• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA GOLONGAN DARAH ABO DENGAN KARSINOMA NASOFARING SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA GOLONGAN DARAH ABO DENGAN KARSINOMA NASOFARING SKRIPSI"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA GOLONGAN DARAH ABO DENGAN KARSINOMA NASOFARING

SKRIPSI

Oleh :

NIKO DEMUS PARTOGI SIMANJUNTAK 160100126

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

NIKO DEMUS PARTOGI SIMANJUNTAK 160100126

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)

Judul Penelitian : Hubungan Antara Golongan Darah ABO Dengan Karsinoma Nasofaring

Nama Mahasiswa : Niko Demus Partogi Simanjuntak Nomor Induk : 160100126

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan pada ujian seminar hasil penelitian.

Medan, 27 November 2019 Menyetujui,

Dosen Pembimbing

(Dr. dr. Farhat, M. Ked(ORL-HNS), Sp. T.H.T.K.L(K)) NIP.197003162002121002

(4)

Karsinoma Nasofaring”. Penulisan skripsi ini ditujukan sebagai tugas akhir dan persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini banyak bantuan, bimbingan, dukungan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada:

1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp. S (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. dr. Farhat, M. Ked(ORL-HNS), Sp. T.H.T.K.L(K), selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, memberi arahan, dan masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Dr. dr. Imam Budi Putra, Sp. KK selaku ketua dosen penguji dan Dr. dr.

Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp. THT-KL(K) selaku anggota dosen penguji yang telah memberikan nasihat dan saran yang sangat membangun sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sebaik-baiknya.

4. Ketua Departemen Pendidikan dan Penelitian Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

5. Teristimewa orang tua penulis, Ayahanda Alm. Drs. Juniper Simanjuntak, S. Pd. dan Ibu Gustina Panjaitan, S.Pd., serta kakak kandung penulis, dr. Esterida Simanjuntak yang selalu memberikan doa dan dukungan dalam segala hal, baik dukungan moril dan material, serta motivasi dan semangat, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

6. Sahabat-sahabat terkasih “Wolves” yang telah memberikan semangat, motivasi, dan dukungan mulai dari awal perkuliahan sampai dengan terseleasikannya skripsi ini.

(5)

yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan hasil penelitian ini masih belum sempurna, baik dari segi materi yang disampaikan maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima saran dan kritikan yang membangun demi perbaikan hasil penelitian skripsi ini.

Medan, 25 November 2019 Penulis

Niko Demus Partogi Simanjuntak

NIM. 160100126

(6)

Kata Pengantar ... ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Gambar ... vi

Daftar Tabel ... vii

Daftar Singkatan ... viii

Abstrak ... ix

Abstract ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring ... 5

2.2. Karsinoma Nasofaring ... 6

2.2.1. Epidemiologi... 6

2.2.2. Klasifikasi ... 7

2.2.3. Etiologi dan Patogenesis ... 9

2.2.4. Manifestasi Klinis. ... 12

2.2.5. Diagnosis ... 13

2.2.6. Tatalaksana ... 15

2.3. Golongan darah ABO dan KarsinomaNasofaring ... 16

2.4. Kerangka Teori ... 20

2.5. Kerangka Konsep ... 20

2.6. Hipotesis ... 20

(7)

3.1. Rancangan Penelitian ... 21

3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 21

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 21

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 21

3.4.1. Data Primer ... 21

3.4.2. Data Sekunder ... 21

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 22

3.5.1. Kriteria Inklusi ... 22

3.5.2. Kriteria Eksklusi ... 22

3.6. Defenisi Operasional ... 22

3.7. Metode Analisis Data... 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Pembahasan ... 24

4.1.1. Karakteristik Demografi Pasien ... 24

4.1.2. Faktor Risiko ... 28

4.1.3. Hasil Analisis Statistik ... 31

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan ... 32

4.1. Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34 LAMPIRAN ...

(8)

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring ... 6 Gambar 2.2 Karsinoma Berkeratin ... 8 Gambar 2.3 Karsinoma Tidak Berkeratin ... 9

(9)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi Karsinoma Nasofaring ... 14

Tabel 2.2 Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring ... 14

Tabel 4.1 Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian ... 24

Tabel 4.2 Distribusi karakteristik berdasarkan umur subjek penelitian ... 25

Tabel 4.3 Distribusi karakteristik berdasarkan ras subjek penelitian ... 25

Tabel 4.4 Distribusi karakteristik berdasarkan pekerjaan subjek penelitian ... 26

Tabel 4.5 Distribusi karakteristik berdasarkan tipe histopatologi subjek penelitian ... 26

Tabel 4.6 Distribusi karakteristik berdasarkan stadium klinis subjek penelitian ... 27

Tabel 4.7 Distribusi karakteristik berdasarkan status terapi subjek penelitian ... 28

Tabel 4.8 Distribusi karakteristik berdasarkan golongan darah subjek penelitian ... 28

Tabel 4.9 Distribusi karakteristik berdasarkan riwayat keluarga subjek penelitian ... 28

Tabel 4.10 Distribusi karakteristik berdasarkan konsumsi ikan asin subjek penelitian ... 29

Tabel 4.11 Distribusi karakteristik berdasarkan riwayat merokok subjek penelitian ... 29

Tabel 4.12 Distribusi karakteristik berdasarkan konsumsi alkohol subjek penelitian ... 30

Tabel 4.13 Hubungan golongan darah dengan karsinoma nasofaring ... 30

(10)

BARF1 : BamH1-A Reading Frame-1 BL : limfoma Burkitt’s

CT : Computerized Tomography CYP2A6 : Cytochrome p450 2A6 CYP2E1 : Cytochrome p450 2E1 EA : Early Antigen

EBER : Epstein-Barr-Early Transcripts EBNA : Epstein-Barr Nuclear Antigen EBV : Epstein-Barr Virus

GSTM1 : Glutathione S-Transferase M1 HL : limfoma Hodgkin’s

HLA : Human Leukocyte Antigen

IMRT : Intensity-Modulated Radiotherapy KNF : Karsinoma Nasofaring

LFA : Lymphocyte Function Associated Antigen LMP : Latent Membrane Protein

PTLD : Post-Transplant Lymphoproliferative Disease SICAM-1 : Soluble Intercellular Adhesion Molecule-1 STNF-α : Serum Tumour Necrosis Factor-alpha (sTNF-α) TNFR : tumor nekrosis faktor

UICC : Union for International Cancer Control VWF :Von Willebrand Factor

WHO : World Health Organization

(11)

Latar Belakang. Karsinoma nasofaring merupakan suatu keganasan yang sering terjadi di daerah kepala dan leher. Insiden paling tinggi terdapat di China Selatan, Asia Tenggara, Dan Afrika Utara. Di Indonesia angka kejadian karsinoma nasofaring adalah 6,2/100.000 dengan 13.000 kasus baru tiap tahun. Hubungan antara golongan darah ABO dan karsinoma nasofaring masih kontroversial. Tujuan.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan karakteristik, faktor risiko dan golongan darah ABO dengan kejadian karsinoma nasofaring. Metode. Penelitian dilaksanakan di Kota Medan dengan menggunakan desain penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional. Data berupa faktor risiko diperoleh dengan cara wawancara. Sampel diambil melalui metode total sampling. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan metode Chi square. Hasil. Pada analisis Chi square didapatkan nilai p sebesar 0,826 (p>0,05) yang menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara golongan darah ABO dengan karsinoma nasofaring Kesimpulan. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara golongan darah ABO terhadap karsinoma nasofaring.

Kata Kunci : Karsinoma nasofaring, Golongan darah ABO

(12)

conducted to determine the relationship of characteristics, risk factors and ABO blood type with the incidence of nasopharyngeal carcinoma. Method. The study was conducted in Medan using analytic research designs with a cross-sectional approach. Data in the form of risk factors were obtained by interview. Samples were taken through the total sampling method. The data obtained will be analyzed by the Chi square method. Results. Chi square analysis obtained p value of 0.826 (p> 0.05) which showed no significant relationship between ABO blood group and nasopharyngeal carcinoma. Conclusion. There is no significant relationship between ABO blood type and nasopharyngeal carcinoma.

Keyword: Nasopharyngeal carcinoma, ABO blood group

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan suatu keganasan yang sering terjadi di daerah kepala dan leher. Kasus KNF terdapat sebanyak 86.500 kasus pada tahun 2012, sekitar 0,6% dari seluruh kanker di dunia. KNF tersebar dalam geografis yang sangat luas dan variasi etnis. Beberapa kelompok etnis memiliki insiden tinggi terhadap KNF seperti etnis Bidayuh di Borneo, Nagas di India utara, dan Inuits di Artic. Dari seluruh kasus KNF didapati lebih banyak terdapat pada laki laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2-3 :1. Tingkat mortalitas KNF mencapai 0,5% dari seluruh kasus dengan usia maksimal pasien sekitar 50-60 tahun. Insiden paling tinggi terdapat di Cina Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika Utara. Tingkat kejadian 30 per 100.000 di bagian Cina. Di Amerika Serikat angka kejadian KNF terdapat 208 kasus per tahun. Orang Cina Selatan yang bermigrasi ke daerah non-endemik mempertahankan tingkat insidensi yang tinggi dibandingkan dengan kelompok etnis lain yang tinggal di wilayah geografis yang sama. Insidensi ini meningkat pada umur 45-54 tahun di daerah dengan insidensi tinggi (Chua et al., 2016, Tang et al., 2016, Tsao et al., 2014).

World Health Organization (WHO) tahun 2017 mengelompokkan KNF menjadi tiga kelompok yaitu keratinizing squamous cell, nonkeratinizing squamous cell carcinoma, dan basaloid squamous cell carcinoma. Penyebab KNF adalah multifaktorial seperti infeksi Epstein-Barr virus (EBV), kerentanan genetik, dan faktor lingkungan seperti konsumsi ikan asin, alkohol, diet, merokok, dan paparan bahan tertentu. EBV tersebar di dunia, menginfeksi lebih dari 95% populasi orang dewasa. Di Hong Kong, anak yang berumur 6 tahun telah terinfeksi sebanyak 80% dan hampir 100% mengalami serokonversi pada usia 10 tahun. Meskipun infeksi primer EBV biasanya subklinis tetapi virus ini sering dikaitkan dengan perkembangan lanjut dari

(14)

suatu keganasan seperti KNF. EBV ditularkan melalui air liur, infeksi primer terjadi pada masa anak-anak dengan replikasi virus di sel orofaringeal diikuti infeksi laten limfosit B yang merupakan target utama EBV (Chua et al., 2016).

Di Indonesia prevalensi KNF adalah 6,2/100.000 dengan 13.000 kasus baru tiap tahun. KNF menduduki peringkat keempat sebagai kanker yang paling sering terjadi setelah kanker serviks, kanker payudara, dan kanker kulit.

Diagnosis secara dini sulit dilakukan pada KNF karena tanda dan gejala yang tidak spesifik. Banyak kasus KNF yang tidak terdaftar dikarenakan terbatasnya ketersediaan rumah sakit di daerah dan kurangnya pengetahuan tentang KNF.

Teori mengatakan bahwa perkembangan KNF dihubungkan dengan Infeksi EBV, genetik dan faktor lingkungan seperti konsumsi ikan asin, makanan yang diawetkan, merokok dan alcohol (Chua et al., 2016) (Adham et al., 2012).

Gen ABO terletak pada kromosom 9q34.1 hingga 9q34.2, mengkodekan glikolisil transferase spesifik yang mensintesis aglutinogen A dan B untuk membentuk aglutinogen golongan darah ABO, diekspresikan oleh eritrosit, sebagian besar sel epitel, dan sel endotel. Hubungan antara golongan darah ABO dan prognosis telah dilaporkan pada banyak jenis tumor. Studi sebelumnya mengatakan bahwa tipe golongan darah ABO dapat mengubah kerentanan individu pada beberapa keganasan, termasuk kanker payudara, kanker pankreas, kanker paru, kanker lambung, karsinoma sel skuamosa laring, karsinoma sel skuamosa esofagus (Peng et al., 2016, Sheng et al., 2013).

Namun hubungan antara golongan darah ABO dan KNF masih kontroversial. Penelitian menunjukkan bahwa golongan darah ABO berperan dalam tingkat risiko dan juga metastasis pada KNF. Selain itu penelitian lain juga menununjukkan peran ABO terhadap prognostik KNF. Hingga saat ini masih kekurangan bukti substansial untuk menentukan hubungan golongan darah ABO dengan KNF (Sheng et al., 2013, Zhang et al., 2014, Peng et al., 2016, Lin et al., 2018).

(15)

16

Berdasarkan hal di atas penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan golongan darah dengan kejadian KNF. Selain itu karakteristik pasien yang didapatkan dari penelitian dapat membantu dalam analisis faktor yang berperan pada KNF.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas maka diperlukan suatu penelitian tentang “Hubungan golongan darah ABO dengan karsinoma nasofaring.

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan golongan darah ABO dengan karsinoma nasofaring.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi proporsi karsinoma nasofaring berdasarkan golongan darah

2. Mengetahui distribusi proporsi karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin

3. Mengetahui distribusi proporsi karsinoma nasofaring berdasarkan umur

4. Mengetahui distribusi proporsi karsinoma nasofaring berdasarkan ras 5. Mengetahui distribusi proporsi karsinoma nasofaring berdasarkan

pekerjaan

6. Mengetahui distribusi proporsi karsinoma nasofaring berdasarkan histopatologi

7. Mengetahui distribusi proporsi karsinoma nasofaring berdasarkan stadium klinis

8. Mengetahui distribusi proporsi karsinoma nasofaring berdasarkan status terapi.

9. Mengetahui distribusi proporsi karsinoma nasofaring berdasarkan riwayat keluarga.

(16)

10. Mengetahui distribusi proporsi karsinoma nasofaring berdasarkan pola makan ikan asin dan makanan yang diawetkan.

11. Mengetahui distribusi proporsi karsinoma nasofaring berdasarkan kebiasaan merokok.

12. Mengetahui distribusi proporsi karsinoma nasofaring berdasarkan konsumsi alkohol

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam melakukan penelitian ilmiah

2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan referensi bagi peneliti lain khususnya penelitian tentang karsinoma nasofaring

3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk mengedukasi masyarakat tentang hubungan golongan darah terhadap karsinoma nasofaring dan distribusi karsinoma nasofaring

4. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk mengedukasi masyarakat tentang faktor yang berperan dalam perkembangan karsinoma nasofaring

(17)

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi nasofaring

Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan dengan orofaring dan terletak di superior palatum mole. Ukuran nasofaring orang dewasa yaitu tinggi 4 cm, lebar 3 cm, dan 3 cm pada dimensi anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar 8cm dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung.

Nasofaring memiliki rongga dengan dinding yang kaku. Dinding anterior nasofaring merupakan jaringan lunak yang berbatasan dengan koana posterior.

Batas dinding lateral yaitu fasia faringobasilar dan m. Konstriktor faring superior. Tuba Eustachius membelah dinding lateral dimulai dari telinga tengah hingga ke nasofaring.

Permukaan nasofaring berbenjol benjol disebabkan banyak jaringan limfoid di bawah epitel sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta.

Hubungan antara epitel dengan jaringan limfoid ini sangat erat sehingga sering disebut Limfoepitel.

Bloom dan Fawcett membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel, yaitu :

A. Simple Columnar Ciliated Epithelium B. Stratified Columnar Epithelium

C. Stratified Columnar Ciliated Epithelium

D. Pseudo-Stratified Columnar Ciliated Ephithelium (Cunsolo et al., 2010)

(18)

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring (Wenig, 2015)

2.2 Karsinoma nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan suatu tumor ganas yang terjadi di daerah kepala dan leher yang berasal dari epitel posterior kavum nasi.

Penyebab terjadinya KNF antara lain faktor demografis, suku, konsumsi ikan asin, riwayat penyakit pernapasan, human leukocyte antigen (HLA), dan Epstein-Barr Virus (EBV). KNF merupakan suatu penyakit endemik di wilayah tertentu di dunia, terutama di Asia Tenggara, Cina Selatan dan, Africa Utara (Adham et al., 2012, Wang et al., 2017, Chan, 2010).

2.2.1 Epidemiologi

(KNF) merupakan suatu keganasan yang jarang terjadi dibandingkan dengan keganasan yang lain namun endemik pada beberapa populasi. (KNF) menempati urutan ke-24 dari semua kanker tersering lainnya dengan kejadian KNF 0,6% dari seluruh karsinoma di dunia. Cina Selatan masih menduduki

(19)

20

tempat tertinggi dengan prevalensi 39,84 per 100.000 penduduk pada Propinsi Guandong (Cao et al., 2011).

Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi penderita KNF yang cukup tinggi. Prevalensi (KNF) di Indonesia mencapai 4,7/100.000, dengan 7.000-8.000 kasus KNF per tahun. KNF paling sering terjadi pada laki- laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2-3:1. Kejadian KNF terjadi pada usia produktif yaitu 41-50 tahun (33,1%), 51-60 tahun (27,2%) 11- 20 tahun (3,3%). RSUP. H. Adam Malik Medan mencatat jumlah pasien KNF periode 2006-2010 sebanyak 335 pasien, sekitar 280 pasien didiagnosis stadium lanjut. (Farhat et al., 2018, Cao et al., 2011).

Data yang dikumpulakan di RS. Cipto Mangunkusumo dari tahun 2007- 2011 tercatat 1173 pasien menjalani pengobatan radioterapi. Terdapat tingkatan insidensi KNF pada variasi etnis, yang paling umum mengalami KNF yaitu suku Jawa sebanyak 32%, Sunda 19,2%, Cina 10,6%, Batak 9,5%, Betawi 7,6%, Lampung 2,9%, dan Minangkabau 2,4%. Meskipun faktor genetik sangat sering dihubungkan dengan KNF, namun pola kejadiannya di berbagai etnis di indonesia khusunya jakarta tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Adham et al., 2012).

2.2.2 Klasifikasi

(WHO) mengelompokkan KNF menjadi tiga, yaitu : 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (tipe I)

Frekuensi karsinoma sel skuamosa berkeratin bervariasi bergantung insidensi. Kejadian KNF di daerah dengan insiden tinggi seperti Cina selatan hanya 1%-2%, sedangkan di daerah dengan insidensi yang tidak terlalu tinggi (Jepang dan Amerika Utara) adalah 13%-25%.

Namun, Singapura menunjukkan tipe histopatologi ini 17% meskipun juga daerah insiden tinggi. Karsinoma sel skuamosa berkeratin ini cenderung menunjukkan jumlah salinan EBV yang lebih rendah di bandingkan dengan tipe histopatologi lainnya.

(20)

2. Karsinoma tidak berkeratin

Karsinoma tidak berkeratin terdapat pada 95% pasien KNF di daerah dengan insiden tinggi dan sekitar 75%-87% di daerah dengan insidensi rendah. Karsinoma tidak berkeratin ini lebih radiosensitif dibandingkan dengan tipe lain dan memiliki hubungan yang lebih kuat dengan EBV. Kelompok ini terdiri dari :

A. Berdiferensiasi (tipe II)

Tipe ini memiliki ciri ciri sel besar, batas sel tidak jelas, inti bulat, inti di tengah, selnya tumpang tindih, sitoplasma amfofilik atau eusinofilik. Tipe ini mewakili 90% pasien KNF di daerah dengan insiden tinggi

B. Tidak berdiferensiasi (tipe III)

Tipe ini memiliki ciri ciri sel kecil, rasio nukleus dengan sitoplasma rendah, kromatin lebih banyak daripada inti, nukleus biasanya tidak menonjol. Tipe ini sedikit ditemukan pada KNF yaitu sekitar 7%-12%

dari total pasien KNF di Cina Selatan 3. Karsinoma basaloid skuamosa

Karsinoma tipe ini jarang didapati pada KNF yaitu 0,2% dari semua pasien KNF di Cina Selatan. Gambaran morfologis dari tipe ini lebih sering terjadi di karsinoma kepala dan leher lainnya (Ji et al., 2011, Li and Zong, 2014, Sharma et al., 2011).

Gambar 2.2 Karsinoma berkeratin (Wenig, 2015)

(21)

Gambar 2.3 Karsinoma tidak berkeratin (Wenig, 2015)

2.2.3 Etiologi dan Patogenesis

Perkembangan KNF dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu : A. Kerentenan genetik

Secara umum riwayat keluarga dengan KNF dan konsumsi ikan asin memiliki faktor risiko lebih tinggi daripada individu yang hanya mengkonsumsi ikan asin. Etnis yang berbeda pada pasien KNF berpartisipasi dalam kerentanan genetik terhadap patogenesis KNF. Hal ini ditunjukkan oleh angka kejadian KNF sebanyak 20-50 kali lipat lebih tinggi di Cina selatan. Peningkatan risiko KNF ditunjukkan berhubungan dengan polimorfisme genetik yang terlibat dalam metabolisme nitrosamin (CYP2E1,CYP2A6), dan detoksifikasi elektrofil karsinogenik (GSTM1). Alel HLA dan sitokrom P4502E1 (CYP2E1) dihubungkan dengan faktor risiko terjadinya KNF pada beberapa kelompok etnis. Sebagian besar penelitian yang dilakukan pada populasi Cina menunjukkan peningkatan risiko untuk individu dengan HLA-A2 (Ren et al., 2010, Tsao et al., 2014, Zeng and Zeng, 2010).

Aktivasi Nitrosamin yang merupakan substrat dari CYP2E1 dapat memicu perkembangan berbagai karsinoma. Ikan asin mengandung nitrosamin dan prekursor nitrosamin. CYP2E1 dan etanol terlibat dalam aktivasi banyak prokarsinogen beberapa obat terutama untuk metabolit yang sangat reaktif(Ruwali et al., 2009). CYP2E1 secara khusus mengaktifkan N-nitrosamin yang terdapat pada asap rokok dan ikan asin (Jia and Qin, 2012, Neafsey et al., 2009).

9

(22)

B. Lingkungan

Makanan tradisional Cina selatan seperti ikan asin dan makanan yang diawetkan mengandung volatilenitrosamin yang merupakan faktor karsinogenik. Konsumsi ikan asin sejak usia dini berkorelasi dengan peningkatan KNF. Makanan asin dan yang di awetkan lainnya berupa saus ikan yang di fermentasi , kacang kedele yang di asinkan, buah plum yang di awetkan, dan telur bebek yang diasinkan dapat menjadi faktor independen untuk KNF. Pajanan terhadap asap rokok, formaldehida, dan debu kayu juga merupakan faktor risiko KNF.

Perokok 30%-100% berisiko mengalami KNF dibandingan dengan bukan perokok. Formaldehida sebagai karsinogen rongga hidung diteliti pada tikus. Partikel asap dari sisa pembakaran batu bara,kayu, dan bahan lainnya akan tersimpan sebagian besar di nasofaring.

Produk karsinogenik dalam rokok, nikotin, dan hidrokarbon aromatik polisiklik dapat berikatan dengan DNA dan menyebabkan mutasi genetik. Data epidemiologi belum konsisten mengatakan bahwa etiologi KNF dikaitkan dengan rokok. Beberapa penelitian di antara warga Amerika, Taiwan, dan Kaukasia di Amerika Serikat mengindikasikan bahwa merokok berkontribusi terhadap risiko KNF.

Peran alkohol terhadap risiko KNF belum jelas, namun kombinasi merokok dan pengunaan alkohol secara umum berisiko terhadap KNF.

Diet yang buruk dapat meningkatkan risiko KNF disebabkan kurangnya asupan vitamin dan mineral. Individu dengan konsumsi sayuran dan buah-buahan segar memiliki faktor risiko yang lebih rendah sehungga penting dilakukan terutama pada usia anak (Tsao et al., 2014, Zeng and Zeng, 2010, Tabuchi et al., 2011, Ji et al., 2011).

(23)

C. Infeksi virus Epstein-Barr

Sekitar 90% dari populasi orang dewasa dengan karsinoma nasofaring yang tidak berdiferensiasi adalah serologi positif untuk EBV. Infeksi adalah kejadian awal yang mungkin merupakan permulaan dalam pengembangan KNF. EBV mempunyai peran penting dalam mengubah sel epitel nasofaring menjadi kanker invasif. EBV menginfeksi secara luas orang dewasa seluruh di dunia dan menyebabkan infeksi begejala di seluruh dunia. (Kelly et al., 2011).

Replikasi EBV terjadi pada sel B dan lapisan epitel mukosa nasofaring. EBV mudah menginfeksi dan mengubah sel B primer secara in vitro menjadi proliferasi sel limfoblastoid. Transformasi limfoblastoid sel B oleh EBV secara in vivo menjadi penyebab utama infeksi mononukleus. Penyakit limfoproliferatif dapat sembuh sendiri pada individu yang imunokompeten. Infeksi primer pada manusia diawali oleh virus melintasi epitel orofaring dan menginfeksi sel naive b pada cincin tonsil waldeyer .

Potensi onkogenik EBV ditunjukkan melalui hubungannya dengan banyak keganasan seperti limfoma Burkitt’s (BL), KNF, limfoma Hodgkin’s (HL), post-transplant lymphoproliferative disease (PTLD), beberapa limfoma sel T, dan sebagian kecil karsinoma lambung.

Ekspresi gen laten EBV pada KNF adalah LMP1, EBNA1, protein LMP2A/B, EBER, dan transkip BamHIA. Kehadiran episom EBV monoklonal pada KNF menunjukkan bahwa infeksi virus berasal dari ekspansi klon dari populasi sel ganas. Bukti menunjukkan bahwa mutasi yang menyebabkan hilangnya p16 menyebabkan sel epitel primer dapat terus berkembang untuk mendukung infeksi dari EBV (Dawson et al., 2012). (Shair et al., 2018).

EBV mengkode dua onkogen yaitu Latent Membrane Protein-1 (LMP1) dan BamH1-A Reading Frame-1 (BARF1). EBV menginduksi dan mengontrol proliferasi sel melalui ekspresi 10 gen viral yang mengkode 6 membran inti (EBNA1,2,3A,3B,3C dan LP), 3 protein

11

(24)

membran (LMP1, LMP2A, LMP2B) dan 2 RNA kecil. LMP1 mengkode EBV onkogen yang merupakan suatu efektor kunci dari transformasi neoplastik sel B yang dimediasi oleh EBV. LMP1 berfungsi dalam aktivasi reseptor famili tumor nekrosis faktor (TNFR).

Percobaan pada sel epitel menunjukkan bahwa ekspresi LMP1 memiliki potensi onkogenik. Sel KNF menunjukkan hasil positif terhadap protein LMP1. Transkripsi LMP1 secara konsisten terdeteksi di seluruh KNF.

Hal ini menunjukkan bahwa kadar LMP1 yang rendah cukup memberikan sifat onkogenik. Ekspresi LMP1 menghasilkan spektrum fenotipe berupa sitotoksisitas dengan sifat onkogenik (Shair et al., 2018).

2.2.4 Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang diakibatkan oleh KNF terbagi berdasarkan perluasan tumor, yaitu :

a) Massa tumor di nasofaring

Massa di nasofaring mengakibatkan epistaksis dan obstruksi hidung b) Disfungsi tuba eustachius

Kurangnya pendengaran disebabkan oleh sumbatan pada tuba eustachius yang mengakibatkan otitis media difusi. Kondisi seperti ini jarang terjadi pada keadaan normal. Hal ini menunjukkan kemungkinan KNF apabila di dapati gejala yang tidak membaik dalam jangka waktu 2-3.

c) Ekstensi tumor ke arah superior

Nyeri kepala, diplopia, nyeri wajah dapat menjadi pertanda bahwa KNF telah mencapai stadium lanjut. Gejala ini diakibatkan oleh penekanan tumor terhadap saraf kranialis V dan VI. Gejala lain pada telingan dapat berupa tinitus unilateral akibat infiltrasi tumor ke saraf glossofaringeus (N IX).

(25)

26

d) Massa di leher

Massa di leher sering kali menjadi gejala dari KNF yang mengakibatkan pasien datang ke dokter .Benjolan biasanya unilateral dan tidak menutup kemungkinan benjolan pada KNF menjadi bilateral (Tabuchi et al., 2011).

2.2.5 Diagnosis

Diagnosis KNF meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi,pemeriksaan lab, dan pemerikasan patologi anatomi. Anamnesis yang diperlukan dalam menunjang diagnosis adalah riwayat keluarga, faktor risiko, telinga terasa penuh, penurunan berat badan, rasa nyeri di leher, otalgia, disfagia, gejala seperti penuh di telinga, penurunan ketajaman pendengaran, dan mimisan (Lo and Lu, 2010).

Pemeriksaan fisik nasofaring meliputi rinoskopi posterior, nasofaringoskop, dan laringoskopi. Pemeriksaan radiologi berupa CT Scan nasofaring mulai dari setinggi sinus frontalis sampai dengan klavikula dan dengan potongan koronal, aksial, dan sagital. CT Scan berfungsi untuk melihat tumor primer dan penyebarannya ke jaringan sekitar serta penyebarannya ke kelenjar getah bening. Bone scan dilakukan apabila dicurigai metastasis ke tulang. Pemeriksaan lab berupa darah lengkap. Pemeriksaan patologi anatomi yaitu biopsi nasofaring merupakan diagnosis pasti dari KNF (King et al., 2019).

Pada penderita KNF, dujumpai kadar antibodi IgG dan IgA yang tinggi terhadap protein EBV. Tingginya IgA merupakan ciri khas KNF disebabkan oleh keganasan ini terjadi di sel epitel (mukosa) nasofaring. Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan IgA anti antigen kapsid virus (VCA) untuk infeksi virus EBV menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi KNF.

Antibodi IgA terhadap VCA EBV merupakan tes yang sangat sensitif terhadap KNF walaupun spesifitasnya rendah. (Chan et al., 2017)

(26)

Tabel 2.1. Klasifikasi klinis TNM pada KNF berdasarkan stadium American Joint Committee on Cancer (AJCC)

Tumor

primer (T) Batasan

T1 Tumor terbatas pada nasofaring, atau meluas ke orofaring, dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal.

T2 Perluasan tumor ke parafaringeal (infiltrasi posterolateral tumor).

T3 Tumor melibatkan tulang dan/atau sinus paranasal T4

Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau keterlibatan nervus kranial, hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/rongga mastikator.

Nodus Limfa

Regional (N) Batasan

N0 Tidak ada metastasis nodus limfa regional.

N1

Metastasis unilateral pada nodus limfa servikal; ukuran terbesar ≤ 6 cm di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral pada nodus limfa retrofaringeal;

ukuran terbesar ≤ 6 cm di atas fossa supraklavikular

N2 Metastasis bilateral pada nodus limfa servikal; ukuran terbesar

≤ 6cm di atas fossa supraklavikular N3A Ukuran terbesar > 6cm

N3B Perluasan ke fossa supraklavikukar Metastasis

Jauh (M) Batasan

M0 Tidak ada metastasis M1 Metastasis jauh

Tabel 2.2. Stadium Klinis Stadium Klinis

Stadium I T1, N0, M0

Stadium II T1, N1, M0; T2, N0, M0; T2,N1,M0

Stadium III T1, N2, M0; T2, N2, M0; T2, N2, M0;

T3, N0, M0; T3, N2, M0

Stadium IV A T4, N0, M0; T4, N1, M0; T4, N2, M0

Stadium IV B Semua T, N3, M0

Stadium IV C Semua T, Semua N, M1

Sumber : (Sobin et al., 2011, OuYang et al., 2013a)

(27)

28

2.2.6 Tatalaksana 1) Radioterapi

Sebagian besar KNF adalah radiosensitif sehingga radiotherapi mempunyai peran yang sangat besar dalam terapi KNF. Radioterapi merupakan terapi yang paling sering digunakan karena menghantarkan dosis ke tumor dan meminimalkan dosis ke jaringan sekitarnya. Penatalaksaan radioterapi yang di berikan berupa radiasi eksterna dengan teknik konvensioanal 2 dimensi (2D), teknik konformal 3 dimensi (3DCRT), dan teknik intensity-modulated radiotherapy (IMRT). Peningkatan pengendalian penyakit dan kelangsungan hidup KNF sebagian besar di dukung oleh IMRT.(Chua et al., 2016)

Penggunaan IMRT dalam terapi KNF mempunyai beberapa keuntungan yaitu : (1) IMRT meminimalisasi efek terhadap organ lain seperti kelenjar saliva, (2) dalam kasus tumor dengan metastasis yang jauh IMRT dapat menjaga perbedaan dosis antara tumor dengan pembatas organ dengan demikian dapat mencapai dosis tinggi tanpa overdosis pada organ normal, (3) dosis diferensial IMRT dapat di berikan kepada target atau organ yang berbeda secara bersamaan (Lai et al., 2011).

Dosis radioterapi yang di berikan apabila menggunakan teknik konvensional 2D adalah 66Gy pada stadium dini (T1, T2) dan 70 Gy pada stadium yang lebih tinggi (T3, T4) dengan dosis perfraksi adalah 2Gy dan dosis maksimum adalah 75Gy, dilakukan 5 fraksi setiap 1 minggu. Untuk teknik IMRT dosis total yang diberikan adalah 70Gy dalam 33 fraksi.(Lai et al., 2011)

2) Kemoterapi

Penatalaksanaan KNF lokoregional dengan kemoterapi yaitu menggunakan kombinasi antara radioterapi dan kemoterapi.

Kemoterapi di klasifikasikan berdasarkam waktu pemberian menjadi neoadjuvan (sebelum), concurrent (selama radiasi), dan adjuvan (setelah radioterapi). Pemilihan kemoterapi bersifat individual

(28)

berdasarkan karakteristik pasien. Induksi kemoterapi dapat mengurangi ukuran tumor lokoregional sebelum radiasi, dan juga pemberian terapi sistemik dapat mengeradikasi mikrometastasis.

Kombinasi radioterapi dengan cipslatin (100 mg/sqm D1, 22, 43) diikuti dengan cipslatin adjuvan dan 5-fluoracil (5-FU) dibandingkan dengan hanya radioterapi secara signifikan meningkatkan kelangsungan hidup (Razek and King, 2012).

3) Operasi

KNF sering menyebar ke kelenjar getah bening di daerah kepala dan leher. Karsinoma ini dapat merespon baik dengan pengobatan radioterapi tetapi masih terdapat yang tidak merespon dengan baik sehingga diperlukan tindakan operasi. Ada beberapa jenis diseksi leher, tergantung lokasi tumor yaitu :

1) Diseksi leher parsial atau selektif yaitu hanya mengangkat kelenjar getah bening yang paling dekat dengan tumor dan dicurigai penyebaran dari kanker tersebut

2) Diseksi leher radikal yang dimodifikasi yaitu mengangkat kelenjar getah bening di satu sisi leher antara tulang rahang dan collarbone 3) Diseksi leher radikal menyeluruh yaitu mengangkat hampir semua

kelenjar getah bening (Ferlito et al., 2011).

2.3 GOLONGAN DARAH ABO dan KARSINOMA NASOFARING Sistem golongan darah ABO pertama kali ditemukan oleh Karl Landsteiner yang menemukan tiga jenis darah yang berbeda (A,B, dan O) pada tahun 1900. Gen ABO terletak pada kromosom 9q34.1 hingga 9q34.2, mengkodekan glikolisil transferase spesifik yang mensintesis aglutinogen A dan B untuk membentuk aglutinogen golongan darah ABO, diekspresikan oleh eritrosit, sebagian besar sel epitel, dan sel endotel. Telah diketahui sejak beberapa tahun lalu bahwa golongan darah ABO memiliki pengaruh besar pada hemostasis, menjadi penentu utama dari von Willebrand factor (VWF) yang juga berpengaruh terhadap faktor VII dalam plasma darah. Secara khusus,

(29)

30

kadar VWF 25% lebih tinggi pada individu yang memiliki golongan darah selain O. Banyak penelitian tentang hubungan antara golongan darah ABO dan kanker tetapi sebagian besar di terbitkan sebelum tahun 1950. Hasilnya tidak informatif dan tidak bisa diandalkan karena dilakukan tanpa mengetahui bahwa frekuensi ABO dapat sangat bervariasi dalam populasi yang dianggap homogen secara etnis (Xiao et al., 2017, Jin and Chen, 2015).

Hubungan antara golongan darah ABO dan prognosis telah dilaporkan pada banyak jenis tumor, seperti leukemia, kanker pankreas, kanker kandung kemih, kanker lambung, karsinoma sel ginjal, kanker payudara, kanker paru.

Hubungan golongan darah A dengan risiko kanker lambung dikaitkan dengan alel golongan darah A yang mempengaruhi enzim fucosyltransferase. Enzim ini terlibat dalam pembentukan antigen Lewis yang dikenal sebagai faktor penting dalam adhesi H. Pylori dan infeksi. Golongan darah A juga berhubungan dengan kelangsungan hidup yang tidak menguntungkan pada beberapa tumor, seperti kanker payudara dan kanker paru. Golongan darah O berhubungan dengan berkurangnya risiko kanker pankreas. Hal ini dikaitkan dengan golongan darah ABO IgM isoagglutinin yang berinteraksi dengan struktur O-glikus yang berhubungan dengan tumor pankreas. Golongan darah non-O dihubungkan dengan rendahnya tingkat bertahan hidup terhadap karsinoma sel ginjal. Sebaliknya, golongan darah O dikaitkan dengan tingkat kekambuhan dan perkembangan terburuk pada kanker kandung kemih invasif (Liumbruno and Franchini, 2014, Zhang et al., 2014, Wang et al., 2019, Sheng et al., 2013).

Hubungan antara golongan darah ABO dan KNF masih kontroversial.

Beberapa penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan antara golongan darah ABO dan KNF. Studi lain menunjukkan bahwa golongan darah ABO terkait dengan kerentanan KNF. Studi ini menyatakan bahwa pasien pria dengan golongan darah A memiliki peningkatan risiko untuk kejadian KNF.

Studi ini juga menunjukkan bahwa pasien pria dengan golongan darah A dan stadium III berdasarkan UICC memiliki tingkat limfosit darah yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan stadium yang lebih rendah. Hasil lain yang

(30)

didapatkan adalah tidak ada signifikansi perbedaan tingkat bertahan hidup antara kelompok golongan darah non-A. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa golongan darah A atau AB dikaitkan dengan peningkatan risiko KNF dibandingkan dengan subyek dengan golongan darah O. Pasien KNF dengan histopatologi WHO tipe III dan golongan darah A memiliki kelangsungan hidup yang lebih rendah secara signifikan daripada pasien dengan golongan darah non-A (Zhang et al., 2014, Ouyang et al., 2013b).

Sebuah studi pada wanita menunjukkan hubungan antara status golongan darah ABO dan kadar serum soluble intercellular adhesion molecule-1 (sICAM-1). Konsentrasi sICAM-1 lebih tinggi pada wanita dengan golongan darah O, terutama lebih tinggi daripada wanita dengan golongan darah A.

Selain itu, konsentrasi serum sICAM-1 yang lebih tinggi terkait dengan kelangsungan hidup yang lebih buruk pada pasien KNF. ICAM-1 adalah molekul adhesi pada permukaan sel yang diinduksi dengan fungsi terkait lymphocyte function associated antigen 1(LFA-1). Antigen ini memiliki peran utama dalam berbagai respon imun yang dimediasi sel. Molekul adhesi terlibat dalam fasilitasi mobilitas sel tumor, adhesi sel tumor ke endotel, neovaskularisasi di situs metastasis, dan respon inflamasi host terhadap kanker.

sICAM-1 akan bekerja sebagai agen imunosupresif dengan memblokir LFA-1 pada limfosit T. Hal ini berakibat pada kurangnya kertersediaan limfosit T untuk berikatan dengan permukaan sel ICAM-1 pada sel kanker. Konsekuensi yang terjadi adalah pelepasan sICAM-1 yang dapat meningkatkan proses metastasis oleh karena lolos dari pengawasan imun inang. Proses ini mewakili mekanisme potensial tambahan untuk pasien KNF yang memiliki tingkat sICAM-1 yang tinggi dan telah bermetastasis melalui rute hematogen dan limfatik. Semakin tinggi konsentrasi sICAM-1 mengakibatkan kelangsungan hidup yang lebih buruk pada pasien KNF yang memiliki golongan darah O (Zhang et al., 2014, Wang et al., 2019).

(31)

Perubahan ekspresi serum tumour necrosis factor-alpha (sTNF-α) terkait erat dengan perkembangan tumor dan prognosis pada banyak tumor termasuk KNF. Individu golongan darah O memiliki kadar sTNF-α lebih tinggi daripada yang lain. Tingkat ekspresi sTNF-α yang tinggi dapat memprediksi invasi tulang, metastasis jauh pasca perawatan, dan buruknya kelangsungan hidup pasien KNF.(Lu et al., 2011)

2.4 KERANGKA TEORI

Gambar 2.3. Kerangka Teori

Golongan darah O

EBV

Golongan darah A Genetik

Limfosit ↑

Karsinoma nasofaring

sICAM-1 ↑ sTNF-α ↑

Faktor lingkungan ikan asin, asap rokok, asap kayu bakar

Golongan darah ABO

19

(32)

2.5 KERANGKA KONSEP

Gambar 2.5. Kerangka Konsep

2.6 HIPOTESIS

Terdapat hubungan antara golongan darah ABO dengan kejadaian karsinoma nasofaring.

Variabel bebas : Golongan darah ABO

Variabel terikat : Karsinoma nasofaring

(33)

34

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Cross-Sectional dengan desain penelitian . Analisa penelitian ini menggunakan Chi-Square.

3.2 WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dikerjakan selama 3 bulan dimulai dari bulan Oktober sampai September 2019. Lokasi penelitian akan dilaksanakan di RSUP H.

Adam Malik Kota Medan.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Sampel dalam penelitian ini diambil berdasarkan teknik total sampling.

Penelitian ini mengambil sampel dari penderita Karsinoma Nasofaring.

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA 3.4.1 Data Primer

Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan pasien. Data yang di dapatkan adalah pola makan ikan asin, pola makan makanan yang diawetkan, kebiasaan merokok, dan konsumsi alkohol.

3.4.2 Data Sekunder

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekam medis. Rekam medis diambil dari penderita Karsinoma Nasofaring di. Data yang diambil adalah nama, jenis kelamin, umur, ras, pekerjaan, tipe Karsinoma Nasofaring berdasarkan Histopatologi dan stadium klinis, status terapi, golongan darah dan riwayat keluarga.

(34)

3.5 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI 3.5.1 Kriteria Inklusi

 Pasien yang menderita karsinoma nasofaring.

 Pasien dengan hasil biopsi jaringan yang dapat dibaca melalui mikroskop.

 Pasien yang belum pernah menjalani operasi sebelumnya

3.5.2 Kriteria Eksklusi

 Data rekam medis yang tidak lengkap

3.6 DEFINISI OPERASIONAL

1. Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang terletak di daerah kepala dan leher dan berasal dari sel epitel.

2. Golongan darah adalah suatu tipe darah yang berbeda maupun sama yang terdapat pada setiap individu yang diperoleh dari hasil tes golongan darah.

3. Jenis kelamin sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis yaitu : A. Pria

B. Wanita

4. Umur adalah usia yang dimiliki setiap individu yang dihitung mulai kelahiran. Umur penderita karsinoma nasofaring sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, dikelompokkan atas :

≤20 tahun

21–40 tahun

41–60 tahun

≥60 tahun

5. Daerah asal adalah tempat tinggal pasien karsinoma nasofaring yang diperoleh dari rekam medis

6. Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan pasien untuk memenuhi kebutuhan hidup yang diperoleh dari rekam medis

(35)

36

7. Tipe histopatologi adalah tipe gambaran histopatologi sediaan tumor berdasarkan kriteria WHO yang diperoleh dari rekam medis

8. Stadium klinis adalah penentuan stadium kasrsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi AJCC, terdiri dari stadium : I, II, III, IV yang diperoleh dari rekam medis

9. Status terapi adalah jenis tatalaksana yang telah atau sedang dilakukan pada pasien yang diperoleh dari rekam medis

10. Pola makan ikan asin dan makanan yang diawetkan adalah frekuensi konsumsi ikan asin dan makanan yang diawetkan yang diperoleh dari wawancara dengan pasien

11. Riwayat keluarga adalah status keluarga yang pernah atau sedang menderita karsinoma nasofaring yang diperoleh dari rekam medis 12. Kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol adalah frekuensi merokok

dan konsumsi alkohol yang diperoleh dari wawancara dengan pasien

3.7 METODE ANALISIS DATA

Data yang telah terkumpul akan diolah menggunakan program komputer SPSS 23.0.0.0. Untuk menilai korelasi golongan darah ABO akan diuji dengan Chi-Square test.

(36)

4.1 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian analitik, studi potong lintang (cross sectional). Terdapat 34 sampel yang memenuhi kriteria inklusi di RSUP Haji Adam Malik Medan, yang kemudian dilakukan analisis menggunakan SPSS, sehingga diperoleh hasil sebagai berikut.

4.1.1 Karakteristik Demografi Pasien

Tabel 4.1 Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian

Jeniskelamin Frekuensi (f) Persen (%)

Laki-laki 25 73,5

Perempuan 9 26,5

Berdasarkan tabel 4.1 jenis kelamin laki-laki merupakan pasien karsinoma nasofaring dengan jumlah terbanyak yaitu 25 orang (73,5%), sedangkan jenis kelamin perempuan berjumlah 9 orang (26,25%). Dari hasil ini ditemukan bahwa laki-laki lebih banyak menderita karsinoma nasofaring daripada perempuan.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Xiao (2013) yang mendapatkan bahwa proporsi tertinggi pendertia karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki (71,2%), sementara perempuan (28,8%)(Xiao et al., 2013). Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Lai yang menemukan pasien karsinoma nasofaring berjenis kelamin laki-laki (72,5%) dan perempuan (27,5%)(Lai et al., 2013). Hal serupa juga ditemukan pada penelitian oleh Farhat yang menunjukkan bahwa pasien laki-laki yang terkena KNF lebih banyak daripada jumlah pasien perempuan (Farhat, 2015). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari American Cancer Society, bahwa laki- laki dua kali lebih berisiko daripada wanita untuk terkena KNF (Society, 2015).

(37)

Tabel 4.2 Distribusi karakteristik berdasarkan umur subjek penelitian

Umur Frekuensi (f) Persen (%)

≤ 20 tahun 0 0

21-40 tahun 41-60 tahun

≥ 60 tahun

12 19 3

35,3 55,9 8,8

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa pasien yang menderita karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada pasien yang berusia 41-60 tahun yaitu sebanyak 19 orang (55,9%) diikuti dengan pasien yang berusia 21-40 tahun sebanyak 12 orang (35,3%) dan paling sedikit ditemukan pada pasien yang berusia ≥ 60 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Adham di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, dimana rentang usia yang paling banyak menderita karsinoma nasofaring adalah pasien dengan usia 41-50 sebanyak 32,4%(Adham et al., 2012). Hal serupa juga ditemukan pada penelitian Ren yang menemukan frekuensi usia tersering pada usia 41-60 tahun sebanyak 56,9% (Ren et al., 2010)

Tabel 4.3 Distribusi karakteristik berdasarkan ras subjek penelitian

Ras Frekuensi (f) Persen (%)

Batak 19 55,9

Karo Nias Jawa Aceh Melayu

Sunda

1 2 7 3 1 1

2,9 5,9 20,6

8,8 2,9 2,9

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa pasien yang mederita karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada suku Batak sebanyak 19 orang (55,9%). Dari tabel tersebut juga diketahui bahwa pasien dengan suku Jawa sebanyak 7 orang (20,6%), suku Aceh sebanyak 3 orang (8,8%), suku Nias sebanyak 2 orang (5,9%), suku Karo 1 orang (2,9%), suku Melayu sebanyak 1 orang (2,9%) dan suku Sunda sebanyak 1 orang (2,9%). Hal ini dimungkinkan karena jumlah populasi etnis batak merupakan salah satu etnik dengan jumlah terbesar di propinsi Sumatera Utara

(38)

Tabel 4.4 Distribusi karakteristik berdasarkan pekerjaan subjek penelitian

Kategori Frekuensi (f) Persen (%)

Wiraswasta 13 38,2

Pegawai swasta Petani

Honorer Pekerja lepas PNS

Ibu Rumah Tangga Nelayan

3 8 1 1 3 4 1

8,8 23,5

2,9 2,9 8,8 11,8

2,9

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa pasien yang menderita karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada pekerja wiraswasta sebanyak 13 orang (38,2%). Dari tabel tersebut juga diketahui bahwa pasien dengan perkerjaan petani sebanyak 8 orang (23,25%), ibu rumah tangga sebanyak 4 orang (11,8%), PNS sebanyak 3 orang (8,8%), pegawai swasta sebanyak 3 orang (8,8%), honorer sebanyak 1 orang (2,9%), pekerja lepas sebanyak 1 orang (2,9%) dan nelayan sebanyak 1 orang (2,9%). Penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Munir dimana petani lebih banyak menderita karsinoma nasofaring sebanyak 36% (Munir, 2010), begitu juga dengan penelitian Gates yang menemukan petani lebih banyak yaitu 21,31% (Gates et al., 2012) Pekerja kerajinan yang berhubungan langsung dengan debu kayu seacara signifikan terkait dengan peningkatan risiko karsinoma nasofarinng (Xie et al., 2017)

Tabel 4.5 Distribusi karakteristik berdasarkan tipe histopatologi subjek penelitian

Tipe histopatologi Frekuensi (f) Persen (%)

NK-SCC 20 58,8

UC K-SCC

9 5

26,5 14,7

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa tipe histopatologi paling banyak pada penderita karsinoma nasofaring adalah Non Kreatinizing Squamous Carcinoma sebanyak 20 orang (58,8%). Diikuti dengan Undifferentiated Carcinoma sebanyak 9 orang (26,5%) dan Kreatinizing Carcinoma paling sedikit sebanyak 5 orang (14,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dogan yang menemukan pasien karsinoma nasofaring dengan

(39)

tipe histopatology Non Kreatinizing Squamous Carcinoma yaitu 85,7% (Dogan et al., 2014). Hal serupa juga ditemukan pada penelitian Hamilton dimana pada orang Asia ditemukan paling sering tipe Non Kreatinizing Squamous Carcinoma sebanyak 90% dan Non-Asian 57% (Hamilton et al., 2016).

Karsinoma tidak berkeratin terdapat pada 95% pasien KNF di daerah dengan insiden tinggi dan sekitar 75%-87% di daerah dengan insidensi rendah.

Karsinoma sel skuamosa berkeratin ini cenderung menunjukkan jumlah salinan EBV yang lebih rendah di bandingkan dengan tipe histopatologi lainnya (Li and Zong, 2014).

Tabel 4.6 Distribusi karakteristik berdasarkan stadium klinis subjek penelitian

Stadium klinis Frekuensi (f) Persen (%)

1 12 35,3

1B 2 2B

3 4

1 6 3 7 5

2,9 17,6

8,8 20,6 14,7

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa stadium klinis paling sering ditemukan pada penderita kasrsinoma nasofaring stadium 1 yang dinilai menggunakan sistem stadium TNM berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC) sebanyak 12 orang (35,3%) dan paling sedikit stadium 1B sebanyak 1 orang (2,9%). Dari tabel tersebut juga diketahui bahwa pasien karsinoma nasofaring dengan stadium klinis 2 sebanyak 6 orang (17,65), stadium klinis 2B sebanyak 3 orang (8,8%), stadium klinis 3 sebanyak 7 orang (20,65) dan stadium klinis 4 sebanyak 5 orang (14,7%). Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Su yang menemukan stadium klinis paling sering stadium 2b sebanyak 71,2% (Su et al., 2012). Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Ng Hongkong yang menemuukan stadium klinis paling sering yaitu stadium 3-4 sebanyak 90% (Ng et al., 2011) di dan penelitian Wang menemukan stadium paling sering yaitu stadium 3 sebanyak 46,4% (Wang et al., 2012).

(40)

Tabel 4.7 Distribusi karakteristik berdasarkan status terapi subjek penelitian

Status terapi Frekuensi (f) Persen (%)

Belum pernah 1 2,9

Radioterapi Kemoterapi

Radioterapi + Kemoterapi

3 8 22

8,8 23,5 64,7

Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahawa pasien karsinoma nasofaring paling sering mendapatkan terapi dengan kemoterapi+radioterapi sebanyak 22 orang (64,7%) diikuti dengan kemoterapi sebanyak 8 orang (23,5%), radioterapi sebanyak 3 orang (8,8%) dan belum pernah mendapatkan terapi sebanyak 1 orang (2,9%). Hal tersebut juga sama dengan penelitian yang dilakukan oleh (Wang et al., 2012) bahwa terapi yang paling sering digunakan radioterapi + kemoterapi sebanyak 81,9%.

Tabel 4.8 Distribusi karakteristik berdasarkan golongan darah subjek penelitian

Golongan darah Frekuensi (f) Persen (%)

A 5 14,7

B AB O

10 5 14

29,4 14,7 41,2

Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa pasien karsinoma nasofaring golongan darah paling sering ditemukan golongan darah O sebanyak 14 orang (41,2%), diikuti golongan darah B sebanyak 10 orang (29,4%), golongan darah A sebanyak 5 orang (14,7%) dan golongan darah AB sebanyak 5 orang (14,7%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sheng bahwa golongan darah paling sering dijumpai adalah golongan darah O 37,4% (Sheng et al., 2013). Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Gates di Turki yang menemukan golongan darah paling sering golongan darah A sebanyak 42,62% (Gates et al., 2012)

4.1.2 Faktor Risiko

Tabel 4.9 Distribusi karakteristik berdasarkan riwayat keluarga subjek penelitian

Riwayat keluarga

terkena kanker Frekuensi (f) Persen (%)

Ya 1 2,9

Tidak 33 97,1

Berdasarkan tabel 4.9 terdapat 33 orang (97,1%) yang tidak memiliki riwayat keluarga sedangkan yang memiliki riwayat keluarga sebanyak 1 orang (2,9%). Hal ini sejalan dengan penelitian (Ji et al., 2011) yang menemukan

(41)

pasien karsinoma nasofaring tanpa riwayat keluarga sebanyak 87,45% dan penelitian Xie yang menemukan pasien karsinoma naofaring tanpa riwayat keluarga sebanyak 84,9% (Xie et al., 2015).

Tabel 4.10 Distribusi karakteristik berdasarkan konsumsi ikan asin subjek penelitian

Konsumsi ikan asin Frekuensi (f) Persen (%)

>3 kali sebulan 22 73,5

≤ 3 kali sebulan 12 26,5

Berdasarkan tabel 4.10 terdapat 22 orang (73,5%) yang mengkonsumsi ikan asin >3 kali sebulan dan terdapat sebanyak 12 orang (26,5%) yang mengkonsumsi ikan asin ≤ 3 kali sebulan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Guo yang menemukan pada pasien penderita karsinoma nasofaring yang tidak mengkonsumsi ikan asin sebanyak 65,1% (Guo et al., 2009) begitu juga dengan penelitian Ren yang menemukan tidak pernah atau jarang konsumsi ikan asin sebanyak 54% (Ren et al., 2010). Hal ini berlawanan dengan teori yang mengatakan Ikan asin mengandung nitrosamin dan prekursor nitrosamin. CYP2E1 dan etanol terlibat dalam aktivasi banyak prokarsinogen beberapa obat terutama untuk metabolit yang sangat reaktif(Ruwali et al., 2009). CYP2E1 secara khusus mengaktifkan N-nitrosamin yang terdapat pada asap rokok dan ikan asin (Jia and Qin, 2012, Neafsey et al., 2009).

Tabel 4.11 Distribusi karakteristik berdasarkan riwayat merokok subjek penelitian

Menghisap rokok Frekuensi (f) Persen (%) Tidak

Perokok ringan

11 3

32,4%

8,8%

Perokok sedang Perokok berat

15 5

44,1%

14,7%

Berdasarkan tabel 4.11 diketahui bahwa pasien karsinoma nasofaring yang memiliki status perokok sedang sebanyak 15 orang (44,1%), perokok berat sebanyak 5 orang (14,7%), perkok ringan sebanyak 3 orang (8,8%) dan tidak merokok sebanyak 11 orang (32,4%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Guo yang menemukan pasien karsinoma nasofaring dengan riwayat merokok sebanyak 51,7% (Guo et al., 2009). Pajanan terhadap asap rokok, formaldehida, dan debu kayu juga merupakan faktor risiko KNF.

(42)

Perokok 30%-100% berisiko mengalami KNF dibandingan dengan bukan perokok (Zeng and Zeng, 2010).

Tabel 4.12 Distribusi karakteristik berdasarkan konsumsi alkohol subjek penelitian

Konsumsi alkohol Frekuensi (f) Persen (%)

Tidak 29 85,3

Peminum sedang Peminum berat

3 2

8,8 5,9

Berdasarkan tabel 4.12 diketahui bahwa pasien karsinoma nasofaring yang memiliki status peminum alkohol berat sebanyak 2 orang (5,9%), peminum alkohol sedang sebanyak 3 orang (8,8%) dan tidak memiliki riwayat konsumsi alkohol sebanyak 29 orang (85,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian Turkoz yang menemukan pasien karsinoma tanpa riwayat konsumsi alkohol 81,42%

(Turkoz et al., 2011) dan penelitian Ren yang menemukan pasien karsinoma nasofaring tanpa konsumsi alkohol sebanyak 81,8% (Ren et al., 2010).

4.1.3 Hasil Analisa Statistik

Tabel 4.13 Hubungan golongan darah dengan karsinoma nasofaring

Golongan darah

KNF Kontrol

P value

N % N %

A B AB

5 10

5

14,7%

29,4%

14.7%

8 9 5

23,5%

26,4%

14,7%

0,826

O 14 41,2% 12 35,29%

Pada tabel 4.13 didapatkan hasil analisa menggunakan chi-square diperoleh nilai p = 0,932 ( p> 0,05 ) yang berarti tidak terdapat hubungan bermakna antara hubungan golongan darah ABO dengan karsinoma nasofaring. Temuan tersebut serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhang di China yang menemukan hasil uji chi-square yaitu nilai p = 0,629 ( p>

0,05) yang berarti tidak ada hubungan di antara keduanya (Zhang et al., 2014).

Hasil dari penelitian yang mengevaluasi nilai prognostik antigen ABO pada berbagai jenis kanker masih bertentangan. Alasan yang mungkin untuk menjelaskan temuan heterogenitas di beberapa studi termasuk keterbatasan

(43)

dalam desain penelitian (sebagian besar menggunakan retrospektif), perbedaan karakteristik pupulasi serta populasi studi yang kecil.

(44)

bahwa

1. Tidak terdapat hubungan bermakna dengan uji chi-square dipeoleh nilai p = 0,826 (p> 0.05) antar golongan darah ABO dengan karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik.

2. Distribusi frekuensi pasien penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik berdasarkan golongan darah paling banyak dijumpai golongan darah O sebanyak 15 orang (44,15%)

3. Distribusi frekuensi pasien penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik berdasarkan jenis kelamin paling banyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 25 orang (73,5%)

4. Distribusi frekuensi pasien penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik berdasarkan umur paling banayk dijumapi pada kelompok umur 41-60 tahun sebanyak 19 orang (55,9%)

5. Distribusi frekuensi pasien penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik berdasarkan ras paling banyak dijumpai pada ras batak sebanyak 19 orang (55,9%)

6. Distribusi frekuensi pasien penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik berdasarkan pekerjaan paling banyak dijumpai pada pekerjaan wiraswasta sebanyak 13 orang (38,2%)

7. Distribusi frekuensi pasien penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik berdasarkan tipe hostopatologi paling banyak dijumpai pada tipe Non Keratinizing Carcinoma sebanyak 20 orang (58,8%)

8. Distribusi frekuensi pasien penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik berdasarkan stadium klinis paling banyak dijumpai pada stadium 1 sebanyak 12 orang (35,3%)

(45)

9. Distribusi frekuensi pasien penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik berdasarkan status terapi paling banyak dijumpai pada terapi radioterapi+kemoterapi sebanyak 22 orang (64,7%)

10. Distribusi frekuensi pasien penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita karsinoma nasofaring sebanyak 33 orang (97,1%)

11. Distribusi frekuensi pasien penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik yang memiliki riwayat konsumsi ikan asin >3 kali sebulan sebanyak 22 orang (73,5%)

12. Distribusi frekuensi pasien penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik yang memiliki riwayat merokok sebanyak 23 orang (67,6%)

13. Distribusi frekuensi pasien penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik yang tidak memiliki riwayat komsumsi alkohol sebanyak 29 orang (85,3%)

5.1 Saran

1. Disarankan untuk peneliti selanjutnya agar mendapatkan jumlah sampel yang lebih banyak agar hasil penelitian lebih akurat dan dapat menilai faktor risiko secara signifikan.

2. Diperlukan waktu yang lebih lama agar mendapatkan sampel yang lebih banyak.

3. Disarankan untuk peneliti selanjutnya agar menentukan lokasi yang lebih sesuai dengan demografi lingkungan yang mendukung penelitian.

(46)

DAFTAR PUSTAKA

ADHAM, M., KURNIAWAN, A. N., MUHTADI, A. I., ROEZIN, A., HERMANI, B., GONDHOWIARDJO, S., TAN, I. B. & MIDDELDORP, J. M. 2012. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs, and symptoms at presentation. Chinese journal of cancer, 31, 185.

CAO, S.-M., SIMONS, M. J. & QIAN, C.-N. 2011. The prevalence and prevention of nasopharyngeal carcinoma in China. Chinese journal of cancer, 30, 114.

CHAN, A. 2010. Nasopharyngeal carcinoma. Annals of oncology, 21, vii308- vii312.

CHAN, K. A., WOO, J. K., KING, A., ZEE, B. C., LAM, W. J., CHAN, S. L., CHU, S. W., MAK, C., TSE, I. O. & LEUNG, S. Y. 2017. Analysis of plasma Epstein–Barr virus DNA to screen for nasopharyngeal cancer. New England Journal of Medicine, 377, 513-522.

CHUA, M. L., WEE, J. T., HUI, E. P. & CHAN, A. T. 2016. Nasopharyngeal carcinoma. The Lancet, 387, 1012-1024.

CUNSOLO, E., MARCHIONI, D., LEO, G., INCORVAIA, C. & PRESUTTI, L.

2010. Functional anatomy of the Eustachian tube. International journal of immunopathology and pharmacology, 23, 4-7.

DAWSON, C. W., PORT, R. J. & YOUNG, L. S. The role of the EBV-encoded latent membrane proteins LMP1 and LMP2 in the pathogenesis of nasopharyngeal carcinoma (NPC). Seminars in cancer biology, 2012.

Elsevier, 144-153.

DOGAN, S., HEDBERG, M. L., FERRIS, R. L., RATH, T. J., ASSAAD, A. M.

& CHIOSEA, S. I. 2014. Human papillomavirus and Epstein–Barr virus in nasopharyngeal carcinoma in a low‐incidence population. Head & neck, 36, 511-516.

FARHAT, F., DAULAY, E. R., CHRESTELLA, J., ASNIR, R. A., YUDHISTIRA, A. & SUSILO, R. R. 2018. Correlation of P38 Mitogen- Activated Protein Kinase Expression to Clinical Stage in Nasopharyngeal Carcinoma. Open access Macedonian journal of medical sciences, 6, 1982.

FERLITO, A., ROBBINS, K. T., SHAH, J. P., MEDINA, J. E., SILVER, C. E., AL‐TAMIMI, S., FAGAN, J. J., PALERI, V., TAKES, R. P. &

BRADFORD, C. R. 2011. Proposal for a rational classification of neck dissections. Head & neck, 33, 445-450.

GATES, M. A., XU, M., CHEN, W. Y., KRAFT, P., HANKINSON, S. E. &

WOLPIN, B. M. 2012. ABO blood group and breast cancer incidence and survival. International journal of cancer, 130, 2129-2137.

GUO, X., JOHNSON, R. C., DENG, H., LIAO, J., GUAN, L., NELSON, G. W., TANG, M., ZHENG, Y., DE THE, G. & O'BRIEN, S. J. 2009. Evaluation of nonviral risk factors for nasopharyngeal carcinoma in a high‐risk population of Southern China. International journal of cancer, 124, 2942- 2947.

Referensi

Dokumen terkait

Acute Kidney Injury Following Cardiac Surgery - Incidence, Risk Factors, Association With Other Perioperative Complications, Survival, and Renal Recovery..

Mockler (1972) dalam Soeharto (1977) memberikan pengertian tentang pengendalian yaitu adalah usaha yang sistematis untuk menentukan standar yang sesuai dengan

Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus

Perseroan sepanjang 1Q11 telah membukukan laba bersih USD7,82 juta dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih menderita rugi bersih USD3,86 juta.. Perolehan laba

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui komposisi asam lemak dan kandungan logam berat kecap keong sawah (Bellamya javanica), yang difermentasi selama tujuh

Dalam Tugas Akhir ini akan dirancang kapal penangkap ikan yang sesuai untuk daerah Bawean dari sisi teknis dan ekonomis.. Perancangan akan dimulai dengan

Hasil penelitian didapat bahwa kerusakan yang disebabkan oleh penggerek batang berpengaruh terhadap parameter yang diukur, yaitu berat tebu, volume nira, rendemen dan gula

Setelah melakukan proses pelaksanaan konseling dengan pedekatan Rational Emotive Therapy dalam menangani negative thinking seorang anak terhadap ayah tirinya,