SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
LARASATI ANGELICA NADEAK 170200452
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
Nama : Larasati Angelica Nadeak
NIM : 170200452
Departemen : Hukum Perdata BW
Judul Skripsi : Perlindungan Hukum Bagi Pemberi Gadai Atas
Rusaknya Objek Jaminan Gadai Di PT.Pegadaian
Kota Dumai
Dengan ini menyatakan :
1. Skripsi yang saya tulis ini tersebut adalah benar-benar karya saya sendiri bukan jiplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah jiplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.
Medan, Juni 2021
Larasati Angelica Nadeak NIM : 170200452
i
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat kasih karunianya yang berlimpahdan kekuatan yang dari padaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun judul skripsi yang penulis angkat adalah “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBERI GADAI ATAS RUSAKNYA OBJEK JAMINAN GADAI DI PT.PEGADAIAN KOTA DUMAI”. Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos.,M.Si, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dr. Agusmidah, S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Mohammad Eka Putra, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H.,M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
7. Bapak Syamsul Rizal, S.H.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
ii penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Ibu Zulfi Chairi, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan,bimbingan, saran dan ilmu yang bermanfaat dalam proses penyusunan skripsi ini.
10. Bapak Mulhadi, S.H., M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis yang telah membimbing penulis selama penulis menimba ilmu perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
11. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya Dosen dan Staf Departemen Hukum Keperdataan yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
12. Ibu Nani dan Ibu Friska selaku Narasumber Penulis di PT.Pegadaian Kota Dumai
13. Sahabat Penulis selama menjalani perkuliahan yaitu Feny Yolanda, Rivani Ginting, Dwina Gita dan Bertha Millionita sebutan Istri Konglo, semoga kelak kita beneran jadi istri konglo.
14. Untuk keluarga pertamaku di Fakultas Hukum USU, Keluarga Mahasiswa Katolik Santo Fidelis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Terima kasih karena telah mengingatkan penulis bahwa sesibuk apapun kegiatan yang dilalui, jangan pernah lupa untuk berdoa dan bersyukur.
15. Komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (KPS FH USU) yang menjadi wadah aspirasi bagi Penulis untuk belajar
iii
16. Rekan-rekan seperjuangan yang tergabung dalam Tim Delegasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Dalam Mengikuti Kompetisi Peradilan Semu Pidana Tingkat Nasional Anti Human Tafficking Piala Prof. Hilman Hadikusuma tanggal 20-23 September 2019 yaitu Bang David, Bang Edwin, Kak Dina, Albert, Anton, Cecio, Aulia, Girlie, Yefani, Tridayanti, Alpina, Tiodora, Elfrida, Pranade, Khawiy, dan Putri.
Terima kasih telah memberikan pengalaman yang tak terlupakan selama kurang lebih tujuh bulan kebersamaan.
17. Teruntuk kawan-kawanku seperjuangan dari kota yang sama selalu menemani penulis menjalani perkuliahan ada April, Veny, Ciaya, Ayu, terima kasih telah menemani penulis mengisi kegabutan di weekend.
18. Dan untuk setiap orang yang mengenal penulis, setiap orang yang menyebutkan penulis dalam doa-doanya. Penulis mengucapkan terima kasih banyak.
Keluarga tercinta penulis, ayah dan mama yaitu Berlin Nadeak dan Rapita Agnes Hasugian yang selalu mensupport tak henti-hentinya mendoakan agar dipermudah oleh Tuhan dalam pengerjaan skripsi ini serta Abang tercinta Boston Nadeak dan saudara perempuan yang menyebalkan tapi kangenin Kak Lydia Nadeak, Adik Rosa Nadeak dan adik bontot Sydney Nadeak.Terima kasih telah menjadi keluarga yang hebat dan mengasihi.
iv
yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datangdan semoga bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Juni 2021
Larasati Angelica Nadeak
v HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah... 7
C. Tujuan Penulisan... 7
D. Keaslian Penulisan... 8
E. Tinjauan Kepustakaan... 9
F. Metode Penelitian ... 15
G. Sistematika Penulisan... 18
BAB II PENGATURAN HUKUM GADAI DI INDONESIA A. Gadai Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata... 20
B. Gadai Menurut Hukum Adat... 30
C. Gadai Menurut Hukum Islam... 32
D. Landasan Hukum Pegadaian di Indonesia... 35
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PT.PEGADAIAN ATAS RUSAKNYA OBJEK JAMINAN GADAI A. Perjanjian Gadai pada PT.Pegadaian... 45
B. Mekanisme Pelaksanaan Perjanjian Gadai... 55
C. Objek Jaminan Gadai pada PT.Pegadaian... 62
vi
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBERI GADAI ATAS RUSAKNYA OBJEK JAMINAN GADAI DI
PT.PEGADAIAN
A. Perlindungan Hukum Terhadap Jaminan Gadai... 74
B. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Pemberi Gadai Atas Rusaknya Jaminan Gadai... 81
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 91
B. Saran... 92
DAFTAR PUSTAKA...93
LAMPIRAN... 96
vii
Tan Kamello **
Zulfi Chairi ***
Manusia setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Tak jarang masyarakat melakukan pinjaman untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk membantu masyarakat yang memiliki ekonomi rendah, pemerintah membentuk lembaga Pegadaian agar rakyat kecil yang membutuhkan pinjaman agar tidak jatuh ke tangan para pelepas uang seperti rentenir, atau tengkulak yang dalam pemberian pinjaman mengenakan bunga sangat tinggi dan berlipat ganda. Pegadaian memberikan pinjaman kepada masyarakat dengan syarat adanya penyerahan jaminan. Meskipun pegadaian ini bentukan pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011, namum tidak dapat dipungkiri bisa saja melanggar hukum. Permasalahannya adalah bagaimana pengaturan hukum gadai di Indonesi, bagaimana pertanggungjawaban terhadap jaminan yang rusak karena kelalaian pihak pegadaian dan bagaimana perlindungan hukum bagi pemberi gadai atas rusaknya jaminannya di pegadaian.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Jenis datanya adalah data sekunder. Selain itu juga terdapat juga data hasil wawancara terhadap staf PT.
Pegadaian yang fungsinya untuk mengkonfirmasi bahan hukum sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya pengaturan gadai di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan serta adanya Peraturan Pemerintah mengenai Pegadaian, pertanggungjawaban atas rusaknya jaminan gadai kepada pemberi gadai diatur dalam peraturan internal pegadaian yaitu setiap barang yang menjadi objek jaminan akan diasuransikan untuk menjamin keberadaan barang tersebut, pemberi gadai berhak atas ganti rugi disebabkan kelalaian oleh pihak pegadaian yang tidak disebabkan oleh force majure setelah diperhitungkan dengan uang pinjaman, sewa modal dan biaya lainnya, mengenai ketetapan besaran ganti rugi hanya terdapat dalam peraturan internal pengadaian, perlindungan hukum yang diberikan kepada pemberi gadai ada yang bersifat preventif dan represif, serta segala permasalahan yang timbul antara para pihak dapat diselesaikan secara litigasi maupun non litigasi.
Kata Kunci : Perlindungan, Hukum, Jaminan, Pemberi, Gadai
*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU
**) Dosen Pembimbing I, Dosen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
***) Dosen Pembimbing II, Dosen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Manusia setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan.
Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada umumnya berharap selalu ingin dapat memenuhi semuanya karena manusia pada dasarnya ingin hidup layak dan selalu berkecukupan.1 Perkembangan perekonomian di Indonesia saat ini mengakibatkan tingkat kebutuhan ekonomi semakin meningkat. Kebutuhan hidup dengan pendapatan yang diterima masyarakat kadangkala jauh berbeda.
Pendapatan yang diterima seseorang kadang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga manusia harus mencari jalan agar kebutuhan ekonomi dapat dipenuhi. Terkadang yang menjadi persoalan ialah kebutuhan yang ingin dibeli tidak dapat dicukupi dengan uang yang dimiliki. Jika sudah demikian, maka mau tidak mau mengurangi hasrat untuk membeli berbagai keperluan yang dianggap kurang penting, namun untuk keperluan yang sangat penting tentu harus dipenuhi dengan berbagai cara seperti meminjam dari berbagai sumber dana yang ada.
Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam- meminjam uang sebagai suatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia
1 Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 2.
memberikan pinjaman uang kepada yang memerlukannya. Sebaliknya, pihak peminjam berdasarkan keperluan atau tujuan tertentu melakukan peminjaman uang tersebut.2
Kegiatan pinjam-meminjam uang yang terjadi dimasyarakat dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman.3 Jika kebutuhan dana jumlahnya besar, maka dalam jangka pendek sulit untuk dipenuhi, apalagi jika harus dipenuhi lewat lembaga perbankan. Namun, jika dana yang dibutuhkan relatif kecil maka tidak akan menjadi masalah, karena banyak tersedia sumber dana yang murah dan cepat, mulai dari pinjaman tetangga, rentenir, tengkulak, sampai ke pinjaman dari lembaga keuangan lainnya. Rentenir, dan tengkulak merupakan lembaga keuangan yang meminjamkan uang dengan praktek riba, dimana praktek riba adalah pekerjaan meminjamkan uang dengan memungut bunga pinjaman yang sangat tinggi. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pemerintah memberikan solusi dengan membentuk lembaga Pegadaian agar rakyat kecil yang membutuhkan pinjaman agar tidak jatuh ke tangan para pelepas uang seperti rentenir, atau tengkulak yang dalam pemberian pinjaman mengenakan bunga sangat tinggi dan berlipat ganda.
Secara umum pengertian gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang akan dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah
2 M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), h. 1.
3 Ibid.
dengan lembaga gadai.4 Pegadaian adalah sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia yang usaha intinya adalah bidang jasa penyaluran pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai. PT.Pegadaian (Persero) sebagai lembaga gadai, keberadaannya mempunyai fungsi penting dalam menunjang pembangunan. Fungsinya tidak hanya memberi pelayanan kepada masyarakat berupa pinjaman produktif, tetapi lebih kepada pinjaman kecil yang bersifat konsumtif. Penerima pinjaman terdiri lapisan masyarakat kecil, termasuk didalamnya petani, nelayan, pedagang kecil, industri kecil yang bersifat produktif, buruh dan pegawai negeri ekonomi lemah yang bersifat konsumtif. Dengan usaha ini, pemerintah dapat melindungi rakyat kecil yang tidak memiliki akses kedalam perbankan dan melindungi masyarakat dari pinjaman tidak wajar ataupun semacamnya yang menerapkan sistem bunga yang tinggi dan tidak jelas.5
PT. Pegadaian (Persero) yang sebelumnya berbentuk Perusahaan Umum Pegadaian (Perum Pegadaian) berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian, sebagaimana telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 Tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian,dan perubahan yang terakhir berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 Tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Perubahan itu dimaksudkan dalam rangka lebih meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan penyaluran pinjaman khususnya kepada masyarakat menengah ke bawah, usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah.
4 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta : Raja Grapindo Persada, 2010), h. 262.
5 Edy Sasmito,dkk, Pegadaian dan Rakyat Kecil, (Bogor : IPB Pers, 2010), h. 54.
Upaya pengembangan terus menerus dilakukan oleh PT. Pegadaian (Persero) bagi masyarakat yang ditunjukkan dengan berbagai perubahan dalam pelayanan, sehingga sekarang merupakan contoh konkret lahirnya peraturan-peraturan baru yang lebih dapat memudahkan masyarakat untuk memperoleh pinjaman uang.
Kenyataan ini paling tidak menunjukkan bahwa PT. Pegadaian (Persero) dipandang sebagai lembaga yang memiliki fungsi untuk pencapaian tujuan pengentasan kemiskinan.
Pendirian PT. Pegadaian (Persero) sejatinya bertujuan untuk memberikan pelayanan atau memenuhi kebutuhan masyarakat kecil menyangkut keperluan sejumlah uang dengan menggadaikan barang miliknya dalam jangka waktu tertentu. Lembaga gadai ini sebenarnya sudah dikenal luas dalam masyarakat yang membutuhkan uang dan sebagai jaminan atas hutangnya para peminjam uang menyerahkan barang-barang miliknya kepada lembaga tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah gadai.6 Banyak terjadi bahwa para peminjam uang tersebut terdesak akan kebutuhan dan mereka berada pada pihak yang lemah dan apabila uang yang dipinjam tersebut harus dikembalikan dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan telah lewat, maka peminjam harus mengembalikan selain pokok juga bunga pinjaman tersebut, sehingga kewajiban membayar hutang semakin bertambah besar.
Sebagai lembaga jaminan dalam menyalurkan pinjaman kepada masyarakat, PT. Pegadaian (Persero) menggunakan perjanjian pinjam uang yang dituangkan dalam bentuk Surat Bukti Gadai (SBG). Perjanjian yang terjadi antara pihak PT.Pegadaian dengan Pemberi Gadai pada hakikatnya telah ditentukan terlebih
6 Ibid.
dahulu oleh Pihak Pegadaian, dimana pemberi gadai atau dalam hal ini disebut sebagai nasabah hanya perlu menyetujui perjanjian tersebut. Apabila nasabah tidak setuju dengan perjanjian tersebut maka nasabah tidak perlu menandatangani perjanjian tersebut. Bentuk surat perjanjian meminjam uang semacam itu termasuk jenis perjanjian baku, yaitu suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pihak kreditor. Hal ini dapat dimengerti sehubungan dengan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, namun penggunaan asas ini bukanlah tidak terbatas karena setiap perjanjian harus didasarkan pada asas keadilan yang terkandung di dalam Perjanjian tersebut.7
Masyarakat yang melakukan pinjaman dengan menyerahkan benda miliknya sebagai jaminan gadai disebut debitur atau pengguna jasa gadai sedangkan yang memberikan pinjaman dengan menguasai benda milik masyarakat disebut kreditur atau penerima gadai.8 Hubungan hutang piutang antara debitur dengan kreditur sering disertai dengan jaminan. Dengan adanya jaminan ini, kreditur mempunyai hak atas benda jaminan untuk pelunasan piutangnya apabila debitur tidak membayar hutangnya. Benda jaminan itu dapat berupa benda bergerak dan dapat pula berupa benda tidak bergerak. Apabila benda jaminan itu berupa benda bergerak, maka hak atas benda jaminan itu disebut “gadai”.9
Prinsip atas jaminan gadai ialah saat pemberi gadai menyerahkan barang gadai kepada pihak Pegadaian, maka kekuasaan atas benda gadai tersebut beralih
7 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006), h.
87.
8 Salim HS I, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta : Citra Aditya Bakti, 2004), h. 36.
9 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), h. 170.
kepada pihak Pegadaian yang selanjutnya disebut pihak pemegang gadai.
Penguasaan terhadap benda gadai tersebut berlangsung sampai debitur atau nasabah melunasi hutangnya. Akan tetapi, hak menguasai barang itu tidak meliputi hak untuk memakai, menikmati atau memungut hasil barang yang dipakai sebagai jaminan.
Benda jaminan bagi pemberi gadai sejatinya merupakan benda yang bernilai ekonomi dan penting dalam kehidupannya, maka agar tidak terjadi kerugian terhadap barang yang dijaminkan tersebut sudah sewajarnya PT. Pegadaian (Persero) mempunyai peranan yang besar dalam melakukan pengawasan serta pemeliharaan barang yang berada dalam kekuasaannya, sehingga benda yang dijaminkan tersebut tidak mengalami kerusakan atau hilang yang dapat merugikan pemberi gadai (nasabah) yang telah menggadaikan barangnya. Oleh karena itu apabila terjadi hal yang menyebabkan jaminan tersebut rusak, hilang, berkurang, atau bahkan tidak sesuai dengan kondisi awal saat penyerahan, maka hal tersebut akan memberikan implikasi hukum bagi PT. Pegadaian (Persero).
Mengenai rusaknya atau hilangnya barang jaminan yang telah digadaiakan, maka PT.Pegadaian hakikatnya harus memberikan ganti rugi. Hal ini telah secara tegas diatur dalam Pasal 25 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian, diatur juga dalam Pasal 1157 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang pada intinya menyatakan bahwa pelaku usaha gadai bertanggung jawab untuk hilang atau kemerosotan harganya sekadar itu telah terjadi kelalaian dari pihak pegadaian.
Mengingat pentingnya barang jaminan bagi si pemberi gadai dan diperlukannya perlindungan hukum bagi pemberi gadai apabila barang
jaminannya rusak dan/atau hilang atau di PT.PEGADAIAN. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian di PT.Pegadaian Kota Dumai. Sesuai dengan penjelasan latar belakang diatas, maka penulis mengambil judul : Perlindungan Hukum Bagi Pemberi Gadai Atas Rusaknya Objek Jaminan Gadai di PT. PEGADAIAN (PERSERO) (Studi pada PT.PEGADAIAN KOTA DUMAI).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini.
Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain:
1. Bagaimana pengaturan gadai di Indonesia?
2. Bagaimana pertanggungjawaban PT.Pegadaian apabila objek jaminan gadai rusak di PT.Pegadaian Kota Dumai?
3. Bagaimana perlindungan hukum bagi pemberi gadai apabila objek jaminan rusak di PT.Pegadaian Kota Dumai?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tentang pengaturan tentang gadai di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana pertanggung jawaban dari PT.Pegadaian apabila objek jaminan gadai rusak di PT.Pegadaian Kota Dumai.
3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi pemberi gadai apabila objek jaminan gadai rusak di PT.Pegadaian Kota Dumai.
Dalam sebuah penelitian pastinya ada manfaat yang ditorehkan dalam penelitian tersebut. Manfaat tersebut bisa bersifat teoritis dan praktis. Namum bagi penelitian yang bersifat kualitatif, manfaat penelitian lebih bersifat teoritis, yaitu untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Berangkat dari permasalahan- permasalahan di atas penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis untuk memberikan pemahaman mengenai pengaturan tentang hukum gadai, dan juga suatu bentuk penambahan literatur di bidang hukum perdata tentang perlindungan hukum terhadap pemberi gadai atas rusaknya objek jaminan gadai di PT.Pegadaian Kantor Wilayah Kota Dumai.
2. Manfaat Praktis dapat sebagai bahan masukan bagi PT. Pegadaian (Persero) dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat diaplikasikan sesuai maksud dan tujuan perusahaan berkaitan dengan hukum gadai dan bermanfaat bagi masyarakat secara umum.
E. Keaslian Penulisan
Guna menyelesaiakan pendidikan strata satu dan mendapatkan gelar sarjana hukum,maka penulis membuat penelitian ilmiah dan menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum bagi Pemberi Gadai Atas Rusaknya Objek Jaminan Gadai di PT. PEGADAIAN KOTA DUMAI”.
Demi mengetahui keaslian judul, sebelumnya dilakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pusat Dokumentasi dan Informasi hukum atau perpustakaan
Universitas cabang Fakultas Hukum atau perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 21 Januari 2021 yang menyatakan bahwa “tidak ada judul yang sama”. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian, aturan hukum yang berlaku dan diperoleh dari referensi buku,media elektronik, juga melalui bantuan berbagai pihak.
F. Tinjauan Kepustakaan 1. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.
Perlindungan hukum ini memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.10 Ada beberapa pengertian terkait perlindungan hukum menurut para ahli, antara lain:11
10 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), h. 74.
11 Tesis Hukum, “Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli” (Cited 2014 Dec 2011), avaible from : URL : http://tesis hukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut- para-ahli/
a. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.
b. Menurut CST Kansil perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.
c. Menurut Muktie, A. Fadjar perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.
d. Menurut Muchsin, Perlindungan Hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.
e. Menurut Muchsin, Perlindungan Hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam
menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.
f. Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan hukum adalah tempat berlindung, perbuatan (hal dan sebagainya) melindungi.
Pemaknaan kata perlindungan secara kebahasaaan tersebut memilki kemiripan unsur-unsur, yaitu unsur tindakan melindungi, unsur cara-cara melindungi.
Dengan demikian, kata melindungi dari pihak-pihak tertentu dengan menggunakan cara tertentu.12
2. Gadai
Gadai dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur lain; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.13
12 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, Cet. 1, (Jakarta : Balai Pustaka), h. 595.
13 Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun 1964, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1150.
Gadai menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian adalah suatu hak yang diperoleh Perusahaan Pergadaian atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh nasabah atrau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas pinjamannya, dan yang memberi wewenang kepada Perusahaan Pergadaian untuk mengambil pelunasan pinjaman dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain, dengan pengecualian biaya untuk melelang atau menyelamatkan barang tersebut yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai, biaya-biaya mana harus didahulukan.
Gadai adalah suatu perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur dimana debitur menyerahkan benda bergerak kepada kreditur untuk menjamin pelunasan suatu hutang gadai, ketika debitur lalai melaksanakan prestasinya.14 Dari definisi gadai tersebut di atas terkandung adanya beberapa unsur pokok, yaitu:15
a. Gadai lahir karena perjanjian penyerahan kekuasaan atas barang jaminan kepada kreditor pemegang gadai;
b. Penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitur atau orang lain atas nama debitur;
c. Barang yang menjadi obyek gadai hanya barang bergerak, baik bertubuh maupun tidak bertubuh;
d. Kreditur pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari barang jaminan lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lainnya.
Apabila dalam Pasal 1150 KUH Perdata dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (1), Pasal 1152 bis, Pasal 1153 dan Pasal 1158 ayat (1)
14 Salim HS I, Op.cit., h. 34.
15 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, (Semarang : Fakultas Hukum Undip, 2003), h. 13.
KUH Perdata, maka jelas pada dasarnya semua kebendaan bergerak dapat menjadi objek dalam gadai.
Defenisi kata rusak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi; dapat dikatakan dengan barang jaminan rusak ialah ketika barang itu tidak sama atau tidak sesuai dengan bentuk aslinya. Barang jaminan yang mengalami kerusakan dapat diartikan dua bagian menurut Surat Keputusan Direksi Perum Pegadaian Nomor 546/UI.I.00211/2005 Tentang Pedoman Ganti Rugi Barang Jaminan. Ada yang dimaksud dengan rusak sebagian dan rusak seluruhnya. Yang dimaksud dengan rusak sebagian ketika barang jaminan itu tidak dalam bentuk semula namun masih memiliki nilai jual atau masih bisa diperbaiki sedangkan yang dikatakan rusak seluruhnya ketika barang jaminan itu tidak berfungsi sama sekali dan tidak memiliki nilai jual karena tidak dapat diperbaiki sama sekali.
3. Jaminan
Jaminan dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu jaminan materiil (kebendaan) dan jaminan imateriil (perorangan). Jaminan kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului diatas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan seperti gadai, hipotek, hak tanggungan, jaminan fidusia sedangkan jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda trtentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan seperti penanggung (borg) dalam arti orang yang dapat ditagih,
tanggung menanggung yang serupa dengan tanggung renteng dan perjanjian garansi.16
Unsur – unsur yang terdapat dalam jaminan materiil yaitu : a. Hak mutlak atas suatu benda
b. Cirinya mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu c. Dapat dipertahankan terhadap siapapun
d. Selalu mengikuti bendanya
e. Dapat dialihkan kepada pihak lainnnya.
Unsur – unsur yang terdapat dalam jaminan immateriil yaitu : a. Mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu b. Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu c. Terhadap harta kekayaan debitur umumnya.
4. Perseroan Terbatas
Pada dasarnya untuk mendirikan Perseroan terbatas mengacu pada Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007. Dikatakan bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Dalam Pasal 7 ayat (7) huruf a mengatakan tentang persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara, maksud ayat ini ialah badan usaha milik negara yang berbentuk Perseroan yang modalnya terbagi dalam saham yang diatur dalam undang-undang tentang badan usaha milik negara.
Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
16 Salim HS I, op.cit., h. 25.
Usaha Milik Negara dikatakan bahwa perusahaan perseroan adalah badan usaha milik negara yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Salah satu perseroan yang dimiliki oleh negara ialah PT.Pegadaian.
Perubahan bentuk pegadaian dari perusahaan umum menjadi perseroan ini sendiri dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO).
Dalam menjalankan fungsinya pegadaian juga diatur dalam peraturan otoritas jasa keuangan. Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/PJOK.05/2016 Tentang Usaha Pergadaian dalam pasal 1 angka 1 dikatakan bahwa Usaha Pergadaian adalah segala usaha menyangkut pemberian pinjaman dengan jaminan barang bergerak, jasa titipan, jasa taksiran, dan/atau jasa lainnya,termasuk yang diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah .
Pegadaian merupakan lembaga satu-satunya yang menjalankan usaha gadai.
Usaha gadai adalah aktivitas menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak pegadaian, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang sudah dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan pegadaian.
G. Metode Penelitian
Inti dari pada metodologi dalam setiap penelitian hukum adalah menguraikan tentang cara bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilakukan. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologi berarti
secara sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.17Metode penelitian pada dasarnya merupakan suatu cara pencarian, bukan hanya sekadar mengamati dengan teliti suatu obyek.18 Dalam penulisan skripsi ini metode penelitian sangat diperlukan agar penelitian skripsi menjadi lebih terarah dengan data yang dikumpulkan melalui pencarian-pencarian data yang terhubung dengan permasalahan dalam skripsi ini.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Spesifikasi Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian hukum empiris.
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji menjelaskan, bahwa penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data primer.19 Ada istilah penting yang diperlukan dalam hal memilih orang untuk diwawancarai yaitu informan. Informan adalah orang yang bisa memberi informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan Kepala Cabang PT.Pegadaian Kota Dumai yaitu Ibu Suharni. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan (menggambarkan) tentang kondisi atau gejala yang menjadi objek penelitian setelah itu diadakan suatu telaah secara kritis, dalam arti memberikan penjelasan-penjelasan atas fakta atau gejala
17 Bambang Wahuyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), h. 17.
18 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2015), h.
112.
19 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), h. 14.
tersebut, baik dalam kerangka sistematisasi, maupun sinkronisasi berdasarkan pada perspektif yuridis.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada PT.Pegadaian (Persero) Kantor Wilayah Kota Dumai.
3. Jenis Penelitian dan Sumber Data
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.20 Penelitian hukum normatif mengandung arti dalam meninjau dan menganalisa masalahnya dipergunakan pendekatan dengan menganalisa undang-undang. 21Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang merupakan data yang diperoleh langsung dari narasumber atau langsung dari sumber pertama, yaitu dalam penelitian ini berasal dari PT.
Pegadaian. Sumber data sekunder terdiri dari :
a. Bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang berwenang antara lain : Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 Tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (Perum)
20 Amiruddin dan Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), h. 118.
21 Ibid.
Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 Tentang Usaha Pergadaian, Surat Keputusan Direksi Perum Pegadaian Nomor 546/UI.I.00211/2005 Tentang Pedoman Ganti Rugi Barang Jaminan.
b. Bahan hukum sekunder, berupa bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang meliputi buku-buku, artikel internet, skripsi dan hasil penelitian serta hasil karya kalangan hukum yang berkaitan dengan penulisan ini.
c. Bahan hukum tersier ialah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah yang menjadi tambahan bagi penulisan skripsi ini yang berkaitan dengan penelitian ini.22
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Studi Kepustakaan (Library research) : yaitu studi kepustakaan dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, perturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berhubungandengan penulisan skripsi ini. Selain itu, teknik pengumpulan data ini didukung juga dengan wawancara dengan PT.
Pegadaian (Persero) yang tujuannya untuk melengkapi dan
22 Abdurahman, Sosiologi dan Metodologi Penelitian Hukum, (Malang : UMM Press, 2009), h. 25.
mengkonfirmasi data yang diperoleh dari Studi Kepustakaan (Library Research).
5. Analisa Data
Analisis Data Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis data primer dan data sekunder dengan menggunakan logika induktif berdasarkan peristiwa hukum yang terjadi yang dihubungkan keperaturan perundang-undangan yang mengaturnya sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi lagi atas beberapa sub bab. Uraian singkat atas bab-bab dan sub-sub bab tersebut akan diuraikan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini menguraikan tentang hal-hal yang umum yang mendasari penulisan skripsi ini, yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : PENGATURAN HUKUM GADAI DI INDONESIA
Bab ini berisi tentang pengaturan hukum gadai di Indonesia yang berisikan tentang gadai dalam gadai dalam perpektif Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, perpektif hukum adat, gadai dalam perspektif hukum islam, dan landasan hukum pegadaian .
BAB III : PERTANGGUNGJAWABAN PT.PEGADAIAN ATAS RUSAKNYA JAMINAN GADAI
Bab ini berisi pertanggung jawaban PT.Pegadaian apabila ada objek jaminan rusak di PT.Pegadaian, dalam bab ini menguraikan tentang bentuk dan isi perjanjian gadai, mekanisme pelaksanaan perjanjian gadai, objek gadai yang ada di PT.Pegadaian, dan pertangung jawaban PT.Pegadaian terhadap rusaknya objek jaminan gadai.
BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBERI GADAI APABILA OBJEK JAMINAN GADAI RUSAK DI PT.PEGADAIAN
Bab ini membahas tentang perlindungan hukum bagi pemberi gadai terhadap jaminan gadai yang rusak di PT. Pegadaian(Persero) dalam bab ini di uraikan mengenai perlindungan hukum dari PT.Pegadaian terhadap jaminan pemberi gadai yang rusak serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemberi gadai apabila barang jaminannya mengalami kerusakan.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini membahas mengenai kesimpulan yang didapat oleh penulis dan saran yang diberikan oleh penulis terkait rumusan masalah yang telah dipaparkan.
BAB II
PENGATURAN HUKUM GADAI DI INDONESIA
A. Gadai Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 1. Pengertian Gadai
Gadai merupakan terjemahan kata pand atau vuistpand (bahasa Belanda), pledge atau pawn (bahasa Inggris), pfand atau faustpfand (bahasa Jerman) dan dalam hukum adat istilah gadai ini disebut dengan cekela.23
Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan pada orang lain yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.24 Hal serupa juga dikemukakan oleh Salim HS yang menyatakan bahwa gadai adalah suatu perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur, dimana debitur menyerahkan benda bergerak kepada kreditur untuk menjamin pelunasan suatu hutang gadai, ketika debitur lalai melaksanakan prestasinya.25
Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa gadai pada pada dasarnya adalah suatu jaminan dalam hal pelaksanaan suatu prestasi yang akan diberikan oleh debitur untuk masa yang akan datang, mengingat bahwa gadai memberikan kekuasaan kepada pemegang gadai untuk menjamin pelunasan dari barang jaminan secara didahulukan.
23 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h.
104.
24 Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung : Alfabeta, 2001), h. 4.
25 Salim HS III, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), h. 4.
2. Sifat – sifat Gadai
Gadai merupakan hak kebendaan. Dalam Pasal 1150 KUH Perdata tidak disebutkan sifat ini, namun demikian sifat kebendaan ini dapat diketahui dari Pasal 1152 KUH Perdata yang mengatakan bahwa:
“Pemegang gadai mempunyai hak revindikasi dari Pasal 1977 ayat 2 KUH Perdata apabila barang jaminan hilang atau dicuri”. Oleh karena itu hak gadai mengandung hak revindikasi yang merupakan ciri khas dari hak kebendaan.
Hak kebendaan dari hak gadai bukanlah hak untuk menikmati suatu benda seperti eigendom, hak bezit, hak pakai dan sebagainya.Memang benda gadai harus diserahkan kepada kreditur tetapi tidak untuk dinikmati,melainkan untuk menjamin piutangnya dengan mengambil, penggantian dari benda tersebut guna membayar piutangnya.
Sebagai hak kebendaan, pada gadai melekat pula sifat-sifat hak kebendaan yaitu barang-barang yang digadaikan tetap atau terus mengikuti kepada siapapun objek barang-barang yang digadaikan itu berada (droit de suite), bersifat mendahulu (droit de preference, asas prioriteit), hak gadai memberikan kedudukan diutamakan (hak preferensi) kepada kreditor pemegang hak gadai (Pasal 1133, Pasal 1150 KUH Perdata), dan dapat beralih atau dipindahkan. Selain itu, bila dibandingkan dengan hak kebendaan lain maka terdapat beberapa sifat lain dari gadai diantaranya yaitu:26
26 Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), h. 265.
a. Gadai bersifat acessoir pada perjanjian pokok atau pendahuluan tertentu, yaitu perjanjian tambahan/buntutan/ekor seperti perjanjian pinjam- meminjam uang, utang piutang, atau perjanjian kredit (Pasal 1150 KUH Perdata). Gadai hanya akan lahir bilamana sebelumnya terdapat perjanjian pokok.
b. Gadai merupakan hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan dalam rangka menjamin pelunasan utang tertentu.
c. Kebendaan (barang) yang digadaikan harus berada dibawah penguasaan kreditir pemegang hak gadai atau setidak-tidaknya berada ditangan pihak ketiga untuk dan atas nama pemegang hak gadai (Pasal 1150, Pasal 1152 KUH Perdata).
d. Bersifat memaksa, yaitu terdapat penyerahan secara fisik atas benda yang digadaikan dari tangan debitur /pemberi gadai kepada kreditor /penerima pemegang gadai.
e. Hak menguasai atas benda gadai tidak meliputi pula hak untuk menikmati, memakai atau mengambil hasil dari barang yang digadaikan, berbeda hal dengan hak memungut hasil, hak pakai dan mendiami.
f. Bersifat individualiteit, bahwa benda gadai tetap melekat secara utuh pada utangnya walaupun debitor atau kreditor telah meninggal dunia, sehingga diwariskan secara terbagi-bagi, namun hak gadai atas benda yang digadaikan tidak menjadi hapus selama hutangnya belum dibayar sepenuhya.
g. Bersifat totaliteit, bahwa hak kebendaan atas gadai itu mengikuti segala ikutannya yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan benda gadainya.
h. Bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau dipisahkan (ondeelbaar, onsplitsbaarheid), bahwa membebani secara utuh objek kebendaan atau barang-barang yang digadaikan dan setiap bagian dari padanya, dengan ketentuan bahwa apabila telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin, maka tidak berarti terbebasnya pula sebagian kebendaan atau barang-barang digadaikan dari beban hak gadai, melainkan hak gadai itu tetap membebani seluruh objek kebendaan atau barang-barang yang digadaikan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Dalam Pasal 1160 KUH Perdata disebutkan bahwa “Gadai itu tidak dapat dibagi-bagi, meskipun utang itu dapat dibagi antara para ahli waris debitur atau para ahli waris kreditur. Ahli waris debitur yang telah membayar bagiannya tidak dapat menuntut kembali bagiannya dalam barang jaminan itu, sebelum utang itu dilunasi sepenuhnya. Di lain pihak, ahli waris kreditur yang telah menerima bagiannya dan piutang itu, tidak boleh mengembalikan barang jaminan itu atas kerugian sesama ahli warisnya yang belum menerima pembayaran.” Ketentuan ini tidak merupakan ketentuan hukum memaksa, sehingga para pihak dapat menentukan sebaliknya atau dengan perkataan lain sifat tidak dapat dibagi-bagi dalam gadai ini dapat disimpangi apabila telah diperjanjikan lebih dahulu oleh para pihak.
3. Subjek Gadai
Ketentuan dalam Pasal 1150 KUH Perdata, yang antara lain menyatakan gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh orang lain atas namanya, maka subjek hukum dalam gadai tersebut yaitu pihak yang ikut serta dalam membuat/mengadakan suatu perjanjian gadai. Pihak mana terdiri atas dua pihak yaitu pihak yang memberikan jaminan gadai, dinamakan pemberi gadai (pandgever) dan pihak yang menerima jaminan gadai dinamakan penerima gadai (pandnemer).27
Pemberi gadai (pandgever) orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak gadai. Jadi pemberi gadai adalah pemilik benda yang digadaikan atau sering juga disebut dengan pengguna jasa gadai. Dapat dibuktikan dengan bukti kepemilikan benda itu. Unsur-unsur pengguna jasa gadai, yaitu:28
a) Orang atau badan hukum;
b) Memberikan jaminan berupa benda bergerak;
c) Kepada penerima gadai;
d) Adanya pinjaman uang;
Penerima gadai (pandnemer) adalah orang perorangan atau badan hukum sebagai pihak yang menerima gadai sebagai pinjaman untuk pinjaman uang yang diberikan kepada pengguna jasa gadai. Di Indonesia, badan hukum yang ditunjuk untuk mengelola lembaga gadai adalah perusahaan Pegadaian. Seperti halnya dengan segala perbuatan hukum, pemberian hak gadai dan penerimaan
27 Salim HS, op.cit., h. 36.
28 Ibid.
hak gadai, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa bertindak (handelingsbekwaam). Pengguna jasa gadai bisa perorangan, persekutuan atau badan hukum yang menyerahkan kebendaan bergerak sebagai jaminan atau agunan bagi pelunasan utang seseorang atau dirinya sendiri kepada penerima gadai. Demikian pula penerima gadai, juga bisa perorangan, persekutuan atau badan hukum yang menerima penyerahan kebendaan bergerak sebagai jaminan atau agunan bagi pelunasan utang yang diberikan kepada pengguna jasa gadai oleh penerima gadai.29
4. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Pemberian Gadai a. Hak Pemberi Gadai
1) Berhak untuk menuntut apabila barang gadai itu telah hilang atau mundur sebagai akibat dari kelalaian pemegang gadai;
2) Berhak mendapat pemberitahuan terlebih dahulu dari pemegang gadai apabila barang gadai akan dijual;
3) Berhak mendapatkan kelebihan atas penjualan barang gadai setelah dikurangi dengan pelunasan utangnya;
4) Berhak mendapat kembali barang yang digadai apabila utangnya dibayar lunas.30
b. Kewajiban Pemberi Gadai
1) Berkewajiban untuk menyerahkan barang yang dipertanggungkan sampai pada waktu hutang dilunasi, baik yang mengenai jumlah pokok maupun bunga;
29 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda, (Jakarta : Intermasa, 1981), h. 155.
30 Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, (Yogyakarta : Andi Offset, 2000), h. 89.
2) Bertanggung jawab atas pelunasan utangnya, terutama dalam hal penjualan barang yang digadaikan;
3) Berkewajiban memberikan ganti kerugian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pemegang gadai untuk menyelamatkan barang digadaikan;
4) Membayar pokok dan sewa modal kepada penerima gadai.31
c. Hak Pemegang Gadai
Hak pemegang gadai diatur dalam Pasal 1150, 1155, 1156, dan 1159 KUH Perdata diantaranya :
1) Menahan benda yang digadaikan (hak retentie) selama debitur/
pemberi gadai belum melunasi utang pokok maupun bunga dan biaya- biaya utang lainnya;
2) Mengambil pelunasan dari hasil pendapatan penjualan kebendaan yang digadaikan, penjualannya mana baik dilakukan atas dasar parate eksekusi maupun putusan pengadilan;
3) Mendapatkan penggantian seluruh biaya perawatan barang yang digadaikan guna keselamatan barang gadainya;
4) Jika piutang yang digadaikan menghasilkan bunga, maka kreditor pemegang gadai berhak atas bunga benda gadai tersebut dengan memperhitungkannya dengan bunga utang yang seharusnya dibayarkan kepadanya atau kalau piutangnya tidak dibebani dengan bunga, maka bunga benda gadai yang diterima kreditor pemegang gadai dikurangkan dari utang pokok.
31 Ibid.
d. Kewajiban Pemegang Gadai
Kewajiban pemegang gadai diatur dalam Pasal 1154, Pasal 1156 dan Pasal 1157 KUH Perdata diantaranya:
1) Bertanggung jawab atas hilang atau berkurangnya nilai barang yang digadaikan yang diakibatkan oleh karena kelalaian pemegang gadainya;
2) Berkewajiban memberitahukan kepada debitur pemberi gadai, apabila ia bermaksud hendak menjual barang yang digadaikan kepada debitur pemberi gadai dengan melalui sarana pos, telekomunikasi, atau sarana komunikasi lainnya;
3) Berkewajiban untuk menggembalikan barang yang digadaikan setelah utang pokok beserta bunga dan biaya-biaya lainnya telah dilunasi oleh debitur pemberi gadai;
4) Pemegang dilarang untuk menikmati barang yang digadaikan dan pemberi gadai berhak menuntut penggembalian barang yang digadaikan dari tangan pemegang gadai bila pemegang gadai menyalahgunakan barang yang digadaikan;
5) Berkewajiban memberikan peringatan (somasi) kepada debitur pemeberi gadai telah lalai memenuhi kewajiban membayar pelunasan utangnya;
6) Berkewajiban menyerahkan daftar perhitungan hasil penjualan barang gadai dan sesudahnya kreditor pemegang gadai dapat mengambil bagian jumlah yang merupakan bagian dari pelunasan piutangnya.
5. Berahkirnya Gadai
Pada dasarnya eksekusi barang jaminan gadai dilakukan dengan penjualan dimuka umum melalui pelelangan dengan meminta bantuan kantor/badan lelang. Namun berdasarkan parate eksekusi (parate executie), maka kreditor/pemegang gadai mempunyai wewenang penuh tanpa melalui pengadilan untuk mengeksekusi barang jaminan. Hal ini dapat dilakukan bilamana sebelumnya hal tersebut sudah dijanjikan. Seperti dalam ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata.
Penjualan atas barang jaminan gadai juga dapat dilakukan secara tertutup atau tidak dilakukan penjualan dimuka umum melalui pelelangan. Penjualan atas barang jaminan gadai yang demikian itu dilakukan atas perintah pengadilan, yang mana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1156 ayat (1) KUH Perdata sementara itu terhadap penjualan atas barang gadai berupa surat-surart berharga dilakukan ditempat dimana surat-surat berharga itu diperdagangkan dengan syarat dilakukan melalui bantuan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam perdagangan surat-surat berharga tersebut.
Sesuai dengan Pasal 1155 ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan bahwa jika barang gadainya terdiri atas barang-barang perdagangan atau efek-efek yang dapat diperdagangkan di pasar atau di bursa, maka penjualannya dapat dilakukan ditempat-tempat tersebut, asal dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam perdagangan barang-barang itu.
Berkenaaan dengan sebab-sebab berahkir atau hapusnya jaminan gadai, KUH Perdata tidak mengatur secara khusus namun berdasarkan Pasal-pasal KUH Perdata yang mengatur mengenai lembaga hak jaminan gadai dapat
diketahui bahwa hal yang menjadi dasar hapus atau berahkirnya jaminan hak gadai tersebut diantaranya :32
1) Hapusnya perjanjian pokok atau perjanjian pendahuluan yang dijamin dengan gadai, yang dikarenakan pelunasan utang, perjumpaan utang (kompensasi), pembaharuan utang (novasi), atau pembebasan utang;
2) Lepasnya benda yang digadaikan dari penguasan kreditor pemegang hak gadai, dikarenakan terlepasnya benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor pemegang gadai, dilepaskannnya benda gadai secara sukarela oleh pemegangnya, atau hapusnya benda yang digadaikan;
3) Terjadinya pencampuran, dimana pemegang gadai sekaligus juga pemikik barang yang digadaikan
4) Terjadinya penyalahgunaan barang gadai oleh kreditor pemegang gadai.
B. Gadai Menurut Hukum Adat
Dalam tradisi hukum adat di Indonesia, istilah gadai dikenal dengan sebutan yang berbeda-beda, seperti adol sende(Jawa), nganjual akad atau gande(Sunda), Pagang(Minangkabau), dan lain sebagainya. Gadai menurut hukum adat adalah akad yang menyebabkan tanah seorang diserahkan untuk menerima sejumlah uang tunai, dengan kesepakatan bahwa yang menyerahkan tanah itu berhak mengambil tanahnya kembali dengan cara membayar
32 Rachmadi Usman, Op.cit., h. 279.
sejumlah uang yang sama dengan jumlah utang. Selama utangbelum lunas, maka selama itu pula tanah menjadi hak pemegang gadai.33
Pagang gadai adalah perjanjian pinjam meminjam dengan memberikan jaminan kepada penerima gadai,dimana penggadai akan meyerahkan sebidang tanah kepada penerima gadai dengan menerima sejumlah uang tertentu dan selama utangbelum dibayar maka barang jaminan akan tetap berada ditangan sipenerima gadai. Atau salah satu bentuk transaksi atau pemiliharanhak atas harta pusaka yang telah diatur oleh adat Minangkabau.
Tanah menurut budaya adat Minangkabau sesuatu yang dapat menentukan asli atau tidaknya suatu suku di suatu nagari. Hal ini dapat disimak dari sebuah pepatah yang menyatakan: “Ado tampian tampek mandi, ado basasok bajarami, ado bapandam pakubuan.”(ada tepian tempat mandi, ada sawah dan ladang) disebabkan begitu tingginya nilai tanah terhadap kedudukan dari keberadaan suatu suku dalam masyarakat Minangkabau, maka menurut adat tidak dapat diperjualbelikan. Orang Minang tidak ada yang mau dan dapat menjual tanahnya berupa rumah, sawah dan ladang. Pepatah adat mengatakan bahwa: “dijua tak dimakan bali, digadai tak dimakan sando.”(dijual tak dimakan beli, digadai tak dimakan sendawa). Jadi untuk tidak menjual tanahnya Praktek paganggadai lah yang menjadi solusi masyarakat Minangkabau untuk mengatasi persoalan ekonomi dengan mengadaikan tanah mereka.
33 Pujiono, Hukum Islam Dinamika Perkembangan Masyarakat, (Jember : Mitra Pustaka, 2012) h. 175.
C. Gadai Menurut Hukum Islam (Rahn)
Dalam fiqh muamalah dikenal dengan kata pinjaman dengan jaminan yang disebut Ar-rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan utang. Ar- rahn menurut bahasa berarti Al-tsubut dan Al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Dan ada pula yang menjelaskan bahwa Rahn adalah terkurung atau terjerat, disamping itu juga Rahn diartikan pula secara bahasa dengan tetap, kekal, dan jaminan. Menurut A.A. Basyir, rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima. Menurut Imam Abu Zakariya Al Anshari, rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat dibayarkan dari (harga) benda marhun itu apabila marhun bih tidak dibayar.
Dapat disimpulkan bahwa rahn itu merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih,sehingga rahin boleh mengambil marhun bih.
1. Landasan Hukum Gadai Syariah (Rahn)
Dasar hukum Rahn dalam Al-Qur`an Surat Al-Baqarah ayat 283 :
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang), akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Berdasarkan ayat di atas, sudah jelas bahwa gadai merupakan suatu yang diperbolehkan dalam Islam sebagai bagian dari muamalah. Bahkan Agama Islam mengajarkan kepada umatnya supaya hidup tolong menolong.
2. Rukun Gadai Syariah (Rahn)
Kesepakatan tentang perjanjian penggadaian suatu barang sangat terkait dengan akad sebelumnya, yakni akad utang piutang (Al-Dain), karena tidak akan terjadi gadai dan tidak akan mungkin seseorang menggadaikan benda atau barangnya kalau tidak ada utang yang dimilikinya.34 Dalam menjalankan gadai syariah harus memenuhi rukun gadai syariah, rukun gadai tersebut adalah :
a. Ar-Rahn (yang menggadaikan) b. Al-Murtahin (yang menerima gadai) c. Al-Marhun/rahn (barang yang digadaikan) d. Al-marhun bih (utang)
e. Sighat, Ijab, dan Qabul.35
34 Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2, Muamalah dan Ahklaq, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), h. 18.
35 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta : Ekonisia, 2003), h. 160.
3. Objek Gadai Syariah
Barang gadaian dapat diserahkan atau dipegang oleh penggadai barang atau benda yang dijadikan jaminan itu dapat berupa emas. Harta yang diagunkan disebut al-marhun(yang diagunkan). Harta agunan itu harus diserah terimakan oleh ar-rahin tersebut. Dengan serah terima itu agunan akan berada dibawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk yang bisa dipindah-pindah seperti kulkasdan barang elektronik, perhiasaan dan semisalnya, maka serah terimanya adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah, lahan sawah, dan lain-lain.
4. Syarat Gadai Syariah
a. Syarat Rahin dan Murtahin
Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah cakap bertindak hukum (baligh dan berakal). Ulama Hanafiyah hanya mensyaratkan cukup berakal saja. Karenanya, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan antara yang baik dan buruk) boleh melakukan akad rahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari walinya.
b. Syarat Sight (Lafadz)
Akad itu tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa yang akan datang,karena akad rahn itu sama dengan akad jual-beli. Apabila akad itu dibarengi dengan, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya, rahin mensyaratkan apabila
tenggang waktu marhun bih telah habis dan marhun bih belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang satu bulan, mensyaratkan marhun itu boleh murtahin manfaatkan.
c. Syarat Marhun Bih (Utang)
Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin, marhun bih itu boleh dilunasi dengan marhun itu, marhun bih itu jelas/tetap dan tertentu, memungkinkan pemanfaatan, dan harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.
D. Landasan Hukum Pegadaian
Pada awalnya cikal bakal timbulnya badan-badan yang memberikan pinjaman uang dengan tanggungan atau jaminan barang dimulai sekitar abad IX di Italia Utara daerah Lombardia.36Kemudian dipraktikkan di wilayah Eropa lainnya, misalnya Inggris dan Belanda. Sistem gadai tersebut memasuki Indonesia dibawa dan dikembangkan oleh orang Belanda (VOC).37 Menurut Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan : sampai dewasa ini Pegadaian telah mengalami 5 (lima) periode pemerintahan, yaitu:
a. Periode Verenigde Oost Indische Compagnie (1746-1811)
Lahirnya Lembaga Pegadaian di Indonesia ditandai dengan berdirinya Bank Van Leening yaitu lembaga keuangan yang memberikan kredit degan sistem gadai pada masa Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Lembaga ini pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 20
36 Seksi Perencanaan/Pembinaan, Sejarah Organisasi Tugas Pokok dan Fungsi Perum Pegadaian dalam Pembangunan, (Jakarta : Kantor Pusat Perum Pegadaian, 1982), h. 3.
37 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta : Intermedia, 1995), h. 357.
Agustus 1976, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Van Imhoff.
Bank Van Leening, selain memberikan pinjaman gadai, juga bertindak sebagai wessel bank. Pada mulanya lembaga ini merupakan perusahaan campuran antara pemerintah (VOC) dan swasta dengan perbandingan modal 2/3 modal VOC dan 1/3 modal swasta. Namun sejak tahun 1794 usaha patungan itu dihapuskan, Bank Van Leening menjadi monopoli pemerintah dan diusahakan sepenuhnya oleh pemerintah.
b. Periode Penjajahan Inggris (1811-1816)
Pada tahun 1811 terjadi peralihan kekuasaan dari pemerintah Belanda kepada pemerintahan Inggris yang dipimpin oleh Raffles. Pada masa penjajahan Inggris, Bank Van Leening dihapuskan karena Raffles tidak menyetujui adanya Bank Van Leening yang dikelola oleh pemerintah selain itu hak untuk memberikan pinjaman uang dengan gadai sebagai jaminan diserahkan secara bebas kepada swasta, asal sudah mendapat izin untuk itu, peraturan ini dikenal dengan sebutan Licentie Stelsel.
Dalam perkembangannya ternyata Licentie Stelsel tidak menguntungkan pemerintah, melainkan menimbulkan kerugian terhadap masyarakat karena timbulnya penarikan bunga yang tidak wajar. Pada tahun 1814 Licentie Stelsel dihapuskan dan diganti dengan Pacht Stelsel, dimana anggota masyarakat umum dapat menjalankan usaha gadai dengan syarat sanggup membayar sewa kepada pemerintah.
c. Periode Penjajahan Belanda (1816-1942)
Pada tahun 1816 Belanda kembali menguasai Indonesia. Pacht Stelsel semakin berkembang, baik dalam arti perluasan wilayah maupun jumlahnya. Akan tetapi ternyata para pachters (penerima gadai) banyak yang sewenang-wenang dalam menetapkan bunga, tidak melelayatn barang-barang jaminan yang sudah kadaluarsa, tidak membayar uang kelebihan kepada yang berhak.
Akibatnya pemerintah Belanda menerapkan apa yang disebut dengan Cultuur Stelsel dimana dalam kajian tentang Pegadaian saran yang dikemukakan adalah sebaiknya kegiatan Pegadaian ditangani sendiri oleh pemerintah agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Maka dikeluarkanlah Stb. No. 794 Tahun1915 dan Stb. No. 28 Tahun 1921. Maksud dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk melarang masyarakat umum memberi uang pinjaman dan melakukan usaha dengan cara menerima gadai. Pegadaian Negara pertama kali didirikan pada 1 April 1901 di Sukabumi, Jawa Barat dengan Stb. No.
131 Tahun 1901. Tanggal tersebut selanjutnya dijadikan tanggal kelahiran Pegadaian di Indonesia
Pada tanggal 12 Maret 1901 melalui Stb. No. 131 Tahun 1901 diadakan ketentuan tentang Jawatan Pegadaian di Sukabumi, Jawa Barat.
Selanjutnya diikuti dengan didirikannya Pegadaian di Cianjur, Purworejo, Bogor, Tasikmalaya dan Bandung pada tahun 1902. Sampai dengan tahun 1917 semua Pegadaian di Jawa dan Madura sudah ditangani seluruhnya oleh pemerintah dan Pegadaian Negara yang dikuasai oleh pemerintah ini berkembang dengan baik.