• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Antropologi Sastra

Antropologi sastra berasal dari kata antroplogi dan sastra. keduanya sama-sama disiplin ilmu yang fokus pada bidang humanities. Antropologi adalah telaah ilmu yang mendalami sikap dan perilaku manusia (Endaswara, 2013:1). Dengan demikian, antropologi memfokuskan pada kebudayaan atau cara hidup manusia dalam lingkungannya. Antropologi sastra merupakan ilmu yang mempelajari sastra yang bermuatan kebudayaan (Endaswara, 2013:10). Sastra dapat dipahami sebagai potret budaya atau cerminan masyarakat. Hal ini yang menjadikan kedekatan hubungan antara sastra dengan antropologi.

Salah satu keterkaitan antara sastra dengan antropologi adalah masing-masing ilmu yang banyak memperhatikan estetika seni (Endaswara, 2013:15). Sastra bukan hanya banyak memuat fakta-fakta imajinatif, melainkan juga memuat sebuah budaya yang berisi etika. Sebagaimana halnya sastra dijadikan sebagai alat yang mengajarkan perilaku berbudaya. Oleh karenanya sastra dan antropologi sama-sama memperhatikan pada aktivitas manusia, namun dengan cara yang berbeda yakni, sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas, sedangkan antropologi melalui kemampual akal dan intelektual.

Menurut Endraswara (2013:15), antropologi sastra sebagai upaya dalam memahami sastra adalah melalui latar belakang budayanya. Hal ini dikarenakan sastra diciptakan tidak lepas dari budaya yang mengitarinya (berangkat dari fenomena atau

(2)

12

peristiwa budaya). Antroplogi sastra menekankan pada pemahaman karya sastra yang berkaitan dengan unsur-unsur sosio kultur budaya. Melalui interpretasi struktur sastra dapat membantu dalam menganalisis ataupun memahami kehidupan sosio kultural dan estetiknya. Dapat disimpulkan, penelitian antropologi sastra adalah telaah struktur sastra yang memiliki keterkaitan dengan konsep atupun konteks situasi sosial budayanya.

2.2 Unsur Kebudayaan

Lasswell mengungkapkan Culture” is the term used to refer to the way that the members of a group act in relation to one another and to other groups (Kluchkhohn,

1952:51). Pendapat tersebut dapat diartikan yaitu Budaya adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada cara anggota kelompok bertindak dalam hubungan kepada satu sama lain dan ke kelompok lain. Kebudayaan diciptakan oleh manusia dan yang melakukannya juga manusia, sehingga untuk membaca dan memahami kebudayaan faktor utama yang perlu dipelajari adalah manusianya, tentunya untuk mengukur satu kebudayaan diperlukan satu kesatuan kesepakatan besar oleh kelompok.

Kelompok yang dibentuk oleh gabungan manusia dengan manusia lain dalam kurun waktu yang lama akan menciptakan kebudayaan. Kebudayaan bersifat universal, yaitu budaya tidak hanya dapat dipandang hanya dalam satu aktivitas atau bentuk perilaku saja, tetapi lebih bersifat melengkapi semua unit yang meliputi hidup dan kehidupan manusia. Menurut Honigman (dalam Koentjaraningrat, 2009:150) wujud kebudayaan terbagi menjadi tiga yaitu, budaya sebagai seperangkat ide,

(3)

13

budaya sebagai aktivitas manusia, dan budaya sebagai benda hasil ciptaan manusia.

Ketiga wujud tersebut saling memiliki keterakitan, manusia sebagai pelaku utama tetap menjadi titik koordinat dalam pembentukan ketiga wujud tersebut.

Wujud kebudayaan diartikan sebagai bentuk kebudayaan, ketiga wujud kebudayaan tersebut menjelaskan penciptaan kebudayaan sampai menjadi bentuk hingga dapat disebut bahwa sesuatu tersebut adalah salah satu bentuk kebudayaan.

Selaras dengan wujud kebudayaan, Koentjaraningrat dalam buku Pengantar Ilmu Antropologi (2009:164) menyebutkan bahwa kebudayaan perlu diperinci menjadi

unsur-unsur yang khusus. Unsur unsur tersebut bersifat universal, disebut universal karena unsur-unsur tersebut ada dan bisa didapatkan dalam kebudayaan oleh seluruh bangsa di dunia.

Tujuh unsur kebudayaan tersebut yaitu, (1) Bahasa, (2) Sistem pengetahuan, (3) Organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) mata pencaharian, (6) sistem riligi, dan (7) kesenian (Koentjaraningrat, 2009:165). Setiap unsur kebudayaan sudah pasti menjadi wujud kebudayaan, yaitu berupa sistem budaya, sistem sosial, dan kebudayaan fisik.

Unsur-unsur kebudayaan tersebut merupakan sebuah bagian dari hidup dan kehidupan manusia, unsur tersebut didapat dari serangkaian cara manusia dalam menemukan dirinya dalam hidupnya, meliputi caranya bertahan hidup, caranya berkembang, caranya bersikap, serta caranya berpikir. Naskah monolog Patih Nguntalan karya Nur Sahid yang mengangkat mengenai isu-isu kebudayaan terlebih tentang seni Ketoprak Tobong di era modern. Seni Ketoprak Tobong merupakan bagian dari salah satu unsur pembangun kebudayaan yakni kesenian. Terlebih jika

(4)

14

memandang seni Ketoprak Tobong meurpakan kesenian tradisional yang lahir dari masyarakat tradisi. Unsur-unsur kebudayaan gagasan Koentjaraningrat pada penelitian Ekologi Budaya dalam Naskah Monolog Patih Nguntalan karya Nur Sahid ini dijadikan sebagai kunci dan tolok ukur dalam menemukan representasi kebudayaan dalam naskah Patih Nguntalan karya Nur Sahid.

2.3 Dinamika Budaya

Kebudayaan dilahirkan oleh manusia yang kemudian terhimpun dalam masyarakat. Manusia pada dasarnya merupakan sebuah makhluk hidup yang memiliki sifat dapat bertumbuh dan berkembang. Dengan demikian segala bentuk pertumbuhan dan perkembangan manusia akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat secara luas. Oleh karena kebudayaan dilahirkan dan dijalankan oleh manusia, kebudayaan juga memiliki sifat yang juga dinamis. Menurut Yadyana dan Ardika (2017:1) dinamika kebudayaan merupakan seperangkat cara hidup manusia yang selalu mengalami pergerakan, perkembangan dan penyesuaian dengan setiap keadaan. Dengan demikian dinamika kebudayaan dapat diartikan sebagai sebuah keberlangsungan yang di dalamnya tentu mengalami proses bergerak, berkembang dan adaptasi.

Menurut Poerwanto (2000:39) kebudayaan mengenal ruang dan tempat pertumbuhan dan perkembangan serta mengalami perubahan dan pengurangan. Oleh karenanya kebudayaan selalu bertumpu pada suatu tempat dan peran manusia sebagai pelaku kebudayaan. Tempat berlangsungnya kebudayaan atau dapat dairtikan lingkungan memiliki peran penting dalam proses keberlangsungan kebudayaan

(5)

15

berikut juga peran manusia dalam masyarakat. Ketiga bagian penting tersebut tidak dapat dipisahkan dan akan senantiasa saling memiliki keterkaitan karena peristiwa- peristiwa yang terjadi dengan sebab atau akibat dari masing-masing bagian tersebut merupakan sebuah dinamika kebudayaan.

Dinamika kebudayaan terjadi atas timbulnya gejala-gejala dan kejadian yang melibatkan organisme dalam sosio budaya. Dinamika budaya mutlak akan menjadi bagian penting dalam kehidupan kebudayaan, jadi kebudayaan tidak hanya lahir dari manusia kuno yang secara tiba-tiba diwariskan kepada generasi setelahnya, tetapi proses dialektika didalamnyalah yang menajdikan budaya semakin beragam dan memiliki karakter.

Membahas mengenai dinamika kebudayaan, maka tidak terlepas dari sejauh mana sebuah kebudayaan diciptakan, dibiasakan, dikembangkan, dikurangi, ditambahkan serta perubahan. Terdapat beberapa proses penting yang merupakan bagian dalam dinamika kebudayaan yang dapat dijadikan acuan dalam analisa gejala- gejala sosio budaya. Dalam bukunya Koentjaraningrat yang berjudul Pengantar Ilmu Antropologi (1990:227) menjabarkan konsep-konsep yang digunakan dalam analisa

kebudayaan sebagai berikut.

2.3.1 Proses Belajar Kebudayaan Oleh Masyarakat

Proses belajar kebudayaan oleh masyarakat terdiri tiga, yaitu internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi.

1) Internalisasi

Internalisasi merupakan sebuah proses panjang yang meliputi keadaan ketika manusia dilahirkan dan mulai belajar menanamkan segala hasrat, nafsu dan emosi

(6)

16

sepanjang hidupnya sampai manusia meninggal (Koentjaraningrat, 1990:228). Oleh karenanya internalisasi lebih bersifat kedirian manusia yang belum masuk dalam masyarakat, yakni sejauh mana individu mengenali kediriannya dan mulai membaur dalam masyarakat.

2) Sosialisasi

Proses sosialisasi kebudayaan meliputi fase yang dilakukan manusia dalam mempelajarai nilai-nilai dalam masyarakat serta mulai melakukan pemahaman terhadap kebudayaan yang berlangsung dan diwariskan generasi sebelumnya. Proses sosialisasi bertumpu pada lingkungan alam dan lingkungan sosial dalam lingkup kebudayaan karena karakter sosio budaya dalam lingkungan masyarakat tersebut akan menjadi cikal-bakal pengetahuan kebudaayan individu baru.

3) Enkulturasi

Enkulturasi merupakan proses individu dalam mempelajari dan melakukan penyesuaian pikiran terhadap adat istiadat, norma, dan aturan hidup dalam lingkup kebudayaannya (Koentjaraningrat, 1990:233). Secara sederhana proses enkulturasi dapat diartikan sebagai proses pembudayaan yang dimana seorang individu sudah mulai membaurkan pikiran kediriannya dengan kebudayaan.

2.3.2 Evolusi Kebudayaan

Menurut Yadyana dan Ardika (2017 :1) evolusi kebudayaan adalah proses perkembangan kebudayaan dari bentuk-bentuk yang sederhana sampai menjadi bentuk yang kompleks. Dengan demikian evolusi kebudayaan merupakan sebuah tahapan dimana manusia sudah mengenal dan menghayati serta mengadaptasi

(7)

17

kebudaayaan yang sederhana, sehingga manusia sanggup mengembangkan kebudayaan tersebut.

2.3.3 Difusi Kebudayaan

Kebudayaan yang telah dipelajari oleh setiap individu kemudian akan mengalami proses difusi atau penyebaran kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1990:244), Difusi kebudayaan disebabkan oleh adanya penyebaran manusia antara wilayah satu dan lainnya. Penyebaran manusia juga tidak selalu terjadi akibat manusia berpindah, tetapi juga dapat terjadi karena manusia dalam lingkup kebudayaan membawa dan mengenalkan kebudayaan lainnya.

2.3.4 Proses Belajar Kebudayaan Asing

Proses belajar kebudayaan asing terdiri dari akulturasi dan asimilasi. Proses akulturasi merupakan sebuah proses sebuah kebudayaan yang berhadapan dengan kebudayaan asing atau kebudayaan lain. Akulturasi dan asimilasi seringkali dimaknai sama karena kedua konsep tersebut memiliki sekat yang tipis dalam konsep mekanismenya. Menurut Thurnwald dalam Poerwanto (2000:106) Acculturation is a procces, not an isolated event. Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sekat

antara akulturasi dan asimilasi terletak pada bagian akulturasi lebih menekankan pada dinamika dan proses pertukaran dan adaptasi kebudayaan.

Proses asimilasi hampir memiliki kesamaan dengan akuturasi tetapi porses asimilasi merupakan sebuah proses pembaharuan atau perubahan sosio budaya akibat dari kontak budaya. Menurut Koentjaraningrat (1990:255) asimilasi merupakan

(8)

18

proses sosial yang timbul karena golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda, adanya intesitas pergaulan yang lama sehingga kebudayaan dari masing-masing golongan berubah sifat khasnya, unsur-unsur kebudayaannya dan menjadi kebudayaan campuran.

2.3.5 Inovasi Kebudayaan

Kebudayaan telah jauh ada dan berkembang dalam lingkungan masyarakat di masing-masing lingkup kebudayaan yang berbeda. Seiring berkembangan masa dan terus bertambahnya individu-individu baru dalam suatu kelompok atau golongan masyarakat menyebabkan adanya perubahan dan inovasi kebudayaan. Menurut Poerwanto (2000: 169) Perubahan kebudayaan lebih menekankan pada sistem ide, termasuk juga pada perubahan norma dan aturan yang dipegang oleh masyarakat.

Pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa inovasi merupakan bagian dari suatu perubahan kebudayaan yang lebih kompleks karena adanya penambahan ide dan konsep berpikir baru.

2.4 Seni Ketoprak

Ketoprak merupakan bagian dari bentuk seni pertunjukan tradisional yang berupa sandiwara. Menurut Abdullah dalam Avivah (2014:2) kesenian tradisional bersumber dan mengakar pada masyarakat yang segala sesuatunya dirasakan sebagai milik masyarakat sendiri. Dengan demikian istilah tradisional muncul sebagai suatu bentuk identitas atau karakter masyarakat yang tercermin dalam bentuk keseniannya.

(9)

19

Menurut Sudyarsana dalam Intarti (1997:1) dinamakan ketoprak karena dalam pertunjukannya menggunakan tabuhan berupa lesung, rebana, kendang dan keprak sebagai tanda keluar masuknya pemain atau lakon, perpaduan bunyi tabuhan lesung dan keprak inilah yang diduga menjadi cikal-bakal nama ketoprak. Berdasar pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa ada masa awal lahirnya, ketoprak merupakan kesenian yang sangat sederhana.

2.4.1 Perkembangan Seni Ketoprak

Menurut Murdiyastomo (2019:6) kemunculan Ketoprak bermula dari aktivitas menumbuk padi yang biasa dilakukan oleh perempuan. Kegiatan menumbuk biasa dilakukan pada malam hari, untuk mengisi waktu luang para petani dari petang hingga malam. Aktivitas menumbuk padi dengan Alu dan Lumpang yang dipukul- pukul menimbulkan bunyi-bunyian yang berbeda. Kekhasan bunyi pukulan alu dengan lesung itulah yang tanpa sengaja menciptakan komposisi musik. Dengan demikian Ketoprak sederhana muncul dari ketidaksengajaan aktivitas masyarakat petani atau pribumi di Jawa.

Menurut Murdiyastomo (2019:2) ketoprak pertama kali muncul di Surakarta, tetapi di Surakarta ruang gerak seni ketoprak terbatas sehingga seni ketoprak lebih berkembang pesat di Yogyakarta. Seni ketoprak merupakan kesenian yang lahir dari masyarakat pribumi atau biasa disebut sebagai kesenian hiburan rakyat. Sejatinya seni ketoprak merupakan seni sandiwara yang memainkan sebuah cerita lakon yang banyak terinspirasi dari kisah-kisah kuno di Nusantara.

(10)

20

Menurut Soedarsono dalam Ardilla (2014:14) Ketoprak mulai memasuki daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1925 serta terus mengalami perkembangan pesat. Pada masa itu banyak ditemuka perkumpulan ketoprak hampir di tiap kampung di Yogyakarta. Cerita yang dibawakan dalam pertunjukan biasanya mengambil dari babad serta legenda jawa. Dengan demikian seni ketoprak menjadi seni yang semakin banyak diminati di Yogyakarta pada masanya, seni ketoprak menjadi hiburan rakyat yang sangat dinanti oleh warga masyarakat.

2.4.2 Jenis dan Bentuk Seni Ketoprak

Seiring berkembangnya jaman, dan semakin besarnya atmosfer penonton ketoprak, ketoprak banyak mengalamai perkembangan. Perkembangan ketoprak tersebut terangkum dalam periodeisasi ketoprak diantaranya yaitu periode Ketoprak Lesung, Periode Ketoprak Peralihan dan Periode Ketoprak Gamelan dan Ketoprak Panggung (Tobong) Periodeisasi ketoprak akan dijelaskan dalam uraian berikut ini:

1) Ketoprak Lesung

Ketoprak Lesung adalah awal kemunculan seni Ketoprak dengan bentuk pertunjukan yang masih sangat sederhana. Seni Ketoprak Lesung memiliki periode dari tahun 1887-1925. Ciri-ciri Ketoprak lesung adalah alat musik pengiringnya berupa kendang, lesung, seruling, dan keprak, cerita yang diangkat dalam pertunjukan masih seputar cerita kehidupan sehari-hari masyarakat, busana yang digunakan menggunakan busana sehari-hari selayaknya masyarakat pedesaan, dan menggunakan konsep panggung arena yaitu penonton yang mengelilingi penyaji serta menggunakan penerangan berupa obor.

(11)

21 2) Ketoprak Peralihan

Ketoprak perlaihan merupakan ketoprak yang telah diberikan inovasi dan lebih kompleks bentuknya dibandingkan dengan periode Ketoprak Lesung, memiliki periode dari tahun 1925-1927. Ciri-ciri ketoprak pada periode peralihan yaitu menggunakan musik campuran berupa musik lesung, rebana, kendang yang digabung dengan musik barat, cerita yang diangkat dalam pertunjukan adalah cerita kehidupan sehari-hari yang dimodifikasi sudut pandangnya menjadi cerita kerajaan, dan mulai menggunakan tata rias dan busana.

3) Ketoprak Gamelan

Periode ketoprak Gamelan dimulai pada tahun 1927-1950, cirri-ciri ketoprak Gamelan yaitu alat musik yang digunakan adalah gamelan jawa, cerita yang diangkat dalam pertunjukan menggunakan cerita babad dan kerajaan-kerajaan Jawa, menggunakan dekorasi panggung yang lebih realis yakni menyesuaikan setting dalam cerita, dan pertunjukan dibuka dengan tari-tarian yang berkaitan dengan cerita

4) Ketoprak Tobong

Menurut Murdiyastomo (2019:2) minat masyarakat Yogyakarta yang besar terhadap seni Ketoprak sebagai hiburan masyarakat, mendorong terciptanya Ketoprak professional, kelompok ketoprak tobong mendapat masa jayanya pada tahun 1950- 1980. Dengan demikian Ketoprak Tobong merupakan sebuah hasil dari perkembangan seni Ketoprak dari masa ke masa. Ketoprak Tobong atau bisa disebut Ketoprak panggung merupakan pertunjukan ketoprak yang memiliki bentuk lebih modern dan professional.

(12)

22

Ciri-ciri dari Ketoprak Tobong yaitu ceritanya beraneka ragam seperti seputar cerita babad, kerajaan, legenda, dongeng, mitos maupun cerita adaptasi, menggunakan panggung semi permanen, dan menggunakan setting properti yang realis, tema yang diangkat seputar tema kepahlawanan atau tema yang mengandung nilai-nilai kebaikan, dan pertunjukan mulai dikelola secara professional yakni penonton dikenai karcis untuk menonton pertunjukan.

Menurut Sahid ( 2000:9) Ketoprak dikenal pada hampir seluruh masyarakat yang berbahasa Jawa. Ketoprak telah menyebar ke berbagai tempat seperti daerah Surakarta, Pati, Semarang, Tulung Agung, Kediri, Kedu, sampai Deli Sumatera Utara. Ketoprak memiliki eksistensi yang dominan pada masa jayanya sampai pada tahun 1980. Ketoprak yang mulanya merupakan kesenian dari rakyat untuk rakyat dan muncul dari desa-ke desa, pada masa jayanya ketoprak Tobong mampu menjadi hiburan yang berkualitas dan terkenal hampir di seluruh Jawa bahkan Sumatera, terutama Jawa tengah dan Jawa timur.

Ketoprak senantiasa berkembang megikuti arah kemauan penonton di setiap masa. Ketoprak menjadi ikon baru dalam khasanah pertunjukan pada masa itu, sehingga banyak sekali bermunculan kelompok-kelompok kesenian ketoprak yang menjadi pendorong baru kemajuan seni Ketoprak. Menurut Kusudyarsono dalam Murdiyastomo (2019:13) pada kisaran tahun 1945, kelompok ketoprak Krido Rahardjo yang dipimpin oleh Tjokrodjio mengembangkan model baru dalam pentas seni ketoprak. Tjokrodjio memberi sentuhan pada gendhing pengiring yang berkelanjutan, dan menggarap dialog menjadi lebih berekspresi. Pernyataan tersebut

(13)

23

membuktikan bahwa seniman Ketoprak melakukan upaya pengembangan karena berdasar dari kebutuhan pasar penonton yang membutuhkan kebaruan dalam hiburan.

Kemunculan kelompok Ketoprak Tobong yang juga menjadi satu peristiwa bersejarah yaitu munculnya Ketoprak Krido Mardi di tahun 1964. Pada masa itu Ketoprak Tobong menjadi lahan politik karena dianggap sebagai media yang sesuai dan relevan untuk aspirasi masyarakat. Selain itu juga terdapat satu peristiwa bersejarah dalam perkembangan Ketoprak Tobong yakni munculnya Aktor berbakat bernama Widayat dibawah bendera Ketoprak RRI Yogyakarta. Menurut Murdiyastomo ( 2019:13) karena gaya berakting Widayat yang bagus, muncullah gaya berakting yang diberi nama Widayatan yang populer pada 1980an.

Kemuculan kelompok yang menjadi sejarah penting perkembangan Ketoprak Tobong yakni lahirnya kelompok Ketoprak Sapta Mandala yang berjaya pada masa 1970. Kelompok tersebut dipimpin oleh Bagong Kusudiardjo, dan Handung Kusudyarsono. Kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok Ketoprak Tobong yang masuk dalam sejarah masa kejayaan Ketoprak Tobong.

2.5 Ekologi Budaya

Manusia sebagai makhluk biotis dalam menjalani hidupnya tidak akan pernah terlepas dari proses interaksi dengan lingkungannya (Amri, 1997:61). Bentuk interaksi manusia dengan lingkungannya bertujuan sebagai sarana penunjang manusia dalam hidup, lingkungan tersebut meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial.

Lingkungan berupa alam untuk menunjang kebutuhan manusia diantaranya sandang, pangan dan papan. Sedangkan lingkungan sosial lebih luas lagi karena kebutuhan

(14)

24

tersebut sudah berada diluar kedirian manusia, yakni hubungan manusia dengan manusia lain dalam kelompok hingga tercipta lingkungan yang lebih besar lagi seperti suku dan bangsa.

Kebudayaan tidak dapat terlepas dari masyarakatnya, masyarakat dan kebudayaan memiliki potensi besar dalam mewujudkan budaya nasional (Sugiarti, 2018:10). Potensi tersebut lahir dari interaksi manusia dalam suatu lingkungan sosial, berupa upaya manusia dalam menjalani hidupanya dengan melibatkan alam dan manusia lain serta dapat menciptakan satu tujuan bersama, sehingga tercipta kebudayaan.

Jika dipersempit dari dua alasan besar hubungan manusia dan lingkungan, maka ditemukan dua bentuk lingkungan yang menjadi dasar manusia dalam berinteraksi yakni alam dan sosial. Sebelum menjadi bagian dari lingkungan sosial, tentunya manusia lebih dulu paham dan memahami alam, karena naluriyah manusia sebagai makhluk hidup. Alam terdiri dari makhluk biotik berupa tumbuhan, hewan dan manusia, serta abiotik berupa benda mati yang ada di alam. Ekologi sebagai ilmu lingkungan banyak mendapatkan sumbangan pemikiran dari ilmu biologi. Ilmu biologi merupakan disiplin ilmu yang bahasannya terakit pada makhluk hidup.

Karena alasan tersebut, makhluk hidup berupa manusia, hewan dan tumbuhan dapat membentuk satu ekosistem dan ekosistem tersebut dapat dipelajari lebih khusus dengan ekologi, berdasar dari dinamika makhluk hidup dalam suatu ekosistem.

(15)

25 2.5.1 Teori Ekologi Budaya Julian Steward

Persoalan mengenai lingkungan hidup bukan hanya terbatas pada wilayah ilmu sains, karena hal tersebut memiliki keterkaitan dengan tanggungjawab moral, etis dan kemanusiaan yang sifatnya lebih besar (Dewi, 2015:377). Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa ranah sains sudah tidak lagi menjadi satu-satunya ilmu pengetahuan yang dipakai untuk membahas persoalan lingkungan dan makhluk hidup, tetapi kini lingkungan hidup harus lebih ditinjau lagi dari sisi manusia sebagai subjek dalam lingkungan hidup, terlebih manusia pascamodern banyak melakukan adaptasi terhadap budaya-budaya baru.

Ekologi budaya pertama kali berkembang di Amerika serikat dan Inggris pada abad ke-20 dan pada beberapa dekade terakhir telah banyak dikembangkan di seluruh penjuru dunia terlebih karena derasnya arus modernisasi (Amri, 1997:61). Ekologi budaya semakin menjadi studi yang dikenal dan relevan karena manusia modern yang hidup dalam lingkungan juga akan saling memberikan sebab akibat dalam proses adaptasinya. Kondisi alam tentunya akan berubah dari zaman ke zaman terlebih dengan majunya peradaban manusia. Pemahaman manusia tentang alam juga akan lebih bertambah dalam upaya pemenuhan hidup manusia yang berhubungan dengan alam.

Steward banyak memberikan sumbangsih pikiran mengenai ekologi budaya pada masanya. Melalui buku Theory Of Cultural Change, Steward mengungkapkan gagasan mengenai unsur-unsur pokok dalam ekologi budaya yaitu perilaku manusia yang mencakup juga pekerjaan dan teknologi yang dilakukan untuk pemanfaatan dan pengolahan lingkungan (Amri, 1997:63).

(16)

26

Unsur yang dimaksudkan Steward dalam ekologi budaya tersebut, selaras jika dikorelasikan dengan unsur-unsur kebudayaan, yakni menyangkut sistem sosial, mata pencaharian serta teknologi. Steward sebagai peletak dasar teori ekologi budaya menyampaikan asumsi bahwa beberapa sektor kebudayaan lebih penting dan memiliki keterkaitan erat dengan pemanfaatan lingkungan (Amri, 1997:63).

Berdasarkan dari teori ekologi budaya Steward, terlihat jelas bahwa keterkaitan manusia sebagai pencipta sekaligus pelaku kebudayaan menyebabkan manusia lebih mudah beradaptasi dan memegang kendali penuh terhadap lingkungan dan korelasinya dengan kebudayaan. Pendapat Melnikas (dalam Putra, 2019:115) menyebutkan bahwa di dalam ekologi budaya terdapat proses restruktur lingkungan yang menjadi lingkungan tempat tinggal manusia. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa restruktur yang dimaksud adalah merubah kembali struktur atau bahkan menghancurkan struktur lingkungan yang sudah ada menjadi lingkungan lainnya.

Fenomena tersebut disebabkan karena adanya adaptasi yang keliru antara, manusia, budaya dan lingkungannya.

Mengutip gagasan Steward (dalam Putra, 2019:115) ketika manusia mengalami perkembangan maka lingkungannya juga akan ikut berkembang begitu pula sebaliknya jika lingkungan budaya berubah maka manusia yang hidup dalam lingkungan akan ikut beradaptasi. Adaptasi yang dilakukan manusia akan memberikan dampak besar, baik itu dampak terhadap manusia, dampak terhadap lingkungan maupun dampak terhadap budaya.

Analisis dampak ekologi budaya dalam naskah juga akan dilakukan dengan menggunakan teori pendukung yakni menggunakan teori perubahan budaya yang

(17)

27

dirumuskan oleh Wiliam A. Haviland. Haviland (dalam Sahid, 2000:VII) mengungkapkan bahwa ada dua faktor penyebab perubahan kebudayaan yaitu perubahan lingkungan yang dapat merubah kebudayaan yang sifatnya adaptif, kemudian yang kedua yaitu adanya kontak dengan bangsa lain. Secara garis besar, penelitian Ekologi Budaya Dalam Naskah Monolog Patih Nguntalan Karya Nur Sahid selain membahas mengenai ekologi budaya dalam isi naskahnya, juga akan membahas dampak dari adanya adaptasi manusia dengan lingkungannya serta korelasinya terhadap kebudayaan.

2.6 Monolog

Monolog merupakan bentuk baru yang tercipta dari perkembangan seni pertunjukan teater. Perkembangan teater didasari oleh perkembangan kebudayaan, yakni segala bentuk pemikiran baru tentang teater tentunya juga dipengaruhi oleh eksistensi teater di lingkungan masyarakat. Secara etimologis teater berarti gedung pertunjukan atau auditorium. Teater diartikan sebagai gedung pertunjukan dikarenakan teater sebagai bentuk pertunjukan menjadikan panggung sebagai unsur utamanya.

Menurut Harymawan dalam buku Dramaturgi (1986:2) dalam arti luas teater merupakan segala bentuk tontonan yang dipertunjukkan di depan banyak orang.

Sedangkan dalam arti sempit teater adalah drama kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan diatas panggung, disaksikan banyak orang, dengan menggunakan media dialog, gerak, lakuan, berdasar pada naskah tulis (karya sastra) dengan atau tanpa music, dekorasi, nyanyian dan tarian. Teater sebagai seni

(18)

28

pertunjukan mempertontonkan bentuk visual yang didapat dari garis besar naskah drama sebagai karya sastra.

Terciptanya bentuk monodrama atau monolog akibat perkembangan teater, jadi perkembangan masuk dan ikut andil juga dalam satu bagian perkembangan monolog.

Teater sebagai lakon pertama kali dilakukan dengan tujuan kepercayaan, yakni untuk pemujaan kepada kekuatan-kekuatan alam dan roh leluhur. Titik tolak sejarah teater barat bermula pada kurang lebih lima abad sebelum masehi yang merupakan masa keemasan aliran klasik yakni dizaman yunani kuno, lakon yunani kuno bersumber pada pemujaan dewa Dionyos, dengan tempat pertunjukan yang melingkar dan tidak ada batas antara pemain dan penonton (Harymawan, 1986:88). Layaknya sastra, seni lakon atau teater mengalami periodesasi di setiap zamannya, seni lakon berkembang dari zaman ke zaman yakni dari zaman Yunani dan Romawi, zaman Pertengahan, Comedia dell’ Arte Italia, zaman Elisabeth, Aliran klasik, aliran romantic, aliran realisme, aliran Ekspresionisme, serta drama zaman kini.

Menurut Riantiarno (dalam Marciano, 2018:120) istilah monodrama yang dikenal pada masa yunani klasik dilanjutkan oleh William Shakespare dalam banyak karyanya yang menyebutnya sebagai solilog atau soliloque, yakni adegan ketika seorang aktor mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendirian tanpa ada aktor lain. Seperti dalam mono drama karya Aeschylus, soliloque masih merupakan bagian dari sebuah drama panjang. Jadi monolog dikenal luas pada masa pertengahan lebih dikenal dengan istilah soliloque dan belum berbentuk seperti monolog pada teater kini yang notabene lebih khusus untuk satu pertunjukan solo atau satu aktor.

(19)

29

Naskah dalam pertunjukan drama menurut Harymawan (1986:23) adalah bentuk rencana yang tertulis dari cerita drama. Monolog pada teater masa kini lebih jelas terlihat sebagai bentuk pertunjukan teater utuh dengan naskah yang dikhususkan untuk pertunjukan monolog. Naskah monolog juga sama seperti naskah drama, perbedaannya terletak pada penggambaran cerita dan konflik yang hanya akan dipernakan oleh satu aktor saja. Drama yang sudah berbentuk pertunjukan teater tentunya sifatnya lebih eksploratif dibanding dari keutuhan naskah aslinya.

Drama sebagai karya sastra secara structural drama memiliki struktur diantaranya tokoh, jalan cerita, tema, alur, latar dan amanat (Nurgiyanto dalam Suroso, 2015:11). Struktur tersebut merupakan struktur yang menjadi kunci utama tetapi masih banyak hal substansial lain yang dapat menjadikan naskah drama.

Struktur naskah drama menurut Waluyo (dalam Suroso, 2015:12) terdiri dari (1) penokohan dan perwatakan, (2) plot atau kerangka cerita, (3) dialog (percakapan), (4) setting/landasan/tempat kejadian, (5) tema/nada dasar, cerita, (6) amanat, (7) petunjuk teknis, dan (8) drama sebagai interpretasi kehidupan.

1) Penokohan dan perwatakan

Tokoh merupakan pribadi atau pelaku yang tugasnya menyampaikan dan memerankan cerita dalam drama. Suroso (2015:12) mengklasifikasikan tokoh kedalam dua bagian yaitu berdasarkan perannya dalam cerita terdiri dari tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang cerita, tokoh protagonist adalah tokoh yang mendukung cerita, dan tokoh tritagonis yaitu tokoh pembantu baik antagonis maupun protagonist. Kemudian berdasarkan peran serta fungsinya yaitu terdiri dari tokoh sentral adalah tokoh penentu gerakan lakon, tokoh utama yaitu tokoh yang

(20)

30

menjadi penentang atau pendukung tokoh sentral, dan tokoh pembantu yaitu tokoh yang berfungsi melengkapi cerita.

Karakter tokoh dapat ditinjau dari ciri fisik, ciri psikis, dan ciri sosiologis. Ciri fisik adalah ciri khusus yang terletak pada kedirian tokoh, meliputi bentuk wajah, bentuk tubuh, dan warna susara. Ciri psikis adalah ciri karakter tokoh yang terletak pada psikis atau pikiran, watak, sikap, dan kegemaran serta harapan-harapan tokoh.

Kemudian cirri sosiologis yakni karakter tokoh berdasarkan lingkungan sosial tokoh, meliputi status sosial, agama, kelas sosial, pendidikan, jabatan dan ideologi tokoh.

2) Alur atau Plot cerita

Alur merupakan jalur cerita dalam drama, supaya cerita tetap utuh dan berkesinambungan. Alur menurut Freytag (dalam Harymawan, 1986:18) terdiri dari Exposition yaitu pengenalan cerita, Complication yaitu awal konflik, Conflict yaitu konflik yang menuju puncak, Climax yaitu puncak cerita, dan Resolution yaitu penyelesaian cerita.

3) Dialog

Dialog merupakan substansi penting dalam drama karena dialog berupa bahasa yang jadi media penting dalam penyampaian cerita. Kebahasaan dalam drama adalah bahasa lisan yang komunikatif dan menjadi cerminan kehidupan sehari-hari, bahasa tersebut diucapkan diatas pentas dalam drama (Suhariyadi, 2014:62)

4) Tema dan Amanat

Tema merupakan garis besar cerita yang menjadi penentu cerita tersebut akan dibentuk. Tema yang diangkat dalam drama didapat dari proses kontemplasi dan

(21)

31

mimesis terhadap realita sekitar. Amanat adalah nilai atau pesan yang terkandung dalam naskah. Amanat didapat dari garis besar cerita yang telah digambarkan, sehingga memunculkan kesimpulan tersendiri. Seperti pendapat Sarumpaet (dalam Awuy, 1999:311) berbicara teater dan hubungannya dengan realita, berarti mempertanyakan peran peran dan tanggungjawab seniman teater yang bisa juga diartikan sebagai penulis naskahnya dalam mengkontruksi realitas masyarakat dan bangsa. Selaras dengan pendapat tersebut, tema-tema yang banyak diangkat oleh pengarang tidak pergi jauh dari situasi dan kondisi masyarakat dalam kehidupannya.

5) Setting atau latar

Setting atau latar dalam drama memiliki arti sebagai bagian yang berfungsi sebagai pendukung utama dalam cerita, yakni sebagai bentuk tempat, waktu dan suasana dalam cerita, sehingga cerita dalam drama menjadi semakin terlihat maksudnya. Pembahasan mengenai latar akan merujuk kepada gagasan trilogy Aristoteles yakni adanya kesatuan waktu, ruang dan peristiwa (Aristoteles dalam Harymawan, 1986:20). Waktu diartikan sebagai masa terjadinya konflik dalam cerita, kemudian ruang merupakan tempat terjadinya cerita serta peristiwa adalah sebuah suasana batin dan suasana sekitar yang terjadi dalam cerita.

6) Petunjuk Lakuan

Petunjuk lakuan atau dalam istilah lain disebut kramagoong adalah partitur atau panduan teknis yang dituliskan dalam naskah, petunjuk lakuan juga meliputi keterangan suasana sehingga dapat menunjang kepaduan cerita. Petunjuk lakuan dan dialog adalah pegangan utama aktor dalam memainkan sebuah drama, karena bentuk visual yang diciptakan selalu bermula pada petunjuk lakuannya. Seperti menurut

(22)

32

Rahardjo dalam buku Membangun Tokoh (2008:X) diperlukan kecerdasan aktor untuk memahami makna dibalik kata maupun kalimat agar pengertian yang didapat memiliki dimensi pemahaman yang benar. Pendapat tersebut dimaksudkan kepada aktor yang hendak memainkan sebuah drama, perlu kecermatan dan perhatian khusus dalam memahami dialog dan petunjuk lakuan dalam naskah.

2.6.1 Naskah Monolog Patih Nguntalan Karya Nur Sahid

Naskah monolog Patih Nguntalan karya Nur Sahid ditulis pada tahun 2004.

Naskah tersebut ditulis oleh Nur Sahid yang notabene adalah seorang akademisi dan praktisi di bidang humaniora yakni sastra dan teater. Mengutip dari buku Interkulturalisme Dalam Teater karya Nur Sahid (2000:210) Nur Sahid lahir di

Klaten, Jawa tengah, 8 Februari 1962. Latar belakang pendidikan, Nur Sahid adalah lulusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada pada tahun 1986 kemudian menempuh magisternya di PPS Universitas Gadjah Mada dengan disiplin keilmuan humaniora. Nur Sahid aktif dalam aktivitas-aktivitas akademik dalam disiplin ilmu humaniora terlebih pada bidang sastra dan teater, dibuktikan dengan dirinya yang kini mengajar di jurusan Teater, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia.

Nur Sahid dalam buku Interkulturalisme dalam Teater (2000:VIII) mengungkapkan bahwa khazanah tetaer sebagai salah satu unsur kebudayaan juga turut berada dalam proses perubahan yang disebabkan interaksi intensif dengan berbagai macam kesenian dari bangsa lain. Naskah monolog Patih Nguntalan karya Nur Sahid merupakan model naskah intercultural, karena naskah monolog merupakan naskah drama modern, monolog merupakan model pertunjukan modern hasil dari

(23)

33

perkembangan teater. Sedangkan naskah tersebut mengangkat tema budaya tradisional dan kearifan lokal. Naskah monolog Patih Nguntalan tercipta dari adanya pengaruh modernisasi atau masuknya budaya-budaya asing yang dihadapkan pada fakta kebudayaan tradisi.

Manusia membuat atau setidaknya menciptakan kesan bahwa dunia luar merupakan dunia yang manusiawi, menjadi bagian darinya atau sebaliknya lewat aktivitas ekspresi dan komunikasi (Sanches dalam Sahid, 2000:176) Derasnya arus globalisasi di berbagai bidang banyak memberikan kemudahan, terlabih pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan teknologi memberikan kemudahan masyarakat antar daerah dan negara untuk berhubungan dengan masyarakat lainnya.

Banyaknya media dan platform yang memberikan ruang dan akses tersendiri bagi masyarakat untuk menilik kebudayaan asing, sehingga banyaknya budaya asing yang dengan mudah masuk dan dipelajar serta dilakukan oleh masyarakat di Indonesia.

Alasan tersebut mengakibatkan banyak bergesernya budaya tradisi milik bangsa Indonesia.

Termarjinalkannya budaya tradisi di Indonesia salah satunya dapat dirasakan dalam naskah monolog Patih Nguntalan. Naskah tersebut mengisahkan kehidupan seorang seniman Ketoprak Tobong yang pada zaman ini seni pertunjukan ketoprak sudah mulai sepi peminatnya. Cerita diawali dengan munculnya seorang tokoh yang merupakan seorang pemain ketoprak yang hendak bermain ketoprak tetapi panggung masih sepi tanpa adanya pemain lain dan penonton. Kemudian tokoh pemain ketoprak dengan berat hati harus memulai pertunjukannya seorang diri karena pemain lain yang tidak datang.

(24)

34

Eksposisi yang digambarkan dalam naskah tersebut sudah merepresentasikan keadaan seni ketoprak sebagai seni tradisi yang mulai terpinggirkan. Konflik dalam naskah Patih Nguntalan, menggambarkan kondisi pergeseran kebudayaan yang terjadi di Indonesia yang direpresentasikan dalam pertunjukan ketoprak dalam naskah Patih Nguntalan. Pergeseran budaya dimasukkan dalam penokohan dan perwatakan yang

dibuat oleh Nur Sahid dalam naskahnya. Tokoh-tokoh yang ada dalam naskah tersebut merupakan tokoh karikatural yang diciptakan sebagai simbol ketimpangan tata nilai yang terjadi, seperti munculnya tokoh bernama Patih Nguntalan, Adipati Manganan. Simbol dan idiom yang digambarkan dalam naskah juga terlihat dari penamaan-penamaan tempat dan istilah-istilah dalam dialog tokoh, seperti kadipaten Siap Jaya, istilah Undang-undang aparat bebas KKN, undang-undang anti ORMAS (orang malas), dan undang-undang keluarga sakinah serta simbol lainnya.

Isi yang terkandung dalam naskah tersebut merupakan hasil rekonstruksi terhadap karakteristik dan ciri khas seni ketoprak tobong yang telah dimodifikasi dari segi cerita yang biasa dipakai ketoprak, tokoh-tokoh serta hal substansial lain yang diberi sentuhan satire, sarkas, simbol dan penyesuaian dengan bahasa komunikatif yang kerap kali dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Intinya dalam naskah Patih Nguntalan telah terjadi adaptasi dan rekonstruksi yang melibatkan dua bentuk kebudayaan yakni tradisional dan modern.

Referensi

Dokumen terkait

○ Administrasi barang pesanan disusun dengan berdasarkan prosedur yang benar. ○ Pengeluaran barang dilakukan berdasarkan

Ikan asin gabus yang dikemas vacuum terlihat lebih berkerut akibat hilangnya udara dalam kemasan (a) dibandingkan Ikan asin gabus yang dikemas hand sealing yang masih terdapat

Salah satu bahan alam yang dapat digunakan untuk bagian asam pada granul effervescent adalah asam sitrat yang terdapat pada sari buah jeruk nipis. Tujuan: Penelitian ini

1 Sugiono menambahkan bahwa yang dimaksud dengan metode penelitian kualitatif adalah “metode penelitian yang berlandaskan3. filsafat Pospositivisme, digunakan untuk

pendidikan di tengah masyarakat Pondok pesantren tidak akan dapat mengelak.. dari kenyataan perubahan global yang

Kriteria yang digunakan dalam prediksi jumlah produksi tas menggunakan Fuzzy Tsukamoto pada home industri Body Star Kudus yaitu.. Sisa barang sebagai input

Bercliri' melonrpat clen-qan keting'lian l0 cnr kedtra kaki simLrltan Bercliri: melompat diatas kaki kanan l0 kali didalarn lin-ekaran 60 CM. Beroiri: melompat diatas

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan gaya kepemimpinan transformasional kepala sekolah;(2) mendeskripsikan tingkat efikasi kolektif guru; dan (3) menguji