• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PERPAJAKAN PENINGKATAN KEPATUHAN PEMUNGUTAN WAJIB PAJAK DI INDONESIA : ANDHIKA WAHYUDIONO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH PERPAJAKAN PENINGKATAN KEPATUHAN PEMUNGUTAN WAJIB PAJAK DI INDONESIA : ANDHIKA WAHYUDIONO"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PERPAJAKAN

“MENINGKATKAN KEPATUHAN

PEMUNGUTAN WAJIB PAJAK DI INDONESIA”

DOSEN MATAKULIAH :

ANDHIKA WAHYUDIONO, S.Pd., M.Pd

KELOMPOK 2

DEWI WAHYUNING PUTRI / 21201738

REINA OKTAVIA DAMAYANTI T. / 21201750

RISKA VEREN SEPTRIANA / 21201734

ZULFIA ANDRIYANI / 21201754

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945

BANYUWANGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

ADMINISTRASI PUBLIK

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan, pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut dikumpulkan dari segenap potensi sumber daya yang dimiliki suatu negara, baik berupa hasil kekayaan alam maupun iuran dari masyarakat. salah satu bentuk iuran masyarakay adalah pajak. Sebagai salah satu unsur penerimaan negara, pajak memiliki peran yang sangat besar dan semakin diandalkan untuk kepentingan pembangunan dan pengeluaran pemerintahan.

Kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan negara diharapkan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu penyebab peningkatan penerimaan pajak adalah karena sejak 1984, pemerintah memberlakukan reformasi perpajakan dengan menerapkan sistem self assessment dalam pemungutan pajak. Berbeda dengan sistem pemungutan pajak sebelumnya, yaitu official assessment system. Sistem self assessment memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan seluruh pajak yang menjadi kewajibannya. Dengan kata lain, wajib pajak menentukan sendiri besarnya pajak yang terhutang.

Sebagaimana diketahui pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting dalam menopang keberlanjutan pembangunan suatu negara. Dalam hal ini Jones (2002) mengemukakan pajak sebagai “ A ta x can b e defined simply a s a

payment to support th e cost of government. A ta x differ from a fine o r penalty imposed b y a government because a ta x i s n o t intended to deter o r punish unacceptable behavior. O n th e other hand, taxes a re compulsory, anyone subject to a ta x i s n o t free to choose whether o r n o t to pay” .

Berdasarkan pada pemahaman tersebut pajak pada dasarnya merupakan sebuah proses transfer pembayaran dari wajb pajak untuk mendukung pembiayaan dan pengeluaran pemerintah dalam pembangunan. Melalui pajak akan dapat dilakukan optimalisasi penerimaan negara yang bersumber dari kemampuan dalam negeri dalam pembiayaan pembangunan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi pembangunan nasional dewasa ini. Setiap tahun anggaran pemerintah senantiasa berusaha untuk meningkatkan penerimaan pajak guna membiayai pembangunan yang dilaksanakan. Semakin besar penerimaan negara dari pajak, maka semakin besar pula kemampuan keuangan negara dalam pembiayaan pembangunan. Sebaliknya semakin kecil penerimaan negara dari pajak, maka semakin kecil pula kemampuan negara dalam pembiayaan pembangunannya. Dalam hal ini membayar pajak dapat dipahami sebagai kerelaan seseorang atas pemanfaatan/kepemilikan terhadap obyek tertentu untuk memberikan imbal balik dalam bentuk keuangan untuk diterimakan kepada negara sebagai fiskus. Dalam pemanfaatan pajak tersebut, pajak dapat berfungsi sebagai regulerend budgetair dan stabilitas. Ditinjau dari fungsi budgeter, pajak adalah alat untuk mengumpulkan dana yang nantinya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah terutama pengeluaranpengeluaran rutin. Pada umumnya pengeluaran-pengeluaran pemerintah mencakup pengeluaran-pengeluaran rutin dan pengeluaran-pengeluaran pembangunan (public investment). Sedangkan dilihat dari fungsinya sebagai pengatur (regulerend), maka menurut Brotodihardjo (1993: 205) pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan dan fungsi mengatur ini banyak ditujukan kepada sektor swasta. Sedangkan fungsi stabilitas mengandung arti bahwa pajak yang ada dapat menjamin stabilitas perekonomian suatu negara.

(3)

Berbeda dengan pemahaman pajak diatas maupun teori-teori pajak lainnya, pengertian pajak dalam undang-undang perpajakan Indonesia secara eksplisit memasukkan kata kemakmuran rakyat dalam definisinya. Hal ini sesuai dengan makna dari pajak itu sendiri adalah untuk kemakmuran rakyat. Ini berarti prinsip-prinsip pengenaan pajak yang adil, kepastian hukum dan ekonomis mendapat tempat didalam kata kemakmuran atau kesejahteraan, dan ini menandakan fungsi pajak lainnya yaitu fungsi mengatur sudah dimasukkan dalam pengertian ini. Dengan demikian ( by definition) ada keterkaitan antara pajak dengan kemakmuran masyarakat bahkan sudah dijamin dalam Undangundang, dan karenanya seluruh tata kelola anggaran yang transparan dan efisien haruslah menjadi prasyarat terlaksananya kemakmuran dimaksud. Sehingga melalui effek multiplier anggaran yang berasal dari pajak dapat benarbenar menjadi kongkrit dalam bentuk kesejahteraan dimaksud.

Namun demikian di dalam praktek, pajak tidak dengan sendirinya secara otomatis ( take for granted) dapat dipungut sedemikian rupa dari masyarakat secara sukarela sehingga kemudian dapat digunakan sebagai investasi yang mendorong kesejahteraan. Bagi sebagian besar masyarakat, pajak masih dianggap sebagai sebuah ” beban” dan ”biaya” yang harus ditanggung dalam kegiatan ekonominya. Perlu dipahami, pajak memang mengurangi konsumsi seseorang sebagai akibat berkurangnya disposable income sebesar pajak yang dipungut , namun untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, pengenaan pajak tidak berarti mengurangi kesejahteraan seseorang (Cullis and Jones 1992: 172). Pandangan ini perlu dipertahankan karena dengan adanya pajak, transfer penghasilan dari masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih akan mengalir kepada masyarakat yang kurang, sehingga peran pajak sebagai alat pemerataan pembangunan dalam upaya menegakkan keadilan dapat terlaksana. Walaupun pajak mengurangi konsumsi individu, namun pengenaan pajak diiringi dengan pengeluaran atau pembelian pemerintah, ternyata melalui effek multiplier dapat meningkatkan pendapatan nasional yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat (Dornbusch and Fischer 1994: 80). Pengertian ini tentu belum secara luas dimaknai secara benar oleh masyarakat sehingga dalam praktek pemungutan pajak yang dilakukan pemerintah menghadapi kendala besar. Kesenjangan pemahaman tentang pajak di Indonesia masih sangat besar terbukti masih sangat rendahnya tingkat kepatuhan pajak di Indonesia dibawah 50 %, dibanding negara-negara Asean yang sudah mencapai rata- rata 70% keatas.

Berdasarkan pemahaman inilah ternyata masalah besar dalam perpajakan adalah terletak pada sejauh mana kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai perundang-undangan yang berlaku. Adalah benar banyak faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak antara lain faktor ekonomi makro, efektifitas sistim perpajakan yang dilaksanakan, perdagangan, iklim dunia bisnis dan usaha, namun sebagaimana dinyatakan oleh Trivedi and Lynn (2003), bahwa kepastian adanya kepatuhan pajak ( tax compliance) yang tinggi adalah tujuan utama yang sangat penting bagi pemerintah dalam upaya pendanaan untuk membiayai pengeluaran publik dan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kepatuhan pajak adalah faktor yang terpenting dari seluruh faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak. Kasadaran masyarakat yang tinggi akan mendorong semakin banyak masyarakat memenuhi kewajibannya untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, melaporkan dan membayar pajaknya dengan benar sebagai wujud tanggung jawab berbangsa dan bernegara. Semakin besar tingkat kepatuhan masyarakat membayar pajak maka penerimaan pajak akan semakin meningkat, (James and Nobes 1997: 137). Kepatuhan pajak tersebut mencerminkan tingkat kerelaan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Peranan pajak terhadap pendapatan negara sangat dominan pada masa sekarang ini. Hal ini dikarenakan salah satu fungsi pajak diantaranya adalah penerimaan (budgetair),

(4)

yaitu pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Selain itu, membayar pajak adalah kewajiban warga negara sehingga pemerintah bisa menyediakan sarana publik dengan layak dan pemerataan kekayaan (Wahl et al, 2010).

Peningkatan penerimaan pajak tersebut ternyata belum optimal, karena nilai tax ratio Indonesia masih tergolong rendah. Tax ratio adalah rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (Wibowo, 2003), atau merupakan perbandingan antara realisasi penerimaan pajak dengan pendapatan nasional. Rendahnya kepatuhan pajak adalah sebuah masalah yang harus diperhatikan dengan serius pada berbagai negara yang sedang berkembang. Terbatasnya kapasitas pemerintah pada negara sedang berkembang untuk meningkatkan penerimaan guna merealisasikan tujuan pembangunan.

Potensi ketidakpatuhan wajib pajak pribadi dalam membayar pajak banyak dijumpai kasusnya di lapangan, sebagai contoh adalah adanya wajib pajak pribadi yang memiliki lebih dari satu usaha, tetapi pajak yang dibayarkan hanya dari penerimaan salah satu usahanya saja, sehingga penerimaan dari usaha yang lainnya tidak dikenai pajak. Kasus yang lainnya adalah adanya wajib pajak yang melaporkan penerimaan dari usahanya lebih kecil dari yang sebenarnya, sehingga pajak yang terhutang akan lebih sedikit.

Sistem self assessment menuntut adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam pemenuhan kewaiban perpajakannya. Kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari wajib pajak merupakan faktor terpenting dari pelaksanaan sistem tersebut. Harahap (2004: 43) menyatakan bahwa dianutnya sistem self assessment membawa misi dan konsekuensi perubahan sikap (kesadaran) warga masyarakat untuk membayar pajak secara sukarela (voluntary compliance). Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung sistem self assessment. Wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut (Devano, 2006: 110).

Salah satu upaya dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak adalah memberikan pelayanan yang baik kepada wajib pajak. Peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kepada wajib pajak sebagai pelanggan sehingga meningkatkan kepatuhan dalam bidang perpajakan. Paradigma baru yang menempatkan aparat pemerintah sebagai abdi negara dan masyarakat (wajib pajak) harus diutamakan agar dapat meningkatkan kinerja pelayanan publik.

Aparat pajak harus senantiasa melakukan perbaikan kualitas pelayanan dengan tujuan agar dapat meningkatkan keuasan dan kepatuhan wajib pajak. Upaya peningkan kualitas pelayanan dapat dilakukan dengan cara peningkatan kualitas dan kemampuan teknis pegawai dalam bidang perpajakan, perbaikan infrastruktur deperti perluasan tempat pelayanan terpadu (TPT), penggunaan sistem informasi dan teknologi untuk dapat memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Maraknya penggelapan pajak (ta x evasion) dan penghindaran pajak (ta x avoidance) yang sangat merugikan penerimaan negara yang dilakukan oleh suatu Wajib Pajak (WP) tertentu, baik dalam skala internasional maupun skala nasional, memperlihatkan belum maksimalnya penerapan pertanggungjawaban WP dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, khususnya di Indonesia. Timbulnya ketidakmaksimalan ini tidak terlepas dari adanya kesempatan WP dalam memanfaatkan loophole aturan, terutama yang belum mengantisipasi perkembangan pertanggungjawaban yang pada saat ini bukan hanya sebatas berdasarkan kesalahan (based o n fault), namun dalam hal-hal tertentu seharusnya telah dapat menerapkan doktrin pertanggungjawaban lainnya seperti pertanggungjawaban mutlak (strict liability).

Maraknya ta x evasion dan ta x avoidance secara terencana dan terstruktur dalam skala internasional dapat dilihat dari beberapa fakta seperti terungkapnya sekitar 214.488

(5)

entitas pribadi dan korporasi di 21 negara ta x havens dalam “panama papers” yang memuat bukti 11,5 juta dokumen yang berasal dari lebih 50 negara (termasuk Indonesia), dimana Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah mengindikasikan sebelumnya bahwa terdapat kerugian yang diakibatkan oleh terjadinya transaksi perpajakan internasional yang mencapai sekitar 4%-10% dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan global atau sekitar AS$100-$240 milyar per tahun. Sedangkan maraknya ta x evasion dan ta x avoidance dalam skala nasional dapat dilihat dari beberapa kasus seperti putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam pidana pajak

T ax Manager 14 perusahaan grup AA yang merugikan pendapatan Negara sebesar Rp.

1,25 triliun dan denda pidana lebih dari Rp.2,5 triliun, 5 dan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap terdakwa TKB alias W dan bersama-sama dengan terdakwa E dan S yang terbukti menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari 22 perusahaan sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara sekurang-kurangnya sebesar Rp. 168,13 milyar. Bahkan, Jahanzeb Naseer menaksir adanya sekitar AS$200 milyar kekayaan orang-orang Indonesia yang ditempatkan di negara-negara offshore.

Selain itu, terjadinya tax evasion dan tax avoidance ini disebabkan adanya manfaat yang diterima oleh pihak-pihak tertentu WP yang dalam hubungan keagenan (agency

relationship) dikenal sebagai pihak prinsipal (principal). Manfaat yang diterima oleh

prinsipal ini tidak dapat terlepas dari dukungan dan atau bantuan pegawainya atau dikenal dengan istilah agen (agent) yang merupakan “gatekeeper”, pihak yang bertanggungjawab kepada prinsipal dalam mencegah terjadinya pelanggaran dalam kegiatan usaha. Hal ini ditegaskan oleh Laffont dan Tirole 13 dan Privileggi et.al yang menyatakan bahwa “gatekeeper”, demi kepentingan prinsipal, berperan dalam penghindaran pajak dengan melakukan manipulasi akuntansi, kemudian Chyz dan White15 dan Desai dan Dharmapala juga menegaskan bahwa terjadinya penghindaran pajak sangat berhubungan dengan kinerja pembukuan dan tata kelola perusahaan yang merupakan upaya manajerial dalam meningkatkan nilai perusahaan yang pada dasarnya akan dinikmati oleh para pemegang saham.

Penerimaan perpajakan merupakan salah satu pilar utama penerimaan dalam APBN yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara dalam rangka pembangunan nasional. Meskipun demikian, penerimaan perpajakan di Indonesia masih rendah ditunjukkan dengan tax ratio Indonesia baru sekitar 12,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada APBN 2010 (El Hida, 2010). Angka ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu mengakui target kenaikan tax ratio hingga 16% dari PDB pada tahun ini suatu hal yang mustahil karena masih banyaknya kebocoran.

Pengamat ekonomi Faisal Basri menyatakan berbagai masalah yang menyebabkan rendahnya tax ratio ini antara lain kesadaran masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah, pelayanan pajak yang buruk, dan perilaku korupsi dari aparat pajak sendiri (Maulidin, 2009). Berbagai kasus skandal pajak yang melibatkan aparat pajak akhirakhir ini mungkin akan menyebabkan semakin rendahnya penerimaan perpajakan. Masalah perpajakan lain di Indonesia adalah rendahnya penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi. Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Mochammad Tjiptardjo menyatakan bahwa, sampai sekarang, penerimaan PPh badan mencapai 70% dari keseluruhan pendapatan pajak sementara PPh orang pribadi hanya 30%. Kondisi ini terbalik jika dibandingkan dengan negara-negara makmur seperti Eropa di mana penerimaan dari PPh orang pribadi jauh diatas PPh badan.

Adanya berbagai masalah perpajakan pada saat ini, terutama yang disebabkan oleh perilaku korupsi aparat pajak, dikhawatirkan akan menyebabkan keengganan masyarakat untuk membayar pajak. Oleh karena itu, diperlukan sebuah studi tentang dampak

(6)

berbagai kasus pajak tersebut pada moral pajak (tax morale) dan ketaatan pajak (tax compliance) masyarakat. Belum optimalnya penerimaan PPh orang pribadi juga memerlukan sebuah studi dan pen gembang an model moral dan kepatuban pajak untuk mengatasi masalah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas maka dapat disimpulkan rumusan masalah dari makalah ini adalah :

1. Bagaimana pentingnya pemungutan wajib pajak yang dilakukan di Indonesia ? 2. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak di Indonesia

dan faktor-faktor penghambatnya ?

3. Bagaimana cara untuk meningkatkan kualitas pelayanan guna menambah kesadaran dan kepatuhan wajib pajak ?

4. Bagaimana pertanggungjawaban mutlak wajib pajak di Indonesia ?

5. Bagaimana penegakkan hukum perpajakan terhadap wajib pajak di Indonesia ?

1.3

Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pentingnya pemungutan wajib pajak yang dilakukan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak di Indonesia dan faktor-faktor penghambat wajib pajak untuk membayarkan pajaknya. 3. Untuk mengetahui cara untuk meningkatkan kualitas pelayanan guna menambah

kesadaran dan kepatuhan wajib pajak membayarkan pajaknya.

4. Untuk mengetahui pertanggungjawaban mutlak wajib pajak di Indonesia.

5. Untuk mengetahui penegakkan hukum perpajakan terhadap wajib pajak di Indonesia.

(7)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pentingnya Pemungutan Wajib Pajak di Indonesia

Pajak merupakan iuran wajib yang dibayar rakyat kepada negara tanpa kontraprestasi secara langsung dan akan digunakan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat umum (Mardiasmo: 2011). Menurut Siti Resmi (2013), pajak mempunyai dua fungsi penting dalam perekonomian suatu negara. Pertama, pajak merupakan salah satu sumber dana pemerintah untuk melakukan pembangungan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kedua, pajak berfungsi sebagai alat yang mengatur kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang sosial ekonomi.

Penerimaan pajak mengalami peningkatan yang cukup signifikan baik dalam jumlah nominal maupun presentase terhadap jumlah keseluruhan pendapatan negara. Di sisi lain, presentase wajib pajak masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk di Indonesia. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk membayar pajak masih rendah.

Menurut Widayati dan Nurlis yang dikutip dalam penelitian Ramadiansyah, Sudjana, dan Dwiatmanto (2014), menguraikan bahwa beberapa bentuk kesadaran membayar pajak yang mendorong Wajib Pajak untuk membayar pajak salah satunya adalah kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara. Pemahaman masyarakat mengenai peraturan perpajakan sangatlah penting, hal tersebut akan mendorong kesadaran masyarakat terutama Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Masruroh Siti dan Zulaikha (2013), yang menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman peraturan perpajakan merupakan proses Wajib Pajak untuk mengetahui dan mengaplikasikan pengetahuan tersebut untuk membayar pajak.

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangungan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Disisi lain, pajak juga sangat penting dalam mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Selain itu, pajak juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Fungsi pajak antara lain, yaitu :

2.1.1 Fungsi Anggaran (Budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini, pajak dgunakan untuk pembiayaan rutin, seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

2.1.2 Fungsi Mengatur (Regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajakl bisa digunakan sebagai alat untuk mencapat tujuan. Contohnya, dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

(8)

2.1.3 Fungsi Stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga indlasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara yaitu dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

2.1.4 Fungsi Retribusi Pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. setiap warga negara mulai saat dilahirkan samapai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian, jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.

Banyaknya masyarakat yang belum taat membayar pajak disebabkan minimnya infrmasi masyarakat mengenai manfaat pajak. Padahal membayar pajak merupakan hal penting bagi negara. Adapun beberapa manfaat pajak, yaitu :

a. Pajak Merupakan Sumber Utama Penerimaan Negara

Seperti perekonomian dalam rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang menyumbang sekitar 70% dari seluruh penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara akan sulit untuk dilaksanakan.

b. Membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, seperti pengeluaran yang bersifat self liquiditing. Contohnya yaitu pengeluaran untuk proyek produktif barang ekspor.

c. Membiayai pengeluaran reproduktif, seperti pengeluaran yang memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat. Contonya yaitu pengeluaran untuk pengairan dan pertanian. d. Membiayai pengeluaran yang bersifat tidak self liquiditing dan tidak reproduktif.

Contohnya yaitu pengeluaran untuk pendirian monumen dan objek rekreasi.

e. Membiayai pengeluaran yang tidak produktif. Contohnya yaitu pengeluaran untuk membiayai pertahanan negara atau perang dan pengeluaran untuk penghematan di masa yang akan datang, ayitu pengeluaran untuk anak yatim piatu.

Selain pajak bermanfaat bagi negara, pajak juga mempunyai timbal balik keuntungan bagi masyarakat yang melalui program-program pemerintah, seperti :

a. Fasilitas umum dan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit. b. Pertahanan dan keamanan, seperti bangunan, senjata, perumahan hingga gaji-gajinya. c. Subsidi pangan dan Bahan Bakar Minyak.

d. Kelestarian lingkungan hidup dan budaya. e. Dana pemilu.

f. Pengembangan alat transportasi massa.

Pajak yang telah disetorkan masyarakat akan digunakan negara untuk kesejahteraan masyarakat, antara lain memberi subsidi barang-barang yang dibutuhkan masyarakat dan membayar utang-utang negara. Selain itu, pajak juga digunakan untuk menunjang usaha Mikro, Kecil, dan Menengah agar perekonomian dapat terus berkembang.

(9)

Sistem pemungutan pajak merupakan sebuah mekanisme yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayar wajib pajak ke negara. Menurut Mardiasmo (2011), penerapan sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga sistem, yaitu :

2.1.1 Official Assessment System

Official Assessment System merupakan penerapan sistem pemungutan pajak yang

memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh setiap wajib pajak. Dalam sistem pemungutan pajak Official

Assessment, wajib pajak bersifat pasif dan pajak terutang baru ada setelah

dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Sistem pemungutan pajak ini bisa diterapkan dalam pelunasan Pajak Bumi Bangunan (PBB) atau jenis pajak daerah lainnya. Dalam pembayaran PBB, KPP merupakan pihak yang mengeluarkan suat ketetapan pajak yang berisi besaran PBB terutang setiap tahunnya. Jadi, wajib pajak tidak perlu lagi menghitung pajak terutang melainkan cukup membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP tempat objek pajak terdaftar. Ciri-ciri sistem perpajakan Official Assessment System, yaitu :

· Besarnya pajak terutang dihitung oleh petugas pajak.

· Wajib pajak sifatnya pasif dalam perhitungan pajak mereka.

· Pajak terutang ada setelah petugas pajak menghitung pajak yang terutang dan menerbitkan suat ketetapan pajak.

· Pemerintah memiliki hak penuh dalam menentukan besarnya pajak yang wajib dibayarkan.

2.1.2 Self Assessment System

Self Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang membebankan

penentuan besaran pajak yang perlu dibayarkan oleh wajib pajak yang bersangkutan. Dengan kata lain, wajib pajak merupakan pihak yang berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan besaran pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui sistem administrasi online yang sudah dibuat oleh pemerintah.

Peran pemerintah dalam sistem pemungutan pajak ini adalah sebagai pengawas dari para wajib pajak. Self Assessment System diterapkan pada jenis pajak pusat. Contohnya adalah jeni pajak PPN dan PPh. Sistem pemungutan pajak yang satu ini mulai diberlakukan di Indonesia setelah masa reformasi pajak pada 1983 dan masih berlaku hingga saat ini. namun, terdapat konsekuensi dalam sistem pemungutan pajak ini. Karena wajib pajak memiliki wewenang menghitung sendiri besaran pajak terutang yang perlu dibayarkan, maka wajib pajak biasanya akan mengusahakan untuk menyetorkan pajak sekecil mungkin. Adapun ciri-ciri sistem pemungutan pajak Self

Assessment System, yaitu :

· Penentuan besaran pajak terutang dilakukan oleh wajib pajak itu sendiri.

· Wajib pajak berperan aktif dalam menuntaskan kewajiban pajaknya mulai dari menghitung, membayar, hingga melaporkan pajak.

· Pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak, kecuali jika wajib pajak telat lapor, telat bayar pajak terutang, atau terdapat pajak yang seharusnya wajib pajak bayarkan namun tidak dibayarkan.

2.1.3 Withholding System

Pada Withholding System, besarnya pajak dihitung oleh pihak ketiga yang bukan wajib pajak dan bukan juga aparat pajak atau fiskus. Contoh dari pemungutan sistem ini adalah pemotongan penghasilan karyawan yang dilakukan oleh bendahara instansi terkait. Jadi, karyawan tidak perlu lagi pergi ke KPP untuk membayarkan pajak tersebut. Jenis pajak yang menggunakan Withholding System di Indoneisa adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), dan PPn.

(10)

Negara kita sangat membutuhkan Pajak untuk membiayai keperluannya. Pembangunan infrastruktur seperti misalnya jalan, jembatan, kemudian subsidi untuk makanan, beras, benih, pupuk, belanja pegawai, seperti gaji guru, polisi, tentara dan juga bantuan spsial untuk keluarga miskin, pendidikan membutuhkan banyak kontribusi dari penerimaan pajak. Melihat kondisi ini, rasanya kita perlu untuk kembali menyadari betapa krusialnya pajak untuk membiayai negara kita yang sangat besar dengan jumlah penduduk yang sangat banyak. Yang perlu dijaga kedepannya adalah konsistensi dari semuanya, karena kegiatan sosialisasi dan peningkatan pemahaman atau kesadaran bukan suatu hal yang bisa dilakukan sekali dua kali, tetapi harus berulang-ulang. Semoga kesadaran masyarakat dan Wajib Pajak akan terus meningkat, sehingga apa yang dicita-citakan, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur bisa tercapat dan target juga tercapai karena Pajak Milik Bersama.

(11)

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia

Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang baru, definisi Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak dibedakan menjadi dua, yaitu wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Wajib pajak pribadi adalah subjek pajak yang memiliki penghasilan tidak bebas (karyawan) yang penghasilannya di atas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu Rp. 15.840.000,-. Di Indonesia, setiap orang wajib mendaftarkan diri dan mempunyai NPWP yang berguna untuk sarana dalam administrasi perpajakan, tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Menurut Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 dalam Sony dan Siti (2006), menyatakan bahwa, “Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara”. Disimpulkan bahwa kepatuhan Wajib Pajak itu adalah sikap yang taat, disiplin, dan patuh yang dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap perundang-undangan perpajakan dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya. Untuk memenuhi tersebut, ada beberapa faktor yang mempengaruhi bahwa melakukan pembayaran pajak secara berkala adalah suatu hal yang sangat penting.

Ismawan (2001: 82) mengemukakan prinsip administasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela. Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung sistem self assessment dimana wajib pajak bertanggungh jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudia secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut. Kepatuhan perpajakan yang dikemukakan oleh Norman D. Nowak sebagai “suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi sebagai berikut :

a. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.

Kepatuhan sebagai fondasi self assesment dapat dicapai apabila elemen-elemen kunci telah diterapkan secara efektif. Elemen-elemen kunci tersebut adalah sebagai berikut :

a. Program pelayanan yang baik kepada wajib pajak. b. Prosedur yang sederhana dan memudahkan wajib pajak. c. Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif. d. Pemantapan la w enforcement secara tegas dan adil.

Ada dua macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai dengan isis dan jiwa Undang-Undang perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000, wajib pajak dimasukkan dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam

dua tahun terakhir.

b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsung atau menunda pembayaran pajak.

c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir.

(12)

d. Dalam dua tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak yang terutang paling banyak 5%.

e. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat yang wajar tanpa pengecualian atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan auditnya harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) yang menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal.

Faktor yang mempengaruhi Wajib Pajak di Indonesia ada 4, yaitu : 2.2.1 Faktor Kesadaran Perpajakan

Kesadaran pajak ini tidak sama dengan sikap patuh tanpa sikap kritis. Semakin rakyat maju dan pemerintahannya juga maju, rakyat akan semakin tinggi kesadaran pajaknya namun dipihak lain rakyat akan semakin kritis, tapi bukan mengritisi keberadaan pajak itu sendiri sebagai sebuah instrumen, melainkan kritis terhadap materi kebijakan di bidang perpajakannya, yakni tarif dan perluasan subjek objeknya.

Sampai kapanpun tidak akan pernah terjadi keadaan dimana seluruh rakyat memiliki kesadaran membayar pajak, pasti akan masih tersisa sebagian kecil yang tidak mau membayarkan pajaknya. Apabila tidak membayarkan pajak, pasti ada sanksi dan hukuman yang berlaku. Namun secara normatif, tidak etis dilakukan generalisasi bahwa orang membayar pajak motif utamanya adalah menghindari sanksi atau hukuman.

Apabila rakyat tertib melakukan pembayaran pajaknya secara berkala, maka fasilitas yang akan didapatkanpun semakin banyak dan canggih. Selain itu, mereka juga akan terhindar dari sanksi-sanksi apabila mereka telat membayarkan pajak. Indikator kesadaran perpajakan ditujukan dengan :

· Mengetahui Fungsi Pajak

· Kesadaran Membayar Pajak 2.2.2 Faktor Petugas Pajak

Dirjen Pajak, Ahmad Fuad Rahmany mengatakan bahwa pertugas pajak adalah pihak yang seharusnya menegakkan aturan perpajakan. Petugas pajak diharapkan simpatik, bersifat membantu, mudah dihubungkan dan bekerja jujur. Salah satu faktor yang mempengaruhi baik atau tidaknya motivasi Wajib Pajak ini dipengaruhi oleh sikap petugas pajak, dimana sesuai dengan peraturan yang berlaku bahwa setiap petuhas pajak hendaknya harus mempunyai sikap yang jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, objektif, sopan atau tidak arogan, serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.

Selain itu, menurut Novitasari (2007) mengungkapkan bahwa faktor sikap fiskus tidak berpengaruh terhadao kepatuhan Wajib Pajak. Sedangkan menurut Jatmiko (2006), menyatakan bahwa faktor dikap fiskus berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Indikator sikap fiskus ditujukan dengan :

· Sikap

· Profesionalisme 2.2.3 Faktor Hukum Pajak

Menurut Nurmantu (2003), Hukum Pajak merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara. Menurut pengertian hukum, bahwa setiap warga masyarakat dianggap mengetahui hukum, termasuk hukum yang mengatur tentang masalah perpajakan. Untuk mengetahui peraturan perpajakan, dapat meminta keterangan

(13)

informasi dan penjelasan kepada pihak fiskus atau petugas pajak sebagai bagian dari fungsi pembinaan dan pelayanan.

Secara teoritis, untuk menumbuhkan sikap positif tentang suatu hal harus bermula dari adanya pengetahuan tentang hal tersebut. Di negara maju, yang pastisipasi rakyatnya sudah tinggi dalam membayar pajak, upaya pemberitahuan pajak dilakukan dengan gencar, baik melalui media masa, brosur, buku panduan, informasi telepon dan sarana lainnya. Informasi pajak yang disampaikan sedapat mungkin harus menghindari jargon pajak dan bahasa hukum yang sulit untuk dipahami oleh semua orang. Pengetahuan masyarakat yang terbatas terhadap peraturan perpajakan, ditambah lagi dengan seringnya diadakan perubahan terhadap peraturan pajak, sehingga menimbulkan kesalahpahaman bagi wajib pajak. Hal tersebut dimaksudkan sebagai komplektisitas dari peraturan perpajakan guna lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum pada setiap masalah perpajakan. Namun prosedur administrasi perpajakan selama ini sering dikritisi oleh masyarakat yang terlalu birokratis bagi Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan perubahan.

Faktor hukum pajak adalah dasar pengetahuan dari Wajib Pajak untuk melakukan kepatuhan perpajakan. Menurut Nobitasari (2007), mengemukakan bahwa faktor hukum pajak tidak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Ada beberapa indikator Hukum Pajak, yaitu :

· Adil

· Equality · Daya Pikul

· Peraturan

2.2.4 Faktor Sikap Rasional

Menurut Hadi (2004), sikap rasional adalah pertimbangan wajib pajak atas untung ruginya memenuhi kewajiban pajaknya, ditunjukkan dengan pertimbangan wajib pajak terhadap keuangan apabila tidak memenuhi kewajiban pajaknya dan resiko yang akan timbul apabila membayar dan tidak membayar pajak.

Sebelumnya, sikap rasional ini tidak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak untuk membayarkan pajaknya, tetapi seiring dengan kenyataan yang ada di media, dengan gencarnya Direktorat Jenderal Pajak menyuluhkan kepada masyarakat akan pentingnya membayar pajak, hal tersebut juga semakin lama mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak.

(14)

2.3 Peningkatan Kualitas Pelayanan Wajib Pajak

Dalam teori sistem pemungutan pajak berdasarkan self assessment, menuntut kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pelayanan. Menurut (Boediono, 2003: 60) pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan.

Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi standar pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan serta harus dilakukan secara terus-menerus. Secara sederhana, definisi kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pihak yang menginginkannya. Dengan demikian, yang dikatakan kualitas disini adalah kondisi dinamis yang bisa menghasilkan :

· Produk yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan

· Jasa yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan

· Suatu proses yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan

· Lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan

Apabila jasa dari suatu instansi tidak memenuhi harapan pelanggan, berarti jasa pelayanan tidak berkualitas. Jika proses pelayanan berbelit-belit (tidak sederhana), berarti mutu pelayanannya kurang. Pelayanan kepada pelanggan dikatakan bermutu apabila memenuhi harapan pelanggan atau semakin kecil kesenjangan antara pemenuhan janji dengan harapan pelanggan.

Pengertian mutu dapat diartikan sebagai kinerja untuk standar yang diharapkan oleh pelanggan. Titik temu kebutuhan pelanggan juga diartikan sebagai mutu yang pertama dan setiap waktu. Menyediakan pelanggan dengan jasa secara konsisten adalah pelayanan bermutu. Arti mutu tidak hanya memuaskan pelanggan, tetapi menyenangkan pelanggan, memberikan inovasi kepada pelanggan, dan membuat pelanggan menjadi kreatif.

Untuk menciptakan kualitas, pelayanan harus diproses secara terus-menerus dan prosesnya mengikuti jarum jam, yaitu dimulai dari apa yang dilakukan, menjelaskan bagaimana mengerjakannya, memperlihatkan bagaimana cara mengerjakan, diakhiri dengan menyediakan pembimbingan, dan mengoreksi. Hakikat dari pelayanan umum yang berkualitas adalah sebagai berikut :

· Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah di bidang pelayanan umum.

· Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksanan pelayanan sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna (efisien dan efektif).

· Mendorong tumbuhnya kreativitas prakarsa, dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

Rangkaian kegiatan terpadu yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah sebagai berikut :

· Pelayanan Umum yang Sederhana

Pelayanan umum berkualitas apabila pelaksanaannya tidak menyulitkan, prosedurnya tidak banyak seluk-beluknya, persyaratan mudah dipenuhi pelanggan. Tidak bertele-tele, tidak mencari kesempatan dalam kesempitan.

· Pelayanan Umum yang Terbuka

Aparatur yang bertugas melayani pelanggan harus memberikan penjelasan sejujur-jujurnya, apa adanya dalam peraturan atau norma, jangan menakut-nakuti, jangan merasa berjasa dalam memberikan pelayanan agar tidak timbul keinginan mengharapkan imbalan dari pelanggan. Standar pelayanan harus diumumkan, ditempel pada pintu utama kantor.

(15)

· Pelayanan Umum yang Lancar

Untuk menjadi lancar, diperlukan sarana yang menunjang kecepatan dalam menghasilkan output.

· Pelayanan Umum yang Dapat Menyajikan Secara Tepat

Yang dimaksud tepat disini adalah tepat arah, tepat sasaran, tepat waktu, tepat jawaban, dan tepat dalam memenuhi janji. Misalnya, kantor pelayanan pajak dalam melakukan penagihan pajak tepat pada waktunya wajib pajak yang mempunyai uang.

· Pelayanan Umum yang Lengkap

Lengkap berarti tersedia apa yang diperlukan oleh pelanggan. Untuk dapat menjamin pelayanan yang berkualitas, harus didukung dengan sumber daya manusia dan sarana yang tersedia.

· Pelayanan Umum yang Wajar

Pelayanan umum yang wajar berarti tidak ditambah-tambah menjadi pelayanan yang bergaya mewah, tidak dibuat-buat, pelayanan biasa seperlunya sehingga tidak memberatkan pelanggan.

· Pelayanan Umum yang Terjangkau

Dalam memberikan pelayanan, uang retribusi dari pelayanan yang diberikan harus dapat diajngkau oleh pelanggan.

Pelayanan yang berkualitas harus dapat memberikan 4K, yaitu keamanan, kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum. Kualitas pelayanan dapat diukur dengan kemampuan memberikan pelayanan yang memuaskan, dapat memberikan pelayanan dengan tanggapan, kemampuan, kesopanan, dan sikap dapat dipercaya yang dimiliki oleh aparat pajak. Disamping itu, juga kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, memahami kebutuhan wajib pajak, tersedianya fasilitas fisik termasuk sarana komunikasi yang memadai, dan pegawai yang cakap dalam tugasnya. Kepatuhan wajib pajak dapat diukur dari pemahaman terhadap semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, mengisi formulir dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar, membayar dan melaporkan pajak yang terutang tepat pada waktunya.

Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, kualitas pelayanan harus ditingkatkan oleh aparat pajak. Sehingga, kondisi perputaran pajak dapat dijalankan dengan baik. Masyarakat mendapatkan manfaat fasilitas yang semakin bagus dan canggih, tapi disamping itu juga harus rutin membayarkan pajaknya.

(16)

2.4 Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak di Indonesia

Konsep pertanggungjawaban (Iiability) berhubungan dengan konsep kewajiban hukum terhadap seseorang yang dikatakan secara hukum bertanggung jawab atas suatu perbuatan tertentu sehingga terhadapnya dapat dikenakan sanksi tertentu bila melakukan perbuatan yang melawan hukum yang tidak hanya dikenakan terhadap yang melakukan pelanggaran tetapi juga terhadap setiap orang yang secara hukum terkait dengannya.

Tentang pertanggungjawaban, Hans Kelsen mengemukakan bahwa dalam teori tradisional terdapat dua jenins tanggung jawab (atau pertanggungjawaban), yaitu tanggung jawab berdasarkan kesalahan dan tanggung jawab mutlak, dimana Jeremiah Smith mengistilahkan pertanggungjawaban dalam hukum dengan causes of personal action yang meliputi tiga perbuatan.

Dalam hal ketentuan perpajakan di Indonesia, posisi pertanggungjawaban pajak identik dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan yang penyebutannya disesuaikan dengan peraturan perUndang-Undangan perpajakan terkait UU No. 16 Tahun 2009, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menegaskan dengan sebutan WP, UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) menegaskan dengan sebutan subjek pajak, UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN) menegaskan dengan sebutan PKP, dan UU No.19 Tahun 200 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP) menyebutkan Penanggung Pajak. Dalam hal setiap wajib pajak, baik wajib pajakOrang Pribadi maupun WP Badan, telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagai WP wajib mengisi, lengkap, dan jelas. WP dapat menunjuk seorang kuasa khusus dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani SPT. Dalam hal WP Badan, SPT harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi seorang kuasa dengan surat kuasa khusus. Adapun yang menjadi wakil WP, yaitu pengurus dalam hal WP Badan, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang. Namun tanggung jawab renteng tersebut dapat dikecualikan apabila wakil WP tersebut dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.

Adanya pengecualian tanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng Wakil WP tersebut atas pembayaran pajak yang terutang menunjukkan bahwa pertanggungjawaban atas pembayaran pajak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak lain yang tidak melakukan perbuatan melanggar hukum secara langsung, yang berhubungan erat dengan WP Badan tersebut, seperti komisaris dan atau pemegang saham mayoritas atau pengendali dan atau orang yang berwenang menentukan kebijakan dan atau mengambil keputusan dalam perusahaan dan atau berwenang menandatangani kontrak/perjanjian dan atau cek/giro korporasi.

Pertanggungjawaban pajak merupakan salah satu pokok persoalan dalam hukum pajak yang harus dipahami setiap WP dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya karena berhubungan erat dengan sanksi yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Peraturan perundangundangan perpajakan yang dimaksud, idealnya adalah merupakan perwujudan rumusan kaidah-kaidah hukum yang sangat berhubungan dengan kecenderungankecenderungan yang ada pada masyarakat. Sehingga, agar peraturan pertanggungjawaban pajak tetap memiliki validitas dalam masyarakat atau WP melalui adanya kekuasaan (power) dari negara untuk memberlakukannya, maka pengaturan tersebut harus mengandung nilai-nilai hukum, sebagaimana menurut Gustav Radbruch, yang harus mencakup kemanfaatan umum (public benefit), kepastian hukum (legal certainty), dan keadilan (justice). Perlunya pengaturan pertanggungjawaban pajak dalam peraturan perundangundangan perpajakan adalah merupakan salah satu perwujudan dari positivisme hukum yang dapat menciptakan kepastian hukum, yang juga harus sejalan dengan nilai-nilai hukum lainnya yaitu kemanfaatan dan keadilan.

(17)

Dalam tradisi civil law, adanya pengaturan pertanggungjawaban pajak dalam peraturan perundang-undangan perpajakan adalah merupakan mekanisme yang sudah umum yang memang dengan tegas memformalkan prosedur-prosedur hukumnya untuk menjamin keakurasian keadilan dan untuk mencegah terjadinya subversi terhadap keadilan, serta dapat meminimalisasi diskresi yang dilakukan aparatur pemerintahan dan pengadilan pada saat penegakan peraturan perundang-undangan tersebut. Begitu juga dengan pengaturan pertanggungjawaban pajak terkait strict liability, pengadopsian nilai-nilai hukum Gustav Radbruch sejalan dengan dua asas pajak dari empat asas yang dikemukakan oleh Adam Smith yakni, asas kesamaan (equality) dan asas kepastian (certainty). Asas equality menekankan bahwa pengenaan pajak harus bersikap adil, tidak diskriminatif, serta pengenaannya harus seimbang sesuai dengan kemampuan subjeknya, sedangkan asas certainty menegaskan bahwa semua pemungutan pajak harus terang/pasti baik mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, waktu pembayaran pajak, dan sebagainya.

(18)

2.5 Penegakan Hukum Perpajakan

Pengetahuan wajib pajak tentang pajak menunjukkan bahwa seberapa tingkat pemahaman tentang informasi perpajakan. Adanya tingkat pengetahuan yang semakin tinggi tentang pajak, tentunya akan meningkatkan kepatuhan dalam membayar pajak, karena pajak mempunyai fungsi yang sangat penting bagi pembangunan nasional. Menurut Krause (2000), Santoso (2008), mengemukakan bahwa pengetahuan atau pemahaman wajib pajak atas peraturan perpajakan dapat mempengaruhi juga terhadap patuh tidaknya wajib pajak. OECD (2001) juga menyatakan bahwa pengetahuan wajib pajak akan menentukan tingkat kepatuhan wajib pajak.

Presepsi wajib pajak tentang penegakkan hukum menunjukkan bagaimana tingkat pendapat masyarakat tentang penegakkan hukum di Indonesia terkait dengan kasus perpajakan. Adanya tingkat presepsi yang tinggi meningkatkan kepercayaan wajib pajak sehingga merasa yakin bahwa pajak berlaku adil dan merata, serta digunakan untuk kepentingan bersama. Jika hal tersebut sudah tercapai, maka tingkat kepatuhan dalam membayar pajak juga akan semakin meningkat.

Melakukan pembayaran pajak adalah kewajiban bagi seluruh warga negara, terkecuali bagi mereka yang dibebaskan oleh peraturan perundang-undangan. Lantaran sifatnya yang memaksa, negara menetapkan sanksi bagi wajib pajak yang tidak melakukan pembayaran pajak. Tujuannya yaitu agar wajib pajak semakin patuh melakukan kewajiban perpajakan.

Pemberian sanksi terkait perpajakan ini bisa dalam bentuk surat teguran maupun tindakan tegas berupa penyanderaan atau gijzeling. Tindakan gijzeling merupakan langkah terakhir dari tindakan hukum yang dapat dilakukan pemerintah kepada wajib pajak yang nakal. Penyanderaan ini dapat dilakukan selama 6 bulan dan diperpanjang paling lama 6 bulan.

Secara statistik, sejak tahun 2015 – 2017, sedikitnya ada 117 wajib pajak yang disandera oleh petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di rumah tahanan. Kebanyakan, mereka merupakan wajib pajak yang memiliki utang pajak sedikitnya Rp 100.000.000,-. Angka itu membuktikan bahwasanya pemerintah tidak main-main dalam menegakkan peraturan perpajakan.

Ada beberapa ragam sanksi yang ditentukan oleh pemerintah sesuai dengan jenis pajaknya, yaitu :

a. Sanksi Administrasi 1. Sanksi Bunga

Sanksi berupa pengenaan bunga ini berlandaskan pada Pasal 9 Aayat (2a) dan (2b) UU KUP. Dalam Ayat (2a) dikatakan bahwa wajib pajak yang membayar pajaknya setelah jatuh tempo akan dikenakan denda sebesar 2% per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran. Sementara, pada Ayat 2(b) disebutkan, wajib pajak yang baru membayar pajak setelah jatuh tempo penyampaian SPT tahunan akan dikenakan denda sebesar 2% per bulan, yang dihitung sejak berakhirnya batas waktu penyampaian SPT sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.

Sebagai contoh, berdasarkan undang-undang, batas akhir pembayaran dan pelaporan PPh adalah masing-masing tanggal 10 (PPh pada umumnya) dan tanggal 15 (PPh Final 0,5%/pajak UMKM, PPh 25) bulan berikutnya. Jika wajib pajak baru membayar kewajibannya lewat dari tanggal-tanggal tersebut, maka wajib pajak harus membayar bunga sebesar 2% dari jumlah pajak yang terutang.

No Peraturan Tentang Jenis Sanksi 1. UU KUP 2007 Pasal Pembetulan SPT

(19)

8 Ayat (2) tahunan dalam 2 tahun

2. UU KUP 2007 Pasal 8 Ayat (2a)

Pembetulan SPT masa dalam 2 tahun

2% per bulan dari jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran 3. UU KUP 2007 Pasal 9 Ayat (2a) Keterlambatan

bayar/setor pajak masa 4. UU KUP 2007 Pasal 9 Ayaat (2b) Keterlambatan bayar setor/pajak tahunan 5. UU KUP 2007 Pasal 8 Ayat (2a) SKPKB kurang bayar atau tidak dibayar dan penerbitan NPWP dan pengukuhan PKP secara jabatan

2% per bulan dari jumlah kurang maksimal 24 bulan 6. UU KUP 2007 Pasal

13 Ayat (5)

Penerbitan SPT setelah 5 tahun

48% dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar

7. UU KUP 2007 Pasal 14 ayat (3) (a) PPh tahun berjalan tidak/kurang bayar (b) SPT kurang bayar

2% perbulan dari jumlah pajak tidak kurang dibayar maksimal 24 bulan

8. UU KUP 2007 Pasal

14 Ayat (5) PKP gagal produksi 2% dari pajak yang ditagih 9. UU KUP 2007 Pasal

15 Ayat (4)

SKPBT diterbitkan setelah lewat 5 tahun karena adanya tindak pidana

48% dari jumlah yang tidak/kurang dibayar 10. UU KUP 2007 Pasal 19 Ayat (1) SKPB/T, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang berakibat kurang bayar/ terlambat bayar.

2% per bulan dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo s/d tanggal

pelunasan/diterbitkannya STP

(20)

19 Ayat (2) mengangsur atau menunda 12. UU KUP 2007 Pasal 19 Ayat (3) Kekurangan pajak karena penundaan SPT

2% per bulan dari kekurangan pembayaran dihitung dari batas akhir penyampaian SPT s/d tanggal dibayarnya kekurangan tersebut. 2. Sanksi Kenaikan

Sanksi kenaikan ditujukan kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran tertentu. Contohnya seperti tindak pemalsuan data dengan mengecilkan jumlah pendapatan pada SPT setelah lewat 2 tahun sebelum terbit SKP. Jenis sanksi ini bisa berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar dengan kisaran 50% dari pajak yang kurang dibayar tersebut.

3. Sanksi Denda

Sanksi pajak berupa denda ditujukan kepada pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban pelaporan. Besarannya pun bermacam-macam, sesuai dengan aturan undang-undang. Contohnya, telat menyampaikan SPT Masa PPN, maka nominal denda yang dikenakan senilai Rp 500.000. Sedangkan telat dalam menyampaikan SPT Masa PPh, maka nominal denda yang dikenakan senilai Rp1.000.000 untuk wajib pajak badan dan Rp100.000 untuk wajib pajak perorangan.

b. Sanksi Pidana

Sanksi ini merupakan jenis sanksi terberat dalam dunia perpajakan. Biasanya, sanksi pidana dikenakan bila wajib pajak melakukan pelanggaran berat yang menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan dilakukan lebih dari satu kali. Dalam Undang-Undang KUP, terdapat pasal 39 ayat i yang memuat sanksi pidana bagi orang yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut. Sanksi tersebut adalah pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun, serta denda minimal 2 kali pajak terutang dan maksimal 4 kali pajak terutang yang tidak dibayar atau kurang dibayar.

Contoh kasus untuk sanksi ini adalah pengusaha yang menerbitkan faktur pajak dan memungut PPN, namun tidak mendaftarkan diri dan melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sehingga, PPN yang dipungut tidak disetorkan ke kas negara.

Selain mengatur sanksi bagi wajib pajak yang tidak melakukan pembayaran pajak, UU KUP juga memuat sanksi bagi wajib pajak yang tidak melaporkan SPT atau terlambat melaporkan SPT. Jenis sanksi yang dibebankan pada wajib pajak yang melanggar ketentuan tersebut adalah denda. Besaran denda dibagi menjadi 3, yakni :

· Rp. 500.000,- untuk Surat Pemberitahuan Masa PPn.

· Rp. 100.000,- untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya.

· Rp. 1.000.000,- untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan

· Rp. 100.00,- untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.

(21)

Batas akhir pelaporan SPT dibedakan berdasarkan jenis pajak yang akan dilaporkan. Tujuannya adalah agar administrasi perpajakan di Indonesia jadi semakin rapi. Berikut ini tiga batas waktu pelaporan SPT yang sebaiknya diketahui oleh wajib pajak, yaitu :

1. Surat Pemberitahuan Masa (Paling lama 20 hari setelah akhir masa pajak).

2. SPT Pajak Penghasilan wajib pajak orang pribadi (Paling lama 3 bulan setelah akhir masa pajak).

3. SPT Pajak Penghasilan wajib pajak badan (Paling lama 4 bulan setelah akhir masa pajak). Namun, bila wajib pajak tidak melaporkan SPT sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dan tindakan tersebut sudah dilakukan lebih dari sekali, wajib pajak dapat dikenakan sanksi berupa denda minimal satu kali jumlah pajak terutang yang tidak dibayar atau kurang bayar. Denda dikenakan maksimal dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Bahkan, atas tindakan tersebut wajib pajak dapat dipidana kurungan paling singkat tiga bulan atau paling lama satu tahun.

Berikut ini merupakan contoh perhitungan sanksi pajak :

PT ABC merupakan PKP yang telah dikukuhkan pada tanggal 21 Januari 2017. Berikut ini administrasi perpajakan PT ABC terkait pelanggarannya :

· SPT Masa PPN untuk masa Agustus 2018 tidak dimasukan walaupun sudah ditegur.

· PT ABC selaku wajib pajak juga tidak melakukan pembukuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 dan 29 UU KUP 2007

· Terhadap PT ABC, dilakukan pemeriksaan dan menghasilkan kurang bayar sebesar Rp 200 juta. SKPKB diterbitkan Januari 2019

Terhadap kasus ini, dapat diterbitkan SKPKB beserta sanksinya, yakni sebagai berikut:

· Pokok Pajak kurang bayar sebesar Rp 200.000.000,00

· Sanksi Pasal 13 ayat (3), 100% sebesar Rp 200.000.000,00

· Sanksi Pasal 13 ayat (2), (5 x 2%) sebesar Rp 20.000.000,00

· STP sebesar Rp 50.000,00

Total pajak yang harus dibayarkan oleh PT ABC adalah sebesar Rp 420.050.000,00. Pada kasus ini, PT ABC melakukan tindak pelanggaran dua kali tetapi sanksi yang dikenakan tetap satu kali yaitu 100%.

Ada beberapa tips agar terhindar dari sanksi pajak yang berat, berikut ini yang bisa dilakukan oleh masyarakat, yaitu :

· Mengisi SPT dengan jujur dan cermat agar tidak terjadi kesalahan data. Pastikan anda menginput nominal, keterangan, dan lampiran dengan benar.

· Menyetor pajak dan melaporkan SPT tepat waktu.

· Mengisi faktur pajak dengan lengkap.

· Hindari aktivitas yang menimbulkan tindak pidana perpajakan terutaman aktivitas yang dianggap grey area seperti melaporkan SPT di tinggal jatuh tempo yang bertepatan dengan hari Sabtu atau Minggu atau membayar PPn KMS di luar lokasi bangunan.

(22)

BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Pajak merupakan iuran wajib yang dibayar rakyat kepada negara tanpa kontraprestasi secara langsung dan akan digunakan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat umum (Mardiasmo: 2011). Menurut Siti Resmi (2013), pajak mempunyai dua fungsi penting dalam perekonomian suatu negara. Pertama, pajak merupakan salah satu sumber dana pemerintah untuk melakukan pembangungan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kedua, pajak berfungsi sebagai alat yang mengatur kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang sosial ekonomi.

Negara kita sangat membutuhkan Pajak untuk membiayai keperluannya. Pembangunan infrastruktur seperti misalnya jalan, jembatan, kemudian subsidi untuk makanan, beras, benih, pupuk, belanja pegawai, seperti gaji guru, polisi, tentara dan juga bantuan spsial untuk keluarga miskin, pendidikan membutuhkan banyak kontribusi dari penerimaan pajak. Melihat kondisi ini, rasanya kita perlu untuk kembali menyadari betapa krusialnya pajak untuk membiayai negara kita yang sangat besar dengan jumlah penduduk yang sangat banyak. Yang perlu dijaga kedepannya adalah konsistensi dari semuanya, karena kegiatan sosialisasi dan peningkatan pemahaman atau kesadaran bukan suatu hal yang bisa dilakukan sekali dua kali, tetapi harus berulang-ulang. Semoga kesadaran masyarakat dan Wajib Pajak akan terus meningkat, sehingga apa yang dicita-citakan, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur bisa tercapat dan target juga tercapai karena Pajak Milik Bersama.

Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, kualitas pelayanan harus ditingkatkan oleh aparat pajak. Sehingga, kondisi perputaran pajak dapat dijalankan dengan baik. Masyarakat mendapatkan manfaat fasilitas yang semakin bagus dan canggih, tapi disamping itu juga harus rutin membayarkan pajaknya.

Dalam tradisi civil law, adanya pengaturan pertanggungjawaban pajak dalam peraturan perundang-undangan perpajakan adalah merupakan mekanisme yang sudah umum yang memang dengan tegas memformalkan prosedur-prosedur hukumnya untuk menjamin keakurasian keadilan dan untuk mencegah terjadinya subversi terhadap keadilan, serta dapat meminimalisasi diskresi yang dilakukan aparatur pemerintahan dan pengadilan pada saat penegakan peraturan perundang-undangan tersebut. Begitu juga dengan pengaturan pertanggungjawaban pajak terkait strict liability, pengadopsian nilai-nilai hukum Gustav Radbruch sejalan dengan dua asas pajak dari empat asas yang dikemukakan oleh Adam Smith yakni, asas kesamaan (equality) dan asas kepastian (certainty). Asas equality menekankan bahwa pengenaan pajak harus bersikap adil, tidak diskriminatif, serta pengenaannya harus seimbang sesuai dengan kemampuan subjeknya, sedangkan asas certainty menegaskan bahwa semua pemungutan pajak harus terang/pasti baik mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, waktu pembayaran pajak, dan sebagainya.

Melakukan pembayaran pajak adalah kewajiban bagi seluruh warga negara, terkecuali bagi mereka yang dibebaskan oleh peraturan perundang-undangan. Lantaran sifatnya yang memaksa, negara menetapkan sanksi bagi wajib pajak yang tidak melakukan pembayaran pajak. Tujuannya yaitu agar wajib pajak semakin patuh melakukan kewajiban perpajakan.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo. 2011. Perpajakan. In Perpajakan.

Masruroh, Siti dan Zulaikha. 2013. Pengaruh Kemanfaatan NPWP, Pemahaman Wajib Pajak, Kualitas Pelayanan, Sanksi Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Empiris pada WP OP di Kabupaten Tegal). Diponegoro Journal of Accounting.

Supadmi, Ni Luh. 2018. Meningkatkan Kepatuhan W ajib Pajak Melalui Kualitas Pelayanan.

https://ocs.unud.ac.id/index.php/jiab/article/view/2598/1809 (diakses pada tanggal 7 Maret 2021)

Siat, Christian Cahyaputra dan Agus Arianto Toly. 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak dalam Memenuhi Kewajiban Membayar Pajak di Surabaya.

https://media.neliti.com/media/publications/158627-ID-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kepatuha.pdf(diakses pada tanggal 7 Maret 2021)

Maulida, Rani. 2018. Pengertian Sistem Pemungutan Pajak.

https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/sistem-pemungutan-pajak(diakses pada tanggal 7 Maret 2021)

Onlinepajak. 2019. Mengenal Sanksi Pajak d i Indonesia.

https://www.online-pajak.com/seputar-pajakpay/sanksi-tidak-melakukan-pembayaran-pajak(diakses pada tanggal 8 Maret 2021)

Anam, Mohammad Choirul, Rita Andini dan Hartono Hartono. Pengaruh Kesadaran W ajib

Pajak, Pelayanan Fiskus d a n Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan W ajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Kegiatan Usaha d a n Pekerjaan Bebas sebagai Variabel Intervening.

https://jurnal.unpand.ac.id/index.php/AKS/article/view/1171 (diakses pada tanggal 8 Maret 2021)

Referensi

Dokumen terkait

Lembar ini berisi daftar gambar yang telah digunakan pada laporan terdiri dari nomor gambar, judul gambar dan halamane. Lembar daftar

wajib pajak dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Pemeriksaan untuk tujuan menguji kepatuhan wajib pajak,

Pencatatan dalam Pajak Penghasilan pasal 4 ayat 2 sangat penting peranannya dalam perusahaan karena dari analisis di gunakan oleh pihak intern, maupun ekstern perusahaan

Sekretaris Kamar Dagang dan Industri (KADIN) sebagaimana dikutip Rohmat Soemitro (1988.299) menyatakan : “Masyarakat tidak akan menemui kesulitan dalam memenuhi kewajiban

PPh Tahunan Pasal 21 adalah uang muka PPh Tahunan WP Orang Pribadi dalam negeri yang dikenakan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri khusus atas penghasilan yang dikenakan

l. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23. Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan

b) Nilai dalam Penggunaan merupakan nilai yang dimiliki oleh suatu properti tertentu bagi penggunaan tertentu untuk seorang pengguna tertentu dan oleh karena itu tidak berkaitan

Apabila dalam tahun pajak berjalan Wajib Pajak mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% (seratus