• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA DAN TANGGUNG JAWAB ETIS TERHADAP PRAKTIK HUKUMAN MATI DI INDONESIA: SUATU KAJIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA DAN TANGGUNG JAWAB ETIS TERHADAP PRAKTIK HUKUMAN MATI DI INDONESIA: SUATU KAJIAN "

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

i

Kata Pengantar

Puji dan Syukur kepada Tuhan atas pertolongan dan penyertaan-Nya selama proses penyusunan tugas akhir berlangsung hingga sampai pada tahap penyelesaian. Melalui penulisan ini, penulis secara sadar meyakini bahwa semua atas pertolongan yang daripada Tuhan. Kehadiran dan penyertaan Tuhan sungguh nyata bagi penulis dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam proses penulisan tugas akhir ini. Tugas akhir ini dibuat sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si-Teol) di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Tugas akhir ini diberikan judul “PGI dan Tanggung Jawab Etis Terhadap Praktik Hukuman Mati di Indonesia”.

Penulis pun menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari dukungan dan topangan orang-orang terkasih yang senantiasa memberi masukan dan saran, serta motivasi selama proses penulisan tugas akhir. Semoga dengan selesainya penulisan penelitian ini, dapat berkontribusi positif terhadap perkembangan pengetahuan yang memiliki keterkaitan dengan topik penelitian ini.

Salatiga, 16 Desember 2022

Penulis Ray Suka Deo Ginting

(2)

ii

Ucapan Terimakasih

Bersamaan dengan selesainya penelitian ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua saya dan semangat hidup saya, Bapak Dk. Hendra Sukaji Ginting dan Mamak, Raskita Rehulina Br. Perangin-angin, S.Kep , yang berjuang tanpa pamrih untuk masa depan anak-anaknya dan membangun generasi yang lebih baik. kami berjanji mengangkat derajat keluarga pak, mak !

2. Bapak Pdt. Gunawan Y.A. Suprabowo, D.T dan Pdt. Irene Ludji, MAR, Ph.D selaku dosen pembimbing yang dengan rendah hati dan membangun potensi dan membimbing serta mengarahkan penulisan tugas akhir ini hingga selesai.

3. Ayah Pdt. Dr Rama Tulus Pilakoannu selaku dosen wali yang memfasilitasi setiap proses RMK. Serta menjadi orangtua yang mengarahkan dan membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di UKSW.

4. Pimpinan dan staf PGI yang sudah mengizinkan saya melakukan penelitian.

Khususnya kepada Humas PGI, Bapak Jeirry Sumampouw dan Staf Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI, Bapak Juandi Gultom, serta Staf PGI, Ibu Debby Manalu.

5. Keluarga besar Teologi UKSW, Bapak/Ibu dosen yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan selama berada di bangku perkuliahan. Terima kasih untuk Kepada seluruh staf dan pegawai Fakultas yang selalu memberikan pelayanan yang baik selama studi.

6. GBKP runggung Naman Teran Klasis Kabanjahe yang sudah mengijinkan saya untuk Praktik Pendidikan Lapangan 10s, dan membangun keinginan saya untuk kembali dan berjuang bersama lagi.

7. Kedua saudari kandung saya, Dea Dwi Anggina Ginting, BA. Jurnalism and Mass Communication dan Dia Giska Regina Ginting yang selalu menjadi semangat hidup dan saling menopang dalam keadaan apapun dalam mimpi mengangkat martabat keluarga.

8. Calon istri saya, Rewindy Astari Surbakti, S.Ars yang mendukung segala hal dalam kehidupan saya, membangun kepercayaan diri dan menjaga

(3)

iii

marwah saya dan menghidupkan mimpi saya. Terimakasih telah menjadi petunjuk arah semangat saya selama menulis tugas akhir dan juga membangun konsep hidup sampai tua bersama dan membangun keluarga yang baik.

9. Sahabat saya, Haris Marselius Perangin-Angin, S.H., Eka Pranata Bangun S.H., dan Senina/ saudara kandung saya Elieser Ginting, S.IP., serta Fernando Haganta Ginting, S.H., yang banyak membantu selama saya kuliah. Terimakasih telah selalu ada kapan saja dan dimana saja dalam keadaan apapun, dan merajut mimpi bersama. See u on the top, CS!

10. Ikatan Generasi Muda Karo (IGMK) (yang dulu) yang sudah menjadi wadah diskusi guna arih memajukan generasi Karo yang Kreatif dan Inovatif di Salatiga.

11. Gereja Batak Karo Protestan Bajem Ungaran, Salatiga Ambarawa (GBKP BAJEM USA), terkhususnya kepada Pt. Irwan sembiring dan Dk. Nande Edo Br. Sembiring, yang sudah menjadi orang tua kami di Salatiga dan tidak sekedar menjadi penatua dan diakonos, dan membangun mahasiswa kearah yang lebih baik.

12. Adik-adik saya di Salatiga; Dendy Ginting, Harmonis Pinem, Josua Giovani Pelawi, Primonta Tarigan, Candra Tarigan, Praim Singarimbun, Albert Surbakti, Lois Kembaren, Etimanta Sembiring, Arauna Tarigan, Chalxes Sinukaban, Andre Sitepu, Sony Brahmana, Boim Ginting, dan Kgen Sembiring. Terima kasih sudah memberi banyak pertolongan dan dukungan, terimakasih sudah meminjamkan laptopnya, Bro! Terima kasih juga sist Fanesia Kembaren dan Vio Tarigan yang sudah saya ganggu main PUBG untuk membantu saya.

13. Bapak Uda, Japiter Perangin-Angin, S.H, S.Pd, M.Pd, yang menyarankan dan mengantar saya untuk berkuliah di UKSW, lekas pulih Pak Uda!

14. PT. KEMUNING PERSADA Cabang Magelang, khususnya kepada Manajer area 4, Bapak Elfran Robertus Surbakti; Kacab Sleman, Marco Sembiring; SPV Faisal Nuh Ginta Perangin-angin; serta SPV, Yano Handika Surbakti, yang sudah mengizinkan saya bekerja sambil berkuliah

(4)

iv

yang benar-benar membantu saya secara finansial yang menyongsong perkuliahan saya.

Untuk semua yang turut membantu baik secara moral maupun materil, yang mungkin luput dari daftar yang dituliskan penulis di atas, penulis mengucapkan terimakasih banyak. Tuhan memberkati, MEJUAH-JUAH!!

(5)

v

PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA DAN TANGGUNG JAWAB ETIS TERHADAP PRAKTIK HUKUMAN MATI DI INDONESIA: SUATU KAJIAN

FILSAFAT MORAL

Ray Suka Deo Ginting, Pdt. Gunawan Y.A. Suprabowo, D.Th., Pdt. Irene Ludji, MAR, Ph.D

Abstrak

Hukuman mati merupakan sebuah isu yang belum selesai di Indonesia. Disatu sisi eksekusi mati masih dilakukan dengan alasan memberikan efek jera kepada publik sehingga perbuatan kriminal dapat dicegah, disisi lain praktik hukuman mati melanggar universalitas Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimiliki manusia sebagai berkat Tuhan yang paling tinggi sejak lahir. Melalui pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode wawancara dan studi pustaka, penelitian ini menganalisis tanggung jawab etis Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) terkait praktik hukuman mati di Indonesia serta menguraikan tinjauan filsafat moral tentang hal tersebut.

Penelitian ini menemukan bahwa PGI menjalankan tanggung jawab etis dalam menolak praktik hukuman mati di Indonesia secara berkelanjutan. Jika ditinjau dari pemikiran Samuel Moyn dan Frans Mangnis Suseno, sebagai sumber kajian filsafat moral dalam penelitian ini dipahami bahwa semangat penolakan praktik hukuman mati yang digaungkan PGI melalui surat terbuka kepada presiden dan advokasi terhadap terpidana mati, mewujudkan tanggung jawab moral dan penghormatan penegakan HAM yang berdasar pada pentingnya harkat dan martabat manusia (Human Dignity). Pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dihubungkan dengan nilai dasar kekristenan yang memungkinkan kasih dan keadilan itu tercapai.

HAM berlaku bagi setiap orang tanpa pengecualian, yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia, hak itu tidak dapat dihilangkan atau diyatakan tidak berlaku oleh negara atau tidak diakui oleh negara, PGI sudah melakukan tindakan beretika yang terwujud lewat tanggung jawab etis dalam penolakan praktik hukuan mati di Indonesia.

Kata Kunci: Hukuman Mati, HAM, Moral, Keadilan, PGI.

(6)

1 Pendahulan

Hukuman mati ialah salah satu macam sanksi yang diperuntukkan kepada pelanggar hukum. Ada berbagai jenis metode dalam menerapkan hukuman mati yang disesuaikan dengan tumbuh kembangnya sistem hukum masyarakat dalam suatu negara seperti disalib, dibakar, dipenggal, digantung, ditembak, dikunci dalam kamar gas, penggunaan kursi listrik, serta menggunakan suntik mati (injeksi).1 Di zaman sebelum adanya Indonesia (Nusantara) praktik hukuman mati bukanlah suatu hal yang asing, sejak zaman kerajaan hingga zaman kolonial hukuman tersebut sudah diberlakukan pada masa kerajaan Kuno Nusantara.2 Pada zaman kolonial, praktik hukuman mati ikut bertumbuh dan berkembang dimana praktik tersebut akan berlaku terhadap orang-orang yang melanggar perundang- undangan yang ada atau melawan kehendak penguasa sehingga perkembangan hukuman mati tidak bisa terlepas dari dampak penguasa yang bersifat dominan.3

Konsolidasi pertama atas penggunaan hukuman mati secara menyeluruh di Hindia Belanda (Indonesia), terjadi pada tahun 1808 atas perintah Gubernur Jenderal Daendles, melalui peraturan mengenai hukum dan peradilan (Raad van Indie) yang mengatur mengenai pemberian hukuman pidana mati sebagai kewenangan Gubernur Jenderal.4 Pada masa ini hukuman mati telah dilaksanakan dengan berbagai metode. Pada tahun 1848, dibentuklah peraturan tentang hukum pidana yang dikenal dengan nama Interimaire Strafbepalingen. Peraturan tersebut mengatur dan meneruskan kebijakan hukum pidana sebelum tahun 1848, dengan pengecualian adanya beberapa perubahan dalam sistem hukuman, diantaranya merupakan eksekusi hukuman mati yang dilakukan dengan cara menggantung terpidana (galg).5 Belanda yang memiliki kekuatan superior untuk menjalankan hal tersebut. Hukuman mati tersebut diberlakukan terhadap pribumi dengan alasan kewajiban dalam menjaga ketertiban umum. Hukuman tersebut diberlakukan karena dianggap efektif untuk memberikan efek jera. Pidana mati merupakan

1 Rohmatul Izad, “Pidana Hukuman Mati Di Indonesia Dalam Perspektif Etika Deontologi,”Journal of Law and Family Studies 1 No 1 (2019):1.

2 “Historia,” Hukuman Bagi Penjahat Pada Zaman Kuno, diakses tanggal 25 juli 2022, https://historia.id/kuno/articles/hukuman-bagi-penjahat-pada-zaman-kuno-6aq7b/page/1.

3 Tim ICJR, Politik Kebijakan Hukuman Mati Dari Masa ke Masa (Jakarta: Institute For Criminal Justice Reform, 2017),53-59.

4 Tim ICJR, Politik Kebijakan Hukuman Mati Dari Masa ke Masa, 49.

5 Tim ICJR, Politik Kebijakan Hukuman Mati Dari Masa ke Masa, 49.

(7)

2

sebuah alat represi yang kuat bagi pemerintah Hindia Belanda.6 Dengan adanya alat tersebut, kepentingan masyarakat dapat terjamin sehingga ketertiban hukum dapat dilindungi dan terwujud. Alat represi yang kuat ini sekaligus juga berfungsi sebagai alat preventif sehingga para calon kriminal akan mengurungkan niat untuk melakukan tindakan kejahatan, terus berlaku sampai dengan masa penjajahan Jepang. 7 Hukuman tersebut diberlakukan dan dianggap efektif dalam menanggulangi pelanggaran dengan alasan, dapat menunjukkan kekuatan dalam sebuah kekuasaan sehingga mengakibatkan munculnya rasa takut untuk melakukan pelanggaran dan kejahatan sebagaimana yang sudah diatur dalam perundang- undangan.

Tidak hanya pada masa kerajaan dan kolonial, corak hukum Hindia Belanda masih dipakai setelah kemerdekaan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan kitab yang dianggap masih ideal untuk diterapkan karena adanya faktor kesesuaian terhadap sosial - budaya Indonesia. Sehingga hal ini menjadikan salah satu alasan penggunaan undang-undang tersebut tetap digunakan.8 Setelah kemerdekaan, Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana,9 diberlakukan dengan beberapa perubahan menjadi KUHP pada tahun 1946 yang secara resmi berlaku di seluruh Indonesia pada 29 September 1958.10 Pada masa Demokrasi Terpimpin 1956 - 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan UU Darurat tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (LN 1955 No 27).11 Undang-undang ini diperkuat dengan Penetapan Presiden No. 5 tahun 1959 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 21 tahun 1959 dengan ancaman maksimal hukuman mati.12 Perubahan tersebut merupakan upaya untuk menanggapi krisis ekonomi pada saat itu, yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan ekonomi di Indonesia.

7 ICJR Tim, Politik Kebijakan Hukuman Mati Dari Masa ke Masa, 49-50.

8 ICJR Tim, Politik Kebijakan Hukuman Mati Dari Masa ke Masa, 51.

9 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946.

10 ICJR Tim, Politik Kebijakan Hukuman Mati Dari Masa ke Masa, 51.

11 ICJR Tim, Politik Kebijakan Hukuman Mati Dari Masa ke Masa, 49-50.

12 Tim ICJR, Politik Kebijakan Hukuman Mati Dari Masa ke Masa, 51.

(8)

3

Pada masa Presiden Soeharto hukuman mati ditambahkan dalam beberapa kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa, dengan dikeluarkannya beberapa undang-undang pidana, seperti Undang-Undang No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi; Undang-Undang No. 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan Sarana Penerbangan; Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika; Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 mengenai Psikotropika; Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika, dan Undang- Undang No. 31 tahun 1997 tentang Tenaga Atom.13 Hukuman mati terus berkembang setelah selesainya masa kepemimpinan Presiden Soeharto dan terjadi perubahan dalam golongan kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan besar.

Indonesia kembali melahirkan beberapa undang-undang yang memberikan ancaman hukuman mati, seperti Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi; Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), dan Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme.14

Tercatat setelah reformasi pada tahun 1998-2013 (Era B. J. Habibie – SBY) terdapat 195 vonis hukuman mati dalam kurun waktu 15 tahun, maka terdapat 13,13 vonis dalam periode tersebut.15 Vonis tersebut datang dari berbagai macam kasus, yaitu: pembunuhan, Narkoba, perampokan dengan kekerasan dan terorisme. Total jumlah eksekusi mati pada periode ini ialah 27 eksekusi mati dalam kurun waktu 15 tahun dengan rata-rata eksekusi per tahun ialah 1,8 eksekusi dalam periode ini.

Hukuman mati masih dianggap efektif menanggulangi tindak kejahatan besar, dengan menghilangkan nyawa pelaku dan melahirkan ketakutan publik untuk tidak melakukan tindak kejahatan tersebut.16 Terjadi kenaikan signifikan sebesar 236,6 persen dalam pemerintahan Presiden Ir. Joko Widodo pada periode 2014-2019 dengan total 221 vonis dalam kurun waktu lima tahun, maka rata-rata 44,2 vonis dalam setahun, 18 yang dieksekusi periode ini, maka rata-rata 3,6 eksekusi mati per tahun, terjadi kenaikan 100 persen dari jumlah periode sebelumnya. Eksekusi

13 ICJR Tim, Politik Kebijakan Hukuman Mati Dari Masa ke Masa, 51.

14 ICJR Tim, Politik Kebijakan Hukuman Mati Dari Masa ke Masa, 51.

15 ICJR Tim, Politik Kebijakan Hukuman Mati Dari Masa ke Masa, 51.

16 Tim Imparsial, Evaluasi Praktik Hukuman Mati Era Pemerintahan Jokowi (2014-2019) (Jakarta:

IMPARSIAL, 2019), 20.

(9)

4

tersebut guna menanggapi krisis narkoba di Indonesia. Tingkat eksekusi ini merupakan peningkatan dua kali lipat dari periode-periode sebelumnya dan masih dengan alasan yang sama bahwa eksekusi mati merupakan cara yang efektif guna memerangi narkoba dengan menghilangkan nyawa pelakunya utama dalam peredarannya dan memberikan efek jera.17

Hingga saat ini Indonesia merupakan salah satu Negara yang menganut dan melegalkan hukuman mati bagi para pidana berat (extraordinary crime) seperti:

terorisme, narkotika, korupsi, pembunuhan berencana, pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur dan genosida.18 Eksekusi masih dilakukan dengan alasan memberikan efek jera dan ketakutan publik sehingga perbuatan kriminal dapat dicegah. Metode tersebut masih dianggap efektif, meski banyak negara yang sudah menghapuskan praktik hukuman mati, dengan alasan hak hidup dan HAM. Dewasa ini hukuman mati memang masih menjadi perdebatan dalam masyarakat dunia, dan tentunya melahirkan perbedaan pandangan pula dalam masyarakat. Di media sosial, orang-orang yang menentang hukuman mati berupaya dengan berbagai cara.

Setidaknya ada lima petisi yang meminta eksekusi mati dibatalkan. Beberapa tokoh terkenal, seperti petinju Filipina Manny Pacquiao dan penyanyi Indonesia di Prancis Anggun C. Sasmi ikut membuat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo meminta pengampunan untuk tindak pidana narkotika.19 Tetapi eksekusi mati masih dilaksanaan karena masih dianggap efektif memberikan efek jera.

Dasar penolakan terhadap hukuman mati dilandaskan pada alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menekankan HAM. Pertentangan mengenai hukuman mati berdasarkan pada pemahaman dan gerakan penghargaan HAM. Eksekusi mati gelombang I, II, dan gelombang III yang telah dilaksanakan oleh pemerintahan Presiden Ir. Joko Widodo sungguh bertentangan dengan penghormatan HAM. Hal ini terutama terkait dengan hak untuk hidup (right to life) yang merupakan jenis hak yang tidak bisa dikurang-kurangi apalagi dicabut dalam keadaan apapun (non-derogable right).20 HAM merupakan hak kodrati yang

17 Tim Imparsial, Evaluasi Praktik Hukuman Mati Era Pemerintahan Jokowi (2014-2019), 20.

18 Muhammad Matta, Kejahatan Luar Biasa (Extra Odinary Crime) (Aceh: Unimal Press, 2019), 12.

19 BBC News Indonesia, “#TrenSosial: Enam hal tentang eksekusi mati tahap II”, Diakses tanggal 15 September 2022, #TrenSosial: Enam hal tentang eksekusi mati tahap II - BBC News Indonesia.

20 Imparsial Tim, Evaluasi Praktik Hukuman Mati Era Pemerintahan Jokowi (2014-2019), 42.

(10)

5

melekat pada setiap diri manusia, bersifat universal dan harus dihargai serta dihormati dan tidak dapat direnggut oleh siapapun. Hal ini ditegaskan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 yang meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang merupakan instrumen hukum nasional.21 Hak untuk hidup merupakan hak yang paling fundamental bagi setiap manusia, karena menjadi dasar pemenuhan atas hak-hak asasi lainnya. Hak ini melekat secara inheren pada diri manusia yang tanpa hak tersebut maka segala atribut yang dimiliki oleh dirinya sebagai manusia menjadi tidak ada artinya. Seorang manusia yang dicabut hak hidupnya tidak bisa menikmati segala atribut dan hak asasinya yang lain.22

Pandangan mengenai hukuman mati tidak luput pula dari tanggapan lembaga-lembaga yang ada di Indonesia, salah satu lembaga agama yang ikut memberikan respon ialah Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) yang didirikan pada 25 Mei 1950, dan beranggotakan 91 Gereja dari berbagai daerah di Indonesia.23 PGI memiliki tujuan yaitu untuk mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia, untuk mencapai tujuan tersebut PGI melakukan pelayanan dan kesaksian secara serentak dengan mengusahakan keesaan di lingkungan umat Kristen di Indonesia. Untuk tujuan tersebut, PGI mengacu pada strategi dan program lima tahun PGI berdasarkan visi dan misi yang merupakan penjabaran dari dokumen-dokumen keesaan Gereja yang ditetapkan dalam setiap Sidang Raya untuk dilaksanakan bersama-sama dengan melihat seluruh Indonesia dan dunia sebagai wilayah pelayanan dan kesaksian bersama.

Di dalam Profil PGI “Hukum, Politik dan Demokrasi” terdapat enam poin pelayanan legislasi PGI, tiga diantaranya merupakan gagasan penting dalam upaya mendukung HAM di Indonesia. Pertama, PGI memfasilitasi gereja-gereja di Indonesia dengan sarana komunikasi, informasi, pendidikan dan dokumentasi yang memadai bagi pengembangan pelayanan dalam advokasi dan penegakan HAM.

Kedua, melalui bidang hukum, politik dan demokrasi, PGI, baik sendiri maupun dalam kaitan bersama jaringan, akan mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM

21 Pemerintah Pusat, UU No. 12, 2005. Pengesahan International Covenant On Civil and Political Right (konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), 1. 28 Oktober 2005.

22 Imparsial Tim, Evaluasi Praktik Hukuman Mati Era Pemerintahan Jokowi (2014-2019), 42.

23 PGI, “Profil PGI,” diakses tanggal 25 juli 2022, https://pgi.or.id/profil-pgi/.

(11)

6

ke aras nasional. Ketiga pada sisi lain, bidang hukum politik dan demokrasi juga akan mendorong para pelayan gereja di berbagai aras pelayanan untuk lebih memberi perhatian akan pelayanan advokasional dan penegakan HAM.24

Tercatat pada Senin 31 Januari 2022 sebanyak 404 terpidana mati di Indonesia masih menanti eksekusi. 25 Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menyebut eksekusi merupakan kewenangan Kejaksaan. Kepala Bagian (KABAG) Humas dan Protokol Ditjen PAS Kemenkumham Rika Aprianti menyatakan "Kalau segera akan dieksekusi itu kewenangan dari kejaksaan sebagai eksekutor. 404 orang terpidana mati sesuai dengan keputusan pengadilan.”26 Menyangkut perihal ini maka ada kemungkinan akan bertambahnya eksekusi mati di Indonesia. Kenyataan ini wajib diperhatikan oleh berbagai elemen masyarakat dan lembaga-lembaga yang ada di Indonesia.

Berbagai penelitian telah dilaksanakan untuk membahas praktik hukuman mati di Indonesia tentunya melahirkan pro dan kontra dari berbagai elemen, pertama salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imparsialyang berfokus dalam mengawasi dan menyelidiki pelanggaran kemanusiaan di Indonesia, dalam laporan penelitian tahun 2019 yang berjudul: “Evaluasi Praktik Hukuman Mati Era Pemerintahan Jokowi (2014-2019).” Penelitian tersebut berfokus pada pemaparan dan pendalaman praktik hukuman mati dan menemukan peningkatan praktik hukuman mati di Indonesia.27 Kedua topik hukuman mati tidak luput pula dari pandangan Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM). Dalam dokumen berjudul “Hukuman Mati Ditinjau Dari Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia Internasional.”28 Ketiga hukuman mati bukanlah satu hal yang baru dibahas oleh berbagai kalangan di masa kini, dalam ilmu Teologi, praktik hukuman mati masih menjadi satu perbincangan yang hangat. salah satu penelitian terkait hukuman mati dilakukan oleh Yakup Tri Handoko yang meneliti “Relasi Gereja dan Negara

24 PGI, “Profil PGI,” diakses tanggal 25 juli 2022. https://pgi.or.id/profil-pgi/.

25 Detik News, Ada 404 Terpidana Mati di Indonesia yang Masih Menanti Eksekusi,diakses: 24 Juli 2022 pukul 20.00 WIB. https://news.detik.com/berita/d-5921924/ada-404-terpidana-mati-di- indonesia-yang-masih-menanti-eksekusi

26 Detik News, “Ada 404 Terpidana Mati di Indonesia yang Masih Menanti Eksekusi.”

27 Tim Imparsial, Evaluasi Praktik Hukuman Mati Era Pemerintahan Jokowi (2014-2019), 1.

28 Ayub Torry Satriono Kusumo, “Hukuman Mati Ditijau DariI Perspektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia Internasional”, (Jakarta : ELSAM, 2015), 1.

(12)

7

Menurut John Calvin: Hukuman Mati Atas Michael Servertus Sebagai Sebuah Contoh Kasus.”29

Berbeda dengan penelitian terdahulu yang berfokus dalam sistem hukum dan praktik hukuman mati dalam perspektif hukum, HAM, gereja dan Negara.

meski dalam topik yang sama, penelitian ini membahas, “PGI dan Tanggung Jawab Etis Terhadap Praktik Hukuman Mati di Indonesia: Suatu Kajian Filsafat Moral”.

Unsur kebernaran dan penelitian ini adalah Etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik berkaitan dengan pendapat-pendapat norma-norma, dan istilah-istilah moral. Dalam arti yang lebih luas etika diartikan keseluruhan mengenai norma dan penelitian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.30 Salah satu manfaat filsafat adalah sebagai alat mencari kebenaran dari gejala fenomena yang ada.31 Di dalam buku Christian Human Right, Moyn menekankan pada pentingnya HAM dalam hubungannya dengan pembelaan, human dignity atau harkat martabat manusia yang dipahami dalam tradisi Kristen. Pendekatan Moyn tepat dipakai untuk mengkaji praktik hukuman mati di Indonesia karena, pertama harkat dan martabat manusia dijadikan sebagai dasar penilaian moral, kedua pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dihubungkan dengan nilai dasar keKristenan yang memungkinkan kasih dan keadilan itu tercapai.32 Dan dalam filsafat moral dalam pandangan Magnis, yang menyatakan bahwa HAM merupakan suatu hal yang mutlak, HAM berlaku bagi setiap orang tanpa pengecualian, yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia, hak itu tidak dapat dihilangkan atau diyatakan tidak berlaku oleh negara atau tidak diakui oleh negara. 33

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas maka rumusan masalah didalam penelitian ini ialah pertama, bagaimana tanggung jawab etis PGI terhadap

29 Yakup Tri Handoko, Relasi Gereja dan Negara Menurut John Calvin: Hukuman Mati Atas Michael Servertus Sebagai Sebuah Contoh Kasus (Malang: STT Aletheia, 2019), 1.

30 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), 6.

31 Indra Gunawan dkk, “Kontribusi Filsafat Moral dalam Meningkatkan Karakter Kinerja pada Masyarakat Produktif”,Jurnal Filsafat Indonesia,5,1,2022. 4.

32 Samuel Moyn, Christian Human Right (Philadelphia: Unitersity of Pennsylvania, 2015), 1-3.

33 Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta:

Kanisius, 1987), 53-58.

(13)

8

praktik hukuman mati di Indonesia? kedua, Bagaimana kajian filsafat moral terhadap tanggung jawab PGI terhadap praktik hukuman mati di Indonesia? adapun tujuan dari penelitian ini: pertama, mendeskripsikan tanggung jawab etis PGI terhadap praktik hukuman mati di Indonesia. Kedua menganalisis tanggung jawab etis PGI terhadap praktik hukuman mati di Indonesia dari perspektif atau kajian filsafat moral.

Penelitian ini memiliki dua manfaat yakni secara teoritis dan etis normatif, secara teoritis diharapkan agar penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi bagi fakultas Teologi UKSW, dokumen PGI, dan studi-studi yang dilakukan dalam waktu selanjutnya yang terkait dengan praktik hukuman mati dan peran lembaga agama dalam menyikapinya, penelitian ini juga di harapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya, terkait topik hukuman mati. Secara etis normatif diharapkan penelitian ini dapat membantu PGI dan Pemerintah dalam menyadari vitalnya perannya dalam menanggulangi fenomena pelanggaran HAM di Indonesia melalui hukuman mati.

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara Purposive, dengan teknik pengumpulan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi

.

34 Pengumpulan data dengan wawancara mendalam dengan empat orang dalam struktural atau fungsional PGI, dan studi pustaka yang berupa surat penolakan PGI terhadap hukuman mati dan surat terbuka PGI terhadap presiden Jokowi atas penolakan PGI terhadap hukuman mati, analisis data bersifat kualitatif.

Penulisan tugas akhir ini terdiri dari beberapa bagian, yang pertama yaitu latar belakang berisi awal mula praktik hukuman mati di Indonesia dan perkembangannya, serta bagaimana PGI bertanggung jawab atas hal tersebut, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian kedua terdiri dari landasan teori tentang filsafat moral dalam perspektif Samuel Moyn Christian Human Right. Bagian ketiga hasil penelitian. Bagian keempat berisi analisa data. Bagian kelima berisi kesimpulan.

34 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. (Jakarta: IKAPI, 2016), 15.

(14)

9 Dasar Teori

Filsafat Moral

Secara etimologi, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata majemuk philosophia atau philosophos. Kata tersebut terdiri dari dua kata yakni philos (philein) dan sophia. Kata philos berarti cinta (love), sedangkan sophia atau sophos berarti pengetahuan, kebenaran, hikmat atau kebijaksanaan (wisdom).

Jadi secara etimologi filsafat berarti cinta akan pengetahuan, kebenaran atau kebijaksanaan.35 Manusia dari kodratnya merupakan makhluk berpikir, ingin mengenal, menggagas, merefleksikan dirinya, sesamanya, Tuhannya, hidup kesehariannya, lingkungan dunia kehadirannya, asal dan tujuan keberadaannya, dan segala sesuatu yang berpartisipasi dalam kehadirannya. Keinginan rasional ini merupakan bagian kodrati keberadaan dan kehadiran manusia. Karakter rasional kehadiran manusia merupakan suatu kewajaran, kenormalan, kenaturalan.36

Etika secara etimologis berasal dari Bahasa Yunani yaitu ethos, yang berarti custom atau kebiasaan yang berkaitan dengan tindakan atau tingkah laku manusia.

Hal tersebut juga dapat berarti karakter manusia atau keseluruhan cetusan perilaku manusia dalam perbuatannya.37 Ethos memiliki makna an action that is one’s own, atau suatu tindakan yang dilakukan seseorang dan menjadi miliknya, makna ethos semacam ini juga dimiliki oleh kata Latin, mores, yang darinya kata moral diturunkan. Dengan demikian ethical dan moral adalah dua kata yang memiliki persamaan makna.38Etika adalah filsafat tentang tindakan manusia sebagai manusia, etika melahirkan nilai-nilai. Secara umum dapat dikatakan bahwa etika adalah filsafat tentang tindakan manusia sebagai manusia. Suatu tindakan itu mempunyai nilai etis bila dilakukan oleh manusia dan dalam kerangka manusiawi.39

Etika adalah sebuah bidang studi yang meneliti yang menilai tabiat dan tingkah laku manusia dari sudut normatif, tiga hal berikut merupakan penyempurna

35 Samuji, “Pengertian, Dasar-Dasar dan Ciri Filsafat,”(Magetan:Jurnal paradigma,13,1,2022:1 https://www.staimmgt.ac.id/wp-content/uploads/2022/08/1.-SAMUJI-1.pdf

36 Agustinus, Dewantara, Filsafat Moral Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia (Yogyakarta:

Kanisius 2017). 1.

37 Agustinus, Dewantara, Filsafat Moral Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia, 3.

38 Agustinus, Dewantara, Filsafat Moral Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia, 4.

39 Agustinus, Dewantara, Filsafat Moral Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia, 3.

(15)

10

kajian etika.40 Pertama etika berurusan baik dengan segi lahiriah, seperti kelakuan dan tindakan. Kedua segi batiniah, yaitu sikap, motif, dan karakter atau tabiat.

Tabiat dan tingkah laku merupakan bagian yang berbeda pada manusia meski pada dasarnya keduanya saling bersangkutan, tabiat merujuk pada segi batin selaras dengan istilah watak dan karakter, sedangkan tingkah laku merujuk pada segi lahiriah. Kedua segi tersebut tentu dapat dibedakan, segi lahiriah merujuk pada persoalan etis yang pokok adalah: kelakuan apakah yang harus saya buat ? sedangkan segi lahiriah maka pertanyaannya adalah: menjadi pribadi apa saja seharusnya? ketiga penilaian normatif pada hakikatnya etika selalu menilai bukan hanya menggambarkan apa adanya saja tetapi menilai atas norma-norma tertentu, maka tabiat manusia tabiat dan tingkah laku manusia dinilai dan diukur dengan memakai satu atau beberapa norma, baik yang bersifat filosofis atau agamawi.41

Filsafat Moral Dalam Pandangan Samuel Moyn

Filsafat moral adalah pemahaman mendasar mengenai karakter manusia.

Pada dasarnya, harkat dan martabat manusia dijadikan sebagai dasar penilaian moral. Di sisi lain, pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dihubungkan dengan nilai dasar kekristenan yang memungkinkan kasih dan keadilan itu tercapai.

Dalam hal ini kajian filsafat moral yang hendak dipakai bersumber dari pemikiran Samuel Moyn, Profesor hukum dan filsafat moral di Universitas Yale, gelar doktor dalam sejarah Eropa modern dari University of California-Berkeley.

Dalam perspektif Moyn, human dignity atau harkat dan martabat manusia di dalam bukunya yang berjudul Christian Human Rights erat kaitannya dengan HAM. Dalam hal ini, penghargaan dan pelestarian harkat martabat manusia adalah sumber pengakuan melahirkan HAM yang bersifat mutlak. Lebih jauh, Moyn menegaskan bahwa harkat martabat manusia merupakan pemberian Allah yang paling tinggi. Harkat dan martabat manusia tersebut yang melahirkan HAM yang bersifat universal. Hal ini berarti HAM adalah instrumen yang global dan abadi.

Dalam tinjauan historis Moyn, pendekatan ajaran Kristen merupakan salah satu penggagas HAM sebelum menjadi wacana politik. Tidak dapat diragukan lagi,

40 Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia: Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasa (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), 18.

41 Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia, 17-22.

(16)

11

bahwa nilai-nilai perdamaian didalam ajaran Kristen merupakan sumber pengakuan harkat dan martabat manusia yang paling tinggi. Hal ini yang melatarbelakangi

"personalisme" Kristen yang mengakui signifikansi moral individu manusia.42 Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ajaran agama termasuk pendekatan Kristen kesetaraan moral manusia tidak mungkin terjadi. perdamaian hidup bermasyarakat bersumber dari penghargaan terhadap martabat manusia yang bersumber dari Moyn menekankan pada pentingnya pembelaan HAM tradisi Kristen yang menjunjung harkat dan martabat manusia.

Filsafat Moral Dalam Pandangan Franz Magnis-Suseno

Etika merupakan ilmu yang mencari orientasi, salah satu kebutuhan manusia yang paling fundamental adalah orientasi, manusia harus tahu bahwa ia berada dimana dan kearah mana harus bergerak untuk mencapai tujuan filsafat manusia mengatakan bahwa manusia makhluk yang tau dan mau artinya kemauannya mengandaikan pengetahuan.43 Manusia dapat bertindak berdasarkan pengertian-pengertian tentang bagaimana manusia itu berada, tentang situasinya, kemampuan-kemampuannya, jadi tentang segala faktor yang perlu diperhitungkan agar rencana-rencananya dapat terlaksana, tanpa orientasi manusia tidak tau arah dan merasa terancam. Etika membantu agar manusia lebih mampu untuk mempertanggung jawabkan kehidupannya.44Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral melainkan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral, etika adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran tetang bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita mengambil sikap yang bertangungjawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral, jadi etika sekaligus kurang dan lebih dari ajaran moral, karena etika tidak berwenang untuk menetapkan, apa yang boleh kita lakukan dan apa yang tidak lebih

42 Samuel Moyn, Christian Human Right, 1-7.

43 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta:

Kanisius, 1989), 13.

44 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, 14.

(17)

12

karena etika berusaha untuk mengerti apa, atau atas dasar apa kita harus hidup menurut norma-norma tertentu.45

Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas yang dihasilkannya bukan secara langsung tentang kebaikan melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis, sehingga dalam konteks Indonesia berguna dalam kehidupan manusia, ada beberapa alasan yang menjadi acuan etika diperlukan pada saat ini.46 Pertama masyarakat Indonesia semakin pluraristik, juga dalam bidang moralitas setiap hari kita bertemu dengan orang-orang yang berbeda suku daerah dan agama.

Kedua masyarakat Indonesia hidup dalam masa tranformasi yang tanpa tanding perubahan itu berasal dari hantaman kekuatan yang tidak mengenai semua segi kehidupan kita yaitu gelombang moderenisasi. Ketiga tidak mengherankan bahwa proses perubahan sosial dan moral yang kita alami di pergunakan oleh pelbagai pihak untuk memancing dalam air keruh, dimana mereka menawarkan ideologi- ideologi mereka sebagai obat penyemangat, dan keempat etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu pihak menemukan dasar Iman mereka.47Etika pada hakikatnya mengamati hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan moral secara kritis, etika menuntut pertanggungjawaban dan mau meningkatkan kerancuan, etika berusaha untuk menjernihkan persoalan moral.48

Sebagai makhluk yang berakal budi manusia mempunyai pengertian, ia memahami adanya alternatif untuk ia bertindak, itulah sebabnya manusia bebas dapat memilih berbuat ini atau itu, dan karena manusia bebas manusia dibebani kewajiban. Bahwa orang lain tidak memaksa kita untuk melakukan sesuatu melakukan kehendak kita tetapi kata bebas mempunyai arti yang lebih mendasar yaitu bahwa manusia mampu menentukan sendiri, berbeda dengan binatang.

49Kebebasan sosial merupakan ruang gerak dalam kebebasan eksistensial secara sederhana manusia dapat menentukan sikap dan tindakan kita sendiri sejauh orang

45 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, 14.

46 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, 15.

47 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, 16.

48 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, 18.

49 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, 21-22.

(18)

13

lain membiarkan kita, karena kebebasan sosial merupakan ruang atau prasyarat penggunaan kebebasan eksistensial. 50

Kebebasan sosial secara hakiki terbatas sifatnya sebenarnya jelas dengan sendirinya manusia itu makhluk sosial yang berarti manusia harus hidup Bersama dengan manusia-manusia lain dalam ruang dan waktu yang sama, kebebasan manusia tidak boleh sampai mengurangi kebebasan orang lain yang sama luasnya, setiap orang memiliki fungsinya masing-masing dalam kehidupan Bersama.51Sikap dasar manusia perlu diperhatikan bahwa tidak inti kepribadian manusia yang tidak ikut ditentukan dalam kejadian dan penentuan sehari-hari walaupun setiap keputusan dapat ditiadakan tetapi setiap keputusan itu inti kepribadian juga terkena imbasnya. cinta kasih manusia tidak pernah menyeluruh namun setiap cinta kasih manusia menuju yang menyeluruh dan defenitif. 52

HAM ialah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat jadi bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia, hak itu tidak dapat dihilangkan atau diyatakan tidak berlaku oleh negara atau tidak diakui oleh negara dengan demikian hak-hak asasi tidak dapat di tuntut di depan hakim, melalui hak asasi itu tuntutan moral yang prapsositif dapat di realisasikan dalam hukum positif disatu pihak.53 HAM mengungkapkan tuntutan-tuntutan dasar martabat manusia, jadi apa yang diperjuangkan oleh teori hukum kodrat, tetapi di lain pihak karena tuntuan-tuntutan itu dirumuskan sebagai hak atau kewajiban yang kongkrit dan oprasional, tuntutang-tuntutan itu dapat dimasukkan kedalam hukum positif sebagai norma-norma dasar dalam arti bahwa semua norma hukum lainnya tidak boleh bertentangan dengan mereka.54 Paham HAM mempertanyakan tentang kedudukan hak asasi sebagai hak, apakah dapat ditentang atau dipaksakan, tentang dasar penolakan hak-hak asasi tertentu tentang universalitas dan relatifitasnya, terutama apakah paham ini berlaku secara transkultural, tentang perubahan dan perkembangannya. yang paling mengesankan bahwa paham ini tidak dapat

50 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, 33.

51 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, 34-35.

52 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, 84-85.

53 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, 121.

54 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, 122.

(19)

14

dimatikan; bahwa semakin banyak sistem kekuasaan, dengan rela atau karena ditekan oleh masyarakat, mengakui semakin banyak hak asasi; bahwa tidak ada sistem kekuasaan yang masih dapat bersikap masa bodoh terhadap HAM.55

Baik kebebasan maupun kesamaan tidak boleh dimutlakkan supaya tidak menyediakan dirinya sendiri. masing-masing hak asasi tidak berdiri sendiri melainkan bersama dengan hak-hak asasi lain sebagai patokan orientasi bagi penciptaan suatu hukum yang secara optimal menjamin kemungkinan kehidupan bersama masyarakat yang adil dan sesuai dengan martabat manusia.56 Sejauh hak itu dilihat pada dirinya sendiri hak-hak itu harus sepenuhnya di jamin, tetapi karena dalam kenyataan kehidupan masyarakat, hak-hak itu baik saling menunjang maupun saling membatasi, masing-masing justru tidak boleh dimutlakkan melainkan harus dijamin dengan melihat hak-hak lain.57 Dalam kata lain antara hak-hak asasi yang dijamin harus ada keseimbangan.

Dasar penetapan hak asasi, harus bertolak pada fungsi paham hak asai sebagaimana hak-hak asasi dipositifkan sebagai keyakinan-keyakinan tentang keadilan dan martabat manusia, teori hukum kodrat agar hukum positif sesuai dengan standar moral prapositif dipenuhi dengan merumuskan standar-standar itu dalam bentuk hak kongkrit sebagai jaminan bahwa hukum itu tidak melanggar norma prapositif, dengan demikian hak-hak asasi diterjemahkan melalui keyakinan-keyakinan tentang martabat manusia ke dalam Bahasa hukum yang kongkrit dengan tujuan dapat dipaksakan pelaksanaannya di depan pengadilan.

Penetapan satu tuntutan sebagai hak asasi merupakan hasil suatu proses dialogal dalam masyarakat yang sering berlangsung lama dimulai dari pengalaman negatif dan pengalaman itu lama-lama dilihat bukan sebagai peristiwa dalam isolasi melainkan sebagai pelanggaran prinsip terhadap apa yang wajar dan adil.58

Hak-hak asasi nampaknya berlaku bagi setiap orang tanpa pengecualian dan diskriminasi secara eksplisit diungkapkan dalam pembukaan banyak daftar hak asasi sedangkan pihak lain melihat bahwa kesadaran akan hak-hak asai manusia selalu timbul dalam sosial tertentu dan diperjuangkan oleh satu atau beberapa kelas

55 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, 122-123.

56 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, 132-133.

57 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, 133-134.

58 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, 134-135.

(20)

15

sosial atau golongan tertentu pula.59 Dengan demikian HAM bersifat universal maupun relatif memiliki asalan tertentu HAM sudah jelas terlihat relatif dari dua sudut pertama rumusan kongkrit sebuah hak asasi selalu hanya mungkin kurang lebih sesuai dengan apa yang dioperasionalisasikan yaitu tuntutan martabat manusia, kedua bahwa dan bagaimana suatu tuntutan martabat manusia dianggap perlu dirumuskan sebagai hak asasi selalu menunjuk pada sistem kekuasaan atau struktur sosial budaya, tertentu yang mengancam harkat manusiawi kehidupan sebagian dari anggota masyarakat itu.60 salah satu kesimpulan dari relatifitas itu adalah bahwa daftar-daftar HAM yang sudah dirumuskan tidak begitu saja dapat diambil lebih oleh masyarakat lain. Setiap bangsa merumuskan patokan-patokan dasar kehidupan bersama yamng mereka anggap menjamin harkat manusiawinya, dengan bertolak dari kebutuhan dan cita-cita mereka sendiri.61

Hak-hak asasi tidak seluruhnya relatif sekali dirumuskan dan dirasa perlu, hak-hak itu mutlak perlu diakui untuk menjamin keutuhan manusia, struktur kehidupan sosial manusia akan terus berkembang, akan timbul situasi baru dengan masalah baru yang memerlukan tanggapan baru.62 suatu tahap kesadaran sosial dan individual yang pernah ditinggalkan tidak dapat seakan-akan di ambil kembali, tidak berarti bahwa pola-pola tradisional yang pernah dibuang berdasarkan semangat moderenisasi yang bergelora kemudian tidak dapat dicari kembali apabila orang sudah kecewa, tetapi pergerakan itu tetap berada pada tingkat perkembangan yang lebih tinggi, tidak mungkin polos, mirip dengan pelukis modern yang keprimitifannya merupakan ekspresi kecanggihan mereka. HAM tidak kehilangan kekuatan moralnya hanya karena tidak diakui oleh pihak yang berkuasa dan mungkin sekali perlu dirumuskan juga HAM baru bagi masyarakat teknologi modern. Inti paham HAM terletak dalam kesadaran bahwa masyarakat atau umat manusia tidak dapat dijunjung tinggi kecuali setiap manusia individual, tanpa diskriminasi dan tanpa kekecualian, dihormati dalam keutuhannya.63

59 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, 137.

60 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, 138-139.

61 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, 139-140.

62 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, 142.

63 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, 144-145.

(21)

16 Hasil Penelitian

Profil Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) yang didirikan pada 25 Mei 1950, beranggotakan 91 Gereja dari berbagai daerah di Indonesia.64 PGI memiliki tujuan yaitu untuk mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia, untuk mencapai tujuan tersebut PGI melakukan pelayanan dan kesaksian secara serentak dengan mengusahakan keesaan di lingkungan umat Kristen di Indonesia. Di dalam Profil PGI “Hukum, Politik dan Demokrasi” terdapat enam poin pelayanan legislasi PGI tiga diantaranya merupakan gagasan penting dalam upaya mendukung HAM di Indonesia. Pertama, PGI memfasilitasi gereja-gereja di Indonesia dengan sarana komunikasi, informasi, pendidikan dan dokumentasi yang memadai bagi pengembangan pelayanan dalam advokasi dan penegakan HAM. Kedua, melalui bidang hukum, politik dan demokrasi PGI, baik sendiri maupun dalam kaitan bersama jaringan, akan mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM ke aras nasional. Ketiga, pada sisi lain, bidang hukum, politik dan demokrasi juga akan mendorong para pelayan gereja di berbagai aras pelayanan untuk lebih memberi perhatian akan pelayanan advokasional dan penegakan HAM.65

Pandangan PGI Terhadap Praktik Hukuman Mati

Dari bentuk-bentuk pelayanan yang menjadi kewajiban PGI, hukuman mati tidak luput dari pandangannya, terlihat dari beberapa pelayanan PGI yang terfokus dalam gerakan kemanusiaan dan hukuman mati pada aras nasional, dengan melakukan metode-metode tertentu. Menurut mantan sekretaris eksekutif bidang diakonia PGI Jerry Sumampow, S.Th “Lima sikap PGI terhadap praktik hukuman mati di Indonesia”, sebagai berikut:

1. Hukuman mati menodai rasa kemanusiaan dan keadilan dan karena itu bertentangan dengan hakikat kehidupan yang diberikan Allah, Sang Pencipta dan Pemelihara kehidupan. Hukuman mati tak lagi memberikan ruang bagi orang untuk melakukan perbaikan diri atau

64 “PGI”, Profil PGI, diakses tanggal 25 juli 2022, https://pgi.or.id/profil-pgi/.

65 “PGI,” Profil PGI.

(22)

17

pertobatan. Karena itu, maka kami menolak adanya pemberlakuan hukuman mati sebagai bentuk hukuman terhadap kejahatan.

2. Agar Bapak Presiden RI lebih bijaksana dalam mempertimbangkan kembali rencana eksekusi hukuman mati yang rencananya akan dilaksanakan beberapa hari ke depan. Kami berdoa agar Bapak Presiden tetap konsisten menerapkan konstitusi NKRI dalam terang Sila Kedua Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

3. Agar Bapak Presiden RI sebagai Kepala Negara mendorong penataan regulasi yang terkait dengan masih dicantumkannya hukuman mati dalam berbagai regulasi negara ini. Kami berharap agar sangsi hukuman mati dihapus dalam semua regulasi tersebut sesuai dengan substansi yang terkandung dalam konstitusi kita, pasal 28 I ayat (1) UUD 1945.

4. Kami menyerukan agar semua umat kristiani mendoakan Presiden RI, Bapak Ir. Joko Widodo, agar diberikan hikmat dan kebijaksanaan dalam menyikapi pelaksanaan hukuman mati.

5. Kami mendoakan agar para korban yang menghadapi eksekusi hukuman mati diberi kekuatan dan ketabahan menghadapi proses-proses yang akan berlangsung selanjutnya.66

Gereja-Gereja yang di bawah naungan PGI, dan yang dipantau PGI pada dasarnya tidak setuju dengan hukuman mati, walaupun beberapa Gereja tidak memberi perhatian terhadap praktik hukuman mati, tetapi secara organisasi jelas Gereja tidak setuju akan praktik hukuman mati. Masih ada warga jemaat yang setuju dengan hukuman mati, bagian dari tugas gereja untuk memberi pemahaman pentingnya HAM dan berharganya hidup. Dengan menolak hukuman mati, prinsip teologi yang paling dasar yaitu bahwa pemilik kehidupan ini adalah Tuhan dan hanya Tuhan yang bisa mengambil nyawa manusia itu. Gereja yang menjadi anggota PGI sepatutnya tidak ada yang setuju dengan praktik hukuman mati.67

Peran dan Tanggung Jawab Etis PGI Terhadap Praktik Hukuman Mati di Indonesia

Peran PGI selain dari pada memberikan masukan/rekomendasi kepada Pemerintah, PGI juga memberikan advokasi kepada calon terpidana mati dan menyampaikan kepada Pemerintah bahwa kehidupan adalah karunia Tuhan.

66 “PGI,” Hukuman Mati Bertentangan Dengan Hakekat Kehipudan, diakses tanggal 25 juli 202, https://www.google.com/search?q=hukuman+mati+bertentangan+dengan+hakekat+hidup&oq=

hukuman+mati+bertentangan+dengan+hakekat+hidup&aqs=chrome..69i57j33i10i160l2.73282j0j 4&sourceid=chrome&ie=UTF-8.

67 Wawacara dengan Jeirry Sumampow, Humas PGI, pada hari Kamis 04, November 2022.

(23)

18

“Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) meminta agar pemerintah menghentikan pelaksanaan hukuman mati.”68 Penegasan tersebut disampaikan kepada Presiden Joko Widodo melalui surat yang dikirim pada tanggal 29 Juli 2016.

Dalam surat tersebut, PGI menyampaikan sikap dan pandangannya terkait pelaksanaan hukuman yang menghilangkan nyawa seseorang itu sebagai berikut:

1. Gereja-gereja mengakui, Tuhanlah Pemberi, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan. Demikian, PGI memandang hak untuk hidup menjadi nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia dan karenanya, hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabutnya.

2. Gereja-gereja memahami bahwa negara menjalankan dan menegakkan hukum adalah dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam terang ini, hukuman diharapkan adalah untuk mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat tersebut. Itu pulalah yang dicerminkan dengan penggantian kata “penjara” menjadi “lembaga pemasyarakatan”. Oleh karena itu, segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke jalan yang benar. Dalam hal hukuman mati, peluang untuk memperbaiki diri ini menjadi tertutup, selain menimbulkan kesan bahwa sanksi hukuman mati merupakan

“pembalasan dendam” oleh negara. Bila hukuman mati ini dipertahankan, maka akan terlihat adanya frustasi negara dan masyarakat atas kegagalannya menciptakan tata masyarakat yang bermartabat, dan rasa frustasi itu dilampiaskan kepada hukum

3. Perkembangan peradaban manusia telah mendorong negara-negara di dunia yang sebelumnya mempraktikkan hukuman mati meninjau ulang pemberlakukan hukuman mati ini. Terlihat kecenderungan yang semakin besar dari berbagai negara yang beradab untuk mencabut hukuman mati dari sistem peraturan perundang-undangan mereka, atau setidaknya dalam bentuk moratorium eksekusi hukuman mati. Hal ini didorong pula oleh keraguan apakah hukuman mati masih memberi efek jera sebagaimana yang dimaksudkan oleh ancaman hukuman mati tersebut.

4. Dalam konteks Indonesia yang masih diliputi permasalahan berhubung dengan proses penegakan hukum, eksekusi hukuman mati tidak akan pernah bisa dikoreksi kembali karena sudah berakhir. Kita mencatat beberapa keputusan pengadilan yang sudah inkrach sekali pun ternyata di kemudian hari diketahui terdapat kekeliruan dalam putusan hukum tersebut, semisal salah orang, pengadilan yang tidak fair, dan lain-lain.

Dalam hal demikian, sangat beresiko menjalankan eksekusi hukuman mati, jika seandainya putusan hakim yang dijatuhkan ternyata di kemudian hari keliru.

5. Selain itu, eksekusi hukuman mati juga akan memutus mata rantai kemungkinan penyelidikan lebih lanjut karena yang bersangkutan tidak lagi dapat dimintai keterangan dan informasi terkait dengan faktor-

68 “PGI,” Hentikan Pelaksanaan Hukuman Mati.

(24)

19

faktor dan orang-orang terkait yang terlibat dalam kasus tersebut. Dalam keadaan demikian, bukan tidak mungkin, hukuman mati dijatuhkan dan dieksekusi justru untuk melindungi oknum-oknum tertentu di balik kasus yang menimpa terhukum hukuman mati.

6. Sebagai konsekuensi dari diratifikasinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, maka negara semestinya tak boleh lagi memberlakukan hukuman mati. Sebab dalam perspektif hak asasi manusia, hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam UUD 1945 pada 28 I ayat (1) bahwa “hak untuk hidup, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Jadi Pasal 28 I ayat (1) ini menegaskan bahwa konstitusi kita tak lagi mengizinkan terjadinya praktik hukuman mati dalam negara kita.69

Meski pada dasarnya PGI menyadari bahwa menolak hukuman mati sulit, mengingatkan Pemerintah juga merupakan upaya atau mendorong perubahan- perubahan hukum kalau terjadi perubahan atau revisi Undang-Undang atau Peraturan yang terkait dengan praktik hukuman mati yang berupa surat yang ditujukan langsung kepada Presiden Jokowi pada tahun 2016. Salah satu yang diadvokasi oleh PGI adalah Merry Jane dan sampai sekarang tidak dieksekusi.

Jeirry Sumampow menyebutkan bahwa PGI meminta kepada presiden untuk memberhentikan praktik hukuman mati, karena pencipta adalah pemilik kehidupan itu merupakan hukum yang paling tinggi itu sudah mutlak.70

PGI tidak dilibatkan secara khusus dalam pembuatan UU tetapi pemerintah biasanya meminta masukan terhadap substansti tertentu dalam pembentukan UU dan PGI selalu memberi masukan. Tapi karena tidak ikut dalam penyusunan, PGI tidak bisa mengontrol apa yang diputuskan oleh pemerintah dan DPR. Tetapi peran dalam memberi masukan selalu dimainkan PGI, Pemerintah tahu bahwa PGI menolak itu hukuman mati.71 KUHP yang lama merupakan warisan peninggalan pemerintah kolonial yang pada zamannya menjadikan hukuman mati sebagai hukuman pokok.72 Di RUU pemerintah sudah tidak membuat hukuman mati menjadi hukuman pokok tetapi merupakan opsi/pilihan terakhir.73 Semangat

69 “PGI,” Hentikan Pelaksanaan Hukuman Mati.

70 Wawacara dengan Jeirry Sumampow, Humas PGI, pada hari Kamis 04, November 2022.

71 Wawancara dengan Jeirry Sumampow, Humas PGI, pada hari Kamis, 04 November 2022.

72 Wawancara dengan Juandi Gultom, Staff Bidang Keadilan dan Perdamaian, pada hari Kamis, 04 November 2022.

73 Wawancara dengan Juandi Gultom, Staff Bidang Keadilan dan Perdamaian, pada hari Kamis, 04 November 2022.

(25)

20

dibalik penyusunan RUU mengarah pada sikap ketidaksetujuan terhadap pelaksanaan hukuman mati. 74 Kalau dilihat dari perubahan konstruksi dari naskah RUU KUHP isi yang termuat di dalam perubahan tersebut selalu diperbandingkan dengan hukuman mati dan penjara seumur hidup, dapat dilihat bahwa terdapat perkembangan dan perhatian lebih terhadap hukuman mati. Selanjutnya dalam naskah RUU KUHP juga terdapat ketentuan yang mana mengharuskan hakim menjatuhkan putusan atas hukuman mati tidak dalam bentuk seketika, yang mana diberikan masa percobaan hukuman penjara selama 10 tahun terlebih dahulu. Ini artinya ada pertimbangan dan kesempatan lagi bagi terpidana untuk diupayakan tidak dihukum mati. Berbeda dengan dahulu, ini merupakan kemajuan, dalam sikap pemerintah terhadap hukuman mati.

Pembahasan dan Analisa

Tanggung Jawab Etis PGI Terhadap Praktik Hukuman Mati Di Indonesia Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, Frans Magnis Suseno menjelaskan bahwa bahwa etika merupakan ilmu yang mencari orientasi. Dalam hal ini, manusia harus tahu dimana ia berada dan ke mana ia akan bergerak.75 Kerangka teoritis Suseno tersebut sejalan dengan PGI yang menyatakan bahwa meskipun hukuman mati masih diberlakukan di Indonesia, secara tegas PGI menyatakan komitmen untuk menghapuskan hukuman mati dari praktik hukuman mati di Indonesia. Hal ini didasarkan pada nilai-nilai kekristenan yang dipegang oleh PGI.76

Secara teoritis, tanggung jawab moral berangkat dari kesadaran individu atau organisasi terhadap dirinya maupun masyarakat. Bagian dari kesadaran alamiah itu tidak hanya sikap mengecam atau mendukung pelanggaran atau ketaatan pada norma moral, tetapi juga afirmasi terhadap kebebasan dan kehendak bebas sebagai hal yang konstitutif bagi tanggung jawab moral itu sendiri.77 Dalam konteks penelitian ini, gereja-gereja yang tergabung dengan PGI

74 Wawancara dengan Jeirry Sumampow, Humas PGI, pada hari Kamis, 04 November 2022.

75 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta:

Kanisius, 1989), 13.

76 Wawancara dengan Jeirry Sumampow, Humas PGI, pada hari Kamis, 04 November 2022.

77 Carlos Moya. Moral Responsibility: The Ways of Scepticism (London & New York: Routledge, 2006), 13.

(26)

21

pada umumnya tidak setuju dengan praktik hukuman mati. Untuk mengaktualisasikan ketidaksetujuan ini, PGI selalu aktif mengingatkan pemerintah agar sebisanya mempertimbangkan kembali hukuman mati tersebut. Hal ini terus dilakukan secara konsisten meskipun PGI menyadari bahwa pertimbangan tersebut akan sulit sekali dapat diterima dan diaktualisasikan oleh pemerintah.78 Indonesia telah berkomitmen untuk meminimalisir hukuman mati di dunia dan Indonesia untuk terpidana kasus extra-ordinari crime. Jika ditinjau melalui praktik RUU KUHP, hakim memberi keputusan tidak langsung. Artinya terpidana mati diberi masa percobaan 10 tahun sebelum menjalani eksekusi hukuman mati. Hal ini merupakan progres yang positif dalam perkembangan hukum Indonesia.79

Dari segi aspek konseptual yang lebih luas, Suseno menyatakan bahwa manusia dapat bertindak berdasarkan situasinya, kemampuan-kemampuannya, jadi tentang segala faktor yang perlu diperhitungkan agar rencana-rencannya dapat terlaksana, tanpa orientasi manusia tidak tau arah dan merasa terancam. Etika membantu agar manusia lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupannya.80 Dalam hal ini, meskipun sebelumnya telah dijelaskan bagaimana secara filsafat moral, PGI benar-benar berkomitmen untuk menghapuskan praktik hukuman mati, Jeirry Sumampow menyatakan, jelas bahwa hukuman mati sudah dipersulit dan dapat di ubah menjadi kurungan seumur hidup tetapi penjara tidak muat lagi juga sudah menjadi permasalahan, jadi beban penjara juga bertambah. 81

Pernyataan Sumampaw di atas menunjukkan bahwa disamping komitmen PGI untuk menghapuskan hukuman mati, PGI masih mempertimbangkan faktor- faktor yang mempengaruhi komitmen tersebut, misalnya adalah kapasitas Lembaga Pemasyarakatan. Hal tersebut bukan tanpa alasan, menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (Kemenkumham) per 12 September 2021, kapasitas lapas di di 33 Kantor Wilayah (LKkanwil) untuk 134.835 ribu orang, tetapi jumlah penghuninya mencapai 271.007 orang. Artinya, terjadi kelebihan kapasitas penghuni lapas sebanyak

78 Wawancara dengan Jeirry Sumampow, Humas PGI, pada hari Kamis, 04 November 2022.

79 Wawancara dengan Juandi Gultom, Staff Bidang Keadilan dan Perdamaian, pada hari Kamis, 04 November 2022.

80 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, 14.

81 Wawancara dengan Jeirry Sumampow, Humas PGI, pada hari Kamis, 04 November 2022.

(27)

22

136.173 orang atau dua kali lipat dari total (101%).82 Dari kenyataan tersebut terlihat jelas bahwa PGI mempertimbangkan bagaimana dampak dari dihapusnya hukuman mati terhadap kapasitas Lapas.

Filsafat moral berhubungan erat dengan pemahaman mendasar mengenai manusia. Pada dasarnya, harkat dan martabat manusia dijadikan sebagai dasar penilaian moral. Lebih jauh, pemikiran Moyn menyatakan bahwa harkat dan martabat manusia tersebut yang melahirkan HAM yang bersifat universal dan merupakan instrumen yang mutlak dan abadi. Langkah PGI dalam menolak dan merekomendasikan penundaan eksekusi hukuman mati merupakan wujud tanggung jawab moral yang besar dalam menegakkan HAM. Lebih jauh, hukuman mati secara tegas ditolak karena PGI meyakini hidup hanya bisa dihentikan dan hanya dapat diambil oleh Pencipta.83

Pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dihubungkan dengan nilai dasar kekristenan yang memungkinkan kasih dan keadilan itu tercapai, PGI sudah melakukan langkah yang tepat dari tinjauan filsafat moral. Dalam hal ini, PGI memang tidak dilibatkan secara langsung dalam pembuatan UU KUHP tetapi pemerintah biasanya meminta masukan terhadap substansi tertentu dalam pembentukan UU. PGI selalu memberi masukan meskipun tidak dapat melakukan fungsi kontrol terhadap hasil keputusan pembuatan UU ini, Tetapi kontinuitas PGI untuk menyuarakan hukuman mati merupakan bukti komitmen PGI untuk sebuah nilai dasar yang universal, bahwa satu-satunya yang berhak mengakhiri hidup seseorang adalah Tuhan Yang Maha Esa.

Tanggung Jawab Etis PGI Terhadap Praktik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Filsafat Moral Moyn dan Magnis

Moyn menekankan pada pentingnya HAM dalam hubungannya dengan pembelaan, human dignity atau harkat martabat manusia yang dipahami dalam tradisi Kristen. Pertama harkat dan martabat manusia dijadikan sebagai dasar

82 Viva Budy Kusnandar, “Hampir Semua Lapas di Indonesia Kelebihan Kapasitas.” Databooks, Diakses pada tanggal 9 November 2022,

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/13/hampir-semua-lapas-di-indonesia- kelebihan-kapasitas.

83 Wawancara dengan Jeirry Sumampow, Humas PGI, pada hari Kamis, 04 November 2022.

(28)

23

penilaian moral, selaras dengan pandangan PGI bahwa hukuman mati tidak benar dilakukan atas alasan apapun dan setiap manusia memiliki hal untuk hidup harkat martabat manusia mutlak dan harus dijaga keutuhannya. Kedua pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dihubungkan dengan nilai dasar kekristenan yang memungkinkan kasih dan keadilan itu tercapai, tindakan dan upaya PGI merupakan aktualisasi dari nilai kekristenan yang merupakan tanggung jawab bagi PGI.84 Dalam filsafat moral dalam pandangan Magnis, yang menyatakan bahwa HAM merupakan suatu hal yang mutlak, HAM berlaku bagi setiap orang tanpa pengecualian, yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia, hak itu tidak dapat dihilangkan atau diyatakan tidak berlaku oleh negara atau tidak diakui oleh negara, upaya PGI dalam surat penolakan hukuman mati kepada Presiden Jokowi dan peran PGI memberi masukan dalam RUU KUHP merupakan upaya yang relevan dengan pandangan Magnis. 85

Dari pandangan Moyn dan Magnis, dipahami bahwa semangat penolakan praktik hukuman mati yang digaungkan PGI melalui surat terbuka kepada presiden dan advokasi terhadap terpidana mati, mewujudkan tanggung jawab moral dan penghormatan penegakan HAM yang berdasar pada pentingnya harkat dan martabat manusia (Human Dignity). Pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dihubungkan dengan nilai dasar kekristenan yang memungkinkan kasih dan keadilan itu tercapai. HAM berlaku bagi setiap orang tanpa pengecualian, yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia, hak itu tidak dapat dihilangkan atau diyatakan tidak berlaku oleh negara atau tidak diakui oleh negara. PGI sudah melakukan tindakan beretika yang terwujud lewat tanggung jawab etis dalam penolakan praktik hukuan mati di Indonesia.

84 Samuel Moyn, Christian Human Right, 1-3.

85 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, 53-58.

(29)

24 Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa tanggung jawab etis moral memiliki hubungan yang erat pemahamannya akan nilai-nilai moral. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Moyn dan Magnis yang menyatakan bahwa terdapat irisan antara kemutlakan harkat martabat, moral, gereja dan HAM. Aktualisasi peran gereja dalam peririsan hal-hal tersebut dijalankan dengan konsisten oleh PGI dan cenderung berlanjut, meskipun belum dapat mengubah UU dan keputusan terhadap terpidana mati secara signifikan.

Peran PGI tersebut tentu akan berimplikasi pada sistem hukum di Indonesia pada umumnya, serta hukum yang berkaitan dengan hukuman mati pada khususnya, baik secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal maksudnya, antara PGI dengan pemerintah, dalam hal ini pemerintah akan mempertimbangkan masukan-masukan PGI untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan hukuman mati dari praktik hukum yang ada di Indonesia. Selain itu, secara horizontal, upaya- upaya yang dilakukan oleh PGI akan menyadarkan baik jemaat gereja maupun masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mengeliminasi hukuman mati di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

kehadiran pegawai. Absensi harian berlaku untuk bagian operasional saja bagian Pengawas Lapangan tidak memerlukan absensi harian. Hal ini disebabkan karena PT. Maju

Rasa syukur ini menjadikan peneliti dapat menyelesaikan skripsi “OBJEKTIVITAS BERITA PRABOWO-HATTA PADA MASA KAMPANYE PILPRES 2014 DI HARIAN SORE SURABAYA POST”..

Untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam membentuk kepribadian muslim siswa yang ada di Madrasah Surya Buana Malang ini, peneliti turun langsung

Maksudnya setiap pihak mempunyai hak untuk meneruskan atau membatalakan akad selama keduanya belum berpisah secara fisik. Maksud berpisah disesuaikan dengan situasi

Permintaan tahunan sebuah item sebesar 2000 unit dengan ongkos pesan $10 dan ongkos simpan 40% dari harga per unit.. Perubahan

Tugas dan tanggung jawab :.. a) Melaksanakan standar pelaksanaan pengujian terhadap hasil produksi tusuk kontak, kabel dan hasil braider serta material yang datang

SIKLUS HIDUP BEBERAPA PARASIT Cacing Tambang .. )0acing de/asa *ada mukosa usus-. 0acing tambang de/asa melekat *ada villi usus halus dengan bucal ca*sulnya. Tam*ak cacing