• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN SOSIAL ANTARA SISWA KMS DAN NON KMS DI SMPN 2 YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBEDAAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN SOSIAL ANTARA SISWA KMS DAN NON KMS DI SMPN 2 YOGYAKARTA."

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERBEDAAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN SOSIAL ANTARA SISWA KMS DAN NON KMS DI SMPN 2 YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: Alwan Saifudin NIM 11104244059

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)

iii

(4)

iv

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “PERBEDAAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN

SOSIAL ANTARA SISWA KMS DAN NON KMS DI SMPN 2

YOGYAKARTA” yang disusun oleh Alwan Saifudin, NIM 11104244059 ini

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 20 Januari 2016 dan dinyatakan lulus.

DEWAN PENGUJI

Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal

Dr. Muh. Farozin, M. Pd. Ketua Penguji ……… ……….

Agus Triyanto, M. Pd. Sekretaris Penguji ……… ……….

Dra. Purwandari, M. Si. Penguji Utama ……… ……….

Yogyakarta, ………..

Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Dekan,

Dr. Haryanto, M. Pd.

(5)

v MOTTO

“Sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan,

maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) lain”.

(Terjemahan, QS. Al-Insyiroh: 6-7)

“Ketergesaan dalam setiap usaha membawa kegagalan”

Herodotus

“Keraguan menghentikan lebih banyak mimpi daripada kegagalan itu sendiri”

Suzy Kassem

“Hidup teramat singkat dan sungguh amat disayangkan, jika keberadaan kita di dunia hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh segelintir orang.”

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Saya persembahkan karya ini untuk:

1. Ibu Muslikhah dan Bapak Misran, Mama’ dan Bapakku tercinta atas

segala kasih sayang, cinta, pengorbanan dan do’a yang selalu dipanjatkan,

semoga Allah senantiasa selalu memberikan rahmat serta kebahagiaan untuk keluarga ini.

2. Adik- adikku tersayang dan keluarga besar, yang selalu memberikan semangat dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Dita Juwita Zuraida beserta keluarga, yang telah banyak membantu dan mendampingi penulis pada sebagian besar kehidupan selama menuntut ilmu di kampus.

(7)

vii

PERBEDAAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN SOSIAL ANTARA SISWA KMS DAN NON KMS DI SMPN 2 YOGYAKARTA

Oleh Alwan Saifudin

11104244059

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan penyesuaian sosial siswa KMS dan Non-KMS di SMP Negeri 2 Yogyakarta.

Pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah kuantitatif dengan jenis komparasi. Subjek penelitian ini yakni siswa kelas VII, VIII dan IX dengan 96 siswa KMS dan 96 siswa Non KMS. Teknik sampling yang digunakan adalah proporsionate stratified random sampling. Alat pengumpulan data menggunakan skala kemampuan penyesuaian sosial. Uji validitas instrumen menggunakan validitas logis yang melibatkan expert judgement dan uji reliabilitas instrumen menggunakan formula Alpha Cronbach dengan nilai 0,883. Analisis data menggunakan teknik analisis uji-T.

Hasil penelitian menunjukkan angka signifikansi 0,015 yang berarti terdapat perbedaan kemampuan penyesuaian sosial di sekolah antara siswa KMS dan Non-KMS, dimana siswa Non-KMS mempunyai tingkat kemampuan penyesuaian sosial yang lebih tinggi daripada siswa KMS ditunjukkan dengan nilai rata- rata (mean) yang lebih besar dari nilai rata-rata siswa KMS. Hal ini dipengaruhi faktor internal dan eksternal siswa KMS sendiri. Faktor internal meliputi aspek fisik, kognitif dan afektif siswa KMS yang cenderung minder, pemalu, kurang percaya diri dan faktor eksternal seperti anggapan negatif lingkungan terhadap siswa KMS, dan status sosial ekonomi keluarga siswa KMS yang kurang mampu untuk memberikan dukungan baik berupa kebutuhan finansial maupun sosial.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala yang telah diberikan-Nya, atas segala yang telah dikehendaki-Nya. Hanya dengan izin Tuhan, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Skripsi yang berjudul

“Perbedaan Kemampuan Penyesuaian Sosial antara Siswa KMS dan Non KMS di SMPN 2 Yogyakarta” ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan, pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Selama proses penulisan skripsi ini, penulis mengalami beberapa hambatan maupun kesulitan yang terkadang membuat penulis berada di titik terlemah dirinya. Namun adanya doa, dorongan, dan bantuan dari berbagai pihak menjadikan penulis bersemangat untuk melanjutkan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak, maka penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa untuk belajar dan menyelesaikan studi di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan ijin penelitian pada penulis.

3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah menyetujui permasalahan penelitian ini untuk di kaji penulis. 4. Dr. Muh. Farozin, M.Pd., selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi

ini.

5. Bapak Sigit Sanyata, M.Pd., selaku expert instrumen pada skripsi ini. 6. Ibu Dr. Budi Astuti, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik penulis. 7. Bapak Dr. Suwarjo, M.Si. dan Nanang Erma Gunawan, M.Pd. tempat peneliti

(9)

ix

8. Seluruh dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya selama masa studi penulis.

9. Bapak Misran dan Ibu Muslikhah, selaku orang tua penulis, Nur Khasanah, Mukhsin, Muhtar dan seluruh keluarga besar di rumah, serta Dita Juwita Zuraida dan keluarga, yang menjadi alasan terbesar bagi penulis untuk memberikan yang terbaik dan beragam kebahagiaan.

10.Ibu Dra. Pritadewi Harsiwiyanti selaku guru BK SMPN 2 Yogyakarta, dan siswa SMPN 2 Yogyakarta, yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan proses penelitian pada skripsi ini.

11.Alfi Nurrochmah, Roudhlotul Jannah, Niken Cahyaningsih, Shinta Larasati, Nandar Pamungkas, Roni Budi Jatmiko, Nilam Triarmiyati, , Feni Brilian, Briliyan SA, Arif Setyadi, Saesti Winahyu P, Habib NR, Dita Yuliantika,

Imam Ferly, mas Agil, mbak Ami, mas Yocta NR, mas Yuli Safi’i,

teman-teman UKMF Reality, HIMA PPB UNY, UKM SAFEL, dan seluruh rekan- rekan seperjuangan, terutama BK B 2011 yang telah berkenan bertukar pikiran, memberikan banyak pengalaman dan memberikan warna baru bagi kehidupan penulis.

12.Seluruh teman-teman alumni SDN 1 Balingasal, MTsN Purworejo, dan SMAN 1 Prembun yang telah memberikan separuh cerita kehidupan penulis, sehingga penulis menjadi seperti sekarang.

Yogyakarta, Januari 2016 Penulis,

(10)

x DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN SURAT PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 15

C. Batasan Masalah ... 16

D. Rumusan Masalah ... 16

E. Tujuan Penelitian ... 16

F. Manfaat Penelitian ... 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian tentang Kemampuan Penyesuaian Sosial ... 18

1. Pengertian Kemampuan Penyesuaian Sosial ... 18

2. Macam-Macam Kemampuan Penyesuaian ... 20

3. Faktor-Faktor Kemampuan Penyesuaian Sosial ... 25

4. Aspek-aspek Kemampuan Penyesuaian Sosial ... 29

(11)

xi

B. Kajian tentang Remaja ... 36

1. Pengertian Remaja ... 36

2. Karakteristik Perkembangan Remaja ... 38

3. Tugas Perkembangan Remaja ... 46

4. Aspek Perkembangan Emosi dan Sosial Remaja ... 48

C. Kajian tentang Siswa KMS ... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi dan Hasil Penelitian ... 87

1. Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian ... 87

(12)

xii

3. Deskripsi Data Kemampuan Penyesuaian Sosial di Sekolah ... 89

a. Kemampuan Penyesuaian Sosial di Sekolah Siswa KMS ... 89

b. Kemampuan Penyesuaian Sosial di Sekolah Siswa Non-KMS ... 91

c. Kemampuan Penyesuaian Sosial di Sekolah Siswa KMS dan Non-KMS pada Setiap Aspek ... 93

B. Pengujian Prasyarat Analisis ... 99

1. Uji Normalitas ... 99

2. Uji Homogenitas ... 100

C. Pengujian Hipotesis ... 100

D. Pembahasan ... 102

E. Keterbatasan Penelitian ... 109

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 111

B. Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 114

(13)

xiii

Tabel 6. Deskripsi Data Kemampuan Penyesuaian Sosial di Sekolah Siswa KMS Tabel ... 89

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Kemampuan Penyesuaian Sosial di Sekolah Siswa KMS ... 90

Tabel 8. Deskripsi Data Kemampuan Penyesuaian Sosial di Sekolah Siswa Non-KMS ... 91

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Kemampuan Penyesuaian Sosial di Sekolah Siswa Non-KMS ... 92

Tabel 10. Perbedaan Siswa KMS dan Non-KMS pada Aspek Kemampuan Siswa dalam Menjalin Persahabatan ... 93

Tabel 11. Perbedaan Siswa KMS dan Non-KMS pada Aspek Kemampuan Siswa Bersikap Hormat terhadap Kepala Sekolah, Guru, dan Staff Sekolah Lainnya ... 95

Tabel 12. Perbedaan Siswa KMS dan Non-KMS pada Aspek Partisipasi Aktif Siswa dalam Mengikuti Kegiatan Sekolah ... 96

Tabel 13. Perbedaan Siswa KMS dan Non-KMS pada Aspek Bersikap Respek dan Mau Menerima Peraturan Sekolah ... 97

Tabel 14. Distribusi Frekuensi Perbedaan Kemampuan penyesuaian sosial di sekolah antara Siswa KMS dan Non-KMS di Sekolah ... 98

Tabel 15. HasilUji Normalitas ... 99

Tabel 16. Hasil Uji Homogenitas ... 100

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1. Grafik Kemampuan Penyesuaian Sosial Siswa KMS di

Sekolah ... 90 Gambar 2. Grafik Kemampuan Penyesuaian Sosial Siswa Non-KMS di

Sekolah ... 92 Gambar 3. Grafik Perbedaan Kemampuan Penyesuaian Sosial pada

Aspek Kemampuan Siswa dalam Menjalin Persahabatan

dengan Teman Sekolah ... 94 Gambar 4. Grafik Perbedaan Kemampuan Penyesuaian Sosial pada

Aspek Kemampuan Siswa Bersikap Hormat terhadap Kepala

Sekolah, Guru, dan Staff Sekolah Lainnya ... 95 Gambar 5. Grafik Perbedaan Kemampuan Penyesuaian Sosial pada

Aspek Partisipasi Aktif Siswa dalam Mengikuti Kegiatan

Sekolah ... 96 Gambar 6. Grafik Perbedaan Kemampuan Penyesuaian Sosial pada

Aspek Kemampuan Siswa Bersikap Respek dan Mau

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1. Skala Kemampuan Penyesuaian Sosial Siswa ... 120

Lampiran 2. Uji Validitas (Expert Judgement ) ... 124

Lampiran 3. Uji Reliabilitas ... 129

Lampiran 4. Rekapitulasi Data Skor Kemampuan Penyesuaian Sosial Siswa KMS di Sekolah ... 130

Lampiran 5. Rekapitulasi Data Skor Kemampuan Penyesuaian Sosial Siswa Non-KMS di Sekolah ... 134

Lampiran 6. Data Perhitungan Kategorisasi ... 138

Lampiran 7. Hasil Uji Prasyarat ... 141

Lampiran 8. Hasil Uji Hipotesis ... 142

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja adalah masa krisis identitas bagi kebanyakan anak remaja. Remaja sedang mencari-cari figur panutan, namun figur itu tidak ada didekatnya. Secara umum dan dalam kondisi normal sekalipun, masa ini merupakan periode yang sulit untuk ditempuh, baik secara individual maupun kelompok, sehingga remaja sering dikatakan sebagai kelompok umur bermasalah. Hal ini menjadi salah satu sebab mengapa tahap perkembangan masa remaja dinilai lebih rawan daripada tahap-tahap perkembangan manusia.

Setiap periode kehidupan memiliki masalahnya masing-masing, namun permasalahan yang terjadi pada periode remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi. Permasalahan yang banyak terjadi di kalangan remaja adalah seputar masalah pribadi (perubahan fisik dan emosi), masalah belajar dan permasalahan sosial baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat.

(17)

2

1. Mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

2. Mencapai peran sosial pria dan wanita

3. Mencapai perilaku yang bertanggung jawab secara sosial yang berlaku di masyarakat

4. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang- orang dewasa

lainnya

6. Mempersiapkan karir ekonomi

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi

(18)

3

nilai- nilai baru dalam seleksi persahabatan, dan nilai- nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial.

Menurut Sears dkk., 1992 (dalam Othorita Putri Maharani dan Budi Andayani, 2003: 23), kondisi lingkungan selalu berubah setiap saat, oleh karenanya remaja dituntut untuk dapat membina dan menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk hubungan yang baru dalam berbagai situasi, sesuai dengan peran yang dibawakannya pada saat itu dengan lebih matang. Remaja awal yang kurang yakin pada diri sendiri dan pada status mereka, dalam kelompok cenderung memilih diam, rendah diri dan kurang antusias, ada juga yang menunjukan dengan perilaku salah seperti pelanggaran peraturan dan hukum. Jika hal ini diteruskan sampai akhir masa dewasa, akan terjadi ketidakmatangan dalam perilaku sosial. Tanda- tanda lain yang memunculkan ketidakmatangan dalam perilaku sosial adalah diskriminasi terhadap mereka yang yang berlatar belakang ras, agama, atau sosial ekonomi yang berbeda.

(19)

4

situasi sosial tertentu, yang biasa disebut dengan kemampuan penyesuaian sosial.

Schneiders, 1964 (dalam Sri Maslihah, 2011: 104) menyebutkan kemampuan penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Dengan demikian, jika siswa ingin mengembangkan kemampuan dalam penyesuaian sosial di lingkungan sekolah maka dia harus menghargai hak orang lain, mampu menciptakan suatu relasi yang sehat dengan orang lain, mengembangkan persahabatan, berperan aktif dalam kegiatan, menghargai nilai-nilai dari hukum-hukum sosial dan budaya yang ada di lingkungan sekolahnya. Apabila hal tersebut dilakukan secara konsisten, maka penyesuaian sosial di lingkungan sekolah yang baik akan tercapai. Remaja yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, tentunya akan mampu melewati masa remajanya dengan lancar dan diharapkan ada perkembangan ke arah kedewasaan yang optimal serta dapat diterima oleh lingkungannya (Prihartanti, 1989, dalam Othorita Putri Maharani dan Budi Andayani, 2003: 24).

(20)

5

Othorita Putri Maharani dan Budi Andayani, 2003: 24), saat individu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, individu tersebut harus memperhatikan tuntutan dan harapan sosial yang ada terhadap perilakunya. Maksudnya bahwa individu tersebut harus membuat suatu kesepakatan antara kebutuhan atau keinginannya sendiri dengan tuntutan dan harapan sosial yang ada, sehingga pada akhirnya individu itu akan merasakan kepuasan pada hidupnya.

Pada masa remaja mereka dituntut untuk dapat menentukan sikap pilihannya dan kemampuannya dalam menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungannya agar partisipasinya selalu relevan dalam kegiatan masyarakat. Jika remaja tidak mampu melakukan penyesuaian sosial, maka akan menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks. Milarsari (dalam Susatyo Yuwono, 2006: 29) menyebutkan bahwa sebagian remaja merasa kesulitan dalam melewati dan mengatasinya masalah yang begitu kompleks. Remaja yang gagal mengatasi masalah seringkali menjadi tidak percaya diri, prestasi sekolah menurun, hubungan dengan teman menjadi kurang baik serta berbagai masalah dan konflik lainnya yang terjadi.

(21)

6

NAPZA, perkelahian antar pelajar, dan pergaulan bebas, pencurian, tawuran, bahkan kasus siswi SD yang dikeroyok oleh kumpulan siswa laki- laki sambil di hujani dengan cacian dan di video oleh teman lainnya.

Masalah lain yang dapat disebabkan gagal penyesuaian adalah adanya siswa yang mengalami isolasi sosial, krisis kepercayaan diri, penurunan prestasi belajar, kebosanan dalam mengikuti pelajaran, caci maki, tidak memiliki teman, pelanggaran terhadap aturan sekolah, dan siswa yang tidak dapat bekerja sama atau tidak dapat berinteraksi dengan teman lain merupakan beberapa bentuk perilaku salah suai remaja yang menunjukkan ketidakmampuan melakukan penyesuaian baik dengan dirinya sendiri maupun penyesuaian terhadap lingkungan sosialnya.

Bahaya psikologis utama dari masa remaja berkisar pada kegagalan melaksanakan peralihan ke arah kematangan. Pada umumnya yang sering terkena imbasnya adalah bidang perilaku sosial, seksual dan moral, dan ketidakmatangan dalam hubungan keluarga, yang akhirnya dapat menimbulkan penolakan diri yang merusak penyesuaian diri dan penyesuaian sosial. Remaja yang mengalami perasaan penolakan diri ini cenderung merasa dirinya memainkan peran orang yang dikucilkan. Akibatnya dia tidak mengalami saat- saat yang menggembirakan seperti yang dinikmati oleh teman- teman sebayanya yang lain.

(22)

7

memiliki makna dan pengaruh yang besar bagi remaja. karena selain dengan keluarga, sepanjang hari remaja banyak yang menghabiskan waktunya di sekolah sebagai bagian dari kewajiban menjalani proses pendidikan.

Tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3, dapat dicapai melalui tiga macam jalur pendidikan yaitu pendidikan formal, informal, dan nonformal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Sedangkan pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

Proses pendidikan tidak terlepas dari aktivitas yang umumnya dilakukan oleh setiap siswa. Aktivitas tersebut biasa disebut dengan belajar. Sugihartono dkk (2007:74) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan bereaksi yang relatif permanen karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Perubahan yang terus berkembang dalam proses pembelajaran tersebut meliputi 3 aspek, yakni aspek afektif, afektif, dan psikomotor.

(23)

8

disemua jenjang pendidikan mulai SD hingga SLTA dan juga ada Pogram Keluarga Harapan (PKH) yang diperuntukkan bagi masyarakat golongan sangat miskin. Salah satu tujuan dari program-program tersebut untuk mengurangi angka putus sekolah terutama bagi mereka yang kurang mampu. Untuk sekolah SMP/MTs angka putus sekolah penduduk usia 13-15 tahun dalam tahun 2009 -2013 menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun.

Pada tahun 2009 angka putus sekolah tingkat SMP/ MTs sebesar 0,18 persen dan meningkat hingga pada tahun 2012 sebesar 0,16 persen. Memang angka ini telah menurun namun pada kenyataannya masih juga terdapat siswa yang putus sekolah. Kota Yogyakarta yang menyandang predikat kota pendidikan dan kota pelajar tidak lepas dari permasalahan pendidikan (RKPD Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY, 2015: 82)

Berdasarkan permasalahan pendidikan tersebut, Pemerintah Kota Yogyakarta mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta No.5 tahun 2008 tentang sistem penyelenggaraan pendidikan, yang salah satunya menjelaskan upaya pemberian jaminan pendidikan gratis selama wajib belajar 12 tahun, membuka akses luas untuk memeroleh pendidikan berkualitas, serta meminimalisir angka putus sekolah dari keluarga ekonomi rendah/ kurang mampu. Implementasinya adalah dengan diberikannya Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) untuk seluruh jenjang pendidikan bagi siswa yang terdaftar sebagai anggota keluarga pemegang Kartu Menuju Sejahtera (KMS).

(24)

9

Yogyakarta tahun 2015 yang ditetapkan pada Surat Keputusan (SK) Wali kota No 433/ 2014 tertanggal 29 Desember 2014 adalah sebanyak 18.881 KK. (Radar Jogja, 6 Januari 2015)

SMP Negeri 2 Yogyakarta sebagai bagian dari salah satu pendidikan formal turut terelibat dalam penyelenggaraan program beasiswa JPD bagi siswa KMS. Berdasar wawancara dengan guru BK sekaligus koordinator yang menangani siswa KMS di SMPN 2 Yogyakarta pada tanggal 10 April 2015 menjelaskan bahwa pemberian JPD bagi siswa KMS diwujudkan dalam pemberian beasiswa reguler, beasiswa registrasi, bantuan biaya praktek, bantuan biaya pembelian seragam sekolah, hingga beasiswa prestasi akademik.

Hasil observasi tercatat siswa KMS di SMPN 2 Yogyakarta berjumlah 96 siswa atau terbanyak kedua setelah SMPN 15 Yogyakarta yang mendapat jatah sebanyak 134 siswa KMS (Radar Jogja, 28 Juni 2014), dan Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) diatur langsung oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta didasarkan pada alokasi daya tampung dan tidak terikat dengan persyaratan nilai NEM SD.

(25)

10

siswa KMS dan Non KMS. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan nilai raport dan NEM siswa pada saat pendaftaran SMP. Sebagai contoh, pada Penerimaan Peserta Didik Baru tahun 2015, NEM terendah siswa KMS yang lolos diterima di SMPN 2 Yogyakarta adalah 17 sedangkan NEM terendah siswa Non KMS di SMPN 2 Yogyakarta adalah 26,65. NEM rata-rata siswa KMS di SMPN 2 Yogyakarta selalu lebih rendah dengan NEM rata-rata siswa Non KMS di SMPN 2 Yogyakarta (http://arsip.siap-ppdb.com/).

(26)

11

Permasalahan pribadi juga dapat menambah masalah sosialnya, seperti karakter siswa yang minderan, pemalu, cenderung pendiam dan menarik diri dari sosial sekolahnya, tetapi ada yang terlampau percaya diri, namun kurang disukai oleh teman- temannya, dan terdapat juga yang perilakunya mengarah pada kenakalan remaja dan suka melanggar aturan sekolah. Bahkan ada salah satu siswa KMS laki-laki yang menjadi bahan olok- olokan disekolah hanya karena tingkah lakunya yang lebih mengarah ke feminim. Beberapa siswa KMS lain juga terlihat selalu duduk di bangku paling belakang, itu pun berjejer dengan siswa sesama KMS, sering melamun, dan cenderung kurang antusias untuk mengikuti aktivitas teman- teman reguler di kelasnya. Permasalahan-permasalahan afektif, kognitif dan psikomotor tersebut menjadikan kondisi psikologis siswa KMS semakin terpuruk karena merasa bahwa dirinya memang dianggap berbeda dengan siswa Non-KMS, yang akibatnya berpenagaruh pada kemampuan penyesuaian sosialnya dan jika diteruskan dapat berpengaruh pada ketrampilan sosialnya dalam menjalin hubungan dengan orang di lingkungan sekitarnya.

(27)

non-12

KMS. Siswa KMS akhirnya cenderung lebih memilih teman yang memiliki latar belakang ekonomi relatif setara/ sesama penerima KMS.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial siswa di sekolah. Menurut Hurlock (1997:265), tiga faktor yang mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial siswa di sekolah, yaitu teman sebaya, guru, dan peraturan sekolah. Penyesuaian sosial di sekolah memiliki beberapa aspek seperti yang dikemukakan Schneider (Sanjaya Yasin, 2012:2), yakni kemampuan siswa menjalin hubungan persahabatan dengan teman di sekolah, kemampuan siswa bersikap hormat terhadap guru atau staf sekolah lainnya, partisipasi aktif siswa dalam mengikuti kegiatan sekolah, dan bersikap respek dan mau menerima peraturan sekolah.

Keadaan ekonomi keluarga juga merupakan salah satu faktor yang memberi pengaruh dalam penyesuaian sosial siswa. Siswa yang kurang mampu memiliki keterbatasan dalam memenuhi fasilitas-fasilitas penunjang pergaulan sosial. Selain itu, siswa yang berlatar belakang dari keluarga kurang mampu juga memiliki pola pengasuhan yang berbeda dengan siswa yang berlatar belakang dari keluarga mampu. Senada dengan pendapat Hurlock (2000:173) anak yang memiliki rumah, pakaian dan alat- alat bermain yang lebih baik dari teman lainnya, ia akan merasa lebih tinggi. Sebaliknya, anak yang merasa bahwa status sosial ekonominya lebih rendah daripada teman- teman sebayanya, maka ia cenderung merasa rendah diri.

(28)

13

orangtua yang keliru. Peneliti menemukan fakta di lapangan bahwa beberapa guru memandang sebelah mata siswa KMS, sehingga perlakuan guru berbeda antara siswa KMS dan Non KMS. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi afektif siswa. Siswa KMS menjadi kurang percaya diri dan minder. Selain itu, banyak orangtua siswa KMS yang memiliki pandangan yang keliru dalam mendaftarkan anaknya ke sekolah. Masih banyak orangtua yang mendaftarkan anaknya ke sekolah yang tidak sesuai dengan kemampuan anaknya, hanya berdasarkan keinginan untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah favorit, sehingga terjadi kesenjangan nilai di sekolah antara siswa KMS dan Non KMS karena perbedaan kemampuan kognitif siswa. Hal tersebut akan menambah mindernya siswa KMS yang tentu saja berefek pada psikologisnya. Hurlock juga menegaskan bahwa status sosial ekonomi yang sama/ lebih tinggi dari anggota lain dalam kelompoknya, memengaruhi remaja diterima/ ditolak dalam penyesuaian sosial (2000: 217) Data dari penerima JPD diketahui rata- rata orang tua siswa KMS bekerja sebagai buruh, karyawan toko, swasta, tukang parkir, berasal dari keluarga single parent, tumbuh di keluarga broken home, bahkan ada yang diasuh oleh kakek nenek/ sanak saudara lainnya, yang tentunya dengan penghasilan keluarga yang terbatas. Sedangkan di sisi lain, ada beberapa siswa reguler yang penghasilan orangtuanya sepuluh kali lipat dari penghasilan orangtua siswa KMS.

(29)

14

dan Non KMS. Status dan peranan sosial menurut Abdulsyani (dalam Agustinus Sugeng Widodo, 2013:136) merupakan unsur baku dalam stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial menempatkan seseorang atau sekelompok orang pada kedudukan tertentu. Kedudukan tertentu ini tergambar dari hak dan kewajiban yang dimiliki, tingkat penghormatan yang diterima, dan kewenangan yang diakui. Dari sumber ekonomi terbentuklah kelas sosial ekonomi seperti kaya dan miskin, ekonomi kuat dan ekonomi lemah, keluarga kaya dan keluarga miskin, yang berakibat pada kemampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan sekolah anaknya. Hal ini tentu turut mempengaruhi kemampuan anak dalam menyesuaikan diri dan bersosialisasi di sekolahnya.

(30)

15

yang berbeda latar belakang kebudayaannya dan masih banyak hal lain yang dapat dilakukan guru Bimbingan dan Konseling untuk menyelesaikan permasalahan kesenjangan yang terjadi pada siswa KMS dan Non KMS di sekolah.

Permasalahan sosial siswa KMS ini menjadi masalah menarik untuk diteliti. Penelitian ini menjadi penting karena masih minimnya penelitian yang mengangkat permasalahan sosial siswa KMS dan non-KMS. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti perbedaan kemampuan penyesuaian sosial siswa KMS dan non-KMS di SMP Negeri 2 Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah yang dapat ditarik dari latar belakang diatas adalah sebagai berikut:

1. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang sulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial

2. Siswa-siswa KMS merasa kurang percaya diri dan rendah diri dalam pergaulan

3. Sebagian siswa KMS memiliki permasalahan prestasi akademik, sering di bully, dan kurang dihargai dalam kelompok

4. Beberapa guru memandang sebelah mata siswa KMS, sehingga perlakuan guru berbeda antara siswa KMS dan Non KMS.

(31)

16

afektif, perbedaan prestasi akademik maupun status sosial ekonomi orangtua.

6. Masih banyak orangtua yang mendaftarkan anaknya ke sekolah yang tidak sesuai dengan kemampuan anaknya.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan paparan identifikasi masalah diatas, peneliti membatasi penelitian pada masalah bagaimana perbedaan kemampuan penyesuaian sosial siswa antara siswa KMS dan non-KMS di sekolah. Pembatasan masalah ini dilakukan karena keterbatasan waktu yang dimiliki peneliti dalam melakukan penelitian, dan agar penelitian yang dilakukan menjadi lebih terarah dan mendapatkan hasil yang maksimal.

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana tingkat perbedaan kemampuan penyesuaian sosial siswa di sekolah antara siswa KMS dengan non-KMS di SMP Negeri 2 Yogyakarta?”

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat perbedaan kemampuan penyesuaian sosial siswa di sekolah antara siswa KMS dan non-KMS di SMP Negeri 2 Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

(32)

17

kelimuan bimbingan dan konseling, khususnya bidang bimbingan dan konseling sosial tentang kemampuan penyesuaian sosial.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain:

a. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling SMPN 2 Yogyakarta

Memberikan gambaran kepada guru Bimbingan dan Konseling tentang kemampuan penyesuaian sosial yang dimiliki siswa- siswanya, sehingga dapat menjadi dasar dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi pemberian layanan bimbingan dan konseling yang sesuai bagi siswa KMS dan Non-KMS terutama layanan BK sosial. b. Bagi Orangtua

Memberikan wawasan bagi orangtua agar mengetahui bagaimana kemampuan penyesuaian sosial anaknya, sehingga dapat turut memberikan contoh bersosialisasi bagi anak di lingkungan keluarga, serta memberikan gambaran bahwa tidak selalu sekolah favorit baik bagi anak yang berasal dari keluarga KMS karena kesenjangan sosial ekonomi, afektif dan kognitif akan berpengaruh pada penyesuaian sosial anak.

c. Bagi Walikota Yogyakarta

(33)

18 BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian tentang Kemampuan Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Kemampuan Penyesuaian Sosial

Pada saat seseorang memasuki masa remaja, dirinya cenderung lebih senang menghabiskan waktu dengan teman- temannya daripada bersama orang tuanya, menghabiskan waktu dengan teman sebaya dan mengikuti kegiatan sosial yang diminati. Maka dari itu, untuk mencapai tujuan dari proses sosialisasi yang sesuai, remaja harus melakukan penyesuaian baru dengan lingkungan sosialnya. Apabila seorang mampu melakukan penyesuaian diri terhadap orang lain atau kelompoknya berarti dia diterima oleh kelompok dan lingkungannya atau dengan kata lain dia mampu melakukan penyesuaian sosial dengan lingkungan sosialnya.

Kemampuan berasal dari kata dasar mampu yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa Depdiknas, 200: 707) memiliki arti kesanggupan, kecakapan atau kekuatan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan Penyesuaian sosial merupakan keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya (Hurlock, 1997:287). Sependapat dengan

Hurlock, Mu’tadin (2006:1) menjelaskan bahwa kemampuan penyesuaian

(34)

19

aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal adjustment. Dodds et al. (dalam Lifshitz et al., 2007: 2) menuliskan bahwa Social Adjustment is defined as the structure and relations between an individual and his/ her social environtment. Dodds menyatakan bahwa penyesuaian sosial didefinisikan sebagai susunan yang saling berhubungan antara individu dan lingkungannya. Schneider, 1964: 455 (dalam Hendriati Agustiani, 2009: 147) menyatakan:

Kemampuan penyesuaian sosial merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu untuk dapat bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas, situasi, dan relasi sosial, sehingga kriteria yang harus dipenuhi dalam kehidupan sosialnya dapat terpenuhi dengan cara- cara yang dapat diterima dan memuaskan. Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa seseorang harus mampu mengadakan reaksi, interaksi, berhubungan dengan orang lain yang ada di dalam suatu kelompok untuk memenuhi kebutuhan sosial. Pendapat senada dikemukan Yusuf (dalam Endah Susilowati, 2013: 106) menyatakan bahwa kemampuan penyesuaian sosial merupakan kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial.

(35)

20

secara wajar terhadap lingkungannya sehingga seseorang tersebut merasa puas terhadap dirinya dan lingkungannya.

Dari beberapa pendapat tersebut, dapat peneliti simpulkan bahwa kemampuan penyesuaian sosial merupakan kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga terjalin hubungan yang harmonis. Penelitian ini meneliti kemampuan penyesuaian sosial siswa, sehingga lingkungan sekitar yang diteliti adalah lingkungan sekolah, meliputi kemampuan siswa untuk menjalin hubungan persahabatan, bersikap hormat terhadap guru dan karyawan sekolah, berpartisipasi dalam kegiatan sekolah , respek dan menerima peraturan yang berlaku di lingkungan sekolah.

2. Macam- macam Kemampuan Penyesuaian

Kemampuan penyesuaian sosial merupakan bentuk dari penyesuaian diri yang dilakukan pada lingkungan di luar dirinya, seperti lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat. Maka dari itu, dalam membahas penyesuaian sosial akan juga merujuk pada konsep penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan di sekitarnya.

(36)

21 a. Penyesuaian personal

Merupakan penyesuaian diri yang diarahkan kepada diri sendiri. Penyesuaian personal meliputi:

1) Penyesuaian fisik dan emosi

Melibatkan respons- respons fisik dan emosional sehingga dalam penyesuaian diri fisik ini kesehatan fisik merupakan pokok untuk pencapaian penyesuaian diri yang sehat. Berkaitan dengan hal ini, ada hal penting berupa adekuasi emosi, kematangan emosi dan control emosi.

2) Penyesuaian seksual

Merupakan kapasitas bereaksi terhadap realitas seksual (impuls- impuls, nafsu, pikiran, konflik- konflik, frustasi, perasaan salah dan perbedaan seks)

3) Penyesuaian moral dan religius

Disebut juga moralitas, yakni kapasitas untuk memenuhi moral kehidupan secara efektif dan bermanfaat yang dapat memberikan kontribusi ke dalam kehidupan yang baik dari individu.

b. Penyesuaian sosial

(37)

22

1) Penyesuaian terhadap rumah dan keluarga

Penyesuaian diri ini menekankan hubungan yang sehat antar anggota keluarga, otoritas orang tua, kapasitas tanggung jawab berupa pembatasan, dan larangan.

2) Penyesuaian terhadap sekolah

Berupa perhatian dan penerimaan murid atau antar- murid beserta partisipasinya terhadap fungsi dan aktivitas sekolah, manfaat hubungan dengan teman sekolah, guru, konselor, penerimaan keterbatasan dan tanggungjawab, dan membantu sekolah untuk merealisasikan tujuan intrinsik dan ekstrinsik. Hal- hal tersebut merupakan cara penyesuaian diri terhadap kehidupan sekolah.

3) Penyesuaian terhadap masyarakat

Kehidupan di masyarakat menandakan kapasitas untuk bereaksi secara efektif dan sehat terhadap realitas.

c. Penyesuaian marital/ perkawinan

Penyesuaian diri ini pada dasarnya adalah seni kehidupan yang efektif dan bermanfaat dalam kerangka tanggungjawab. Hubungan dan harapan yang terdapat dalam kerangka perkawinan.

d. Penyesuaian diri vokasional

(38)

23

Berdasar penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk bentuk kemampuan penyesuaian diri terdiri dari empat macam, yaitu penyesuaian personal, penyesuaian sosial, penyesuaian perkawinan dan penyesuaian vokasional.

Gerungan (2004: 60) menjelaskan bahwa kemampuan penyesuaian diri dibagi menjadi dua macam, yaitu Autoplastis dan Aloplastis. 1) Kemampuan penyesuaian diri Autoplastis adalah mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan. Misalnya seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jerman akan menyesuaikan diri dengan lingkungan alamiah disana. Ia berpakaian tebal pada musim dingin dan membiasakan dirinya dengan makanan dan minuman yang ada disana, bahkan harus menyesuaikan diri dengan bahasa dan kebudayaan yang ada di sana. Sedangkan 2) Kemampuan penyesuaian diri Aloplastis yaitu menyesuaikan lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri. Bisa dicontohkan dari kasus mahasiswa di Jerman tadi, dia dapat mengubah ruang tempat tidur, tata letaknya sesuai keinginan dirinya, lalu orang- orang di lingkungannya juga dapat dia ubah misalnya dengan bersikap lebih santun dalam bergaul, lebih ramah tamah dengan orang lain, sehingga orang di sekitarnya pun akan mengubah dirinya sesuai dengan cara bergaul yang lebih halus itu.

(39)

24

dengan hal baru dalam lingkungannya, sedangkan asimilasi berarti mendapatkan kesan- kesan baru berdasarkan pada pola- pola penyesuaian yang sudah ada.

Menurut Endang Poerwanti dan Nur Widodo (2002:123) penyesuaian sosial remaja harus dapat dicapai dalam berbagai bentuk kelompok. Penyesuaian diri ini disamping untuk kepentingan dirinya sebagai individu juga dapat dikaitkan dengan kriteria yang berupa tugas perkembangan yang harus diselesaikan, yang tentu mengandung harapan sosial yang sekaligus menjadi tanggung jawab remaja untuk memenuhi harapan tersebut. Secara umum harapan sosial dan tanggung jawab remaja tertuang dalam bentuk kemampuan penyesuaian diri sebagai berikut: a. Kemampuan Penyesuaian di Lingkungan Keluarga

Remaja perlu menyesuaikan diri dengan pola asuh yang diterapkan dalam keluarga

b. Kemampuan Penyesuaian di Lingkungan Orang Terdekat

Kelompok sosial terdekat remaja adalah kelompok teman sebaya atau peer group. Dalam kelompok ini remaja berusaha untuk dapat menerima dan diterima oleh anggota kelompoknya

c. Kemampuan Penyesuaian di Lingkungan Sekolah

(40)

25

d. Kemampuan Penyesuaian di Lingkungan Masyarakat

Penyesuaian remaja dalam lingkungan masyarakat akan terbentuk bila masyarakat memberikan dukungan dengan pembelajaran yang dapat diterima oleh masyarakat.

Kesimpulan dari beberapa pendapat diatas tentang bentuk- bentuk kemampuan penyesuaian sosial pada remaja, adalah remaja harus dapat melakukan penyesuaian sosial dalam kelompok, antara lain penyesuaian dengan keluarga, dengan lingkungan terdekat, dalam lingkungan sekolah, dan dalam lingkungan masyarakat sebagai bentuk tangggung jawab remaja terhadap lingkungan. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada penyesuaian diri sosial pada lingkungan sekolah, karena subyek yang digunakan dalam penelitian ini yakni pelajar yang berada di lingkungan sekolah.

3. Faktor- Faktor Kemampuan Penyesuaian Sosial

(41)

26

1. Faktor keluarga, yang meliputi status sosial ekonomi, kebutuhan keluarga, sikap dan kebiasaan orangtua dan status anak

2. Faktor sekolah, meliputi struktural dan organisasi sekolah, peranan guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)

3. Faktor lingkungan kerja, misalnya lingkungan kerja industri atau pertanian daerah

4. Peranan media massa, yaitu besarnya pengaruh alat komunikasi seperti perpustakaan, televisi, radio, handphone, dan sebagainya.

Pendapat Gerungan tersebut menyatakan bahwa kondisi/ status sosial ekonomi keluarga, kebiasaan di keluarga dan status anak memengaruhi kemampuan penyesuaian sosial siswa di sekolah. Secara tidak langsung dapat diartikan status siswa KMS dan Non-KMS juga merupakan status sosial ekonomi keluarga dan tentu saja sekolah yang menjadi lingkungan keseharian siswa turut memengaruhi kemampuan penyesuaian sosialnya. Faktor- faktor menurut Gerungan ini termasuk pada faktor eksternal.

Berbeda dengan Gerungan, Hendriati Agustiani (2006:147) mengungkapkan lima faktor yang memengaruhi proses kemampuan penyesuaian diri remaja, yaitu:

a. Faktor kondisi fisik, meliputi faktor keturunan, kesehatan, bentuk tubuh dan hal lain yang berkaitan dengan fisik

(42)

27

c. Faktor psikologis, yakni faktor- faktor pengalaman individu, frustasi, dan konflik yang dialami, dan kondisi- kondisi psikologis seseorang dalam menyesuaikan diri

d. Faktor Lingkungan, yakni kondisi yang ada pada lingkungan sekitar individu, seperti lingkungan keluarga (status sosial ekonomi keluarga), lingkungan sekolah, dan masyarakat.

e. Faktor budaya, termasuk adat istiadat dan agama.

Pendapat Hendriati ini sudah menjelaskan faktor internal dan eksternal seseorang dalam kemampuan penyesuaian sosial. Faktor internal yang dimaksud adalah faktor kondisi fisik bawaan, faktor perkembangan moral sosial, dan faktor psikologis seseorang dalam kemampuan penyesuaian diri. Sedangkan faktor eksternalnya antara lain lebih pada lingkungan sekitar individu tersebut seperti keluarga, sekolah, masyarakat, serta faktor budaya maupun agama dari individu tersebut.

Schneider (dalam Luluk Masruroh, 2014:20) menyatakan faktor- faktor yang memengaruhi kemampuan penyesuaian siswa di sekolah terdiri atas faktor internal dan eksternal.

1. Faktor internal yakni emosi, rasa aman, ciri pribadi, penerimaan diri, intelegensi, karakteristik remaja dalam merespon pengalaman dan perbedaan jenis kelamin.

(43)

28

keluarga, dukungan keluarga, dan sebagainya), faktor kehidupan di sekolah, dan masyarakat.

Hurlock (1997: 265) mengemukakan beberapa faktor yang memengaruhi kemampuan penyesuaian sosial siswa di sekolah, meliputi: a. Teman sebaya, karena remaja lebih banyak berada di luar rumah

bersama dengan teman- teman sebayanya, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, perilaku, penampilan, lebih besar pengaruhnya daripada keluarga. Disini remaja akan belajar bahwa terdapat beberapa perilaku yang diterima di keluarga, belum tentu diterima dikalangan teman sebaya. b. Guru, membantu remaja mengembangkan pola penyesuaian siswa

yang disetujui secara sosial, dengan menunjukkan sikapnya terhadap pekerjaan siswa, perhatian ke siswa, dan perilaku sosialnya. Guru yang memiliki penyesuaian sosial yang baik biasanya penuh kehangatan dan sikap menerima murid.

c. Peraturan sekolah, memperkenalkan perilaku yang disetujui dan tidak disetujui secara kelompok sosial. Misalnya peraturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sewaktu berada di toilet sekolah, kantin, perpustakaan, lapangan, dan sebagainya.

(44)

29

Berdasar pendapat- pendapat ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud faktor- faktor yang memengaruhi kemampuan penyesuaian sosial siswa di lingkungan sekolah yakni dari internal diri siswa sendiri meliputi kondisi fisik, perkembangan moral sosial, dan psikologis siswa seperti emosi siswa, rasa aman, karakter pribadi, penerimaan diri, intelegensi, karakteristik siswa dalam merespon pengalaman dan masalah. Faktor eksternal yang memengaruhi adalah adanya pengaruh dari lingkungan sekitarnya, dalam hal ini bagi siswa adalah lingkungan sekolah, yakni sikap siswa hubungannya dengan teman sebaya, guru dan staff sekolah lainnya, dan juga terhadap peraturan sekolah.

4. Aspek- Aspek Kemampuan Penyesuaian Sosial

Nurdin (2009:91) menyatakan bahwa aspek yang mempengaruhi kemampuan penyesuian diri dapat dibagi kedalam tiga bagian yakni : a. Aspek biologis, yakni kondisi fisik seperti struktural jasmaniah,

kesehatan dan sebagainya.

b. Aspek psikologis, yang merupakan kondisi-kondisi yang secara psikis dapat menentukan keadaan seseorang antara lain bakat, minat, sikap, emosi, tingkat kecerdasan dan sebagainya.

(45)

30

Dari ketiga aspek tersebut, aspek lingkungan mempunyai pengaruh yang besar dalam proses kemampuan penyesuaian sosial individu. Dalam proses penyesuaian sosial, individu mulai berkenalan dengan kaidah- kaidah dan peraturan- peraturan yang berlaku dalam lingkungan sosialnya dan mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok. Hal ini merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk bertahan dan mengendalikan diri. Berkembangnya kemampuan sosial ini berfungsi sebagai pengawas yang mengatur kehidupan sosial.

Seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya tidak terlepas dari kondisi lingkungan dimana ia tinggal. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan

berinteraksi dengan orang lain. Menurut Mu’tadin (dalam Prehaten, dkk.,

2011: 91) aspek- aspek penyesuaian sosial mencakup kemampuan individu untuk menyesuaikan diri lingkungan di masyarakat sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama- sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh individu sendiri.

(46)

31

sekolah, dengan tidak mempertimbangkan kebutuhan akademik, tidak jauh berbeda dengan kemampuan penyesuaian sosial di lingkungan rumah dan keluarga, walaupun setiap individu akan bereaksi secara berbeda terhadap keduanya. Selain itu Schneider juga menyusun tuntutan lingkungan atau perilaku yang diharapkan berkaitan dengan realitas, situasi, dan relasi sosial, yang dihadapi oleh siswa di lingkungan sekolah, meliputi aspek- aspek dan indikator- indikator sebagai berikut:

a. Kemampuan siswa menjalin hubungan persahabatan dengan teman di sekolah. Dalam aspek ini terdapat tujuh indikator, yaitu:

1) Siswa mampu menerima teman apa adanya 2) Kemampuan siswa mengendalikan emosi 3) Kemampuan siswa bertanya terlebih dahulu 4) Kemampuan siswa bersikap realistis

5) Kemampuan siswa melakukan pertimbangan dalam mengambil keputusan

6) Siswa mampu melakukan tindakan yang tepat sesuai norma 7) Kemampuan siswa mempertahankan hubungan persahabatan b. Kemampuan siswa bersikap hormat terhadap guru, kepala sekolah, dan

staf sekolah lainnya. Dalam aspek ini terdapat tiga indikator, yakni: 1) Siswa berbicara dengan volume suara yang lebih rendah daripada

guru, kepala sekolah, dan staf sekolah lainnya

(47)

32

3) Kemampuan siswa dalam menjaga sikap ketika bertemu dengan guru, kepala sekolah, dan staf sekolah lainnya.

c. Partisipasi aktif siswa dalam mengikuti kegiatan sekolah. Dalam aspek ini, terdapat dua indikator, yaitu:

1) Partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas 2) Partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler

d. Bersikap respek dan mau menerima peraturan sekolah. Dalam aspek ini terdapat dua indikator, yaitu:

1) Memiliki kesadaran akan pentingnya peraturan di sekolah 2) Mematuhi dan menaati peraturan yang berlaku di sekolah

Berdasarkan beberapa aspek yang sudah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa aspek- aspek kemampuan penyesuaian sosial yang ada di lingkungan sekolah meliputi: kemampuan siswa menjalin hubungan persahabatan dengan teman sekolah, kemampuan siswa bersikap hormat terhadap guru, kepala sekolah dan staf lainnya, partisipasi aktif siswa dalam mengikuti kegiatan sekolah, serta bersikap respek dan mau menerima peraturan sekolah. Aspek- aspek inilah yang akan dijadikan pedoman dalam penyusunan instrumen kemampuan penyesuaian sosial. 5. Proses Kemampuan Penyesuaian Sosial

(48)

33 1. Motivasi

Motivasi sama halnya dengan kebutuhan, perasaan, dan emosi, merupakan kekuatan internal yang menyebabkan ketegangan dan ketidakseimbangan dalam organisme. Ketegangan dan ketidakseimbangan memberikan pengaruh kepada kekacauan perasaan patologis dan emosi yang berlebihan atau kegagalan mengenal pemuasan kebutuhan secara sehat karena mengalami frustasi dan konflik.

2. Sikap terhadap realitas

Beberapa perilaku seperti sikap antisosial, kurang berminat terhadap hiburan, sikap bermusuhan, kenakalan, dan semaunya sendiri, semuanya itu sangat mengganggu hubungan antara penyesuaian diri dengan relaitas sosial di sekitarnya.

3. Pola dasar penyesuaian diri

Dalam keseharian seseorang terdapat pola dasar penyesuaian diri. Misalnya seorang anak yang membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya yang selalu sibuk. Dalam kondisi tersebut, anak akan frustasi dan berusaha menemukan pemecahan yang berguna mengurangi ketegangan antara kebutuhan akan kasih sayang dengan frustasi yang dialaminya.

(49)

34

adanya aturan/ norma menuntut individu untuk terus belajar, dan pola dasar penyesuaian diri sebagai usaha yang dapat mengurangi ketegangan yang ditimbulkan sebagai akibat tidak terpenuhinya kebutuhannya.

Berbeda pendapat dengan Schneider, menurut Siti Sundari (2005:41) proses kemampuan penyesuaian sosial seseorang terdiri dari: a. Berperilaku dapat diterima secara sosial; yakni seseorang harus dapat

menyesuaikan perilakunya agar dapat diterima lingkungannya

1) Ada kesanggupan mengadakan relasi yang sehat terhadap masyarakat

2) Ada kesanggupan bereaksi secara efektif dan harmonis terhadap kenyataan sosial

3) Sanggup menghargai hak dan pribadi orang lain 4) Sanggup bersahabat dengan orang lain

5) Memiliki rasa simpati terhadap lingkungannya

b. Memainkan peran di lingkungan sosialnya; yakni setiap anggota kelompok harus memiliki peran di lingkungan atau kelompoknya c. Memiliki sikap yang positif terhadap kelompok sosialnya; yaitu

seseorang harus dapat menerima semua bentuk perilaku yang ada pada kelompoknya.

Dapat dijelaskan bahwa proses penyesuaian sosial menurut Siti Sundari adalah menunjukkan sikap yang dapat diterima masyarakat pada umumnya, berperan dalam kegiatan yang melibatkan orang banyak, dan mampu menerima secara positif sikap dari orang lain.

Moh Ali dan Asrori (2014:96) menjelaskan terdapat empat tahap proses kemampuan penyesuaian diri yang dilalui oleh anak selama membangun hubungan sosialnya, yaitu:

a. Anak dituntut agar tidak merugikan orang lain serta menghargai dan menghormati orang lain

(50)

35

c. Anak dituntut untuk lebih dewasa di dalam melakukan interaksi sosial berdasarkan asas saling memberi dan menerima

d. Anak dituntut untukmemahami orang lain

Keempat tahap proses kemampuan penyesuaian diri tersebut berlangsung dari proses yang sederhana ke proses yang lebih kompleks dan semakin menuntut penguasaan sistem respons yang lebih kompleks pula, dan anak sangat mungkin terjadi menghadapi konflik yang dapat berakibat pada terhambatnya perkembangan sosial mereka.

Sunarto (dalam Moh. Ali dan Moh. Asrori, 2014: 178) mengungkapkan proses kemampuan penyesuaian diri yang lebih lengkap, sebagai berikut:

a. Mula- mula individu, di satu sisi merupakan dorongan keinginan untuk memeroleh makna dan eksistensi dalam kehidupannya dan disisi lain mendapat peluang atau tuntutan dari luar dirinya sendiri

b. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif sesuai dengan pertimbangan- pertimbangan rasional dan perasaan

c. Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi kemampuan yang ada pada dirinya dan kenyataan objektif diluar dirinya

d. Kemampuan bertindak secara dinamis, luwes dan tidak kaku sehingga menimbulkan rasa aman tidak dihantui oleh kecemasan atau ketakutan e. Dapat bertindak sesuai dengan potensi- potensi positif yang layak

dikembangkan sehingga dapat menerima dan diterima lingkungan, tidak disingkirkan oleh lingkungan maupun menentang dinamika lingkungan

f. Rasa hormat pada sesama manusia dan mampu bertindak toleran, selalu menunjukkan perilaku hormat sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta dapat mengerti dan menerima keadaan orang lain meskipun sebenarnya kurang serius dengan keadaan dirinya

g. Kesanggupan merespon frustasi, konflik, dan stress secara wajar, sehat, dan profesional, dapat mengontrol dan mengendalikannya sehingga dapat memeroleh manfaat tanpa harus menerima kesedihan yang mendalam

(51)

36

i. Dapat bertindak sesuai dengan norma yang dianut oleh lingkungannya serta selaras dengan hak dan kewajibannya

j. Secara positif ditandai oleh kepercayaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan segala sesuatu di luar dirinya sehingga tidak pernah merasa terselilisih

Pendapat Sunarto tersebut dapat disimpulkan bahwa proses penyesuaian diri seseorang dimulai dengan adanya dorongan keinginan- untuk mendapat pengakuan dalam kehidupannya, lalu memiliki kemampuan untuk menerima, menilai, dan bertindak secara objektif sesuai aturan yang ada sehingga dapat menerima dan diterima lingkungannya, toleran terhadap sesama, mampu merespon masalah dan stres secara wajar dan profesional, sanggup menerima saran kritik, dan tak pernah merasa tersisih dan kesepian.

B. Kajian tentang Remaja 1. Pengertian Remaja

Remaja berasal dari kata adolescence, yang memiliki arti tumbuh, atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Hurlock (1980: 206), mengatakan adolescene memiliki cakupan arti yang luas, yaitu: kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Seseorang dikatakan remaja karena dia sudah matang dari segi fisik, emosional, sosial maupun mental.

(52)

37

segi sosial. Remaja juga harus mampu menggunakan pikirannya secara logis. Memahami baik dan buruk, serta mampu untuk bertindak sesuai dengan peraturan yang ada. WHO menyatakan bahwa remaja merupakan suatu masa pertumbuhan dan perkembangan dimana individu mencapai kematangan seksual, mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak-anak ke masa dewasa. Individu disebut remaja karena mengalami keadaan sosial ekonomi yang lebih mandiri.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa remaja adalah masa pertumbuhan dan perkembangan menuju kedewasaan dimana individu mencapai kematangan fisik, emosional, sosial dan mental.

Masa remaja dibagi dalam rentang usia antara 12-21 tahun. Monks, Knoers & Siti Rahayu Haditono (2002: 264) membedakan masa remaja menjadi empat, yaitu : 1) Masa Pra-Remaja (10-12 tahun), 2) Masa Remaja Awal (12-15 tahun), 3) Masa Remaja Pertengahan (15-18 tahun), dan 4) Masa Remaja Akhir (18-21 tahun). Siswa SMP termasuk dalam kategori remaja awal, yakni berkisar antara usia 12-15 tahun. Selama periode ini anak yang sedang berkembang mengalami pelbagai perubahan dalam tubuh, perubahan dalam status termasuk penampilan, pakaian, milik, jangkauan pilihan, dan perubahan dalam sikap terhadap seks dan lawan jenis (dalam Hurlock, 1980: 185).

(53)

38

istilah remaja, tinjauan psikologis yang ditujukan pada seluruh proses perkembangan remaja dengan batas usia 12- 22 tahun yang dijabarkan menjadi remaja awal 12- 16 tahun, dan remaja akhir 17- 22 tahun. WHO membatasi usia remaja yang berkisar antara 10-20 tahun. Batasan usia ini didasarkan pada usia kesuburan wanita dan juga pria. WHO juga membagi kurun usia remaja menjadi dua bagian yaitu 10-14 tahun untuk remaja awal, dan 15-20 tahun untuk remaja akhir. Sedangkan Mappiare (dalam Moh. Ali, 2014: 9) menjelaskan bahwa masa remaja berlangsung antara umur 12- 21 tahun bagi wanita dan 13-22 tahun bagi pria. Akan tetapi di Amerika, individu dianggap dewasa secara hukum apabila telah mencapai usia 18 tahun, dan bukan 21 tahun seperti pendapat ahli lainnya.

Berdasarkan penjelasan- penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa remaja antara usia 12- 21 tahun, yang terdiri dari masa remaja awal, masa remaja pertengahan, dan masa remaja akhir. Siswa SMP termasuk dalam kategori masa remaja awal yakni berkisar antara usia 12- 15 tahun.

2. Karakteristik Perkembangan Remaja

(54)

39 a. Mengalami kegelisahan

Remaja memiliki banyak keinginan yang hendak diwujudkan. Akan tetapi, seringkali keinginan tersebut jauh lebih besar daripada kemampuannya untuk mewujudkannya. Tarik menarik antara angan- angan yang tinggi dan kemampuannya yang masih belum memadai mengakibatkan mereka diliputi oleh perasaan gelisah.

b. Pertentangan diri

Remaja berada pada situasi psikologis antara ingin melepaskan diri dari orang tua dan perasaan masih belum mampu untuk mandiri, sehingga sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dengan orangtuanya. Pertentangan tersebut menimbulkan keinginan remaja untuk melepaskan diri dari orangtua namun ditentangnya sendiri karena dalam diri remaja ada keinginan untuk memeroleh rasa aman. Akibatnya pertentangan yang sering terjadi itu akan menimbulkan kebingungan dalam diri remaja itu sendiri maupun pada orang lain. c. Keinginan untuk mengkhayal

(55)

40 d. Aktivitas berkelompok

Kebanyakan para remaja menemukan jalan keluar dari masalah- masalah/ kesulitannya setelah mereka berkumpul dengan rekan sebaya dan melakukan kegiatan bersama. Singgih DS (1980) menambahkan, remaja melakukan suatu kegiatan secara berkelompok sehingga berbagai kendala dapat diatasi bersama- sama.

e. Keinginan mencoba segala sesuatu

Remaja pada umumnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high curiosity), sehingga remaja cenderung ingin merasakan sendiri pengalaman akan sesuatu yang belum pernah dialaminya. Contohnya pada remaja putra, mencoba merokok sembunyi- sembunyi, remaja putri mencoba memakai kosmetik baru, meskipun sekolah melarang. Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk dibimbing agar rasa ingin tahunya yang tinggi dapat terarah pada kegiatan- kegiatan yang positif, kreatif, dan produktif. Jika keingintahuan yang tinggi tersebut mendapat penyaluran yang baik, akan menghasilkan kreativitas remaja yang sangat bermanfaat, seperti membuat alat dari elektronika, karya ilmiah berbobot, seni rupa artistik, kolaborasi musik, dan lainnya.

(56)

41

Berbeda dengan Moh. Ali dan Moh. Asrori, Yudrik Jahja (2011: 235) berpendapat bahwa masa remaja adalah suatu masa perubahan. Masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik maupun psikologis. Beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja yaitu:

a. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal sebagai masa storm & stress.

Peningkatan emosi ini merupakan hasil perubahan fisik terutama hormon, yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya.

b. Perubahan yang cepat secara fisik dan kematangan seksual.

Perubahan fisik yang terjadi secara cepat ini, sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri.

c. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain.

(57)

42 d. Perubahan nilai

Dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak- kanak menjadi kurang penting karena telah mendekati dewasa.

e. Sikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi.

Satu sisi, remaja menginginkan kebebasan, tapi disisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan ini, dan meragukan kemampuannya untuk memikul tanggung jawab tersebut.

Peneliti menyimpulkan bahwa masa perubahan yang diungkapkan oleh Yudrik Jahja adalah berubahnya emosi, fisik, minat, nilai- nilai yang diyakini, dan sikap ambivalennya terhadap kebebasan.

Hurlock (1980: 207- 209) menjelaskan karakteristik perkembangan masa remaja yang lebih lengkap dari pendapat Yudrik Jahja. Hurlock berpendapat bahwa masa remaja memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri- ciri tersebut adalah:

a. Masa Remaja sebagai Periode Yang Penting

(58)

43

b. Masa Remaja sebagai Periode Peralihan

Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Kalau remaja berperilaku seperti anak- anak, ia akan diajari bertindak sesuai usianya sekarang. Namun jika berperilaku layaknya orang dewasa, akan dinasehati orang lain bahwa usianya belum cukup untuk berperilaku layaknya orang dewasa.

c. Masa Remaja sebagai Periode Perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Terdapat lima perubahan yang sama yang hampir universal. 1). Meningginya emosi, yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. 2). Perubahan tubuh. 3). Perubahan minat dan peran. 4). Seiring berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai- nilai juga berubah. Remaja semakin mengerti bahwa kualitas diri lebih penting daripada kuantitas/ memiliki teman yang banyak. 5). Remaja berubah menjadi menginginkan dan menuntut kebebasan, akan tetapi masih sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan ragu akan kemampuanya untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.

d. Masa Remaja sebagai Usia Bermasalah

(59)

kanak-44

kanak, masalah mereka sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru- guru. Kedua, para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang lain. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengatasi masalahnya sendiri menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.

e. Masa Remaja sebagai Masa Mencari Identitas

Pada tahun- tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki- laki dan perempuan. Lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman- teman dalam segala hal. f. Masa Remaja sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan

Stereotip budaya menganggap bahwa remaja adalah anak- anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya, cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa takut bertanggung jawab terhadap perilaku remaja yang merusak.

g. Masa Remaja sebagai Masa yang Tidak Realistik

(60)

45

h. Masa Remaja sebagai Ambang Masa Dewasa

Semakin remaja mendekati usia kematangan yang sah, semakin dirinya menyadari bahwa berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa saja belumlah cukup. Remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, seperti merokok, minum- minuman keras, memakai kosmetik perempuan dewasa, dan sebagainya. Mereka beranggapan bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.

Dari pendapat Hurlock diatas, peneliti menyimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan, suatu periode peralihan, suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas, usia yang menakutkan, masa tidak realistik, dan masa ambang dewasa.

Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa ciri- ciri atau karakteristik perkembangan remaja bahwa masa remaja merupakan masa dimana penuh dengan kegelisahan, penuh dengan pertentangan dan keinginan- keinginan yang tinggi bahkan tidak realistik. Masa remaja sebagai masa mencari identitas, masa perubahan, dan menimbulkan masalah, sehingga sering kali menimbulkan ketakutan bagi orang dewasa dalam menghadapi para remaja. Penjelasan sangat lengkap diungkapkan oleh Hurlock. Beberapa pendapatnya hampir sama bahkan melengkapi dari pendapat

(61)

46 3. Tugas Perkembangan Remaja

Menurut Havigurst (dalam Renita Mulyaningtyas dan Yusuf Purnomo, 2006: 87) tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang muncul pada masa perkembangan tertentu dalam kehidupan seseorang. Tugas perkembangan remaja meliputi hal-hal yang semestinya dilakukan oleh remaja agar dapat melaksanakan perannya sebaik mungkin untuk kehidupan dimasa remaja dan mempersepsikan diri menjelang masa dewasa.

Menurut Hurlock (1980: 213) salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri baik sesama maupun dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Yang terpenting adalah penyesuaian diri terhadap meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai- nilai baru dalam seleksi persahabatan.

William Kay (dalam Yudrik Jahja, 2011: 238) mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja, sebagai berikut:

1. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman warna kulitnya

2. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur- figur yang mempunyai otoritas

3. Mengembangkan ketrampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok

(62)

47

5. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri

6. Memperkuat self control atas dasar skala nilai, prinsip- prinsip, atau falsafah hidup

7. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri dari sikap kekanak- kanakan

Menyingkat pendapat William Kay, Renita Mulyaningtyas dan Yusuf Purnomo (2006: 87) menjelaskan tugas perkembangan remaja awal sebagai berikut:

a. Menerima keadan fisik dan menjalankan perannya masing-masing. b. Menjalin persahabatannya terutama dengan lawan jenis.

c. Memperoleh kebijakan secara emosional dari orang dewasa.

d. Mengembangkan kemampuan intelektual menjadi warga yang baik. e. Melakukan tingkah laku yang dapat diterima lingkungan sekitar. f. Menentukan dengan penuh kesabaran nilai- nilai yang benar dan salah.

Remaja yang berhasil mencapai tugas perkembangannya maka akan membawa kebahagiaan yang diharapkan dan dapat membawa keberhasilan pula pada tugas perkembangan selanjutnya. Remaja yang gagal dalam mencapai tugas perkembangannya akan menimbulkan ketidak bahagiaan pada dirinya sendiri, tidak diterima lingkungan sekitar dan merasa kesulitan untuk mencapai tugas perkembangan selanjutnya.

Menyerupai pendapat keduanya, menurut Endang Poerwanti dan Nur Widodo (2002:45) tugas perkembangan remaja pada usia 13-19 tahun adalah:

a. Menerima kondisi fisik sebagai wanita dan laki-laki.

b. Mencapai pola hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya yang berbeda kelamin.

c. Mencapai pola hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya.

Gambar

Gambar 1.    Grafik Kemampuan Penyesuaian Sosial Siswa KMS di
Tabel 1. Daftar Jumlah Sampel Penelitian di SMPN 2 Yogyakarta
Tabel 2. Skor Jawaban Responden terhadap Instrumen
Tabel 3. Kisi- kisi Skala Kemampuan Penyesuaian Sosial di Sekolah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap awal Pokja Pengadaan Barang/Jasa pada Dinas Bina Marga Kabupaten Kuningan telah memberikan penjelasan kepada peserta lelang mengenai hal-hal yang perlu disampaikan

Sampel dalam penelitian ini adalah pemulung wanita dengan ketentuan telah bekerja di lokasi TPA Piyungan minimal 2 tahun, selanjutnya diambil 100 sampel

Menurut Robbins (2006), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama terhadap nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi

Untuk bukti fisik laporan penelitian, selain disahkan oleh atasan langsung juga harus diketahui oleh kepala UPTD untuk guru SD dan oleh kepala dinas pendidikan kabupaten/kota

Sungai Brantas sebagai penyedia sumberdaya air bagi masyarakat disekitar aliran sungai tentunya harus memenuhi beberapa kriteria atau parameter tingkat kualitas perairan

dan Madura digunakan di banyak tempat, sehingga umum bagi masyarakat di Kabupaten Jember menguasai dua bahasa daerah tersebut dan juga saling mempengaruhi

Sementara untuk self esteem, dari 36 responden terdapat 16 guru atau sebanyak 44,44 % mempuyai self esteem tinggi sedangkan 20 guru atau sebanyak 55,56 % mempunyai self

Apakah peran obat-obatan? Karena penyebab belum diketahui dengan pasti, obat biasanya hanya ditujukan untuk menghilangkan gejala yang sangat mengganggu. Contoh paling