• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT-SIFAT FISIKOKIMIA TANAH DI AREAL HUTAN RAWA GAMBUT TRIPA PROVINSI ACEH (INDONESIA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SIFAT-SIFAT FISIKOKIMIA TANAH DI AREAL HUTAN RAWA GAMBUT TRIPA PROVINSI ACEH (INDONESIA)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT-SIFAT FISIKOKIMIA TANAH DI AREAL HUTAN RAWA GAMBUT TRIPA PROVINSI ACEH (INDONESIA)

Physicochemical Properties of the Soils in the Tripa Peat Swamp Forest in Aceh Province (Indonesia)

Sufardi1*, Sugianto2, Hairul Basri3, Syamaun A. Ali4, dan Khairullah5

1,2,3,4,5) Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh. *Email : sufardi.usk@gmail.com

ABSTRACT

Conversion of peat swamp forest into agricultural land can give several impacts to the characteristics of soil physicochemical. This research aims to understand physicochemical properties of soil in the area of peat swamp forest of Tripa (TPSF) in Aceh Province, Indonesia which covers total area of 60,657.29 hectares. The research was carried out using descriptive method through the observation of soil in the field and laboratory analysis. Soil samples were taken at the top layer of soil (0-20 cm) at 16 soil map units (SPL) based on different types of soil, peat thickness, peat maturity, and type of land use. The physicochemical properties of soil were examined including: soil pH (KCl and H2O), value of ΔpH, levels of exchangeable cations (Ca, Mg-, K-, and Na-exch), amount of varibel charge (v), and cation exchange capacity (CEC). The results showed that the physicochemical properties of soil in that TPSF area is varied depend on soil type. The TPSF areal has two soil orders i.e Entisols and Histosols. The soils are charactized by high negative charge, high variabel charge and CEC but low base cations. The CEC of soil correlated positively with the amount of variable charge of soil but it reversely corresponded with base saturation.

Key words: peat, swamp land, drying, soil phyico-chemical properties ABSTRAK

Konversi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian dapat memberikan pengaruh terhadap karakteristik fisikokimia tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat fisikokimia tanah di areal hutan rawa gambut Tripa (TPSF) Provinsi Aceh, Indonesia dengan luas areal 60.657,29 hektar. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif melalui pengamatan lapangan dan analisis laboratorium. Sampel tanah diambil pada lapisan atas (0-20 cm) pada setiap satuan peta lahan (SPL). Satuan peta lahan ini dibuat berdasarkan perbedaan jenis tanah, ketebalan dan kematangan gambut, serta tipe penggunaan lahan. Sifat- sifat tanah yang dianalisis meliputi pH tanah (H2O dan KCl), nilai ΔpH, kadar kation dapat ditukar (Ca-dd, Mg-dd, K-dd, dan Na-dd), jumlah muatan variabel (v) dan kapasitas tukar kation (KTK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat-sifat fisikokimia tanah di areal TPSF bervariasi tergantung pada jenis tanah. Areal TPSF terdapat dua ordo tanah yaitu Entisol dan Histosol. Tanah di areal TPSF ini dicirikan dengan tingginya muatan negatif, muatan variabel (v) dan KTK, tetapi jumlah kation tertukar. KTK tanah berkorelasi positif dengan jumlah muatan variabel tanah tetapi tidak berkorelasi dengan kejenuhan basa.

Kata kunci : Lahan rawa, gambut, pengeringan, fisikokimia tanah

(2)

PENDAHULUAN

Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa ((Tripa Peat-Swamp Forest = TPSF) yang terdapat di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya pada awalnya merupakan suatu ekosistem hutan rawa tropis bergambut yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Menurut Arahan Tata Ruang Provinsi Aceh, areal ini merupakan Areal Penggunaan Lainnya (APL), sehingga dalam kebijakan Pemerintah Daerah areal ini menjadi sasaran perluasan lahan pertanian khususnya pengembangan lahan perkebunan kelapa sawit. Saat ini ada beberapa perusahaan Hak Guna Usaha (HGU) yang telah memanfaatkan areal ini untuk perkebunan kelapa sawit dan konversi lahan rawa ini telah dilakukan sejak 20 tahun silam (Tim Survai Unsyiah, 2013).

Areal TPSF ini diperkirakan lebih dari 60.000 hektar dan merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang keberadaannya harus dilestarikan karena selain terdapat hutan rawa gambut juga terdapat flora dan fauna yang perlu dilindungi (Yayasan Ekosistem Lestari, 2008). Hasil survai yang dilakukan oleh beberapa lembaga menyatakan bahwa areal TPSF memiliki gambut yang memiliki tiga kubah utama yang dipisahkan oleh tiga sungai yaitu Krueng Tripa, Krueng. Seumayam, dan Krueng Batee atau Krueng Babahrot. Kubah-kubah tersebut memiliki ketebalan gambut yang bervariasi dari 2-3 meter, bahkan pada tempat tertentu ketebalan gambutnya bisa mencapai > 8,5 meter (Yayasan Ekosistem Lestari, 2008; Tim Survai Unsyiah, 2013).

Konversi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian telah menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap ekologis dan berpotesni juga terjadi perubahan pada sifat-sifat tanah karena lahan gambut merupakan lahan yang memiliki lapisan tanah yang kaya dengan bahan organik (USDA, 2014). Gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya (Riwandi, 2003; Widjaja-Adhi et al., 1992). Lahan gambut yang masih berupa hutan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan gambut menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar, sehingga berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon yang berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer (Agus et al., 2011). Pembukaan rawa gambut menjadi lahan kering akan mempercepat dekomposisi bahan organik sehingga secara ekologis akan merugikan (Hairiah et al., 2011). Lahan gambut dikonversi menjadi lahan pertanian maka seringkali akan mengganggu semua fungsi ekosistem lahan gambut tersebut, karena pengeringan yang berlebihan melalui pembuatan sistem drainase, maka karbon yang tersimpan pada gambut akan mudah teroksidasi menjadi gas CO2 yang dianggap sebagai salah satu gas rumah kaca (GRK) dan mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka (Wosten et al., 1997; Wahyunto et al., 2005). Dekomposisi aerobik akan memacu kehilangan C organik dan dapat mempengaruhi karakteristik kimia dan fisikokimia tanah gambut (Galbraith et al., 2005; Hooijer et al., 2006; Handayani, 2009).

Berdasarkan uraian di atas, maka perubahan tata guna lahan di areal TPSF akan berdampak terhadap perubahan karakteristik fisikokimia tanah yang ada di areal tersebut.

Penelitian ini bertujuan mengkaji sifat fisikokimia tanah di areal TPSF di Provinsi Aceh, Indonesia.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di areal yang menjadi ekosistem Hutan rawa gambut Tripa (TPSF) Provinsi Aceh yang luasnya 60.657,29 hektar yang mencakup wilayah Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya. Analisis sifat-sifat fiiskokimia tanah dilakukan di Laboratorium Penelitian Tanah dan

(3)

Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Penelitian dilaksanakan pada Maret hingga Agustus 2013.

Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan studi meliputi peta satuan lahan di areal TPSF, dan bahan kemikalia untuk uji sampel di lapangan yang meliputi akuades, 0,5 N HCl, larutan perokasida (H2O2) 30 %, dan bahan kimia lainnya untuk analisis sampel tanah di laboratorium. Peralatan yang digunakan meliputi bor tanah, bor gambut, ring sample, buku warna tanah Munsell, kompas, GPS, dan peralatan laboratorium seperti pH meter, EC-meter, Spektrofotometer, oven, dan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS).

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu melalui kegiatan survai dan pengamatan lapangan serta analisis laboratorium. Kegiatan survai lapangan dilakukan untuk mengukur ketebalan gambut, pengamatan karakteristik tanah dan kematangan gambut, serta pengambilan sampel tanah/gambut pada titik-titik pengamatan yang telah ditetapkan dalam peta kerja dan analisis laboratorium. Pengambilan sampel tanah dan gambut dilakukan secara sistematis pada 108 titik pengeboran atau 30 titik sampel komposit yang telah ditetapkan sebagai titik pengamatan/observasi. Selanjutnya seluruh areal TPSF dibuat satuan peta lahan (SPL) yang didasarkan pada perbedaan pola penggunaan lahan, macam tanah, ketebalan dan tingkat kematangannya. Analisis laboratorium dilakukan terhadap sampel-sampel tanah /gambut komposit yang diambil pada lapisan atas (0-20 cm) di setiap titik pengamatan mewakili satuan peta lahan (SPL). Untuk mengetahui sifat-sifat fisikokimia tanah dianalisis pH (H2O) dan KCl), nilai ΔpH (pH KCl – pH H2O), kandungan kation basa tertukar (Ca-dd, Mg- dd, K-dd, Na-dd) ekstrak 1N NH4OAc pH7, KTK (metode 1N NH4OAc pH7), dan muatan varibarel (metode Uehara dan Gillman, 1981).

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Satuan Lahan

Hasil identifikasi lapangan terhadap karakteristik lahan seperti ketebalan gambut, tingkat kematangan gambut, jenis tanah, dan pola penggunaan lahan, areal TPSF di Provinsi Aceh dapat dibagi atas 16 satuan peta lahan (SPL). Adapun deskripsi setiap SPL diapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi SPL di Areal hutan rawa gambut Tripa (TPSF)

Simbol SPL

No SPL

Macam/JenisTanah (SNI/USDA)

Tebal Gambut (cm)

Pemanfaatan Lahan

Luar Areal

(ha) (%)

1AAd1 1 Aluvial Distrik (Udifluvent) < 50 Kb. Campuran 4.415,01 7,28 1AAd2 `15 Aluvial Distrik (Udifluvent) < 50 Kelapa Sawit 2.204,67 3,63 1AAe1 2 Aluvial Eutrik (Udifluvent) 50-100 Kb.Campuran 15.637,28 25,78 1AAg1 3 Aluvial Gleik (Pluvaquent) 100-200 Hutan Rawa 2.478,50 4,09 1AAg2 14 Aluvial Gleik (Pluvaquent) 50-100 Kb. Campuran 1.368,24 2,26 2GHf1 4 Organosol Fibrik (Haplofibrist) 300->400 Hutan Rawa 2.916,00 4,81 2GHf2 5 Organosol Fibrik (Haplofibrist) 200-300 Hutan Rawa 1.925,28 3,17 2GHh1 6 Organosol Hemik (Haplohemist) 300-400 Hutan Rawa 2,566,59 4,23 2GHh2 7 Organosol Hemik (Haplohemist) 200-300 Kelapa Sawit 1.122,78 1,85 2GHs1 8 Organosol Saprik (Haplosaprist) 200-300 Kb. Campuran 7.663,92 12,63 2GHs2 9 Organosol Saprik (Haplosaprist) 300-400 Kelapa Sawit 6.034,74 9,95 2GHs3 10 Organosol Saprik (Haplosaprist) 200-300 Kb. Campuran 3.488,20 5,75 2GHs4 11 Organosol Saprik (Haplosaprist) 100-200 Kelapa Sawit 2.844,37 4,69 2GHs5 12 Organosol Saprik (Haplosaprist) 300-400 Hutan rawa 779,18 1,28 2GHs6 13 Organosol Saprik (Haplosaprist) 200-300 Kelapa Sawit 2.028,91 3,24 2GHs9 16 Organosol Saprik (Haplosaprist) 200-300 Kelapa Sawit 1.183,61 5,25

Jumlah 60.657,29 100,00

Sumber : Hasil observasi dan analisis peta (2014)

(4)

Tabel 1 memperlihatkan bahwa wilayah studi terbentuk atas dua formasi litologi yaitu bahan alluvial dan bahan organik sehingga membentuk dua jenis tanah utama yaitu tanah mineral dan tanah organik (gambut). Kedua asal bahan ini di dalam ekosistem rawa gambut ini ternyata bisa terjadi saling mempengaruhi sehingga menghasikan jenis tanah yang bervariasi walaupun tipologi lahan seragam yaitu rawa. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan ditemukan bahwa tanah dari bahan Aluvial ini membentuk tiga macam/jenis tanah yaitu Aluvial Eutrik (Typic Udifluvents), Aluvial Distrik (Typic Udifluvents), dan Aluvial Gleik (Typic Fluvaquents). Dengan demikian maka di areal TPSF ini terdapat dua ordo tanah, yaitu Entisol dan Histosol (Soil Survey Staff, 2014).

B. Sifat-sifat Fisikokimia Tanah (1) Reaksi Tanah (pH)

Tanah gambut yang dikeringkan akan mengalami perubahan pada beberapa sifat kimia tanah. Tabel 2 memperlihatkan bahwa nilai pH tanah lapisan atas ternyata agak bervariasi antara satuan peta lahan (SPL) dan secara umum berada pada kisaran nilai pH berada antara kategori sangat masam (4,35) hingga agak masam (6,12) untuk pH H2O. Untuk pH KCl berkisar dari 3,35 hingga 5,78. Satuan peta lahan yang memiliki pH sangat masam hanya dijumpai pada SPL 3 (1AAg1) yaitu satuan lahan yang merupakan jenis tanah Aluvial gleik (Fluvaquents) sedangkan nilai pH paling tinggi dijumpai pada SPL 15 (1AAd2) yaitu jenis tanah Aluvial distrik (Udifluvents).

Tabel 2. Sifat-sifat fisikokimia tanah pada setiap satuan lahan di Areal TPSF Simbol

SPL

No.

SPL

pH H2O

pH

KCl ΔpH Ca-dd Mg-dd K-dd Na-dd Ʋ¤ KTK --- (cmol kg-1) ---

1AAd1 1 5,76 4,96 -0,80 2,46 0,54 0,26 0,10 9,64 13,0

1AAd2 `15 6,12 5,62 -0,50 2,78 0,57 0,39 0,25 8,91 12,9

1AAe1 2 5,98 5,36 -0,62 8,04 1,76 1,78 0,12 13,7 25,4

1AAg1 3 4,35 3,35 -1,00 4,22 0,66 0,66 0,21 23,2 28,9

1AAg2 14 4,54 4,04 -0,50 4,19 0,62 0,61 0,18 18,5 24,1

2GHf1 4 5,23 4,63 -0,60 3,35 0,36 0,50 0,11 36,5 40,8

2GHf2 5 4,67 3,76 -0,91 3,88 0,34 0,40 0,10 52,5 57,2

2GHh1 6 5,78 4,90 -0,88 4,68 0,54 0,54 0,15 51,3 57,2

2GHh2 7 4,90 4,21 -0,69 4,42 0,52 0,66 0,20 51,5 57,3

2GHs1 8 5,12 4,55 -0,57 6,98 0,76 0,45 0,10 100,1 108,4

2GHs2 9 5,78 4,78 -1,00 6,87 0,83 0,67 0,13 81,9 90,4

2GHs3 10 4,90 3,90 -1,00 5,22 0,76 0,67 0,19 79,6 86,4

2GHs4 11 5,12 4,52 -0,60 6,23 0,85 0,67 0,15 109,3 117,2

2GHs5 12 4,78 4,06 -0,72 7,12 0,67 0,62 0,11 90,3 98,8

2GHs6 13 4,87 4,12 -0,75 6,17 0,87 0,62 0,13 81,9 89,7

2GHs9 16 5,21 4,41 -0,80 5,11 0,81 0,55 0,32 98,5 105,3

Ʋ¤= M uatan variabel; KTK = Kapasitas tukar kation; dd = dapat ditukar

Kemasaman tanah merupakan salah satu indikator kesuburan tanah. Pada tanah-tanah yang terdapat di areal TPSF memperlihatkan bahwa kemasaman tanah berbeda antara satuan lahan. Hal ini terjadi karena ada enam jenis tanah yang terdapat di areal TPSF yang secara garis besar dapat dikelompokkan atas dua ordo yaitu ordo Entisol dan Histosol. Secara genesis, kedua ordo tersebut memiliki ciri yang sangat berbeda (Soil Survey Staff, 2014), sehingga sifat-sifat fisikokimia juga berbeda (Sposito, 2010). Gambar 1 dapat dilihat bahwa

(5)

secara umum pH tanah di areal TPSF adalah masam. Muatan permukaan (ΔpH) tanah pada seluruh SPL ternyata bermuatan negatif dan umumnya lebih besar dari 0,5 satuan. Hal ini menunjukkan bahwa karaketristik muatan tanah cukup baik karena didominasi oleh muatan negatif (Uehara dan Gillman, 1981).

Gambar 1. Rata-rata pH H2O dan pH KCl serta nilai ΔpH tanah pada setiap satuan peta lahan di Areal TPSF

(2) Kation-kation Dapat Ditukar

Tabel 2 dapat dilihat bahwa kation dapat ditukar (Ca-dd, Mg-dd, K-dd, dan Na-dd) di areal TPSF ternyata cukup beragam antara satuan peta lahan. Kandungan Ca-dd tanah di areal TPSF sangat bervariasi antara satuan lahan dan nilainya berkisar dari 2,46 hingga 8,04 cmol kg-1. Kadar Ca-dd terendah terdapat pada SPL 1 (1AAd1) sedangkan tertinggi terdapat pada SPL 2 (1AAe1).

SPL 1 merupakan jenis tanah Aluvial Distrik (Udifluvents) yang terbentuk dari bahan alluvial, sedangkan SPL 2 merupakan jenis tanah Aluvial Eutrik (Udifluvents) yaitu tanah yang berkembang dari gambut yang diperkaya dengan bahan alluvial. Selanjutnya dapat dilihat bahwa areal TPSF secara umum didominasi oleh lahan dengan kadar Ca-dd rendah hingga sedang. Jika dibandingkan antara jenis tanah Aluvial dengan tanah Gambut, maka tampak bahwa jenis tanah Gambut memiliki kandungan Ca-dd yang lebih tinggi terutama pada Organosol Saprik (Haplosaprist), sedangkan pada tanah Aluvial sangat bervariasi (Gambar 2).

Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa kadar Mg-dd tanah di areal TPSF berada dari 0,36 hingga 1,76 cmol kg-1 atau berada dari kriteria rendah hingga sangat tinggi. Pola penyebaran kadar Mg-dd tanah di TPSF hampir mirip dengan pola kandungan Ca-dd, namun kadar Mg-dd umumnya yang mendominasi wilayah TPSF berada pada kategori sedang. Satu-satunya SPL yang mempunyai Mg-dd sangat tinggi adalah SPL 2 (1AAe1) yaitu jenis tanah Aluvial Eutrik (Udifluvents) karena tanah ini merupakan tanah yang berkembang dari gambut yang diperkaya dengan bahan mineral/aluvial sungai. Sumber bahan aluvial yang memperkaya tanah gambut ada tiga yaitu sungai Kr. Tripa, Kr. Seumayam, dan Kr. Batee/Babahrot. Pola kandungan Mg-dd tanah pada setiap satuan lahan lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.

(6)

Gambar 2. Kadar Ca-dd dan Mg-dd tanah pada setiap satuan peta lahan di Areal TPSF

Selanjutnya, kandungan K-dd tanah di areal TPSF secara umum termasuk ke dalam kategori sedang walaupun nilainya bervariasi dari sangat rendah hingga sangat tinggi (0,26 – 1,78 cmol kg-1). Kadar K-dd terendah ini dijumpai pada SPL 1 (1AAd1) dengan jenis tanah Aluvial Distrik (Udifluvents), sedangkan K-dd tertinggi dijumpai pada SPL 2 (1AAe1) dengan jenis tanah Aluvial Eutrik (Udifluvents). Berbeda halnya dengan kadar K-dd, hasil analisis data menunjukkan bahwa kadar Na-dd tanah di aeral TPSF berada antara katogori sangat rendah hingga rendah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun wilayah TPSF berada tidak jauh dengan wilayah pantai, tetapi belum memperlihatkan adanya pengaruh intrusi air laut ke daratan ini. Kadar Na-dd berada antara 0,10 – 0,32 cmol kg-1. Gambar 3 menjelaskan bahwa pola kandungan K-dd tanah pada tanah Aluvial (Entidol) dengan tanah gambut (Histosol) relatif tidak begitu menonjol perbedaannya.

Gambar 3. Kadar K-dd dan Na-dd tanah pada setiap satuan peta lahan di Areal TPSF Berdasarkan data hasil analisis, maka dapat dikatakan bahwa kandungan kation basa dapat ditukar (Ca-dd, Mg-dd, K-dd, dan Na-dd) di areal TPSF secara keseluruhan berada pada kategori rendah hingga sedang. Tanah Gambut secara umum mempunyai jumlah kation basa yang relatif rendah karena tanah ini lebih didominasi oleh senyawa organik dan sedikit bahan mineralnya (Agus et al., 2011). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Hairiah et

(7)

al. (2011) yang menyatakan bahwa kadar abu atau bahan mineral di dalam tanah gambut pada umumnya rendah. Oleh karena itu, tanah gambut yang dikelola untuk lahan pertanian diperlukan tambahan bahan mineral agar kualitasnya menjadi lebih baik (Sabiham dan Ismangun; 1997; Sabiham, 2007).

(3) Muatan Variabel dan KTK

Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan salah satu indikator subur tidaknya suatu tanah (Bohn et al., 2005). Makin tinggi jumlah muatan negatif di dalam tanah, maka nilai KTK tanah makin tinggi (Uehara dan Gillman, 1981). Pada tanah yang didominasi bahan organik seperti yang terdapat pada tanah Gambut (Histosol), sumber utama muatan negatif adalah disosiasi gugus-gugus fungsional senyawa organik. Muatan ini bersifat berubah-ubah atau muatan variabel (variable charge) tergantung pH dan konsentrasi ion-ion penentu potensial (Sposito, 2010). Oleh sebab itu, pada tanah yang didominasi oleh muatan variabel ini, besarnya KTK tanah tidak selalu berhubungan dengan jumlah kation yang dijerap pada permukaan koloid.

Tabel 2 dapat dilihat bahwa muatan variabel (Ʋ) tanah sangat bervariasi antara satuan peta lahan (SPL) dan nilainya bevariasi dari 8,91 hingga 109,3 cmol kg-1, sedangkan KTK tanah bervariasi dari 12,9 hingga 117,2 cmol kg-1. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa secara umum jumlah muatan variabel di dalam tanah yang terdapat di areal TPSF ternyata sangat tinggi terutama pada SPL yang memiliki jenis tanah gambut (Organosol Fibrik, Organosol Hemik, dan Organosol Saprik) yang terdapat pada SPL 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,11, 12, 13, dan 14. Pada tanah gambut ini jumlah muatan variabel sangat tinggi yaitu dari 36,5 – 109,3 cmol kg-1. Jumlah muatan variabel yang relatif lebih rendah dijumpai pada SPL 1 hingga 3 dan SPL 14 dan 16 yaitu pada jenis tanah Aluvial Distrik, Aluvial Eutrik dan Aluvial Gleik.

Gambar 4. Nilai KTK Tanah dan Muatan Variabel pada Setiap Satuan Peta Lahan di Areal TPSF

Variasi jumlah muatan variabel (Ʋ) tanah pada setiap SPL, ternyata memiliki pola yang serupa dengan nilai KTK tanah. Gambar 4 dapat dilihat bahwa pada satuan ;ahan dengan jenis tanah gambut (Histosol) ternyata mempunyai nilai KTK tanah jauh lebih tinggi daripada KTK pada tanah Aluvial (Entisol). Hal ini disebabkan karena bahan organik tinggi pada tanah gambut (Histosol) merupakan penyumbang besar dari muatan variabel tanah (Uehara dan Gillman, 1981). Sposito (2010) menyatakan bahwa gugus-gugus senyawa organik seperti hidroksil, fenolik, karboksilat, dan lain-lain menjadi sumber muatan variabel tanah. Muatan-muatan

(8)

variabel ini menjadi penyebab tingginya nilai KTK pada tanah organik tetapi tingginya nilai KTK ini tidak menggambarkan jumlah kation basa yang diikat oleh tanah. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara nilai KTK tanah gambut dengan jumlah muatan variabel (r = 0,931**). Fakta ini menunjukkan bahwa KTK tanah di areal TPSF tidak menggambarkan kondisi aktual dengan jumlah kation basa tertukar tanah karena muatan yang dihasilkan pada permukaan koloid tanah merupakan muatan variable.

Berdasarkan karakteristik fisikokimia tanah tersebut, lahan tersebut memerlukan input pemupukan dan amelioran jika dimanfaatkan untuk lahan pertanian.

KESIMPULAN

Areal TPSF di Provinsi Aceh dapat dibedakan atas 16 satuan peta lahan (SPL) yang dapat dikelompokkan atas tanah Aluvial (Entisol) dan tanah Gambut atau Organosol (Histosol). Kedua ordo tanah tersebut memiliki karakteristik yang sangat berbeda dan mempunyai sifat fisikokimia tanah yang berbeda pula. Sifat-sifat fisikokimia tanah di areal TPSF secara umum bereaksi masam, bermuatan negatif tinggi, jumlah kation basa (Ca-dd, Mg-dd, K-dd dan Na-dd) rendah, dan mempunyai jumlah muatan variabel dan KTK yang sangat tinggi. Nilai KTK tanah di areal TPSF berkorelasi positif dengan jumlah muatan variabel tanah, akan tetapi tingginya nilai KTK tidak berkorelasi positif dengan jumlah kation basa dapat ditukar, sehingga dalam pengelolaan tanah perlu penambahan pupuk dan amelioran.

UCAPAN TERIMA KASIH

Tim penulis menyampaikan penghargaan kepada Universitas Syiah Kuala dan UNDP yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., K. Hairiah, dan A. Mulyani. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon Tanah Gambut.

Petunjuk Praktis. World Agroforestry Centre-ICRAF, SEA Regional Office dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Bogor, Indonesia. 58 p.

Bohn, H. L., B.L. McNeal, and G.A. O’conner. 2005. Spol Chemistry. John Wiley and Sons, New York.

Galbraith, H., P. Amerasinghe, and H.A. Lee. 2005. The Effects of Agricultural Irrigation on Wetland Ecosystems in Developing Countries: A literature review. CA Discussion Paper 1 Colombo, Sri Lanka: Comprehensive Assessment Secretariat.

Hairiah, K., A. Ekadinata, dan S.R.R. Rahayu S. 2011. Pengukuran cadangan karbon dari tingkat lahan ke bentang lahan. Edisi 2. World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia dan Universitas Brawijaya. Bogor dan Malang. Indonesia.

Handayani, E. 2009. Emisi karbon dioksida (CO2) dan metan (CH4) pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hooijer, A, M. Silvius, H. Wosten, and S. Page. 2006. Peat-CO2. Assessment of CO2

Emissions from Drained Peatlands in South East Asia. Delft Hydraulics Report Q 3943.

(9)

Riwandi. 2003. Indikator Stabilitas Gambut Berdasarkan Analisis Kehilangan Karbon Organik, Sifat Fisikokimia dan Komposisi Bahan Gambut. Jurnal Penelitian UNIB.

Bengkulu.

Sabiham S., dan Ismangun, M. 1997. Potensi dan Kendala Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian. Proseding Simposium Nasional dan Konggres V PERAGI. Jakarta, 25- 27 Januari 1996

Sabiham. S. 2007. Pengembangan Lahan Secara Berkelanjutan Sebagai Dasar Dalam Pengelolaan Gambut di Indonesia. Makalah Utama Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa. Kapuas 3-4 Juli 2007.

Soil Survey Staff/USDA. 2014. Keys to Soil Taxonomy. Washington DC.

Sposito, G. 2008. Chemistry of The Soils. Oxford University Press Inc., New York.

Tim Survai Unsyiah. 2013. Kajian Ekosistem Rawa Tripa. PIU-SERT Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.

Uehara, G., and P. Gillman. 1981. Mineralogy and Chemistry of Soils with Variable Charge Clay. Colorado.

Wahyunto, S. Ritung, Suparto, dan H. Subagjo. 2005. Peat Land Distribution and Carbon Content in Sumatra and Kalimantan. Wetland International-Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada (WHC). Bogor –Indonesia.

Widjaja-Adhi et al., 1992. Lahan Rawa dan Permasalahannya di Indonesia.

Wosten, J.H.M, A.B. Ismail, and van Wijk ALM. 1997. Peat subsidence and its practical implications: a case study in Malaysia. Geoderma 78:25-36.

Yayasan Ekosistem Lestari. 2008. Value of Tripa Peat Swamp Forest, Aceh. Sumatera Indonesia. www.yelweb.org.

Gambar

Gambar  1.    Rata-rata  pH  H 2 O  dan  pH  KCl  serta  nilai  ΔpH  tanah  pada  setiap  satuan  peta  lahan  di Areal  TPSF
Gambar  2.  Kadar Ca-dd dan Mg-dd tanah  pada setiap  satuan  peta lahan  di Areal  TPSF
Tabel  2  dapat  dilihat  bahwa  muatan  variabel  (Ʋ)  tanah  sangat  bervariasi  antara  satuan  peta  lahan  (SPL)  dan  nilainya  bevariasi  dari  8,91  hingga  109,3  cmol kg -1 , sedangkan KTK tanah  bervariasi  dari  12,9  hingga  117,2  cmol  kg -

Referensi

Dokumen terkait

kewarisan adat tidak memberlakukan sistem pergantian tempat bagi ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari si pewaris dengan pendapat bahwa apabila seorang anak

Melihat potensi yang dimiliki oleh dataran tinggi Dieng dengan sedikitnya pengunjung yang berwisata ke kawasan Dieng, maka penulis mengembangkan konsep kreatif untuk

Aplikasi penunjuk arah berbahasa indonesia berbasis Android sebagai pencari lokasi ini akan membantu pengguna mencari dan melihat lokasi apa saja yang disediakan untuk

Jika gagal berpisah pada oogenesis, gonosom gamet yang mungkin adalah X, XX, dan O, sedangkan dalam spermatogenesis terjadi gagal berpisah maka gonosom gamet yang

Sesuai Undang-Undang Dasar 1945 presiden Republik Indonesia bertugas: (a) Menjalankan Undang- Undang Dasar 1945, (b) Menjalankan garis-garis besar haluan Negara, dan

Berdasarkan hasil percobaan didapatkan bahwa dengan menggunakan metode deteksi perubahan pada tegangan dapat mendeteksi pada jarak kurang lebih 30cm baik untuk

Cocokan atas bukti pemotongan dan bukti surat setoran pajak dengan saldo di buku besar serta lakukan vouching Lakukan rekonsilisasi antara total objek dengan tarif pajaknya

Investasi atau penanaman modal memegang peranan penting bagi setiap usaha karena bagaimanapun juga investasi akan menimbulkan peluang bagi pelaku ekonomi untuk