• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka 1. Flypaper Effect

a. Pengertian Flypaper Effect

Flypaper effect merupakan suatu kondisi dimana stimulus terhadap pengeluaran pemerintah daerah yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam jumlah dana transfer dari pemerintah pusat lebih besar dari yang disebabkan oleh perubahan dalam pendapatan sendiri. Beberapa studi menunjukan perbedaan dana transfer dengan dana sendiri memang terjadi. Deller, dkk (2002) menganalisis hubungan pendapatan yang berasal dari bagi hasil dengan menggunakan data 581 kota dan desa di Wisconsin, Amerika Serikat dan menemukan bahwa untuk setiap dollar kenaikan dalam pendapatan per kapita, maka pengeluaran total per kapita meningkat sekitar 12-15 sen. Untuk setiap kenaikan dalam pendapatan bagi hasil per kapita, pengeluaran per kapita mencapai 46-55 sen. Hasil ini konsisten dengan hipotesis flypaper effect. Deller, dkk (2002) menduga bahwa pola respon daerah ini juga dipengaruhi oleh formula penentuan bagi hasil itu sendiri.

Penelitian Legrenzi & Milas (2001) juga membuktikan bukti empiris tentang adanya flypaper-effect dalam jangka panjang untuk sampel municipalities di Italia. Mereka menyatakan bahwa “local goverment sconsistently increase their expenditure more with respect to increase instate transfer rather than to increase in own revenues”

(2)

Maemunah (2006) mengatakan bahwa flypaper effect merupakan suatu kondisi keuangan dimana pemerintah daerah lebih banyak membelanjakan dan lebih boros menggunakan dana transfer atau Dana Alokasi Umum dibanding menggunakan dana sendiri atau Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Menurut Zampelli (1986) memberikan bukti untuk data pemerintah kota di Amerika Serikat, yakni terjadi flypaper effect dalam reaksi belanja terhadap unconditional grants. Oleh sebab itu flypaper effect dianggap sebagai suatu anomali dalam perilaku rasional jika transfer diangggap sebagai (tambahan) pendapatan masyarakat (seperti halnya pajak daerah), sehinggga mestinya dihabiskan (dibelanjakan) dengan cara yang sama pula (Hines & Thaler,1995).

Oates (1999) dalam Halim dan Sukriy (2003) menyatakan bahwa beberapa penelitian mengenai perilaku Pemerintah Daerah dalam merespon transfer Pemerintah Pusat yang telah dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa respon Pemda berbeda untuk transfer dan pendapatan daerahnya sendiri. Ketika respon pemerintah daerah lebih besar untuk transfer dibanding pendapatan daerahnya sendiri maka disebut flypaper effect.

b. Identifikasi Flypaper Effect

Asumsi penentuan terjadinya flypaper effect pada penelitian ini fokus pada perbandingan pengaruh PAD dan DAU terhadap Belanja Daerah. Melo (2002) dan Venter (2007) menyatakan bahwa flypaper effect terjadi apabila:

1. Pengaruh/ nilai koefisien DAU terhadap belanja daerah lebih besar dari pada pengaruh PAD terhadap terhadap Belanja Daerah, dan nilai keduanya signifikan.

(3)

2. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaruh/ respon PAD terhadap Belanja Daerah tidak signifikan, maka dapat disimpulkan terjadi flypaper effect.

2. Dana Perimbangan

a. Pengertian Dana Perimbangan

Berdasarkan Undang-Undang No. 55 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, “Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi”. Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.

b. Klasifikasi Dana Perimbangan. 1. Dana Bagi Hasil

a. Pengertian Dana Bagi Hasil

Menurut Pipin syafirin dan Debah Jubaedah (2005:108) “Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”.

b. Sumber-sumber Dana Bagi Hasil

Menurut UU no 35 Tahun 2005, dana bagi hasil bersumber dari:

(4)

a). Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Penerimaan negara dari PBB dibagi dengan proporsi 90% untuk daerah dan 10% untuk Pemerintah Pusat. Dari 90% bagian daerah tersebut akan dibagi menjadi 16,2% untuk provinsi bersangkutan, 64,8% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan dan 9% untuk biaya pemungutan. Dari 10% bagian pemerintah pusat seluruhnya dialokasikan kepada seluruh kabupaten dan kota dengan perincian: 6,5 % dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota, dan 3,5% dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor perdesaan dan perkotaan pada tahun sebelumnya mencapai atau melampaui target yang ditetapkan.

b). Bea Pengalihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)

Penerimaan negara dari BPHTB dibagi dengan alokasi 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah. Dari bagian pemerintah pusat sebesar 20% tersebut, akan dialokasikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota. Dari bagian daerah sebesar 80% tersebut, dibagi dengan perincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan, dan 64% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan.

(5)

c). Pajak Penghasilan Wajib pajak orang pribadi dalam negeri (Pph WPOPDN) dan Pajak penghasilan pasal 21 (PPh psl 21). DBH yang berasal PPh WPOPDN dan PPh psl 21 dibagi dengan porsi 80% untuk pemerintah pusat, dan 20% untuk pemerintah daerah. Dari 20% bagian daerah tersebut akan dialokasikan untuk Provinsi yang bersangkutan sebesar 8% dan untuk kabupaten/kota sebesar 12%. Dari 12% bagian kabupaten/kota tersebut dengan perincian 8,4% untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar dan 3,6% dibagi untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar.

2. Sumber Daya Alam (SDA) a). Kehutanan, berasal dari:

1). Iuran Izin Usaha Pemanfaatan hutan (HUPH) dengan alokasi 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk pemerintah daerah. Dari 80% bagian daerah 16% untukpropinsi yang bersangkutan dan 64% kabupaten/ kota penghasil.

2). Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH), dengan alokasi 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah. Dari 80% bagian daerah dialokasikan untuk provinsi yang

(6)

bersangkutan sebesar 16%, untuk kabupaten/kota penghasil sebesar 32%, dan sisanya sebesar 32% dibagikan merata untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi.

3). Dana Reboisasi, dengan alokasi 60% untuk pemerintah pusat dan 40% untuk kabupaten/kota penghasil dan dana tersebut digunakan untuk menandai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

b). Pertambangan umum, berasal dari:

1). Iuran tetap (landrent), dengan alokasi 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah. Dari 80% bagian daerah tersebut dibagikan untuk provisi yang bersangkutan sebesar 16% dan sisanya sebesar 64% untuk kabupaten/kota penghasil

2). Iuran eksplorasi dan eksploitasi (royalty), yang berasal dari wilayah kabupaten/kota dialokasikan untuk pemerintah pusat sebesar 20% dan daerah sebesar 80%. Dari 80% bagian daerah tersebut dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan sebesar 16%, untuk kabupaten/kota penghasil sebesar 32%, dan sisanya sebesar 32% dibagikan secara merata untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

c). Perikanan, berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan hasil Perikanan di alokasikan 20% untuk Pemerintah pusat dan 80% untuk

(7)

daerah dan dibagikan dengan porsi sama besar untuk seluruh kabupaten/kota.

d). Pertambangan minyak bumi Penerimaan negara dari pertambngan minyak bumi dalam bentuk dana bagi hasil dari wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dialokasikan kepada pemerintah pusat sebesar 84,5% dan sisanya sebesar 15,5 % untuk daerah. Dari bagian daerah sebesar 15,5% tersebut dibagi: sebesar 15% dibagi untuk provinsi yang berangkutan sebesar 3%, untuk kabupaten atau kota penghasil sebesar 6% dan sisanya sebesar 6% dibagikan secara merata untuk seluruh kabupaten /kota dalam provinsi yang bersangkutan. Sebesar 0,5% yang diperuntukkan untuk menambah anggaran pendidikan dasar dibagi untuk menambah anggaran pendidikan dasar dibagi untuk provinsi yang bersangkutan sebesar 0,1% untuk kabputen/kota penghasil sebesar 0,2% dan sisanya 0,25 dibagikan secar merata untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi bersangkutan.

e). Pertambangan Gas bumi, Penerimaan negara dari pertambangan gas bumi dalam bentuk dana bagi hasil dari wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dialokasikan kepada Pemerintah Pusat sebesar 69,5% dan sisanya 30,5% untuk daerah. Dari bagian daerah sebesar 30,5% tersebut dibagi : 1). Sebesar 30% dibagi untuk provinsi yang bersangkutan sebesar 6%, untuk kabupaten/kota penghasil sebesar 12% dan sisanya sebesar 12% dibagikan

(8)

secara merata untuk seluruh kabupaten /kota dalam provinsi yang bersangkutan. 2) sebesar 0,5% yang diperuntukkan untuk menambah anggaran pendidikan dasar dibagi untuk provinsi yang bersangkutan sebesar 0,1%, untuk kabupaten/kota penghasil sebesar 0,2% dan sisanya sebesar 0,2% dibagikan secara merata untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi bersangkutan. Penerimaan Negara dari pertambangan gas bumi dalam bentuk dana bagi hasil dari wilayah provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dialokasikan kepada pemerintah pusat sebesar 69,5% dan sisanya sebesar 30,5% untuk daerah. Dari bagian daerah sebesar 30,5% tersebut dibagi : a). 10% untuk provinsi yang bersangkutan dan 20% untuk dibagikan secara merata untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.b) sebesar 0,5% yang diperuntukkan untuk menambah anggaran pendidikan dasar dibagi untuk provinsi yang bersangkutan sebear 0,17% dan sisanya sebear 0,33% dibagikan secara merata untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi bersangkutan.

f). Pertambangan Panas bumi Pertambangan Panas bumi berasal dari setoran bagian pemerintah dan iurantetap dan iuran produksi. Penerimaan negara dari setoran bagian pemerintah serta iuran tetap dan iuran produksi dalam bentuk dana bagi hasil dialokasikan kepada pemerintah pusat sebesar 20% dan 80% untuk daerah. Dari bagian daerah kabupaten/kota penghasil sebesar 32% dan sisanya sebesar 32% dibagikan secara merata untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.

(9)

2. Dana Alokasi Umum

a. Pengertian Dana Alokasi umum

Menurut Halim (2004:141) Dana Alokasi Umum adalah “ Dana yang berasal dari APBN yang di aloksikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.” Menurut Peraturan Pemerintah No 55 tahun 2005, jumlah keseluruhan DAU di tetapkan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri neto.

b. Tujuan Dana Alokasi umum

Mengacu pada Peraturam Pemerintah No 104 tahun 2000, mardiasmo (2002: 157) menggungkapkan bahwa “ tujuan Dau adalah untuk horizontal equity dan sufficiency”. Tujuan horizontal equity merupakan kepeningan pemerintahan pusat dalam rangka melakukan distribusi pendapatan secara adil dan merata agar tidak terjadi kesejangan yang lebar antar daerah. Sementara itu yang menjadi kepentingan daerah adalah kecukupan (sufficiency), terutama adalah untuk menutup fiscal gap. Fiscal gap terjadi karena karakteristik daerah di indonesia sangat bereneka ragam. Ada daerah yang di anugerahi kekayaan alam yang sangat melimpah. Ada juga daerah yang sebenarnya tidak memiliki kekayaan alam yang besar namun karena struktur perekonomian mereka telah tertata dengan baik maka potensi pajak dapat di optimalkan segingga daerah tersebut menjadi kaya. Namun, banyak juga daerah yang secara alamiah mapun struktur ekonomi masih sanghat tertinggal. Untuk itulah maka transfer dari perimbangan pusat dalam bentuk DAU

(10)

masih di perikan untuk mengatasi kesengajanan antar daerah (fiscal gap).

Dalam hal penyampaian DAU Menurut peraturan menteri No 250/PMK.07/2014, kepala badan pusat statistik menyampaikan data dasar perhitungan DAU kepada menteri keuangan paling lambat bulan juli tahun anggaran sebelumnya, yang meliputi :

a. Jumlah penduduk

b. Indeks pembangunan manusia

c. Produk domestic regional bruto per kapita dan

d. Indeks kelemahan konstruktual 3. Dana Alokasi Khusus

a. Pengertian Dana Alokasi khusus

Dana alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari APBN yang di alokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dana alokasi merupakan bagian dari dana perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) diatur dalam Peraturam Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang dana Perimbangan Keuangan antara Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah, yang menyebutkan bahwa: “Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan

(11)

APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasioanal”. Dana Alokasi Khusus (DAK) dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Dana alokasi khusus dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi urusan daerah dan menjadi prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan dibidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional yang urusan daerah. Kegiatan khusus tersebut sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Kegiatan khusus ditetapkan oleh pemerintah mengutamakan kegiatan pembangunan dan/atau pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang. Daerah tertentu yang dimaksud adalah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK). Dengan demikian tidak semua daerah mendapatkan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK).

Hal yang dimaksud dengan fungsi dalam rincian belanja negara antara lain terdiri atas layanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi,

(12)

lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan social.

b. Pengalokasian Dana Alokasi Khusus

Tujuan pengalokasian DAK antara lain adalah untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik yang menjadi prioritas nasional dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi guna menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah serta pelayanan antar sektor. Menurut peraturan menteri No 250/PMK.07/2014 DAK dibagi untuk provinsi, kabupaten dan kota. Penentuan besar alokasi di usulkan oleh kementrian Negara/lembaga terkait dan di sampaikan kepada kementrian keuangan. Direktorat jendral perimbangan keuangan berdasarkan pagu alokasi DAK sesuai bidang atau sub bidang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5). Sejak 2006, ada tujuh bidang pelayanan pemerintahan yang mendapatkan DAK, yakni pendidikan, kesehatan, infrastruktur (prasarana jalan, irigasi, dan air bersih), prasarana pemerintahan, pertanian, perikanan dan kelautan, serta lingkungan hidup. Di antara ketujuh bidang itu, bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan selalu mendapat porsi DAK terbanyak. Total alokasi DAK untuk ketiga bidang tersebut mencapai sekitar tiga perempat dari total DAK. Sebagaimana sudah diketahui DAK merupakan modifikasi dari model dana Inpres pada era Orde Baru. Perbedaannya antara lain adalah bahwa dana Inpres memiliki dua pendekatan, yaitu pendekatan sektoral dan wilayah. Dana Inpres sektoral terdiri dari dana Inpres SD, dana Inpres kesehatan, dana Inpres

(13)

penghijauan dan reboisasi, dana Inpres peningkatan jalan dan dana Inpres pasar. Dana Inpres wilayah terdiri dari dana Inpres Dati I (provinsi) dan dana Inpres Dati II (kabupaten/kota). Berbeda dengan dana Inpres, DAK hanya dialokasikan untuk kabupaten/kota.

Bidang pembiayaan DAK bertambah sesuai dengan perkembangan RKP yang merupakan acuan rencana pembangunan nasional. Dalam konteks itu, perkembangan jumlah nominal DAK dalam APBN tergantung pada kemampuan keuangan negara. Selama periode 2001–2007, jumlah nominal dan proporsi DAK terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya PDB. Penetapan jumlah DAK dan alokasinya kepada daerah merupakan hasil keputusan antara Panitia Anggaran DPR dengan Pemerintah yang terdiri dari unsur Depkeu, Depdagri, Bappenas, dan departemen teknis yang bidang tugasnya menerima alokasi DAK. Meskipun demikian, pengertian DAK dalam UU No. 32 atau 33/2004, atau bahkan PP No. 55/2005, tidak secara eksplisit menyatakan bahwa DAK hanya diperuntukkan bagi daerah kabupaten/kota. Nota Keuangan RI 2007, Departemen Keuangan Meskipun mekanisme penetapan DAK melibatkan beberapa lembaga, keputusan akhir mengenai total jumlah DAK dan alokasinya per bidang maupun per daerah menjadi wewenang Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan DPR. Peran lembaga lainnya hanya sebagai fasilitator. Departemen teknis, misalnya, hanya berperan dalam memberikan data teknis tiap daerah sesuai dengan bidang tugasnya. Menurut seorang responden di Depkeu, data teknis di berbagai bidang umumnya tidak up-to-date; hal ini menjadi kendala dalam upaya perhitungan

(14)

alokasi DAK kepada daerah secara tepat. Sebagian responden menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab kurang tersedianya data yang komprehensif adalah kurang terakomodasinya hasil musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) dari tingkat desa hingga tingkat kabupaten/kota.

3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah

Menurut Undang-undang No. 33 Tahun 2004, pendapatan asli daerah adalah pendapatan daerah yang di punggut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintahan daerah. Pendapatan daerah juga merupakan pendapatan yang diperoleh oleh pemerintah daerah dan digali dari potensi pendapatan yang ada di daerah. Dengan kata lain pendapatan asli daerah merupakan pendapatan yang diterima oleh pemerintah daerah atas segala sumber-sumber atau potensi yang ada pada daerah yang harus diolah oleh pemerintah daerah didalam memperoleh pendapatan daerah. PAD inilah yang sebenarnya menjadi barometer utama suksesnya palaksaan otonomi daerah. Diharpakan dengan adanya otonomi daerah kemandirian daerah dapat di wujudkan yang dimanifestasikan lewat PAD yang kuat.

b.Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah

Sebagimana dinyatakan Halim (2004;67), PAD merupakan sumber murni daerah yang terdiri dari :

(15)

a. Pajak daerah-daerah

b. Rertribusi daerah-daerah

c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang di pisahkan.

d. Lain-lain PAD yang sah.

a. Pajak daerah-daerah

Pajak Daerah merupakan salah satu pendapatan yang memberi kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah. Menurut Siahaan (2005:7) “pajak adalah pembayaran wajib yang dikenakan berdasarkan undang-undang yang tidak dapat dihindari bagi yang berkewajiban dan bagi mereka yang tidak mau membayar pajak dapat dilakukan paksaan. Dengan demikian, akan terjamin bahwa kas negara selalu berisi uang pajak”. Sedangkan menurut pendapat ahli yang lain yaitu mengenai pajak daerah menurut Sunarto (2005:15) beliau menyatakan bahwa “pajak daerah merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota yang berguna untuk menunjang penerimaan pendapatan asli daerah dan hasil penerimaan tersebut masuk di dalam APBD”. Didalam segi kewenangan pemungutan pajak atas objek di daerah, dibagi atas dua hal yaitu:

(16)

1. Pajak daerah yang dipungut oleh provinsi

Pajak provinsi didalam kewenagan pungutannya terdapat pada pemerintah daerah provinsi. Didalam pajak provinsi jenis pajak tersebut ada beberapa jenis berdasarkan undang-undang No. 34 tahun 2000, (RI,2000) tentang pajak daerah adalah

(a). Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas air.

(b). Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air

(c). Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

(d). Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air bawah tanah dan air permukaan.

2. Pajak daerah yang dipungut oleh Kabupaten atau Kota.

Pajak Kabupaten/kota kewenangan pemungutan ada pada pemerintah daerah kabupaten atau kota. Jenis pajak kabupaten atau kota berdasarkan Undang undang No. 34 tahun 2000 (RI, 2000) tentang Pajak Daerah ditetapkan sebanyak tujuh, yaitu:

(17)

(b). Pajak Restoran

(c). Pajak Hiburan

(d). Pajak Reklame

(e). Pajak Penerangan Jalan

(f). Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C

(g). Pajak Parkir

b.Retribusi Daerah

Retribusi daerah adalah Penerimaan pemerintah daerah selain dari pajak daerah dan bagi hasi pajak pusat yang diperuntukkan ke pemerintah daerah berasal dari retribusi daerah. Akan tetapi, untuk retribusi tiap daerah memiliki potensi yang berbeda satu sama lain, untuk itu pemerintah daerah harus dapat melihat peluang apa saja yang dapat dilakukan dalam menggali penerimaan dari retribusi untuk menunjang penerimaan. Di dalam jenis pungutannya pajak dan retribusi tidaklah sama, perbedaannya ialah pada Take and Give. Pajak merupakan iuran wajib yang dibayarkan wajib pajak ke kas negara tanpa ada kontra prestasi langsung dan yang dapat dipaksakan serta memiliki sanksi yang tegas yang ditetapkan sesuai dengan undang-undang. Sedangkan retribusi menurut Siahaan (2005:5) “ retribusi adalah pembayaran

(18)

wajib dari penduduk kepada negara adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan”. Namun tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dapat dipungut retribusinya. Tetapi, hanya jenis-jenis jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial-ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Menurut Undang-undang No. 18 Tahun 1997 (RI, 1997) menyebutkan bahwa “retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan” Jasa tertentu atau jasa jasa khusus tersebut dikelompokkan ke dalam empat bagian yakni:

1. Retribusi jasa umum, yaitu retribusi atas jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jasa umum, antara lain pelayanan kesehatan, peleyanan kebersihan, retribusi parkir ditepi jalan umum, retibusi pelayanan pemakaman, penggantian biaya cetak KTP dan akta pencatatan sipil. Yang tidak termasuk jasa umum yakni jasa urusan umum pemerintah.

2. Retribusi jasa usaha, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemda dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya disediakan oleh sektor swasta. Jasa usaha, antara lain

(19)

penyewaan aset yang dimiliki/ diakui oleh pemerintah daerah, penyediaan tempat penginapan, usaha bengkel kendaraan, tempat pencucian mobil, penjualan bibit, retribusi pasar grosir, retribusi penginapan.

3. Retribusi Perizinan Tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Mengingat bahwa fungsi perizinan dimaksudkan untuk mengadakan pembinaan, pengaturan, pengadilan, dan pengawasan, maka pada dasarnya pemberian izin oleh pemerintah daerah tidak harus dipungut retribusi. Akan tetapi, untuk melaksanakan fungsi tersebut, pemerintah daerah mungkin masih mengalami kekurangan biaya yang tidak selalu dapat dicukupi dari sumber-sumber penerimaan daerah. Perizinan tertentu yang dapat dipungut retribusi, antara lain izin mendirikan bangunan, izin penggunaan tanah, retribusiizin trayek, retribusi izin Tempat Penjualan Miniman Beralkohol.

4. Retribusi Lain-lain, sesuai dengan Undang-undang No.34 tahun 2000 telah ditetapkan retribusi jasa umum, jasa usaha, dan juga retribusi perizinan tertentu. Sesuai dengan undang-undang tersebut

(20)

daerah juga diberikan kewenangan untuk menetapkan jenis retribusi daerah lainnya yang dipandang sesuai dengan daerahnya, apakah ada potensi yang lain yang dapat dijadikan oleh pemerintah daerah sebagai retribusi.

c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang di pisahkan.

Menurut Halim (2004:68) Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut 1) bagian Laba perusahaan milik daerah , 2) bagian laba lembaga keangan bank, 3) bagian laba lembaga keuangan non bank, 4) bagian laba atas penyertaan modal/ investasi.

d. Lain-lain PAD yang sah.

Menurut Halim (2004:69) jenis pendapatan ini melipiti objek pendapatan berikut 1). hasil penjualan asset daerah yang tidak dipisahkan, 2). penerimaan jasa giro, 3). penerimaan bunga deposito, 4). denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, 5). penerimaan ganti rugi atas kerugian/ kehilangan kekayaan daerah.

4. Belanja Daerah

a. Pengertian Belanja Daerah

Menurut Kepmendagri No. 29 tahun 2002, belanja daerah adalah “semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurangan kekayaan bersih dalam

(21)

periode tahun anggaran beesangkutan”.

Dalam undang-undang No. 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa belanja daerah dilaksanakan untuk mendanai urusan pemerinth yang menjadi kewenangan daerah. Sedangkan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah pusat didanai dari dan atas APBN.

b. Klasifikasi Belanja Daerah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 71 tahun 2010, belanja daerah terdiri dari :

a. Belanja aparatur daerah, terdiri dari

1. Belanja adimistrasi umum

2. Belanja operasi dan pemeliharaan

3. Belanja modal/ pembangunan

b. Belanja pelayanan public

1. Belanja administrasi umum

2. Belanja operasi dan pemeliharaan

3. Belanja modal c. Bagi hasil

(22)

belanja daerah menurut kelompok belanja berdasarkan permendagri 13/2006 terbagi atas :

a. Belanja tidak langsung yaitu belanja yang anggrannya tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. contohnya adalah belanja pegawai, bunga, subsidi, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga.

b. Belanja langsung yaitu belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan seperti belanja pegawai honorarium/ upah, belanja barang dan jasa dan belanja modal.

B. Penelitian Terdahulu

Abdullah dan Halim (2004) melakukan penelitian untuk menguji Dana Alokasi umum (DAU) dan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap belanja pemerintah daerah di indonesia dengan menggunakan sample sebanyak 70 kabupaten dan 20 kota di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur , Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY) dan Bali. Data yang di analisis dalam penelitian ini adalah Data Cros Section yakni data tahun 2001 dan 2002 dari laporan APBD pemda yang di peroleh dari situs departemen dalam negeri dan depaetemen keuangan. Statistik yang digunakan dalam penelitian Abdullah dan halim (2004) ini adalah regresi sederhana (simple regression) dan regresi berganda (mulitple regression). Regresi sederhana dipakai untuk melihat pengaruh jumlah DAU, pajak daerah dan PAD secara terpisah terhadap jumlah belanja. Regresi berganda

(23)

digunakan dengan tujuan untuk memprediksi apakah komponen-kompenen pendapatan daerah tersebut secara serentak mempengaruhi belanja daerah. Hasil penelitian Abdullah dan Halim (2002) menunjukan bahwa secara terpisah dan atau secara bersama-sama DAU dan PAD berpengaruh signifikasn positif terhadap belanja daerah.

Haryo kuncoro (2007) melakukan penelitian dengan mengangkat judul fenomena flypaper Effect pada kinerja keuangan pemerintah daerah kota dan kabupaten di indonesia. Studi ini berbeda dengan studi-studi sebelumnya setidaknya dalam tiga hal. Pertama, studi ini mengklarifikasikan keterkaitan langsung antara penerimaan transfer dengan upaya pemerintah daerah dalam menggali PAD. Hal ini ditujukan agat transfer mampu menciptakan kinerja fiskal yang lebih baik dalam mengurangi ketidak seimbangan fiskal secara vertikal. Kedua dari sisi belanja adalah dengan mengamati sensitivitas belanja pemerintah daerah dalam merespon perolehan transfer. Hal ini merupakan persyaratan penting yang harus digunakan agar transfer yang didistribusikan mampu mengurangi ketidak seimbangan fiskal secara horizontal. Ketiga, kedua aspek tersebut di atas dirangkum ke dalam satu kerangka kerja kerangka kerja dengan memperhatikan eksternalitas fiskal (budget apillover), baik sisi penerimaan dan belanja. Yang muncul secara timbal balik antar daerah. Data utama yg dikumpulkan meliputi pos-pos PAD, transfer antar pemerintah, pengeluaran rutin (belanja operasional), dan pengeluaran pembangunan (belanja modal) pemerintah daerah, serta PDRB. Di samping itu, penelitian ini memerlukan pula data pendukung lainnya seperti tingkat luas wilayah, tingkat harga (inflasi), dan jumlah penduduk di tiap kota dan

(24)

kabupaten. Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang di peroleh dari BPS dan Ditjen PKPD Departemen Keuangan. Data yang diteliti merupakan data pooling, yaitu gabungan antara data time series dan cross section. Data time series mencangkup periode tahun 1988 hingga 2003. Cakupan spesial studi adalah kota dan kabupaten. Atas dasar perimbangan ini terkumpul 280 kota dan kabupaten. Sample ini mencapai 75 persen dan jumlah populasi pada tahun 2003. Hasil penelitian menunjukan bahwa alokasi transfer dari pemerintah pusat di ikuti dengan pertumbuhan belanja pemerintah daerah yang lebih tinggi. Gejala ini memperlihatkan bahwa birokrat pemerintahan daerah bertindak sangat reaktif terhadap transfer yang diteima dari pusat. Ada indikasi peningkatan belanja yang tinggi tersebut di sebabkan karena infiseiensi belanja pemerintahan daerah yang operasional.

Monika giagian (2008) melakukan penelitian untuk menguji pengaruh dan alokasi umum (DAU), pendapatan aslii daerah (PAD) dan pendapatan lain-lain yang dianggap sah terhadap belanja pemerintah derah. Studi kasus kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara. Data dalam penelitian Monika Siagan di peroleh dari situs departemen keuangan republik indnosia direktorat jundral perimbangan keuangan (www.djpkgo.id). Adapun periode waktu yang digunakan terdiri dari data time series mulai tahun 2004 hingga 2006 yang di kombinasikan dengan cross series pada 8 kabupaten dan 4 kota di propinsi Sumatera utara yang dipilih sebagai daerah sampel. Pengolahan data adalah dengan mengunakan metode analisa regresi berganda, uji f dan uji t. Hasil analisis yang dilakukan Monika Siagan menunjukan bahwa DAU, PAD dan pendapatan lain-lain yang di anggap

(25)

sah secara simultan dan parsial berpengaruh positif terhadap belanja daerah.

Siapinar, eva septiani (2011) melakukan penelitian pendapatan asli daerah , dana Bagi hasil , dana alokasi khusus terhadap belanja daerah. Secara parsial variabel PAD, dan DAK berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah. Sedangkan DBH tidak berpengaruh terhadap belanja daerah . Namun secara simultan PAD, DBH dan DAK berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah.

C. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan suatu model konseptual tentang bagaimana teori yang berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah riset (Umar, 2009:242).

1. Pengaruh Antara PAD dengan Belanja Daerah

PAD merupakan sumber pembiayaan bagi pemerintahan daerah dalam menciptakan infrastruktur daerah. PAD didapatkan dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Untuk itu, dalam masa desentralisasi seperti ini, pemerintah daerah dituntut untuk bisa mengembangkan dan meningkatkan PAD-nya masing-masing dengan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki supaya bisa membiayai segala kegiatan penciptaan infrastruktur atau sarana prasarana daerah melalui alokasi belanja daerah pada APBD. Semakin baik PAD suatu daerah maka semakin besar pula alokasi belanja daerahnya. Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanakan kebijakannya sebagai daerah otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan asli daerah yang diterima, maka semakin besar

(26)

pula kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam melaksanakan kebijakan otonomi. Pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah.

2. Pengaruh DBH terhadap Belanja Daerah

DBH merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah). DBH yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari 2 jenis, yaitu DBH pajak dan DBH bukan pajak (Sumber Daya Alam). Berdasarkan Undang-Undang PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000), mulai tahun anggaran 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh Pasal 21 serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN). Volume perolehan pajak di daerah berasosiasi kuat dengan besarnya tingkat pendapatan sebagai basis pajak, dengan demikian daerah dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi cenderung akan memperoleh DBH pajak yang lebih tinggi pula (Wahyuni & Adi 2009). DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan berasal dari PAD selain DAU dan DAK. Secara teoritis Pemerintah daerah

(27)

akan mampu menetapkan belanja modal yang semakin besar jika anggaran DBH semakin besar pula, begitupun Sebaliknya semakin kecil belanja modal yang akan ditetapkan jika anggaran DBH semakin kecil. DBH berpengaruh positif terhadap Belanja daerah. Berdasarkan uraian di atas maka kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut

3. Pengaruh Antara DAU dengan Belanja Daerah

Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan. Pelaksanaan desentralisasi dilakukan dengan pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri daerahnya. Wujud desentralisasi yaitu pemberian dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (UU No. 33/2004). DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan keuangan merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat menggunakan dana perimbangan keuangan (DAU) untuk memberikan pelayanan kepada publik yang direalisasikan melalui belanja modal (Solikin 2010 dalam Ardhani 2011). Hasil penelitian Darwanto & Yulia (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara DAU dengan

(28)

belanja modal. Penelitian empiris yang dilakukan oleh Holtz-Eakin et. al. (1985) dalam Hariyanto & Adi (2007) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara dana transfer dari pemerintah pusat dengan belanja modal. Prakosa (2004) memperoleh bukti empiris bahwa jumlah belanja daerah dipengaruhi oleh DAU yang diterima dari pemerintah pusat. Hasil penelitan Harianto dan Adi (2007) semakin memperkuat bukti empiris tersebut. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin tinggi. Hal ini memberikan adanya indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah khususnya belanja daerah akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAU. Berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan semakin tinggi DAU maka alokasi belanja daerah juga meningkat. Hal ini disebabkan karena daerah yang memiliki pendapatan (DAU) yang besar maka alokasi untuk anggaran belanja daerah (belanja modal) akan meningkat.

4. Pengaruh DAK terhadap Belanja Daerah

Salah satu perwujudan pelaksanaan otonomi daerah adalah desentralisasi. Pelaksanaan desentralisasi dilakukan oleh pemerintah pusat dengan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahnya. Kepentingan pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah disertai dengan penyerahan keuangan yang terwujud dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah (UU No.33/2004).

Dana perimbangan merupakan perwujudan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Salah satu dana perimbangan adalah DAK, yaitu

(29)

merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan prioritas nasional. Tujuan DAK untuk mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah. Pemanfaatan DAK diarahkan kepada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan publik dengan umur ekonomis panjang, dengan diarahkannya pemanfaatan DAK untuk kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik yang direalisasikan dalam belanja modal (Ardhani 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Anggiat Situngkir (2009) DAK berpengaruh positif dan signifikan terhadap anggaran belanja derah. Sementara lembaga SMERU menyatakan bahwa DAK merupakan salah satu sumber pendanaan untuk belanja modal. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara pemberian dana transfer dari pemerintah pusat (DAK) dengan alokasi anggaran pengeluaran daerah melalui belanja modal.

Penelitian ini menggunakan empat variabel independen yaitu DBH, DAU, DAK dan PAD, serta satu variabel dependen yaitu Belanja Daerah. Dalam undang-undang NO. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah (membiayai belanja daerah), pemerintah pusat akan menstransfer Dana Perimbangan yang dari Dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus. Disamping Dana tersebut pemerintah daerah mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa PAD, pembiayaan dan lain-lain-lain pendapatan. Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa

(30)

hubungan DBH, DAU, DAK dan PAD terhadap Belanja Daerah adalah berpengaruh positif baik secara simultan maupun secara parsial. Dari fenomena flypaper effect, muncul kecenderungan peningkatan belanja daerah bahwa penggunaan Dana Perimbangan tahun sebelumnya dapat dijadikan prediksi belanja daerah periode berikutnya. Kecenderungan peningkatan belanja daetah ini juga tidak disimbolkan dalam kerangka pemikiran.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan keterangan diatas maka dapat digambarkan sebuah kerangka pemikiran sebagai berikut:

Dana Bagi Hasil

DBH H1

Dana Alokasi Umum

DAU H2

Dana Alokasi Khusus H3 Belanja Daerah

DAK H4 Pendapatan Asli Daerah PAD Gambar 2.1 Kerangka pemikiran Sumber : penulis 2015

(31)

D. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka peneliti berasumsi mengambil keputusan sementara (hipotesis) adalah sebagai berikut :

H1 : DBH berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah.

H2 : DAU berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah.

H3 : DAK berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah.

H4 : PAD berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah.

Untuk menentukan flypaper effect, tidak digunakan hipotesis, karena flypaper effect merupakan sebuah fenomena yang terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak/boros dengan menggunakan DAU dari pada menggunakan PAD.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil menunjukkan bahwa Sub DAS Kaliputih mengalami perubahan penggunaan lahan yang cukup signifikan dari hutan menjadi pemukiman dan lahan budidaya, adanya bidang gelincir di

Strategi yang dilakukan kepala sekolah di SMP 4 Kudus senantiasa memperhatikan berbagai hal diantaranya: (a) Perbaikan dan peningkatan mutu secara terus menerus,

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Ini menunjukkan bahwa kejadian gizi kurang pada anak dengan rentang umur 12 sampai 24 bulan di Posyandu Desa Ciasem Baru terbilang cukup besar karena berdasarkan

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based