencaharian
yang baru di tanah perantauan. Buku ini menjadi referensi penulis dalam memahami
permasalahan yang penulis teliti, yakni saat masyarakat Simaninggir telah mampu menulis
dan membaca, berarti dapat mengetahui hal-hal baru dan berita di luar daerah Tapanuli Utara
seperti gerakan melepaskan diri dari penjajah, pemberontakan, dan penindasan di negara lain.
Dengan demikian, kaitannya dengan permasalahan penulis bahwa andai kata
pendidikan modern tidak diperkenalkan oleh misionaris kepada orang Batak Toba khususnya
masyarakat Simaninggir, ada persepsi bahwa masyarakatnya tetap terisolasi terutama dari
berita nasional dan internasional.
Menurut Soetomo dalam bukunya Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat
(2008), dalam implementasi beberapa pengaturan tata ruang secara hirarkis melalui kebijakan
spasial yang terintegrasi, meski dapat mengurangi pemusatan perkembangan sosial ekonomi
di kota-kota besar, disparitas desa-kota dan disparitas antar wilayah, namun demikian tidak
jarang dijumpai masih adanya warga masyarakat yang berada dalam kondisi kemiskinan baik
di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan. Masyarakat yang hidup dalam kondisi
kemiskinan berada pada satu kawasan tertentu yang seolah-olah merupakan kantung atau
kluster wilayah kemiskinan.
Dilihat dari pendekatan wilayah, kawasan yang merupakan kantung-kantung atau
kluster tersebut adalah suatu wilayah yang sudah cukup lama dikembangkan bersama-sama
dengan wilayah lain, tetapi karena berbagai sebab kawasan itu tetap belum dapat
dikembangkan sebagaimana diharapkan, sehingga kondisi kehidupan sosial ekonomi
Salah satu faktor penyebab utama mengapa kawasan tersebut masih belum berkembang
adalah karena terbatasnya potensi dan sumber daya manusia, maka kondisi kemiskinan yang
diakibatkan sering disebut sebagai kemiskinan alamiah. Di antara beberapa langkah yang
dapat dilakukan untuk pengembangan kawasan demikian misalnya dengan mengembangkan
kualitas sumber daya manusianya agar dapat bersaing dalam mencari peluang kerja di daerah
lain.9
Robert Chambers (1988) dalam bukunya yang berjudul Pembangunan Desa Mulai
dari Belakang, mendeskripsikan tentang kondisi golongan masyarakat miskin di pedesaan.
Dari gambaran tersebut, membantu penulis untuk menggolongkan penduduk desa
Simaninggir ke dalam golongan rumah tangga tersisih dari arus kehidupan, karena
keberadaannya yang jauh terpencil, atau tidak memadainya sumber daya, atau karena
keduanya. Rumah tangga yang terisolasi dari dunia luar. Tempat tinggalnya di daerah
pinggiran, terpencil dari pusat keramaian dan jalur komunikasi, atau jauh dari pusat
perdagangan, pusat informasi dan pusat diskusi di desa.10
9
Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan Masyakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal. 276-279.
10
Robert Chambers, Memahami Desa secara Partisipatif, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hal. 41-48.
Robert Chambers (1996) dalam buku selanjutnya dengan judul Memahami Desa
secara Partisipatif, menyebutkan kecakapan dan pengetahuan warga desa. Warga desa
memiliki kemampuan yang lebih besar untuk membuat peta, model, perkiraan, rangking atau
urutan, saling berbagi, menyebarkan pengalaman dan pengetahuan. Informasi tersebut
mendukung penulis mengetahui bahwa melalui bentuk saling berbagi pengalaman dan
pengetahuan serta kecakapan yang dimiliki oleh warga desa maka terjadilah penyebaran
Sumber yang membantu penulis selanjutnya yakni, skripsi dari Ade Putera Arif
Panjaitan dengan judul Jejak Kehidupan Masyarakat Pedalaman Mariah Dolog Kecamatan
Raya Kabupaten Simalungun (1960-2005). Penulis jadikan sebagai bahan perbandingan dan
refrensi dalam penelitian yang penulis laksanakan, karena topik yang kami angkat sama-sama
tentang perubahan yang terjadi akibat pendidikan. Perbedaan penelitian yang penulis lakukan
yakni: penelitian ini lebih berfokus pada pemukiman yang ditinggalkan dan berbagai dampak
yang terjadi terhadap Desa Simaninggir setelah ditinggalkan oleh penduduknya, sedangkan
skripsi dari Ade Putera lebih berfokus pada masyarakatnya yang meninggalkan desa Mariah
Dolog.
1.5Metode Penelitian
Tahap pertama heuristik (pengumpulan sumber) yang sesuai dan mendukung sumber
objek yang diteliti. Dalam hal ini dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan. Sebelum melakukan penelitian lapangan, terlebih dahulu penulis
lakukan studi kepustakaan. Penulis mulai mengumpulkan sumber pada bulan pertama, hal ini
untuk memperoleh konsep-konsep dan teori-teori yang ada relevansinya dengan masalah
yang penulis teliti. Dalam penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan beberapa
literatur, artikel-artikel, skripsi dan karya tulis yang pernah ditulis sebelumnya berkaitan
dengan permasalahan yang dikaji.
Untuk mengumpulkan data lapangan, penulis menggunakan metode wawancara dan
pengamatan. Dalam wawancara berpedoman kepada instrumen yang telah dipersiapkan
Kemudian penulis juga menggunakan teknik snow ball (bola salju) yakni informan pertama
dapat menunjukkan informan-informan lain yang mengetahui lebih dalam, tentang penelitian
yang dibutuhkan dalam penulisan ini.
Tahap wawancara ini penulis lakukan pada bulan kedua setelah beberapa literatur
buku terkumpul. Tahap ini merupakan masa tersulit bagi penulis karena harus mencari dan
menemui informan ke beberapa desa yang berbeda-beda dengan tingkat ikatan emosional
yang berbeda pula. Wawancara awal dengan Kepala Desa Pusuk II Simaninggir, beliau
menjelaskan tentang letak administratif dari Desa Simaninggir dan juga perbatasannya,
beserta latar belakang historis dari Simaninggir sendiri. Beliau juga menunjukkan informan
selanjutnya yakni, Parisan Nainggolan selaku penduduk yang tumbuh dewasa dan
berkeluarga di Simaninggir. Mereka berdualah yang menjadi informan kunci bagi penulis
dalam melakukan wawancara selanjutnya.
Tahapan kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini kritik dilakukan
terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan sumber tersebut baik dari
segi substansial atau isinya yakni dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis
misalnya buku-buku atau dokumen yang berkaitan, apakah sumber melaporkan fakta yang
sebenarnya. Kritik ini disebut kritik intern.
Mengkritik dari segi materialnya untuk mengetahui keaslian atau palsu kah sumber
tersebut agar diperoleh keautentikannya, kritik ini disebut kritik ekstern. Pengamatan akan
penulis lakukan untuk melihat sejauh mana informasi yang diberikan oleh para informan
mendukung data yang diperoleh melalui wawancara, dengan kata lain hasil pengamatan akan
penulis jadikan sebagai sumber untuk melengkapi data yang didapatkan melalui wawancara.
Tahapan ketiga adalah interpretasi, dalam tahapan ini data yang diperoleh dianalisis
sehingga melahirkan satu analisis yang baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari
objek yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta minimnya data dan fakta
yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis
yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif. Tahap ini penulis kerjakan pada
bulan ketiga.
Tahap terakhir adalah historiografi. Pada tahap ini, penulis mulai melakukan
penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang
menarik dan selalu berusaha memperhatikan aspek kronologisnya. Pendekatan dalam
penelitian ini penulis lakukan secara kualitatif, dengan metode deskriptif analisis. Adapun
sejarah yang ”sebenarnya” atau ”asli” ialah jika dapat menjelaskan atau memberi jawaban
atas pertanyaan ”mengapa”. Untuk mendapatkan penulisan sejarah yang deskriptif analitis
haruslah melalui tahapan demi tahapan. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta
yang ada untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah. Tahap ini berlangsung
selama tiga bulan, dan tahap ini juga merupakan masa-masa jenuh bagi penulis, karena
sulitnya memperhatikan penyusunan kesaksian berdasarkan aspek kronologis dan sebab