1.1. Latar Belakang
Manusia selama hidupnya selalu melakukan kegiatan dalam memenuhi
kebutuhannya, baik berupa kebutuhan akan makanan, pakaian, tempat
perlindungan, hiburan dan kebutuhan hidup lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut setiap individu dalam aktivitas keseharian melakukan pembelanjaan atau
konsumsi terhadap suatu barang. Pengeluaran untuk konsumsi pada setiap
individu mulai dari dilahirkan hingga akhir hidupnya, artinya setiap individu
melakukan kegiatan konsumsi sepanjang hidupnya. Oleh karena itu kegiatan
konsumsi mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia.
Kegiatan pembelanjaan atau konsumsi suatu barang akan menimbulkan
permintaan terhadap barang tersebut. Permintaan adalah keinginan konsumen
membeli suatu barang pada berbagai tingkat harga selama periode waktu tertentu
(Rahardja dan Manurung, 2008). Jadi tingkat permintaan dapat mencerminkan
tingkat konsumsi suatu barang yang diinginkan oleh konsumen. Sedangkan
faktor-faktor yang memengaruhi permintaan itu sendiri adalah harga suatu barang,
harga barang lain yang terkait, tingkat pendapatan, selera, jumlah penduduk,
perkiraan harga yang akan datang, distribusi pendapatan dan usaha produsen
dalam meningkatkan penjualan seperti iklan dan sebagainya.
Konsumsi akan terjadi jika permintaan akan suatu barang dapat dipenuhi
mengkonsumsi suatu barang. Konsumsi tidak akan terjadi jika permintaan akan
suatu barang tidak dapat terpenuhi. Jadi kegiatan konsumsi suatu barang erat
kaitannya dengan kegiatan produksi barang tersebut. Kegiatan produksi muncul
disebabkan karena adanya kegiatan konsumsi. Sebaliknya kegiatan konsumsi ada
karena barang tersedia dan ada yang memproduksinya. Prilaku konsumsi secara
mikro dipengaruhi oleh perilaku individu dalam mengambil keputusan dalam
konsumsi. Sedangkan secara makro, keputusan konsumsi rumah tangga
memengaruhi keseluruhan perilaku perekonomian baik dalam jangka panjang
maupun dalam jangka pendek (Mankiw, 2007).
Banyak faktor yang memengaruhi besaran pengeluaran konsumsi rumah
tangga. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi faktor ekonomi,
faktor demografi, dan faktor nonekonomi. Faktor-faktor ekonomi yang
memengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga adalah pendapatan rumah tangga,
kekayaan rumah tangga, jumlah barang konsumsi tahan lama dalam masyarakat,
tingkat bunga, perkiraan tentang masa depan, dan kebijakan pemerintah dalam
mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Faktor-faktor demografi yang
memengaruhi tingkat konsumsi adalah jumlah penduduk dan komposisi
penduduk. Sedangkan faktor-faktor nonekonomi yang paling berpengaruh
terhadap tingkat konsumsi adalah faktor sosial budaya masyarakat seperti pola
kebiasaan makan, perubahan etika dan tata nilai untuk meniru kelompok
masyarakat lain (Rahardja dan Manurung, 2008).
Untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi, rumah tangga harus
meskipun belum mempunyai pendapatan, yang disebut konsumsi autonomus.
Tanpa adanya pendapatan perilaku konsumsi dilakukan dengan cara berhutang
dimana hutang tersebut akan dibayar secara bertahap seiring diperolehnya
pendapatan. Sesuai dengan teori, setiap kenaikan pendapatan rumah tangga juga
akan diiringi oleh peningkatan konsumsi rumah tangga. Meningkatnya pendapatan
juga memberi kemungkinan bagi masyarakat untuk menyisihkan pendapatannya
sebagai cadangan pendapatan di masa yang akan datang dalam bentuk simpanan
dan kekayaan. Simpanan dan kekayaan untuk masa tua tersebut dalam bentuk
tabungan atau deposito (uang kuasi). Hubungan antara konsumsi dan jumlah
tabungan atau kecenderungan untuk menabung adalah saling berlawanan. Jika
diasumsikan tingkat pendapatan adalah tetap, maka proporsi pengeluaran
konsumsi yang semakin meningkat akan cenderung menurunkan jumlah tabungan
karena pendapatan yang ada akan digunakan untuk keperluan konsumsi.
Sebaliknya jika terjadi penurunan pada pengeluaran konsumsi maka terdapat
kecenderungan kenaikan jumlah tabungan.
Tabungan merupakan bentuk lain dari pendapatan yang tidak digunakan
untuk pembelanjaan atau konsumsi. Kecenderungan seseorang untuk menabung
sangat dipengaruhi oleh suku bunga. Bunga tabungan yang diperoleh dapat
dipandang sebagai pendapatan dari kegiatan menabung. Tingkat bunga yang
tinggi akan memengaruhi kecenderungan orang untuk menabung karena
mengharapkan pendapatan dari bunga yang lebih banyak. Tingkat bunga yang
rendah akan mengurangi minat seseorang untuk menabung, kerena mereka lebih
pendapatan dari bunga yang rendah. Sehingga tingkat bunga mempunyai
pengaruh yang cenderung berlawanan dengan aktivitas menabung berkaitan
dengan kompensasi dari tingkat bunga yang akan diperoleh.
Perubahan tingkat bunga mempunyai dua efek yaitu efek substitusi
(substitution effect) dan efek pendapatan (income effect). Efek substitusi bagi
kenaikan tingkat bunga adalah rumah tangga cenderung menurunkan pengeluaran
konsumsi dan menambah tabungan, sedangkan efek pendapatan bagi kenaikan
tingkat bunga adalah meningkatnya pengeluaran konsumsi dan mengurangi
tabungan. Efek totalnya tergantung dari mana efek yang lebih kuat (dominan).
Jadi secara teoritis tidaklah mudah membuktikan kenaikan tingkat bunga
menyebabkan seseorang melakukan konsumsi lebih banyak atau lebih sedikit.
Perubahan tingkat bunga juga dapat memengaruhi inflasi melalui jumlah
uang beredar. Inflasi adalah kenaikan harga barang secara umum dan terjadi
secara terus menerus. Efek Fisher dapat menjelaskan bagaimana hubungan
satu-untuk-satu antara tingkat inflasi dan tingkat bunga dalam teori kuantitas dan
persamaaan Fisher (Fisher equation). Adanya inflasi menyebabkan harga
barang-barang mengalami kenaikan. Tanpa diikuti kenaikan pendapatan daya beli
masyarakat akan turun sehingga masyarakat akan menyesuaikan pendapatan yang
diperolehnya dengan mengurangi pengeluaran konsumsi. Hubungan antara inflasi
dan konsumsi masyarakat diduga mempunyai hubungan yang negatif.
Tingkat konsumsi rumah tangga mempunyai peran yang penting dalam
analisis ekonomi secara makro. Banyak alasan yang mendasari pentingnya
rumah tangga mempunyai proporsi terbesar dalam total pengeluaran agregat yang
membentuk pendapatan nasional. Konsumsi adalah dua pertiga dari PDB,
sehingga fluktuasi dalam konsumsi adalah elemen penting dari booming dan
resesi ekonomi (Mankiw, 2007). Alasan kedua, besaran konsumsi rumah tangga
berkaitan erat dengan faktor-faktor lain yang memengaruhinya, sehingga dapat
dihasilkan teori dan model ekonomi dari konsumsi yang terbukti bermanfaat
dalam analisis makro perekonomian. Alasan ketiga, perkembangan masyarakat
akan memengaruhi perubahan prilaku konsumsi sehingga analisis tentang pola
konsumsi akan tetap relevan mengikuti perkembangan jaman.
Pengeluaran rumah tangga pada beberapa negara masih menjadi andalan
utama dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi kerena kontribusinya yang
cukup besar dalam pembentukan PDB. Pada awal tahun 1970-an proporsi
pengeluaran rumah tangga terhadap PDB di Indonesia mencapai angka sekitar 70
persen dan sebelum krisis ekonomi tahun 1997 proporsinya semakin menurun
hingga sekitar 60 persen. Hingga akhir tahun 2010 proporsi pengeluaran konsumsi
rumah tangga sekitar 56 persen. Fenomena perekonomian yang berfluktuasi
menunjukkan pengeluaran konsumsi rumah tangga masih dianggap sebagai
penolong dalam krisis ekonomi yang mampu menjaga kestabilan pertumbuhan
ekonomi. Konsumsi rumah tangga juga mampu untuk menciptakan permintaan
agregat yang memungkinkan investasi terus tumbuh.
Minyak bumi adalah barang ekonomis yang pemanfaatan dan
pengelolaannya sesuai Undang-undang Dasar dikuasai oleh negara karena
berhak mengatur pengelolaan dan distribusinya kepada masyarakat, termasuk
pemberian subsidi. Pemerintah memberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM),
khususnya kepada konsumen rumahtangga bertujuan untuk mensejahterakan
masyarakat dengan menyesuaikan harga BBM terhadap dayabelinya.
Harga minyak bumi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga minyak
dunia. Kenaikan harga minyak akan memengaruhi peningkatan jumlah subsidi
yang diberikan dari anggaran pemerintah. Pada tahun 2001-2008 pemerintah
secara bertahap menaikan harga BBM yang dikonsumsi masyarakat. Pemerintah
beralasan menaikan harga BBM demi menjaga kondisi anggaran pemerintah agar
tidak terserap terlalu banyak untuk membiayai subsidi. Naiknya harga BBM
bersubsidi otomatis memicu kenaikan inflasi. Di sisi lain, terjadi penurunan
dayabeli dan pendapatan disposibel masyarakat. BBM adalah kebutuhan pokok
bagi masyarakat dan belum tergantikan oleh sumber energi lain sehingga
berpengaruh terhadap jalannya perekonomian.
1.2. Perumusan Masalah
Indonesia termasuk negara di Asia Tenggara yang mempunyai jumlah
penduduk terbesar. Pada tahun 2010 jumlah penduduk di Indonesia sekitar 237
juta jiwa. Jumlah penduduk yang besar ternyata tidak memberikan kontribusi
terhadap peningkatan pengeluaran konsumsi jika dibandingkan dengan negara
Asia Tenggara lainnya. Pengeluaran konsumsi perkapita penduduk Indonesia
sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia,
perkapita Indonesia pada tahun 2010 hanya sebesar 650 US$, masih rendah
dibanding dengan negara-negara tetangga lainnya.
Tabel 1.1 Perbandingan Konsumsi Perkapita Beberapa Negara Asia Tenggara (US$)
Tahun Indonesia Malaysia Singapura Brunei
Darussalam Thailand Filipina
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Pada tahun 2000-2008 pemerintah menaikan harga BBM secara bertahap
dengan besaran yang bervariasi. Kenaikan terbesar harga BBM bersubsidi yaitu
premium, minyak tanah dan solar terjadi pada tahun 2005, dimana persentase
kenaikannya mencapai 87 persen dibandingkan periode yang lalu atau rata-rata
126 persen dalam tahun 2005. Harga BBM bersubsidi berada pada harga tertinggi
pada bulan Mei 2008 dan mengalami penurunan bertahap hingga sekarang.
Kenaikan harga BBM subsidi akan menimbulkan berbagai dampak yang terjadi di
masyarakat, baik dampak ekonomi dan sosial-politik. Secara ekonomi, kenaikan
BBM akan mengakibatkan penurunan dayabeli masyarakat karena inflasi atau
kenaikan harga-harga barang dan jasa. Dampak sosial dan politik kenaikan BBM
adalah timbulnya kerawanan sosial dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap
Tabel 1.2 Harga BBM bersubsidi (Rp.)
Tahun Bulan Premium Minyak Tanah Solar
(1) (2) (3) (4) (5)
2000 Oktober 1.150 350 600
2001 Juni 1.450 450 900
2003 Maret 1.810 1.800 1.650
2005 Maret 2.400 2.200 2.100
2005 Oktober 4.500 2.000 4.300
2008 Mei 6.000 2.500 5.500
2008 Desember 5.500 2.500 5.500
2009 Januari 4.500 2.500 4.500
Sumber: Kementrian ESDM, 2011.
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan pengeluaran konsumsi rumah tangga di
Indonesia selama periode tahun 2000-2010.
2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi dan berapa besar pengaruhnya
terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga di Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalah di atas, maka tujuan yang ingin
dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis perkembangan konsumsi rumah tangga di Indonesia selama
periode tahun 2000-2010.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran konsumsi
rumah tangga di Indonesia serta menganalisis besarnya pengaruh dari
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada semua
pihak yang berkepentingan baik kepada penulis, pemerintah dan lembaga terkait,
serta peneliti lainnya, sebagai berikut:
1. Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dalam mengembangkan ilmu
ekonomi yang didapatkan penulis dalam perkuliahan terutama teori yang
berkaitan dengan pola konsumsi. Selain itu sebagai pembelajaran dalam
menerapkan teori-teori ekonomi dalam prakteknya dengan realitas
perekonomian yang ada saat ini.
2. Sebagai sumber informasi yang dapat membantu dalam pengambilan
kebijakan makro ekonomi oleh pemerintah terutama yang berhubungan
dengan permasalahan konsumsi rumah tangga.
3. Sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi pihak yang melakukan
penelitian sejenis maupun penelitian lanjutan dengan pendekatan dan
ruang lingkup yang berbeda.
1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran konsumsi
rumah tangga hanya dibatasi dalam cakupan wilayah Indonesia. Rumah Tangga
adalah seseorang atau sekelompok orang yang biasanya tinggal bersama dalam
suatu bangunan serta pengelolaan makan dari satu dapur (BPS,2010). Rumah
tangga yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang
Faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran konsumsi rumah tangga
yang akan diteliti adalah faktor ekonomi, demografi, dan nonekonomi, sedangkan
besaran pengaruh faktor terhadap pengeluaran konsumsi yang diteliti hanya faktor
ekonomi. Adapun data-data lain yang berupa data demografi dan sosial hanya
digunakan untuk analisis diskriptif. Data yang digunakan dalam menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi adalah data series tahun 2000 –
2010 yang meliputi data pengeluaran konsumsi rumah tangga, pendapatan
nasional, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, serta pertumbuhan investasi di
Indonesia.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
makroekonomi faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran konsumsi rumah
tangga di Indonesia. Penelitian ini tidak menggambarkan secara lengkap
bagaimana setiap individu-individu membuat pilihan-pilihan dalam melakukan
2.1. Tinjauan Pustaka
Konsumsi adalah setiap kegiatan memanfaatkan, menghabiskan kegunaan
barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan demi menjaga kelangsungan
hidup. Menurut Albert C Mayers konsumsi adalah penggunaan barang-barang dan
jasa yang langsung dan terakhir guna memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Sedangkan menurut Dumairy (2004) konsumsi adalah pembelanjaan atas
barang-barang dan jasa yang dilakukan oleh rumahtangga dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan atas
makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan lain digolongkan pembelanjaan
atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan memenuhi
kebutuhan dinamakan barang konsumsi.
Individu yang melakukan konsumsi disebut konsumen. Keinginan
mengkonsumsi oleh individu akan menimbulkan permintaan terhadap suatu
barang. Permintaan adalah keinginan konsumen untuk membeli barang dengan
berbagai alternatif harga. Selain dipengaruhi harga permintaan juga dipengaruhi
oleh pendapatan, selera, jumlah konsumen yang menginginkan barang tersebut,
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Fungsi Konsumsi
Fungsi konsumsi adalah suatu persamaan matematik yang menunjukkan
hubungan antara tingkat konsumsi seseorang atau rumahtangga dengan
pendapatan disposibel atau pendapatan nasional. Jika fungsi konsumsi merupakan
fungsi yang dipengaruhi oleh pendapatan disposibel maka dapat digambarkan
dengan persamaan sebagai berikut:
C = a+ bYd
Dimana a adalah konsumsi autonomus, b adalah kecenderungan mengkonsumsi
marginal, dan Yd adalah pendapatan disposibel.
Konsumsi aotunomus adalah tingkat konsumsi rumahtangga yang tidak
dipengaruhi oleh pendapatan nasional atau dapat diartikan sebagai tingkat
konsumsi dimana rumahtangga tidak mempunyai pendapatan. Pengeluaran untuk
konsumsi ini dapat dibiayai oleh tabungan yang dibuat dimasa lalu atau dengan
cara berhutang (dissaving). Selain dipengaruhi oleh jumlah tabungan dimasa lalu,
konsumsi autonomus juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti pajak
yang dipungut oleh pemerintah, ekspektasi keadaan ekonomi, tingkat harga dan
suku bunga (Sukirno, 2005).
Pendapatan disposibel adalah pendapatan rumahtangga yang siap
digunakan untuk kegiatan konsumsi. Pendapatan disposibel berasal dari
pendapatan yang diperoleh rumahtangga sebagai balas jasa faktor produksi
dikurangi dengan pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Pendapatan
Yd = Y – T
Dimana T adah pajak yang harus dibayarkan oleh rumahtangga kepada
pemerintah.
Kecenderungan mengkonsumsi marginal atau marginal propensity to
consume (MPC) menggambarkan hubungan antara pertambahan pendapatan
dengan pertambahan konsumsi. Dengan kata lain MPC menunjukkan persentase
tambahan pendapatan yang akan digunakan oleh rumahtangga untuk konsumsi.
MPC dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut:
MPC =
d
Y C
Dimana ΔC adalah pertambahan konsumsi dan ΔYd adalah pertambahan
pendapatan disposibel yang menyebabkan pertambahan konsumsi tersebut.
Kecenderungan mengkonsumsi rata-rata atau avarage propensity to
consume (APC) yaitu perbandingan antara tingkat pengeluaran konsumsi (C)
dengan pendapatan disposibel (Yd) yang diperoleh pada waktu konsumsi tersebut
dilakukan.
APC =
d
Y C
Pendapatan yang diperoleh rumahtangga sebagai balas jasa faktor
digunakan antara lain untuk membayar pajak, konsumsi, dan ditabung. Ketika
pendapatan sudah cukup digunakan untuk memenuhi kebutuhan melalui
konsumsi, sisa pendapatan yang tidak digunakan untuk konsumsi digunakan untuk
S = Yd– C
Sedangkan kecenderungan menabung dibedakan menjadi dua yaitu
kecenderungan menabung marginal dan kecenderungan menabung rata-rata.
Kecenderungan menabung marginal atau marginal propensity to save (MPS)
adalah perbandingan antara pertambahan tabungan karena adanya pertambahan
pendapatan disposibel.
MPS =
d
Y S
Dimana ΔS adalah pertambahan tabungan dan ΔYd adalah pertambahan
pendapatan disposibel yang menyebabkan pertambahan tabungan tersebut.
Kecenderungan menabung rata-rata atau marginal average to save (APS)
menunjukkan perbandingan antara tabungan dengan pendapatan disposibel.
APS =
d
Y S
Selain fungsi konsumsi yang merupakan fungsi dari pendapatan disposibel ada
beberapa teori konsumsi dengan hipotesis yang menghubungkan antara tingkat
konsumsi dengan variabel lain sehingga dalam teori konsumsi dikenal dengan
hipotesis Keynes dan Post Keynes.
2.2.2. Teori Konsumsi
2.2.2.1.Teori Konsumsi Keynes
Dasar teori Keynes tentang hipotesis pengeluaran untuk konsumsi adalah
hukum psikologis fundamental, bahwa manusia diatur, seperti sebuah peraturan
mereka naik, tetapi tidak sebanyak kenaikan pendapatan, bahkan lebih kecil
daripada kenaikan pendapatan (Mankiw, 2007). Selain menggunakan analisis
statistic, Keynes membuat dugaan-dugaan tentang fungsi konsumsi berdasarkan
instrospeksi dan observasi kasual.
Pertama dan terpenting, Keynes menduga bahwa kecenderungan
mengkonsumsi marginal atau marginal propensity to consume (MPC) yaitu;
kenaikan konsumsi dari setiap unit pendapatan, dimana besarnya nilai MPC
berkisar antara nol dan satu. Kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi
terhadap pendapatan yang disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata atau
average propensity to consume (APC), turun ketika pendapatan naik. Ia percaya
bahwa tabungan merupakan kemewahan, sehingga orang kaya cenderung
menabung dengan proporsi lebih tinggi dari pendapatan mereka dibanding
proporsi tabungan terhadap pendapatan orang miskin. Walaupun tidak esensial
untuk teori Keynes sendiri, tetapi dalil bahwa kecenderungan mengkonsumsi
marginal turun ketika pendapatan naik menjadi pusat kajian dari ilmu ekonomi
Keynesian awal.
Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan
konsumsi yang penting dan tingkat tabungan tidak memiliki peran penting.
Asumsi dasar ini berlawanan dengan kepercayaan dari para ekonom klasik
sebelumnya. Para ekonom klasik berpendapat bahwa tingkat bunga yang lebih
tinggi akan mendorong tabungan dan menghambat konsumsi. Keynes menegaskan
bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori. Namun
bahwa pengaruh jangka pendek dari tingkat bunga terhadap pengeluaran individu
dari pendapatan bersifat sekunder dan relative tidak penting. Jadi, menurut
Keynes konsumsi secara mutlak (absolut) cenderung lebih banyak dipengaruhi
dari tingkat pendapatan sekarang.
Berdasarkan dugaan tersebut, fungsi konsumsi Keynes sering ditulis
sebagai berikut:
C = C0 + cY, C0>0, 0<c<1
Keterangan:
C = konsumsi
Co = konstanta
c = kecenderungan mengkonsumsi marginal
Y = pendapatan disposibel
(Mankiw, 2007:447-448)
Dalam fungsi konsumsi Keynes, kecenderungan mengkonsumsi marginal c adalah
antara nol dan satu, sehingga dengan bertambahnya pendapatan akan
menyebabkan konsumsi dan tabungan yang lebih tinggi. Sedangkan fungsi
konsumsi yang memenuhi dugaan yang kedua tentang kecenderungan
mengkonsumsi rata-rata adalah:
AC = C/Y = C0/Y + c
Ketika Y meningkat, C0/Y turun, dan begitu pula kecenderungan mengkonsumsi
Sumber: Sukirno, 2005 Gambar 2.1 Fungsi Konsumsi
Menurut teori konsumsi absolute income hypothesis dari Keynes,
konsumsi ditentukan oleh tingkat pendapatan absolut, sehingga hubungan antara
pendapatan dan konsumsi merupakan fungsi konsumsi dalam jangka panjang,
sehingga kurva konsumsi selalu memotong sumbu vertikal. Tetapi berdasarkan
studi empiris dari Kuznets, fungsi konsumsi jangka pendek bergeser ke atas
sepanjang waktu sehingga menghasilkan konsumsi jangka panjang. Jadi fungsi
konsumsi menurut absolute income hypothesis merupakan fungsi konsumsi
jangka pendek, sedangkan fungsi konsumsi jangka panjang dapat ditentukan
melalui pergeseran keatas dari fungsi konsumsi dalam jangka pendek. Karena
dalam jangka panjang nilai C/Y atau APC tidak banyak berubah dan cenderung
tetap, sehingga fungsi konsumsi jangka panjang merupakan garis lurus melalui Y=C
C=C0+cY
Konsumsi (C )
Pendapatan (Y) C0
titik nol. Dengan demikian, nilai MPC mempunyai kecenderungan tidak banyak
berubah, sehingga dalam jangka panjang nilai MPC=APC.
Sumber: Prasetyo, 2009
Gambar 2.2 Fungsi Kansumsi Jangka Pendek dan Jangka Panjang
2.2.2.2.Teori Konsumsi Berdasarkan Pilihan Antarwaktu
Dalam memutuskan besaran tingkat konsumsi dan tabungan dengan
tingkat pendapatan yang ada, perlu mempertimbangkan masa sekarang dan masa
yang akan datang. Semakin besar konsumsi yang dapat dinikmati pada hari ini,
semakin sedikit konsumsi yang dapat dinikmati hari esok. Kondisi tradeoff ini
mengharuskan rumahtangga memperhitungkan perkiraan pendapatan dimasa
depan yang akan diterima dengan konsumsi yang dapat mereka nikmati.
Ekonom Irving Fisher mengembangkan model yang digunakan para
ekonom untuk menganalisis bagaimana konsumen yang berpandangan ke depan LRC
SRC3
SRC2
SRC1
C/tahun
Y/tahun 0
a
b
c
dan rasional membuat pilihan antarwaktu, yaitu pilihan yang meliputi periode
waktu yang berbeda. Model Irving Fisher menghilangkan hambatan-hambatan
yang dihadapi oleh konsumen, preferensi yang mereka miliki, dan bagaimana
hambatan-hambatan serta preferensi ini bersama-sama menentukan pilihan
mereka terhadap konsumsi dan tabungan.
Alasan orang mengkonsumsi lebih sedikit daripada yang mereka inginkan
adalah karena konsumsi mereka dibatasi oleh pendapatan. Dengan kata lain,
konsumen menghadapi batasan dalam menentukan berapa banyak yang
pendapatan yang bisa mereka belanjakan, yang disebut batas atau kendala
anggaran (budged constraint). Ketika mereka memutuskan berapa banyak akan
mengkonsumsi hari ini versus berapa banyak akan menabung untuk masa depan,
mereka menghadapi batasan anggaran antarwaktu (intertemporal budged
constraint), yang mengukur sumber daya total yang tersedia untuk konsumsi hari
ini, dan dimasa depan (Mankiw, 2007).
Persamaan di bawah ini menunjukkan bagaimana pendapatan konsumen
dalam dua periode membatasi konsumsi dua periode tersebut.
S = Y1– C1
Dalam periode pertama jumlah tabungan (S) sama dengan pendapatan periode
pertama (Y1) dikurangi konsumsi periode pertama (C1).
C2 = (1 + r)S + Y2
Konsumsi dalam periode kedua (C2) merupakan akumulasi tabungan termasuk
bunganya, ditambah dengan pendapatan periode kedua (Y2), dimana r adalah
C2 = (1 + r)( Y1– C1) + Y2
Persamaan ini menghubungkan konsumsi selama dua periode dengan pendapatan
dalam dua periode. Persamaan ini adalah cara standar untuk menunjukkan batasan
anggaran antarwaktu konsumen. Jika tingkat bunga adalah nol, batas anggaran
menunjukkan bahwa konsumsi total akan sama dengan pendapatan totalnya.
Sedangkan jika tingkat bunga tidak sama dengan nol, konsumsi dan pendapatan
masa depan akan didiskontokan oleh faktor 1 + r yang berasal dari bunga
tabungan.
2.2.2.3.Teori Konsumsi Berdasarkan Hipotesis Daur Hidup
Teori konsumsi berdasarkan hipotesis daur kehidupan (life cycle
hypothesis) dikemukakan oleh tiga ekonom yaitu: Albert Ando, Richard
Brumberg dan Franco Mondigliani. Teori ini mempelajari fungsi konsumsi
berdasarkan model perilaku konsumen Fisher dimana konsumsi bergantung pada
pendapatan seumur hidup seseorang. Mondigliani menekankan bahwa pendapatan
bervariasi secara sistematis selama kehidupan seseorang dan tabungan membuat
konsumen menggerakkan pendapatan dari masa hidupnya ketika pendapatan
tinggi ke masa hidup ketika pendapatan rendah.
Pada dasarnya hipotesis daur hidup berpendapat bahwa konsumsi
seseorang dalam suatu waktu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pendapatan yang
hidup walaupun tidak bekerja lagi. Pendapatan seseorang selama bekerja
bervariasi dan kebanyakan orang merencanakan pensiun dari bekerja pada umur
65 tahun, dan mereka berekspektasi pendapatan akan turun setelahnya. Adanya
penurunan pendapatan tidak mengurangi keinginan untuk menurunkan standar
kehidupannya dibanding dengan konsumsi saat sekarang.
Asumsi dasar teori konsumsi hipotesis daur hidup adalah menganggap
bahwa individu merencanakan perilaku konsumsi dan tabungan mereka selama
periode yang panjang dengan tujuan mengalokasikan konsumsi mereka untuk
membuat hidup mereka lebih baik. Sedang asumsi utamanya bahwa kebanyakan
orang memilih gaya hidup yang stabil, secara umum bukannya banyak menabung
disuatu periode demi pendapatan yang besar di periode berikutnya, tetapi
mengkonsumsi yang sama di setiap periodenya.
Sumber: Sukirno, 2005
Gambar 2.3 Konsumsi dan Pendapatan dalam Daur Kehidupan
C C/Y
Waktu/T 0
Y saving
Karena orang cenderung menerima pendapatan yang rendah pada usia
muda, tinggi pada usia menengah dan rendah pada usia tua, maka rasio tabungan
akan berfluktuasi sejalan dengan perkembangan umur mereka. Orang muda akan
mempunyai tabungan yang rendah atau negatif (dissaving), usia menengah tingkat
tabungan yang tinggi atau membayar pinjaman yang dibuat pada masa muda dulu,
dan usia tua akan mengambil tabungan yang dibuatnya di masa usia menengah.
2.2.2.4.Teori Konsumsi Berdasarkan Hipotesis Pendapatan Permanen
Teori konsumsi berdasarkan hipotesis pendaptan permanen (permanent
income hypothesis) telah dikemukakan oleh Milton Friedman. Menurut teori ini,
pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pendapatan
permanen (permanent income) dan pendapatan sementara (transitory income).
Pendapatan permanen yang dimaksud adalah kekayaan dan pendapatan yang
dibelanjakan sekarang dan yang akan datang jumlahnya tetap demi menjaga
kestabilan konsumsi sepanjang hidupnya. Pendapatan permanen dapat diperoleh
dari upah atau gaji tetap yang diterima, atau pendapatan dari semua faktor yang
menentukan kekayaan. Sedangkan pendapatan sementara adalah bagian
pendapatan yang tidak diharapkan terus bertahan dan tidak bisa diperkirakan
sebelumnya.
Milton Friedman menyatakan bahwa pendapatan sekarang terdiri dari
pendapatan permanen dan pendapatan sementara atau pendapatan transitori.
Secara matematik dapat ditulis sebagai berikut:
Dimana Y adalah pendapatan sekarang, Yp adalah pendapatan permanen dan Yt
adalah pendapatan sementara.
Dalam hipotesis ini Friedman menganggap tidak ada hubungan antara
pendapatan sementara dengan pendapatan permanen, juga antara konsumsi
sementara dengan konsumsi permanen, maupun konsumsi sementara dengan
pendapatan sementara. Sehingga MPC dari pendapatan sementara sama dengan
nol yang berarti bila konsumen menerima pendapatan sementara yang positif
maka tidak akan memengaruhi konsumsi. Demikian pula bila konsumen
menerima pendapatan sementara yang negatif maka tidak akan mengurangi
konsumsi. Friedman menyimpulkan konsumsi bersifat proporsional terhadap
pendapatan permanen sehingga fungsi konsumsi dapat ditunjukkan dengan
persamaan
C = αYp
Dimana α adalah konstanta yang mengukur bagian dari pendapatan permanen
yang dikonsumsi. Sedangkan kecenderungan rata-rata dari hipotesis pendapatan
permanen adalah sebagai berikut:
APC = C/Y = αYp/Y
Menurut hipotesis pendapatan permanen, kecenderungan mengkonsumsi rata-rata
tergantung pada rasio pendapatan permanen dengan pendapatan sekarang. Bila
pendapatan sekarang secara temporer naik diatas pendapatan permanen,
kecenderungan mengkonsumsi rata-rata secara temporer akan turun, sebaliknya
jika pendapatan sekarang secara temporer turun terhadap pendapatan permanen
2.2.2.5.Teori Konsumsi Berdasarkan Hipotesis Pendapatan Relatif
Teori konsumsi berdasarkan hipotesis pendapatan relatif adalah
pengembangan lebih lanjut dari fungsi konsumsi Keynes yang dilakukan oleh
James S. Duesenberry. Dasar dari teori ini adalah studi empiris yang dilakukan
Kuznets dimana James Duesenberry mengemukakan pendapatnya bahwa
pengeluaran konsumsi suatu masyarakat ditentukan terutama oleh tingginya
pendapatan tertinggi yang pernah dicapainya. Jika pendapatan berkurang maka
konsumen tidak akan banyak mengurangi pengeluarannya untuk konsumsi. Untuk
mempertahankan tingkat konsumsi yang masih tetap tinggi, mereka terpaksa harus
mengurangi besarnya tabungan. Jika pendapatan bertambah lagi, maka konsumsi
mereka juga akan bertambah, tetapi bertambahnya tidak begitu besar. Sedangkan
tabungan akan bertambah sedikit lebih besar.
Kenyataan seperti ini akan terus dijumpai sampai tingkat pendapatan
tertinggi yang telah pernah dicapai dapat dicapainya lagi. Setelah pendapatan
puncak daripada sebelumnya telah dapat dilalui, maka tambahan pendapatan akan
banyak menyebabkan bertambahnya pengeluaran untuk konsumsi. Sedangkan
dilain pihak, bertambahnya tabungan tidak begitu cepat.
Dasar teori dengan hipotesis tingkat pendapatan relatif dari Duesenberry
(1949) didasarkan pada dua asumsi, yaitu:
1. Selera rumahtangga atas konsumsi barang dan jasa adalah interdependent.
Artinya pengeluaran konsumsi rumahtangga dipengaruhi oleh pengeluaran
2. Pengeluaran konsumsi adalah irreversible. Artinya pola pengeluaran
konsumsi rumahtangga atau seseorang pada saat penghasilan naik akan
berbeda dengan pola konsumsi ketika tingkat penghasilan turun.
Sumber: Prasetyo, 2009
Gambar 2.4 Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Relatif
Duesenberry dalam teorinya menemukan bahwa persentase dari konsumsi
dan pendapatan akan cenderung kecil pada saat perekonomian baik, dan
cenderung tinggi pada saat perekonomian dalam keadaan buruk. Ketika terjadi
perubahan dalam penghasilan, maka konsumsi tidak akan langsung meningkat.
Hal ini terjadi karena pengaruh konsumsi periode sebelumnya yang lebih kecil.
Demikian pula ketika pendapatan turun maka konsumsi tidak akan turun secara
tajam karena terbiasa dengan hidup senang, yang terjadi adalah persentase dari Y=C+S
C/S
Y 0
C0
C1
C2
LRC
Y0 Y1 Y2
a b
c
d e
i
g
f
h
konsumsi dan pendapatannya menjadi semakin besar. Hal ini dapat dijelaskan
melalui gambar 2.4.
Ketika pendapatan turun dari Y2 menjadi Y0, konsumsi tidak langsung
turun ke titik a, tetapi masih tetap berkonsumsi di sepanjang kurva C1 karena
pengaruh konsumsi periode sebelumnya. Konsumsi terletak di titik f dalam jangka
pendek, namun dalam jangka panjang konsumsi akan turun ke titik a. Ketika
pendapatan turun terjadi pemanfaatan tabungan sebesar af untuk tetap dapat
mengkonsumsi yang besar. Proporsi tabungan akan menurun dari yang seharusnya
proporsinya adalah ga/gY0, karena dimanfaatkan untuk menutupi konsumsi
sehingga hanya mencapai gf/gY0.
Sebaliknya jika terjadi peningkatan pendapatan menjadi Y2, tingkat
konsumsi tidak akan langsung naik pada kurva C2 di titik i, tetapi tetap pada kurva
C1 pada titik e dalam jangka pendek, setelah itu dalam jangka panjang akan
bergeser ke titik i. Dalam jangka pendek terjadi peningkatan proporsi tabungan,
yang seharusnya adalah ji/jY2, namun dalam jangka pendek sebesar je/jY2.
kejadian ini disebut dengan Ratchet Effect, yaitu penurunan atau kenaikan
pendapatan tidak secara langsung menurunkan atau menaikkan konsumsi dalam
jangka pendek, namun terjadi dalam jangka panjang. Dalam penelitiannya
Duesenberry membuat kesimpulan bahwa konsumsi seseorang akan tergantung
dari penghasilan saat ini dan penghasilan tertinggi tahun sebelumnya (Ratchet
Effect) dan perilaku konsumsi seseorang akan tergantung pula dengan perilaku
2.2.2.6.Teori Konsumsi Berdasarkan Pendekatan Modern
Teori konsumsi modern pada dasarnya merupakan pengembangan dari
teori yang sudah ada dan tidak dapat dipisahkan dari model dasar teori konsumsi
Franco Modigliani dalam teori daur hidupnya serta model konsumsi dari Milton
Friedman dalam teori pendapatan permanennya. Secara garis besar, model fungsi
konsumsi modern dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Model hipotesis fungsi konsumsi pendapatan permanen berdasarkan pilihan
antarwaktu Fisher (Fisher’s model of intertemporal choice) oleh Robert Hall
dan Random-Walk.
2. Hipotesis fungsi konsumsi pendekatan modern dalam hidup penuh
ketidakpastian (life cycle-permant income hypothesis) oleh John Y. Campbell
dan N. Gregory Mankiw.
2.3Variabel Penelitian 2.3.1 Pendapatan
Seseorang melakukan kegiatan bekerja adalah untuk mendapatkan
penghasilan. Penghasilan yang diperoleh akan dibelanjakan untuk memenuhi
kebutuhan (konsumsi). Sedangkan apabila seluruh kebutuhannya telah terpenuhi
kemungkinan sisa penghasilannya akan ditabung (saving) atau digunakan untuk
melakukan kegiatan investasi. Jadi penghasilan atau pendapatan seseorang
mempunyai peran penting dalam keseluruhan kegiatan perekonomian.
Pendapatan nasional adalah pendapatan yang diterima oleh seluruh
rumahtangga suatu negara yang merupakan balas jasa dari penyerahan
melalui tiga macam pendekatan penghitungan yang biasa digunakan dalam suatu
negara, yaitu:
1. Pendekatan Pendapatan (Income Approach)
Penghitungan dengan pendekatan pendapatan untuk memperoleh nilai dari
pendapatan nasional dilakukan dengan cara menjumlahkan semua
pendapatan yang diperoleh dari keseluruhan pelaku ekonomi dengan
aktivitas kegiatan ekonominya dalam suatu negara pada periode waktu
tertentu. Pendapatan dapat diperoleh berupa sewa, bunga, upah atau gaji,
deviden atau laba perusahaan. Pendapatan tersebut merupakan balas jasa
faktor produksi seperti tanah, tanaga kerja, gedung, modal, dan
kewirausahaan.
2. Pendekatan Produksi (Production Approach)
Pendapatan nasional yang dihitung dengan pendekatan produksi metode
penghitungannya dengan menjumlahkan keseluruhan nilai akhir (final
goods) dari produksi barang-barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu
unit-unit produksi dalam suatu negara pada periode waktu tertentu.
Penghitungan pendapatan nasional melalui pendekatan ini masih terdapat
kekurangan dengan adanya penghitungan ganda (double counting).
Penghitungan ganda akan terjadi jika nilai produksi sektor tertentu juga
merupakan input dalam produksi sektor lainnya. Penghitungan ganda
dapat dihindari melalui dua cara, yaitu dengan menghitung nilai akhir
(final goods) atau dengan menghitung nilai tambah (value added). Dengan
dikonsumsi oleh konsumen akhir. Sedangkan nilai tambah yang dimaksud
adalah selisih nilai barang dengan biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksi termasuk nilai dari bahan baku.
3. Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach)
Pendekatan pengeluaran dalam penghitungan pendapatan nasional
dilakukan dengan cara menghitung keseluruhan pengeluaran masyarakat
dalam suatu negara. Pengeluaran masyarakat dalam suatu negara
dikelompokkan menjadi pengeluaran konsumsi rumahtangga, pengeluaran
pemerintah, pengeluaran sektor perusahaan dan sektor perdagangan luar
negeri atau ekspor dan impor.
Tingkat pendapatan masyarakat secara umum mempunyai hubungan yang
searah dengan tingkat konsumsi, dimana kenaikan pendapatan akan diikuti oleh
kenaikan tingkat konsumsi, sebaliknya penurunan tingkat pendapatan akan
menurunkan tingkat konsumsi.
2.3.2 Tingkat Suku Bunga
Bunga adalah harga dari pinjaman yang harus dibayarkan peminjam atas
pinjaman yang diterima dan imbalan bagi yang meminjamkan. Dalam hal
menabung, bunga adalah balas jasa yang diberikan oleh pihak bank kepada
penabung atau nasabah karena bersedia menyimpan dananya di bank. Dana
nasabah oleh pihak bank akan dikelola salah satunya sebagai sumber pembiayaan
dalam investasi. Ada dua macan suku bunga yang dikenal, yaitu suku bunga
nominal dan suku bunga riil. Suku bunga nominal adalah tingkat suku bunga yang
adalah tingkat bunga nominal dikurangi laju inflasi yang terjadi selama periode
yang sama.
Bunga pada dasarnya berperan sebagai pendorong utama agar masyarakat
bersedia menabung. Tingkat tabungan akan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya
tingkat bunga. Semakin tinggi suku bunga, akan semakin tinggi pula
kecenderungan atau minat masyarakat untuk menabung, sebaliknya suku bunga
yang rendah akan mengurangi minat masyarakat untuk menabung. Bunga bank
yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi, karena orang akan cenderung
untuk menabung di bank dengan balas jasa bunga yang tinggi dibandingkan
dengan membelanjakan banyak uang untuk kegiatan konsumsi.
Dampak dari kenaikan tingkat bunga riil terhadap konsumsi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu dampak pendapatan (income effect) dan dampak
substitusi (substitution effect). Dampak pendapatan adalah perubahan konsumsi
yang disebabkan oleh pergerakan ke arah kurva indiferen yang lebih tinggi.
Konsumen adalah penabung dan bukan peminjam maka kenaikan tingkat bunga
akan membuat konsumsi dan tingkat kesejahteraan periode yang akan datang
semakin baik karena sisa pendapatan yang ditabung akan memperoleh balas jasa
atau bunga yang lebih tinggi. Dampak substitusi adalah perubahan konsumsi yang
disebabkan oleh perubahan harga relatif konsumsi antara dua periode. Kenaikan
tingkat bunga membuat konsumen memilih lebih banyak konsumsi karena
konsumsi pada periode kedua akan lebih murah dibandingkan konsumsi pada
2.3.3 Inflasi
Pengertian inflasi secara umum adalah kenaikan harga-harga umum secara
terus menerus dalam suatu periode tertentu. Inflasi merupakan proses
kecenderungan kenaikan harga-harga umum barang-barang dan jasa secara terus
menerus. Kenaikan harga-harga ini tidak berarti harus naik dengan persentase
yang sama, yang penting terdapat kenaikan harga-harga umum secara terus
menerus dalam periode tertentu (bulan atau tahun). Jika kenaikan harga yang
terjadi hanya sekali saja dan bersifat sementara sekalipun dalam persentase yang
besar tetapi tidak berdampak meluas bukanlah merupakan inflasi.
Jenis inflasi berdasarkan tingkat keparahannya dapat digolongkan sebagai
berikut:
1. Inflasi ringan (dibawah 10% pertahun)
2. Inflasi sedang (antara 10% - 30% pertahun)
3. Inflasi berat (antara 30% - 100% pertahun)
4. Hiperinflasi (diatas 100% pertahun)
(Boediono, 1990).
Sedangkan penggolongan inflasi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
1. Inflasi yang muncul disebabkan adanya dayatarik dari permintaan
masyarakat akan berbagai barang yang terlalu kuat (demand pull
inflation). Inflasi terjadi karena interaksi permintaan dan penawaran
terhadap suatu barang dimana tingginya permintaan barang dan jasa relatif
2. Inflasi yang muncul disebabkan karena adanya goncangan atau dorongan
kenaikan biaya faktor-faktor produksi secara terus menerus dalam kurun
waktu tertentu (cost push inflation).
Inflasi secara umum mempunyai hubungan yang negatif dengan pola
konsumsi. Adanya inflasi akan menyebabkan harga-harga barang naik, dan tanpa
adanya peningkatan pendapatan, rumahtangga akan semakin sedikit memperoleh
barang-barang untuk dikonsumsi.
2.3.4 Kekayaan
Kekayaan adalah bentuk lain dari aset yang dimiliki oleh rumahtangga
baik berupa aset likuid maupun nonlikuid, atau dalam bentuk aset riil maupun
finansial. Aset riil yang dimiliki oleh rumahtangga dapat berupa rumah, tanah, dan
mobil, sedangkan aset finansial dapat berupa tabungan, deposito berjangka,
saham, dan surat berharga lainnya. Kekayaan dapat menambah konsumsi, karena
menambah pendapatan disposibel. Penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari
kekayaan disebut sebagai penghasilan nonupah. Sebagian dari penghasilan
tambahan tersebut akan digunakan oleh rumahtangga untuk meningkatkan
pengeluaran konsumsi.
2.3.5 Variabel Lain yang Memengaruhi Pengeluaran Konsumsi
Selain variabel ekonomi yang memengaruhi konsumsi seperti pendapatan,
tingkat bunga, inflasi dan kekayaan, perkembangan ekonomi yang terjadi
mengakibatkan bertambahnya variabel lain yang memengaruhi konsumsi
1. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi
secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata perorang atau per
rumahtangga relatif rendah. Pengeluaran konsumsi suatu negara akan
sangat besar, jika jumlah penduduk sangat banyak dengan pendapatan
perkapita yang sangat tinggi.
2. Komposisi Penduduk
Komposisi penduduk dapat dibedakan menurut usia (produktif dan tidak
produktif), pendidikan (rendah, menengah dan tinggi), dan wilayah
(pedesaan dan perkotaan). Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat
konsumsi adalah semakin banyak penduduk usia produktif makin besar
tingkat konsumsi, makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat makin
tinggi tingkat konsumsi dan makin banyak penduduk yang tinggal di
perkotaan pengeluaran untuk konsumsi juga semakin tinggi.
3. Sosial Budaya
Faktor nonekonomi yang berpengaruh terhadap tingkat konsumsi adalah
faktor sosial budaya masyarakat. Faktor sosial budaya masyarakat dapat
dilihat dengan berubahnya pola kebiasaan makan, perubahan etika dan
tatanilai karena ingin meniru kelompok masyarakat lain yang dianggap
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan faktor-faktor
yang memengaruhi konsumsi. Penelitian tersebut merupakan pengembangan dari
teori-teori konsumsi yang telah dikemukakan oleh para ahli dan juga menjadi
bukti empiris yang menguatkan teori tersebut. Penelitian terdahulu akan
digunakan untuk membantu dalam penelitian ini untuk memahami
fenomena-fenomena yang berhubungan dengan konsumsi sesuai dengan kondisi yang terjadi
saat ini.
Virmani dan Raut (1989) menganalisis determinan konsumsi dan perilaku
menabung pada dua puluh tiga negara berkembang. Dalam penelitiannya mereka
meneliti variabel yang memengaruhi konsumi dengan pendekatan Random Walk
dan Hall Hypothesis. Hasil penelitian diperoleh dengan pendekatan Random Walk
Hypothesis dengan tingkat bunga yang tetap, variabel pendapatan sekarang,
pendapatan yang akan datang, dan pendapatan yang tidak diduga memengaruhi
konsumsi dan dengan variabel tingkat bunga, variabel pendapatan sekarang,
pendapatan yang akan datang, pendapatan tidak diduga, suku bunga nominal, dan
inflasi memengaruhi konsumsi. Tingkat bunga riil berpengaruh positif terhadap
konsumsi sedangkan tingkat bunga nominal dan inflasi berpengaruh negatif
terhadap konsumsi.
Singh (2004) dalam penelitiannya menyebutkan berdasarkan tinjauan teori
dan temuan empiris, fungsi konsumsi dapat ditunjukkan melalui persamaan,
Dimana Ct adalah konsumsi, Yt adalah pendapatan disposibel nasional, Wt adalah
kekayaan, dan Z adalah determinan lain.
Fungsi konsumsi yang dikembangkan Singh seperti tersebut diatas
didasarkan pada pendekatan pendapatan permanen (PIH) dan pendekatan daur
hidup (LIH) yang mengasumsikan bahwa rumahtangga membagi konsumsinya
antara masa sekarang dan masa yang akan datang berdasarkan perkiraan
kemampuan konsumsi dalam jangka panjang. Rumahtangga mencoba
melancarkan konsumsi mereka dengan cara menyimpan pendapatannya untuk
masa pensiun nanti. Selain itu rumahtangga memilih tingkat konsumsinya
berdasarkan atas kekayaan yang dimiliki (kekayaan nyata dan keuangan). Dalam
penelitiannya Singh memproksikan kekayaan dengan jumlah uang kuasi. Uang
kuasi dimaksud terdiri dari tabungan yang dimiliki penduduk sepanjang waktu
dan juga komponen memegang uang dalam arti luas.
Determinan lain dalam model yang dibangun oleh Singh terdiri dari
tingkat bunga nyata, tingkat pengangguran dan transfer bersih swasta. Tingkat
bunga nyata memberikan pengaruh substitusi, sementara tingkat pengangguran
digunakan sebagai proksi tentang ketidakpastian dalam hubungan dengan arus
pendapatan yang akan diperoleh. Sedangkan transfer swasta bersih merefleksikan
pengaruh terhadap migrasi konsumsi bersih.
Isyani dan Hasmarini (2005) menganalisis konsumsi di Indonesia tahun
1989-2002 (Tinjauan Terhadap Hipotesis Keynes dan Post Keynes). Dalam
terdiri dari pendapatan nasional, suku bunga riil, investasi saham, jumlah uang
beredar, pajak pendapatan, dan konsumsi tahun sebelumnya. Model Partial
Adjustment Model (PAM) digunakan untuk menganalisis dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang. Hasil dari penelitian diperoleh bahwa variabel
pendapatan nasional, suku bunga riil, pajak penghasilan dan konsumsi tahun
sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap konsumsi sedangkan variabel
investasi saham, jumlah uang beredar tidak berpengaruh signifikan terhadap
konsumsi di Indonesia.
Sangadji (2008) menganalisis konsumsi di Indonesia selama tahun
2000-2006 tentang pengaruh pendapatan dan tingkat suku bunga riil terhadap konsumsi
rumahtangga di Indonesia dengan menggunakan model analisis ECM (Error
Correction Model). Hasil penelitiannya menunjukan bahwa konsumsi
rumahtangga di Indonesia dipengaruhi oleh pendapatan dan tingkat bunga riil.
Siregar (2009) menganalisis determinan konsumsi masyarakat di Indonesia
selama tahun 2000-2008 tentang pengaruh pendapatan nasional, suku bunga,
inflasi, dan uang kuasi terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat dengan model
analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan
nasional, suku bunga, dan inflasi berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi
masyarakat Indonesia.
2.5. Kerangka Pemikiran
Konsumsi rumahtangga sebagai penggerak utama dalam perekonomian
rumahtangga dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor
demografi dan faktor nonekonomi. Fenomena yang terjadi di Indonesia adalah
dengan jumlah penduduk yang banyak, pertumbuhan konsumsi rumahtangga dan
konsumsi perkapita masih rendah.
Gambar 2.5 Alur Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian dari beberapa teori konsumsi yang telah dikemukakan,
terutama analogi fungsi konsumsi Keynesian dan penelitian terdahulu, terdapat
beberapa faktor ekonomi yang memengaruhi konsumsi rumahtangga. Dari
beberapa faktor tersebut dapat dikembangkan suatu fungsi konsumsi, dimana
pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan nasional, tingkat suku bunga,
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rumahtangga
Faktor ekonomi Faktor demografi Faktor nonekonomi
Analisis regresi linier berganda
Analisis Deskriptif
Kesimpulan
Rekomendasi kebijakan Suku bunga
Inflasi Pendapatan
Investasi
Konsumsi perkapita rendah Pertumbuhan konsumsi rendah
inflasi, dan pertumbuhan investasi. Alur kerangka pemikiran dan hubungan
variabel dalam penelitian dapat ditunjukan pada gambar 2.5.
2.6. Hipotesis
Hipotesis merupakan dugaan awal yang masih bersifat sementara yang
akan dibuktikan kebenarannya melalui data empiris. Berdasarkan tujuan penelitian
dan kerangka pemikiran dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. Pendapatan nasional berpengaruh positif terhadap konsumsi rumahtangga
di Indonesia, ceteris paribus.
2. Suku bunga berpengaruh negatif terhadap konsumsi rumahtangga di
Indonesia, ceteris paribus.
3. Inflasi berpengaruh negatif terhadap konsumsi rumahtangga di Indonesia,
ceteris paribus.
4. Pertumbuhan investasi berpengaruh negatif terhadap konsumsi
rumahtangga di Indonesia, ceteris paribus.
5. Kenaikan BBM berpengaruh negatif terhadap konsumsi rumahtangga di
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI). Data yang
digunakan dalam analisis statistik regresi linier berganda adalah data time series
triwulanan. Adapun data yang digunakan adalah:
1. Data pengeluaran rumahtangga yang diperoleh dari data PDRB
penggunaan atas harga konstan tahun 2000 selama periode tahun 2000 –
2010.
2. Data pendapatan nasional yang diperoleh dari data PDB penggunaan atas
harga konstan tahun 2000 selama periode tahun 2000 – 2010. pendapatan
nasional diperoleh dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dikurangi
dengan pendapatan faktor produksi netto dari luar negeri, pajak tidak
langsung netto, dan penyusutan.
3. Data suku bunga tabungan selama periode tahun 2000 – 2010 yang
meliputi semua jenis bank.
4. Data laju inflasi yang diperoleh dari perubahan Indeks Harga Konsumen
(IHK) yang telah diolah dengan tahun dasar 2000 selama periode tahun
2000 – 2010.
3.2. Metode Analisis Data 3.2.1. Analisis Statistik Deskriptif
Analisis statistik diskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum
secara sederhana dinamika variabel ekonomi yang digunakan dalam analisis
regresi dari tahun 2000-2010 dan variabel nonekonomi lainnya. Beberapa variabel
ekonomi yang akan dijelaskan meliputi PDB, pengeluaran konsumsi
rumahtangga, pendapatan nasional, jumlah dan suku bunga tabungan, inflasi, dan
pertumbuhan investasi. Sedangkan variabel nonekonomi yang akan dijelaskan
meliputi penduduk, kemiskinan dan ketenagakerjaan. Semua variabel yang
dianalisis ditunjukan melalui bantuan tabel dan grafik untuk mempermudah
interpretasi dan gambaran baik kondisi ekonomi maupun nonekonomi Indonesia.
3.2.2. Analisis Regresi Linier Berganda
Regresi merupakan suatu metode yang digunakan untuk menganalisis
hubungan antara variabel tak bebas (dependent variable) dan variabel bebas
(independent variable). Model yang diperoleh disebut model regresi linear
berganda jika variabel bebas yang digunakan lebih dari satu. Dalam penelitian ini,
regresi linear berganda digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen. Model yang dihasilkan akan mampu menggambarkan
seberapa besar pengaruh masing-masing variabel independen melalui koefisien
parameternya.
Persamaan regresi linier berganda adalah :
Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + ... + βnXn + εt
Y = Variabel tidak bebas (dependen)
β0 = Konstanta (intercep)
β1,…, βn = Koefisien regresi
X1,…, Xn = Variabel bebas (independen)
εt = Error (kesalahan pengganggu) pada waktu t
Variabel-variabel yang digunakan dalam model regresi linier berganda
dari fungsi konsumsi rumahtangga pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Variabel tidak bebas
Variabel tidak bebas yang digunakan adalah nilai pengeluaran konsumsi
rumahtangga yang diperoleh dari PDB penggunaan selama tahun 2000 – 2010
dalam satuan triliun rupiah.
2) Variabel bebas
Ada lima variabel bebas yang dimasukkan dalam model fungsi konsumsi
rumahtangga. Pertama adalah nilai pendapatan nasional dihitung dalam
satuan triliun rupiah, kedua adalah tingkat suku bunga tabungan dalam satuan
persen, ketiga adalah tingkat inflasi dalam satuan persen, keempat adalah
pertumbuhan investasi dalam satuan persen, dan kelima adalah variabel
dummy kenaikan BBM.
Model analisis yang digunakan dalam penelitian untuk menguji
permasalahan terkait faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rumahtangga,
HC = β0 + β1NI + β2SIR + β3INF + β4INV + β5DUM + ε
Dimana:
HC = Pengeluaran konsumsi rumahtangga (triliun)
NI = Pendapatan nasional (triliun)
SIR = Suku bunga tabungan (persen)
INF = Laju inflasi (persen)
INV = Pertumbuhan investasi (persen)
DUM = Dummy kenaikan BBM(DUM=0, tidak ada
kenaikan BBM, DUM=1, ada kenaikan BBM)
β0 = Konstanta
β1, β2, β3, β4, β5 = Koefisien regresi masing-masing variabel
3.2.2.1. Asumsi Regresi Linier Berganda
Ada empat asumsi yang harus dipenuhi untuk membentuk sebuah model
persamaan regresi linier berganda, yaitu:
a. Asumsi Normalitas atau ~ (0,2)
N
i
Maksudnya adalah setiap sisaan (i, i=1,2,3,..,n) distribusikan secara normal
dengan rata-rata nol dan varians sama dengan 2.
b. Asumsi Autokorelasi
Autokorelasi mengandung arti ada korelasi atau hubungan yang berurutan
antara sisaan dari suatu observasi dengan sisaan observasi yang lain. Jika
autokorelasi. Misalkan i dan j menyatakan residual dari variabel sisaan i
dan j, maka:
cov(μi, μj | XiXj) = E[(μi–E(μi)|Xi)][(μj–E(μj)|Xj)]
cov(μi, μj | XiXj) = E[(μi|Xi).E(μj|Xj) = 0, untuk tiap i ≠ j
c. Asumsi Heteroskedastisitas
Secara teknis homoskedastisitas atau penyebaran sama adalah asumsi yang
menyatakan bahwa sisaan dari observasi memiliki varians yang sama.
var(μi | Xi) = E[μi –E(μi|Xi)]2= E(μi2)|Xi) = σ2. Maksudnya adalah varian dari
kesalahan pengganggu merupakan suatu konstanta positif yang sama dengan
σ2
. Jika var(μi | Xi) ≠ σ2 maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedastisitas
antar sisaan dalam model.
d. Asumsi Multikolinearitas
Artinya adalah tidak terdapat hubungan linier yang pasti antara
variabel-variabel bebas yang menjelaskan.
Metode kuadrat terkecil akan menghasilkan estimator yang mempunyai sifat
linier, tidak bias dan mempunyai varian yang minimum atau biasa disebut Best
Linier Unbiased Estimator (BLUE) jika memenuhi keempat asumsi tersebut.
3.2.2.2. Pemeriksaan dan Pengujian Asumsi Model
Pemeriksaan dan pengujian asumsi dilakukan untuk melihat ada atau
tidaknya pelanggaran terhadap keempat asumsi dalam model regresi linier
berganda dengan metode OLS. Tiga asumsi yang pertama, yakni kenormalan,
autokorelasi dan heteroskedastisitas berkaitan dengan sisaan dalam model,
tidak efisien dan tidak bersifat BLUE. Sedangkan asumsi multikolinieritas
berkaitan dengan hubungan yang kuat antarvariabel bebas. Jika asumsi
multikolinieritas tidak terpenuhi, estimator masih bersifat BLUE namun memiliki
varian dan kovarian yang besar sehingga sulit dipakai sebagai alat estimasi.
a. Uji Kenormalan
Pemeriksaan asumsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi dari
residual menyebar normal dengan rata-rata nol dan varian σ2. Salah satu metode
yang banyak digunakan untuk menguji normalitas adalah Jarque-Bera test. Uji
ini mengukur perbedaan skewness dan kurtosis data dan dibandingkan dengan
apabila datanya bersifat normal. Hipotesis yang digunakan adalah :
H0 : Error berdistribusi normal.
H1 : Error tidak berdistribusi normal.
Uji statistik ini dapat dihitung dengan rumus berikut :
2 3 2
4 1
6 S K
n JB
dimana:
n = jumlah sampel (degrees of freedom)
S = skewness
Jarque-Bera test mempunyai distribusi chi square (χ2) dengan derajat
bebas dua. Jika hasil Jarque-Bera test lebih besar dari nilai chi square pada α = 5
persen, maka tolak hipotesis nol yang berarti error tidak berdistribusi normal. Jika
hasil Jarque-Bera test lebih kecil dari nilai chi square pada α = 5 persen, maka
terima hipotesis nol yang berarti error berdistribusi normal.
b. Uji Autokorelasi
Autokorelasi menggambarkan terdapatnya hubungan antar
error. Adanya autokorelasi ini menyebabkan parameter yang akan diestimasi
menjadi tidak efisien. Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi menggunakan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis uji ini adalah :
H0 : Tidak ada masalah otokorelasi
H1 : Ada masalah otokorelasi
Jika nilai Obs* R-squared > nilai kritis maka H0 ditolak yang berarti
terdapat autokorelasi atau P-value < α maka H0 ditolak yang berarti terdapat
autokorelasi. Beberapa cara untuk mengatasi autokorelasi antara lain :
1. Menambahkan variabel Auto Regressive.
2. Menambahkan lag variabel independen atau lag variabel dependen.
3. Dengan melakukan differencing atau melalukan regresi nilai turunan.
c. Uji Heteroskedastisitas
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada
test dan White test. White test merupakan generalisasi dari
Breusch-Pagan-Godfrey test yang juga memasukkan nilai residual yang dikuadratkan, tetapi
mengeluarkan unsur-unsur yang memiliki order yang lebih tinggi.
Konsekuensinya White test digunakan untuk mendeteksi bentuk-bentuk yang
lebih umum dari heteroksedastisitas dibandingkan dengan Breusch-Pagan test.
Hal ini menyebabkan para peneliti lebih banyak menggunakan
Breusch-Pagan-Godfrey test untuk mendeteksi ada tidaknya masalah heteroskedatisitas.
Breusch-Pagan test merupakan lagrange multiplier test untuk
heteroskedastisitas. Metode ini merupakan perhitungan yang sederhana
menggunakan R square (R2) dari beberapa persamaan yang diregresikan.
Rumus Breusch-Pagan-Godfrey test dinyatakan sebagai berikut:
dimana:
h = unsur yang tidak diketahui, yaitu fungsi yang diturunkan secara
kontinu (tidak tergantung pada i) sehingga h(.) > 0 dan h(0) = 1.
s = varian
z = variabel yang memengaruhi distrubance terms variance.
Hipotesisnya adalah:
H
H
1 : Terdapat heteroskedastisitas
Rumus paling sederhana dari Breusch-Pagan-Godfrey test dapat
dihitung sebagai hasil kali antara jumlah observasi (N) dan R2. Secara
matematika dirumuskan sebagai berikut:
Breusch-Pagan test mempunyai distribusi chi square dengan derajat
bebas satu. Apabila chi square hitung lebih besar dari chi square tabel pada
α = 5 persen, maka tolak hipotesis nol yang berarti terjadi heteroskedastisitas.
Apabila chi square hitung lebih kecil dari chi square tabel pada α = 5
persen, maka terima hipotesis nol yang berarti tidak ada heteroskedastisitas.
d. Uji Multikolinieritas
Asumsi terakhir yang harus dipenuhi dalam melakukan analisis regresi
linier berganda adalah tidak adanya multikolinieritas atau hubungan linier diantara
variabel-variabel bebasnya. Ada beberapa metode untuk mendeteksi adanya
multokolinieritas dalam sebuah model. Cara yang pertama adalah dengan melihat
nilai R2 dari model serta korelasi (R) antarvariabel bebas. Jika terdapat korelasi
yang tinggi atar 2 variabel bebas (R>0,85) maka diindikasikan terjadi masalah
multikolinearitas dalam persamaan tersebut (Widarjono, 2009).
Multikolinearitas ini terbagi menjadi 2 yakni multikolinearity sempurna apabila r
= 1 dan multikolinearity tidak sempurna apabila r <1.
Cara yang kedua adalah dengan metode deteksi Klien, yakni dengan
koefisien determinasi dari model regresi aslinya. Rule of thumb dari metode
deteksi Klien adalah jika nilai koefisien determinasi dari regresi auxilary lebih
besar dari koefisien determinasi dari model regresi aslinya maka pada model
tersebut terjadi multikolinieritas. Sebaliknya, jika nilai koefisien determinasi dari
regresi auxilary lebih kecil dari koefisien determinasi dari model regresi aslinya
maka pada model tersebut tidak terjadi multikolinieritas.
Terdapat beberapa pilihan untuk mengatasi masalah multikolinieritas.
Pilihan pertama adalah membiarkan model tetap mengandung multikolinieritas
karena model tetap menghasilkan estimator yang BLUE. Multikolinieritas hanya
menyebabkan kesulitan dalam memperoleh estimator yang memiliki standard
error yang kecil. Pilihan kedua adalah dengan memperbaiki model (Gujarati,
1995). Pada pilihan kedua ini terdapat tiga cara yaitu menghilangkan variabel
bebas yang mempunyai hubungan linier yang kuat dengan variabel bebas lainnya,
melakukan transformasi variabel dan melakukan proses penambahan data .
3.2.2.3. Pengujian Parameter Model
Tahapan yang dilakukan setelah model fungsi produksi didapatkan adalah
dengan melakukan pengujian hipotesis secara statistik terhadap semua parameter
dalam model. Tujuannya adalah untuk menguji kelayakan model dan menguji
apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis.
Beberapa pengujian secara statistik yang dilakukan terhadap paremeter model
adalah uji koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi parsial (uji t) dan uji