13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan merupakan proses pengembangan kegiatan kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan (Slameto, 2009:16). Dengan manajemen pendidikan efisiensi dan efektivitas pelayanan pendidikan dapat terlaksanakan karena adanya perencanaan yang matang, pengorganisasian yang tepat, penggerakan segala potensi yang ada, dan pengawasan segala aktivitas yang telah dilakukan. Hal serupa Pidarta (2004:4) menjelaskan pengertian manajemen pendidikan merupakan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya. Begitu juga Tilar (2006:4) menjelaskan segala usaha bersama mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengevaluasian dalam hal pendayagunaan semua sumber daya yang ada secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan yaitu tujuan pendidikan.
14
cara merencanakan, mengorganisasikan, menyusun personalia, mengarahkan, dan mengawasi pelaksanaan tindakannya. Anggota organisasi bimbingan konseling (staf BK) melaksanakan kegiatan sesuai yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan layanan bimbingan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling meniscayakan manajemen agar tercapai efisiensi dan efektivitas serta tercapainya tujuan yang telah ditetapkan (Tohirin, 2013: 256). Pelayanan bimbingan konseling perlu direncanakan agar pelaksanaan berjalan dengan baik dengan menggunakan sumber daya guru bimbingan konseling pada siswa tentang efikasi diri. Efikasi diri merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan prestasi siswa di suatu sekolah. Self Efficacy siswa yang rendah merupakan salah satu tugas manajemen pendidikan.
15 balik dari perilaku, lingkungan, dan kondisi kognitif yang berhubungan dengan keyakinan mampu melakukan suatu aktivitas motorik dasar.
Individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk melakukan tindakan yang diharapkan. Individu dengan self efficacy tinggi akan memilih melakukan usaha lebih besar dan lebih pantang menyerah. Self efficacy mempunyai peran penting pada pengaturan motivasi siswa. Siswa percaya akan kemampuannya memiliki motivasi tinggi dan berusaha untuk sukses. Bandura (dalam Humeira, 2014:3) menjelaskan bahwa self efficacy
berperan penting terhadap motivasi akademik yang menunjang keberhasilan siswa dalam belajar untuk mencapai prestasi. Minat belajar akan rendah apabila siswa tidak mempunyai self efficacy yang baik dalam diri.
16
berkombinasi dengan lingkungan yang tidak responsif akan merasa apatis, segan, dan tidak berdaya.
Self efficacy merupakan salah satu faktor internal yang sangat penting dan memiliki pengaruh yang dominan terhadap tindakan siswa. Self efficacy
mempengaruhi pemilihan tugas, usaha seseorang, ketekunan, ketahanan, dan prestasi (Bandura dalam Humeira, 2014: 4). Lemahnya self efficacy membuat seorang siswa lemah dalam melakukan aktivitas belajar dengan baik. Hal tersebut berdampak enggannya siswa bersaing mencapai prestasi yang maksimal. Jadi self efficacy adalah keyakinan seseorang untuk melakukan suatu guna menghasilkan sesuatu yang diharapkan dengan aspek penelitian keyakinan diri (1) memperoleh sumber daya sosial, (2) prestasi akademik, (3) pembelajaran mandiri, (4) ekstrakurikuler, (5) peraturan diri, (6) memenuhi harapan orang lain, (7) diri sosial, (8) diri asertif, dan (9) dukungan orangtua.
2.3 Faktor yang Mempengaruhi
Self efficacy
Faktor yang mempengaruhi self efficacy ada empat sumber 1) pengalaman performansi meliputi meniru individu yang berprestasi, menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu, menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih, dan melatih diri untuk melakukan yang terbaik. 2) Pengalaman
17 Persuasi verbal meliputi mempengaruhi dengan kata - kata berdasar kepercayaan, peringatan yang mendesak, memerintah diri sendiri, dan interpretasi baru memperbaiki interpretasi lama yang salah. 4) Pembangkitan emosi meliputi mengubah atribusi, penanggung jawab suatu kejadian emosional, relaksasi, menghilangkan sikap emosional dengan modeling simbolik, dan memunculkan emosi secara simbolik (Bandura dalam Ferridiyanto, 2012: 4-5). Bandura dalam Feist (2013: 213-216) menjelaskan ada empat sumber yang dapat mempengaruhi self efficacy. (1) Pengalaman menguasi sesuatu, (2) modeling sosial, (3) persuasi sosial, serta (4) kondisi fisik dan emosional.
2.3.1 Pengalaman Menguasai Sesuatu
18
emosi yang tinggi tidak terlalu merugikan diri dibandingkan kegagalan dalam kondisi maksimal. (5) Kegagalan sebelum mengukuhkan rasa menguasai sesuai sesuatu akan lebih berpengaruh buruk pada rasa self efficacy daripada kegagalan setelahnya. (6) Kegagalan yang terjadi kadang-kadang mempunyai dampak yang sedikit terhadap self efficacy terutama yang mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap kesuksesan.
2.3.2 Modeling Sosial (vicarious)
Self efficacy meningkat saat mengobservasi pencapaian orang lain yang mempunyai kompetensi yang setara tetapi akan berkurang saat melihat rekan sebaya gagal. Ketika orang lain berbeda, modeling sosial akan mempunyai efek yang sedikit dalam self efficacy. Dampak modeling sosial tidak sekuat dampak yang diberikan performa pribadi dalam meningkatkan level self efficacy. Akan tetapi mempunyai dampak yang kuat saat memperhatikan penurunan self efficacy.
2.3.3 Persuasi Verbal
19 yang tidak dipercaya. Meningkatkan self efficacy
melalui persuasi sosial dapat menjadi efektif hanya bila kegiatan yang ingin didukung untuk dicoba berada dalam jangkauan perilaku seseorang. Daya yang lebih efektif dari sugesti berhubungan langsung dengan status dan otoritas yang dipersepsikan dari orang yang melakukan persuasi. Persuasi sosial paling efektif saat dikombinasikan dengan performa yang sukses. Persuasi dapat menyakinkan seseorang untuk berusaha dalam suatu kegiatan dan apabila performa yang dilakukan sukses akan meningkatkan efikasi di masa depan.
2.3.4 Kondisi Fisik dan Emosional
20
mungkin akan mengganggu performa dalam melakukan kegiatan yang kompleks.
2.4 Indikator
Self Efficacy
Indikator pengukuran self efficacy menggunakan inventori bernama Children’s Self-Efficacy Skala
yang diadaptasi dari inventori milik Albert Bandura. Indikator self efficacy meliputi (1) keyakinan diri dalam memperoleh sumber daya sosial, (2) keyakinan diri untuk prestasi akademik, (3) keyakinan diri untuk pembelajaran mandiri, (4) keyakinan diri untuk keterampilan waktu luang dan kegiatan ekstrakurikuler, (5) keyakinan peraturan diri, (6) keyakinan diri untuk memenuhi harapan orang lain, (7) keyakinan diri sosial, keyakinan diri asertif, (8) keyakinan diri untuk meminta dukungan orangtua dan masyarakat.
2.5
Pengertian
Konseling
Kelompok
Behavioral
Konseling kelompok merupakan satu kelompok konseling yang mempunyai fokus yang khusus, mungkin berhubungan dengan pendidikan, pekerjaan, sosial atau pribadi (Corey dalam Loekmono, 2003: 10). Konseling kelompok mempunyai tujuan tertentu guna menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi suatu kelompok.
21 kepribadian melalui proses kematangan dan belajar. Menurut Corey dalam (Tohirin, 2013: 195) bahwa behaviorisme merupakan suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia memiliki kecenderungan positif maupun negatif dibentuk dan ditentukan lingkungan sosial budayanya. Perilaku manusia dibentuk melalui hukum belajar, maka tujuan konseling behavior menciptakan kondisi-kondisi baru bagi pelajar dengan dasar pemikiran bahwa semua tingkah laku dapat dipelajari guna membantu dalam upaya menolong diri sendiri meningkatkan keterampilan sosial dan memperbaiki tingkah laku yang menyimpang. Selain itu tujuan konseling behavior mengembalikan suatu sistem pengaturan diri sehingga orang tersebut dapat mengontrol nasibnya sendiri baik dalam konseling maupun di luar konseling.
22
dapat didefinisikan secara operasional, dapat diamati, dan dapat diukur.
Layanan konseling kelompok merupakan upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan dan diarahkan kepada pemberian kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhannya (Rochman dalam Wibowo, 2005: 32). Kegiatan konseling dalam bentuk kelompok guna mencegah supaya konseli tidak terjerumus hal-hal yang tidak diinginkan. Bagi konseli yang sudah terkena masalah dapat dibantu penyembuhan secara bersama-sama dengan konseli yang lain. Konseling kelompok memberi penegasan secara implisit bahwa ciri-ciri terapeutik dapat diciptakan dan dibina dalam suatu kelompok kecil melalui saling membagi kepedulian pribadi dengan cara mengemukakan kesulitan dan keprihatinan pribadi kepada sesama anggota kelompok dan kepada pimpinan kelompok.
23 Tohirin (2013:172) menjelaskan hal yang sama tentang layanan konseling kelompok dapat dimaknai sebagai suatu usaha pembimbing atau konselor membantu memecahkan masalah-masalah pribadi yang dialami anggota kelompok melalui kegiatan kelompok agar tercapai perkembangan optimal. Aktivitas layanan konseling kelompok diciptakan dalam hubungan antarpribadi yang menekankan pada proses berpikir secara sadar, perasaan-perasaan, dan perilaku anggota kelompok untuk meningkatkan kesadaran akan pertumbuhan dan perkembangan individu yang sehat.
Konseling kelompok behavioral merupakan satu kelompok konseling yang mempunyai fokus tingkah laku manusia diperoleh dari belajar dan proses terbentuknya kepribadian melalui proses kematangan dan belajar.
2.5.1 Tujuan Konseling Kelompok Behavioral
Tujuan layanan konseling kelompok adalah berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa khususnya kemampuan berkomunikasinya (Tohirin, 2013:173). Melalui konseling kelompok individu menjadi sadar akan kemampuan self efficacyakademik dalam kegiatan belajar sehingga mampu meningkatkan kompetensi pendidikan. Siswa dengan
self efficacy yang tinggi akan lebih mudah dan berhasil dalam aktivitas pembelajaran. Self efficacy
24
siswa menjadi sadar akan kelemahan dan kelebihannya dalam mengikuti pembelajaran.
Tujuan umum konseling behavioral menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya dijelaskan bahwa segenap tingkah laku dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka bisa unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya terdapat respons-respons yang layak, tetapi belum dipelajari.
25 mengubah atau memodifikasi perilaku klien yang maladaptif (Ajeeng, 2013: 3).
Perilaku dapat dibentuk guna meningkatkan self efficacy siswa melalui kegiatan konseling kelompok antara lain dengan cara bermain. Siswa diajak bermain agar senang mengikuti konseling kelompok dan akhirnya sikap positif dapat tertanam pada diri. Permainan konseling kelompok meliputi ini namaku, ini temanku, kata berantai, berdiri bersama, ayo tepuk konsentrasi, duel maut, tangkap tangan, kalung kertas, Davis says, dan balik karpet. Proses afeksi yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi (1) ekspresi emosi, (2) ekspresi tema-tema afeksi, (3) aturan emosi dan modulasi emosi, dan (4) integrasi kognisi dan afeksi (Suwarjo, 2011: 15).
2.5.2 Langkah-Langkah Konseling Kelompok
Behavioral
Natawidjaya (1987: 200 – 211) membagi prosedur konseling kelompok dalam beberapa tahapan, yaitu tahap permulaan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir. Sedangkan Corey (1985: 78 – 116) menjelaskan prosedur konseling kelompok berdasarkan pengembangan kelompok dijabarkan dalam beberapa tahapan, yaitu tahap awal, tahap transisi, tahap kerja, dan tahap akhir.
2.5.2.1 Tahap Awal
26
sebelum mengikuti kelompok konseling yang sesungguhnya, terlebih dahulu diberi informasi yang cukup memadai mengenai proses kelompok. Kegiatan awal diisi penjajagan sebuah harapan peserta konseling kelompok dan membantu peserta memilih akan ikut konseling kelompok atau tidak. Secara sistematis, pada tahap ini langkah yang dilakukan adalah perkenalan, agenda (tujuan yang ingin dicapai) norma kelompok dan penggalian ide dan perasaan. Tahapan ini anggota memulai menjalin hubungan sesama anggota kelompok, selain itu, klien mulai memperkenalkan satu sama lain, mereka menyusun saling kepercayaan.
27 bagi anggotanya, berusaha menciptakan suasana kelompok sedemikian rupa sehingga para anggota memiliki kompetensi sosial yang memadai, dan mempunyai peranan dalam kelompok.
Kegiatan konseling kelompok berangsur-angsur lebih baik dalam suasana kondusif sehingga konselor mendelegasikan tanggungjawab kepemimpinan kepada salah seorang anggota. Konselor menciptakan situasi sedemikian rupa sehingga setiap anggota dapat berfungsi sebagai mitra terapeutik bagi anggota yang lainnya, mengendalikan konflik kelompok, dan menemukan cara melibatkan semua anggota dalam interaksi kelompok.
Asesmen merupakan unsur penting pada tahap permulaan ini, dikarenakan sebelum tindakan bantuan dimulai dalam konseling kelompok, maka permasalahan anggota kelompok harus dijabarkan dalam bentuk perilaku yang khusus. Masalah yang kompleks tidak dihindari, tetapi dipilih dan dirinci menjadi komponen-komponen perilaku yang lebih khusus, sehingga semua masalah itu dapat ditangani dengan memadai dalam kegiatan kelompok.
28
Pemantauan selama proses pengumpulan data dalam kegiatan konseling kelompok dilakukan secara berkesinambungan sepanjang kegiatan kelompok dan berakhir pada waktu wawancara dalam tindak lanjut. Konselor dan klien menggunakan data itu untuk menilai efektivitas dari teknik-teknik yang digunakan, pertemuan kelompok, dan pelaksanaan konseling secara umum.
Proses perumusan tujuan dan pengembangan rancangan kegiatan bantuan dimulai apabila data awal telah diperoleh. Peserta diminta untuk merumuskan tujuan kegiatan konseling kelompok sehingga peserta aktif untuk mengetahui proses pengembangan rencana kegiatan konseling kelompok. Konselor mulai memilih strategi terapeutik yang cocok untuk mencapai tujuan konseling secara optimal.
29 jelas akan mengaitkan prosedur terapeutik khusus dengan tujuan yang ingin dicapai. Tahap awal sesuai dengan pendapat Mahler (dalam Loekmono, 2003: 112) dinamakan tingkat keterlibatan, yaitu konselor harus mengklarifikasi tujuan-tujuan konseli untuk berpartisipasi dalam kelompok. Konseli diharapkan dapat mengidentifikasi tujuan pribadi dan harapan pada pengalaman kelompok.
2.5.2.2 Tahap Transisi
Tahap transisi merupakan pertemuan antar klien yang masih belum percaya terhadap klien lain. Setiap klien masih bertahan belum berani mengungkapkan masalah pada anggota konseling kelompok. Tahapan peralihan dalam konseling kelompok menegaskan tentang kesiapan para peserta untuk memasuki tahap kegiatan selanjutnya, yaitu membahas masalah yang dihadapi anggota, dan dapat dikaitkan dengan karakter masing-masing peserta.
30
peserta. Ketegangan karena anggota kelompok belum saling percaya satu dengan lainnya sehingga perlunya kebersamaan dalam satu tujuan melakukan konseling kelompok.
2.5.2.3 Tahap Kerja
Tahap kerja merupakan puncak dan kegiatan utama dalam konseling kelompok. Tujuan tahap pembahasan masalah adalah (1) Membahas masalah yang dihadapi anggota kelompok (2) Membina suasana untuk pengembangan diri secara aktif dan produktif. Penampilan fasilitator/konselor kelompok adalah sebagai pengendali, titik kesatuan, pelurus, dan pengatur jalannya pembahasan masalah. Fasilitator perlu melakukan teknik dasar konseling seperti pada konseling individual.
Kegiatan yang dilakukan fasilitator pada tahap kerja adalah (1) mempersilakan anggota kelompok mengemukakan masalah yang dihadapi. (2) Menentukan masalah yang dibahas berdasarkan pertimbangan dan usul saran dari anggota. (3) Memandu membahas masalah secara tuntas dengan memberi kesempatan kepada semua anggota kelompok untuk berperan aktif bertanya, saling memberi nasehat, dan berbagi pengalaman. (4) Mengaitkan permasalahan yang muncul dengan karakter.
31 konseling kelompok terjadi yang ditandai dengan membuka diri lebih besar, menghilangkan defensifnya, terjadinya konfrontasi antar anggota kelompok, modeling, belajar perilaku baru, terjadi transferensi. Kohesivitas mulai terbentuk, mulai belajar bertanggung jawab, tidak lagi mengalami kebingungan. Anggota merasa berada dalam kelompok dan mendengar anggota yang lain dan terpuaskan dengan kegiatan kelompok. Tahap kerja sesuai dengan pendapat Mahler (dalam Loekmono, 2003: 113) dinamakan tingkat bekerja karena anggota kelompok saling menerima, memahami dukungan dan saling menolong anggota kelompok konseling. Anggota mempercayai satu dengan lainnya dengan mencurahkan kepribadian guna mengubah perilaku yang diinginkan.
2.5.2.4 Tahap Akhir
32
Pada tahap akhir ini pun dilakukan perencanaan untuk tindak lanjut kegiatan kelompok. Tindak lanjut ini penting dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana perilaku-perilaku baru itu dapat diterapkan dengan berhasil dalam kehidupan yang sesungguhnya. Untuk ini, perlu dilakukan pengamatan dan monitoring lanjut terhadap kehidupan klien setelah kegiatan kelompok. Lebih resmi lagi dapat dilakukan wawancara tindak lanjut dengan setiap klien yang telah melaksanakan konseling kelompok. Tahap akhir sesuai dengan pendapat Mahler (dalam Loekmono, 2003: 112) dinamakan tingkat terminasi karena anggota kelompok menyelesaikan perasaan dan reaksi anggota pada pengalaman sebagai satu keseluruhan atau keutuhan.
Penelitian ini mengunakan penahapan (1) tahap awal pembentukan kelompok dan pengenalan, (2) tahap transisi penemuan masalah, (3) tahap kerja menyelesaian masalah, dan (4) tahap akhir refleksi kegiatan.
2.6 Kajian Yang Relevan
Penelitian yang berkaitan dengan efikasi diri (Self-Efficacy) dan konseling kelompok.
1. Hasil penelitian Wahid (2013) judul Keefektifan Konseling Kelompok dengan Teknik Metafora Berbentuk Stories untuk meningkatkan Self efficacy
33
stories efektif meningkatkan self efficacy akademik siswa SMA pada mata pelajaran matematika.
2. Hasil penelitian Udin (2012) dengan judul Pengaruh Konseling Karir Secara Kelompok Terhadap Self efficacy Pengambilan Keputusan Studi Lanjut pada Siswa SMA. Ada perbedaan signifikan self efficacy
pengambilan keputusan studi lanjut antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (t=5,049; p<0,01).
3. Humeira (2014) meneliti Keefetifan Layanan Bimbingan Kelompok dengan Teknik Bermain Peran untuk Meningkatkan Self efficacy dalam Belajar Siswa SMP Negeri 5 Surakarta, menyatakan bahwa layanan bimbingan kelompok dengan teknik bermain peran dapat meningkatkan self efficacy dalam belajar.
4. Fathiyah (2012) meneliti Konseling Sebaya untuk Meningkatkan Self efficacy Remaja Terhadap Perilaku Beresiko di SMU Gama, menyatakan bahwa adanya kecenderungan peningkatan self efficacy siswa yang diberi konseling sebaya.
5. Novariandhini (2012) meneliti Harga Diri, Motivasi Belajar, dan Prestasi Akademik Siswa SMA pada Berbagai Model Pembelajaran, menyatakan bahwa hasil penelitian menemukan hubungan yang signifikan positif antara self efficacy dengan motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
34
menyatakan bahwa berdasarkan uji hipotesis dengan analisis regresi berganda diperoleh hasil self efficacy
dan motivasi belajar secara simultan tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar matematika siswa.
Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, penelitian ini mengkaji peningkatan self efficacy
menggunakan konseling kelompok behavioral agar siswa yang self efficacy rendah mampu ditingkatkan menggunakan konseling kelompok behavioral. Hal tersebut karena hasil penelitian konseling kelompok mampu meningkatkan self efficacy siswa dalam hal akademik, dalam mengambil keputusan, berani mengambil resiko, dan ada hubungan secara signifikan positif dengan motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
2.7 Kerangka Pikir
35 mereka kurang memiliki aspirasi belajar sehingga prestasi akademik rendah. Pelayanan konseling kelompok behavioral akan membantu siswa dalam menumbuhkan self efficacy yang mengalami masalah rendah akademik. Konseling behavioral merupakan konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan mengubah tingkah laku (Corey, 2013: 193). Terjadi perubahan self efficacy siswa dikarenakan adanya treatmen konseling behavioral kelompok sehingga siswa mempunyai kepercayaan diri. Adapun kerangka pikir penelitian sebagai berikut.
Gambar 2.1. Kerangka Pikir
2.8 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah konseling kelompok behavioral dapat meningkatkan secara signifikan self efficacy siswa kelas XI IPS SMA Negeri 1 Kendal.
Siswa self efikasi rendah (pre-tes)
Treatment konseling kelompok behavior