• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Universitas Kristen Petra"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Akuntansi Positif

Teori akuntansi positif (Positive accounting theory) sering dikaitkan dalam pembahasan mengenai manajemen laba (earnings management). Teori akuntansi positif menjelaskan faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi manajemen dalam memilih prosedur akuntansi yang optimal dengan tujuan tertentu.

Menurut teori akuntansi positif, prosedur akuntansi yang dapat digunakan perusahaan tidaklah harus sama dengan yang lainnya, namun perusahaan harus diberi kebebasan untuk memilih salah satu dari alternatif prosedur yang tersedia untuk meminimumkan biaya kontrak dan memaksimumkan nilai perusahaan.

Karena adanya kebebasan bagi manajer untuk memilih prosedur yang tersedia, maka menurut Scott (1997) manajer punya kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan yang oleh teori akuntansi positif dinamakan sebagai tindakan oportunis (opportunistic behavior). Jadi, tindakan oportunis adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh manajer dalam memilih kebijakan akuntansi yang menguntungkan dirinya atau memaksimumkan kepuasannya.

Watts dan Zimmerman (1986) membuat tiga hipotesis yang secara umum dihubungkan dengan perilaku oportunistik manajer (Scott, 1997). Berdasarkan ketiga hipotesis tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Bonus plan hypothesis

Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer yang menggunakan bonus plan akan

cenderung untuk menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat

meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode berjalan. Hal ini dilakukan

untuk memaksimumkan bonus yang akan mereka peroleh karena seberapa besar

tingkat laba yang dihasilkan seringkali dijadikan dasar dalam mengukur

keberhasilan kinerja. Jika besarnya bonus tergantung pada besarnya laba, maka

manajer tersebut dapat meningkatkan bonusnya dengan meningkatkan laba

setinggi mungkin. Dengan demikian, diperkirakan bahwa manajer dari

perusahaan yang mempunyai kebijakan pemberian bonus yang berdasar pada

(2)

laba akuntansi, akan cenderung memilih prosedur akuntansi yang akan meningkatkan laba tahun berjalan.

2. Debt covenant hypothesis

Hipotesis ini berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi perusahaan di dalam perjanjian hutang (debt covenant). Sebagian besar perjanjian hutang mempunyai syarat-syarat (covenants) yang harus dipenuhi peminjam selama masa perjanjian. Dinyatakan pula ketika perusahaan mulai mendekati terjadinya pelanggaran terhadap debt covenant, maka manajer perusahaan akan berusaha untuk menghindari terjadinya debt covenant tersebut dengan memilih metode- metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba. Pelanggaran terhadap debt covenant dapat mengakibatkan timbulnya suatu biaya serta dapat menghambat kerja manajemen, sehingga dengan meningkatkan laba (melakukan income increasing) manajemen berusaha untuk mencegah atau setidaknya menunda hal tersebut.

3. Political cost hypothesis

Hipotesis ini menyatakan bahwa semakin besar biaya politis yang dihadapi perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan tersebut untuk menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, karena perusahaan dengan tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat perhatian luas dari kalangan konsumen dan media yang nantinya juga akan menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan terjadinya biaya politis, di antaranya adalah muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai macam tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politis.

2.1.2 Agency Theory

Menurut Anthony dan Govindarajan (1995) menyatakan bahwa konsep Agency theory adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent (Widyaningdyah, 2001). Agent bekerja untuk principal, dimana agent melakukan tugas untuk memenuhi kepentingan principal. Salah satu tugas yang diberikan oleh principal kepada agent adalah pemberian otoritas pengambilan keputusan.

Sebagai contoh pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang

(3)

saham sebagai principal mempekerjakan CEO (Chief Executive Officer) sebagai agent untuk bertindak sesuai dengan kepentingan Pemegang saham.

Agency Theory mempunyai asumsi bahwa principal dan agent masing- masing mempunyai motivasi untuk kepentingan dirinya sendiri. Hal ini menimbulkan terjadinya konflik kepentingan antara principal dan agent, konflik kepentingan ini akan semakin meningkat terutama karena principal tidak dapat memonitor kegiatan agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent telah bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham (principal).

Principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent sedangkan agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan kondisi perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent. Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan asimetri informasi. Adanya asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri, mengakibatkan asimetri informasi yang ada dimanfaatkan sebaik mungkin oleh agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak perlu diketahui oleh principal, adanya konflik kepentingan antara agent dan principal serta didukung pula oleh adanya asimetris informasi membuat agent menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada principal, apalagi jika informasi tersebut digunakan untuk pengukuran kinerja agent.

2.1.3 Asimetri Informasi

Pada umumnya asimetri informasi terjadi dalam kondisi dimana suatu pihak memiliki informasi yang tidak diketahui pihak lain. Sehingga ada hal-hal tertentu yang hanya akan diketahui oleh suatu pihak tanpa diketahui pihak lain yang juga memerlukan informasi tersebut.

Asimetri informasi timbul ketika manajer lebih mengetahui informasi yang

lebih banyak tentang prospek perusahaan di masa depan dibandingkan pemegang

saham dan stakeholder lainnya (Kusindratno dan Sumarta, 2005, p. 209). Salah

satu sarana informasi yang ditujukan untuk mengurangi asimetris informasi antara

manajemen dan pemilik perusahaan adalah laporan keuangan. Meskipun

demikian laporan keuangan bukannya tanpa kelemahan, walaupun pembuatan

(4)

laporan keuangan telah diatur oleh suatu standar yang ditetapkan oleh profesi akuntan, namun perlu disadari bahwa pembuat laporan keuangan mempunyai banyak asumsi, penilaian serta pilihan metode penghitungan yang dapat digunakan. Adanya pilihan kebijakan akuntansi dalam standar yang dapat dipakai, membuat manajemen memiliki cukup keleluasaan untuk memanipulasi laporan keuangan tersebut.

Informasi akuntansi yang berkualitas diperlukan oleh investor untuk mengurangi terjadinya asimetri informasi. Hal ini dikarenakan asimetri informasi yang terjadi membuat stakeholders sebagai pihak eksternal yang membutuhkan informasi yang terdapat dalam laporan keuangan tidak dapat mengamati seluruh kinerja dan prospek perusahaan secara sempurna. Dalam situasi dimana manajemen memiliki informasi yang lebih banyak dari pihak eksternal, membuat manajemen dapat menggunakan fleksibilitas yang dimilikinya untuk melakukan manajemen laba.

2.1.4 Kebijakan Akuntansi Akrual

Dalam akuntansi, laporan keuangan disusun atas dasar akrual (accruals basis). Sehingga seluruh transaksi ekonomi akan dicatat pada saat transaksi tersebut terjadi, dimana revenue diakui pada saat dihasilkan dan expense diakui pada saat dikeluarkan, tanpa mempedulikan aliran kas masuk atau kas keluar yang terjadi.

Suatu cara efektif untuk mencurangi pelaporan laba, namun sukar dideteksi adalah melalui manipulasi kebijakan akuntansi yang berkaitan dengan akrual. Menurut Healy (1985) dan DeAngelo (1986) menyatakan bahwa total accruals terdiri dari discretionary accruals dan non discretionaly accruals (Gumanti, 2001, p. 315).

Discretionaly accruals dapat didefinisikan sebagai akrual yang dapat diatur oleh manajemen. Dalam hal ini manajemen memiliki kefleksibelan untuk mengatur angka-angka yang akan dilaporkan dalam laporan keuangan. Contohnya

; pemilihan metode akuntansi dan kebijakan estimasi umur aktiva. Sedangkan non

discretionary accruals dapat didefinisikan sebagai akrual yang tidak dapat diatur

oleh manajemen sehingga angka yang dilaporkan dalam laporan keuangan

(5)

merupakan hasil yang berhubungan dengan aktivitas operasi perusahaan.

Contohnya ; tingkat penjualan, revenue.

2.2 Earnings Management

2.2.1 Definisi Earnings Management

Beberapa literatur menjelaskan tentang earnings management dengan definisi yang berbeda. Menurut Scott (1997) mendefinisikan earnings management sebagai tindakan yang dilakukan manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dari suatu standar tertentu dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan dan atau nilai pasar perusahaan (Widyaningdyah, 2001).

Sugiri membagi definisi earnings management dalam dua definisi, yaitu definisi sempit dan definisi luas. Dalam definisi sempitnya, dijelaskan bahwa earnings management hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi.

Selain itu dapat juga diartikan sebagai perilaku manajer “memainkan” komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya earnings. Sedangkan dalam definisi luasnya, earnings management merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggungjawab tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut (Widyaningdyah, 2001).

Menurut Saidi (2000) mengartikan earnings management sebagai suatu

tindakan yang terjadi karena adanya asimetri informasi yang terjadi antara

manajer dan pihak eksternal. Adanya konsep earnings management dimulai dari

pendekatan agency dan signalling theory. Teori keagenan (agency theory)

menyatakan bahwa praktik earnings management dipengaruhi oleh adanya

konflik kepentingan antara agen (manajemen) dengan prinsipal (pemilik) yang

timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat

kemakmuran yang dikehendakinya. Teori signal (signalling theory) menjelaskan

bagaimana seharusnya signal-signal keberhasilan atau kegagalan manajemen

(agen) disampaikan kepada pemilik (principal). Dalam hubungan keagenan,

manajer memiliki asimetri informasi terhadap pihak eksternal perusahaan seperti

investor dan kreditor. Asimetri informasi terjadi ketika manajer memiliki

(6)

informasi internal perusahaan yang relatif lebih banyak dan mengetahui informasi tersebut relatif lebih cepat dibandingkan pihak eksternal.

2.2.2 Pola Dalam Earnings Management

Pola yang dipilih manajemen dalam melakukan manajemen laba beraneka ragam tergantung pada tujuan mereka melakukan manajemen laba.

Scott (1997) menyebutkan bahwa terdapat empat pola yang umumnya dipilih dalam melakukan tindakan manajemen laba, yaitu :

1. Taking a bath, yaitu dengan melaporkan rugi yang besar sekaligus ketika perusahaan mengalami kerugian sehingga dapat menciptakan peluang laba yang besar di masa yang akan datang. Pola ini dapat dijelaskan oleh Healy 1985 dalam penelitiannya mengenai bonus plan hypothesis, dimana manajer akan memilih menurunkan laba jika laba lebih kecil dari bogey atau melebihi cap, dan menaikkan laba pada saat laba berada di antara bogey dan cap.

2. Income minimization, yaitu upaya perusahaan untuk menurunkan tingkat laba.

Pola ini dilakukan pada saat tingkat profitabilitas perusahaan cukup tinggi.

Contoh penerapan pola ini adalah pada saat perusahaan melakukan manajemen laba untuk menghindari political cost.

3. Income maximization, yaitu upaya yang dapat dilakukan perusahaan untuk menampilkan tingkat laba yang maksimal dengan memilih metode-metode yang dapat meningkatkan laba. Pola ini dicontohkan dengan manajemen laba yang dilakukan saat perusahaan dekat dengan posisi melanggar perjanjian hutang (debt covenant).

4. Income smoothing. Pola ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat laba yang stabil dan mengurangi fluktuasi naik turunnya laba sehingga perusahaan terlihat stabil. Pola ini pada umumnya digunakan untuk tujuan pelaporan eksternal, karena kreditor sebagai pihak eksternal relatif menyukai tingkat laba yang stabil (Kusindratno dan Sumarta, 2005, p. 213).

2.2.3 Peluang Earnings Management

Dalam penyusunan laporan keuangan tidak akan terlepas dari berbagai

kebebasan dalam memilih metode akuntansi yang dapat dipilih dan tersedia serta

(7)

diakui oleh Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Adanya keleluasaan tersebut memberikan kesempatan bagi manajemen untuk melakukan earnings management. Earnings management terutama sangat mungkin terjadi dalam rangka memanipulasi laporan keuangan yang berbentuk laporan laba rugi dengan tujuan meningkatkan laba (earnings). Apabila tidak dicermati maka para pengguna laporan keuangan akan kesulitan dalam membaca laporan keuangan.

Menurut Astriana (2003, p. 45), keleluasaan dalam pemilihan metode akuntansi yang memungkinkan adanya earnings management :

1. Pemilihan dan perubahan kebijakan-kebijakan akuntansi dan estimasi

Hal ini berkaitan dengan metode kebijakan akuntansi dimana ada kebebasan bagi perusahaan untuk memilih kebijakan akuntansi sepanjang tidak menyimpang dari Standar Akuntansi Keuangan. Pemilihan metode kebijakan akuntansi dapat berupa metode penyusutan aktiva tetap, misalnya dapat berupa metode penyusutan garis lurus (straight line method) ataupun metode penyusutan saldo menurun (double-declinning balance method). Perusahaan yang menginginkan laba yang tinggi pada awal tahun dapat menggunakan straight line method, sedangkan apabila perusahaan ingin memperoleh laba yang tinggi pada tahun-tahun berikutnya dapat menggunakan double-declinning method.

Sedangkan untuk metode penilaian persediaan, perusahaan dapat memilih antara metode Last In First Out (LIFO), First In First Out (FIFO), metode rata- rata (average). Perbedaan dalam metode tersebut tentu saja akan berpengaruh kepada harga pokok penjualan yang pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap laba bersih perusahaan.

Sementara untuk kebijakan estimasi dapat diaplikasikan dengan mengatur masa manfaat dari aktiva. Misalnya suatu aktiva dapat diargumentasikan untuk memiliki masa manfaat 10 tahun dan bukan 5 tahun.

2. Saat pengakuan revenue dan expense

Konsep ini mengacu pada konsep ‘matching principle’ dimana expense

ditandingkan dengan revenue. Dalam akuntansi, laporan keuangan disusun

mengacu kepada dasar akrual (accrual basis) sehingga seluruh transaksi ekonomi

akan dicatat pada saat terjadinya revenue diakui pada saat dihasilkan dan expense

diakui pada saat dikeluarkan tanpa mempedulikan aliran kas masuk atau kas

(8)

keluar yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa penyusunan laporan keuangan disusun untuk tidak menggunakan dasar kas (cash basis).

Earnings management dapat terjadi karena perusahaan mempunyai kebebasan untuk menentukan kapan mereka ingin mengakui suatu pendapatan (revenue) dan suatu pengeluaran (expense). Sebagai contoh misalnya pada akhir tahun buku perusahaan mengetahui bahwa suatu piutang tertentu tidak dapat ditagih, kapankah perusahaan seharusnya menghapuskan piutang (write-off) tersebut dari buku perusahaan. Perusahaan dapat melakukan pengelolaan, dimana piutang tersebut dapat dihapuskan pada periode tahun buku sekarang (current period) atau pada saat tahun buku berikutnya. Pada umumnya laba perusahaan akan lebih berkualitas apabila perusahaan menggunakan prinsip konservatif dalam mengakui pendapatan dan beban.

3. Directionary Items

Directionary items berkenaan dengan bagaimana cara perusahaan dalam mengelola pengeluaran-pengeluaran yang akan memberikan manfaat di masa depan. Biaya penelitian dan pengembangan (research and development cost), biaya perawatan mesin dan peralatan (repair & maintenance cost), biaya pemasaran dan iklan (marketing & advertising expenses) merupakan contoh dari discretionary expenses yang dapat dikelola perusahaan. Perusahaan dapat menunda biaya penelitian dan pengembangan misalnya apabila perusahaan ingin mengusahakan laba lebih besar dari suatu periode akuntansi. Oleh karena itu para pengguna laporan keuangan harus seksama memperhatikan dampak dari kebijakan perusahaan ini, misalnya melalui pengujian tren dari pengeluaran (expenditure), juga yang penting adalah usaha untuk melakukan perbandingan dengan industri sejenis.

4. Nonrecurring and non operating items

Hal ini berkaitan dengan jenis-jenis pendapatan dan pengeluaran yang

bukan merupakan akibat dari bisnis operasional perusahaan yang normal sehingga

transaksi jenis ini biasanya merupakan transaksi yang jarang terjadi (non

recurring). Perusahaan memiliki kekuasaan untuk menciptakan laba yang

diinginkan. Misalnya perusahaan melakukan penjualan suatu aktiva tetapnya

dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan (gain).

(9)

2.2.4 Faktor-Faktor Yang Memotivasi Earnings Management

Berdasarkan kajian-kajian terdahulu, earnings management tidak begitu saja muncul melainkan muncul dengan didasari oleh Adanya motivasi tertentu, sehingga perlu terlebih dahulu dilakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap terjadinya earnings management dengan melihat apa yang menjadi motivasi terjadinya earnings management tersebut, sehingga dapat diketauhi bentuk atau pola earnings management yang akan berlaku.

Scott (1997) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang memotivasi manajer untuk melakukan manajemen laba (Lontoh dan Lindrawati, 2004, p. 8), yaitu:

1. Motivasi bonus, manajer akan berusaha mencapai laba sesuai dengan yang ditargetkan.

2. Motivasi kontraktual, misal untuk memperbesar bonus yang akan diterima atau untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran perjanjian dalam kontrak hutang.

3. Motivasi yang bersifat politik, misalnya menghindari kebijakan atau regulasi tertentu.

4. Motivasi penggantian CEO, misalnya untuk menghindari penggantian CEO karena kinerja yang dianggap buruk.

5. Penawaran saham perdana kepada publik (Initial Public Offerings), misalnya untuk mencapai harga saham yang lebih tinggi pada saat IPO.

6. Motivasi pasar modal, misalnya untuk mengungkapkan informasi tersembunyi yang dimiliki perusahaan kepada investor.

7. Motivasi pajak, misal untuk menghindari pajak penghasilan perusahaan cenderung memakai metode pencatatan persediaan LIFO karena laba yang dihasilkan lebih rendah sehingga pajak yang dibayar juga rendah.

2.3 Motivasi Pajak 2.3.1 Pengertiaan Pajak

Para ahli dalam bidang perpajakan memberi definisi berbeda-beda

mengenai pajak namun demikian mempunyai tujuan yang sama. Menurut

Soemitro (1995) pajak adalah ”iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan

(10)

undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (Kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”(Zain, 2003, p. 11)

Dari definisi pajak tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak adalah:

1. Iuran masyarakat kepada negara, dalam arti bahwa negara mempunyai hak untuk melakukan pemungutan pajak dengan alasan apapun swasta atau partikuler tidak boleh memungut pajak.

2. Berdasarkan undang-undang, dalam arti bahwa walaupun negara mempunyai hak untuk memungut pajak namun dalam pelaksanaannya harus mendapatkan persetujuaan dari rakyat yaitu melalui Undang-undang.

3. Tanpa jasa Timbal balik dari negara yang langsung ditunjukkan, dalam arti bahwa jasa timbal balik atau Kontra prestasi yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya pajak.

4. Untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum, dalam arti bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah tersebut mempunyai manfaat bagi masyarakat secara umum.

2.3.2 Pengaruh Pajak terhadap Perusahaan.

Pajak merupakan pungutan berdasarkan undang-undang oleh Pemerintah.

Pajak juga diasumsikan sebagai biaya atau beban yang sangat mempengaruhi pihak manajemen perusahaan dalam meningkatkan laba (profit). Secara ekonomis pajak merupakan unsur pengurang laba, yang dapat dipakai oleh perusahaan untuk dibagi sebagai deviden atau untuk diinvestasikan kembali.

Bagi perusahaan, pajak merupakan beban, membuat perusahaan berusaha untuk meminimalkan beban pajak tersebut sehingga laba yang didapat menjadi maksimal sehingga mampu meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan.

Dalam melaksanakan kewajibannya Wajib Pajak selalu berusaha membayar pajak

terutang sekecil mungkin sepanjang hal tersebut dimungkinkan dalam undang-

undang.

(11)

2.3.3 Manajemen Pajak

Strategi di bidang perpajakan sebaiknya disebut dengan istilah manajemen pajak. Secara umum definisi manajemen pajak adalah sarana yang dapat digunakan oleh wajib pajak untuk memperoleh pembayaran pajak serendah mungkin sepanjang hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku (Suandy, 2003)

Tujuan dari manajemen pajak adalah bukan mengelak untuk membayar pajak melainkan pengaturan pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak sehingga pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya dan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku (Suandy 2003) Perusahaan yang melakukan manajemen pajak dengan benar dapat memperkuat keuangannya sehingga perusahaan tersebut akan mendapatkan kepercayaan dari beberapa pihak.

Jika pengelolaan pajak tidak dilakukan dengan baik, kemungkinan di kemudian hari perusahaan dapat mengalami kebangkrutan.

Ada dua hal yang perlu dikuasai dan dikerjakan jika tujuan dari manajemen pajak hendak tercapai :

a. Memahami Ketentuan Peraturan Perpajakan

Jika kita hendak melakukan perencanaan pajak, maka sebaiknya peraturan- peraturan yang ada harus diikuti dan dipelajari. Dengan mempelajari undang- undang, serta peraturan-peraturan yang ada, kita dapat melihat celah-celah yang kiranya menguntungkan untuk dilakukannya penghematan pajak.

Dengan banyaknya peraturan undang-undang pajak, petunjuk pelaksanaan dan teknis perpajakan yang kurang dipahami menyebabkan Wajib Pajak sulit memanfaatkan peluang yang ada dalam manajemen pajak.

b. Menyelenggarakan Pembukuan yang Memenuhi Syarat

Pembukuan mempunyai peranan penting dalam penyajian informasi yang

dapat digunakan sebagai dasar penghitungan pajak, karena tanpa informasi

tersebut jumlah pajak terutang tidak dapat dihitung. Demikian pula

perencanaan pajak sangat tergantung pada sistem pembukuan yang ada dalam

perusahaan. Dengan menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat

maka perusahaan dapat mengetahui jumlah pajak yang akan dielakkan dan

cara menghindarinya.

(12)

2.4 CEO (Chief Executive Officer)

Kesan tradisional ialah bahwa CEO itu seorang pemikir yang ahli dalam merancang strategis, merancang organisasi untuk menerapkan rencana, dan memimpin pasukannya melalui tindakan (maneuvers) yang diperlukan untuk melaksanakan tujuan dengan menggunakan pengalamannya dan pandangannya yang luas. CEO adalah wiraswastawan (menetapkan tujuan), perencana strategi (merencanakan), pembentuk organisasi (mengorganisir), pemimpin (memberikan arah) dan pengendali utama (kontrol). CEO harus secara cepat dan bersama-sama menangani berbagai kegiatan yang berbeda-beda dalam rencana pekerjaan dan hanya sedikit waktu yang memungkinkannya untuk melakukan pertimbangan.

Dalam hal ini, intuisi dan pertimbangan menjadi model pengambil keputusan yang lebih disukai.

2.4.1 Kategori Peranan CEO (Chief Executive Officer)

Menurut Jauch dan Gleuck (1989, p. 69) menyatakan bahwa CEO (Chief Executive Officer) mempunyai berbagai kategori peranan yang harus dijalani antara lain:

1. Peranan Interpersonal

Sebagai tokoh simbolis organisasi, seorang dirut CEO melaksanakan sejumlah kegiatan rutin yang bersifat resmi dan sosial. Hal ini penting dilakukan untuk memperkenalkan perusahaan pada orang luar. Disisi lain CEO sebagai pemimpin (leader) bertanggung jawab untuk menetapkan staff organisasi serta memberikan pelatihan-pelatihan dan motivasi pada bawahannya. CEO juga mempunyai peranan untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan pihak luar, sehingga perusahaan mempunyai peluang untuk mendapatkan informasi dari pihak luar tersebut.

2. Peranan Informational

Dalam memainkan peranannya sebagai pemantau (monitor), manajer akan melakukan cara apapun seperti membaca, melakukan perjalanan atau mengikuti pertemuan guna mendapatkan informasi mengenai organisasi dan lingkungannya.

CEO juga bertugas menyebarkan informasi yang diterima kepada orang luar

(13)

ataupun orang dalam. Penyebaran informasi khususnya kepada orang luar dapat dilakukan melalui surat-menyurat, telepon, atau pada pertemuan dewan.

3. Peranan Pengambil keputusan

Sebagai wiraswasta CEO mempunyai tugas strategis untuk memulai proyek, untuk mendapatkan keuntungan dari peluang yang ada. CEO juga mengadakan pertemuan strategis dan peninjauan untuk melaksanakan hal ini. CEO diharapkan mampu untuk menyelesaikan masalah serta menyelesaikan krisis, ketika tugasnya berubah menjadi seseorang yang diharapkan mampu menangani gangguan.

Sebagai pemegang sumber dana manajer mengerahkan anggaran dan menyetujui permintaan jumlah sumber daya manusia, keuangan dan material. Akhirnya manajer puncak bertanggung jawab untuk mewakili perusahaan sebagai perunding (negotiator) untuk kontrak dengan serikat buruh, penyalur besar dan langganan besar.

2.4.2 Pergantian CEO

Apa yang terjadi bila kinerja manajemen tidak sesuai dengan yang diharapkan, atau peranan dan kegiatan CEO tidak menghasilkan keputusan atau strategi yang baik yang mengarah kepada pelaksanaan yang efektif? Kalau terjadi kegagalan, maka CEO biasanya dipecat. Secara strategis CEO dapat membuat kesalahan kelalaian yang mengarah kepada pemecatannya. Pemecatan karena kelalaian dapat terjadi apabila CEO dianggap gagal menanggapi perubahan pasar serta kurang dapat mengendalikan operasi.

Pergantian CEO dapat terjadi dalam dua hal yakni pergantian “dari dalam”

dan pergantian “dari luar”. Pertama sangat penting untuk memahami perbedaan dasar antara pergantian “dari dalam” dan pergantian “dari luar”. Pergantian “dari dalam” mungkin mengarah atau tidak mengarah kepada perubahan total pada strategi perusahaan. Pengambilan kekuasaan “dari dalam” mungkin mempunyai tujuan bahwa pergantian adalah maksud utama dan bukan hanya terletak pada perubahan kebijaksanaan saja, sedangkan pergantian “dari luar” mungkin mengarah kepada perubahan strategi yang mendasar.

Nampaknya bagi perusahaan yang sedang menurun, memilih orang dalam

atau orang luar untuk menggantikan CEO tergantung daripada akibat yang

(14)

diperkirakan dari kemunduran itu. Kalau sebab kemunduran itu dari dalam, sangat besar kemungkinannya bahwa orang luarlah yang akan diangkat. Karena CEO baru dari luar tidak akan terikat terhadap strategi yang lampau ataupun terhadap kelompok kekuatan yang berada di dalam organisasi yang bekerja untuk memperkuat kedudukan mereka.

Juga ada bukti yang menyatakan bahwa strategi dapat digunakan untuk menurunkan CEO, sehingga CEO berusaha untuk membuat strategi sebaik mungkin agar kedudukannya dapat dipertahankan. Sebelum perusahaan mengalami penurunan, CEO dapat dipersalahkan karena membuat strategi yang jelek. Sehingga CEO yang tidak mampu membuat strategi yang baik akan terancam posisinya.

Salancik dan Pfeffer berpendapat bahwa masa jabatan tidak ada hubungannya dengan prestasi kerja bagi perusahaan yang dikelola pemiliknya, ataupun berhubungan secara positif dengan margin keuntungan bagi perusahaan yang dikuasai dari luar, dan berhubungan secara positif dengan hasil pengembalian pasaran saham bagi perusahaan yang dikuasai oleh manajemen (Gleuck dan Jauch, 1989, p. 83).

McDonald menyimpulkan masalah ini, dengan mengemukakan bahwa

“fungsi kepala eksekutif yang unik adalah untuk menyelesaikan nilai-nilai yang saling bertentangan” (Gleuck dan Jauch 1989, p. 83). Kalau hal ini tidak dilakukan secara tepat, maka bukan saja akan terjadi ketidakseimbangan tentang cara dan tujuan, tetapi kedudukan CEO itupun mungkin akan menghadapi resiko.

2.5 Perumusan Hipotesis

2.5.1 Motivasi Pajak Mempengaruhi Earnings Management

Pajak dianggap oleh sebagian perusahaan sebagai biaya yang sangat

mempengaruhi laba perusahaan, Pajak dianggap sebagai penggurang laba

perusahaan, dimana semestinya laba perusahaan ini tersedia bagi perusahaan

untuk dibagikan dalam bentuk Deviden atau seharusnya laba perusahaan ini dapat

digunakan untuk diinvestasikan kembali. Karena pajak bagi perusahaan adalah

beban, membuat perusahaan berusaha untuk meminimumkan beban pajak tersebut

(15)

untuk memaksimalkan laba. Salah satu cara yang dapat dipakai adalah earnings management.

Dalam penelitian Gaenther (1994) yang telah menjalankan kajiannya yang berjudul “Earnings management sebagai tanggapan terhadap perubahan tarif pajak pendapatan. Bukti dari pembaharuan ketentuan pajak tahun 1986 di Amerika Serikat”. Penelitian ini menyelidiki apakah perubahan tarif pajak 1986 (Tax Reforrm Act 1986/TRA) yang diturunkan dari 46 persen menjadi 34 persen, yang telah diumumkan pada September 1986 dan berlaku mulai 1 Juli 1987, telah memotivasi terjadinya earnings management pada perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat. Para manajer perusahaan berusaha untuk memaksimumkan nilai perusahaannya dengan cara meminimumkan beban pajak. Hasil dari penelitian ini menemukan bukti bahwa untuk tujuan itu, pihak manajemen telah menangguhkan atau menunda sebagian pendapatan dalam periode 1986 kepada periode-periode setelah terjadinya tarif pajak yang baru (Yuskar, Taib, Ibrahim, 2003, p. 83).

H1:Motivasi Pajak mempengaruhi manajemen melakukan earnings management.

2.5.2 Motivasi Pergantian CEO Mempengaruhi Earnings Management

CEO yang bertugas sebagai agent dari pemegang saham bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham. Pergantian CEO tidak begitu saja terjadi melainkan dapat terjadi bila kondisi perusahaan mengalami penurunan ataupun dapat dikarenakan pihak investor tidak puas terhadap kinerja CEO. Jika pergantian CEO akhirnya terjadi, maka CEO yang baru pada umumnya akan mendapatkan tekanan yang besar, karena diharapkan mampu memperbaiki kondisi serta akan berusaha untuk mendapatkan kepercayaan dari investor, hal ini dilakukan agar kedudukannya saat ini bisa dipertahankan. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh CEO yang baru adalah dengan melakukan earnings management.

Hasil penelitian Murphy dan Zimmerman (1993) menunjukan bahwa eksekutif yang baru (incoming CEO) akan melakukan “bath” untuk menaikkan laba ke depan dengan membebankan pada laba tahun transisi (Rata, 2003, p. 186).

Taking a bath bisa terjadi selama periode adanya tekanan terhadap

perusahaan atau bahkan pada waktu terjadinya pergantian CEO yang baru. Jika

(16)

sebuah perusahaan harus melaporkan rugi, maka dengan terpaksa manajemen akan melakukan kerugian yang lebih besar guna meningkatkan profitabilitas laba mendatang yang positif (Rata, 2003, p. 186). Hasil penelitian Burgstahler dan Dichev (1997) menunjukan bahwa ada indikasi earnings management pada saat income perusahaan menurun atau negatif (Rata, 2003, p.186). Sehingga hipotesis yang kedua:

H2: Motivasi Pergantian CEO mempengaruhi manajemen melakukan earnings management

2.6 Binary Logistic

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode statistik Binary Logistic. Binary Logistic merupakan metode statistik yang bertujuan untuk memprediksi besar variabel tergantung yang berupa sebuah variabel binary dengan menggunakan data variabel bebas (Santoso, 2000, p. 173). Alasan pemilihan metode ini karena data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat nonparametrik serta variabel dependen bersifat dichotomous (memiliki 2 nilai, contohnya ya atau tidak, sukses atau gagal). Dalam statistik nonparametik distribusi populasinya tidak harus merupakan distribusi normal (Santoso, 2001, p. 378)

Variabel binary adalah data jenis nominal dengan dua kriteria saja.

Contoh: gagal-sukses, pindah-tidak pindah (Santoso, 2000, p. 173). Data nominal sendiri merupakan data yang diperoleh dengan cara kategorisasi atau klasifikasi, dimana posisi data setara dan tidak bisa dilakukan operasi matematika terhadap data tersebut (Santoso, 2000, p. 5).

Ada 3 langkah untuk menganalisa output yang dihasilkan oleh metode Binary Logistics, yaitu:

1. Menilai kelayakan model regresi

Tahapan ini bertujuan untuk melihat apakah model regresi binary layak

untuk dipakai untuk analisa selanjutnya di masa depan atau tidak. Hal ini

dilakukan dengan melihat output dari Hosmer and Lemeshow dengan

menggunakan hipotesis sebagai berikut:

(17)

H

0

= Tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati.

H

1

= Ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati.

Dasar pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

• Jika probabilitas > 0,05 maka H

0

diterima.

• Jika probabilitas < 0,05 maka H

0

ditolak.

Dimana probabilitas yang dimaksud adalah nilai goodness of fit test pada bagian bawah uji Hosmer and Lemeshow (Santoso, 2000, p. 177).

2. Menilai keseluruhan model (overall model fit)

Tahap ini bertujuan untuk menguji seberapa jauh model cocok dengan data yang ada. Overal model fit ini disebut juga dengan deviance dan dilakukan dengan memperhatikan angka -2 Log Likelihood pada awal (Block Number=0) kemudian memperhatikan angka -2 Log Likelihood pada akhir (Block Number=1). Apabila mengalami penurunan, maka hal ini menunjukkan model regresi yang lebih baik (Santoso, 2000, p. 177). Semakin kecil angka yang dihasilkan semakin baik pula model regresi binary cocok dengan data.

3. Menguji koefisien regresi

Tahap ini dilakukan dengan cara melakukan uji t. Uji t ini bertujuan untuk menguji signifikansi setiap variabel independen (Santoso, 2000, p. 177). Dangan melihat kolom Sig/Significance yang terlihat pada bagian akhir output maka dilakukan pengambilan keputusan sebagai berikut:

• Jika probabilitas > 0,05 maka H

0

diterima.

• Jika probabilitas < 0,05 maka H

0

ditolak.

Referensi

Dokumen terkait

Cacing - cacing tersebut larvanya paling tidak sampai stadium infektif hidup bebas sedang yang dewasa hidup sebagai parasit di dalam saluran pencernaan herbivora..

Pemahaman akan terbentuk apabila proses komunikasi yang terjadi efektif, dimana adanya proses komunikasi aktif antara Dinas Kehutanan dan Kelompok Tani Sungai Tuo dan Kelompok Tani

diperoleh. Kelompok dengan nilai terendah akan mendapat hukuman dari teman-teman kelompok lain. Waktu yang diberikan untuk setiap kelompok adalah10 menit. Setelah 10 menit,

Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat yang telah kami selenggarakan adalah Pelatihan Matematika dan Komputer Dasar di Yayasan Karang Widya (The Learning Farm) yang beralamat

Melalui bahasannya peneliti mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana sebuah karya seni yang berkembang di masyarakat seperti halnya tembang Sunda Cianjuran sangat

Waringin Margi Yusmaman, III/b PTBBN Diploma III Pranata Nuklir Ahli Melakukan kegiatan pengelolaan

1) Ketua menyetujui dan menandatangani surat rujukan untuk disampaikan ke lembaga layanan lain. 2) Petugas menghubungi dan mengoordinasikan dengan lembaga layanan lain dan

Pokok pikiran ketiga yang di kemukakan blumer ialah makna di perlukan atau di ubah melalui suatu proses penafsiran ( interpretative process), yang digunakan