• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PERPAJAKAN KEEFEKTIFAN PEMBERIAN INSENTIF PAJAK OLEH PEMERINTAH DI MASA PANDEMI COVID-19 : ANDHIKA WAHYUDIONO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH PERPAJAKAN KEEFEKTIFAN PEMBERIAN INSENTIF PAJAK OLEH PEMERINTAH DI MASA PANDEMI COVID-19 : ANDHIKA WAHYUDIONO"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PERPAJAKAN

“ KEEFEKTIFAN PEMBERIAN INSENTIF PAJAK OLEH

PEMERINTAH DI MASA PANDEMI COVID-19 ”

DOSEN MATA KULIAH:

ANDHIKA WAHYUDIONO,SPd., M.Pd

KELOMPOK:

NOVITA DWI AYU LESTARI / 21201772

EKA RADYTA BUDYANTI / 21201746

KAFIN ATANIAL MUFTI / 212017764

ELISA PUTRI EKAWATI / 212017730

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 BANYUWANGI

FAKULTAS:

ILMU SOSIAL DAN POLITIK

PRODI:

ADMINISTRASI PUBLIK

(2)

BAB I

LATAR BELAKANG

1.1 PENDAHULUAN

CORONA Virus Disease 2019 (Covid-19) merupakan bencana nasional yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan produktivitas masyarakat sebagai pekerja maupun pelaku usaha sehingga perlu dilakukan upaya pengaturan dalam rangka mendukung penanggulangan dampak pandemi Covid-19.Dengan semakin meluasnya dampak pandemi ini ke sektor-sektor lainnya, termasuk pelaku usaha kecil dan menengah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyiapkan empat skema bantuan lain untuk UMKM.

Seperti salah satunya, paket sembako, bantuan langsung tunai (BLT), BLT desa, pembebasan/pengurangan tarif listrik, dan kartu prakerja pada pelaku UMKM yang masuk kategori miskin dan kelompok rentan terdampak virus Corona. Ada pula relaksasi dan restrukturisasi kredit UMKM, baik dengan penundaan angsuran dan subsidi bunga penerima KUR, kredit Ultra Mikro atau UMi, dan relaksasi di sektor perpajakan melalui terbitnya Peraturan Menteri Keuangan nomor: 44/PMK.03/2020 tanggal 27 April 2020.

Pada awalnya pemerintah berkeinginan untuk menurunkan tariff pajak ke 0 %, namun mungkin dengan berbagai pertimbangan akhirnya tarif pajak penghasilan untuk UMKN tetap 0,5%. Hal ini diambil dengan pertimbangan apabila tariff pajak sebesar 0%, akan sulit dikembalikan lagi di atas 0% setelah pandemi Covid-19 berakhir. Pemerintah akhirnya memutuskan PPh UMKM ditanggung pemerintah. Dengan skema PPh DTP, pelaku UMK tetap terbebas dari kewajiban pembayaran PPh selama 6 bulan.

Kebijakan pajak penghasilan UMKM ditanggung pemerintah dirasakan tepat dilakukan untuk membantu pelaku UMKM agar mampu bertahan di tengah pandemi virus Corona. Pemerintah berharap para pelaku UMKM tetap bisa berproduksi dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Diharapkan kebijakan relaksasi pajak UMKM dapat membantu para pelaku usaha yang masih berusaha semaksimal mungkin mempertahankan keberlangsungan usahanya salah satunya sektor pariwisata yang mengalami okupansi di bulan April hampir 0% dan usaha di sektor pariwisata tersebut tutup sementara untuk batas waktu yang belum dapat ditentukan.

Hal yang menjadi delematis dari para pelaku usaha, namun sampai dengan saat ini mereka masih berusaha untuk mempertahankan karyawan walaupun ada yang digaji dengan persentase kecil.

Sesuai dengan aturan itu, insentif yang diberikan pemerintah adalah pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh)

Pertama, insentif pajak pertambahan nilai (PPN) tidak dipungut dan pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah (PPN DTP). Hal ini diharapkan dapat memberikan stimulus

(3)

pada dunia usaha yang sedang terdampak pandemi ini. Kedua, pembebasan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 atas impor atau pembelian barang untuk penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pihak tertentu.

Selain itu untuk menangani gangguan rantai pasok ke dalam negeri yang disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi global akibat pandemi Covid-19, pemerintah memberikan insentif untuk perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat dan atau kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) yang tertuang dalam PMK Nomor 31/PMK.04/2020 tentang Insentif Tambahan Untuk Perusahaan Penerima Fasilitas Kawasan Berikat dan atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Untuk Penanganan Dampak Bencana Penyakit Virus Corona (Corona Virus Disease 2019/Covid-19).

Untuk mengukur tingkat efektifitas insentif perpajakan, pihak dari Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Nufransa Wira Sakti, melakukan survei kepada 12.822 Wajib Pajak Strategis yang dilakukan pada 22 Juli s.d. Agustus 2020. Mayoritas pengisi survei merupakan pengambil keputusan/manajerial, yaitu pemilik usaha, direktur, komisaris, manajer (61%).

Hasil uji keterwakilan berdasarkan parameter komposisi besaran kelompok omzet, lokasi geografis, dan sektor usaha menunjukkan bahwa responden survei merupakan representasi yang sangat baik dari target populasi (WP Strategis).

Hasilnya, sebanyak 73 persen responden mengetahui bahwa pemerintah memberikan stimulus pajak. Sebagian besar responden yang tahu ada program stimulus pajak mendapatkan informasi melalui Situs DJP (63%), Portal Berita Online (53%), dan media sosial (44%). Dari 9.414 responden yang tahu bahwa pemerintah memberikan stimulus pajak, diberikan pertanyaan lanjutan tentang jenis stimulus apa saja yang diketahui, dimana setiap responden diperbolehkan memilih lebih dari satu pilihan tentang stimulus mana yang mereka tahu. Sebanyak 81% responden memilih stimulus PPh Ps 21 DTP (dalam kombinasi pilihannya) sebagai stimulus yang paling diketahui, diikuti dengan Pengurangan PPh Ps 25 (70%), dan PPh Final UMKM DTP (46%), Pembebasan PPh 22 Impor (33%), dan Relaksasi Restitusi PPN (28%).

sebanyak 65 persen koresponden menyatakan bahwa mereka telah/sedang dalam proses pendaftaran pemanfaatan stimulus. PPh Pasal 21 (75%) adalah yang paling banyak dimanfaatkan, diikuti dengan Relaksasi Restitusi PPN (59%) dan Pembebasan PPh 22

Impor (18%). Sementara sebanyak 71 persen koresponden mengaku tidak mengalami kendala ketika memanfaatkan stimulus.

Namun demikian, sebanyak 31 persen pelaku usaha menyatakan belum memanfaatkan stimulus/permohonannya ditolak, beralasan bahwa stimulus pajak belum merupakan prioritas. Sedangkan pelaku usaha yang menyatakan alasan tidak memiliki informasi yang cukup juga sekitar 30%. Sementara kesulitan dalam mengakses layanan pendaftaran hanya dilaporkan oleh 3% responden.

Untuk pelaku usaha yang belum memanfaatkan stimulus pajak, terdapat kecenderungan bahwa jenis stimulus yang akan dimanfaatkan oleh pelaku usaha adalah jenis stimulus PPh yang bersifat rutin yakni Relaksasi PPh 25 dan PPh 21 DTP. Dan pembebasan PPh 22 Impor merupakan stimulus pajak yang paling sedikit dipilih oleh pelaku usaha.

(4)

Dalam aturannya, setiap pelaku usaha yang berhasil memanfaatkan stimulus perpajakan wajib memberikan laporan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dari seluruh responden yang telah mengikuti/sedang dalam proses pendaftaran program stimulus pajak, 84% nya telah menyampaikan laporan realisasi stimulus (n=6.107 responden).

Untuk responden yang belum menyampaikan laporan realisasi memiliki beragam alasan. Di antaranya karena tidak tahu ada kewajiban tersebut, tidak tahu prosedurnya, belum ada sosialisasi dan baru disetujui aplikasi stimulusnya. Kemudian terkait tingkat kepuasan responden terhadap stimulus pajak menunjukkan hasil yang positif. Mayoritas responden (70%) menyatakan ‘Puas’ dan ‘Sangat Puas’ dengan program stimulus yang diberikan oleh pemerintah, sedangkan menyatakan ‘Tidak Puas’ dan ‘Sangat Tidak Puas’ hanya 6% responden.

Namun ternyata selain stimulus perpajakan, Wajib Pajak membutuhkan stimulus lain. Hal ini tergambar dari hasil survey yang menunjukkan bahwa mayoritas responden (72%) yang sudah mengetahui stimulus pajak merasa masih memerlukan stimulus lain, dengan persentase 24% memilih pembebasan kewajiban perpajakan lain.

data Wajib Pajak yang sudah memanfaatkan insentif perpajakan. Berdasarkan jumlah laporan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), WP yang telah mamanfaatkan insentif sesuai PMK 110 Tahun 2020 per Agustus 2020 adalah PPh Final UMKM (PP 23) sudah dimanfaatkan oleh 223,772 WP, PPh 21 sebanyak 125,552 WP, PPh 25 sebanyak 64,464, dan PPh 22 Impor sebanyak 14,078 WP.

Sementara untuk insentif yang diatur dalam PMK No.143 Tahun 2020 per Juni 2020 adalah SKB PPh 23 dibebaskan (16,860), dan SKB PPh 22 DN dibebaskan (8,705).

Berdasarkan teori perpajakan salah satu fungsi pajak memang untuk menggalang penerimaan negara dan digunakan dalam pembangunan. Namun fungsi pajak juga dapat memberikan regulasi untuk membantu masyarakat dalam hal sosial dan ekonomi.

Insentif pajak saat ini bandulnya lebih mengarah pada fungi regulasi dengan tujuan untuk membantu menggerakan roda perekonomian negara. Saat ini kondisi ekonomi Indonesia memang sangat mengkhawatirkan. Roda perekonomian berjalan lambat diikuti dengan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (Rp 16.500/US$). Di sisi lain daya beli masyarakat juga menurun.

Kebijakan pemerintah untuk menambah sektor usaha baru agar bisa mendapat insentif pajak masih perlu dikaji lagi. Sektor usaha baru yang bisa menerima fasilitas pajak ini yang masih perlu diperluas, karena imbas yang terjadi atas pandemi Covid-19 ini bukan hanya sektor industri tertentu (pengelolaan), KITE dan KITE IKM. Namun hampir semua sektor, termasuk sektor jasa, sektor properti, sektor parawisata dan ada banyak lagi sektor usaha yang terpukul saat ini.

Kita sadar bahwa ekonomi itu berdampak multiplier effect seperti mata rantai yang saling berkaitan satu sama lain. Jadi jika terjadi penurunan ekonomi dibeberapa bidang otomatis hal ini akan mempengaruhi sektor lain baik secara langsung maupun tak langsung.

Pengamatan penulis industri parawisata mengalami anjlok karena pada saat ini, mana mungkin ada orang yang ingin pergi berlibur menikmati objek wisata.

(5)

Karena kebanyakan orang (hampir semua) ingin berada didalam rumah agar aman dari penularan Covid-19. Industri parawisata memiliki banyak turunannya seperti biro perjalanan, perhotelan, dan restoran di tempat wisata, alhasil pasti sektor ini terkulai lemas saat sekarang. Berdasarkan data ekspektasi pasar yang ada industri hotel mengalami penurunan total revenue (pendapatan) akibat dampak virus korona Covid-19 sebesar minus 25% hingga minus 50% , demikian juga dengan industri restoran mengalami penurunan omzet sebesar 25% hingga 50% dibandingkan dengan penjualan pada saat kondisi normal.

Maka dari data dan argumen diatas perlu ditambahkan variabel sektor usaha yang mendapat insentif pajak atas bencana pandemi Covid-19, karena semua sektor pada hakekatnya juga mengalami kondisi penurunan dan kelesuan.

Namun pemerintah perlu mengkaji dengan cermat atas perlakuan insentif pajak, karena hal ini akan menggerus penerimaan pajak secara signifikan. Misalnya PPh 21 atau PPh atas penghasilan karyawan, pada tahun 2019 realisasi penerimaannya sebesar Rp 148,63 triliun. Jika diberikan insentif pajak atas PPh 21 tersebut maka negara akan kehilangan pendapatannya yang cukup besar. Memang diharapkan akan memantul ke daya beli masyarakat yang meningkat sehingga terjadi peningkatan pula atas penerimaan PPN karena masyarakat akan mengomsumsi barang, namun efek atas hal ini belum tentu terjadi.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan insentif pajak yang akan mengurangi pendapatan negara, saat ini pemerintah memerlukan dana yang tidak sedikit untuk mensubsidi pangan, obat-obatan juga fasilitas medis guna menanggulangi Covid-19.

Manfaat insentif yang di harapkan dapat di rasakan oleh wajib pajak penerima adalah meringankan beban masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya yang tertunda akibat bencana wabah Covid-19. PPh pasal 21 juga DTP juga dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar karyawan yang menerima penghasilan di bawah 200 juta dalam setahun. Restitusi PPN yang dipercepat juga menjadi insentif yang sangat dirasakan manfaatnya bagi perusahaan-perusahaan yang saat ini sedang berusaha menjaga cash flow agar tetap dalam kondisi baik di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi ini.

insentif pajak yang diberikan pemerintah cukup memberikan manfaat bagi wajib pajak dalam menjaga kelangsungan hidup usahanya. Apabila dunia usaha dapat bangkit kembali, maka pemulihan ekonomi nasional dapat berlangsung lebih cepat dan memenuhi harapan semua pihak.

(6)

1.2RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana upaya pemerintah dalam meringankan beban wajib pajak di tengah masa pandemi Covid-19?

2 Bagaimana keefektifan pemberian insentif pajak di masa pandemi Covid-19?

3. Bagaimana manfaat yang di rasakan oleh wajib pajak terdampak pandemi penerima insentif ?

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam meringankan beban wajib pajak di tengah masa pandemi Covid-19.

2. Untuk mengetahui keefektifan pemberian insentif pajak di masa pandemi Covid-19. 3. Untuk mengetahui manfaat yang di dapat wajib pajak penerima insentif.

(7)

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 HUKUM PEMBERIAN INSENTIF DI INDONESIA

Pemberian insentif investasi di Indonesia, baik insentif fiskal maupun non fiskal diatur secara jelas dalam Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang. Penanaman Modal. Berdasarkan Undang – Undang Penanaman Modal, fasilitas berupa insentif investasi dapat diberikan atas investasi berupa perluasan usaha maupun investasi baru. Fasilitas berupa insentif dapat diberikan dalam kategori insentif fiskal dan insentif non fiskal. Insentif fiskal yang dapat diberikan menurut ketentuan dalam undang – undang tersebut ialah :

a. Pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu;

b. Pembebasan atau pengurangan PPh badan dalam jumlah dan waktu tertentu

c. Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;

d. Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;

e. Pembebasan atau penangguhan PPN atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu;

f. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan

g. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), khususnya untuk bidnag usaha tertentu, pada wilayah atau daerah tertentu.

Insentif non fiskal yang diatur dalam Undang – Undang Penanaman Modal adalah pemberian kemudahan pelayanan atau perizinan kepada investor untuk memperoleh :

(8)

b. Fasilitas pelayanan keimigrasian; dan c. Fasilitas perizinan impor

Untuk dapat memperoleh insentif fiskal sebagaimana diatur dalam Undang –Undang Penanaman Modal, investor wajib memenuhi salah satu dari kriteria berikut:

a. Menyerap banyak tenaga kerja; b. Termasuk skala prioritas tinggi; c. Termasuk pembangunan infrastruktur d. Melakukan alih teknologi

e. Melakukan industri pionir

f. Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan atau daerah lain yang dianggap perlu

g. Menjaga kelestarian lingkungan hidup

h. Melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan inovasi i. Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi dan

j. Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri.

2.2 INSENTIF PAJAK

UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) mendefiniskan insentif pajak sebagai segala bentuk insentif yang mengurangi beban pajak perusahaan dengan tujuan untuk mendorong perusahaan – perusahaan tersebut untuk berinvestasi di proyek atau sektor tertentu (Prasetyo,2008 dalam Clark).

Menurut Amanda (dalam Fletcher ,2012) defines a tax insentive as any tax provision granted to a qualified investment project that represents a favorable deviation from the provisions applicable to investment projects in general. Thus, the key feature of a tax incentive is that it applies only to certain projects. Menurut Zee, Stotsky dan Ley (2002) mendefiniskan insentif pajak dari sudut pandang hukum (statutory term) sebagai a special tax provision granted to qualified investment projects that represents a statutory favorable deviation from a corresponding provision applicable to investment projects in general. Yang diartikan bahwa insentif pajak merupakan perlakuan khusus yang diberikan terhadap proyek investasi tertentu saja.

Sedangkan dari sudut pandang effective term insentif pajak didefinisikan sebagai a special tax provision granted to qualified investment projects that has the effect of lowering the effective tax burden –measured in some way – on those projects, relative to the effective tax burden that would be borneby the investors in the absence of the special tax provision. Under this definition, all tax incentives are, therefore, necessarily effectives. Yang dapat diartikan secara singkat yaitu insentif pajak merupakan dampak efektif terhadap pengurangan beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak.

(9)

Menurut Adhytia (dalam Thomas,2007) insentif investasi berupa pajak adalah subsidi yang diberikan untuk mempengaruhi lokasi penanaman modal. Menurutnya, tujuan insentif tersebut mungkin sebagai daya tarik investasi baru dan mempertahankan investasi yang telah ada. Dari pengertian tersebut, insentif pajak dapat didefinisikan sebagai upaya dalam meningkatkan investasi dengan memberikan kemudahan yang terukur oleh pemerintah terhadap sektor swasta dalam rangka menarik investasi baru maupun mempertahankan investasi yang telah ada.

Bentuk – bentuk Insentif Pajak

Secara umum, insentif investasi terdiri dari dua kelompok besar, yaitu insentif non fiskal dan insentif fiskal. Insentif non fiskal merupakan kemudahan kemudahan yang diberikan oleh pemerintah yang tidak terkait langsung dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN/stage budget), sedangkan insentif fiskal merupakan kemudahan – kemudahan yang diberikan oleh pemerintah yang terkait langsung dengan APBN. Insentif non fiskal yang biasanya dijanjikan oleh pemerintah antara lain penyederhanaan proses perizinan, pembangunaninfrastruktur dan pemberantasan pungutan liar. Sedangkan insentif fiskal dapat diberikan dalam bentuk insentif pajak (tax incentive) dan subsidi. Terdapat

beberapa jenis insentif untuk menarik investasi. Jenis – jenis dan insentif tersebut dapat dibagi menjadi insentif fiskal (merupakan insentif pajak yang bertujuan untuk mengurangi beban pajak investor), inenstif keuangan dan jenis insentif lainnya.Kategori insentif pajak menurut Amanda (dalam Fletcher, 2012) dibagi menjadi 6 jenis, yaitu tarif pajak yang lebih rendah (reduce corporate income tax rates), tax holiday, investasi dapat dibiayakan dan pemberian kredit pajak (investment allowances and tax credits), penyusutan dipercepat (accelerated depretiation), pembebasan pajak tidak langsung (exemptions from indirect taxes) dan zona produksi ekspor (export processing zones). Pembagian bentuk insentif pajak menurut Amanda (dalam Holland danVann, 2012) terbagi menjadi lima jenis, yaitu:

a. Tax Holiday

Pemberian insentif pajak jenis ini sering diterapkan oleh negara yang sedang berkembang. Insentif ini ditujukan untuk perusahaan baru dan bukan untuk perusahaan yang sedang beroperasi. Dengan tax holiday baru akan diberikan periode waktu tertentu yang mana mereka akan dibebaskan dari beban pajak penghasilan.

b. Investments Allowance and Tax Credit

Insentif pajak ini didasarkan pada besarnya jumlah pengeluaran dari investasi yang bersangkutan. Investment allowance digunakan untuk mengurangipenghasilan kena pajak perusahaan, sedangkan tax credit digunakan untuk langsung mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.

c. Timing Diffrence

Insentif pajak ini muncul akibat adanya perbedaan waktu pengakuan akun-akun tertentu antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan pajak khususnya dalam hal pengakuan biaya dan pengakuan penghasilan.

d. Reduced tax rates

Insentif pajak ini memberikan pengurangan tarif pajak yang digunakan kepada wajib pajak dengan kriteria tertentu dari suatu persentase atau tingkatan tarif tertentu ke tingkatan tarif yang berada di bawahnya atau lebih rendah.

(10)

e. Administratif Discretion

Insentif ini memiliki arti sebagai proses administrasi yang selektif dalam rangka pemberian fasilitas pajak, yang berarti apakah fasilitas pajak dapat dinikmati secara otomatis oleh setiap wajib pajak yang memenuhi kebutuhan atau harus mengajukan permohonan penggunaan fasilitas pajak terlebih dahulu.

Tujuan Insentif Pajak

Prasetyo (2008) menjelaskan bahwa UNCTAD melaporkan beberapa tujuan yang akan dicapai dalam pemberian insentif pajak oleh suatu negara. Beberapa tujuan tersebut, yaitu: a. Investasi Regional

Biasanya meliputi pemberian dukungan untuk kawasan luar kota, pembangunan kawasan industri yang agak jauh dari pusat kota dan karenanyapencemaran lingkungan, urbanisasi yang terlalu tnggi dan padatnya penduduk di pekotaan bisa dikurangi.

b. Investasi Sektoral

Insentif pajak bisa diberikan untuk bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi pembangunan. Pemberian insentif ditujukan untuk merangsang perkembangnan industri, manufaktur, pariwisata atau eksplorasi sumber daya alam.

c. Peningkatan kualitas

Peningkatan kualitas biasanya diusahakan dengan membuat kawasan berikat untuk industri-industri yang berorientasi ekspor.

d. Alih teknologi

Pemberian insentif utuk industri-industri yang sifatnya pionir atau dengan menyediakan insentif khusus untuk kegiatan yang sifatnya penelitian dan pengembangan guna merangsang transfer teknologi.Pandangan lain diberikan menurut Amanda ( dalam kutipan Holland dan Vann,2012), yang menjelaskan tujuan diberikannya insentif pajak adalah sebagai

berikut:

a. Regional development

Pembangunan regional merupakan tujuan umum diberikannya insentif pajak di negara-negara industri dan negara lainnya.

b. Employment creation Insentif diberikan untuk meningkatkan investasi yang menyerap tenaga kerja untuk mengurangi tingkat pengangguran atau untuk memperkerjakan orang-orang dengan spesifikasi tertentu.

c. Technology transfer

Banyak negara memberikan insentif pajak dengan tujuan untuk menarik investasi yang akan membawa peningkatan teknologi atau aktivitas penelitian dan pengembangan.

(11)

Di negara-negara berkembang di Asia, insentif yang bertujuan untuk menarik investasi yang berorientasi ekspor lebih efektif dibandingkan insentif bentuk lainnya untuk meningkatkan investasi.

e. Free trade or export processing zones

Export processing zones erat berkaitan dengan meningkatkan investasi yang berorientasi ekspor. Selama 30 tahun terakhir, insentif ini banyak digunakan lebih dari 50 negara di dunia, terutama oleh negara-negara berkembang. Melalui insentif ini, perusahaan dapat melakukan impor mesin, bahan mentah dan komponen-komponen dengan bebas pajak, dengan tujuan untuk mengekspor barang jadinya.

Manfaat Insentif Pajak

Beberapa negara berkembang memberikan penawaran insentif pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kegiatan investasi atau penanaman modal. Insentif tersebut sebagian besar ditujukan untuk menarik investasi asing dalam bentukaktivitas produksi dan bukan investasi dalam bentuk aset keuangan. Dengan adanya investasi diharpakan mampu meningkatkan pembangunan ekonomi negara tersebut.

Selain itu, alasan beberapa negara berkembang menawarkan insentif pajak antara lain sebagai penyeimbang dari adanya kelemahan dalam sistem pajak yang berlaku di negara tersebut, untuk mengurangi kerugian yang mungkin akan dialami oleh investor (dapat dikarenakan infrastruktur yang tidak mendukung), adanya hukum yang berbelit – belit dan sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini, birokrasi yang berlebihan dan administrasi yang lemah baik di sektor pajak maupun sektor lainnya di negara tersebut (Amanda,2012). Bagi investor, sebenarnya sistem pajak tidaklah terlalu penting dibandingkan dengan pertimbangan – pertimbangan yang lain. Pertimbangan pertama bagi investor adalah mengenai kondisi perekonomian dasar dan situasi kelembagaan yang ada. Sedangkan dengan adanya insentif pajak semata tidak dapat

menggantikan pertimbangan – pertimbangan tersebut, justru yang lebih penting adalah sistem pajak secara keseluruhan. Pemberian insentif pajak akan bermanfaat apabila faktor–faktor selain pajak juga mendukung untuk berinvestasi, seperti adanya tenaga kerja, ketersediaan bahan baku, energi dan biaya modal. Menurut Amanda (2012) yang mengutip dari Easson dan Zolt menjelaskan bahwa insentif pajak akan bermanfaat dan menguntungkan bagi negara yang menerapkannya apabila dengan adanya insentif pajak tersebut, terdapat keputusan investasi yang dibuat akibat adanya insentif tersebut dan tidak akan terjadi investasi apabila tidak ada insentif pajak yang diberikan.

Makna kebijakan insentif pajak di masa pandemi Covid-19

Peran pajak dalam masa pandemi tersebut setidaknya dapat dimaknai ke dalam 4 aspek. Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan ada empat aspek dan keempatnya dapat dijadikan refleksi dan pelajaran berharga.

Berikut 4 aspek tersebut:

· Pertama, kebijakan pajak pada masa pandemi mempertegas hubungan pajak dengan ekonomi. Pajak harus tunduk terhadap sasaran ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah banyak menggelontorkan insentif pajak untuk memberikan stimulus ekonomi pada masa pandemi Covid-19.

(12)

· Kedua, masa pandemi menjadi momentum untuk melakukan pembaruan regulasi pajak. Pasalnya, pada masa pandemi, masih ada sektor ekonomi tertentu yang justru tumbuh positif. Salah satunya adalah sektor teknologi informasi. Oleh karena itu, banyak pemerintah di berbagai belahan dunia mengeluarkan kebijakan perpajakan bagi entitas digital. Penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) tidak hanya dilakukan Indonesia.

· Ketiga, pembuatan desain kebijakan pajak, terutama terkait dengan insentif, tidak meninggalkan aspek good governance. Mekanisme pengawasan dan pelaporan tetap diperlukan sebagai cara otoritas menjamin transparansi dan akuntabilitas penerapan kebijakan.

· Keempat, kebijakan yang dibuat pemerintah dimaksudkan agar pelaku usaha tidak sampai gulung tikar. Pajak menjadi salah satu instrumen yang dipakai pemerintah dalam upaya untuk memulihkan perekonomian. Pada gilirannya, basis pajak tidak tergerus terlalu dalam.

Jadi kebijakan-kebijakan ini untuk merespons agar jangan sampai basis pajak hilang secara permanen. Aspek ini juga menjadi pilihan kebijakan pajak di 122 negara yang fokus utamanya menjaga likuiditas perusahaan

2.3 PEMBERIAN INSENTIF PADA MASA PANDEMI COVID-19

Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang buruk terhadap perekonomian Indonesia. Demi menjaga stabilitas ekonomi, pemerintah menerbitkan berbagai regulasi termasuk pemberian insentif di sektor perpajakan kepada dunia usaha.

Kebijakan – kebijakan fiskal yang diambil oleh pemerintah dalam memberikan insentif di bidang perpajakan diharapkan dapat memulihkan kondisi ekonomi masyarakat secepat mungkin. Meskipun kebijakan ini juga mempunyai “efek samping” menurunkan penerimaan negara dalam hal ini adalah penerimaan pajak. Efek samping yang lain adanya kemungkinan penambahan jumlah utang pemerintah. Namun yang pasti kondisi kesehatan dan ekonomi masyarakat jauh lebih penting.

Penerima insentif pajak

:

PPh Pasal 21

Karyawan yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di salah satu dari 1.189 bidang usaha tertentu, perusahaan yang mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), dan pada perusahaan di kawasan berikat dapat memperoleh insentif pajak penghasilan (PPh) pasal 21 ditanggung pemerintah.

Fasilitas ini diberikan kepada karyawan yang memiliki NPWP dan penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp 200 juta.

Karyawan tersebut akan mendapatkan penghasilan tambahan dalam bentuk pajak yang tidak dipotong karena atas kewajiban pajaknya ditanggung oleh pemerintah.

Apabila perusahaan memiliki cabang, maka pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh pasal 21 cukup disampaikan oleh pusat dan berlaku untuk semua cabang.

(13)

Pajak UMKM

Pelaku UMKM mendapat insentif PPh final tarif 0,5 persen sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 yang ditanggung pemerintah. Praktis, wajib pajak UMKM tidak perlu melakukan setoran pajak.

Selain itu, pemotong atau pemungut pajak juga tidak perlu melakukan pemotongan atau pemungutan pajak pada saat melakukan pembayaran kepada pelaku UMKM. Pelaku UMKM yang ingin memanfaatkan fasilitas ini cukup menyampaikan laporan realisasi setiap bulan melalui laman www.pajak.go.id

PPh Pasal 22 Impor

Wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 730 bidang usaha tertentu perusahaan KITE, dan perusahaan di kawasan berikat mendapat insentif pembebasan dari pemungutan PPh pasal 22 impor.

Jumlah ini bertambah dari sebelumnya hanya 721 bidang industri dan perusahaan KITE. Penerima insentif ini juga wajib menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 impor setiap bulannya.

Insentif PPN

Pengusaha kena pajak (PKP) berisiko rendah yang bergerak di salah satu dari 725 bidang usaha tertentu, perusahaan KITE, dan perusahaan di kawasan berikat mendapat insentif restitusi dipercepat hingga jumlah lebih bayar paling banyak Rp 5 miliar.

Insentif ini sebelumnya hanya berlaku untuk 716 bidang usaha dan perusahaan KITE.

Insentif Angsuran PPh Pasal 25

Wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 1.018 bidang usaha tertentu, perusahaan KITE, atau perusahaan di kawasan berikat mendapat pengurangan angsuran PPh pasal 25 sebesar 50 persen dari angsuran yang seharusnya terutang.

Sebelumnya fasilitas hanya tersedia bagi 1.013 bidang industri dan perisahaan KITE. Penerima insentif ini juga wajib menyampaikan laporan realisasi pengurangan angsuran PPh Pasal 25 setiap bulannya.

PPh Final Jasa Konstruksi

Wajib pajak yang menerima penghasilan dari usaha jasa konstruksi dalam Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI) mendapatkan insentif PPh final jasa konstruksi ditanggung pemerintah.

Pemberian insentif ini dimaksudkan untuk mendukung peningkatan penyediaan air (irigasi) sebagai proyek padat karya yang merupakan kebutuhan penting bagi sektor pertanian kita.

(14)

Ada sebuah teori yang relevan dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini yang dicetuskan oleh seorang ekonom bernama John Maynard Keynes. Teori ini lebih dikenal dengan nama Keynesian Model yang menyatakan bahwa melambatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara disebabkan karena rendahnya permintaan agregat yang menyebabkan turunnya pendapatan nasional. Dengan meningkatkan permintaan agregatnya, perekonomian suatu negara dapat bergerak lagi dengan cepat.

Bagaimana cara meningkatkan permintaan agregat ? Cara cepat yang dapat diambil suatu negara adalah peningkatan belanja pemerintah dan penurunan pajak. Peningkatan belanja pemerintah dapat dilakukan melalui pemberian subsidi dan bantuan sosial untuk masyarakat yang terdampak pandemi sedangkan penurunan pajak melalui pemberian insentif pajak bagi Wajib Pajak. Peningkatan belanja pemerintah dan penurunan pajak akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang kemudian mendorong peningkatan belanja rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Nufransa Wira Sakti, mengatakan bahwa pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp120,61 triliun terkait insentif perpajakan. Insentif dimaksud berupa PPh 21 DTP sebesar Rp39,66 triliun (termasuk cadangan perluasan cakupan sektor dan jangka waktu insentif Rp14 triliun); pembebasan PPh 22 Impor Rp14,75 triliun; pengurangan Angsuran PPh 25 Rp14,40 triliun; pengembalian Pendahuluan PPN Rp5,80 triliun; penurunan Tarif PPh Badan Rp20,00 triliun; dan stimulus Lainnya Rp26,00 triliun (cadangan perluasan cakupan sektor dan jangka waktu).

Untuk mengukur tingkat efektifitas insentif perpajakan, Pihak Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Nufransa Wira Sakti, melakukan survei kepada 12.822 Wajib Pajak Strategis yang dilakukan pada 22 Juli s.d. Agustus 2020. Mayoritas pengisi survei merupakan pengambil keputusan/manajerial, yaitu pemilik usaha, direktur, komisaris, manajer (61%).

Hasil uji keterwakilan berdasarkan parameter komposisi besaran kelompok omzet, lokasi geografis, dan sektor usaha menunjukkan bahwa responden survei merupakan representasi yang sangat baik dari target populasi (WP Strategis).

Hasilnya, sebanyak 73 persen responden mengetahui bahwa pemerintah memberikan stimulus pajak. Sebagian besar responden yang tahu ada program stimulus pajak mendapatkan informasi melalui Situs DJP (63%), Portal Berita Online (53%), dan media sosial (44%). Dari 9.414 responden yang tahu bahwa pemerintah memberikan stimulus pajak, diberikan pertanyaan lanjutan tentang jenis stimulus apa saja yang diketahui, dimana setiap responden diperbolehkan memilih lebih dari satu pilihan tentang stimulus mana yang mereka tahu. Sebanyak 81% responden memilih stimulus PPh Ps 21 DTP (dalam kombinasi pilihannya) sebagai stimulus yang paling diketahui, diikuti dengan Pengurangan PPh Ps 25 (70%), dan PPh Final UMKM DTP (46%), Pembebasan PPh 22 Impor (33%), dan Relaksasi Restitusi PPN (28%).

Sejauh mana informasi terkait perpajakan ini dimanfaatkan oleh para Wajib Pajak? Nufransa menyebut bahwa sebanyak 65 persen koresponden menyatakan bahwa mereka telah/sedang

(15)

dalam proses pendaftaran pemanfaatan stimulus. PPh Pasal 21 (75%) adalah yang paling banyak dimanfaatkan, diikuti dengan Relaksasi Restitusi PPN (59%) dan Pembebasan PPh 22 Impor (18%). Sementara sebanyak 71 persen koresponden mengaku tidak mengalami kendala ketika memanfaatkan stimulus.

Namun demikian, sebanyak 31 persen pelaku usaha menyatakan belum memanfaatkan stimulus/permohonannya ditolak, beralasan bahwa stimulus pajak belum merupakan prioritas. Sedangkan pelaku usaha yang menyatakan alasan tidak memiliki informasi yang cukup juga sekitar 30%. Sementara kesulitan dalam mengakses layanan pendaftaran hanya dilaporkan oleh 3% responden.

Untuk pelaku usaha yang belum memanfaatkan stimulus pajak, terdapat kecenderungan bahwa jenis stimulus yang akan dimanfaatkan oleh pelaku usaha adalah jenis stimulus PPh yang bersifat rutin yakni Relaksasi PPh 25 dan PPh 21 DTP. Dan pembebasan PPh 22 Impor merupakan stimulus pajak yang paling sedikit dipilih oleh pelaku usaha.

Dalam aturannya, setiap pelaku usaha yang berhasil memanfaatkan stimulus perpajakan wajib memberikan laporan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dari seluruh responden yang telah mengikuti/sedang dalam proses pendaftaran program stimulus pajak, 84% nya telah menyampaikan laporan realisasi stimulus (n=6.107 responden).

Untuk responden yang belum menyampaikan laporan realisasi memiliki beragam alasan. Di antaranya karena tidak tahu ada kewajiban tersebut, tidak tahu prosedurnya, belum ada sosialisasi dan baru disetujui aplikasi stimulusnya.

“Data ini diperlukan untuk evaluasi sehingga kami bisa melakukan perbaikan,” katanya dalam Webinar Hukumonline bekerja sama dengan OnlinePajak “Pemberian Insentif Pajak di tengah Pandemi, Sudah efektifkah?”, Kamis (8/10). Kemudian terkait tingkat kepuasan responden terhadap stimulus pajak menunjukkan hasil yang positif. Mayoritas responden (70%) menyatakan ‘Puas’ dan ‘Sangat Puas’ dengan program stimulus yang diberikan oleh pemerintah, sedangkan menyatakan ‘Tidak Puas’ dan ‘Sangat Tidak Puas’ hanya 6% responden.

Namun ternyata selain stimulus perpajakan, Wajib Pajak membutuhkan stimulus lain. Hal ini tergambar dari hasil survey yang menunjukkan bahwa mayoritas responden (72%) yang sudah mengetahui stimulus pajak merasa masih memerlukan stimulus lain, dengan persentase 24% memilih pembebasan kewajiban perpajakan lain. Dan hampir seluruh responden (98%) ingin agar stimulus lain tersebut dapat diberikan minimal sampai dengan Desember 2020.

Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, Bonarsius Sipayung memaparkan data Wajib Pajak yang sudah memanfaatkan insentif perpajakan. Berdasarkan jumlah laporan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), WP yang telah mamanfaatkan insentif sesuai PMK 110 Tahun 2020 per Agustus 2020 adalah PPh Final UMKM (PP 23) sudah dimanfaatkan oleh 223,772 WP, PPh 21 sebanyak 125,552 WP, PPh 25 sebanyak 64,464, dan PPh 22 Impor sebanyak 14,078 WP.

Sementara untuk insentif yang diatur dalam PMK No.143 Tahun 2020 per Juni 2020 adalah SKB PPh 23 dibebaskan (16,860), dan SKB PPh 22 DN dibebaskan.

(16)

Pemerintah menilai sederet insentif pajak yang diberikan tidak maksimal. Para wajib pajak tidak bisa memanfaatkan insentif tersebut karena roda perekonomian yang melambat juga sedang menekan usahanya. Tentunya perekonomian berada dalam tekanan karena banyaknya kegiatan perekonomian yang sedang dalam Tekanan, sehingga kemungkinan penggunaan keringanan pajak tersebut tidak akan maksimal Selain itu insentif pajak diberikan juga saat rasio pajak Indonesia terus menurun. Padahal rasio pajak adalah persoalan utama yang paling mendasar yang harus diselesaikan.

Sementara Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menambahkan, rasio pajak Indonesia tahun ini bisa berada di bawah 8%. Hal itu diakibatkan pandemi COVID-19 yang memberikan tekanan begitu besar terhadap ekonomi. Ada risiko karena rasio pajak sendiri sudah turun dalam beberapa tahun terakhir dan dampak dari pemberian banyak insentif pajak di 2020 maka rasio pajak kita akan turun tajam, prediksi rasio pajak berada sedikit di bawah 8%.

- Menurut pendapat Chatib Basri

Ekonom Senior Chatib Basri mengatakan bahwa insentif perpajakan tidak efektif dikeluarkan pemerintah untuk saat ini. Perusahaan yang rugi tentu bebas pungutan karena tidak memiliki penghasilan. Jadi ta x incentive (insentif pajak) baru efektif ketika ekonomi saat normal. Kalau mau beri insentif, saat yang tepat adalah tahun 2021 ini. Chatib yang juga mantan menteri keuangan ini menjelaskan bahwa itu sebabnya kebijakan pengurangan pajak tidak banyak dimanfaatkan pengusaha. Oleh karena itu, kebijakan yang tepat adalah dengan gencar memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian yang diterima, pendapatan para pekerja kantoran saat ini sekitar 99,7 persen dari keadaan normal. Lalu pengusaha penghasilannya menjadi 85,6 persen. Sedangkan pekerja informal 70,9 persen.

Temuan Masalah Insentif Pajak untuk Masyarakat dan Pengusaha

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP Hipmi Ajib Hamdani memaparkan, ada lima temuan masalah utama tentang insentif fiskal yang dihadapi masyarakat dan pelaku usaha. Lima permasalahan yang ditemukan itu menurut Ajib, antara lain pertama, minimnya literasi pajak. Kedua, kesulitan mengakses atau menjangkau layanan terutama pada masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ketiga, kekhawatiran atas tindakan otoritas pajak pascapandemi. Keempat, asimetri informasi tentang kebijakan insentif pajak pada instansi di luar DJP, misalnya dinas dan pemerintah daerah. Kelima, pemberian Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dan permintaan pembetulan yang masih dijalankan DJP. Berdasarkan temuan permasalahan itu, Ajib memberikan empat usulan. Pertama, memberi insentif untuk semua sektor dan klasifikasi lapangan usaha (KLU). Kedua, memberi insentif dan relaksasi tanpa mengedepankan intensifikasi di lapangan.

Ketiga, melibatkan dunia usaha dalam program pemerintah sebagai mitra yang didukung regulasi. Keempat, mengalokasikan insentif yang memberikan ruang fleksibilitas semaksimal mungkin sampai dengan 2022.

Dosen Perpajakan FIA UB Damas Dwi Anggoro pun menyampaikan tinjauan teoretis atas kebijakan pajak pada masa pandemi Covid-19. Menurutnya, kebijakan fiskal yang tepat pada masa penurunan ekonomi adalah kebijakan yang ekspansif ketimbang kebijakan yang kontradiktif.

(17)

Damas memberikan lima opsi kebijakan pajak selama krisis yang dapat ditempuh pemerintah berdasarkan beberapa literatur. Pertama, menurunkan tarif pajak atau membebaskan jenis pajak tertentu untuk pelaku usaha secara temporer.

Kedua, memperpanjang penangguhan pajak untuk mendukung keuangan perusahaan. Ketiga, menangguhkan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan fleksibilitas lain yang bersifat sementara. Keempat, mempercepat pengembalian dana PPN untuk meningkatkan arus kas perusahaan.

Kelima, supply side ta x policy. Pemerintah diharapkan memberikan kebijakan pajak dalam bentuk lain yang dapat memberikan keleluasaan bagi Wajib Pajak untuk meningkatkan produktivitas. Namun, dia menekankan penanganan krisis kesehatan tetap harus menjadi prioritas.

“Sebaik-baiknya kebijakan moneter dan fiskal, jika kita tidak mampu mengendalikan covid-19 justru akan menjadi ongkos yang mahal dan ekonomi pun akan terus terpuruk. Oleh karena itu, strategi yang paling pertama adalah terkait dengan pengendalian virus, berikutnya baru kebijakan fiskal maupun moneter,” pungkasnya.

2.5 KEINGINAN PEMERINTAH DALAM UPAYA MERINGANKAN BEBAN WAJIB PAJAK DI MASA PANDEMI

Melemahnya kinerja penerimaan pajak tampaknya tidak menghilangkan kemauan pemerintah untuk meringankan beban wajib pajak di masa pandemi ini. Melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2020, pemerintah memperpanjang beberapa insentif pajak yang semula berakhir September hingga akhir tahun.

Tidak tanggung-tanggung, sebagaimana dilansir Kemenkeu, total insentif pajak yang disiapkan pemerintah untuk dunia usaha adalah sebesar Rp120,6 triliun. Tentunya ini menguatkan sinyal bahwa instrumen pajak selalu hadir dan berperan penting bagi ekonomi

nasional (Darussalam,

2020).

Meski demikian, ternyata belum seluruh wajib pajak memanfaatkan insentif tersebut. Menurut pernyataan Menkeu Sri Mulyani per 27 Juni 2020, serapan dari insentif masih sebesar 10,14% atau sekitar Rp12,2 triliun. Tentu ini menimbulkan pertanyaan.

Mengapa paket insentif yang tersedia saat ini kurang diminati wajib pajak? Aspek apa saja yang perlu dipertimbangkan jika periode pemanfaatan diperpanjang?

Mengutip hasil penelitian DDTC Fiscal Research (2020), sebenarnya tren relaksasi pajak di Indonesia tidak kalah dengan tren global, terutama untuk meningkatkan arus kas perusahaan serta menangguhkan kewajiban administrasi wajib pajak.

Sejak Maret, pemerintah juga telah bereaksi cepat merilis berbagai insentif seiring dengan dinamika perekonomian nasional. Dengan demikian, ada kemungkinan insentif yang saat ini diberikan belum bersifat final atau masih bisa diubah/tambah.

Setidaknya, ada enam hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah untuk menjamin keberhasilan insentif pajak, baik dari sisi serapan maupun efektivitas.

(18)

· Pertama, dibutuhkan pemahaman bersama bahwa pada masa krisis, turunnya

penerimaan pajak

secara temporer masih lebih baik daripada kehilangan basis pajak secara permanen (Ayumi,

2020). Artinya, pemerintah harus mencegah terjadinya penutupan kegiatan usaha, pemutusan

hubungan kerja, atau pergeseran ke arah ekonomi informal. Jika basis pajak hilang secara permanen, pemerintah akan lebih sulit meningkatkan tax ratio pada fase pascakrisis. Oleh karena itu, insentif pajak, walaupun melemahkan penerimaan jangka pendek, merupakan strategi kunci mempertahankan kesinambungan fiskal jangka menengah.

· Kedua, desain insentif pajak yang lebih efektif dan tepat guna. Pertanyaan yang harus kita jawab bersama ialah bagaimana desain insentif pajak yang ideal dan dapat berdampak positif bagi kelangsungan kegiatan ekonomi wajib pajak? Dalam konteks ini, perumusan kebijakan yang partisipatif perlu dikedepankan. Hal tersebut akan membuka peluang varian insentif pajak (scheme), durasi yang tepat, serta memprioritaskan pada sektor yang terdampak dan/atau memberi daya ungkit ekonomi yang lebih besar (well-targeted).

· Ketiga, kemudahan pemanfaatan implementasi.Pada umumnya, rumitnya persyaratan

dan tahapan

insentif pajak akan menimbulkan keengganan wajib pajak untuk memanfaatkannya

(Abeler dan

Jager, 2015). Oleh karena itu, IMF (2020) menganjurkan agar ketentuan insentif pajak di masa pandemi dapat diberlakukan secara otomatis tanpa perlu ada pengajuan administrasi yang rumit.

· Keempat, sosialisasi. Salah satu tantangan sektor pajak Indonesia ialah rendahnya literasi

pajak masyarakat. Dengan demikian, ada dugaan bahwa banyak wajib pajak tidak menyadari

bahwa dirinya berhak atas fasilitas pajak yang disediakan. Penyebaran informasi dan literasi aturan pajak juga lebih sulit dilakukan di tengah pandemi ketimbang saat kondisinormal. Sosialiasi yang lebih gencar mutlak dibutuhkan. Hal ini mencakup komunikasi dan panduanlebih detail mengenai insentif yang diberikan. Dalam konteks ini, DJP tidak bisa dibiarkan sendirian. Dukungan dari berbagai pihak, yaitu kampus, konsultan pajak, dan asosiasi bisnis mutlak diperlukan.

· Kelima, akuntabilitas. Owens dan Schlenther (2020) menyampaikan bahwa terdapat kemungkinan adanya pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dan menyalahgunakan insentif pajak. Oleh karena itu, kegiatan monitoring akuntabilitas pemanfaatan insentif pajak perlu tetap dipertahankan. Selain itu, kehadiran laporan

(19)

belanja perpajakan yang andal justru kian relevan. Laporan tersebut nantinya juga bisa digunakan untuk mengevaluasi efektivitas berbagai insentif pajak di kala pandemi.

· Keenam, merancang peta jalan relaksasi pajak selama lima tahun mendatang. Pada jangka menengah, upaya membenahi kinerja penerimaan pajak harus tetap memperhatikan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil. Pemerintah menyebut pemberian berbagai insentif pajak akan efektif untuk memulihkan ekonomi nasional jika diikuti dengan penanganan pandemi.

Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan penanganan pandemi Covid-19 akan memberikan rasa aman bagi masyarakat. Rasa aman itulah yang menjadi kunci untuk mendorong kepercayaan pelaku ekonomi melakukan aktivitas.

pemerintah sejak awal pandemi telah memberikan berbagai insentif melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pada klaster insentif usaha tahun ini, anggarannya mencapai Rp58,46 triliun.

Insentif yang diberikan terdiri atas 10 jenis, yakni pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), PPh final untuk UMKM DTP, serta pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) pada kendaraan bermotor DTP.

Kemudian, ada insentif bea masuk, pembebasan PPh Pasal 22 impor, restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dipercepat, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, dan PPN rumah DTP.

Selain itu, pemerintah tetap akan mengevaluasi efektivitas berbagai insentif itu secara berkala. Di harapkan berbagai insentif itu mampu mendorong pemulihan dunia usaha yang pada akhirnya juga berdampak pada perbaikan kinerja ekonomi nasional. Apalagi, saat ini telah berjalan program vaksinasi Covid-19 yang akan meningkatkan kepercayaan pelaku ekonomi. Melalui PEN pula, pemerintah menganggarkan Rp176,3 triliun untuk penanganan masalah kesehatan yang ditimbulkan pandemi Covid-19.

Selain vaksinasi, dana itu digunakan untuk program diagnostik (tracing d a n testing) serta terapetik yang meliputi biaya klaim perawatan, insentif tenaga kesehatan dan santunan kematian, serta kebutuhan penanganan pandemi lainnya.

Sepanjang 2020, perekonomian Indonesia terkontraksi 2,07%. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan terjadi pembalikan sehingga ekonomi mampu tumbuh berkisar 4,5% hingga 5,3%.

REGULASI PERPANJANGAN INSENTIF PAJAK HINGGA JUNI 2021

Melalui penerbitan PMK 9/2021, pemerintah resmi memperpanjang pemberian insentif pajak untuk wajib pajak terdampak pandemi Covid-19.

Terkait dengan pemberian insentif tersebut, Ditjen Pajak (DJP) memberikan keterangan resmi melalui Siaran Pers Nomor SP- 05/2021 yang dipublikasikan siang ini, Rabu (3/2/2021). DJP mengatakan ketentuan yang baru dalam PMK 9/2021 menggantikan PMK 86/2020 s.t.d.d

(20)

PMK 110/2020. Pemerintah memperpanjang insentif pajak untuk membantu wajib pajak menghadapi dampak pandemi Covid-19 hingga 30 Juni 2021.

Wajib pajak yang sudah memiliki surat keterangan bebas (SKB) atau menyampaikan

pemberitahuan pemanfaatan insentif untuk tahun pajak 2020, harus mengajukan permohonan SKB atau menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif kembali untuk mendapatkan insentif ini di tahun pajak 2021. insentif yang diberikan sama dengan insentif ditanggung pemerintah sebelumnya dengan adanya penajaman yaitu untuk PPh Pasal 21, pajak UMKM, PPh Final Jasa Konstruksi, PPh Pasal 22 Impor, angsuran PPh Pasal 25, dan PPN.

Untuk PPh Pasal 21, insentif diberikan kepada karyawan yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di salah satu dari 1.189 bidang usaha tertentu, perusahaan yang mendapatkan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), atau perusahaan di kawasan berikat. Insentif dalam bentuk pajak yang tidak dipotong ini diberikan kepada karyawan yang memiliki NPWP dan penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp200 juta.

Terkait pajak UMKM, pelaku UMKM mendapat insentif PPh final tarif 0,5 persen sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 (PPh Final PP 23) yang ditanggung pemerintah sehingga tidak perlu melakukan setoran pajak.

"Selain itu, pihak-pihak yang bertransaksi dengan UMKM juga tidak perlu melakukan pemotongan atau pemungutan pajak pada saat melakukan pembayaran kepada pelaku UMKM," kata Hestu.

Untuk PPh Final Jasa Konstruksi, insentif yang bertujuan untuk mendukung peningkatan penyediaan air ini diberikan kepada Wajib Pajak yang menerima penghasilan dari usaha jasa konstruksi dalam Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI).

Untuk PPh Pasal 22 Impor, insentif diberikan kepada Wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 730 bidang usaha tertentu (sebelumnya 721 bidang usaha), perusahaan KITE, atau perusahaan di kawasan berikat.

Terkait angsuran PPh Pasal 25, insentif pengurangan angsuran sebesar 50 persen dari

angsuran yang seharusnya terutang diberikan kepada Wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 1.018 bidang usaha tertentu (sebelumnya 1.013 bidang usaha), perusahaan KITE, atau perusahaan di kawasan berikat.

Terakhir, untuk PPN, insentif percepatan restitusi dipercepat hingga jumlah lebih bayar paling banyak Rp5 miliar diberikan kepada pengusaha berisiko rendah yang bergerak di salah satu dari 725 bidang usaha tertentu (sebelumnya 716 bidang usaha), perusahaan KITE, atau perusahaan di kawasan berikat.

Hestu mengatakan Wajib Pajak yang sudah memiliki surat keterangan bebas (SKB) atau menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif untuk tahun pajak 2020, harus mengajukan permohonan SKB atau menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif kembali di tahun pajak 2021.

"Pengajuan permohonan, penyampaian pemberitahuan, dan laporan realisasi dilakukan secara online melalui www.pajak.go.id. Laporan realisasi disampaikan setiap bulan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya," katanya.

(21)

Sementara itu, pemberi kerja atau Wajib Pajak yang hendak memanfaatkan insentif PPh pasal 21 ditanggung pemerintah atau pengurangan besarnya angsuran PPh pasal 25 mulai masa pajak Januari 2021, diberikan relaksasi penyampaian pemberitahuan sampai dengan 15 Februari 2021.

Di samping itu, pemberi kerja, Wajib Pajak UMKM, dan pemotong PPh final jasa konstruksi P3-TGAI yang akan memanfaatkan insentif PPh ditanggung pemerintah tahun pajak 2020 dapat menyampaikan laporan realisasi paling lambat 28 Februari 2021.

2.6 TANGGAPAN BEBERAPA KALANGAN PENERIMA INSENTIF PAJAK.

· KALANGAN PEKERJA APRESIASI PEMBEBASAN PAJAK PENGHASILAN Rencana pemerintah ini direspons positif oleh para pekerja. Salah satu dari mereka, Ardiana menganggap adanya relaksasi ini mereka dapat mengalokasikan gaji untuk keperluan lain, seperti membeli kebutuhan pokok dan kebutuhan sanitasi seperti cairan pembersih tangan dan masker. Misalnya pajak penghasilan untuk beberapa bulan kan nggak akan kepotong nih, nanti kita alokasikan untuk pembelian yang lain yang kiranya harus dibutuhkan untuk tiap hari atau kebutuhan yang lain," ujar Ardiana ketika ditemui BBC Indonesia di pusat ibu kota Jakarta, Rabu (11/03).

Sementara, pekerja yang lain, Ananda Astridianti, meski merespons positif kebijakan pemerintah, namun mewanti-wanti agar kebijakan ini tepat sasaran, tak seperti stimulus sebelumnya berupa insentif diskon tiket pesawat ke sejumlah tujuan destinasi yang bertujuan mendongkrak wisata domestik di tengah wabah corona yang kini melanda hampir seluruh dunia.

"Saya nggak banyak mengukur dampaknya pada aktivitas konsumsi pribadi, maksudnya seberapa jauh pemotongan [pajak] itu ke konsumsi saya," ujar pekerja perempuan berusia 25 tahun itu.

"Kita berharapnya kebijakan ini nggak cuman jangka pendek, maksudnya entah stimulusnya dalam bentuk apapun, harapannya long term. Inginnya lebih tepat sasaran saja kebijakannya," ujarnya.

· TANGGAPAN ASOSIASI UMKM TERHADAP INSENTIF PPH UMKM

Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) mengapresiasi kebijakan pemerintah dengan memberikan insentif berupa pajak penghasilan final UMKM ditanggung pemerintah (DTP) selama 6 bulan.

Ketua Akumindo Ikhsan Ingratubun mengaku kebijakan itu akan membantu pelaku UMKM yang tengah kesulitan keuangan. Hanya saja, Ikhsan menyebut UMKM yang menjadi wajib pajak saat ini tidak sampai 10% dari total 60 juta pelaku UMKM.

“Bagi yang sudah masuk wajib PPh, itu akan sangat membantu karena 6 bulan dia bebas pajak. Hanya saja memang jumlahnya tidak banyak,”

Ikhsan mengatakan sekitar 90% anggotanya yang tergolong pengusaha mikro dan ultra-mikro masih belum masuk atau terdaftar sebagai wajib pajak UMKM. Dengan kata lain, UMKM yang memanfaatkan insentif pajak terbilang kecil.

(22)

Masih terkait insentif PPh UMKM DTP, ia menganggap syarat UMKM untuk mendapatkan insentif berupa pembebasan pajak tersebut masih tergolong rumit lantaran harus melaporkan realisasi PPh UMKM DTP.

DJP, kan, tetap minta pelaporan. Nah itu dia masalahnya, kami sampai dengan saat ini masih kebingungan. Seharusnya dibuat bagaimana caranya agar kami bisa mengisi sendiri dengan mudah,” tutur Ikhsan.

BAB III KESIMPULAN

Kebijakan pajak pada masa pandemi mempertegas hubungan pajak dengan ekonomi. Pajak harus tunduk terhadap sasaran ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah banyak menggelontorkan insentif pajak untuk memberikan stimulus ekonomi pada masa pandemi Covid-19

masa pandemi menjadi momentum untuk melakukan pembaruan regulasi pajak. Pasalnya, pada masa pandemi, masih ada sektor ekonomi tertentu yang justru tumbuh positif. Salah satunya adalah sektor teknologi informasi. Oleh karena itu, banyak pemerintah di berbagai belahan dunia mengeluarkan kebijakan perpajakan bagi entitas digital. Penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) tidak hanya dilakukan Indonesia. Pembuatan desain kebijakan pajak, terutama terkait dengan insentif, tidak meninggalkan aspek good governance. Mekanisme pengawasan dan pelaporan tetap diperlukan sebagai cara otoritas menjamin transparansi dan akuntabilitas penerapan kebijakan. Kebijakan yang dibuat pemerintah dimaksudkan agar pelaku usaha tidak sampai gulung tikar. Pajak menjadi salah satu instrumen yang dipakai pemerintah dalam upaya untuk memulihkan perekonomian. Pada gilirannya, basis pajak tidak tergerus terlalu dalam.

Insentif pajak belum sepenuhnya di katakan efektif di karenakan belum semua wajib pajak patuh untuk melapor pemaanfaatan insentif pajak serta para wajib pajak belum bisa memanfaatkan insentif tersebut karena roda perekonomian yang melambat juga sedang

(23)

menekan usahanya. Selain itu insentif pajak diberikan juga saat rasio pajak Indonesia terus menurun. Padahal rasio pajak adalah persoalan utama yang paling mendasar yang harus diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Vissaro,Deni. 2020. Insentif Pajak Kurang di Lirik Karena Abaikan 6 Faktor.

https://www.google.com/amp/s/m.bisnis.com/amp/read/20200707/259/1262554/insentif-pajak-kurang-dilirik-karena-abaikan-6-faktor-ini(di akses pada tanggal 22 Maret 2021) Dian, Kurniati. 2021. Penanganan Pandemi d Sebut Jadi Kunci Efektivitas Insentif Pajak. 2021 https://news.ddtc.co.id/penanganan-pandemi-disebut-jadi-kunci-efektivitas-insentif-pajak-28366(di akses pada tanggal 22 Maret 2021)

Kurniawan, Kakung. 2020. Insentif Pajak di Masa Pandemi Sudah Efektifkah?

https://muda.kompas.id/baca/2020/08/05/insentif-pajak-di-masa-pandemi-sudah-efektifkah/ (di akses pada tanggal 22 Maret 2021)

Hasibuan, Mulia Batara. 2016. Sekilas Tentang Pajak.

https://business-law.binus.ac.id/2016/10/17/sekilas-tentang-insentif-pajak/(di akses pada tanggal 23 Maret 2021)

Satyagraha. 2021. DJP Paparkan Regulasi Perpanjangan Insentif Pajak.

https://www.google.com/amp/s/m.antaranews.com/amp/berita/1980492/djp-paparkan-regulasi-perpanjangan-insentif-pajak-hingga-juni-2021 (di(di akses pada tanggal 23 Maret 2021)

Prakoso, Jaffry Prabu 2021.

https://www.google.com/amp/s/m.bisnis.com/amp/read/20201203/9/1326080/chatib-basri-insentif-pajak-tidak-efektif-untuk-saat-ini(di akses pada tanggal 23 Maret 2021)

(24)

Setiawan, Doni Agus 2021. https://news.ddtc.co.id/ini-4-makna-kebijakan-pajak-pada-masa-pandemi-covid-19-24275(di akses pada tanggal 23 Maret 2021)

Referensi

Dokumen terkait

Dari webinar yang telah dilaksanakan oleh DJP selama periode Juni hingga September 2020 menunjukkan antusias dari Wajib Pajak untuk terlibat dalam penyuluhan dengan

Selain itu, berbagai kebijakan perpajakan dan pemberian stimulus yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi pendemi membuat peneliti ingin mengetahui pengaruh insentif

Insentif fiskal dan prosedural dari segi kepabeanan dan cukai juga dilakukan Pemerintah untuk mereduksi dampak pandemi Covid-19 ini yang terdiri atas larangan sementara atas ekspor

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Insentif Pajak Kendaraan Bermotor selama pandemi Covid 19 pada tahun 2020 terhadap kepatuhan wajib Pajak Kendaraan Bermotor

5 Saya merasa terbantu dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dengan memanfaatkan insentif pajak PPh Final yang ditanggung pemerintah (DTP) selama masa pandemi

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat Beliau tesis yang berjudul “Pengaruh Pemahaman Ketentuan Umum Perpajakan, Pemanfaatan Insentif Pajak

Pengaruh Pemberian Insentif Pajak di Tengah Pandemi Corona Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) (Studi Kasus

Dalam hal Wajib Pajak mendapatkan surat pemberitahuan tidak berhak memanfaatkan insentif Pembebasan PPh Pasal 22 Impor sehubungan dengan tidak terpenuhinya persyaratan