VOL. 12, NO. 1, 2012 FAKULTAS PARIWISATA UNIVERSITAS UDAYANA
Analisis Pariwisata terbit sebagai media komunikasi dan informasi ilmiah kepariwisataan, yang memuat tentang hasil ringkasan penelitian, survei dan tulisan ilmiah populer kepariwisataan. Redaksi
menerima sumbangan tulisan para ahli, staf pengajar perguruan tinggi, praktisi, mahasiswa yang peduli terhadap pengembangan pariwisata. Redaksi dapat menyingkat atau memperbaiki tulisan yang
akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.
SUSUNAN PENGURUS JURNAL ANALISIS PARIWISATA Penanggung Jawab
Drs. I Putu Anom, M.Par. (Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana) Penasehat
Dra. Ida Ayu Suryasih, M.Par. (Pembantu Dekan I Fakultas Pariwisata Universitas Udayana) Dra. Ni Made Oka Karini, M.Par. (Pembantu Dekan II Fakultas Pariwisata Universitas Udayana) I Nyoman Sudiarta, SE., M.Par. (Pembantu Dekan III Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)
Ketua Dewan Penyunting Drs. Ida Bagus Ketut Astina, M.Si.
Penyunting Ahli (Mitra Bestari)
▪ Prof. Adnyana Manuaba, M.Hons.F.Erg.S.FIPS,SF.
Universitas Udayana
▪ Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA.
Universitas Udayana
▪ Prof. Dr. Michael Hichcoch University of North London
▪ Prof. Dae-Sik Je, M.Pd.
Young San University – Korsel.
▪ Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch. Ph.D.
Universitas Gajah Mada
▪ Prof. Dr. Ir. I Gede Pitana, M.Sc.
Universitas Udayana
▪ Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE., MS.
Universitas Udayana
▪ Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS.
Universitas Udayana
▪ Dr. Hans-Henje Hild SES Bonn – Germany Penyunting Pelaksana
▪ I Wayan Suardana, SST.Par., M.Par.
▪ IGA. Oka Mahagangga, S.Sos., M.Si.
▪ I Made Kusuma Negara, SE., M.Par.
▪ Made Sukana, SST.Par., M.Par., MBA.
▪ I Nyoman Sukma Arida, S.Si., M.Si.
▪ Yayu Indrawati, SS., M.Par.
▪ I Gde Indra Bhaskara, SST.Par., M.Sc.
▪ I Gst. Bagus Sasrawan Mananda, SST.Par.
Tata Usaha dan Pemasaran
▪ AA. Ketut Muliatini, S.Pd.
▪ AA. Ketut Muliatini, S.Pd. ▪ Wayan Sudarma, SH.
▪ I Gusti Putu Setiawan, SH.
ALAMAT PENYUNTING DAN TATA USAHA Fakultas Pariwisata Universitas Udayana
Jl. Dr. R. Goris 7 Denpasar Bali, Telp/Fax : 0361-223798 E-mail : [email protected]
Cover Depan Analisis Pariwisata : Pantai Lovina, Kab. Buleleng, Bali (Kusuma, 2008)
© Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Denpasar, Juli 2012
VOL. 12, NO. 1, 2012 Majalah Analisis Pariwisata Volume 12, Nomor 1, Tahun 2012 mengangkat topik, ”Pilihan Pengembangan Pariwisata” sebagai suatu upaya publikasi temuan dari hasil penelitian terbaru. ”Pilihan Pengembangan Pariwisata” diarahkan untuk kembali mengingatkan bahwa pariwisata senantiasa dinamis namun tetap harus dipelajari dan dimaknai proses dari perjalanan kepariwistaan tersebut. Begitu banyak
”pilihan-pilihan” justru mengharuskan para pemegang kebijakan dan para praktisi semakin bijaksana dan tidak hanya ”taken for granted” tanpa memilah dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkan.
Tulisan pertama dari I Made Kusuma Negara berjudul ”Potensi Ikan Air Tawar di Danau Batur sebagai Pengembangan Wisata Alternatif”. Dikatakan Kab. Bangli masih menyimpan potensi pariwisata yaitu ikan air tawar, jika dikelola dengan baik diyakini akan mampu membantu meningkatkan PAD dari sektor pariwisata.
Tulisan kedua masih menyinggung wisata alternatif berjudul ”Analisis Kelayakan Desa Bedulu sebagai Desa Wisata di Kab. Gianyar (Kajian Aspek Pasar dan Pemasaran)” oleh I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda. Hasil penelitiannya menunjukkan pentingnya kajian aspek pasar dan pemasaran agar pengembagan suatu wisata alternatif seperti desa wisata tidak mubazir.
Tulisan ketiga berjudul ”Desa Wisata Berbasis Masyarakat sebagai Model Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pinge” oleh I Made Adikampana. Desa wisata Pinge terletak di Kab. Tabanan dan saat ini sedang giat menata desa untuk menarik perhatian wisatawan. Tulisan ini menekankan aspek perencanaan pariwisata dengan perspektif pemberdayaan masyarakat.
Tulisan keempat berjudul ”Karakteristik Restoran India sebagai Sarana Wisata Baru di Kawasan Wisata, Kuta, Nusa Dua dan Ubud oleh Ni Made Ariani dkk. Pangsa pasar wisatawan sebagai ”the sleeping giant” menuntut praktisi pariwisata untuk menyiapkan infrastruktur memadai dalam kasus penelitian ini adalah restoran India di Bali yang memiliki keseragaman karakter.
Tulisan kelima datang dari pulau Borneo berjudul,”Persepsi Pengunjung Terhadap Kualitas Pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong” oleh A. Rinto Dwi Atmojo. Disampaikan berdasarkan persepsi pengunjung, pihak pengelola harus lebih memperhatikan aspek perawatan dan aspek promosi untuk semakin meningkatkan kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara ke museum Mulawarman.
Tulisan keenam dari I Putu Anom M. Par, berjudul”Potensi Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan” yang mengulas tentang beraneka potensi yang belum tergarap untuk pengembangan kepariwisataan secara berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan.
Tulisan ketujuh dari I Gusti Agung Oka Mahagangga dkk berjudul”Peran dan Kendala Pemulihan Pariwisata Bali Pascabom (Suatu Kasus Disparda Provinsi Bali)” mengungkapkan secara sintetis-diakronik mengenai upaya dan kendala pemerintah mengatasi krisis pariwisata pascabom sebagai upaya pembelajaran jika peristiwa serupa terulang maka sudah disiapkan langkah-langkah strategik untuk mengatasinya.
Tulisan kedelapan berjudul”Prilaku Berbahasa Wisatawan Jepang di Bali sebagai Pencerminan Karakteristik Wisatawan Jepang” oleh I Made Sendra yang disajikan secara komprehensif dan menarik yang dapat dijadikan pedoman baku bagi para guide Jepang sebagai bekal komunikasi lintas budaya dalam dunia kepariwisataan.
Beberapa tulisan ilmiah tersebut diharapkan mampu memenuhi dahaga para akademisi, mahasiswa dan stakeholders pariwisata termasuk para praktisi yang hingga saat ini masih sulit mendapatkan literatur-literatur ilmiah bidang pariwisata di Indonesia. Besar harapan tim redaksi agar kedepannya segenap pihak, yang terjun di sektor primadona ini dapat menyumbangkan banyak sumbangan pemikiran, kritik, saran dan masukan dalam tulisan ilmiah melalui jurnal majalah analisis pariwisata, Fakultas Pariwisata-Universitas Udayana.
Denpasar, Juli 2012 Redaksi
VOL. 12, NO. 1, 2012 1. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan
sebelumnya.
2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (abstrak bahasa Inggris). Abstrak tidak lebih dari 250 kata dengan disertai 3-5 istilah kunci (keywords). Naskah berupa ketikan asli dan CD dengan jumlah maksimal 15 halaman ketikan A4 spasi 1½, kecuali abstrak, tabel dan kepustakaan.
3. Naskah ditulis dengan batas 2,5 cm dari kiri dan 2 cm dari tepi kanan, bawah dan atas.
4. Judul singkat, jelas dan informatif serta ditulis dengan huruf besar. Judul yang terlalu panjang harus dipecah menjadi judul utama dan anak judul.
5. Nama penulis tanpa gelar akademik, alamat e-mail dan asal instansi penulis ditulis lengkap.
6. Naskah hasil penelitian terdiri atau judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, tinjauan pustaka dan metode, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
7. Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, masalah, pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
8. Tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar harus diberi judul serta keterangan yang jelas.
9. Dalam mengutip pendapat orang lain, dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh : Astina (1999); Suwena et al. (2001).
10. Kepustakaan memakai “harvard style” disusun menurut abjad nama penulis tanpa nomer urut.
a. Untuk buku : nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit, judul, jilid, edisi, tempat terbit dan nama penerbit.
Picard, Michael. 1996. Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore: Archipelago Press.
b. Karangan dalam buku : nama pokok dari inisial pengarang, tahun terbit, judul karangan, inisial dan nama editor : judul buku, hal permulaan dan akhir karangan, tempat terbitan dan nama penerbit.
McKean, Philip Frick. 1978. “Towards as Theoretical analysis of Tourism: Economic Dualism and Cultural Involution in Bali”. Dalam Valena L. Smith (ed). Host and Guests: The Antropology of Tourism. Philadelphia : University of Pensylvania Press.
c. Untuk artikel dalam jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan, singkatan nama majalah, jilid (nomor), halaman permulaan dan akhir.
Pitana, I Gde. 1998. “Global Proces and Struggle for Identity: A Note on Cultural Tourism in Bali, Indonesia” Journal of Island Studies, vol. I, no. 1, pp. 117-126.
d. Untuk Artikel dalam format elektronik : Nama pokok dan inisial, tahun, judul, waktu, alamat situs.
Hudson, P. (1998, September 16 - last update), "PM, Costello liars: former bank chief", (The Age), Available: http://www.theage.com.au/daily/980916/news/news2.html (Accessed: 1998, September 16).
11. Dalam tata nama (nomenklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang baku untuk masing-masing bidang ilmu.
12. Dalam hal diperlukan ucapan terima kasih, supaya ditulis di bagian akhir naskah dengan menyebutkan secara lengkap : nama, gelar dan penerima ucapan.
VOL. 12, NO. 1, 2012
D A F T A R I S I
POTENSI IKAN AIR TAWAR DI DANAU BATUR
SEBAGAI PENGEMBANGAN WISATA ALTERNATIF _________________ (1 – 12) I Made Kusuma Negara
ANALISIS KELAYAKAN DESA BEDULU SEBAGAI DESA WISATA DI KABUPATEN GIANYAR (KAJIAN ASPEK PASAR
DAN PEMASARAN) ________________________________________ (13 – 29) I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda
DESA WISATA BERBASIS MASYARAKAT
SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DI DESA PINGE ___________________________________________ (30 – 36) I Made Adikampana
KARAKTERISTIK RESTORAN INDIA SEBAGAI SARANA WISATA BARU DI KAWASAN WISATA KUTA,
NUSA DUA DAN UBUD _____________________________________ (37 – 46) Ni Made Ariani, Ni Nyoman Sri Aryanti,
I Gusti Agung Oka Mahagangga
PERSEPSI PENGUNJUNG TERHADAP KUALITAS PELAYANAN
PADA MUSEUM MULAWARMAN TENGGARONG ___________________ (47 – 53) A. Rinto Dwi Atmojo
POTENSI KEPARIWISATAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN _________ (54 – 61) I Putu Anom
PERAN DAN KENDALA PEMULIHAN PARIWISATA BALI PASCABOM
(SUATU KASUS DISPARDA PROVINSI BALI) ______________________ (62 – 78) I Gusti Agung Oka Mahagangga, Putu Agus Wikanatha Sagita,
Ida Ayu Ratih
PERILAKU BERBAHASA WISATAWAN JEPANG DI BALI SEBAGAI PENCERMINAN KARAKTERISTIK
WISATAWAN JEPANG ______________________________________ (79 – 93) I Made Sendra
PERAN DAN KENDALA PEMULIHAN PARIWISATA BALI PASCABOM (SUATU KASUS DISPARDA PROVINSI BALI)
I Gusti Agung Oka Mahagangga Putu Agus Wikanatha Sagita [email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud
Ida Ayu Ratih BAPUSDA Provinsi Bali
Abstract
Bali tourism has had an effect on all aspects of Balinese society by making Bali vulnerable to security issues. The evidence of that occurred when the Bali bombing tragedy happened on 12 October 2002 and October 2005, when bombs rocked the tourism sector is confirmed by a decrease in the number of tourists. The purpose of this study was to find the role and the constraints faced by the tourism department in the recovery after the explosions so that the future role of tourism services can be optimized and all constraints minimized. This study used a qualitative approach based on primary data and secondary data obtained from the informant (purposive sampling).
The results suggest one role in the recovery of the tourism department after the Bali bombing was to implement a policy of the central government which established a recovery team together with Bali’s tourism stakeholders and the public. Constraints in the department of tourism in Bali can be viewed internally and externally and in essence, the tourism department in Bali should have greater power to control the recovery of tourism but is in fact precisely the position of department of tourism sub- ordinate positions.
Key words: role, constraints, tourism department, tourism recovery.
1.1 LATAR BELAKANG
Pariwisata merupakan keseluruhan kegiatan yang berhubungan dengan gerakan penduduk di dalam atau di luar suatu negara, kota atau wilayah tertentu atau juga dikatakan sebagai keseluruhan hubungan dengan gejala-gejala atau peristiwa yang timbul dari kegiatan penduduk yang melakukan perjalanan tidak untuk menetap dan tidak untuk mencari nafkah. Pariwisata lebih merupakan gejala yang berkaitan dengan pergerakan manusia secara temporer dan spontan dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan berekreasi. Upaya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan berwisata itu biasanya ditunjang oleh kemapanan ekonomi seseorang dan telah terpenuhinya kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari, sehingga keinginan untuk mendapat pengalaman baru atau melepaskan diri untuk sementara waktu dari rutinitas hidup dapat terpenuhi. Pariwisata juga merupakan suatu kegiatan jasa yang dapat membuka keterisolasian geografis dan sosial melalui bentuk-bentuk sosial dan budaya antara penduduk lokal atau warga masyarakat dengan para wisatawan yang mengunjungi wilayah tersebut. Terdapat tiga kekuatan yang mampu membuka keterisolasian suatu
masyarakat, yaitu pendidikan, perkembangan industri dan kontak budaya (Cholik, 1994 : 70).
Sejak tahun 1960-an pariwisata Indonesia telah tumbuh rata-rata mencapai 10
% (sepuluh persen) lebih setiap tahunnya, sampai dengan awal tahun 1969 perkembangan pariwisata Indonesia berjalan sangat lambat. Hal ini disebabkan karena pemerintah Indonesia pada waktu itu kurang memperhatikan pariwisata sebagai salah satu sumber penghasilan negara. Kemudian pada akhir tahun 1969 pemerintah mulai memperhatikan sektor pariwisata secara teratur agar dapat menambah devisa negara, di samping devisa dari minyak dan gas bumi (Samsurridjal, 1987 : 58).
Pembangunan Sektor Pariwisata di Bali menjadi sektor andalan yang mampu meningkatkan devisa, mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha dalam rangka meningkatkan kesejahtraan masyarakat untuk memupuk rasa cinta tanah air dan memperkaya kebudayaan daerah, meningkatkan keanekaragaman obyek dan daya tarik wisata serta atraksi wisata, peran serta aktif masyarakat dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap mempertahankan kelestarian dan mutu lingkungan hidup sangat diperlukan.
Pembangunan Sektor Pariwisata, memberikan manfaat ganda, yaitu bagi pemerintah, masyarakat dan pihak swasta, sehingga pembangunan sektor pariwisata selanjutnya harus mendapat dukungan dari pihak masyarakat, pihak swasta dan pemerintah. Hal ini penting ditekankan, mengingat Provinsi Bali tidak memiliki sumber daya alam yang dapat diandalkan untuk mendukung perkembangan ekonomi, sehingga prioritas pembangunan Daerah Bali diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada pembangunan Sektor Pertanian dalam arti luas ditunjang dengan pembangunan Sektor Pariwisata dan Industri Kecil.
Pengembangan Sektor Pariwisata di Bali yang merupakan sektor andalan dan mampu meningkatkan penerimaan devisa, mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan kesejahtraan masyarakat harus mendapat perhatian, karena dewasa ini pertumbuhan Sektor Pariwisata Bali dapat dikatakan mengalami stagnasi bahkan mengalami penurunan setelah terjadinya ledakan Bom tanggal 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005 di Kuta dan Jimbaran.
Keamanan dan kenyamanan merupakan kunci pokok dalam menarik kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Meski promosi dilakukan dengan gencar oleh pemerintah maupun pelaku industri pariwisata, jika keamanan belum dapat diwujudkan hasil promosi tersebut tidak akan mendapatkan hasil maksimal.
Kunjungan wisatawan ke suatu negara juga tidak hanya berkaitan dengan keinginan mereka pribadi melainkan juga berkaitan dengan hubungan politis antara negara asal mereka dengan negara yang akan dikunjungi. Hubungan diplomatik antara negara dalam pariwisata sangat besar pengaruhnya karena mereka tidak ingin warga negaranya mengalami masalah di negara lain (travel advisory, travel warning, dll).
Apalagi negara tersebut diketahui sedang mengalami konflik (mis. Perang, kerusuhan) atau wabah penyakit (mis. Virus SARS) yang beresiko terhadap warga negaranya (Mahagangga, 2008).
Orang asing yang berniat berkunjung ke Bali ketika mengetahui situasi dan kondisinya tidak aman dari media massa bahwa terjadi bom atau sering terjadi tindak kriminal, bukannya tidak mungkin mereka akan mengalihkan waktu liburan mereka ke daerah tujuan wisata lain. Hal ini dilakukan untuk memperkecil resiko terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (kecopetan, penipuan, pemerkosaan, perampokan, dll). Suatu
ancaman terhadap keamanan dan kenyamanan sangat berarti bagi setiap wisatawan karena mereka mencari kepuasan berwisata bukan mencari masalah dalam berwisata (Mahagangga, 2010).
Pertumbuhan pariwisata Bali dilihat dari angka kunjungan wisatawan setelah tragedi Bom Bali I menurun tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Padahal dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan manca-negara ke Indonesia memberikan banyak peluang bagi bangsa Indonesia untuk menambah usaha dan mendapatkan pekerjaan dalam rangka meningkatkan kehidupan perekonomiannya.
Tetapi dengan terjadinya Bom Bali I dan Bom Bali II menunjukkan angka penurunan yang berarti signifikan bagi seluruh aspek kehidupan di Bali khususnya dan di Indonesia pada umumnya seperti dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara Langsung ke Bali (2001-2005)
No Tahun Jumlah Wisman
(Orang) Pertumbuhan
(%)
1 2001 1.356.774 -
2 2002 1.285.844 -5,22
3 2003 993.029 -22,77
4 2004 1.458.309 46,85
5 2005 1.386.449 -4,93
6 2006 1.260.317 -9,10
7 2007 1.664.854 32,10
8 2008 1.968.892 18,26
9 2009 2.337.266 18,71
10 2010 2.592.405 10,92
11 2011 2.832.542 9,26
Rata-rata 8,55
Sumber : Disparda Bali, 2012.
Pada Tabel 1.1 menunjukan bahwa kunjungan wisatawan dari tahun 2002-2006 menurun secara signifikan. Penurunan ini diindikasikan sebagai dampak dari terjadinya Bom Bali I dan II yang mempengaruhi kedatangan wisatawan berlibur ke Bali. Jumlah kunjungan wisman yang langsung datang ke Bali dari tahun 2003 terjadi penurunan dan tahun 2004 kembali meningkat. Penurunan yang sangat signifikan di tahun 2003 hampir mencapai 23 % disebabkan oleh tragedi bom Bali I. Setahun kemudian di tahun 2004 terjadi peningkatan tajam hingga 46,85 % yang sangat melegakan segenap komponen pariwisata di Bali. Akibat Tragedi Bom II di tahun 2005, tahun 2006 setelah pemberlakuan travel warning dari beberapa negara maju, terjadi penurunan kunjungan wisatawan mencapai hampir 10 %. Memasuki tahun 2007 terjadi peningkatan relatif besar mencapai 32,10 % yang tidak terlepas dari upaya berbagai pihak termasuk Disparda Provinsi Bali. Selanjutnya di tahun 2008 sampai 2011 terjadi peningkatan kunjungan wisman yang cukup signifikan meskipun dunia sedang dilanda krisis global.
Peran Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) sebagai perwakilan pemerintah daerah menangani bidang kepariwisataan menjadi sangat penting untuk memulihkan kepariwisataan Bali pascabom. Meskipun demikian, peran tersebut menemui banyak kendala dalam pelaksanaannya karena pariwisata sebagai suatu sistem tidak hanya
berhubungan dengan satu elemen saja melainkan saling terkait dengan berbagai elemen dan tidak dapat dipisahkan dari situasi-kondisi serta fenomena global.
Diperlukan suatu pendekatan bahkan strategi khusus bagi pemerintah daerah Bali dalam hal ini Disparda Provinsi Bali untuk dapat memulihkan pariwisata Bali pascabom. Pendekatan, strategi atau upaya Disparda Provinsi Bali dalam tulisan ini akan dikaji, terutama berfokus kepada peran dan kendala yang dihadapi.
1.2 Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah Peran Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) dalam Memulihkan Pariwisata Pascabom Bali?
2. Bagaimana Kendala Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) dalam Memulihkan Pariwisata Pascabom Bali?
1.3 Kerangka Konseptual Teoritis
Ada pun teori dan konsep yang digunakan sebagai payung dan pisau analisis dalam tulisan ini adalah ; Teori Sistem (Parson, 1986), Pariwisata (UU RI No. 10 Tahun 2009), Kebijakan Pariwisata (Pendit, 1999), Kendala dan Pemulihan (Balai Pustaka, 2002), dan Peranan Sosial (Veeger, 1993).
1.4 Metode Penelitian
Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif sebagai upaya memperoleh pemahaman makna atas fenomena (Muhadjir, 1998). Unit analisisnya adalah peran dan kendala Disparda Provinsi Bali dalam memulihkan pariwisata Bali Pascabom. Teknik penentuan informan dilakukan secara purposive sampling (Koenjaraningrat, 1997), Teknik Pengumpulan Data menggunakan metode observasi, wawancara dan studi pustaka (Moloeong, 2005) dan Teknik Analisis Data Kualitatif yang menekankan interpretasi dari hasil wawancara, hasil observasi, dan catatan lapangan sebagai suatu data yang terpercaya (Geertz, 1995).
II. PEMBAHASAN
Praktisi pariwisata sangat merasakan penurunan pendapatan mereka setelah bom Bali I (12 Oktober 2002) dan Bom Bali II (1 Oktober 2005). Pendapatan yang menurun drastis dirasakan mulai dari pedagang acung, pengusaha art shop hingga konglomerat yang bergerak di bidang jasa/hospitality (hotel, restoran, dll).
Tragedi Bom Bali tersebut dengan demikian secara nyata diakui mengakibatkan berbagai hal yang sangat merugikan bagi perkembangan pariwisata Bali, yaitu :
1. Tingkat kunjungan wisatawan, baik wisatawan maca negara maupun wisatawan domestik menjadi menurun.
2. Tingkat hunian kamar hotel menurun.
3. Banyak terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan pada berbagai usaha di bidang kepariwisataan (atau paling tidak dirumahkan).
4. Investor tidak berani menanamkan modalnya di Bali karena keamanan tidak terjamin.
Selain kenyataan tersebut, terjadi pergeseran pangsa pasar dari wisatawan manca negara dari Eropa seperti Spanyol, Prancis, Inggris dan Jerman. Setelah tragedi Bom Bali wisatawan manca negara yang lebih banyak berkunjung ke Bali adalah
wisatawan dari negara-negara Asia seperti Jepang, Cina, Taiwan dan Korea. Untuk itu, maka segenap komponen masyarakat khususnya komponen pariwisata bersama-sama dengan pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mengupayakan pemulihan kehidupan Sektor Pariwisata.
Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam hal ini Dinas Pariwisata sudah melakukan berbagai upaya dalam pemulihan pariwisata pasca Bom Bali namun belum memberikan hasil yang optimal. Pembangunan Pariwisata di Provinsi Bali menempati prioritas yang menentukan, karena memberikan dampak ganda terhadap pembangunan sektor lainnya, yang selama ini mengalami fluktuasi dalam hal jumlah wisatawan manca negara yang berkunjung ke Bali.
Kebijakan Umum Anggaran Tahun 2008 Pemerintah Provinsi Bali dikemukakan mengenai permasalahan yang dihadapi dalam Pengembangan Bidang Kepariwisataan sebagai berikut :
1. Masih rendahnya daya saing industri pariwisata nasional dan belum optimalnya sinergi pembangunan pariwisata dengan pembangunan sosial dan budaya.
2. Persaingan yang semakin ketat antara anegara-negara yang menjadi tujuan wisata.
3. Belum mantapnya keamanan dan kenyamanan pada daerah tujuan wisata.
4. Belum meratanya penyebaran sarana dan prasarana pariwisata yang nenadai di seluruh kabupaten/kota seperti; transportasi, akses informasi, sanitasi lingkungan di beberapa obyek dan daya tarik wisata.
5. Kurangnya pengetahuan dan kemampuan tenaga kerja pariwisata atau rendahnya daya saing sumber daya manusia pariwisata.
6. Belum optimalnya promosi pariwisata.
7. Terbatasnya bahan-bahan promosi pariwisata.
Kunjungan wisatawan ke Bali pasca teror bom Bali I dan II secara kuantitas memang tidak menunjukkan penurunan berarti, tetapi secara kualitas terjadi penurunan yang dirasakan oleh komponen pariwisata di Bali. Perkembangan Sektor Pariwisata di Provinsi Bali sebagai sektor andalan dalam kerangka pembangunan daerah, merupakan penggerak pembangunan di segala bidang dan sektor-sektor lainnya, tetapi pascabom Bali mengalami stagnasi, sebagai permasalahan yang perlu segera ditangani bersama oleh pemerintah, masyarakat dan swasta.
2.1 Peran Disparda Provinsi Bali dalam Memulihkan Keadaan Pascabom
Kunjungan langsung wisatawan ke Bali periode 2000-2004 merupakan tahun- tahun sulit bagi perkembangan kepariwisataan Bali. Padahal data menunjukkan bahwa pada tahun 2000 jumlah kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke Bali meningkat 4,21% yaitu sejumlah 1.355.799 orang pada tahun 1999 menjadi 1.412.839 orang pada tahun 2000 (Disparda, 2004). Pada tahun 2000 ini dinyatakan sebagai kunjungan wisatawan mancanegara terbesar ke Bali secara kuantitas dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Para praktisi pariwisata pun seakan mengalami euphoria dengan harapan kedepannya kunjungan wisatawan mancanegara akan bertambah jumlahnya. Aktifitas kepariwisataan meningkat termasuk daya dukungnya yang menyerap tenaga kerja cukup tinggi. Namun berbagai peristiwa teror yang mengguncang dunia dan Bali menyurutkan harapan optimis tersebut. bom Bali 12 Oktober 2002 disusul dengan bom Bali 1 Oktober 2005 mengurangi angka kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke Bali. Beberapa faktor lain diduga sebagai penyebab penurunan kunjungan wisatawan,
seperti krisis moneter yang melanda dunia dan stabilitas keamanan seperti peperangan dan aksi terorisme.
Menyikapi situasi tersebut di atas, peran Disparda Provinsi Bali dituntut mampu memberikan solusi untuk pemulihan pariwisata Bali sesuai dengan Tupoksi yang dimiliki. Secara hierarki Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali berada di bawah Gubernur sebagai Kepala Daerah Tingkat I. Seluruh kebijakan yang dikeluarkan Disparda harus berdasarkan persetujuan Gubernur melalui Sekda atau pun jika seorang Kepala Dinas mempunyai suatu ide pembangunan pariwisata harus sepengetahuan Gubernur atau Sekda dalam mengimplementasikan ide atau kebijakan tersebut.
Dalam pembangunan kepariwisataan, Disparda Provinsi Bali mempunyai kedudukan dan peranan cukup signifikan mewujudkan pembangunan kepariwisataan berkelanjutan, dengan diikuti oleh penyelanggaraan pemerintah yang akuntabel.
Pemerintah yang akuntabel atau good governance merupakan keharusan yang perlu dilaksanakan dalam usaha mewujudkan aspirasi serta cita-cita masyarakat dalam mencapai masa depan yang lebih baik (Lakip Disparda 2004).
Menyikapi tragedi bom, pemerintah berusaha memaksimalkan kinerjanya untuk dapat meningkatkan angka kunjungan wisatawan mancanegara sebagai roda pertumbuhan perekonomian di Bali. Kerja keras pemerintah yang mencakup menjaga keamanan dan kenyaman, upaya promosi dan koordinasi dengan segenap komponen masyarakat dinilai beragam. Ada yang berasumsi keseriusan Pemerintah Daerah dalam recovery Bali sudah maksimal namun banyak pula yang mengatakan usaha pemerintah dalam memulihkan pariwisata Bali tidak optimal sehingga perubahan untuk mencapai target yang diharapkan berjalan sangat lambat. Kenyataannya, secara kuantitas hasil yang terlihat pada saat penelitian dilaksanakan angka kunjungan langsung wisatawan ke Bali sudah mulai pulih kembali (meskipun tidak sebaik kondisi sebelum bom Bali 2002), namun secara kualitas kiranya perlu dilaksanakan penelitian lanjutan yang secara spesifik membahas permasalahan tersebut.
Kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk memulihkan pariwisata Bali dengan membentuk tim recovery untuk mengkaji dan memberikan solusi dengan segera untuk mencegah pariwisata Bali tidak terpuruk. Kebijakan dari Pemerintah Pusat bersifat umum dalam arti tidak langsung menangani permasalahan ini hingga ke tingkat bawah.
Tugas Pemerintah Provinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota mengimplementasikan kebijakan dari Pemerintah Pusat tersebut.
Kebijakan dari Pemerintah Pusat secara umum dapat dipilah menjadi dua prioritas yaitu menyangkut keamanan dan promosi Bali sebagai daerah tujuan wisata utama di Indonesia dan di dunia. Kebijakan dari Pemerintah Pusat dengan demikian berjalan sesuai dengan koridor birokrasi dari atas ke bawah dan secara horizontal harus pula dikoordinasikan dengan institusi lain sesuai dengan tugasnya untuk dapat mewujudkan tujuan yang ingin dicapai bersama. Permasalahan keamanan menjadi tanggungjawab Kepolisian Daerah Bali bersama-sama masyarakat untuk menciptakan rasa nyaman bagi wisatawan. Promosi menjadi tanggungjawab Disparda Provinsi Bali bersama stakeholders dalam mempublikasikan Bali ke dunia luar bahwa Bali sudah aman dan layak untuk dikunjungi. Pemerintah Pusat juga dapat mengambil peran ini dengan memanfaatkan kapasitas Hubungan Diplomatik yang dimiliki meyakinkan kepada dunia bahwa Bali merupakan daerah kunjungan wisatawan yang masih tetap menawan dan memikat dengan keunikan budaya yang dimiliki.
Kebijakan sangat memegang peranan penting dalam birokrasi moderen.
Implementasi dan koordinasi menjadi landasan birokrat dalam mencapai tujuan yang
ingin dicapai untuk melayani publik. Pola-pola kekuasaan (hirarki) tersusun sedemikian untuk dapat memberikan hasil yang efektif dan efisen bahkan bila perlu diusahakan memperoleh hasil maksimal. Analisis kebijakan adalah sebuah telaah krisis isu kebijakan tertentu, dilakukan oleh analis dan para pihak yang dipengaruhi kebijakan, menggunakan ragam pendekatan dan metode yang menghasilkan nasehat atau rekomendasi kebijakan guna membantu pembuat kebijakan dan para pihak yang akan dipengaruhi kebijakan dalam mencari solusi yang tepat atas masalah-masalah kebijakan yang relevan. Wahab juga mengungkapkan ciri-ciri yang menonjol dari kebijakan publik, yaitu; (1) merupakan rangkaian keputusan politik, (2) melibatkan seorang aktor politik dan atau sekelompok lain, (3) sebagai proses pemilihan tujuan dan sarana untuk mencapainya, (4) berlangsung dalam situasi tertentu, dan (5) ada dalam lingkup atau batas-batas kekuasaan para aktor (Wahab, 1990 : 17). Artinya kebijakan didesain sebagai tawaran jawaban terhadap masalah yang terjadi dan dirancang untuk bisa menghasilkan efek sosial yang dikehendaki. Pandangan sebagai bentuk intervensi sosial, dikembangkan dari pemikiran normatif yang menyepakati kebijakan bukan sekedar sebagai sistem dimana aspirasi (tuntutan dan dukungan) diartikulasikan oleh faktor-faktor kebijakan menjadi sebuah keputusan kebijakan tetapi lebih sebagai bentuk aktivitas birokrasi pemerintah (Siagian, 2000 : 60).
Ada pun upaya kongkrit yang dilakukan Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata pasca bom sebagai bagian dari kebijakan yang diterapkan adalah (1) upaya pemulihan keamanan berkoordinasi dengan Polda , (2) upaya promosi dengan melibatkan BTB, PHRI, stakeholders, Media Massa dan masyarakat, Tahap Penyelamatan, Tahap Pemulihan, Tahap Normalisasi dan Tahap Pengembangan.
Peran Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata pascabom melalui upaya pemulihan keamanan dan upaya promosi harus berhati-hati karena melibatkan banyak hierarki birokrasi untuk menghindari benturan yang dapat menghambat kinerja dan realisasi program. Adanya peran pemerintah pusat, peran aparat keamanan (Polda), peran lembaga-lembaga pariwisata dan profesi, peran stakeholders pariwisata, peran masyarakat lokal yang kesemuanya memiliki kepentingan dan tidak menutup kemungkinan akan berjalan sendiri-sendiri dan sulit dikoordinir. Sangat beralasan kemungkinan terjadi upaya pemulihan secara partial karena pemulihan bukan hanya demi Bali tetapi demi usaha jasa yang dimiliki seperti hotel dan restoran.
Jika mereka menunggu upaya pemerintah dan tidak aktif menjemput bola, para pengusaha takut bisnis mereka akan terancam bangkrut. Seperti hotel yang berkualifikasi internasional tentunya akan memanfaatkan jejaring yang dimiliki untuk dapat bertahan ditengah terpuruknya kondisi pariwisata Bali.
Standar kebijakan pariwisata yang diterapkan oleh pemerintah pusat maupun daerah dengan demikian dituntut untuk mampu secara cepat, tepat dan fleksibel menyikapi permasalahan pemulihan semacam ini kedepannya. Birokrasi yang terkesan lamban dengan pola top down harus dikurangi dan disesuaikan dengan kondisi nyata.
Hal ini dapat dilakukan jika segenap pihak memiliki kesamaan visi dan misi serta program kerja yang jelas sehingga dikemudian hari jika terjadi hal serupa maka akan cepat dan tepa digunakan langkah-langkah strategis dengan mengandalkan kebijakan- kebijakan pemerintah yang linear dan dituntut kemampuan pemerintah daerah untuk berani mengambil keputusan dengan meminimalkan resiko. Hal yang harus dihindari adalah lahirnya kebijakan-kebijakan yang justru menghambat upaya pemulihan karena perbedaan persepsi yang justru nantinya akan merugikan segenap pihak.
Koordinasi merupakan kata kunci untuk mencapai keberhasilan dalam upaya pemulihan pariwisata pascabom Bali. Kebijakan dari Pemerintah Pusat diteruskan oleh Pemerintah Provinsi Bali melalui Disparda dan instansi terkait lainnya kemudian dikoordinasikan bersama Pemerintah Kabupaten/Kota di Bali. Dalam kenyataannya sangat sulit melakukan koordinasi yang baik diantara berbagai komponen karena perbedaan cara pandang, sistem atau cara bekerja yang berbeda dan perbedaan sasaran yang ingin dicapai. Disinilah tugas berat Disparda Provinsi agar dapat mengakomodir perbedaan tersebut dengan meyakinkan segenap pihak tujuan yang utama dari pemulihan pariwisata adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara maupun nusantara ke Bali.
Sejalan dengan UU. No.22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom pembangunan pariwisata pascabom Bali diusahakan berjalan sesuai dengan koridor tersebut. Pemerintah Provinsi dalam hal ini Disparda Provinsi Bali memiliki wewenang di bawah Gubernur untuk berkoordinasi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota untuk memulihkan pariwisata pascabom Bali.
Koordinasi Disparda Provinsi tidak bersifat searah melainkan timbal-balik sebagai upaya bersama membangun pariwisata Bali. Koordinasi diperlukan untuk dapat menyusun rencana yang strategis dengan melibatkan stakeholders dan masyarakat sebagai salah satu metode perencanaan yang terarah. Penyelenggaraan otonomi daerah pascabom Bali semula dirasakan menimbulkan kesulitan tersendiri karena pemberlakuan Undang-Undang yang baru sehingga sering terjadi salah interpretasi dan menimbulkan penyimpangan dalam implementasi di lapangan. Namun berkat pendekatan yang digunakan oleh Pemerintah Provinsi Bali yang bersifat membina kesalahpahaman dapat diminimalkan terutama dalam pemulihan pariwisata Bali.
Kebijakan yang turun dari Pemerintah Pusat dengan dibentuknya tim recovery Bali mengeluarkan langkah-langkah strategis yang dapat dipahami hingga ke tingkat Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam hal ini Disparda Provinsi Bali selalu membuka diri untuk menerima masukan dari para stakehloders untuk dapat diteruskan ke Pemerintah Kabupaten/ Kota sehingga upaya pemulihan pariwisata pascabom tidak berjalan sendiri-sendiri.
Kesadaran Pemerintah Daerah Bali untuk bersama-sama berusaha meningkatkan citra pariwisata Bali menjadi senjata ampuh untuk mempercepat pemulihan.
Kabupaten Badung sebagai daerah penyumbang PAD terbesar karena memiliki daerah kunjungan wisatawan yang terbesar, terlihat sangat aktif berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Bali dalam upaya pemulihan pascabom. Hubungan Pemerintah Kabupaten bersama stakeholders terlaksana dengan baik dengan tidak melupakan peran masyarakat. Sebagai penyumbang PAD terbesar yang bersumber dari pariwisata usaha Pemkab Badung juga didukung oleh Pemkab/Kota se- Bali. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa Badung sebagai daerah tujuan wisata utama di Bali yang memberikan kontribusi besar bagi pembangunan Bali pada umumnya harus didukung bersama kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali maupu Kebijakan dari Pemerintah Pusat.
Koordinasi dengan pihak keamanan juga telah dilakukan oleh Disparda Provinsi Bali dengan meyakinkan para stakeholders untuk turut berperan menjaga keamanan di wilayah kerja masing-masing. Support kepada pihak keamanan diwujudkan pula melalui bantuan informasi maupun materi sebagai motivator bagi aparat keamanan untuk dapat bersama-sama bekerja secara maksimal. Pemasangan CCTV di beberapa
titik sentral yang dipandang rawan juga dikoordinasikan kepada pihak aparat keamanan. Pemerintah Provinsi Bali melalui Disparda berharap dapat secara optimal mewujudkan Bali yang aman dan nyaman. Tanpa keamanan yang terjamin dipastikan citra pariwisata Bali akan semakin merosot yang berdampak kepada penurunan angka kunjungan wisatawan. Hal ini berarti laju perekonomian Bali akan tersendat yang berdampak pula kepada kesejahterahaan masyarakat yang semakin menurun.
Koordinasi bersama media massa baik lokal maupun asing dilakukan secara sinergis untuk dapat memberikan pencitraan positif. Diusulkan kepada media massa agar melaporkan atau menulis peristiwa positif pascabom Bali bukan sebaliknya semakin memojokkan citra pariwisata Bali dengan pemberitaan yang tendensius.
Pelaksanaan upacara Kariphubhaya pascabom, toleransi antar etnis/umat beragama yang harmonis, keindahan objek wisata dan keamanan Bali diharapkan dapat dimuat sebagai berita yang menyejukkan bagi para calon wisatawan. Bahkan bertujuan pula bagi negara-negara yang potensial sebagai pangsa pasar wisatawan. Hal ini bertujuan agar negara-negara besar seperti Amerika Serikat yang semula mengeluarkan travel warning dapat menurunkan level-nya menjadi travel advisory atau malah mencabut peringatannya menjadi Bali sudah layak dikunjungi karena pemberitaan yang stabil dan kondusif.
2.2 Kendala Internal dan Eksternal
Berdasarkan Hierarki dan Tupoksi kerja yang dimiliki, Disparda Provinsi Bali harus berupaya berperan maksimal mewujudkan pembangunan pariwisata Bali secara berkelanjutan. Dalam kasus pascabom Bali, peran Disparda Provinsi Bali seperti disampaikan di atas harus menghindari benturan birokrasi, kebijakan, kepentingan, dan perbedaan visi dan misi serta program kerja yang berjalan secara partial.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa kendala yang dihadapi Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata pascabom. Kendala pemulihan dapat dilihat secara internal maupun eksternal dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya.
Dalam upaya pemulihan pariwisata oleh Disparda Provinsi Bali kendala internal dan eksternal tampak selalu berdampingan karena tidak terpisahkan sebagai suatu sistem yang memerlukan koordinasi dalam menanganinya.
Pengakuan dari beberapa praktisi pariwisata di Bali upaya pemulihan pariwisata dapat berjalan dengan cepat apabila ada goodwill dari pemerintah dan dukungan dari segenap komponen. Selain promosi iklim investasi juga harus ditingkatkan sejalan dengan meningkatnya stabilitas keamanan. Menyatunya persepsi untuk meningkatkan kembali kunjungan wisatawan dan analisa pasar yang tepat diyakini kondisi pariwisata Bali akan semakin membaik dari sebelumnya. Peran Disparda Provinsi Bali dapat dirasakan oleh para stakeholders dengan berbagai kebijakan dan kemudahan yang diberikan untuk dapat mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya ke Bali.
Ada pun kendala internal adalah alur birokrasi sering menjadi kendala dalam progress pariwisata khususnya dalam upaya promosi. Pariwisata Bali yang terpuruk mesti segera dipulihkan karena pariwisata sudah menjadi produk penopang perekonomian Bali. Bali masih sangat mengandalkan sektor pariwisata sebagai penggerak perekonomian. Menyikapi hal ini Bali Tourism Board (BTB) pada tahun 2006 telah melakukan langkah pemulihan dengan melakukan road show ke kota-kota di Australia. Berdasarkan data BTB pemulihan pariwisata pascabom yang dilakukan sejak tahun 2002 sudah menunjukkan hasil yang cukup baik. Pihak BTB bersama stakeholders lainnya bekerja keras berkoordinasi dengan Disparda Provinsi Bali bersama masyarakat
memulihkan kepariwisataan di Bali. Selanjutnya Disparda Provinsi dibawah koordinasi Pemerintah Pusat memberikan persetujuan termasuk pengalokasian dana pemulihan pariwisata tersebut.
BTB sebagai gabungan dari sejumlah organisasi kepariwisataan di Bali bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan memfasilitasi industri dan pemerintah dalam meningkatkan mutu objek wisata dan segenap faktor pendukungnya.
Visi BTB adalah menjadi organisasi yang mengelola daerah tujuan wisata secara profesional dan memiliki daya saing dengan negara lain. Misi BTB adalah mempromosikan, membangun dan mengelola Bali sebagai daerah tujuan wisata unggulan. BTB sudah mengambil langkah-langkah strategis bersama Disparda Provinsi Bali dengan menyusun rancangan aksi pemasaran, promosi Bali, merangsang kedatangan wisatawan secara berkesinambungan, meningkatkan kesadaran masyarakat Bali akan kepariwisataan, menjembatani dan mengaktifkan komunikasi dua arah serta pertukaran ide antara pemerintah dan sektor swasta.
Seperti pada kasus menegangnya hubungan diplomatik Indonesia-Australia, pihak BTB langsung mengambil langkah dengan mengadakan pertemuan bersama praktisi pariwisata dari Australia. BTB Bali bertemu dengan maskapai penerbangan Australia dan 30 praktisi pariwisata membahas operasional tim promosi Bali termasuk membicarakan memburuknya hubungan bilateral kedua Negara agar tidak berdampak kepada kunjungan wisatawan Australia ke Bali.
Upaya yang dilakukan praktisi pariwisata adalah ingin secara cepat dan mantap memulihkan pariwisata Bali karena berhubungan erat dengan korporasi yang mereka miliki. Oleh karena itu, tidaklah salah jika mereka juga turut memberikan bantuan baik moril maupun materil kepada Disparda atau masyarakat untuk segera memulihkan pariwisata Bali. Dalam banyak kasus para praktisi pariwisata memberikan bantuan pemikiran maupun materi seperti dalam upaya promosi melalui Pesta Kesenian Bali (PKB). Ketika pihak Pemerintah Provinsi kesulitan mempromosikan PKB karena alokasi dana untuk promosi sangat minim, kerjasama dengan para stakeholders mampu membantu promosi kepada para wisatawan. Para stakeholders mengakui seharusnya pemerintah menyiapkan anggaran yang cukup untuk mempromosikan event-event semacam PKB. Biaya promosi yang terbatas akan menyebabkan arah pemasaran menjadi bias. Para stakeholders seperti ASITA dan PHRI sangat siap men-support promosi yang arah dan jelas tujuannya. Kemampuan networking yang mereka miliki terutama di luar negeri diyakini akan sangat membantu promosi Bali.
Kenyataannya, praktisi pariwisata sering bergerak lebih cepat dari pemerintah karena mereka terdiri dari orang-orang professional yang berpengalaman di bidangnya (pariwisata) yang secara langsung mempertaruhkan kapitalnya di dunia pariwisata.
Mereka melakukan reaksi cepat karena tidak ingin bangkrut, sehingga modalnya tidak hilang melainkan dapat bertahan atau segera mendapatkan keuntungan. Seperti langkah cepat Kamar Dagang dan Industri Bali (KADIN) mengadakan lobi kepada Pemerintah Pusat dalam pemulihan pariwisata pascabom Bali.
Pihak stakeholders juga memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah terkait dengan pemulihan kepariwisataan di Bali. Pencairan dana recovery yang sering terhambat karena masalah birokrasi juga dapat dilihat pada tahun 2006. Praktisi pariwisata yang tergabung dalam Persatuan Hotel dan Restoran (PHRI) Bali mengusulkan perlunya daerah memiliki pos dana tak terduga untuk membantu recovery Bali. Selama ini recovery terbentur oleh minimnya biaya promosi dari pihak pemerintah. Padahal Menbudpar saat itu sudah berjanji untuk meningkatkan biaya
promosi dari tahun ke tahun. Pihak pemerintah dalam hal ini Disparda Kabupaten Badung menyambut positif usulan ini. Namun karena kesulitan membagi pos anggaran yang kesemuanya sudah dibagi berdasarkan skala prioritas usulan ini sampai sekarang belum terealisasi.
Apabila upaya yang dilakukan BTB dan PHRI Bali ditunjang oleh pemerataan pendanaan, kemampuan SDM dan pembangunan pariwisata yang langsung dirasakan oleh masyarakat setempat, peneliti berasumsi permasalahan seperti perlakuan tidak sopan kepada wisatawan akan hilang karena masyarakat memperoleh profit dari kemajuan pariwisata di desanya. Kesadaran masyarakat pun akan meningkat untuk tetap menjaga keamanan dan kenyamanan di wilayahnya masing-masing.
Disparda Provinsi Bali sejak tahun 2003 menerapkan rencana strategik untuk dapat bersinergi secara maksimal bersama stakeholders untuk memulihkan pariwisata Bali. Pada tahun 2004 Disparda mengalokasikan dana sebesar Rp. 125.000.000 untuk pembinaan usaha sarana pariwisata yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pengusaha mematuhi ketentuan yang berlaku. Dana sebesar Rp. 200.225.000 dialokasikan untuk pembinaan usaha jasa pariwisata yang bertujuan pula memberikan pemahaman kepada praktisi usaha jasa pariwisata untuk mematuhi ketentuan yang berlaku. Pembinaan berupa pelatihan atau sosialisasi diharapkan dapat memperbaiki kualitas sarana dan jasa pariwisata pascabom Bali.
Program promosi bersama stakeholders juga dilakukan pada tahun 2004 dengan melakukan promosi dalam dan luar negeri. Alokasi dana untuk promosi ini sebesar 1.935.168.000. Target yang ingin dicapai dalam promosi pariwisata untuk menyebarkan informasi kepariwisataan untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Selain itu program pelayanan informasi juga dikembangkan untuk mencetak brosur/cd sehingga tersusun bahan promosi pariwisata yang mudah diterima oleh para wisatawan.
Hubungan antara Disparda dengan stakeholders sejatinya bersifat timbal balik dengan menjaga keharmonisan keduabelahpihak. Disparda tidak dapat bergerak mengambil kebijakan sendiri dalam mengambil keputusan seperti pada tragedi bom Bali. Melainkan secara hirarki birokrasi mengikuti kebijakan dari Pemerintah Pusat dan institusi terkait lainnya. Kebijakan dari atas tersebut baru dikondisikan sesuai dengan keadaan yang di terjadi di Bali. Hal ini sering menjadi penghalang Disparda untuk dapat mengambil langkah yang cepat dalam kondisi darurat. Banyak pertimbangan yang mesti dipatuhi dan dilakukan untuk memecahkan suatu permasalahan.
Kesulitan Disparda Provinsi Bali bersama Disparda Kabupaten/Kota dalam merespon permasalahan yang dihadapi industri pariwisata pascabom dapat diselesaikan dengan interaksi antara keduabelah pihak. Disparda yang terbelit oleh hirarki birokrasi dapat dibantu oleh stakeholders dengan langsung melobi ke Pemerintah Pusat.
Profesionalisme dalam berbisnis membuka jaringan ke Pemerintah Pusat maupun ke jaringan bisnis Internasional.
Disinilah tampak bagaimana hegemoni kekuasaan secara praksis memiliki kekuatan yag sulit dibendung. Tidak ada kekerasan tetapi yang terjadi adalah keharusan (mungkin pemaksaaan secara halus) bahwa daerah mutlak menuruti kebijakan dari Pemerintah Pusat. Di sisi lain Otonomi Daerah mengaburkan pemerintahan di daerah antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pada tataran ini kembali hegemoni lahir dalam wujud yang berbeda sehingga sulit menemukan siapa yang mengendalikan dan apa yang dikendalikan. Hegemoni adalah penghalusan kekuasaan, artinya dalam kasus ini perang kekuasaan terjadi tanpa menghasilkan siapa
pemenangnya karena terikat dalam satu kesatuan yang berkesinambungan namun penuh dengan kekukuhan pada ego sektoral.
Berbeda dengan stakeholders pariwisata yang mandiri dan profesional karena mereka bergerak di ranah kapital yang menuntut mereka untuk dapat bertahan dalam kondisi apapun. Perusahaan yang mereka miliki adalah aset dan investasi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya sesuai dengan motif ekonomi. Oleh karena itu tidaklah heran ketika terjadi tragesi bom mereka pun kebingungan dan berpikir keras menyelamatkan perusahaan secara internal (efesiensi, inovasi, dll) maupun eksternal (promosi, merger, dll). Langkah-langkah yang mereka lakukan lebih cepat dari pihak pemerintah daerah yang terbelit oleh lingkaran birokrasi.
Ketergantungan diantara keduanya sebagai bagian dari suatu sistem menuntut mereka harus berjalan bergandengan. Permasalahan yang sama dihadapi oleh Disparda Provinsi dan stakeholders yaitu menurunnya kunjungan wisatawan yang berdampak domino terhadap pembangunan Bali. Kedua komponen ini pun tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena akan tetap memerlukan antara satu dengan lainnya.
Disparda Provinsi Bali juga masih menemui kendala dalam berkoordinasi dengan Disparda Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali dalam kebijakan-kebijakan pariwisata.
Belum jelasnya kewenangan masing-masing pihak sering menimbulkan permasalahan di lapangan. Kenyataan ini sering membingungkan stakeholders dalam berinvestasi pascabom Bali. Belum lagi perubahan kebijakan dari pusat yang sewaktu-waktu dapat merubah kebijakan terdahulu.
Interaksi antara Disparda Provinsi Bali bersama stakeholders pariwisata di Bali saling menguntungkan keduabelah pihak. Disparda sebagai bagian dari pemerintah menjalankan tugas dan fungsi di bidang pariwisata dan stakeholders menjalankan tugas untuk kepentingan bisnis yang secara langsung memberikan kontribusi kepada perekonomian daerah dan pembangunan di Bali. Hubungan harmonis ini berjalan berdasarkan kepentingan yang sama yaitu memajukan pariwisata di Bali.
Kendala eksternal yang dihadapi dalam upaya pemulihan pascabom Bali, adalah menurunnya kepercayaan pasar terhadap pariwisata Bali, koordinasi bersama stakeholders yang juga terlihat dalam kendala internal di atas, termasuk koordinasi dengan aparat keamanan dan koordinasi bersama masyarakat.
George Simmel (1994) dengan pendekatan teori interaksi mengidentifikasi dan menganalisis bentuk yang berulang atau pola-pola sosial, yaitu proses interaksi timbal balik dalam masyarakat. Pendekatan ini mengusahakan keseimbangan antara pandangan nominalis (hanya percaya pada individu riil) dan pandangan realis atau teori organik (realitas sosial bersifat independen dari individu yang membentuknya). Bentuk dan pola diisoliasi dan proses interaksi dapat dibedakan dari isi kepentingan tujuan atau maksud yang dicari melalui proses interaksi. Dalam proses sosial interaksi timbal- balik, apakah terjadi dalam bentuk superordinasi atau subordinasi. Meskipun superordinat bertujuan mengontrol subordinat dalam hal superordinat mempertahankan keinginan subordinat.
Dinas Pariwisata Provinsi Bali memiliki tugas memajukan pembangunan pariwisata sesuai dengan visi dan misi yang dimiliki. Peran Disparda dengan demikian tidak terlepas dari stakeholders sebagai praktisi pariwisata dan masyarakat sebagai bagian dari kepariwisataan itu sendiri. Hubungan ini idealnya dibangun berdasarkan timbal balik yang saling menguntungkan untuk memajukan pariwisata di Bali.
Hasil observasi dan analisis dari peneliti, kemajuan pariwisata Bali sangat berperan dalam segala aspek kehidupan masyarakatnya. Pemerintah Provinsi Bali
melalui Disparda memiliki peran superordinat dalam mengatur dan mengembangkan kepariwisataan di Bali. Peran Disparda Provinsi Bali meliputi kehumasan pariwisata, pengembangan objek pariwisata, usaha jasa dan sarana pariwisata, promosi dan kualitas pariwisata dan sumber daya pariwisata.
Secara teori terlihat peran superordinat Disparda Provinsi Bali ini memberikan kesan yang besar dalam mengatur dan mengembangkan kepariwisataan di Bali.
Stakeholders dan masyarakat terkesan berada pada posisi subordinat yang mengikuti dan tunduk kepada segala kebijakan yang dilakukan Disparda Provinsi Bali.
Namun secara kondisi real di lapangan Disparda Provinsi Bali tidak dapat berjalan sendiri dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Stakeholders dan masyarakat merupakan komponen yang sama pentingnya dengan Disparda sebagai penyelenggara kepariwisataan. Jika Disparda berada pada posisi regulasi, pengawasan dan pengembangan maka stakeholders dan masyarakat merupakan komponen yang bersentuhan langsung dengan wisatawan.
Interaksi antara ketiga komponen dengan demikian saling tergantung antara satu dengan lainnya. Disparda hanya mampu memberikan kebijakan dan pembinaan terhadap kepariwisataan. Disparda Provinsi Bali tidak berwenang dan tidak memiliki kapabilitas untuk menyelenggarakan usaha-usaha kepariwisataan.sedangkan stakeholders memiliki peran signifikan sebagai penyelenggara kepariwisataan.
Masyarakat secara langsung maupun tidak langsung berhubungan erat dengan kemajuan kepariwisataan karena pengaruh positif dari pariwisata pada suatu daerah seyogyanya dirasakan pula oleh masyarakatnya.
Jika dikatakan stakeholders dalam interaksinya dengan Disparda berada pada posisi subordinat, tampaknya tidak tepat. Dalam banyak hal stakeholders memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh Disparda Provinsi Bali. Misalkan dalam penyediaan dan penyelenggaraan sektor pendukung pariwisata seperti, hotel dan restoran. Untuk promosi dan kesuksesan usaha tersebut peran Disparda tidaklah terlalu besar dari sisi praktisnya. Justru stakeholders melalui kemampuan management, Sdm dan promosi mereka mampu menarik wisatawan untuk memanfaatkan fasilitas yang dimiliki.
Begitu pula dengan masyarakat, mereka memiliki kebebasan dalam menciptakan dan mengembangkan kepariwisataan di masing-masing daerahnya.
Misalkan masyarakat mengembangkan atraksi wisata seperti seni pertunjukan Barong, Disparda hanya sebatas memantau, membina dan berusaha mengembangkan melalui hasil penelitian dan kebijakan yang dimiliki untuk menjaga keberlanjutan atraksi wisata tersebut. Masyarakat memiliki keleluasaan dalam usaha promosi, hubungan kerjasama dengan stakeholders dan hubungan langsung pula dengan para wisatawan.
Sangat sulit untuk mencari siapa yang memiliki power dan authority terkuat dalam hal ini. Ketiga komponen tersebut terikat dalam hubungan yang jelas dan saling memerlukan dalam melaksanakan masing-masing tugasnya. Keberlangsungan pariwisata di Bali tidak akan pernah lepas dari peran ketiga kompoenen tersebut, Disparda Provinsi Bali di tataran kebijakan, stakeholders dan masyarakat di tataran penerapan kebijakan dan penyelenggaraan pariwisata. Dengan demikian meskipun Disparda Provinsi Bali memiliki tugas untuk mengawasi kepariwisataan agar tidak keluar dari visi dan misi yang dimiliki, tetapi dalam prakteknya Disparda tidak membatasi atau mengurangi peran stakeholders dan masyarakat. Melainkan Disparda hanya memberikan rambu-rambu yang patut diikuti oleh kedua komponen tersebut agar kepariwisataan dapat berjalan dengan harmonis.