• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor)"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PENILAIAN EKONOMI

BERBAGAI POLA PENGGUNAAN LAHAN

BERDASARKAN CITRA SATELIT IKONOS TAHUN 2003

(Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu,

Kabupaten Bogor)

NURDIN SULISTIYONO

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc yang belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2006

Nurdin Sulistiyono

(3)

ABSTRAK

NURDIN SULISTIYONO. Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor) Dibimbing oleh : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman MA dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo MSc.

Kegiatan penggunaan lahan di daerah hulu DAS sangat berpengaruh terhadap daerah hilir, karena pola penggunaan lahan di daerah hulu mempunyai eksternalitas negatif terhadap daerah hilir. Adanya dampak negatif ini tidak cukup dicegah dengan cara meminta masyarakat di daerah hulu untuk merubah pola penggunaan lahannya yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Mengingat dengan perubahan tersebut dapat menyebabkan pola kesejahteraan masyarakat bisa berkurang, maka perlu adanya mekanisme kompensasi atas perubahan penggunaan lahan di daerah hulu. Hal ini penting agar dampak negatif dari kegiatan pola penggunaan lahan di daerah hulu ini dapat dikurangi sementara disisi lain dapat meningkatkan pola kesejahteraan masyarakat hulu.

Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah menentukan pola penggunaan lahan berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003, membandingkan pola penggunaan lahan dengan RTRW Kabupaten Bogor, menentukan besarnya nilai ekonomi pada berbagai pola pengunaan lahan serta menentukan besarnya nilai kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya pada kawasan lindung di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu. Untuk menentukan besarnya nilai ekonomi berbagai penggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat digunakan pendekatan produktivitas dan kesediaan membayar. Untuk menentukan besarnya nilai ekonomi hutan lindung digunakan pendekatan nilai ekonomi total. Sementara untuk mengidentifikasi pola penggunaan lahan yang ada dilakukan dengan bantuan citra satelit Ikonos Tahun 2003 dengan metode on screen.

(4)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(5)

PENILAIAN EKONOMI

BERBAGAI POLA PENGGUNAAN LAHAN

BERDASARKAN CITRA SATELIT IKONOS TAHUN 2003

(Studi Kasus di DAS Ciliwung Hulu, Sub DAS Ciesek,

Kabupaten Bogor)

NURDIN SULISTIYONO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul : Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor)

Nama : Nurdin Sulistiyono

NIM : E 051020041

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. Ketua

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(7)

ABSTRACT

The type of land uses in sub-watershed of Ciesek which is located in the upstream of Ciliwung watershed affects the downstream area. The land use types in the upstream give a negative externality to the downstream area. Land use types which are not in accordance with regional land use allocation plan may give a higher economical benefit. On the other hand, the environmental functions can be disturbed. A higher resolution satellite image, Ikonos of the year of 2003, was used to identify the land use types.

This study aims to obtain information on land use types with remote sensing analysis using ikonos satellite image and to assess the economical value of sub-watershed of Ciesek, Ciliwung Hulu Watershed. The concept of economical valuation which was used to assess the economical value of protected area is the concept of total economical value. The methods are market price valuation, travelling cost, substitution cost and continget valuation methods. Productivity approach was used as the method of cultivation area valuation.

The research shows that the land use types of Ciesek sub-watershed are not in accordance with the allocated types. The total economical value of the protected area is 5,068,626,150.83 rupiahs/year or 7,741,539.89 rupiahs/ha/year. The economical value of the wet land agriculture is 3,729,747 rupiahs/ha/year, dry land agriculture is 7,905,698.23 rupiahs/ha/year. Mixed garden has the economical value of 3,435,982.91 rupiahs/ha/year while the common house types has the value of 554,653,679.65 rupiahs/ha/year and villa types give the value of 1,288,702,928.87 rupiahs/ha/year.

(8)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu bentuk ekosistem yang secara umum terdiri dari wilayah hulu dan hilir. Wilayah hulu DAS didominasi oleh kegiatan pertanian lahan kering dan hutan sedangkan di wilayah hilir didominasi oleh pertanian lahan basah sawah dan pemukiman. Sistem Pengelolaan DAS harus dilakukan terintegrasi antara wilayah hulu dan hilir, dalam pengertian berbagai kegiatan pengelolaan di wilayah hulu dan hilir harus berjalan saling menunjang dan dapat dikoordinasikan. Sistim pengelolaan DAS di Indonesia masih banyak yang tidak memperhatikan hubungan keterkaitan daerah hulu-hilir sehingga banyak dijumpai DAS-DAS terutama dibagian hulu yang keadaannya kritis atau rusak.

DAS Ciliwung merupakan DAS yang tergolong kritis. Pada dasarnya, DAS Ciliwung mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan DAS kritis lainnya. Walaupun demikian, ada beberapa hal yang menyebabkan DAS Ciliwung mendapat sorotan yang lebih banyak dibandingkan DAS-DAS lainnya, antara lain karena : (a) Wilayah Hilir DAS Ciliwung mencakup daerah ibukota negara (DKI Jakarta) yang sangat kaya akan asset-asset nasional dan pemukiman penduduk, (b) Kerusakan wilayah hulu DAS Ciliwung tidak semata-mata akibat kegiatan pertanian, tetapi juga oleh tumbuhnya pemukiman dan prasarana lainnya yang tidak berwawasan lingkungan, dan (c) wilayah hulu DAS Ciliwung merupakan kawasan wisata yang terus berkembang, hingga membutuhkan perencanaan yang dapat mengakomodasi tuntutan perkembangan tersebut.

(9)

harus diprioritaskan. Kemudian pada tahun 1999, pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Bopunjur ditetapkan dengan fungsi utama kawasan sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kemudian pada tingkat Pemerintahan Daerah, Pemda Kabupaten Bogor juga telah menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada tahun 2000 yang mengatur tentang peruntukan penggunaan lahan yang penyusunannya telah disesuaikan dengan kaidah-kaidah lingkungan untuk seluruh wilayah Kabupaten Bogor termasuk Sub DAS Ciesek yang merupakan bagian dari DAS Ciliwung Hulu.

Permasalahan yang timbul berkaitan dengan penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu khususnya Sub DAS Ciesek adalah apakah pola penggunaan lahan yang ada sekarang telah sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan. Dengan bantuan citra satelit Ikonos yang merupakan citra satelit dengan resolusi tinggi diharapkan dapat membantu pengidentifikasian pola penggunaan lahan yang ada sekarang dengan lebih teliti. Permasalahan lain yang muncul adalah bahwasannya pola penggunaan lahan di daerah hulu mempunyai eksternalitas negatif terhadap daerah hilir, misalnya dengan adanya dampak banjir dan erosi yang bisa terjadi di daerah hilir. Adanya dampak negatif ini tidak cukup dicegah dengan cara meminta masyarakat di daerah hulu untuk merubah pola penggunaan lahannya yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ditentukan pemerintah. Untuk itu perlu dipikirkan suatu mekanisme pemberian kompensasi bagi masyarakat yang tinggal di daerah kawasan lindung di hulu DAS agar bersedia merubah pola penggunaan lahannya agar sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan.

(10)

Berangkat dari ide PDR di atas, agar fungsi-fungsi lingkungan yang sangat penting bagi daerah hilir dapat kembali dipulihkan, maka penggunaan lahan di daerah hulu yang ada sekarang harus dikembalikan kepada penggunaan lahan yang sesuai dengan kepentingan lingkungan seperti yang telah direncanakan dalam RTRW. Mengingat dengan perubahan tersebut dapat menyebabkan pendapatan atau pola kesejahteraan masyarakat bisa berkurang, maka perlu adanya mekanisme kompensasi atas perubahan penggunaan lahan yang ada di daerah hulu. Hal ini penting agar dampak negatif dari kegiatan pola penggunaan lahan di daerah hulu ini dapat dikurangi sementara disisi lain dapat meningkatkan pola kesejahteraan masyarakat yang tinggal di daerah hulu. Permasalahannya berapa kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat di daerah hulu. Kompensasi yang sebaiknya diberikan adalah sebesar nilai ekonomi yang hilang akibat perubahan pola penggunaan lahan yang terjadi di daerah hulu. Untuk itu sebagai langkah awal penyediaan informasi nilai ekonomi berbagai pola penggunaan lahan yang ada menjadi sangat penting.

Penelitian ini berusaha memberikan informasi tentang berbagai pola penggunaan lahan dengan bantuan teknik penginderaan jauh menggunakan citra satelit Ikonos, nilai ekonominya serta besarnya nilai kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya di kawasan lindung di Sub DAS Ciesek. Diharapkan informasi ini bisa menjadi salah satu referensi bagi pihak-pihak yang terkait dalam melakukan kebijakan pengelolaan DAS di kawasan DAS Ciliwung Hulu, khususnya Sub DAS Ciesek.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam kegiatan pengelolaan Sub DAS Ciesek di DAS Ciliwung Hulu, memuat beberapa permasalahan, yakni :

(11)

kawasan budidaya. Secara ekonomi pemanfaatan lahan dalam kawasan lindung sebagai kawasan budidaya mungkin mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi tapi berbahaya dari segi lingkungan.

2. Salah satu upaya penyelesaian konflik yang terjadi adalah dengan mengetahui nilai ekonomi dari berbagai pola penggunaan lahan yang ada. Hal ini dirasa penting untuk dapat mengetahui besarnya nilai kompensasi yang sewajarnya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari kegiatan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut :

1. Menentukan pola penggunaan lahan di Sub DAS Ciesek berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003.

2. Membandingkan pola penggunaan lahan dengan RTRW Kabupaten Bogor untuk Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu.

3. Menentukan besarnya nilai ekonomi pada berbagai pola pengunaan lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu.

4. Menentukan besarnya nilai kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya pada kawasan lindung.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini berguna untuk masukan dan input bagi peneliti, instansi terkait dan ilmu pengetahuan.

1. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai media untuk menerapkan salah satu teknik penilaian ekonomi lingkungan dengan bantuan GIS dan Remote Sensing untuk mendeteksi pola pengunaan lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu. 2. Bagi instansi terkait, penelitian ini berguna sebagai bahan informasi tentang

(12)

Kerangka Pemikiran

Persoalan yang dihadapi dalam upaya pelestarian dan perlindungan hutan alam di hulu DAS adalah masih kurangnya dukungan dari masyarakat dan instansi terkait. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, pengelola harus dapat meyakinkan bahwa berhasilnya upaya pelestarian kawasan ini akan memberikan keuntungan, baik secara ekonomis, sosial budaya maupun ekologis. Sebaliknya jika upaya pelestarian terhadap kawasan ini gagal maka akan menimbulkan kerugian berupa berkurangnya nilai keanekaragaman hayati dan rusaknya sistem pendukung kehidupan yang berperan dalam pembangunan berkelanjutan.

(13)

Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor Citra Satelit Ikonos Th 2003

Analisis Citra Satelit

Sesuai RTRW Th 2000 Kondisi Penggunaan Lahan saat ini

Nilai Ekonomi RTRW

Informasi :

Nilai Kompensasi Kepada Masyarakat Hulu

Pengambilan Kebijakan dalam Pengelolaan DAS

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Nilai Kawasan

Nilai (value) merupakan persepsi seseorang adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasan dan kesenangan merupakan istilah-istilah lain yang diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian (valuation) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Davis and Johnson, 1987)

Penilaian peranan ekosistem, termasuk kawasan konservasi, bagi kesejahteraan manusia merupakan pekerjaan yang sangat kompleks, mencakup berbagai faktor yang berkaitan dengan nilai sosial dan politik. Menurut Munasinghe dan McNeely (1994), nilai suatu kawasan konservasi sangat tergantung pada aturan-aturan manajemen yang berlaku. Dengan kata lain, nilai tersebut ditentukan tidak hanya oleh faktor-faktor biolgi dan ekonomi tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelola sumberdaya kawasan konservasi tersebut.

Pearce et al. (1989), mengelompokkan nilai sumber daya hutan (SDH) dalam tiga macam nilai yaitu:

• Nilai Penggunaan Langsung, adalah manfaat yang langsung diambil dari SDH. Sebagai contoh manfaat penggunaan sumber daya hutan sebagai input untuk proses produksi atau sebagai barang konsumsi.

• Nilai Penggunaan Tidak Langsung, yaitu nilai yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya, dapat berupa hal yang mendukung nilai guna langsung.

(15)

Sedangkan Barbier (1991) dalam Bishop (1999) mengelompokkan tipe-tipe nilai guna hutan sebagai berikut :

Tabel 1. Tipe-tipe Nilai Guna Hutan

Nilai Guna Nilai Bukan

Guna Nilai Langsung Nilai Tidak

Langsung Nilai Pilihan

Nilai ekonomi total (NET) merupakan penjumlahan dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai non guna, dengan formulasi sebagai berikut (Pearce, 1992) :

NET = Nilai Guna Langsung + Nilai Guna Tidak Langsung + Nilai Pilihan + Nilai Keberadaan

(16)

SDH tersebut, untuk pemanfaatan yang akan datang. Contoh lainnya adalah sumber daya genetik dari hutan tropis untuk kepentingan masa depan.

Sedangkan, nilai bukan guna meliputi manfaat yang tidak dapat diukur yang diturunkan dari keberadaan hutan di luar nilai guna langsung dan tidak langsung. Nilai bukan guna terdiri atas nilai keberadaan dan nilai warisan. Nilai keberadaan adalah nilai kepedulian seseorang akan keberadaan suatu SDH berupa nilai yang diberikan oleh masyarakat kepada kawasan hutan atas manfaat spiritual, estetika dan kultural. Nilai warisan adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini terhadap SDH, agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi akan datang. Nilai-nilai ini tidak terefleksi dalam harga pasar (Bishop, 1999).

Akan tetapi, Pearce dan Moran (1994) mengingatkan bahwa nilai total tersebut tidak benar-benar total karena : (1) tidak mencakup keseluruhan nilai, kecuali nilai ekonomi, (2) banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total belum mencakup semua nilai ekonomi karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat sinergis sehingga nilainya lebih besar dari nilai fungsi secara tunggal. Sebelum itu, Manan (1985) menyatakan bahwa dari sudut rimbawan hutan mempunyai fungsi serbaguna, paling tidak sebagai penghasil kayu, pengaturan tata air, tempat berlindung dan tumbuh kehidupan liar, penghasil pakan dan tempat wisata. Namun demikian sangat sulit menetapkan batas-batas fungsi tersebut secara tegas karena adanya interaksi antara fungsi tersebut.

(17)

Metode Penilaian Sumberdaya Alam

Pada umumnya metode penentuan nilai ekonomi sumberdaya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yang mencakup beberapa teknik yaitu : pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung (Pearce dan Moran, 1994). Pendekatan langsung mencakup teknik-teknik yang mengupayakan untuk mendapatkan penilaian secara langsung dengan menggunakan percobaan dan survey. Teknik survey (kuisioner) terdiri atas dua tipe yaitu perolehan ranking (contingent ranking methode) dan perolehan nilai, meliputi keinginan untuk membayar (Willingness to pay) atau ketersediaan untuk menerima kompensasi (Willingness to accept).

Konsep dasar bagi semua teknik penilaian ekonomi adalah kesediaan membayar dari individu untuk sumberdaya alam atau jasa lingkungan yang diperolehnya (Pearce dan Moran, 1994;Munasinghe, 1993; Hufschmidt, 1983) atau kesediaan untuk menerima kompensasi akibat adanya kerusakan lingkungan di sekitarnya (Pearce and Moran, 1994; Hufschmidt, 1983).

Valuasi ekonomi manfaat lingkungan dan sumberdaya alam sangat diperlukan bagi pengambilan kebijakan dan analisis ekonomi suatu aktivitas proyek. Dalam valuasi dampak faktor yang perlu diperhatikan adalah determinasi dampak fisik dan valuasi dampak dalam aspek moneter. Penilaian dampak secara moneter didasarkan pada penilaian ahli akan dampak fisik dan keterkaitannya, karena dampak dapat menyebabkan perubahan produktivitas maupun perubahan kualitas lingkungan. Para ahli ekonomi telah mengembangkan metode valuasi untuk mengukur keuntungan dari pengelolaan lingkungan terutama yang tidak mempunyai nilai pasar. Penilaian ini bisa menggunakan nilai dari pasar pengganti.

(18)

dalam satuan moneter. Terdapat lima metode perhitungan ekonomi untuk manfaat yang diperoleh dari sumber daya alam dan lingkungan (Bishop, 1999): (i) Penilaian berdasarkan harga pasar, termasuk pendugaan manfaat dari

kegiatan produksi dan konsumsi dalam kehidupan sehari-hari.

(ii) Pendekatan harga pengganti, termasuk metode biaya perjalanan, hedonic price, dan pendekatan barang pengganti.

(iii) Pendekatan fungsi produksi, dengan fokus pada hubungan biofisik antara fungsi hutan dan kegiatan pasar.

(iv) Pendekatan preferensi, termasuk metode penilaian kontingensi

(v) Pendekatan berdasarkan biaya, termasuk di dalamnya adalah biaya penggantian dan pengeluaran defensif.

Para ahli telah mengembangkan teknik dan cara valuasi dampak untuk mengukur manfaat lingkungan yang tidak mempunyai pasar atau harga yang jelas. Teknik dan cara yang beragam memerlukan pendekatan yang jelas agar tidak terjadi penghitungan ulang (double counting). Pendekatan yang dapat digunakan antara lain adalah CVM (contingent valuation method) yang didasarkan kepada pasar yang dibuat atau pasar hipotetik. Pada pendekatan ini, responden akan ditanya seberapa besar mereka berkeinginan untuk membayar jasa dan barang lingkungan untuk kenyamanan (misalnya untuk tidak terjadi banjir). Konsep dasar dalam valuasi manfaat dan biaya dampak lingkungan adalah didasarkan kepada kemauan membayar (willingness to pay) dari masyarakat untuk barang dan jasa lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan harga sebenarnya maupun harga bayangan sehingga distorsi yang disebabkan kebijakan pemerintah dan ketidaksempurnaan pasar dapat diminimalkan.

(19)

(pendekatan pengeluaran preventif) dan biaya ganti dari jasa lingkungan (misalnya penggunaan pupuk akibat kehilangan hara dalam erosi tanah).

Setiap teknik dan cara valuasi ini memerlukan persyaratan terutama data, biaya dan waktu serta tingkat akseptibilitas yang berbeda bagi pengambilan kebijakan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menggunakan valuasi secara akurat dan efektif biaya sehingga teknik valuasi berkembang menjadi seni dan ilmu.

Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agustono (1996) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total hutan mangrove di Muara Cimanuk Indramayu sebesar Rp. 117.290.000.000/th atau Rp. 14.618.218/ha/th yang terdiri dari penerimaan masyarakat sebesar Rp. 39.490.000.000/th atau 4.921.762/th/ha dan surplus konsumen sebesar Rp. 77.800.000.000/th atau Rp. 9.696.456/th/ha.

Selanjutnya penelitian Wildayana (1999) dilakukan untuk melihat parameter sumberdaya lahan kering yang terintegrasi meliputi seluruh fungsi-fungsi valuasi ekonomi konversi hutan sekunder ke usaha tani lahan kering di Kecamatan Muara Enim Sumatera Selatan. Nilai total ekonomi ekosistem hutan sekunder di Kecamatan Gelumbang yang dihitung berdasarkan manfaat langsung, manfaat tak langsung, manfaat pilihan, manfaat kebanggaan, dan manfaat keberadaan sebesar Rp. 24,4 miliar/kawasan atau sebesar Rp. 2.561.257/ha.

Penelitian yang dilakukan Roslinda (2002) menyebutkan nilai ekononi total Hutan Pendidikan Gunung Walat jika dilihat dari nilai yang dikorbankan adalah Rp. 5.711.188.216/th atau 15.908.602/ha/th sedangkan jika dilihat dari surplus konsumennya adalah Rp.8.468.785.997/th atau Rp.23.589.933/ha/th.

Penelitian yang dilakukan Handayani (2002) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total Taman Nasional Meru Betiri, Kabupaten Banyuwangi sebesar Rp. 2.550.058.083.186 atau Rp. 74.076.824.408/th. Dengan luasan efektif sebesar 55.648,61 ha maka rata-rata nilai ekonomi Taman Nasional Meru Betiri adalah Rp. 1.331.170/ha/th.

(20)

proyek RHL Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunung Kidul Propinsi DIY sebesar Rp. 95.886.082.429/th yang terdiri dari 19,41% nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung sebesar 2,33%, nilai pilihan sebesar 2,05% dan nilai keberadaan sebesar 76,20%.

Sementara itu Parera (2005) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total hutan kayu putih di Desa Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, provinsi Maluku sebesar Rp. 1.556.719/ha/th yang terdiri dari 98,45% manfaat langsung dan sisanya 1,55% manfaat tidak langsung.

DAS (Daerah Aliran Sungai)

Menurut Manan (1985), DAS diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan larut lainnya ke dalam sungai yang akhirnya bermuara ke danau, atau ke laut.

Kegiatan tata guna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam sutu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air (water yield). Pada batas-batas tertentu kegiatan ini juga dapat mempengaruhi status kualitas air. Pengaruh yang sama juga dapat terjadi oleh aktifitas pembalakan hutan yang pada saat ini sedang gencar dilakukan di negara tropis, terutama negara-negara yang memiliki hutan alam yang masih luas. Perubahan dari jenis vegetasi ke jenis vegetasi yang lain adalah umum dalam pengelolaan DAS atau pengelolaan sumber daya alam (Asdak, 1995).

DAS Ciliwung dari mulai hulu sampai titik patusan (outlet) di Teluk Jakarta meliputi areal seluas 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah 117 km. Menurut toposekuensnya DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok, dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan (Pawitan, 2002 dalam Tim IPB, 2002).

(21)

dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras, variasi kemiringan lereng yang tinggi, dengan kemiringan lereng 2-15% (70,5 km2 ), 15-45% (52,9 km2), dan sisanya lebih dari 45%. Di bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung pada komposisi litografi dan kelulusan batuan (Tim IPB, 2002).

GIS dan Remote Sensing

Proses pengklasifikasian penggunaan lahan dan penutupan lahan harus dapat menghasilkan suatu derajat kedetilan. Dengan kata lain, level kecermatan peta hasil berhubungan erat dengan skema klasifikasi yang akan dipilih sebagai rancangan untuk suatu tujuan yang dimaksud. Dewasa ini sebagian banyak survey penggunaan lahan dan penutupan lahan menggunakan citra dari pesawat terbang atau citra satelit dan survey lapangan dibatasi hanya dengan uji lapang dari hasil interpretasi (Lo, 1995).

Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1990), dibagi kedalam dua pendekatan dasar klasifikasi yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Pada klasifikasi terbimbing proses pengklasifikasian dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas yang mewakili setiap kelompok, kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contoh-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi.

Pada klasifikasi tidak terbimbing, proses pengklasifikasian dimulai dengan pemeriksaan seluruh pixel dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian ini disebut kelas-kelas spektral. Kelas-kelas spektral tersebut kemudian dibandingkan dengan kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral tersebut.

(22)

data dan informasi yang bereferensi geografi atau tempat di permukaan bumi (ESRI 1990).

Digital Elevation Models (DEM) telah banyak dikombinasikan dengan citra satelit untuk berbagai macam tujuan, salah satunya adalah untuk menghasilkan citra sintetis yang stereoskopis (lillesand dan Kiefer 1979).

Kata Ikonos berasal dari bahasa Yunani (Greek) “Eye-KOH-Nos” yang artinya sama dengan “citra atau image”. Satelit Ikonos mengorbit bumi pada orbit sunsynchronous. Satelit tersebut mengitari bumi 14 hari, atau setiap 98 menit. Satelit Ikonos yang diluncurkan September 1999 mengorbit pada ketinggian 681 km dengan inklinasi 98,10 pada waktu crossing 10.30 a.m (pike ad Brown 1999)

Pita spektral 1, 2 dan 3 dari citra Ikonos multisepektral secara berurutan mengukur reflektansi spektrum elektromagnetik pada bagian biru, hijau dan merah. Pita-pita tersebut untuk mengukur karakteristik spektral yang tampak oleh mata. Pita 4 mengukur refletansi spektrum elektromagnetik pada bagian inframerah-dekat, dan sangat membantu dalam mengklasifikasikan vegetasi (NASA Commercial Remote Sensing Program 2001).

Penggunaan Lahan

Istilah penggunaan lahan menurut Lillesand dan Kiefer (1990) berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Sedangkan informasi tentang kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan lahannya.

(23)

1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia

2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang

3. Tipe pembangunan

Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda (Lillesand dan Kiefer, 1990). Deteksi perubahan mencakup penggunaan fotografi udara berurutan diatas wilayah tertentu dari fotografi tersebut peta penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat dipetakan dan dibandingkan (Lo, 1995). Campbell (1983) dalam Lo (1995) menambahkan bahwa peta perubahan penggunaan lahan antara dua periode waktu biasanya dapat dihasilkan.

Faktor-faktor penyebab perubahan lahan yang terdapat pada beberapa literatur diuraikan oleh beberapa jenis kegiatan yang dapat mencirikan terjadinya perubahan lahan. Kegiatan-kegiatan tersebut misalnya gangguan terhadap hutan, penyerobotan lahan, dan perladangan berpindah.

(24)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Pengolahan data spasial citra satelit Ikonos penelitian dilakukan di laboratorium Spatial Database and Analysis Facilities (SDAF) Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Sedangkan untuk pengambilan data sosial ekonomi masyarakat, nilai ekonomi pada berbagai pola penggunaan lahan dan cek lapangan (ground truth) dilakukan di daerah Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu. Proses pengambilan data dilakukan selama enam bulan yaitu pada bulan Maret - Agustus 2005.

Batasan Penelitian Lingkup Wilayah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil sampel data primer dari wawancara penduduk yang tinggal di DAS Ciliwung Hulu, Sub DAS Ciesek Kabupaten Bogor yang meliputi Kecamatan Megamendung yakni Desa Cipayung, Desa Cipayung Girang, Desa Megamendung dan Kecamatan Cisarua yakni Desa Cilember. Sedangkan sebagai pelengkap dalam penelitian ini juga mengambil data sekunder dari BPS, BAPPEDA, Dinas Kehutanan, BP DAS Ciliwung – Cisadane, dan beberapa instansi terkait lainya.

Batasan Nilai Ekonomi yang dihitung

Nilai ekonomi pada berbagai pola penggunaan lahan yang dihitung dalam penelitian ini meliputi kawasan lindung berupa hutan lindung, serta kawasan budidaya yang terdiri dari pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, kebun

(25)

Metode Pengambilan Sampel

Rumah tangga sebagai unit sample yang dipilih adalah masyarakat yang tinggal di desa-desa yang ada di Sub DAS Ciesek yang meliputi Desa Cipayung, Cipayung Girang, Desa Cilember dan Desa Megamendung. Teknik pengambilan contoh dilakukan secara purposive dengan tetap memperhatikan keterwakilan dan ketersebaran data. Populasi yang digunakan dalam menentukan masing-masing nilai ekonomi adalah sebagai berikut :

1. Nilai ekonomi kawasan lindung (hutan)

a. Untuk menentukan nilai ekonomi kayu bakar, populasinya adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan lindung yang memanfaatkan hutan sebagai tempat mencari kayu bakar.

b. Untuk menentukan nilai ekonomi jasa wisata, populasinya adalah pengunjung wisata alam Jurug Panjang yang ada di daerah penelitian. Pengunjung wisata adalah masyarakat sekitar maupun masyarakat yang berasal dari luar daerah penelitian.

c. Untuk menentukan nilai ekonomi manfaat air untuk konsumsi rumah tangga, nilai hutan sebagai pengendali banjir dan nilai hutan sebagai habitat flora dan fauna populasinya adalah masyarakat yang tinggal di wilayah Sub DAS Ciesek.

d. Untuk menetukan nilai ekonomi manfaat air untuk sektor pertanian populasinya adalah masyarakat petani yang mengusahakan pertanian lahan basah (sawah) dengan sistem irigasi yang ada di wilayah Sub DAS Ciesek.

2. Nilai ekonomi kawasan Budidaya

a. Untuk menetukan nilai ekonomi pertanian lahan kering dan kebun campuran populasinya adalah masyarakat yang mengusahakan lahannya sebagai lahan pertanian lahan kering dan kebun campuran yang ada di wilayah Sub DAS Ciesek.

(26)

Analisis Citra dan GIS

Bahan yang digunakan dalam analisis perubahan pola penggunaan lahan adalah dengan menggunakan data citra satelit Ikonos tahun 2003. Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain satu paket sistem informasi geografis termasuk komputer (PC Dekstop), Arc View dan software ERDAS Imagine 8.5.

Adapun tahapan analisis citra dengan Ikonos untuk mendeteksi perubahan pola penggunaan lahan di Sub DAS Ciesek adalah :

1. Pengkoreksian Citra (Image restoration)

Sebelum melakukan analisis citra langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan koreksi terhadap citra tersebut. Koreksi citra perlu dilakukan terhadap data mentah satelit dengan maksud untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan radiometrik dan geometrik. Koreksi radiometrik dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang diakibatkan oleh gangguan atmosfir ataupun akibat kesalahan sensor. Koreksi geometrik ditujukan untuk memperbaiki distorsi geometrik. Dalam melakukan koreksi geometrik terlebih dahulu menentukan tipe proyeksi dan sistem koordinat yang akan digunakan. Penyeragaman data-data kedalam sistem koordinat dan proyeksi yang sama, perlu dilakukan untuk mempermudah proses pengintegrasian data-data selama penelitian.

Dalam hal ini proyeksi yang digunakan adalah Universal Transverse Mercator (UTM) dan sistem koordinat geografi yang menggunakan garis bujur (garis Timur-Barat) dan garis lintang (garis Utara-Selatan). Perbaikan distorsi geometrik dapat dilakukan dengan menggunakan data vektor jawa barat yang telah terkoreksi.

2. Pemotongan Citra (Subset Image)

Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi objek studi. Batas wilayah yang akan dipotong dibuat dengan area of interest (aoi) yaitu pada wilayah yang masuk kedalam kawasan Sub DAS Ciesek.

3. Pengklasifikasian Citra (Image Clasification)

(27)

kemudian membuat aturan penetapan klasifikasi untuk setiap piksel kedalam kelas-kelas yang telah ditentukan. Pemilihan kelompok-kelompok piksel kedalam kelas klasifikasi merupakan proses pemilihan objek (feature selection). Pembagian kelas klasifikasi dibuat berdasarkan kondisi penutupan lahan sebenarnya dilapangan dan dibatasi menurut kebutuhan pengklasifikasian. Kelas klasifikasi tersebut meliputi hutan kerapatan tinggi, hutan kerapatan rendah, kebun campuran, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, semak belukar, bangunan perumahan, lahan kosong, jalan raya dan badan air. Tahapan klasifikasi dilakukan dengan metode on screen yakni dengan mendelineasi pola-pola penggunaan lahan yang ada secara visual menggunakan computer software Arc View 3.3. 4. Membandingkan pola penggunaan lahan yang ada dengan peruntukan

lahan sesuai dengan RTRW Tahun 2000 Kabupaten Bogor.

5. Membuat kelas ketinggian dan kelerengan lahan menggunakan Triangulated Irregular Network (TIN) untuk mengkelaskan faktor biofisik lahan kelerengan dan ketinggian. Faktor biofisik lahan (jarak ke jalan raya, kelas kelerengan dan kelas ketinggian) ini digunakan untuk mengetahui apakah faktor biofisik lahan berpengaruh terhadap besarnya nilai ekonomi pada penggunaan lahan untuk pemukiman.

Penilaian Ekonomi Kawasan Lindung

(28)

Nilai Ekonomi Total

Nilai Bukan Guna Nilai Guna

Persamaan yang dipakai untuk menentukan besarnya Nilai Ekonomi Total hutan sebagai kawasan lindung adalah sebagai berikut :

NET = NG + NBG = (NGL + NGTL) + (NP + NK)

NGTL = Nilai Guna Tidak Langsung

NP = Nilai Pilihan

NK = Nilai Keberadaan

Kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang dapat dilakukan melalui teknik kuantifkasi antara lain :

Nilai Ekonomi

(29)

1. Nilai pasar

Adalah pendekatan langsung untuk merupiahkan manfaat secara langsung komponen hutan alam yang dapat diperdagangkan misalnya kayu gelodongan, kayu bakar dan hijauan pakan ternak.

2. Harga tak langsung

Adalah pendekatan yang digunakan bila mekanisme pasar gagal memberikan manfaat dan fungsi tak langsung dari komponen hutan alam karena terjadi gangguan terhadap pasar komponen hutan alam tersebut atau komponen hutan alam tersebut belum memiliki pasar. Cara ini digunakan untuk menilai manfaat fisik.

3. Contingent Valuation Method (CVM)

Metode ini digunakan untuk menilai manfaat hutan alam dengan cara menanyakan kesediaan membayar (wellingness to pay) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh hutan alam kepada sejumlah responden.

Adapun Teknik Penilaian Ekonomi yang dipakai untuk menentukan besarnya nilai ekonomi total hutan sebagai kawasan lindung di DAS Ciliwung Hulu, Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Teknik Penilaian Ekonomi yang dipakai dalam Penentuan Nilai Ekonomi Total Hutan sebagai Kawasan Lindung

No Nilai Ekonomi Nilai ekonomi yang dihitung Metode Nilai Guna

Penghasil Kayu Bakar Harga Pengganti Nilai Guna

Langsung Jasa Wisata Alam Biaya Perjalanan

Manfaat Air Untuk Rumah

Pencegah Banjir dan Erosi CVM Nilai Bukan Guna

Nilai Pilihan Penyerap Karbon Harga Pasar 2

(30)

Nilai Penghasil Kayu Bakar

Nilai kayu bakar diduga melalui pendekatan biaya ganti, yakni besarnya waktu yang hilang guna mendapatkan kayu bakar dikalikan dengan besarnya upah kerja, hal ini dilakukan mengingat di lokasi penelitian tidak terdapat pasar untuk kayu bakar. Persamaan yang dipakai adalah sebagai berikut :

NKB = WrKB x Uhok x JP

dimana :

NKB = Nilai penghasil kayu bakar (Rp/tahun)

WrKB = Rata-rata waktu yang hilang akibat mengambil kayu bakar

dalam satu tahun (jam/tahun)

Uhok = Besarnya upah hari orang kerja (Rp/jam) JP = Jumlah populasi pengumpul kayu bakar

Nilai Jasa Wisata

Untuk menduga nilai ekonomi wisata digunakan pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost Method). Biaya perjalanan yang digunakan termasuk diantaranya biaya transportasi, biaya konsumsi, biaya penginapan dan biaya untuk membeli tiket masuk kawasan wisata alam. Tahapan penentuan nilai ekonomi wisata alam adalah sebagai berikut :

1. Menduga jumlah pengunjung dari masing-masing daerah asal pengunjung (zone) berdasarkan wawancara dengan responden.

Zi = Pi x ∑Y

dimana :

Pi = Persentase kunjungan dari zone i Zi = Jumlah pengunjung dari zone-i ∑Y = Jumlah seluruh kunjungan

2. Menentukan besarnya biaya perjalanan rata-rata dari jumlah total biaya perjalanan yang dikeluarkan selama melakukan perjalanan atau kegiatan rekreasi.

BPR = TR + D + KR + L Dimana :

(31)

TR = Biaya transportasi (Rp/orang) D = Biaya dokumentasi (Rp/orang)

KR = Biaya konsumsi selama berwisata (Rp/orang) L = Biaya lain-lain (Rp/orang)

3. Menentukan biaya perjalanan rata-rata zone i (X1i)

n

∑ Bpi X1i = j=1

Ni dimana :

X1i = Biaya perjalanan rata-rata daerah asal i Bpi = Biaya perjalanan hasil pengambilan contoh i Ni = Jumlah populasi daerah asal i

4. Menentukan laju kunjungan pengunjung per 1000 orang zona i dalam satu tahun.

LKi = ∑ JPi x 1000 ∑ JPT dimana :

LKi = Laju kunjungan pengunjung zona i JPi = Jumlah pengunjung zona i

JPT = Jumlah populasi pengunjung zona i 5. Menentukan nilai ekonomi wisata

Nilai ekonomi wisata didapatkan dari total kesediaan membayar seluruh pengunjung pada tingkat harga karcis tanda masuk yang berlaku. Total kesediaan membayar pengunjung adalah luas daerah dibawah kurva permintaan jasa wisata pada tingkat harga karcis tanda masuk yang berlaku.

Nilai Sumber Air untuk Kebutuhan Rumah Tangga

Konsumsi air untuk rumah tangga meliputi air untuk kebutuhan minum dan memasak, dan MCK. Penentuan nilai ekonomi air untuk konsumsi kebutuhan rumah tangga dilakukan dengan metode biaya pengadaan yang merupakan modifikasi dari metode biaya perjalanan dan metode kontingensi dengan

(32)

1. Menentukan model (kurva) permintaan dengan meregresikan permintaan (Y) sebagai variabel terikat dengan harga (biaya pengadaan) sebagai variabel bebas dan faktor sosial ekonomi lainnya.

Y = β0 + β1X1 + β2X2 + …. + βnXn, ………...(1) Y = Permintaan atau konsumsi (satuan atau kapita)

X1 = Biaya pengadaan (Rp/satuan) β0 = Intersep

β1,2,3 .. n = Koefisien regresi

X2, 3, ...n = Peubah bebas/faktor sosek

2. Menentukan intersep baru β0’ fungsi permintaan dengan peubah bebas X1 dan faktor lain (X2, X3, … Xn) tetap sehingga persamaan menjadi :

Y = β0’ + β1X1 ………...(2) 3. Menginversi persamaan fungsi asal sehingga X1 menjadi peubah terikat dan Y

menjadi peubah bebas, sehingga persamaan menjadi :

Y - β0’

X1 = ──── ……….(3)

β1

4. Menduga rata-rata WTP dengan cara mengintegralkan persamaan 3 a

U = ∫ ƒ(Y)∂Y 0

5. Menentukan nilai X1 pada saat Y dengan cara mensubstitusikan nilai Y ke persamaan 3

6. Menentukan rata-rata nilai yang dikorbankan oleh konsumen dengan cara mengalikan X1 dengan Y.

7. Menentukan nilai total WTP, nilai yang dikorbankan dan surplus konsumen dengan cara mengalikan nilai tersebut dengan populasi.

Harga air dihitung berdasarkan pada biaya pengadaan, yaitu biaya yang harus dikorbankan untuk mendapatkan dan menggunakan air tersebut. Untuk penentuan nilai ekonomi air rumah tangga, maka dihitung harga (biaya pengadaan) air untuk rumah tangga dengan rumus sebagai berikut :

HARTi = BPA RTi

(33)

dimana :

HARTi = Harga/biaya pengadaan air responden ke i (Rp/ m3)

BPA RTi = Biaya pengadaan air rumah tangga ke i (Rp)

K RTi = Jumlah kebutuhan air rumah tangga ke i (m3)

Nilai ekonomi total air rumah tangga didasarkan pada konsumsi air rumah tangga per kapita sehingga pengganda yang digunakan adalah jumlah penduduk di lokasi penelitian yang air untuk kebutuhan rumah tangganya bersumber dari sungai atau mata air yang ada di Sub DAS Ciesek. Untuk menentukan total nilai penggunaan air digunakan rumus sebagai berikut:

NART = RNART X P

Dimana :

NART = Nilai air rumah tangga (Rp/tahun)

RNART = Rata-rata nilai air rumah tangga (Rp/org/tahun)

P = Jumlah penduduk

Nilai Sumber Air untuk Lahan Basah (Persawahan)

Nilai air untuk sektor pertanian dihitung dengan asumsi bahwa pertanian yang ada sumber airnya berasal dari kawasan lindung (hutan) yang ada di daerah hulu Sub DAS Ciesek. Penentuan nilai ekonomi air untuk sektor pertanian

dilakukan dengan menggunakan CVM. Formula yang dipakai untuk menghitung nilai ekonomi air untuk persawahan adalah sebagai berikut :.

NAS = WTPr x JP

n

WTPr = ∑ WTPi / ni

i=1 dimana :

NAS = Nilai air konsumsi untuk pertanian sawah (Rp/tahun) WTPr = Rata-rata kesediaan membayar (Rp/tahun/orang)

WTPi = Kesediaan membayar responden ke i (Rp/tahun) ni = Jumlah responden

(34)

Nilai Pengendali Banjir dan Erosi

Penentuan nilai ekonomi hutan sebagai pengendali banjir dan erosi dilakukan dengan menggunakan CVM untuk mengetahui kesediaan membayar dari responden untuk menjaga hutan agar bisa menjalankan fungsinya sebagai pengendali banjir dan erosi. Formula yang dipakai adalah sebagai berikut :.

NPBE = WTPr x JP

n

WTPr = ∑ WTPi / ni

i=1 dimana :

NPBE = Nilai pengendali banjir dan erosi (Rp/tahun) WTPr = Rata-rata kesediaan membayar (Rp/tahun/orang)

WTPi = Kesediaan membayar responden ke i (Rp/tahun)

ni = Jumlah responden JP = Jumlah populasi

Nilai Pilihan

Penghitungan nilai ekonomi jasa hutan di Sub DAS Ciesek dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan harga pasar. Harga carbon yang dipakai adalah harga carbon yang berlaku dipasaran internasional pada saat

mekanisme CDM (Clean Development Mechanism) dijalankan. Potensi hutan sebagai penyerap karbon didekati dari hasil penelitian Brown (1997) yang meneliti tentang kandungan karbon hutan tropis di Indonesia. Formula yang dipakai untuk menghitung nilai ekonomi hutan sebagai penyerap karbon adalah :

NCS = JCS x HCS dimana :

NCS = Nilai carbon stock (Rp/tahun) HCS = Harga carbon persatuan (Rp/ton)

JCS = Jumlah potensi carbon stock (ton/ha/tahun)

Nilai Keberadaan Habitat Flora Fauna

(35)

berfungsi sebagai habitat flora dan fauna. Formula yang digunakan adalah

WTPi = Kesediaan membayar responden ke i (Rp/m3) ni = Jumlah responden

JP = Jumlah populasi

Penilaian Ekonomi Kawasan Budidaya

Sedangkan Nilai ekonomi penggunaan lahan untuk kawasan budidaya di DAS Ciliwung Hulu, Sub DAS Ciesek yang di hitung dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Teknik Penilaian Ekonomi yang Dipakai dalam Penentuan Nilai Ekonomi Kawasan Budidaya

No Nilai Ekonomi Penggunaan Lahan Metode 1 Nilai Ekonomi

• Bangunan Pemukiman CVM

Nilai Ekonomi Pertanian

(36)

NEUT = NPUT – BPUT

NPUT = PrUT x HJUT x LAUT

dimana :

NEUT = Nilai ekonomi usaha tani (Rp/tahun) NPUT = Nilai pendapatan usaha tani (Rp/tahun) BPUT = Biaya produksi usaha tani (Rp/tahun) PrUT = Produksi rata-rata usaha tani (ton/ha/tahun)

HJUT = Harga jual usaha tani (Rp/ton) LAUT = Luas areal usaha tani (ha)

Nilai Bangunan Pemukiman

Pendekatan penghitungan besarnya nilai ekonomi bangunan pemukiman didekati dengan metode CVM, yakni dengan cara menanyakan besarnya nilai kesediaan membeli para pemilik rumah yang dijadikan responden. Besarnya nilai ekonomi perumahan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

NPRt = WTPr / t

n

WTPr = ∑ WTPi / ni

i=1 dimana :

NPRt = Nilai Perumahan tipe rumah ke-i (Rp/tahun) WTPr = Rata-rata kesediaan membeli (Rp/orang)

WTPi = Kesediaan membeli responden ke i (Rp) ni = Jumlah responden

t = Usia Rumah

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesediaan membeli rumah di daerah penelitian, maka digunakan analisis regresi berganda dengan metode stepwise (mengeluarkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh). Model regresi yang digunakan sebagai berikut :

(37)

dimana :

Yi = Kesediaan Membeli Rumah (Rp) a,b = konstanta

x1, xn = faktor kualitas lingungan, faktor biofisik lahan, faktor sosial ekonomi,

faktor jenis dan kualitas bangunan.

Adapun faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kesediaan membeli rumah di daerah Sub DAS Ciesek adalah sebagai berikut :

1. Faktor Kualitas lingkungan

Semakin tinggi nilai apresiasi masyarakat terhadap kulaitas lingkungan, maka kesediaan membeli rumah akan semakin tinggi. Faktor kualitas lingkungan diukur dengan cara menanyakan kepada responden berapa besarnya nilai kualitas lingkungan yang meliputi aspek keamanan, kebersihan, keindahan dan aksesibilitas (skor 1-10).

2. Jarak

Semakin jauh dari jalan raya diduga mempengaruhi nilai jual bangunan rumah yang pada akhirnya juga akan memepengaruhi kesediaan membeli responden. Pengukuran jarak dari jalan raya dilakukan di atas citra satelit

ikonos dengan fasilitas tools distance yang ada pada software Arc View 3.3. 3. Ketinggian tempat

Salah satu faktor yang diduga mempengaruhi kesediaan membeli rumah di daerah puncak khususnya Sub DAS Ciesek diantaranya karena faktor ketinggian tempat, dimana semakin tinggi tempat maka faktor kualitas lingkungan seperti panorama alam dan kesejukan semakin baik. Pengukuran ketinggian tempat dilakukan dengan metode Triangulated Irregular Network (TIN) pada software Arc View 3.3.

4. Kelerengan tempat

(38)

5. Pendapatan

Semakin tinggi tingkat pendapatan responden juga diduga mempengaruhi kesediaan membeli rumah. Pengukuran tingkat pendapatan responden dilakukan dengan cara wawancara.

6. Kondisi fisik bangunan rumah.

Faktor kondisi fisik bangunan juga diduga mempengaruhi kesediaan membeli rumah, dimana semakin tinggi kualitas kelas bangunan rumah maka semakin tinggi kesediaan membeli bangunan rumah tersebut. Kondisi fisik bangunan rumah di daerah penelitian sangat beragam, pengklasifikasian kelas rumah berdasarkan kondisi fisik bangunan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Klasifikasi Kelas Rumah berdasarkan Kondisi Fisik Bangunan

No Parameter Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3

1 Luas lantai < 50 m2 50 – 120 m2 > 100 m2

2 Jenis lantai Tanah/tegel Tegel/Keramik Keramik/marmer

3 Jens atap Ijuk/ 5 Penerangan Minyak tanah/

listrik (<450 Watt)

MCK Sendiri MCK Sendiri Sumber : survey sosial ekonomi nasional tahun 2000

7. Tipe atau jenis rumah

(39)

Nilai Kompensasi atas Perubahan Pola Penggunaan Lahan

(40)

(41)

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Kondisi Fisik Wilayah Letak Geografi dan Administratif

Sub DAS Ciesek merupakan bagian dari wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu yang terletak pada koordinat geografis 106o48’45” sampai 107o00’30” sampai 107o00’30” Bujur Timur dan 6o36’30” lintang selatan. Secara administratif Sub DAS Ciesek terletak di dua buah Kecamatan yakni Kecamatan Megamendung (Desa Cipayung, Desa Cipayung Girang, dan Desa Megamendung) dan Kecamatan Cisarua (Desa Cilember) yang merupakan bagian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Bogor, Propinsi Jawa Barat.

Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, wilayah studi termasuk dalam tipe iklim Af yakni iklim tropis lembab (tanpa bulan kering nyata) dengan curah hujan rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 3636 mm/tahun dengan rata-rata hujan bulanan 303 mm. Sebaran waktu (time distribution) hujan di lokasi penelitian yang diukur dari Gunung Mas, Citeko, Ciawi dan Katulampa menunjukkan bahwa batas musim kemarau dengan musim hujan tidak jelas, kecuali daerah Citeko di mana musim kemarau terjadi pada bulan Juni-September dan musim hujan pada bulan Oktober-Mei (Tim IPB, 2002).

Tanah dan Geologi

(42)

terhadap erosi, serta pH tanah yang agak netral dan kandungan bahan organik yang rendah atau sedang.

Kondisi Sosial Ekonomi Kependudukan

Secara umum jumlah laki-laki dan perempuan relative seimbang. Hal ini menunjukan menunjukan bahwa peluang kerja untuk laki-laki maupun perempuan relative sama sehingga mata pencaharian penduduk di Sub DAS Ciesek menjadi sangat beragam. Mata pencaharian penduduk terbesar adalah petani diikuti oleh buruh tani, pedagang, dan buruh industri kecil. Mata pencaharian sebagian kecil penduduk lainnya adalah pegawai negeri sipil (PNS) /TNI, tukang kayu dan bangunan, sopir angkutan, peternak, dan lain-lain. Oleh karena itu, agar dominasi mata pencaharian di bidang pertanian ini tidak mengganggu kelestarian alam dan agar produktivitas penduduk dan lahan tetep terjaga, diperlukan adanya upaya-upaya rehabilitasi dan konservasi tanah secara baik dan berkesinambungan.

Pendidikan

(43)

Sarana dan Prasarana Perhubungan serta Komunikasi

Sarana perhubungan dan komunikasi merupakan kebutuhan pokok suatu daerah dan merupakan suatu tanda maju atau tidaknya suatu daerah. Sarana dan prasarana perhubungan di wilayah Sub Sub DAS Ciesek adalah motor, angkot, jalan darat dimana sebagian besarsudah merupakan jalan aspal. Sedangkan sarana komunikasi yang digunakan oleh masyarakat adalah telepon,telivisi,dan radio

Sarana Perekonomian.

(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peruntukan Kawasan Berdasarkan RTRW

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2000,

peruntukan lahan di Kabupaten Bogor dibagi kedalam dua kategori peruntukan

yakni peruntukan untuk kawasan lindung dan peruntukan untuk kawasan

budidaya.

Kawasan Lindung

Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam,

sumber daya buatan dan nilai sejarah budaya bangsa guna kepentingan

pembanguna n berkelanjutan (Keppres No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan

Kawasan Lindung). Dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kawasan Bopunjur,

Pemerintah Kabupaten Bogor (2000) telah dibuat ketentuan-ketentuan teknis

kawasan lindung yang berpedoman kepada: Keppres No.32 tahun 1990 tentang

Pengelolaan Kawasan Lindung dan SK Gubernur Jawa Barat No.

413.21/SK.222-HUK/91 tentang Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Penataan Ruang di Kawasan

Puncak.

Cakupan kawasan lindung antara lain (Bapped Kab. Bogor, 2000):

1. Kawasan hutan lindung

2. Kawasan lindung di luar kawasan hutan

3. Kawasan yang merupakan resapan air

4. Kawasan suaka alam/cagar alam/suaka marga satwa, kawasan pelestarian

alam, taman nasional/taman hutan raya/taman wisata alam

5. Jalur pengamanan aliran sungai (sempadan sunga i)

6. Kawasan sekitar mata air, danau/waduk

Karakteristik kawasan lindung adalah (Bappeda Kab. Bogor, 2000) :

1. Kemiringan lereng diatas 40 %

2. Untuk jenis tanah peka terhadap erosi, yaitu jenis Regosol, Litosol, Orgosol

dan Renzina, kemiringan lereng di atas 15 %

(45)

4. Merupakan kawasan hutan yang kompak atau hutan produksi dengan luas

minimum 2500 m2 atau yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan

Ketentuan teknis untuk penataan kawasan yang berfungsi lindung adalah

sebagai berikut (Bappeda Kab. Bogor, 2000):

1. Fungsi hutan lindung sebagai reservoir alami perlu tetap dipertahankan

keberadaannya, bersifat mutlak, tidak boleh dikonversikan atau diubah untuk

kepentingan lain. Fungsi hidrologis dan ekologis hutan lindung perlu

dipertahankan kelestariannya

2. Dalam kawasan lindung tidak diperkenankan adanya budidaya, termasuk

mendirikan bangunan, kecuali bangunan untuk menunjang fungsi hutan

lindung

3. Pembangunan jaringan transmisi dan infrastruktur yang menunjang kegiatan

pariwisata seperti pos pengamat kebakaran, pos jaga, papan petunjuk, patok

triangulasi, tugu, tiang listrik, menara TV, jalan setapak, dapat dibangun di

kawasan lindung setelah mendapat persetujuan dari Menteri Kehutanan

4. Untuk pengamatan wilayah aliran sunga i dan menjaga kelestarian mata air,

maka kawasan tersebut harus ditanami tanaman keras dengan ketentuan :

a. Perlindungan tebing-tebing atau bantaran sungai yang potensial terhadap

bahaya erosi dan longsor.

• Untuk lebar sungai kurang dari 2.5 m, areal penanaman berjarak minimal 10 m dari bibir sungai

• Untuk sungai dengan lebar 2.5 – 10 m, areal penanaman berjarak minimal 50 m dari bibir sungai

• Untuk lebar sungai >10 m, areal penanaman berjarak minimum 100 m dari bibir sungai

b. Untuk perlindungan sumber mata air, areal tersebut harus ditanami dengan

tanaman keras, minimum sampai radius 50 m dan penutupan dengan

vegetasi tertentu pada ruas-ruas tertentu disekeliling mata air

c. Dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius 200 m dari mata air,

(46)

Kawasan Budidaya

Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber

daya manusia dan sumber daya buatan (UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan

Ruang). Dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kawasan Bopunjur, Pemerintah

Kabupaten Bogor (2000) yang termasuk kawasan budidaya adalah: kawasan

budidaya pertanian dan kawasan permukiman. Dalam Keppres No.114 tahun 1999

tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dijelaskan lebih detail

tentang kedua kawasan tersebut, yaitu sebagai berikut :

1. Kawasan budidaya pertanian adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi

utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,

terutama pertanian. Kawasan budidaya dibagi menjadi :

a. Kawasan budidaya pertanian lahan basah adalah kawasan budidaya

pertanian yang memiliki sistem pengairan tetap yang memberikan air

secara terus menerus sepanjang tahun, musiman atau bergilir dengan

tanama n utama padi.

b. Kawasan budidaya pertanian tanaman lahan kering adalah areal lahan

kering yang keadaan dan sifat fisiknya sesuai bagi tanaman pangan,

hortikultura, perkebunan dan peternakan. Kawasan ini berupa areal

pertanian dengan sistem pengelolaan lahan kering dengan kegiatan utama

pertanian tanaman pangan dan dapat dikombinasikan dengan perkebunan

tanaman hortikultura dan atau usaha tani peternakan.

c. Kawasan budidaya pertanian tanaman tahunan/perkebunan adalah

kawasan budidaya pertanian dengan tanaman tahunan/perkebunan sebagai

tanaman utama yang dikelola dengan masukan teknologi sederhana

sampai tinggi, dengan memperhatikan asas konservasi tanah dan air.

Kawasan ini bisa berupa perkebunan besar, perkebunan rakyat, maupun

hutan produksi.

2. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan

lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian dan tempat kegiatan

(47)

Gambar 4. Peta Arahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000

9267000

711000 714000 717000

708000 9264000

9267000

9264000

(48)

41

Hasil Pengolahan Citra Satelit Ikonos

Menur ut Lillesand & Kiefer (1990), penutupan lahan merupakan istilah yang

berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Ditambahkan lagi

oleh Burley (1961) dalam Lo (1995) bahwa penutupan lahan menggambarkan

konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut

seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh.

Citra satelit Ikonos dapat digunakan untuk mendeteksi pola penggunaan lahan

dengan baik dikarenakan resolusinya yang tinggi sehingga objek pada permukaan

bumi lebih mudah untuk dikenali. Berkaitan dengan pemanfaatan lahan, di Sub DAS

Ciesek terdapat berbagai pola penggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat.

Berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003, pada penelitian ini pola penutupan lahan

secara garis besar terbagi dalam 9 tipe penutupan lahan antara lain :

1. Hutan

Fungsi hutan yang ada di hulu Sub DAS Ciesek mempunyai fungsi utama

sebagai kawasan lindung. Vegetasi yang mendominasi kawasan hutan lindung

merupakan hasil suksesi alami, dengan kerapatan yang makin lama makin

berkurang dan penyebaran vegetasi tidak merata sehingga terdapat kawasan

hutan yang tidak memiliki penutupan vegetasi (terbuka) sehingga perlu

diupayakan kegiatan rehabilitasi dalam bentuk reboisasi. Dalam penelitian ini,

hutan diklasifikasikan menjadi dua yakni hutan berkerapatan vegetasi tinggi dan

hutan berkerapatan vegetasi rendah.

2. Pertanian Lahan Kering

Umumnya menempati daerah yang agak tinggi dan sulit dijangkau pengairan.

Tanaman yang umum diusahakan adalah: pisang, singkong, jagung, ubi jalar,

kacang tanah, kedelai, atau tanaman sayuran (kubis, wortel, kentang, bawang

daun, tomat dan cabe). Lahan biasanya diolah petani dua kali dalam setahun,

setelah itu diberakan (antara Juni-Agustus).

3. Pertanian Lahan Basah (Sawah)

Tipe penggunaan lahan ini penyebarannya banyak bercampur dengan kawasan

(49)

pengairan teknis dan sederhana. Disamping tanaman padi sebagai komoditi

utama, sebagian masyarakat juga menanami sebagian lahan sawah mereka dengan

beberapa komoditi sayuran seperti ketimun, ubi jalar, kacang tanah, kacang

panjang.

4. Kebun Campuran

Tipe penggunaan lahan ini merupakan kawasan budidaya pertanian yang

dilakukan oleh masyarakat dimana komoditi pertanian yang di tanam seperti

sayuran dan palawija dikombinasikan dengan tanaman keras seperti buah-buahan

dan tanaman keras. Di dalamnya termasuk tanaman tahunan, pekarangan,

taman-taman dalam penelitian ini juga di kelompokan ke dalam kebun campuran.

5. Semak belukar

Tipe penutupan lahan ini merupakan kawasan kehutanan yang ditumbuhi

rumput-rumputan, alang-alang dan tanaman paku-pakuan.

6. Pemukiman

Tipe penggunaan lahan ini termasuk juga kawasan industri, perdagangan dan jasa.

Umumnya pemukiman menyebar dikawasan budidaya, namun ada sebagian kecil

yang berada di kawasan lindung. Dalam penelitian ini, pemukiman

diidentifikasikan dalam bentuk bangunan rumah.

7. Tanah Kosong

Tanah kosong merupakan kawasan terbuka tanpa penutup vegetasi. Letak tanah

kosong menyebar baik di kawasan budidaya maupun kawasan lindung.

8. Badan air

Badan air dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yakni sungai dan badan air

seperti kolam ikan, empang. kolam renang.

9. Jalan raya utama

Jalan raya utama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jalan raya Bogor

(50)

43

Tabel 5 berikut ini menunjukan tampilan image berbagai pola penutupan

lahan berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003 yang ada di Sub DAS Ciesek.

Tabel 5. Pengklasifikasian Berbagai Penutupan Lahan Menggunakan

Metode On Screen di Sub DAS Ciesek Berdasarkan Citra Satelit

Ikonos Tahun 2003

No

Tampilan Image pada Citra Satelit Ikonos Tahun 2003

Hasil Intepretasi

1 Hutan Kerapatan Tinggi

2 Hutan Kerapatan Rendah

3 Semak Belukar

4 Pertanian Lahan Basah

(51)

No

Tampilan Image pada Citra Satelit Ikonos Tahun 2003

Hasil Intepretasi

6 Kebun Campuran

7 Bangunan Pemukiman

8 Sungai

9 Jalan Raya

10 Tanah Kosong

Sumber analisis data primer, 2005

Berdasarkan hasil intepretasi citra satelit Ikonos tahun 2003 yang telah

dilakukan, didapatkan pola penutupan lahan masyarakat yang tinggal di Sub DAS

(52)

45 Tabel 6. Penutupan Lahan Berdasarkan Ikonos Tahun 2003 dan Peruntukan

Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW Tahun 2000 di Sub DAS Ciesek

(53)

Dari Tabel 6 tersebut di atas dapat dilihat peruntukan lahan untuk kawasan

lindung (hutan lindung) sesuai dengan RTRW Kabupaten Bo gor tahun 2000 sebesar

1.041,10 ha atau 39,24 % dari luas total Sub DAS Cie sek. Tetapi dari 39,24 % luas

total Sub DAS Ciesek yang diperuntukan sebagai kawasan lindung kini hanya tinggal

24,68 % dari luas total Sub DAS Ciesek yang masih menyisakan kawasan bervegetasi

hutan. Dari 1.041,10 ha areal yang diperuntukan sebagai kawasan hutan lindung, saat

ini tinggal 654,73 ha atau 62,89 % kawasan yang masih berhutan, sedangkan sisanya

seluas 30,53 % telah berubah fungsi menjadi penggunaan lainnya. Diantara

perubahan pola penutupan lahan itu antara lain menjadi semak belukar 200,42 ha

(19,25 %), pertanian lahan kering 144,69 ha (13,90 %), kebun campuran 35,72 ha

(3,43 %), tanah kosong 2,79 ha (0,27 %), dan bangunan rumah 2,06 ha (0,20 %).

Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2000, arahan penggunaan lahan

untuk kawasan pemukiman di Sub DAS Ciesek mencakup areal wilayah seluas

417,15 ha atau 15,72 % dari luas total kawasan Sub DAS Ciesek. Luas total

bangunan rumah di Sub DAS Ciesek berdasarkan hasil intepretasi citra satelit Ikonos

tahun 2003 seluas 217,17 ha atau 8,14 % dari luas total kawasan Sub DAS Ciesek.

Letak bangunan rumah ini menyebar di kawasan pemukiman (pedesaan) seluas

127,49 ha, di kawasan budidaya pertanian seluas 87,62 ha dan di kawasan lindung

seluas 2,06 ha. Dari 417,15 ha kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan

pemukiman dalam RTRW kabupaten Bogor, berdasarkan hasil intrepretasi citra

satelit Ikonos tahun 2003 luas bangunan rumah yang ada di dalam kawasan

pemukiman (pedesaan) hanya 127,49 ha atau 30,56 %. Hal ini wajar, mengingat

arahan penggunaan lahan kawasan pemukiman (pedesaan) berdasarkan RTRW

termasuk juga di dalamnya lahan pekarangan, sementara intrepretasi berdasarkan

citra satelit Ikonos hanya luas bangunan rumahnya saja.

Arahan penggunaan lahan untuk kawasan budidaya pertanian berdasarkan

RTRW terdiri dari areal pertanian lahan kering seluas 539,87 ha atau 20,35 %,

pertanian lahan basah seluas 127,75 ha atau 4,81 %, kawasan perkebunan seluas

261,84 ha atau 9,87 % dan kawasan tanaman tahunan seluas 265,57 ha atau 10,01 %

(54)

47 untuk kawasan budidaya pertanian, penggunaan lahan yang ada sekarang juga banyak

yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal ini bisa dilihat pada pola penggunaan

lahan berdasarkan citra satelit Ikonos dimana penggunaan lahan yang sesuai untuk

masing-masing peruntukan lahan kawasan budidaya pertanian adalah ; untuk

pertanian lahan kering hanya 49,99 %, untuk pertanian lahan basah hanya 44,33 %,

untuk tanaman tahunan hanya 26,93 % saja yang sesuai, sisanya menyebar pada

peruntukan penggunaan lainnya. Sedangkan peruntukan lahan untuk perkebunan

(kebun teh), berdasarkan survey lapangan di Sub DAS Ciesek tidak ditemukan

adanya kebun teh, tetapi pada peruntukan lahan ini didominasi oleh penggunaan

lahan pertanian lahan kering yakni sebesar 31,60 %.

Total luas penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering di Sub DAS Ciesek

mencapai 657,04 ha atau 24,76 % lebih besar jika dibandingkan peruntukannya dalam

RTRW yang cuma 539,87 ha. Total penggunaan lahan untuk pertanian lahan basah

mencapai 300,97 ha atau 11,34 % lebih besar jika dibandingkan peruntukannya dalam

RTRW yang cuma seluas 127,75 ha. Demikian juga dengan total penggunaan lahan

untuk kebun campuran yang mencapai 481,94 ha atau 18,16 % lebih besar jika

dibandingkan peruntukannya dalam RTRW dimana peruntukan untuk tanaman

tahunan hanya seluas 265,57 ha saja.

Lebih besarnya luas kawasan budidaya pertanian saat ini dibandingkan

dengan peruntukannya menyebabkan luas kawasan lindung di bagian hulu Sub DAS

Ciesek menjadi semakin berkurang. Luas kawasan lindung juga mengalami

penurunan luas akibat maraknya pembangunan villa di daerah kawasan lindung.

Dengan alasan kondisi lingkungan yang lebih baik dan pemandangan yang lebih

indah, menjadikan kawasan hutan sebagai kawasan lindung banyak digunakan

sebagai kawasan pembangunan villa- villa yang banyak terdapat di Sub DAS Ciesek.

Pembangunan kawasan pemukiman di Sub DAS Ciesek ini berkembang dengan pesat

terutama bangunan villa, sehingga seringkali tidak sesuai dengan arahan penggunaan

lahan yang telah disusun dalam RTRW Kabupaten Bogor. Hal ini tentunya dapat

menimbulkan permasalahan lingkungan bagi masyarakat terutama yang tinggal di

(55)

Gambar 5. Peta Penutupan Lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003

708000 711000 714000 717000

9264000

9267000 9267000

9264000 717000

714000 711000

(56)

49

Nilai Ekonomi Kawasan Lindung

Penilaian manfaat ekonomi kawasan lindung (hutan) dilakukan dengan

menghitung nilai ekonomi total (Total Economic Value) yang terdiri dari :

1. Nilai Guna

Nilai Guna Langsung

Nilai Ekonomi Kayu Bakar

Pemanfaatan kayu bakar masih dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di

sekitar hutan, terutama oleh masyarakat yang tinggal di Kampung Pasaban, Kampung

Citamiyang, Kampung Jawa, Kampung Sirimpak (Desa Megamendung) dan

Kampung Bungur (Desa Cilember). Masyarakat menggunakan kayu bakar sebagai

bahan bakar pengganti minyak tanah untuk memasak sehari- hari.

Penilaian ekonomi manfaat hutan sebagai penghasil kayu bakar per tahun

dilakukan dengan metode biaya pengganti yakni dengan cara menghitung besarnya

waktu yang dikorbankan dalam satu tahun untuk mengambil kayu bakar dengan

besarnya upah kerja yang seharusnya mereka terima. Pengambilan sampel responden

dilakukan dengan mewancarai 17 orang responden yang terdiri dari 8 orang dari

kampung Pasaban dan 6 orang dari Kampung Jawa (Desa Megamendung) serta 3

orang dari kampung Bungur (Desa Cilember). Adapun populasi pengumpul kayu

bakar yang ada di Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 7. Sementara

karakteristik sosial ekonomi pengumpul kayu bakar responden dapat dilihat pada

Tabel 8.

Tabel 7. Populasi Pengumpul Kayu Bakar di Sub DAS Ciesek

Kampung Desa Jumlah KK Jumlah Pengumpul

Kayu Bakar (KK)

Pasaban Megamendung 59 59

Citamiyang Megamendung 35 28

Sirimpak Megamendung 36 18

Kampung Jawa Megamendung 28 14

Kampung Bungur cilember 38 30

Total 196 150

(57)

Tabel 8. Karakteristik Sosial Ekonomi Pengumpul Kayu Bakar

Uraian Satuan Ra-rata

Konsumsi kayu bakar ikat/orang/th 93,18

Lamanya Waktu Pengambilan KB jam/th 214,59

Jumlah Anggota KK orang 4,41

Jarak Ke Hutan km 2,64

Frekuensi Pengambilan KB per minggu 1,06

Pendapatan Rp/bln 364.706

Tingkat Pendidikan Skoring SMP*

Sumber : olahan data primer, 2005 * modus

Hasil penelitian menunjukan rata-rata pengambilan kayu bakar yang

dilakukan oleh masyarakat adalah satu kali dalam seminggu dengan korbanan waktu

yang diperlukan 4,3 jam sekali pengambilan. Adapun besarnya rata-rata upah kerja

masyarakat di daerah ini adalah Rp.15.000/hari untuk 8 jam kerja atau Rp.1.875/jam.

Besarnya nilai ekonomi hutan sebagai penghasil kayu bakar bagi masyarakat sekitar

hutan adalah Rp.60.352.941,18/tahun atau Rp.92.179,75/ha/tahun, perhitungan

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Nilai Ekonomi Wisata

Kawasan hutan lindung yang berada di hulu Sub DAS Ciesek selain

mempunyai peran sebagai kawasan lindung juga mempunyai keindahan alam, salah

satunya dengan adanya lokasi wisata alam Curug Panjang. Perum Perhutani KPH

Bogor bersama masyarakat Desa Megamendung telah mengelola kawasan wisata

alam dalam bentuk pengelolaan kawasan wisata Curug Panjang. Kawasan wisata ini

mulai dikelola sejak tahun 2000 oleh Perum Perhutani. Keindahan alam terutama

jurug (air terjun) menjadi daya tarik utama kawasan wisata ini. Dengan sistem

pengelolaan yang terus diperbaiki oleh Perum Perhutani bersama masyarakat sekitar,

membuat tingkat kunjungan ke kawasan wisata ini dari tahun ke tahun semakin

meningkat. Pada hari sabtu dan minggu tempat wisata alam ini ramai dikunjungi oleh

Gambar

Tabel 4.  Klasifikasi Kelas Rumah berdasarkan Kondisi Fisik Bangunan
Gambar 3.  Alur Penelitian Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003
Gambar 4.   Peta Arahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000
Tabel 5.   Pengklasifikasian Berbagai Penutupan Lahan Menggunakan Metode On Screen di Sub DAS Ciesek Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melihat dari penelitian yang dilakukan secara keseluruhan penggunaan anggaran keuangan tahun 2010 s.d 2012 pada kantor Camat Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai

Perbedaan yang penelitian ini dengan yang lain selain pada unsur dan lokasi penelitian adalah ada para analisis risiko paparan terhadap anak sekolah yang juga

Dari Grafik pengujian permeabilitas laboratorium untuk campuran 10% abu sekam padi, didapatkan hasil kesimpulkan yang sama bahwa semakin lama waktu pengujian nilai

Dalam hal ini, diukur nilai Entropy dengan clustering K-Means terhadap dataset 120 dokumen yang telah dilakukan Feature Selection dengan metode Document Frequency dan

Menurut penelitian yang dilakukan Hermawan (2012), tentang analisis faktor- faktor yang memengaruhi employee engagement di badan pengawas obat dan makanan, di penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut diperlukan suatu penelitian untuk menghitung VE pada Proyek Pembangunan Pembangunan Rusunawa Prototype 5 Lantai Type 36 ditinjau

Perencanaan yang disusun di BWP Kepanjen sudah disahkan dalam bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang

Tujuan dari karya ilmiah ini adalah menganalisis sebuah model dinamik pertumbuhan ekonomi waktu diskret, dengan variabel berupa kebijakan fiskal dan moneter... II