x DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………... i
LEMBAR PERSETUJUAN ………. ii
PERNYATAAN ……… iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……… v
KATA PENGANTAR ………... vi
UCAPAN TERIMA KASIH ………. vii
ABSTRAK ……… ix
DAFTAR ISI ………. x
DAFTAR TABEL ………. xiii
DAFTAR GAMBAR ……… xv
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Rumusan Masalah ………. 15
C. Tujuan Penelitian ……….. 16
D. Manfaat Penelitian ……… 16
E. Paradigma Penelitian ……… 17
F. Asumsi dan Hipotesis Penelitian ……….. 18
1. Asumsi ……… 18
2. Hipotesis ………. 18
G. Definisi Operasional ………. 19
H. Sistematika Penulisan ……… 20
xi
B. Metode Kooperatif Tipe TGT (Teams Games Tournament) ..…. 25
1. Hakikat Metode Kooperatif Tipe TGT ………..…… 25
2. Langkah-Langkah Kegiatan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT ……… 27
C. Dasar Pemikiran Metode Pembelajaran Kooperatif ……….…… 35
D. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif ……… 36
E. Keterampilan-Keterampilan dalam Pembelajaran Kooperatif ….. 37
F. Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Kooperatif 39 1. Kelebihan Metode Pembelajaran Kooperatif………. 39
2. Kekurangan Metode Pembelajaran Kooperatif ………. 41
G. Aktivitas dan Hasil Belajar siswa ……….. 42
1. Aktivitas Belajar Siswa ………. 42
2. Hasil Belajar Siswa ……… 49
H. Hubungan Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dengan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa……….. 53
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ……….……… 63
B. Alur Penelitian ……… 64
C. Sampel Penelitian ……….……….. 65
D. Lokasi Penelitian ……….………... 66
E. Prosedur Penelitian ……….……… 66
F. Alat Pengumpulan Data…..……….…………... 68
G. Uji Instrumen Soal Tes Hasil Belajar ………... 72
H. Teknik Pengolahan Data ………. 77
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ……… 78
1. Aktivitas Belajar IPS Menggunakan Metode Cooperative Learning tipe TGT dan Pembelajaran Konvensional ……….. 78
2. Hasil Belajar IPS Menggunakan Metode Cooperative Learning tipe TGT dan Pembelajaran Konvensional ……… 92
xii
B. Temuan dan Pembahasan ………. 108
1. Aktivitas Belajar Siswa ………. 108
2. Hasil Belajar Siswa ……… 118
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ………... 124
B. Rekomendasi ………. 125
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran kooperatif telah memiliki sejarah yang panjang. Sejak
zaman dahulu kala, para guru telah membolehkan atau mendorong siswa-siswa
mereka untuk bekerja sama dalam tugas-tugas kelompok tertentu, dalam diskusi
atau debat kelompok, atau dalam bentuk-bentuk kerja kelompok, atau dalam
kegiatan pelajaran tambahan kelompok lainnya. Metode ini biasanya bersifat
informal, tidak berstruktur dan hanya digunakan pada saat-saat tertentu saja.
Namun demikian, sejak dua puluh tahun yang lalu, telah dilakukan beberapa
penelitian yang signifikan terhadap teknik-teknik lama ini. Untuk pertama kalinya,
strategi pembelajaran kooperatif mulai dikembangkan, bahkan lebih dari itu,
mulai di evaluasi dalam berbagai konteks pengajaran yang lebih luas. Sebagai
hasil dari sekian tahun penelitian dan aplikasi praktis dari ratusan ribu guru,
keberadaan metode-metode pembelajaran kooperatif yang efektif kini sebenarnya
hadir untuk berbagai keperluan pengajaran yang ada. Lebih jauh lagi, kini kita
tahu akan betapa banyaknya pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap siswa
dan kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk membuat pembelajaran kooperatif
yang efektif, khususnya untuk mencapai prestasi. Kini menjadi mungkin bagi para
guru memilih metode yang sesusi dari sekian banyak metode kooperatif untuk
diterapkan pada keperluan yang berbeda, dan untuk menggunakan pembelajaran
kooperatif sebagai skema pengorganisasian utama dalam pengajaran di kelas, dan
2
Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode
pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk
saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam
kelas kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling
mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang mereka
kuasai pada saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing.
Cara belajar kooperatif jarang sekali menggantikan pengajaran yang diberikan
oleh guru, tetapi lebih seringnya menggantikan pengaturan tempat duduk yang
individual, cara belajar individual, dan dorongan yang individual. Apabila diatur
dengan baik, siswa-siswa dalam pembelajaran kooperatif akan belajar satu sama
lain untuk memastikan bahwa tiap orang dalam kelompok telah mengetahui
konsep-konsep yang telah dipikirkan (Slavin, 2008: 4).
Pembelajaran kooperatif bukanlah gagasan baru dalam dunia
pendidikan, tetapi sebelum masa belakangan ini, metode ini hanya digunakan oleh
beberapa guru untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti tugas-tugas atau laporan
kelompok tertentu. Namun demikian, penelitian selama dua puluh tahun terakhir
ini mengidentifikasi metode pembelajaran kooperatif dapat digunakan secara
efektif pada semua tingkatan kelas dan untuk mengajarkan berbagai mata
pelajaran.
Ada banyak alasan yang membuat pembelajaran kooperatif memasuki
jalur utama pendidikan. Salah satunya adalah berdasarkan penelitian dasar yang
mendukung penggunaan pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan prestasi
3
hubungan antarkelompok, penerimaan terhadap teman sekelas yang lemah dalam
bidang akademik, dan meningkatkan rasa harga diri. Alasan lain adalah
tumbuhnya kesadaran bahwa para siswa perlu belajar untuk berpikir,
menyelesaikan masalah dan mengintegrasikan serta mengaplikasikan kemampuan
dan pengetahuan mereka dan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan sarana
yang baik untuk mencapai hal-hal semacam itu. Pembelajaran kooperatif berjalan
dengan baik, dan dapat diaplikasikan untuk semua jenis kelas, termasuk
kelas-kelas yang khusus untuk anak-anak berbakat, kelas-kelas pendidikan khusus dan bahkan
dengan tingkat kelas dengan tingkat kecerdasan ”rata-rata” dan khususnya sangat
diperluan dalam kelas heterogen dengan berbagai tingkat kemampuan.
Pembelajaran kooperatif dapat membantu membuat perbedaan menjadi bahan
pembelajaran dan bukannya menjadi masalah. Karena sekolah bergerak dari
sistem pengelompokkan yang lebih heterogen, pembelajaran kooperatif menjadi
semakin penting. Lebih jauh lagi pembelajaran kooperatif memiliki kelebihan
yang sangat besar untuk mengembangkan hubungan antara siswa dari latar
belakang etnik yang berbeda dan antara siswa-siswa pendidikan khusus
terbelakang secara akademik dengan teman sekelas mereka, ini jelas melengkapi
alasan pentingnya menggunakan pembelajaran kooperatif (Slavin, 2008: 4-5).
Salah satu alasan terpenting mengapa pembelajaran kooperatif
dikembangkan adalah bahwa para pendidik dan ilmuwan sosial telah mengetahui
tentang pengaruh yang merusak dari persaingan dalam pembelajaran konvensional
yang sering digunakan di dalam kelas. Ini bukan mengatakan bahwa persaingan
4
dapat menjadi sarana yang efektif dan tidak berbahaya untuk memotivasi orang
untuk melakukan yang terbaik. Namun bentuk-bentuk persaingan yang biasanya
digunakan di dalam kelas jarang sekali bersifat efektif dan sehat (Slavin, 2008: 6).
Kritik terhadap pengaturan kelas tradisional yang diberikan oleh para
pencetus teori motivasional adalah bahwa penilaian yang kompetitif dan sistem
penghargaan informal di kelas menciptakan norma-norma di antara mereka yang
berlawanan dengan usaha-usaha akademi (Coleman, 1961). Karena kesuksesan
salah satu siswa menurunkan kesempatan untuk sukses bagi yang lainnya, para
siswa lebih suka mengekspresikan norma-norma bahwa pencapaian tinggi
hanyalah untuk “orang-orang aneh” dan kesayangan guru. Norma-norma
penghalang seperti ini sering ditemukan dalam dunia industri, di mana “si
pembuat onar” dicemooh oleh rekan kerjanya (Vroom, 1969). Akan tetapi, ketika
para siswa bekerjasama untuk mencapai tujuan yang sama, seperti yang mereka
lakukan ketika struktur penghargaan kooperatif diterapkan, mereka belajar tentang
usaha yang dapat membantu keberhasilan teman satu kelompoknya. Oleh sebab
itu, para siswa saling mendorong pembelajaran satu dengan lain, mendorong
usaha akademis satu sama lain, dan mengekspresikan norma-norma yang sesuai
dengan pencapaian akademik (Slavin, 2008: 35).
Bagi kebanyakan anak-anak dengan prestasi yang rendah situasi
persaingan adalah motivator yang buruk; bagi sebagian lainnya ini bahkan
menjadi penderitaan psikologis yang menetap. Siswa masuk ke dalam sebuah
kelas dengan latar belakang kemampuan dan pengetahuan yang berbeda. Siswa
5
materi-materi baru. Untuk alas an ini dan alasan lainnya, berhasil menjadi sesuatu
yang sulit bagi sebagian siswa, tetapi mudah bagi yang lainnya. Keberhasilan
ditentukan oleh dasar yang relatif dalam kelas yang kompetitif. Para siswa dengan
prestasi rendah, meskipun sudah belajar banyak, tetap saja masih berada di
peringkat bawah jika teman sekelasnya belajar lebih banyak lagi. Dari hari ke
hari, siswa dengan prestasi rendah mendapatkan umpan balik yang negatif dalam
usaha-usaha akademis mereka. Setelah beberapa waktu, mereka belajar bahwa
kesuksesan prestasi akademik bukanlah bidang mereka, lalu mereka memilih
bidang lain yang masih terbuka di mana masih ada kemungkinan bagi mereka
untuk membangun citra diri yang positif. Sebagian besar dari bidang ini menuntun
mereka pada perilaku antisosial dan menyimpang (Slavin, 2008: 7-8)
Inti dari pembelajaran kooperatif (Slavin, 1982a,b). Dalam metode
pembelajaran kooperatif, para siswa duduk bersama dalam kelompok yang
beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang akan disampaikan oleh
guru. Anggota kelompoknya heterogen yang terdiri dari siswa berprestasi tinggi,
sedang dan rendah, laki-laki dan perempuan dan berasal dari latar belakang etnik
yang berbeda. Setelah mendapatkan kesempatan untuk belajar dengan kelompok
mereka, para siswa mengerjakan kuis secara sendiri-sendiri. Skor kuis dari semua
siswa dicatat. Semua kelompok yang skor rata-rata kuisnya tinggi mendapatkan
penghargaan khusus, seperti sertifikat yang menarik atau menempatkan foto
anggota kelompok mereka di ruang kelas.
Selama belajar secara kooperatif siswa tetap tinggal dalam kelompoknya
6
khusus agar dapat bekerjasama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti
menjadi pendengar aktif, memberikan penjelasan kepada teman sekelompok
dengan baik, berdiskusi dan sebaginya. Agar terlaksana dengan baik, siswa diberi
lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk
diajarkan. Selama bekerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah
mencapai ketuntasan materi yang disajikan guru dan saling membantu di antara
teman sekelompok untuk mencapai ketuntasan materi. Belajar belum selesai jika
salah satu anggota kelompok ada yang belum menguasai materi pelajaran
(Trianto, 2007: 1996: 41-42).
Ide yang melatarbelakangi bentuk pembelajaran kooperatif semacam ini
adalah apabila siswa ingin agar kelompoknya berhasil, mereka akan mendorong
anggota kelompoknya untuk lebih baik dan akan membantu mereka
melakukannya. Seringkali, para siswa mampu melakukan pekerjaan yang luar
biasa dalam menjelaskan gagasan-gagasan yang sulit satu sama lain dengan
menerjemahkan bahasa guru yang digunakan guru ke dalam bahasa anak-anak.
Metode pembelajaran kooperatif tentu saja bukan hal baru. Para guru
sudah menggunakan selama bertahun-tahun dalam bentuk kelompok
laboratorium, kelompok tugas, kelompok diskusi dan sebagainya. Namun,
penelitian terakhir di Amerika Serikat dan beberapa negara lain telah menciptakan
metode-metode pembelajaran kooperatif yang sistematik dan praktis ditujukan
untuk digunakan sebagai elemen utama dalam pola pengaturan di kelas, pengaruh
penerapan metode-metode ini juga telah didokumentasikan dan telah
7
telah digunakan secara ekstensif dalam tiap subyek yang dapat dikonsepkan, pada
tingkat kelas mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi dan pada
berbagai macam sekolah diseluruh dunia (Slavin, 2008: 9).
Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi
pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai
tujuan bersama (Eggen and Kauchak: 279) dalam Trianto, 2007: 42. Pembelajaran
kooperatif disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa,
memfasilitas dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan
dalam kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi
dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya. Jadi, dalam
pembelajaran kooperatif siswa berperan ganda yaitu sebagai siswa ataupun
sebagai guru. Dengan bekerja secara kolaboratif untuk mencapai sebuah tujuan
bersama, maka siswa akan mengembangkan ketrampilan berhubungan dengan
sesama manusia yang akan sangat bermanfaat bagi kehidupan diluar sekolah.
Proses demokrasi dan peran aktif merupakan ciri khas dari lingkungan
pembelajaran kooperatif. Dalam kelompok guru menerapkan struktur tingkat
tinggi dan guru juga mendefinisikan semua prosedur. Meskipun demikian, guru
tidak dibenarkan mengelola tingkah laku siswa dalam kelompok secara ketat, dan
siswa memiliki ruang dan peluang untuk secara bebas mengendalikan
aktivitas-aktivitas di dalam kelompoknya. Selain itu pembelajaran kooperatif menjadi
sangat efektif jika materi pelajaran tersedia lengkap di kelas, ruang guru
8
Kelemahan-kelemahan pembelajaran IPS selama ini adalah kurang
mengikut sertakan siswa dalam proses pembelajaran. Guru tidak
mengembangkan berbagai pendekatan maupun metode dalam pembelajaran.
Kebanyakan para pendidik menempuh cara yang mudah saja dengan
menggunakan metode ceramah dan mengandalkan penghafalan fakta–fakta
belaka. Berikut ini perlu dicermati pendapat Numan Somantri (2001: 39) tentang
pembelajaran pendidikan IPS, yaitu pendekatan ekspositori sangat menguasai
keseluruhan proses belajar mengajar. Kalaupun ada diskusi tetapi tidak ada
hubungannya dengan prosedur berfikir ilmu sosial.
Hierarki belajar dalam pembelajaran IPS hampir tidak di temui baik
dalam rencana pembelajaran, proses pembelajaran, maupun konstruksi tes dalam
buku pelajaran. Tingkat pengetahuan sebagian besar peserta didik berada dalam
kelompok peringkat satu (fakta) dan peringkat dua (konsep), sedang generalisasi
sebagai peringkat tiga hampir tidak digunakan. Penyebaran kawasan tujuan
instruksional tidak memungkinkan peserta didik belajar aktif. Mata pelajaran
sejarah dan ilmu sosial lainnya sangat membosankan dan kurang membantu dalam
permulaan di perguruan tinggi maupun manfaatnya bagi kehidupan masyarakat.
Berdasarkan pengalaman di kelas dan analisis dari beberapa sumber,
ternyata masih banyak guru yang belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan
yang memadai untuk memilih dan mengaplikasikan berbagai metode atau
pendekatan pembelajaran yang mampu meningkatkan kegairahan, keaktifan,
kreatifitas, dan motivasi belajar siswa. Disamping itu, tidak jarang siswa kesulitan
9
pembelajaran, karena metode yang digunakan tidak sesuai dengan karakteristik
materi pelajaran yang disampaikan.
Selanjutnya Como dan Snow (dalam Syafruddin, 2001:3) menilai bahwa
metode pembelajaran IPS yang diimplementasikan saat ini masih bersifat
konvensional sehingga siswa sulit memperoleh pelayanan secara optimal. Dengan
pembelajaran seperti itu maka perbedaan individual siswa di kelas tidak dapat
terakomodasi sehingga sulit tercapai tujuan; tujuan spesifik pembelajaran
terutama bagi siswa berkemampuan rendah. Metode pembelajaran IPS saat ini
juga lebih menekankan pada aspek kebutuhan formal dibanding kebutuhan riil
siswa sehingga proses pembelajaran terkesan sebagai pekerjaan administratif dan
belum mengembangkan potensi anak secara optimal.
http://educare.e_fkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=10&itemid=7
Sesuai dengan karakteristik anak dan IPS SD, maka metode ekspositori
akan menyebabkan siswa bersikap pasif, dan menurunkan derajat IPS menjadi
pelajaran hafalan yang membosankan. Guru yang bersikap memonopoli peran
sebagai sumber informasi, selayaknya meningkatkan kinerjanya dengan metode
pembelajaran yang dapat memotivasi, memacu aktivitas belajar, memperhatikan
perbedaan individual, dan memanfaatkan lingkungan. Metode pembelajaran
kooperatif adalah salah satu metode pembelajaran yang dapat diaplikasikan untuk
mengatasi berbagai permasalahan dalam pembelajaran IPS.
Pembelajaran kooperatif dirancang untuk membantu terjadinya
pembagian tanggung jawab ketika siswa mengikuti pembelajaran. Metode
10
siswa berbagi tanggung jawab dengan siswa lainnya termasuk dengan guru untuk
menciptakan keadaan belajar dan berusaha bersama memenuhi tugas
pengembangan keterampilan serta penguasaan kompetensi yang sedang dipelajari.
Siswa akan belajar lebih banyak melalui proses pembentukan dan penciptaan,
melalui kerja dengan kelompok dan melalui berbagi pengetahuan sesama siswa.
Namun tanggung jawab individual merupakan kunci keberhasilan pembelajaran.
Sehubungan dengan permasalahan diatas, maka upaya peningkatan
kualitas pembelajaran pendidikan IPS, merupakan suatu kebutuhan yang sangat
mendesak untuk dilakukan. Salah satu alternatif metode pembelajaran yang di
duga dapat menjembatani keresahan tersebut adalah metode cooperative learning.
Metode ini biasa disebut juga metode gotong royong. Sifat belajar cooperative
learning tidak sama dengan belajar kelompok atau belajar bekerja sama biasa.
Dalam kerja kelompok, guru biasanya membagi kelompok lalu memberikan tugas
kelompok tanpa rancangan tertentu yang dapat membuat setiap siswa menjadi
aktif. Akibatnya, siswa ada yang bekerja aktif tetapi ada juga yang pasif, ataupun
bahkan ada yang main-main atau ngobrol.
Sementara itu, cooperative learning, setiap siswa dituntut untuk bekerja
dalam kelompok melalui rancangan-rancangan tertentu yang sudah dipersiapkan
oleh guru, sehingga seluruh siswa harus bekerja aktif. Siswa adalah suatu
organisme hidup, di dalam dirinya beraneka ragam kemungkinan potensi. Di
dalam dirinya terdapat prinsip aktif, keinginan untuk berbuat dan bekerja sendiri.
11
mengarahkan tingkah laku dan perbuatan itu menuju ketingkat perkembangan
yang diharapkan.
Adanya berbagai temuan dan pendapat pada gilirannya menyebabkan
pandangan anak (siswa) berubah. Pengajaran yang efektif adalah pengajaran
yanga menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri.
Dalam pembelajaran tradisional asas aktivitas sudah dilaksanakan, tetapi aktivitas
tersebut bersifat semu (aktivitas semu). Untuk saat ini, asas aktivitas lebih
ditonjolkan melalui suatu program unit activity, sehingga kegiatan belajar siswa
menjadi dasar untuk mencapai tujuan dan hasil belajar yang optimal. (Hamalik,
2008:171-172)
Jika dikaji lebih jauh, cooperative learning sangat relevan dengan tujuan
pendidikan yang ingin dicapai, apalagi kalau dikaitkan dengan berbagai life skill
yang harus dikuasai siswa. Umpamanya, dalam kecakapan berpikir rasional
(thinking skill), siswa dituntut memiliki kecakapan menggali dan menemukan
informasi, kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan serta
kecakapan memecahkan masalah. Selain itu siswa pun dituntut untuk memiliki
kecakapan sosial, termasuk kecakapan berkomunikasi dan bekerjasama.
Hal ini juga sejalan pendidikan IPS yang sangat memperhatikan dimensi
ketrampilan disamping pemahaman dalam dimensi pengetahuan. Kecakapan
mengolah dan menerapkan informasi merupakan ketrampilan yang sangat penting
untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang mampu berpartispasi
12
pendidikan IPS salah satunya adalah ketrampilan partisipasi sosial, yaitu
bagaimana berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain. Keahlian bekerjasama
dalam kelompok sangat penting karena dalam kehidupan bermasyarakat begitu
banyak orang menggantungkan hidup melalui kelompok. Beberapa ketrampilan
partisipasi sosial yang perlu dibelajarkan oleh guru meliputi; mengidentifikasi
akibat dari perbuatan dan pengaruh ucapan terhadap orang lain, menunjukkan rasa
hormat dan perhatian kepada orang lain, berbagi tugas dan pekerjaan dengan
orang lain, berbuat efektif sebagai anggota kelompok, mengambil berbagai peran
kelompok, menerima kritik dan saran, menyesuaikan kemampuan dengan tugas
yang harus diselesaikan (Sapriya, 2008: 34-35)
Dalam melaksanakan pembelajaran IPS, guru harus dapat membangun dan
menciptakan keterampilan sosial siswa. Williams and Asher (Muijs & Reinolds,
2005: 133-134) menyebutkan 4 (empat) konsep dasar yang harus diajarkan dalam
membentuk keterampilan sosial siswa yaitu co-operation, participation,
communication, and validation. Konsep dasar yang pertama adalah kerja sama
(co-operation), dapat terwujud pada perilaku siswa dalam memberi kesempatan
dan saran kepada orang lain. Kedua adalah partisipasi (participation) yaitu
melibatkan diri dalam permainan. Ketiga adalah komunikasi (communication),
merupakan bentuk keterampilan sosial. Komunikasi dapat terwujud pada
kemampuan berbicara, keterampilan bertanya dan mendengarkan orang lain.
Keempat, validasi (validation) adalah validasi dengan mengatakan kebaikan dan
13
Untuk dapat mewujudkan keterampilan sosial tersebut, guru hendaknya
tidak hanya menuntut siswa untuk menghafal materi-materi secara konseptual
saja, tetapi lebih jauh siswa mampu mengaplikasikan secara cerdas dan
bertanggung jawab. Guru juga harus mampu melaksanakan pembelajaran dengan
multi media, metode dan teknik pembelajaran yang kompleks, sehingga
pembelajaran tidak monoton dan dapat menciptakan pembelajaran aktif, kreatif,
efektif dan menyenangkan (PAKEM) bagi siswa. Suasana belajar dan
pembelajaran diarahkan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya,
berarti proses pembelajaran harus berorientasi kepada siswa (student active
learning). Oleh karena itu, dalam mencapai tujuan IPS membentuk warga negara
yang baik, yaitu warga negara yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara (UU NO. 20 TAHUN 2003
tentang SISDIKNAS), guru dapat menerapkan beberapa metode pembelajaran.
Proses pembelajaran berujung pada pembentukan sikap, pengembangan
kecerdasan , ketrampilan anak sesuai dengan kebutuhan. Ketiga aspek ini (sikap,
kecerdasan dan ketrampilan) merupakan arah dan tujuan pembelajaran yang harus
diupayakan. Salah satu metode pembelajaran yang dapat diterapkan adalah
cooperative learning (pembelajaran kooperatif).
Pembelajaran kooperatif dirancang untuk membantu terjadinya
pembagian tanggung jawab ketika siswa mengikuti pembelajaran. Metode
pembelajaran kooperatif dipandang sebagai proses pembelajaran yang aktif
14
untuk menciptakan keadaan belajar dan berusaha bersama memenuhi tugas
pengembangan keterampilan serta penguasaan kompetensi yang sedang dipelajari.
Siswa akan belajar lebih banyak melalui proses pembentukan dan penciptaan,
melalui kerja dengan kelompok dan melalui berbagi pengetahuan sesama siswa.
Namun tanggung jawab individual merupakan kunci keberhasilan pembelajaran.
Ada beberapa variasi metode pembelajaran kooperatif salah satu
diantaranya adalah metode pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams Games
Turnament). Metode pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah salah satu tipe atau
metode pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas
seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai
tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas
belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif metode
TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan
tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
Metode pembelajaran kooperatif tipe TGT seringkali dilihat sebagai
salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling mengasyikkan. Steve
Parson dalam Slavin (2008: 167) mengatakan:
15
Sebagai tindak lanjutnya perlu dilakukan penelitian untuk melihat
pengaruh pembelajaran kooperatif dengan tipe TGT dalam pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) di SD terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa.
Penelitian dibatasi pada satu tingkat saja, yaitu kelas 5 Sekolah Dasar, dengan
pertimbangan bahwa dari sisi perkembangan kemampuan sosial, siswa sudah
mampu menjalin hubungan dengan teman sebaya karena pada usia tersebut ikatan
sebaya sangat kuat. Pada tingkatan tersebut siswa juga sudah mendapatkan
pelajaran IPS minimal dua tahun sehingga dipandang cukup memiliki dasar umum
pengetahuan, sikap, nilai dan keterampilan sosial.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas,
maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Seberapa besar pengaruh metode pembelajaran kooperatif tipe TGT
terhadap peningkatan aktivitas siswa dibandingkan dengan siswa yang
mengikuti pembelajaran konvensional dalam kegiatan pembelajaran mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial?
2. Seberapa besar pengaruh metode pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap
peningkatan hasil belajar dibandingkan dengan siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional dalam kegiatan pembelajaran mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial?
Metode pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode pembelajaran kooperatif tipe TGT. Dengan metode pembelajaran ini,
16 C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakan penelitian ini, antara lain sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis seberapa besar pengaruh metode pembelajaran
kooperatif tipe TGT terhadap peningkatan aktivitas siswa dibandingkan
dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional dalam kegiatan
pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
2. Untuk menganalisis seberapa besar pengaruh metode pembelajaran
kooperatif tipe TGT terhadap peningkatan hasil belajar dibandingkan dengan
siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional dalam kegiatan
pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, adalah sebagai
berikut:
1. Bagi akademik, penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian bagi
pengembangan pembelajaran kooperatif, khususnya pada bidang studi IPS di
Sekolah Dasar (SD).
2. Bagi peneliti, dapat menambah konsep baru yang dapat dijadikan sebagai
bahan rujukan penelitian lebih lanjut pengembangan penelitian bidang IPS.
Selain menambah pemahaman tentang metode pembelajaran kooperatif,
nantinya dapat diajarkan kepada mahasiswa PGSD/PGMI
3. Bagi guru, proses belajar mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tidak lagi
17
konvensional, tetapi bersifat pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan (PAKEM).
4. Bagi siswa, keaktifan siswa dalam mengerjakan tugas mandiri maupun
kelompok meningkat, keberanian siswa mengungkapkan ide, pendapat,
pertanyaan dan saran meningkat sehingga hasil belajar siswa dalam mata
pelajarn IPS meningkat.
E. Paradigma Penelitian
Permasalahan:
”Seberapa besar pengaruh peningkatan aktivitas dan hasil
belajar siswa antara siswa yang pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SD?”
1. Persaingan dlm pembelajaran konvensional; sikap
individual, penderitaan psikologis yang menetap, prilaku anti sosial dan menyimpang 2. Pelaksanaan di kelas
18 F. Asumsi dan Hipotesis
1. Asumsi
Pada pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metode kooperatif
tipe TGT (Teams Games Tournament) diharapkan keterlibatan setiap siswa dalam
proses meningkatkan aktivitas dapat dilihat dari: pertama, mayoritas siswa
beraktivitas dalam pembelajaran; kedua, aktivitas pembelajaran didominasi oleh
kegiatan siswa; ketiga, mayoritas siswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan
guru dalam LAS melalui metode pembelajaran kooperatif tipe TGT (dilakukan
melalui kelompok). Sedangkan, peningkatan hasil belajar siswa dapat dilihat dari
peningkatan nilai setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan metode
pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat dilihat dari hasil pretes dan postes materi
IPS yang diberikan siswa.
2. Hipotesis
1. Terdapat pengaruh yang signifikan peningkatan aktivitas siswa yang
belajarnya memperoleh pembelajaran kooperatif tipe TGT dibandingkan
dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara biasa/konvensional
dalam pembelajaran IPS.
2. Terdapat pengaruh peningkatan hasil belajar siswa yang signifikan antara
siswa yang belajarnya memperoleh pembelajaran kooperatif tipe TGT
dibandingkan dengan siswa yang belajarnya memperoleh pembelajaran
19 G. Definisi Operasional
1. “Metode kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournament)” adalah salah
satu metode pembelajaran kooperatif yang menggunakan turnamen
akademik dan menggunakan kuis-kuis dan sistem skor kemajuan individu,
dimana para siswa berlomba sebagai wakil kelompok mereka dengan
anggota kelompok lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti
mereka.
2. “Aktivitas belajar” adalah segala kegiatan yang dilakukan dalam proses
interaksi (guru dan siswa) dalam rangka mencapai tujuan belajar. Aktivitas
belajar siswa adalah keterlibatan siswa dalam bentuk mental-emosional
(mengerjakan las, membuat keputusan/menjawab pertanyaan, mengingat
materi yang diajarkan, berada dalam tugas kelompok, melakukan prilaku
yang tidak relevan dengan pembelajaran, berani tampil di depan kelas,
menghargai pendapat teman, menghargai hasil keputusan kelompok dan
menyenangi pembelajaran) dan fisik (aktivitas visual, lisan, mendengarkan
dan menulis) dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan
kegiatan pembelajaran dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut.
3. ”Hasil belajar siswa” dalam penelitian ini hanya dibatasi pada ranah kognitif
yang meliputi pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, dan sintesis
dengan penekanan pada aspek pengetahuan, pemahaman dan penerapan
yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa yang dijadikan
20 H. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat/kegunaan penelitian, kerangka berpikir, para
digma penelitian, asumsi dan hipotesis penelitian serta sistematikan penulisan.
Bab II Kajian Pustaka dan Kerangka Teoritis, menguraikan landasan
teori berupa uraian mengenai teori-teori yang mendukung penelitian ini sebagai
dasar pemikiran dan pemecahan masalah.
Bab III Metodologi Penelitian, bagian ini berisi tentang uraian
langkah-langkah yang dilakukan selama penelitian dan penulisan tesis.
Bab IV Hasil Penelitian, bagian ini berisi keseluruhan data dari hasil
penelitian. Menguraikan hasil pengolahan data berdasarkan metode yang telah
ditetapkan serta analisis data yang dilakukan. Kemudian hasil analisis ini dibahas
berkaitan dengan permasalahan penelitian.
BAB V Kesimpulan dan Saran, bagian ini berisi kesimpulan dari hasil
penelitian dan saran-saran penulis mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dan
63 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen
semu (quasi eksperimen) dimana sampel penelitian tidak dikelompokkan secara
acak, tetapi menerima keadaan sampel apa adanya (Ruseffendi, 2006: 2). Adapun
desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah "non-equivalent
groups pretest-posttest design".Dimana desain ini terdapat dua kelompok, yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Menurut Schumacher (2001:342), desain
ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Kelompok Pretes Perlakuan Postes
A O1 X O2
B O1 O2
Gambar 3.1: Desain Penelitian
A = Kelompok Eksperimen yang mendapat perlakuan B = Kelompok Kontrol
64 B. Alur Penelitian
Adapun langkah-langkah dalam mewujudkan desain penelitian tersebut
ditunjukkan dalam alur penelitian pada gambar dibawah ini:
Gambar 3.2. Diagram Alur Proses Penelitian
Identifikasi Masalah
Pengaruh Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa
Penentuan Sampel
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Pretes
Postes
Pembelajaran
Kooperatif Tipe TGT
Pembelajaran Konvensional
Angket Aktivitas siswa
Pengolahan dan analisis data
Pengolahan dan analisis data
Pengolahan dan analisis data
Kesimpulan
Observasi Aktivitas siswa Pengolahan dan
65 C. Sampel Penelitian
Arikunto, (1998: 117) mengatakan “Sampel adalah bagian dari populasi
(sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Sampel penelitian adalah sebagian
dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh
populasi”. Sugiyono (1997: 57) memberikan pengertian: “Sampel adalah sebagian
dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi”. Dari dua pendapat
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sampel adalah bagian dari populasi
yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang diteliti (Akdon, 2008: 98).
Teknik penarikan sampel atau teknik sampling adalah suatu cara untuk
mengambil sampel yang representatif dari populasi. Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan teknik purpose sampling (sampling
pertimbangan), yaitu teknik sampling yang digunakan jika peneliti mempunyai
pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam pengambilan sampelnya atau
penentuan sampel untuk tujuan tertentu (Akdon, 2008: 105).
Sampel dalam penelitian adalah siswa kelas V (Arofah) SD
Muhammadiyah Kecamatan Pringsewu Tanggamus sebanyak 32 siswa sebagai
kelompok eksperiman, sedangkan sebagai kelompok kontrol adalah siswa kelas V
(Marwah) SD Muhammadiyah Kecamatan Pringsewu Tanggamus sebanyak 32
siswa.
Faktor yang mendasari pemilihan sampel penelitian, antara lain:
1. SD Muhammadiyah Pringsewu dan SDN I Pringsewu merupakan salah satu
66
2. Letak sekolah dekat dengan rumah peneliti, sehingga mudah dijangkau dan
memudahkan dalam komunikasi.
3. Kesediaan guru kelas V sebagai mitra peneliti.
D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Muhammadiyah Pringsewu
Kabupaten Tanggamus Lampung yang berlokasi di Jl. Jenderal Sudirman No. 27
Pringsewu Tanggamus 35373, Telp. (0729) 21156 dengan akreditasi A.
E. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melakukan observasi dan wawancara dengan guru yang mengajar IPS untuk
memperoleh informasi tentang penggunaan model pembelajaran.
Peneliti mengadakan observasi pada tanggal 5 (kelas eksperimen) dan 6
(kelas kontrol) Pebruari 2009 dengan memberikan pokok bahasan “Perjuangan
Para Tokoh Daerah dalam Melawan Penjajah” .
Sebelum mulai memberikan materi baru terlebih dahulu memberikan
apersepsi untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa. Dilanjutkan dengan
memberikan materi “Perjuangan Para Tokoh Daerah dalam Melawan Penjajah”.
Dalam penyampaiannya guru menggunakan metode ceramah, dan tanya jawab
lalu diakhiri dengan memberikan tes awal (pretes).
2. Bersama guru menyepakati penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe
TGT dalam pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru bersangkutan,
peneliti bertugas sebagai observer dan partner guru, pembelajaran
67
Hasil observasi awal pembelajaran IPS sebelum tindakan, didiskusikan
dengan guru kelas. Peneliti, memberikan saran, lalu menjelaskan suatu metode
yang dianggap dapat membangkitkan aktivitas siswa, yaitu metode pembelajaran
kooperatif . Setelah dipahami dan tercapai kesepakatan untuk menggunakan
metode pembelajaran kooperatif pada pembelajaran IPS berikutnya untuk kelas
eksperimen dan menggunakan satu kelas kontrol dengan metode konvensional.
3. Memperkenalkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan
memberikan training pada guru yang bersangkutan.
Diskusi dilanjutkan dengan pendalaman materi metode pembelajaran
kooperatif yang akan diterapkan dalam penelitian, yaitu metode pembelajaran
kooperatif tipe TGT dilanjutkan dengan penyusunan rencana pembelajaran,
Lembar Aktivitas Siswa (LAS), soal tes hasil belajar, angket sikap siswa, pedoman
wawancara dan observasi. Selanjutnya soal tes diujicobakan pada siswa kelas V
sekolah dasar tahun pelajaran 2007/2008 yang telah mempelajari pokok bahasan
“Perjuangan Para Tokoh Daerah dalam Melawan Penjajah”. Ujicoba yang
diadakan dengan tujuan untuk menganalisis tingkat kesukaran, daya pembeda,
validitas dan reliabilitas soal tes.
4. Menerapkan pembelajaran kooperatif tipe TGT pada kelas eksperimen dan
pembelajaran konvensional pada kelas kontrol.
Setelah susun rencana pembelajaran , Lembar Aktivitas Siswa (LAS) untuk
kelas eksperimen dan kelas kontrol dilaksanakan kegiatan kegiatan pembelajaran pada
kelas eksperimen pembelajaran menggunakan metode kooperatif tipe TGT, sedangkan
68
5. Melakukan observasi dan analisis data observasi aktivitas siswa
Kegiatan observasi dan analisis aktivitas siswa dilakukan setiap kali
pertemuan, dalam penelitian ini dilaksanakan selama tiga minggu/pertemuan (9x35
menit).
6. Memberikan postes pada kelas eksperimen dan kelas kontrol
7. Melakukan analisis data kuantitatif dengan menggunakan uji-t terhadap rerata
skor pretes dan rerata skor postes
8. Memberikan angket dan analisis data aktivitas siswa
9. Mendokumentasikan kegiatan pembelajaran
F. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Angket
Angket adalah pertanyaan yang diberikan kepada orang lain bersedia
memberikan respons (responden) sesuai dengan permintaan pengguna. Tujuan
penyebaran angket adalah mencari informasi yang lengkap mengenai suatu
masalah dan responden tanpa khawatir bila responden memberikan jawaban yang
tidak sesuai dengan kenyataan dalam pengisian daftar pertanyaan. Di samping itu,
responden mengetahui informasi tertentu yang diminta (Akdon, 2008: 131).
Angket digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur aktivitas siswa
selama dalam pembelajaran dengan menggunakan metode kooperatif tipe TGT.
Angket untuk mengukur aktivitas siswa dengan menggunakan Skala Guttman,
69
konsisten. Skala Guttmen yang digunakan dalam bentuk checlist. Jawaban
responden berupa skor tertinggi bernilai (1) dan skor terendah bernilai (0).
Tabel 3.1. Kisi-Kisi Angket Aktivitas Siswa
Aspek Sub Aspek Indikator No. Item
Aktivitas Siswa
Aktivitas visual
Memperhatikan penjelasan guru 1 Memperhatikan penjelasan teman 2 Mengamati kelompok lain bekerja 3 Membacakan hasil pekerjaan 4
Aktivitas lisan
Berdiskusi dengan sesama siswa 5 Berdiskusi antara siswa dengan guru 6
Bertanya kepada guru 7
Bertanya kepada teman 8
Memberi saran/masukan 9
Memberikan interupsi/sanggahan 10
Aktivitas mendengarkan
Mendengarkan penjelasan guru 11 Mendengarkan penjelasan teman 12 Mendengarkan percakapan atau diskusi
kelompok 13
Aktivitas menulis
Menulis hal-hal yang relevan dengan
pembelajaran 14
Menulis laporan hasil diskusi 15
Mengerjakan tes 16
Aktivitas mental
Mengerjakan LAS 17
Membuat keputusan/menjawab pertanyaan 18 Mengingat materi yang diajarkan 19 Berada dalam tugas kelompok 20
Aktivitas Emosional
Melakukan prilaku yang tidak relevan dengan
pembelajaran 21
70
Selain pengambilan data aktivitas siswa melalui angket juga dilakukan
observasi terhadap aktivitas siswa, tujuannya agar data yang diperoleh melalui
angket tidak bias. Observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung kepada
obyek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan. Apabila obyek
penelitian bersifat perilaku dan tindakan manusia, fenomena alam
(kejadian-kejadian yang ada di alam sekitar), proses kerja dan penggunaan responden kecil
(Akdon, 2008: 136). Selanjutnya Sutrisno Hadi (1986) dalam Sugiono, 2008: 203)
mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu
proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara
yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.
Salah satu kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
mengguna observasi terhadap aktivitas siswa pada kelas eksperimen yang
menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dan pada kelas kontrol
yang menggunakan metode konvensional. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
bagaimana perbedaan aktivitas siswa yang menggunakan metode pembelajaran
kooperatif tipe TGT dengan aktivitas siswa menggunakan metode konvensional.
2. Tes Hasil Belajar
Tes ini digunakan untuk mengukur hasil belajar yang berupa peningkatan
pemahaman kognitif siswa, yang dilakukan dengan pretes dan postes sebelum dan
sesudah metode pembelajaran kooperatif Tipe TGT diterapkan dengan indikator
kemampuan pengetahuan, pemahaman dan penerapan siswa dalam belajar Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) di Sekolah Dasar (SD). Tes dilakukan melalui bentuk
soal pilihan ganda (multiple choice) 4 opsi (A, B, C dan D) berjumlah 25 butir
71 Tabel 3.2. Kisi-Kisi Soal Pilihan Ganda
72 G. Uji Instrumen Soal Tes Hasil Belajar
Untuk memperoleh data tentang hasil belajar siswa diperoleh melalui tes.
Soal tes harus memenuhi syarat valid (sahih), memiliki taraf kemudahan,
memiliki daya pembeda dan reliabel. Adapun rumus-rumus yang digunakan untuk
keperluan pengujian kesahihan tes di atas adalah :
1. Tingkat Kemudahan
Untuk melihat tingkat kemudahan butir soal dengan menggunakan
persamaan:
s J
B
P= (Arikunto, 2003)
Keterangan: P = Indeks kemudahan
B = Banyak siswa yang menjawab soal itu benar
Js = Jumlah seluruh siswa
Kriteria: P = 0,00 : Soal sangat sukar
0,00 < P ≤ 0,30 : Soal sukar
0,30 < P ≤ 0,70 : Soal sedang
0,70 < P ≤ 1,00 : Soal mudah
Tabel 3.3. Rekap Hasil Uji Tingkat Kemudahan Soal Pilihan Ganda
No Keterangan Rentang Jumlah %
1 Sangat sukar P= 0,00
2 Sukar 0,00 < P ≤ 0,30 1 4
3 Sedang 0,30 < P ≤ 0,70 8 32
4 Mudah 0,70 < P ≤ 1,00 16 64
73
Berdasarkan hasil uji tingkat kemudahan, diperoleh data soal pilihan
ganda yang menunjukkan tingkat kemudahan kategori sukar 1 soal (4%), sedang 8
soal (32%) dan mudah (16%).
2. Daya Pembeda Tes
Perhitungan daya pembeda setiap butir soal dapat digunakan rumus :
A B
B B A
A P P
J B J B
D= − = − (Arikunto, 2003)
Keterangan:
D = Daya pembeda
JA = Jumlah siswa kelompok atas
JB = Jumlah siswa kelompok bawah
BA = Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab benar
BB = Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab benar
PA = Proporsi jumlah siswa kelompok atas yang menjawab benar
PB = Proporsi jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab benar.
Kriteria:
DP ≤ 0,10 : sangat jelek
0,10 < DP ≤ 0,20 : jelek
0,20 < DP ≤ 0.40 : cukup
0,40 < DP ≤ 0,70 : baik
74
Tabel 3.4. Rekap Hasil Uji Daya Pembeda Soal Pilihan Ganda
No Keterangan Rentang Jumlah %
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keabsahan dan
kevalidan suatu alat ukur atau instrumen penelitian. Validitas menunjukkan sejauh
mana suatu alat ukur itu mampu mengukur apa yang akan diukur pada penelitian.
(Singarimbun, 1995:). Alat ukur yang absah akan mempunyai validitas yang
tinggi, begitu pula sebaliknya. Untuk menguji validitas alat ukur atau instrumen
penelitian, terlebih dahulu dicari nilai (harga) korelasi dengan menggunakan
rumus korelasi Product Moment Pearson (PPM), sebagai berikut:
(
) ( )( )
Y : Jumlah skor total seluruh system
75
Kemudian validatas itu ditafsirkan berdasarkan kriteria sebagai berikut,
(Arikunto, 2003) :
r < 0,20 = sangat rendah
0,20 ≤ r < 0,40 = rendah
0,40 ≤ r < 0,60 = sedang
0,60 ≤ r < 0,80 = tinggi
r ≥ 0,80 = sangat tinggi
Kemudian nilai rs diuji dengan uji t, untuk memberikan taraf
signifikansinya, dengan rumus:
hitung
t =
2
1 2
r n r
− −
Setelah nilai korelasi (thitung) didapat, kemudian nilai thitung dibandingkan
dengan nilai ttabel. Kaidah keputusan adalah:
• Jika thitung > ttabel, maka alat ukur atau instrumen penelitian yang digunakan
adalah valid
• Jika thitung < ttabel, maka alat ukur atau instrumen penelitian yang digunakan
adalah tidak valid.
Tabel 3.5. Rekap Hasil Uji Validitas Soal Pilihan Ganda
No Keterangan Rentang Jumlah %
1 Sangat rendah r < 0,20 -
2 Rendah 0,20 ≤ r < 0,40 -
3 Sedang 0,40 ≤ r < 0,60 5 20
4 Tinggi 0,60 ≤ r < 0,80 18 72
5. Sangat tinggi r ≥ 0,80 2 8
76
Berdasarkan hasil uji validitas diperoleh data semua soal pilihan ganda
dinyatakan valid. Tingkat validitas data menunjukkan tingkat validitas rendah dan
sangat rendah tidak ada, tingkat sedang 5 soal (20%), tingkat tinggi 18 soal (72%)
dan tingkat sangat tinggi 2 soal (8%).
4. Reliabilitas
Suatu instrument dikatakan reliabilel, jika dalam dua kali atau lebih
pengevaluasian dengan dua atau lebih instrumen yang ekuivalen hasilnya akan
serupa pada masing-masing pengetesan (Ruseffendi, 1996: 142). Uji reliabilitas
diperlukan untuk melengkapi syarat validnya sebagai alat evaluasi. Untuk
mengetahui apakah sebuah tes memiliki realibilitas tinggi, sedang atau rendah
dilihat dari nilai koefisien realibilitasnya.
Suatu alat ukur (instrumen) memiliki reliabilitas yang baik bila alat
ukur itu memiliki konsistensi yang handal walaupun dikerjakan oleh siapun
(dalam level yang sama), di manapun dan kapanpun berada.
Hasil perhitungan koefisien reliabilitas, kemudian ditafsirkan dan
diinterpretasikan mengikuti interpretasi menurut J.P. Guilford (Suherman dan
Sukjaya, 1990:177), yaitu:
r ≤ 0,20 sangat rendah (SR)
0,20 < r ≤ 0,40 rendah (RD)
0,40 < r ≤ 0,70 sedang (SD)
0,70 < r ≤ 0,90 tinggi (TG)
77
Jika nilai korelasi telah diperoleh, maka untuk menghitung reliabilitas
soal dapat menggunakan rumus Spearman Brown, yaitu:
xy xy r r r
+ =
1 2
11 . Nilai r11
kemudian dibandingkan dengan nilai rtabel dengan taraf signifikansi 5% dan dk = 30 – 2. Jika r11 > rtabel berarti reliabel dan jika r11 < rtabel berarti tidak reliabel
(Akdon dan Hadi, 2005: 153).
Berdasarkan hasil uji coba instrumen soal pilihan ganda untuk mengukur reliabilitas diperoleh data seperti pada tabel 3.5. berikut ini:
Tabel 3.6. Rekap Hasil Uji Reliabilitas Soal Pilihan Ganda
No Keterangan Rentang Jumlah %
1 Sangat rendah r < 0,20 - 2 Rendah 0,20 ≤ r < 0,40 -
3 Sedang 0,40 ≤ r < 0,60 5 20 4 Tinggi 0,60 ≤ r < 0,80 18 72
5. Sangat tinggi r ≥ 0,80 2 8
Jumlah 25 100
Berdasarkan hasil uji reliabilitas diperoleh data semua soal pilihan ganda dinyatakan reliabel. Tingkat validitas data menunjukkan tingkat validitas rendah dan sangat rendah tidak ada, tingkat sedang 5 soal (20%), tingkat tinggi 18 soal (72%) dan tingkat sangat tinggi 2 soal (8%).
H. Teknik Pengolahan Data
78
dilakukan dengan menggunakan lembar pengamatan yang berisi ketrampilan
kooperatif yang diambil dari Fladers dalam Hopkins (1993). Aktivitas yang
diamati saat pembelajaran menggunakan model cooperative class experiment tipe
TGT ini adalah pada saat siswa diskusi dalam kelompok masing-masing.
Nilai aktivitas dikonversikan dengan menentukan kriteria sebagai dasar
untuk melakukan konversi nilai berdasarkan tabel 3.6 berikut:
Tabel 3.7. Kriteria Nilai Aktivitas Siswa
No. Keterangan Persentase aktivitas (%) Nilai Konversi
1 Baik 2.45 – 3.0
(81.7% - 100%) 3
2 Cukup 1.45 – 2.44
(48.3% - 81.3%) 2
3 Kurang
0.0 – 1.44
(0% - 48%) 1
( Suherman; 2001).
Pengolahan data hasil belajar IPS siswa secara garis besar dilakukan
dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 12. Data primer dan hasil tes
siswa sebelum dan sesudah pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran
Kooperatif Tipe TGT, dianalisa dengan cara membandingkan skor pretes dan postes.
Pengolahan dan analisis data dengan menggunakan uji statistik dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menguji Normalitas data hasil penelitian menggunakan program SPSS versi
79
Kriteria Pengujian:
• Jika nilai Sig. atau signifikansi atau nilai probabilitas < 0,05, maka distribusi
data tidak normal.
• Jika nilai Sig. atau signifikansi atau nilai probabilitas > 0,05, maka distribusi
data normal
2. Menguji homogenitas tes hasil belajar IPS
Menguji homogenitas tes hasil belajar IPS digunakan uji – F, dengan
menggunakan program SPSS versi 12.
Kriteria Pengujian:
• Jika Fhitung < Ftabel, maka keputusannya adalah homogen.
• Jika Fhitung > Ftabel, maka keputusannya adalah tidak homogen.
Rumus df atau db = n1 + n2 -2
3. Uji t
Tujuan Uji t dua vareabel bebas adalah untuk membandingkan
(membedakan) apakah kedua vareabel, yaitu nilai hasil pretes kelas eksperimen
dan nilai hasil pretes kelas kontrol. Gunanya adalah untuk menguji kemampuan
generalisasi (signifikasi hasil penelitian yang berupa perbandingan dua rata-rata
sampel. (Akdon, 2007: 145).
Uji t dilaksanakan untuk mengetahui perbedaan rata-rata hasil belajar
IPS siswa yang dilihat dalam data nilai pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol.
80
dan kelas kontrol dilakukan dengan menggunakan uji-t dengan hipotesis
pengujian sebagai berikut:
H0 : Tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pretes kelas
eksperimen dan kelas kontrol.
H1 : Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pretes kelas
eksperimen dan kelas kontrol.
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut:
Jika harga thitung≥ ttabel, berarti hipotesis H0 diterima, dan
Jika harga thitung≤ ttabel, berarti hipotesis H0 ditolak
Kedua kelompok (eksperimen dan kontrol) berdistribusi normal dan
homogen, maka uji statistik yang digunakan adalah uji-t dengan menggunakan
program SPSS versi 12.
Apabila data yang diperoleh berdistribusi normal tetapi tidak homogen,
maka uji statistik yang digunakan adalah uji- 1
t , dan dirumuskan sebagai berikut,
Sudjana (1996: 241),
menggunakan uji nonparametrik yaitu uji Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney
81
Peningkatan yang terjadi sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung
dengan rumus gain faktor (N-Gain) dengan rumus.
pre maks
pre post
S S
S S g
− −
= (Meltzer, 2002)
Ketarangan:
Spost : Skor postes
Spre : Skor pretes
Smaks : Skor maks ideal
Kriteria tingkatan Gain adalah:
Tabel 3.8. Kategori Tingkat Gain
Batasan Kategori
g > 0.7 Tinggi
0.3 ≤ g ≤ 0.7 Sedang
g < 0.3 Rendah
Nilai hasil belajar siswa dikatagorikan dengan berpatokan pada kriteria
berikut; standar sepuluh (0-10) dan standar empat (1-4) atau dengan huruf
82
Tabel. 3.9. Kriteria Nilai Konversi Hasil Belajar
Skor mentah Nilai Konversi
Standar huruf Standar 10 Standar 4
23-25 A 9 4
20-22 B 8 3
18-20 C 7 2
16-17 D 6 1
Kurang dari 15 (gagal) (gagal) (gagal)
Nilai 10 bila mencapai 25
(Sudjana, 2008 : 119)
Standar nilai yang digunakan dalam penelitian ini adalah standar sepuluh
(0-10). Nilai yang diperoleh kemudian diinterpretasikan sesuai sebagai berikut:
Tabel. 3.10. Kriteria Interpretasi Nilai Hasil Belajar Didalam Rapor
No Nilai Kriteria
1. 10 Istimewa
2. 9 Baik sekali
3. 8 Baik
4. 7 Lebih dari cukup
5. 6 Cukup
6. 5 Hampir cukup
7. 4 Kurang
8. 3 Kurang sekali
9. 2 Buruk
124 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan metode kooperatif
learning tipe TGT dalam penelitian ini menggambarkan terciptanya suasana
pembelajaran aktive learning (siswa aktif), belajar bersama dan saling
membantu untuk mendapatkan hasil yang optimal. Hal ini membuktikan
bahwa dalam kelas cooperative learning tipe TGT masing-masing siswa
memiliki tanggung jawab dan keharusan untuk membantu dan
menghasilkan hal terbaik bagi seluruh anggota kelompoknya. Adanya
tanggung jawab pribadi terhadap sesama teman dalam satu kelompok untuk
belajar, membantu dan mengerjakan tugas bersama dimana hal ini
mengindikasikan adanya proses pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Dengan demikian, untuk selanjutnya metode pembelajaran
kooperatif tipe TGT dapat terus diterapkan dalam pembelajaran IPS di
SD/MI karena terbukti memberikan peningkatan aktivitas siswa
dibandingkan dengan kegiatan pembelajaran yang konvensional.
2. Pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe
TGT terbukti dapat lebih meningkatkan hasil belajar IPS siswa,
dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional. Kelas eksperiman
rata-125
rata postes 19,63 (7,85) kategori cukup. Sedangkan kelas dengan
pembelajaran konvensional memperoleh skor rata-rata postes 16,56 (6,62)
kategori rendah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan berdasarkan hasil analisis siswa
yang menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT hasil
belajarnya meningkat bila dibandingkan dengan siswa yang memperoleh
pembelajaran biasa/konvensional. Peningkatan hasil belajar kelas
eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol, ini dimungkinkan
karena dalam pembelajaran siswa dapat saling berinteraksi dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya. Interaksi ini berupa curah pendapat
(brainstorming) dalam rangka melengkapi masing-masing anggota. Untuk
selanjutnya metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat terus
diterapkan dalam pembelajaran IPS di SD/MI karena terbukti memberikan
peningkatan hasil belajar siswa dibandingkan dengan kegiatan pembelajaran
yang konvensional.
B. Rekomendasi
Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli
sebelumnya dan hasil penelitian membuktikan bahwa metode pembelajaran
kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa, penulis
memberikan rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut:
1. Metode pembelajaran kooperatif tipe TGT ini terbukti dapat meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar siswa, dibandingkan dengan pembelajaran secara
126
juga harus diterapkan oleh guru dalam pemebelajaran IPS SD/MI, dan tidak
menutup kemungkinan metode ini dapat diterapkan pada mata pelajaran lain.
2. Bagi kepala sekolah hendaknya memberikan sosialisasi kepada guru akan
pentingnya penerapan pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan
(PAKEM) yang melibatkan siswa secara aktif selama proses pembelajaran
berlangsung, sehingga pembelajaran yang dilakukan akan lebih bermakna
(meaningfull) bagi siswa.
3. Siswa mempunyai sikap yang positif terhadap diterapkannya metode
pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam pembelajaran IPS, dan karena dapat
lebih meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dengan
aktivitas yang ditunjukkan serta membuat anak lebih bersemangat dalam
belajar, sehingga siswa belajar lebih aktif, kreatif, bertanggungjawab, serta
terciptanya suasana demokrasi dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu
pembelajaran kooperatif tipe TGT ini dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif bagi guru untuk melakukan proses belajar-mengajar di kelas.
Dengan harapan hasil belajar IPS siswa dapat lebih baik.
4. Penelitian tentang metode pembelajaran kooperatif tipe TGT ini dapat
digunakan sebagai bahan rujukan oleh peneliti di bidang pendidikan yang
ingin menggali lebih dalam tentang metode pembelajaran kooperatif dan
sebaiknya dilakukan terhadap sampel yang lebih besar untuk menjajagi
peningkatan aspek keterampilan atau kecakapan lainnya, tidak hanya pada
aktivitas dan hasil belajar siswa saja, sehingga dapat diperoleh hasil penelitian
lebih lengkap dan dapat menggambarkan manfaat pembelajaran kooperatif
127
DAFTAR PUSTAKA
Akdon, 2007. Modul: Aplikasi Statistika dalam Pendidikan. SPs UPI. Bandung. Arikunto, S. (2003). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta.
Bumi Aksara.
Azwar. 1999. Teori Kebutuhan dalam Bukunya Manajemen. edisi II.
Bloom, Benjamin S., 1979.Taxanomy of Educational Objectives, London: Longman.
Bonwell, C.C. (1995). Active Learning: Creating excitement in the classroom. Center for Teaching and Learning, St. Louis College of Pharmacy.
Chance, Paul, 1979. Learning and Behaviour, California: Wadsworth Publishing Company, Inc.,
Colemen, 1961. The Adolescent society. New York: Free Press.
Dewi, T.P.S. 2003. “Penggunaan Metode Pembelajaran Kooperatif Students
Teams Achievement Division pada Konsep Sistem Saraf Kelas II SLTP N 1 Wonopringgo Pekalongan Tahun Ajaran 2002/ 2003”. Skripsi.Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Fatimah, Siti. 2004. Keefektifan MetodeTGT dalam Proses PembelajaranMatematika Siswa Kelas II Semester Ganjil pada Pokok Bahasan TeoremaPythagoras di SLTP 24 Semarang. Semarang: Skripsi
Unnes.
Gagne, Robert J and Leslie J. Briggs, 1992. Principles of Instructional Design. 4th Edition, New York : Holt Rinehart and Winston,
Good, Thomas L. & Jere E. Brophy, 1990. Educational Psychology, New York: Longman,
Greenwood, dkk., 1984. Teacher versus peer-mediated instruction: An
eco-behavioral analysis of achiavement outcomes. Journal of Applied
Behavior Analysis.
Hamalik. 2001. Proses Belajar Mengajar. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Hamalik. 2008. Proses Belajar Mengajar. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Hasan, 2006. Ketentuan-Ketentuan Untuk Karangan Ilmiah. Makalah.
Hertz-Lazarowitz, dkk., 1993. The Bilingual Cooperative Integrate Reading and
Composition (BCIRC) projec in the Ysleta Independent School District: Standarrized test outcomes. Baltimore, MD: John Hopkins University
128
Hopkins, 1993. Agrarian Reform and Social Tranformation. Baltimore and London.
http://educare.e_fkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=10 &itemid=7
http://one.indoskripsi.com/node/6312
http://re-searchengines.com/0805arief7.html
Ibrahim, dkk. (2000). Pembelajaran Kooperatif. Pusat Sains dan Matematika Sekolah Program Pascasarjana Unesa. Surabaya: University Press.
Isjoni, 2007. Cooperative Learning (Efektifitas Pembelajaran Kelompok). Alfabeta : Bandung.
LAPIS PGMI, 2009. Materi Workshop MBM 1A. Surabaya.
Lie, A. (2002). Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di
Ruang-ruang Kelas. Grasindo
Lie, Anita, 2002. Cooperative Learning, Mempraktekkan Cooperative Learning di
Ruang-ruang Kelas.Jakarta: Gramedia.
Mc.Millan & Schumacher. (2001). Research Education: A Conceptual
Introduction (S^ed). United States: Addison Wesley Longman, Inc.
McKeachie W., 1986. Teaching Tips: A Guidebook for the Beginning College
Teacher. Boston, D.C. Health,
Megawangi, Ratna. 2005. Pendidikan Holistik Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Meltzer, David E. (2002). "The Relationship between Mathematics Preparation and
Conceptual Learning Gain in Physics: 'hidden variable' in Diagnostic Pretest Scores'. American Journal ojPhysics, 70, (12), 1259-1267
Muijs, Daniel & David Reinold. (2005) Effective teaching evidence and practice. London: SAGE Publications Ltd.
Nana Sudjana. 2002. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Bab IV Pasal 19 tentang Standar Proses
Pendidikan.
Pollio, H.R., , 1984. “What Students Think About and Do in College Lecture
Classes” dalam Teaching-Learning Issues No. 53. Knoxville, Learning
129
Reigeluth, Charles M., 1983. Instructional Design Theories and Models, An
Overview of Their Current Status, New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates Publishers, Inc.,
Ruseffendi, H.E.T. (1996). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: CV Andira.
Russefendi, E.T. 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA (Edisi Revisi). Bandung: Tarsito.
Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Sapriya. 2002. Studi Sosial Konsep dan Model Pembelajaran. Bandung : Buana Nusantara.
Sarwono, 2006. Laskar Pelangi. Rajawali Pers.
Sharan, dkk. 1984. Cooperative Learning in the classroom: Research in
desegregated schools. Hilsdale, NJ: Erlbaum.
Silberman, Melvin. 1996. Active Learning,101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung Nusa Media.
Slavin, R. E.(1995). Cooperative Learning : Theory, Research, and practice,
(seconded.). Boston: Allyn and Bacon.
Slavin, R. E.(2008). Cooperative Learning : Teori, Riset, dan Praktik
(terjemahan). Nusa Media. Bandung.
Slavin, R.E. (1978). Student teams and achievement divisions. Journal of Research and Development in Educational.
Slavin, R.E. (1983). Cooperative Learning. Maryland : John Hopkins University. Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice.
Second Edition. Massachussets: Allyn & Bacon.
Soedijarto, 1993. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu, Jakarta: Balai Pustaka,
Soemadi (1984). Psikologi Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali.
Soemantri, N. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Kerjasama UPI dengan PT Rosda Karya.