• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PERPAJAKAN HUKUM PAJAK : ANDHIKA WAHYUDIONO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH PERPAJAKAN HUKUM PAJAK : ANDHIKA WAHYUDIONO"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PERPAJAKAN

HUKUM PAJAK

DOSEN MATAKULIAH :

ANDHIKA WAHYUDIONO, S.Pd., M.Pd

KELOMPOK 9

MAHASISWA

Alvina Arti Fernanda / 21201732

Wida Novita Sari / 21201756

Nadia Cahya Aini / 21201742

Bagus Tegar Wicaksono / 21201736

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945

BANYUWANGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

ADMINISTRASI PUBLIK

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya selalu mengucapkan kehadirat Allah SWT. Atas segala nikmat yang telah diberikan kepada saya sehingga penyusunan makalah dengan judul “PajakPenghasilan Final” dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat serta salam selalu saya kirimkan kepada panutan dan tauladan hidup kita, yakni nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa hidup kita ini dari zaman kegelapan ke zaman terang- benderang.

Dalam penyusunan makalah ini Penulis tidak dapat menyelesaikan makalah ini tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada Dosen mata kuliah Perpajakan Bapak Andika Wahyudiono, S.Pd.,M. Pd dan teman-teman yang telah mendukung pembuatan makalah ini. Sungguh merupakan suatu kebanggaan dari penulis apabila makalah ini dapat terpakai sesuai fungsinya, dan pembacanya dapat mengerti dengan jelas apa yang dibahas didalamnya. Tidak lupa juga penulis menerima kritikan dan saran yang membangun, yang sangat diharapkan demi memperbaiki pembuatan makalah dikemudian hari.

Banyuwangi, 01 Juni 2021

(3)

DAFTAR ISI

Contents

KATA PENGANTAR...2 DAFTAR ISI...3 BAB I PENDAHULUAN...4 1.1 Latar Belakang...4 1.2 Rumusan Masalah...4 1.3 Tujuan...4 BAB II PEMBAHASAN...5

2.1 Dasar Hukum PPN dan PPnBM...5

2.2 Pengertian PPN dan PPnBM...6

2.3 Objek Pajak...7

2.4 Tarif Pajak...11

2.5 Penyetoran dan Pelaporan PPN...13

BAB III PENUTUP...16

3.1 Kesimpulan...16

(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penghasilan yang bersifat final, adalah Pajak Penghasilan yang tidak dapat dikredit pajak bagi pemotong tersebut (tidak bisa di restitusikan/dikompensasikan) diantaranya adalah pajak PPh pasal 21 final dan PPh pasal 4 ayat 2 final. Pajak Penghasilan pasal 4 ayat 2 final adalah pajak yang dipotong atas beberapa jenis penghasilan yang ketetapannya berdasarkan peraturan pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 2 final UU PPh,yang bersifat final, seperti bunga dan deposito lainnya, hadiah atas undian, sewa tanah dan bangunan dari transaksi penjualan saham, pengalihan hak tanah/bangunan serta jasa konstruksi.

Pajak Penghasilan pasal 4 ayat 2 sangat penting peranannya dalam perusahaan. Dalam prosedur pemotongan, penyetoran dan pelaporan ini dilakukan berdasarkan permohonan wajib pajak (perusahaan) kepada Kantor Pelayanan Pajak yang penghasilannya dipungut dari transaksi yang dilakukan dengan perusahaan lain, yang selanjutnya akan diproses atau ditindak lanjuti oleh petugas kantor pelayanan pajak.

Pencatatan dalam Pajak Penghasilan pasal 4 ayat 2 sangat penting peranannya dalam perusahaan karena dari analisis di gunakan oleh pihak intern, maupun ekstern perusahaan untuk mengetahui jumlah peredaran atau penerimaan penghasilan bruto serta penghasilan yang dikenakan PPh final sehingga bisa dihitung besarnya pajak yang terutang, serta dapat menggambarkan jumlah peredaran / penerimaan bruto dari masing-masing jenis usaha atau tempat usaha yang bersangkutan, diantaranya dari hasil penyewaan tanah kepada perusahaan lain, transaksi penjualan saham serta penghasilan yang didapat dari jasa konstruktif (Pelaksanaan, Perencanaan, Pengawasan).

1.2 Rumusan Masalah

1 Menjelaskan dasar hukum PPN dan PPnBM 2 Menjelaskan pengertian PPN dan PPnBM 3 Menjelaskan objek pajak

4 Menjelaskan tarif pajak

5 Menjelaskan penyetoran dan pelaporan PPN

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk : 1 Dapat mengetahuidasar hukum PPN dan PPnBM 2 Dapat mengetahui pengertian PPN dan PPnBM 3 Dapat mengetahui objek pajak

4 Dapat mengetahui tarif pajak

(5)

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Dasar Hukum PPN dan PPnBM

Dasar Hukum PPN

Berikut ini adalah sejumlah dasar hukum PPN di Indonesia: 1. UU Nomor 8 Tahun 1983

Undang-undang No. 8 Tahun 1983 mengatur tentang daerah pabean, barang berwujud dan BKP. Penyerahan BKP dalam peraturan tentang PPN ini adalah penyerahan BKP karena suatu perjanjian, pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli (leasing) dan pengalihan hasil produksi dalam keadaan bergerak.

Sedangkan yang dimaksud penyerahan JKP meliputi pemberian JKP yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan/untuk kepentingan sendiri.

Tarif PPN ditetapkan sebesar 10% dan tarif atas ekspor BKP/JKP sebesar 0% dengan ketentuan dapat diubah serendah-rendahnya menjadi 5% dan setinggi-tingginya 15%.

undang ini mulai berlaku sejak 1 Januari 1984 bersamaan dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Indonesia serta Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Namun dasar hukum PPN ini baru disahkan pada 1 April 1985.

2. UU Nomor 11 Tahun 1994

Sepuluh tahun sejak diberlakukannya UU Nomor 8 Tahun 1983, lahirlah UU Nomor 11 Tahun 1994. Beberapa poin penting dari kebijakan ini adalah penjelasan PPN sebagai pajak tidak langsung yang dihitung oleh penjual tetapi dibayar oleh orang lain (pembeli). Selanjutnya, dasar hukum PPN ini menjelaskan adanya sistem Muli Stage Tax sebagai pajak yang yang dikenakan secara bertingkat, pada rantai produksi dan distribusi.

Setiap penyerahan barang yang menjadi objek PPN sejak dari pabrik, pedagang besar sampai pengecer dikenakan PPN. Peraturan ini juga mengatur mengenai indirect subtraction/invoice method yaitu cara menghitung pajak dengan metode tidak langsung terhadap pajak atas konsumsi dalam negeri sebagai pajak yang yang dikenakan secara definitif terhadap barang konsumsi di Indonesia.

UU No. 11 Tahun 1994 ini juga membahas mengenai consumption type VAT sebagai pajak yang dipungut atas nilai tambah, penerapan Non cummulative tax yaitu sistem pengenaan pajak pada barang/jasa yang telah dikenakan terhadap barang/jasa yang telah dikenakan pajak daerah. Penerapan tarif tunggal 10% diberlakukan untuk pungutan PPN dan pajak objektif sebagai pajak yang dikenakan atas barang/jasa tanpa melihat orang/badan yang melakukan transaksi.

3. UU Nomor 42 Tahun 2009

UU No. 42 tahun 2009 adalah perubahan ketiga atas UU PPN. Dengan kata lain, peraturan ini merupakan dasar hukum terbaru yang mengatur tentang PPN. Undang-undang yang menjadi dasar hukum PPN ini membahas sejumlah perubahan dari undang-undang sebelumnya seperti mengenai status PKP sebagai pihak yang wajib menyetor dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang, hingga kewajiban pengusaha kecil yang sudah memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.

(6)

Berdasarkan peraturan ini, PPN dikenakan atas penyerahan BKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, impor BKP, penyerahan JKP dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, ekspor BKP berwujud oleh PKP, ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP dan ekspor JKP oleh PKP.UU No.42 tahun 2009 juga mengatur bahwa PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan (sebagian/seluruhnya) dapat dikurangkan dari PPN terutang yang terjadi dalam masa pajak terjadinya pembatalan.

4. Dasar Hukum PPN: Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan

Peraturan mengenai pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN diatur melalui PMK No. 197/PMK.03/2013 yang juga mengatur PKP sebagai pihak yang wajib melaporkan pajaknya karena jumlah penjualan barang dan jasa yang sudah melebihi Rp 4.800.000.000. Pelaporan dilakukan pada akhir bulan berikutnya setelah jumlah penjualan berhasil melebihi Rp 4.800.000.000.

Dasar hukum PPnBM adalah Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). UU Nomor 8 Tahun 1983 ini juga dikenal dengan nama UU PPN. Dasar hukum PPN dan PPnBM selalu berjalan beriringan sebab PPnBM tidak mungkin dikenakan tanpa adanya pengenaan PPN. Artinya, ketika konsumen membeli suatu Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah, konsumen dikenakan PPN dan PPnBM. Dalam perjalanannya, UU Nomor 8 Tahun 1983 mengalami perubahan hingga akhirnya menjadi UU Nomor 42 Tahun 2009, yang juga disebut UU PPN. Perubahan terakhir ini tetap merupakan dasar hukum PPnBM.

2.2 Pengertian PPN dan PPnBM

 PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Menurut Wikipedia Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha yang mendapat status Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN merupakan jenis pajak konsumsi yang dalam bahasa Inggris disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumenakhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.  PPnBM

Menurut Wikipedia Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) atau sering kali disebut Pajak Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas transaksi Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun diimpor. Berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

(7)

2.3 Objek Pajak

Objek PPh merupakan setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak Berikut yang termasuk objek pajak dikutip dari situs pajak:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya. Kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan.

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan maupun penghargaan. 3. Laba usaha.

4. Keuntungan karena berjualan atau pengalihan harta, termasuk:

a) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

b) Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

c) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; d) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali

yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil. Ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan

e) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan

pembayaran tambahan pengembalian pajak.

6. Bunga yang termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

7. Dividen, dalam nama dan bentuk apapun, termasuk dividen hasil dari perusahaan asuransi terhadap pemegang polis, dan pembagian hasil sisa usaha koperasi.

8. Royalti atau pengembalian atas penggunaan hak. 9. Sewa atau penghasilan lain dengan penggunaan harta. 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

11. Keuntungan dari pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah.

12. Keuntungan dari selisih kurs mata uang asing. 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 14. Premi asuransi.

15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. 17. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah.

18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

(8)

· Sedangkan yang Dikecualikan dari Objek Pajak adalah: 1) Bantuan atau sumbangan

Di dalamnya termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak. Ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial.

Termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

3) Warisan

4) Harta yang termasuk setoran tunai diterima oleh badan.

5) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah. Kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit).

6) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada pribadi seperti asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.

7) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.

8) Iuran yang diterima atau diperoleh dari dana pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja ataupun pegawai.

9) Penghasilan dari modal yang dihasilkan oleh dana pensiun sebagaimana yang disebut dalam nomor sebelumnya, dalam bidang-bidang tertentu yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;

10) Bagian laba yang didapat dari anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.

(9)

11) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia.

Dengan syarat badan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

12) Beasiswa berdasarkan persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan.

13) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

14) Bantuan atau santunan yang dibayar oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang telah diatur lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

· Macam - macam objek pajak

1. Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dibebankan setiap pertambahan nilai dari suatu barang atau jasa. PPN ini masuk ke dalam jenis pajak yang tak langsung. Artinya begini Squad, pajak ini disetor oleh pihak lain yang bukan penanggung pajak. Besaran dari PPN ialah 10%. Contoh mudahnya gini Squad, kamu belanja di sebuah minimarket dan membeli minuman. Nah, harga yang kamu bayar dari minuman tersebut sudah termasuk PPN. Jadi, pajak dari minuman yang kamu bayar nantinya disetorkan langsung sama si pemilik minimarket tersebut.

2. Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Pernah ngeliat mobil-mobil mewah di jalanan? Mobil sport gitu yang pokoknya jarang banget deh berseliweran di jalan. Yups, artinya mobil tersebut hanya dimiliki segelintir orang berpenghasilan tinggi. Mobil yang dimiliki masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan hanya segelintir orang yang dimiliki, kalau nanti dijual akan kena pajak namanya PPnBM. Pajak ini dibebankan pada barang yang tergolong mewah, seperti mobil Lamborgini tersebut.

3. Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 menyatakan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang bersifat kebendaan. Artinya begini Squad, besaran pajaknya itu ditentukan oleh keadaan objek pajak, dalam hal ini bumi dan bangunan. Bukan membayar pajak dari planet bumi. Bumi yang dimaksud ialah permukaan bumi seperti sawah, ladang, dan kebun. Nah kalau bangunan itu sendiri merupakan konstruksi yang berada di atas tanah atau perairan.

Contohnya rumah tempat tinggal, ruko usaha dermaga, jalan tol, dan kolam renang. pajak ini nggak memandang siapa subjek pajaknya. Jadi nggak urusan tuh, kalau kamu misalnya jadi artis terkenal tapi luas tanah dan rumah yang kamu punya itu kecil serta fasilitasnnya tidak mewah.

(10)

4. Objek Pajak Penghasilan (PPh)

Nanti kalau kamu sudah punya pekerjaan dan mendapatkan gaji, tunjangan, atau bonus, kamu akan dikenakan pajak penghasilan (PPh). Namanya pajak penghasilan, ya pasti objeknya penghasilan dari wajib pajak itu sendiri.

Apa sih penghasilan itu? Penghasilan merupakan tambahan kemampuan ekonomi yang diterima wajib pajak baik dari dalam maupun luar negeri yang dipakai untuk konsumsi wajib pajak atau menambah kekayaan.

5. Objek Pajak Bea Materai

Tadi di awal artikel udah disinggung sedikit tuh kalau pas transaksi jual beli kendaraan ada pajak yang harus dibayar. Nah, salah satunya ialah pajak bea materai. Yaps, bea materai ada yang Rp3.000 dan Rp6.000 Squad. Dalam transaksi jual beli kendaraan, biasanya bea materai harus ada pada dokumen penjualan seperti surat pernyataan dan kwitansi pembelian.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai, dijelaskan bahwa objek bea materai ialah kertas yang isinya tulisan dengan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak lain yang berkepentingan. Intinya ialah sebuah dokumen yang menyatakan nominal dan memiliki sifat perdata.

6. Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Kalau kamu nanti sudah bisa membeli rumah, kamu akan dibebankan pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Mudahnya BPHTB dapat dimaknai sebagai bea pembeli. “Kalau dapat rumah dari sebuah hadiah gimana tuh?”

Dalam bunyi pasal 2 BPHTB, yang menjadi objek BPHTB ialah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi:

- jual-beli - Penggabungan usaha

- tukar-menukar - Peleburan usaha, dan

- hibah - Hadiah

(11)

2.4 Tarif Pajak

Tarif pajak adalah dasar pengenaan pajak atas objek pajak yang menjadi tanggung jawab Wajib Pajak (WP). Besarnya tarif pajak ini dalam bentuk persentase yang ditetapkan oleh pemerintah.

· Jenis-Jenis Tarif Pajak

Ada beberapa jenis tarif pajak dan setiap jenis pajak pun memiliki nilai tarif yang berbeda-beda. Apa saja jenis-jenis tarif pajak ini, berikut penjelasan lengkapnya:

1. Tarif Pajak Proporsional

Tarif pajak proporsional merupakan tarif yang persentasenya tetap meski terjadi perubahan terhadap dasar pengenaan pajak. Dengan begitu, seberapa besarnya jumlah objek pajak, persentasenya akan tetap.

Contohnya adalah PPN yang persentasenya 10% dan PBB dengan tarif 0,5%. 2. Tarif Pajak Tetap

Tarif pajak tetap atau yang nama lainnya tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang nominalnya tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya (tidak berubah-ubah).Tarif pajak tetap juga dapat diartikan sebagai tarif pajak yang akan selalu sama sesuai dengan peraturan yang berlaku. Contohnya, Bea Meterai dengan nilai Rp3000 dan Rp6000.

Tapi, tarif bea meterai ini mulai 2021 berlaku meterai elektronik. Bea meterai terbaru naik menjadi Rp10.000 dan merupakan single tarif.

3. Tarif Pajak Progresif

Jenis tarif pajak progreif ini, persentase tarifnya semakin besar mengikuti besaran nilai objek yang dikenai pajak.Artinya, semakin besar nilai objek pajak, maka semakin besar pula tarifnya.

Tarif pajak progresif ini dipecah lagi menjadi tiga, yaitu: a) Tarif progresif-progresif

Tarif progresif-progresif adalah jenis tarif progresif yang kenaikan persentasenya semakin besar atau persentase akan naik sebanding dengan dasar pengenaan pajaknya.

Di Indonesia, tarif pajak progresif ini diberlakukan untuk PPh WP individu (pribadi) yakni:

Penghasilan kena pajak (gaji) sampai Rp50.000.000, tarif pajaknya 5%

Penghasilan kena pajak lebih dari Rp50.000.000 – Rp250.000.000, tarif pajaknya 15%

Penghasilan kena pajak lebih dari Rp250.000.000 – Rp500.000.000, tarif pajakya 25%

Penghasilan kena pajak di atas Rp500.000.000, tarif pajaknya 30% b) Tarif pajak progresif-tetap

Tarif progresif-tetap adalah jenis tarif progresif yang kenaikan persentasenya tetap.

c) Tarif progresif-degresif

Tarif progresif-degresif adalah jenis tarif progresif yang kenaikan persentasenya semakin menurun (degresif).

(12)

4. Tarif Pajak Degresif

Tarif pajak degresif ini kebalikan dari tarif pajak progresif.

Tarif pajak degresif adalah nilai persentasenya semakin kecil jika nilai objek yang dikenai pajak semakin besar. Atau, persentase tarif pajak akan semakin rendah ketika dasar pengenaan pajaknya semakin meningkat. Dengan begitu apabila persentasenya semakin kecil, jumlah pajak terutang tidak ikut mengecil. Akan tetapi, bisa jadi lebih besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya semakin besar.

Ada tiga jenis tarif pajak degresif, yaitu: - Tarif Degresif-Degresif

Tarif pajak degresif-degresif adalah jenis tarif degresif yang penurunan persentase tarifnya semakin kecil.

- Tarif Degresif-Tetap

Tarif pajak degresif-tetap adalah jenis tarif degresif yang penurunan persentasenya tetap.

- Tarif Degresif-Progresif

Tarif pajak degresif-progresif adalah jenis tarif degresif yang penurunan persentase tarifnya makin besar.

5. Tarif Pajak Ad Valorem

Tarif pajak ad valorem adalah tarif dengan persentase khusus yang dikenakan pada harga suatu barang.

Untuk memudahkan pemahaman tarif pajak ad valorem ini, berikut contohnya:

Perusahaan AAA mengimpor barang sebanyak 100 unit komputer dengan harga per unit Rp10 juta. Jika tarif bea masuk impor barang tersebut 20%, maka nilai bea masuk yang harus dibayarkan adalah:

Nilai barang impor = Jumlah Unit x Harga Per Unit = 100 x Rp10.000.000

= Rp1.000.000.000

Bea Masuk =Tarif Bea Masuk x Nilai Barang Impor = 20% x Rp1.000.000.000

= Rp200.000.000

Note: Untuk mengetahui contoh penghitungan PPN, Bea Masuk dan PDRI, selengkapnya baca Cara agar Barang Impor Bebas PPN Bea Masuk

(13)

6. Tarif Pajak Spesifik

Seperti namanya, tarif pajak spesifik adalah tarif pajak dengan jumlah tertentu dan dikenakan pada suatu barang atau jenis barang tertentu.

Contoh kasus,

PT. AAA di Indonesia mengimpor mobil sedan dari Amerika Serikat sebanyak 100 unit. Apabila harga satu mobil tersebut Rp100.000.000 dan tarif bea masuk atas impor barang Rp20.000.000 per unit, maka jumlah bea masuk yang harus dibayarkan oleh perusahaan tersebut sebagai berikut:

Jumlah mobil yang diimpor: 100 unit Tarif bea masuk Rp20.000.000

Jumlah bea masuk yang harus dibayarkan = Tarif Bea Masuk Per Unit x Jumlah Mobil = Rp10.000.000 x 100

= Rp1.000.000.000

2.5 Penyetoran dan Pelaporan PPN

 Yang Wajib Membayar/Menyetor dan Melapor PPN/PPnBM 1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)

2. Pemungut PPNN/PPnBM, adalah:

- Kantor perbendaharaan dan kas negara - Bendaharawan pemerintah pusat dan daerah - Direktorat jendral bea dan cukai

- Pertamina - BUMN/BUMD

- Kontraktor bagi hasil dan kontrak karya bidang migas dan pertambangan umum lainnya

- Bank pemerintah

- Bank pembangunan daerah

- Perusahaan operator telepon selular  Yang Wajib Disetor

1. Oleh PKP adalah :

a) PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran. Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, bila Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.

b) PPnBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah

c) PPN/PPnBM yang ditetapkanoleh Direktorat Jenderal Pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).

2. Oleh pemungut PPN/PPnBM adalah PPN/PPnBM yang dipungut oleh pemungut PPN/PPnBM

 Tempat Penyetoran Pajak : 1. Kantor Pos dan Giro

2. Bank Pemerintah, kecuali BTN 3. Bank Pembangunan Daerah 4. Bank Devisa

(14)

6. Kantor Direktorat Jendral Bea dan Cukai, khusus untuk impor tanpa LKP  Saat Penyetoran PPN/PPnBM

1. PPn dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak.

Contoh : Masa Pajak Januari 2002, penyetoran paling lambat tanggal 15 pebruari 2002

2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/ disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut. 3. PPN / PPnBM atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea

Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor.

4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh :

a) Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal 7 (tujuh) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

b) Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

c)

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas impor, harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan 5. PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus

dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus  Sarana Penyetoran PPN/PPnBM

1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) di seluruh Indonesia.

2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/PPnBM yang disetorkan telah sesuai dengan yang tercantum di dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak (DNWP) yang dibuat oleh: Bank penerima pembayaran, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.

 Saat Pelaporan

1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.

(15)

a) Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.

b) Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. c) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara mingguan

selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir. 4. Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung

sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

CATATAN! (Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo.)

(16)

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah pajak yang dikenakan dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun berjalan. Pembayaran, pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan Final (PPh Final) yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri bukan merupakan pembayaran dimuka atas PPh terutang akan tetapi merupakan pelunasan PPh terutang atas penghasilan tersebut, sehingga wajib pajak dianggap telah melakukan pelunasan kewajiban pajaknya.

Pajak final terdiri dari :

1) Penghasilan wajib pajak yang bergerak di bidang usaha pelayaran dalam negeri 2) Hadiah undian

3) Bunga obligasi 4) Usaha jasa kontruksi

5) Bunga simpanan anggota koperasi 6) Diskonto obligasi

7) Uang pesangon

8) Uang mamfaat pension

9) Persewaan tanah dan bangunan 10)Penyaur/dealer

11)Penghasilan wajib pajak yang bergerak di bidang usaha pelayaran atau penerbangan luar negeri

12)Penghasilan wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia

13)Honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun atas beban APBN/APBD yang diterima pejabat negara, PNS, anggota TNI, Polri, dan pensiunan

14)Nilai bangunan yang diterima dalam rangka Bangun Guna Serah sehubungan dengan berakhirnya masa perjanjian

15)Penjualan saham milik perusahaan modal ventura 16)Selisih penilaian kembali aktiva

17)Diskonto surat utang negara (SPBN dan ORI)

18)Penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa

19)Dividen yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi 20)Penghasilan istri semata-mata dari satu pemberi kerja

3.2 Daftar Pustaka

http://okta-wiskey.blogspot.com/2016/03/pph-final.html https://www.online-pajak.com/tentang-pajakpay/tarif-pajak

Referensi

Dokumen terkait

PPh Tahunan Pasal 21 adalah uang muka PPh Tahunan WP Orang Pribadi dalam negeri yang dikenakan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri khusus atas penghasilan yang dikenakan

Dalam tradisi civil law, adanya pengaturan pertanggungjawaban pajak dalam peraturan perundang-undangan perpajakan adalah merupakan mekanisme yang sudah umum yang memang dengan

l. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23. Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan

b) Nilai dalam Penggunaan merupakan nilai yang dimiliki oleh suatu properti tertentu bagi penggunaan tertentu untuk seorang pengguna tertentu dan oleh karena itu tidak berkaitan

Selain itu, alasan beberapa negara berkembang menawarkan insentif pajak antara lain sebagai penyeimbang dari adanya kelemahan dalam sistem pajak yang berlaku di negara tersebut,

Apabila dalam tahun pajak berjalan Wajib Pajak mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% (seratus

Selanjutnya, atas penghasilan dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri akan dipotong PPh Pasal 4 ayat 2 yang bersifat final sebesar 10%

PPH Pasal 23 dalam artian luas adalah Pajak yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak dalam negeri serta badan usaha tetap dengan nama dan