BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian Persimpangan Jalan
Persimpangan menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) adalah dua
buah ruas jalan atau lebih yang saling bertemu, saling berpotongan atau bersilangan.
Persimpangan adalah suatu bagian yang penting dari jalan perkotaan sebab sebagian
besar dari efisiensi, kapasitas lalu-lintas, kecepatan, biaya operasi,waktu perjalanan,
kenyamanan dan keamanan akan tergantung pada perencanaan persimpangan
tersebut. Pengoperasian suatu persimpangan jalan sangat berpengaruh oleh volume
total jenis kendaraan dan gerakan membelok yang terdapat pada arus yang terpisah.
Perencanaan, perancangan dan pengaturan lalu-lintas perlu diadakan terhadap
persimpangan yang mempunyai volume lalu-lintas besar seperti penggunaan lampu
lalu-lintas. Untuk melintasi suatu persimpangan, masing-masing aliran kendaraan
harus saling bergantian sehingga terjadi tundaan dan antrian.
Tujuan utama dari perencanaan persimpangan adalah untuk mengatasi
konflik-konflik potensial antara kendaraan bermotor, pejalan kaki, sepeda dan
fasilitas angkutan lainnya agar pada saat melewati persimpangan didapatkan tingkat
kemudahan dan kenyamanan.
II.2 Gerakan Pada Persimpangan
Dari berbagai bentuk, sifat dan tujuan gerakan kendaraan di daerah
persimpangan dikenal 4 (empat) tipe dasar pergerakan lalu-lintas pada persimpangan
1. Memisah ( Diverging )
Peristiwa berpencarnya peregerakan kendaraan yang melewati suatu ruas jalan
ketika kendaraan tersebut sampai pada titik persimpangan.
Gambar 2.1 : Tipe dasar gerakan memisah
Multiple
2. Bergabung ( Merging )
Peristiwa bergabungnya kendaraan yang bergerak dari beberapa ruas jalan ketika
sampai pada titik persimpangan.
Gambar 2.2 : Tipe dasar gerakan bergabung
Kanan Kiri
3. Berpotongan ( Crossing )
Peristiwa berpotongan antara arus kendaraan dari satu lajur ke lajur lain pada
persimpangan, biasanya keadaan demikian akan menimbulkan titik konflik pada
persimpangan.
Gambar 2.3 : Tipe dasar gerakan berpotongan
Direct Oblique
4. Menyilang ( Weaving )
Pertemuan dua arus lalu-lintas atau lebih yang berjalan menurut arah yang sama
sepanjang suatu lintasan di jalan raya tanpa bantuan rambu lalu-lintas. Gerakan
ini sering terjadi pada suatu kendaraan yang berpindah dari suatu jalur ke jalur
lain, misalnya pada saat kendaraan masuk ke suatu jalan raya dari jalan masuk
kemudian bergerak ke jalur lain untuk mengambil jalan keluar dari jalan raya
tersebut. Kendaraan ini akan menimbulkan titik konflik pada persimpangan
tersebut.
Gambar 2.4 : Tipe dasar gerakan menyilang
II.3 Konflik Lalu-Lintas Pada Persimpangan
Keberadaan persimpangan pada suatu jaringan jalan ditunjukkan agar
kendaraan bermotor, pejalan kaki, dan kendaraan tidak bermotor dapat bergerak
dalam arah yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Dengan demikian pada
persimpangan akan terjadi suatu keadaan yang menjadi karekteristik yang unik dari
persimpangan yaitu munculnya konflik yang berulang sebagai akibat dari pergerakan
Konflik lalu-lintas adalah pertemuan dua lintasan kendaraan pada sebuah
persimpangan sebidang. Terdapat 2 ( dua ) macam konflik lalu-lintas menurut
Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) yang ditimbulkan oleh pergerakan
kendaraan dan keberadaan pejalan kaki yaitu :
1. Konflik primer, yaitu konflik yang terjadi antara lalu-lintas yang sedang
memotong.
2. Konflik sekunder, yaitu konflik yang terjadi antara lintas kanan dengan
lalu-lintas arah lainnya dan atau lalu-lalu-lintas belok kiri dengan pejalan kaki.
Usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi konflik pada persimpangan
adalah :
a. Memperlebar jalan-jalan pada kaki persimpangan tersebut.
Tetapi cara ini tidak mudah dilaksanakan karena akan mengalami hambatan
seperti susahnya pembebasan tanah pada masyarakat setempat seperti ganti rugi
bangunan pada lokasi pelebaran jalan.
b. Merubah jumlah arus kendaraan pada jalan tersebut.
c. Membuat jalan alternatif lain bagi kendaraan yang akan menuju persimpangan
tersebut sehingga volume kendaraan pada persimpangan tersebut akan
berkurang.
d. Melarang kendaraan untuk berhenti pada persimpangan tersebut sehingga tidak
terjadi tundaan yang lama pada persimpangan tersebut.
II.4 Lampu Lalu-Lintas
II.4.1 Kegunaan lampu lalu-lintas
Kegunaan lampu lalu-lintas pada persimpangan dapat dievaluasi dari seberapa
jauh suatu sistim lampu lalu-lintas dapat memenuhi fungsi yang diharapkan yaitu:
• Mengurangi waktu tundaan
Dengan tidak adanya lampu lalu-lintas maka akan terjadi banyak titik konflik
di persimpangan sehingga menimbulkan kemacetan dan waktu tundaan akan
bertambah.
• Meningkatkan kapasitas
• Mengontrol kecepatan
• Fasilitas penyebrangan bagi pejalan kaki
• Meningkatkan keselamatan
II.4.2 Pengaturan lampu lalu-lintas
Cara-cara pengaturan lampu lalu-lintas yang akan dijelaskan berikut ini hanya
menyangkut lampu lalu-lintas yang berfungsi untuk mengendalikan lalu-lintas pada
persimpangan, bukan lampu lalu-lintas yang digunakan untuk memberi peringatan
pada ruas jalan yang rawan kecelakaan.
Secara umum terdapat 3 (tiga) cara pengaturan waktu lampu lalu-lintas yaitu:
• Lampu lalu-lintas waktu tetap
Cara pengaturan lampu lalu-lintas ini adalah mengendalikan lalu-lintas untk
berhenti dan bergerak berdasarkan satu atau serangkaian jadwal waktu yang
telah ditentukan sebelumnya. Dengan cara ini lampu lalu-lintas diatur untuk
menyalakan lampu hijau, merah, dan kuning secara berurutan, teratur dan
berulang-ulang.
• Lampu lalu-lintas waktu tidak tetap
Dengan cara ini pengaturan lampu lalu-lintas diatur berdasarkan tuntutan
lalu-lintas yang ditangkap oleh sejumlah detector yang ditempatkan pada satu
atau lebih kaki persimpangan, baik untuk gerak kendaraan maupun pejalan
kaki.
• Lampu lalu-lintas berdasarkan penyesuaian waktu
Cara pengaturan lampu-lintas ini dikendalikan secara terpusat, misalnya
dengan computer digital. Pengaturan waktu disesuaikan dengan hasil terbaru
II.4.3 Parameter Pengaturan Sinyal
Parameter-parameter yang biasa digunakan dalam perencanaan lampu
lalu-lintas pada persimpangan adalah :
a. Fase
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia ( 1997 ), fase adalah bagian dari
siklus sinyal dengan lampu hijau bagi kombinasi tertentu dari gerakan lalu-lintas.
Sedangkan pengertian lain menurut Soejono (1996), fase itu adalah suatu alat
pemberi isyarat dalam satu waktu siklus yang memberikan hak jalan pada satu atau
lebih gerakan lalu-lintas untuk memperlancar arus kendaraan.
Pengendalian dua fase
Pengaturan sinyal lampu lalu-lintas dengan pengendalian dua fase
merupakan yang paling sederhana dan paling mudah. Masing-masing jalan
dari 2 (dua) jalan yang berpotongan diberikan fase bagi kendaraan untuk
bergerak melewati persimpangan. Seluruh gerakan belok kanan dan kiri
dilakukan menurut gerakan membelok terlawan terhadap arus dari arah yang
berlawanan maupun jalan kaki.
Gambar 2.7 Persimpangan dengan 3 fase
Pengendalian Multi Fase
Pengendalian multi fase digunakan pada persimpangan dimana satu atau lebih
gerakan membelok ke kiri dan ke kanan memerlukan fase tersendiri. Secara
umum gerakan membelok ke kanan dengan fase tersendiri baik secara sebagian
atau penuh.
• Pengendalian 3 Fase
i. Pengaturan 3 Fase dengan pemutusan paling akhir pada pendekat utara
agar menaikkan kapasitas belok kanan dari arah dini.
Gambar 2.7 Persimpangan dengan 3 fase
ii. Pengaturan 3 fase dengan start dini dari pendekat utara agar menaikkan
Gambar 2.8 Persimpangan dengan 3 fase
iii. Pengaturan 3 fase dengan belok kanan terpisah pada satu jalan
Gambar 2.9 Persimpangan dengan 3 fase
• Pengendalian 4 Fase
i. Pengaturan 4 fase dengan arus berangkat satu per satu pendekat pada saatnya
masing-masing
Fase A Fase B
ii. Pengaturan 4 fase dengan belok kanan terpisah pada kedua jalan
Fase D Fase C
Fase A Fase B
Gambar 2.13 Persimpangan dengan 4 fase
b. Waktu Siklus
Waktu siklus (cyclus time) adalah waktu total dari sinyal lampu lalu-lintas untuk
menyelesaikan satu siklus.
Waktu siklus yang disesuaikan berdasarkan pada waktu hijau yang telah
diperoleh dan telah dibulatkan, dapat ditentukan dari rumus :
c = ∑g + LTI ………..………...…(2.1)
dimana:
g = waktu hijau (detik )
LTI = waktu hilang total per siklus ( detik )
Menaikkan waktu siklus dari suatu sistem operasional sinyal lampu lalu-lintas
dengan waktu tetap (fixed time) merupakan salah satu cara yang paling mudah untuk
meningkatkan kapasitas persimpangan. Semakin tinggi waktu siklus maka kapasitas
persimpangan semakin tinggi, tetapi semakin tinggi pula antrian dan tundaan yang
terjadi. Di Indonesia, menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), waktu
siklus maksimal sebesar 130 detik dan waktu siklus minimal sebesar 40 detik. Angka
ini diambil untuk menghindari antrian dan tundaan yang tinggi. Walaupun demikian,
untuk kota-kota dengan kemacetan yang tinggi seperti Jakarta, waktu siklus dapat
diambil lebih dari 130 detik untuk menaikkan kapasitas persimpangan.
Tipe Pengaturan Waktu siklus yang disarankan (detik) Pengaturan dua fase
Waktu hijau ( green time ) adalah waktu aktual dari suatu fase hijau yang mana
pada waktu tersebut lau-lintas mendapat hak jalan melintasi persimpangan.
Waktu hijau efektif dihitung berdasarkan :
- Pada waktu lampu kuning ( sesudah lampu hijau ), maka arus lalu-lintas masih
akan terus menyebrangi jalan.
- Walaupun demikian, pada saat lampu kuning arus lau-lintas yang lewat tidak
sebanyak pada saat lampu masih hijau, karena sebagian pengemudi sudah
ragu-ragu apakah akan terus atau akan berhenti.
- Pada saat awal lampu hijau, pengemudi masih perlu waktu untuk bereaksi untuk
Oleh karena itu, waktu hijau yang ada masih perlu dikoreksi sehingga besar
waktu hijau efektif adalah :
Waktu hijau efektif = Tampilan waktu hijau aktual – kehilangan awal + tambahan
akhir
Melalui analisa data lapangan dari seluruh simpang yang telah disurvei telah
ditarik kesimpulan bahwa rata-rata besarnya kehilangan awal dan tambahan akhir,
keduanya mempunyai nilai sekitar 4,8 detik. Sesuai rumus yang di atas, untuk kasus
standard besarnya waktu hijau efektif menjadi sama dengan waktu hijau yang
ditampilkan. Kesimpulan dari analisa ini adalah bahwa tampilan waktu hijau dan
besar arus jenuh puncak yang diamati di lapangan untuk masing-masing lokasi, dapat
digunakan pada rumus di atas untuk menghitung kapasitas pendekat tanpa
penyesuaian dengan kehilangan awal dan tambahan akhir.
d. Waktu Antar Hijau
Penentuan waktu antar hijau diambil dari perbedaan antara akhir waktu hijau
suatu fase dengan awal waktu hijau pada fase berikutnya. Tujuan penentuan waktu
hijau ini supaya pada saat fase berikutnya mulai hijau, maka arus lalu-lintas yang
bergerak pada fase tersebut semuanya telah melewati persimpangan, sehingga tidak
terjadi konflik antara arus lalu-lintas pada fase tersebut dengan arus lalu-lintas pada
fase berikutnya. Maka lamanya waktu antar hijau tergantung pada kecepatan
minimum kendaraan untuk melintasi persimpangan tersebut.
Pada analisa yang dilakukan bagi keperluan perancangan, waktu antar hijau dapat
dianggap sebagai nilai normal seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut :
Ukuran Simpang Lebar Jalan Rata-rata Nilai normal waktu antar hijau
Kecil 6 – 9 m 4 detik / fase
Sedang 10 – 14 m 5 detik / fase
Besar ≥ 15 m ≥ 6 detik / fase
Tabel 2.2 Waktu Antar Hijau Indonesia
e. Waktu Kuning
Waktu kuning (amber) adalah waktu dimana lampu kuning dinyalakan setelah
lampu hijau dalam sebuah pendekat. Waktu kuning pada umumnya diambil 3 detik.
f. Rasio Hijau
Rasio hijau adalah perbandingan antara waktu hijau dengan waktu siklus dalam
suatu pendekat. Rasio hijau dapat ditentukan dengan rumus :
Dimana:
GR = Rasio hijau
g = waktu hijau
c = waktu siklus
g. Arus Lalu-Lintas Jenuh
Arus lalu-lintas jenuh adalah arus lalu-lintas maksimum yang dapat melewati
persimpangan persimpangan bersinyal. Arus jenuh (S) dapat dinyatakan sebagai hasil
perkalian dari arus jenuh dasar (So) dengan faktor penyesuaian (F) untuk
penyimpangan dari kondisi sebenarnya. Dapat dituliskan sebagai berikut:
S = SO x FCS x FSF x FG x FLT x FRT ………..……..……….……(2.3)
Untuk pendekat terlindung arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lebar
efektif pendekat :
So = 600 x We ………..………...(2.4)
G Gambar 2.15 Arus Jenuh Dasar Untuk Pendekat Tipe P
Penyesuaian kemudian dilakukan untuk kondisi-kondisi berikut :
1. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (Cs)
Tabel 2.3 Faktor Penyesuaian Ukuran kota
2. Faktor Penyesuaian Hambatan Samping
Lingkungan Hambatan Tipe Rasio kendaraan tak bermotor Jalan Samping Fase 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥0,25 Tinggi Terlawan 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70 Tinggi Terlindung 0,93 0,91 0,88 0,87 0,85 0,81
Penduduk Kota
(juta jiwa)
Faktor Penyesuaian Ukuran kota
Komersial Sedang Terlawan 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 o,71
3. Faktor Penyesuaian Kelandaian
Gambar 2.16 Faktor Penyesuaian Untuk Kelandaian (FG)
4. Faktor Penyesuaian Parkir
Faktor penyesuaian parkir ditentukan sebagai fungsi jarak dari garis henti sampai
dengan panjang lajur belok kiri terbatas. Faktor ini tidak perlu diterapkan jika lebar
efektif ditentukan oleh lebar keluar. FP dapat juga dihitung dari rumus berikut :
5. Faktor Penyesuaian Belok Kanan
Faktor penyesuaian belok kanan ditentukan sebagai fungsi dari rasio kendaraan
belok kanan. Faktor penyesuaian belok kanan hanya untuk tipe pendekat P, tanpa
median, jalan dua arah dan lebar efektif ditentukan oleh lebar masuk. Rumus faktor
penyesuaian belok kanan:
FRT = 1,0 + PRT x 0,26 ……….…(2.6)
Atau nilainya dapat diperoleh dari gambar berikut ini:
6. Faktor Penyesuaian Belok Kiri
Faktor penyesuaian belok kiri ditentukan sebagai fungsi dari rasio kendaraan
belok kiri. Faktor penyesuaian belok kiri hanya untuk tipe pendekat P tanpa LTOR,
dan lebar efektif ditentukan oleh lebar masuk. Rumus faktor penyesuaian belok kiri :
FLT = 1,0 – PLT x 0,16 ………...……….……….. (2.7)
Atau nilainya dapat diperoleh dari gambar berikut ini:
Gambar 2.18 Faktor Penyesuaian Untuk Belok Kiri (FLT)
h. Kapasitas Persimpangan Bersinyal
Pada umumnya dalam penganalisaan kapasitas, kondisi umum belum
memastikan bahwa kondisi tersebut merupakan kondisi yang ideal. Kondisi ideal
untuk jalan persimpangan bersinyal adalah sebagai berikut:
1. Memiliki lebar lajur 10 – 12 ft
2. Memiliki kelandaian yang datar
3. Tidak adanya parkir di jalan pada persimpangan
4. Dalam aliran lalu-lintas semuanya terdiri dari mobil penumpang, bus-bus
transit lokal tidak boleh berhenti pada areal persimpangan
6. Persimpangan bukan berada di daerah distrik usaha bersama ( central
business destrict )
7. Indikasi sinyal hijau ada sepanjang waktu
8. Kondisi-kondisi umum yang ada biasanya mencakup kondisi jalan, kondisi
lalu-lintas serta kondisi pengontrolan.
Kapasitas untuk tiap lengan simpang dihitung dengan rumus berikut ini :
Dimana:
C = Kapasitas ( smp/jam)
S = Arus jenuh (smp/jam hijau)
G = Waktu hijau (det)
c = Waktu siklus
Dari hasil perhitungan kapasitas di atas maka derajat kejenuhan dapat ditentukan.
Derajat kejenuhan ( degree of saturation ) adalah perbandingan arus kedatangan
dengan kapasitas dan dinyatakan dengan rumus berikut ini :
i. Perilaku Lalu-Lintas • Panjang Antrian
Jumlah rata-rata antrian smp pada awal sinyal hijau (NQ) dihitung sebagai
jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya (NQ1) ditambah jumlah smp
yang datang selama fase merah (NQ2) :
NQ = NQ1 + NQ2 ...(2.10)
dengan
Jika DS > 0,5 ; selain dari itu NQ1 = 0
dimana :
NQ1 = Jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya
NQ2 = Jumlah smp yang dating selama fase merah
DS = Derajat kejenuhan
GR = Rasio hijau
c = Waktu siklus (det)
C = Kapasitas (smp/jam)
Q = Arus lalu-lintas pada pendekat tersebut (smp/jam)
Untuk keperluan perencanaan manual memungkinkan untuk penyesuaian
dari nilai rata-rata ini ke tingkat peluang pembebanan lebih yang dikehendaki.
Panjang antrian (QL) diperoleh dari perkalian (NQ) dengan luas rata-rata
yang dipergunakan per smp (20m2) dan pembagian lebar masuk.
• Angka Henti
Angka henti (NS) yaitu jumlah berhenti rata-rata per kendaraan (termasuk
berhenti terulang dalam antrian) sebelum melewati suatu simpang,dihitung sebagai :
Dimana :
c = waktu siklus (det)
Q = Arus lalu-lintas (smp/jam) dari pendekat yang ditinjau
• Tundaan (Delay)
Tundaan pada suatu simpang dapat terjadi karena dua hal :
1. Tundaan Lalu-Lintas (DT) karena interaksi lalu-lintas dengan gerakan
lainnya pada suatu simpang.
2. Tundaan Geometri (DG) karena perlambatan dan percepatan saat membelok
pada suatu simpang dan atau terhenti karena lampu merah.
Tundaan rata-rata untuk suatu pendekat j dihitung sebagai :
Dj = DTj + DGj ………….………..……(2.15)
……… (2.13)
dimana:
Dj = Tundaan rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
DTj = Tundaan lalu-lintas rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
DGj = Tundaan rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
Tundaan lalu-lintas rata-rata pada suatu pendekat j dapat ditentukan dari rumus
berikut (didasarkan pada Akcelik 1988) :
Dimana:
DTj = Tundaan lalu-lintas rata-rata pada pendekat j (det/smp)
GR = Rasio hijau (g/c)
DS = Derajat kejenuhan
C = Kapasitas
NQ1 = Jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya
Hasil perhitungan tidak berlaku jika kapasitas simpang dipengaruhi oleh
faktor-faktor luar seperti terhalangnya jalan keluar akibat kemacetan pada bagian
hilir, pengaturan oleh polisi secara manual, dan sebagainya.
Tundaan geometri rata-rata pada suatu pendekat j dapat diperkirakan sebagai
berikut:
DGj = ( 1-Psv ) x PT x 6 + ( Psv x 4 ) ……….….. ( 2.17)
Dimana:
DGj = Tundaan geometri rata-rata pada pendekat j (det/smp)
Psv = Rasio kendaraan terhenti pada suatu pendekat