• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERPILIHNYA ANGGOTA LEGISLATIF DARI PARTAI GERINDRA DI KABUPATEN ACEH TAMIANG PADA TAHUN 2019 TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERPILIHNYA ANGGOTA LEGISLATIF DARI PARTAI GERINDRA DI KABUPATEN ACEH TAMIANG PADA TAHUN 2019 TESIS."

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

M. LUTHFI HIDAYAT 197024009/SP

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi –Studi Pembangunan Pada

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

M. LUTHFI HIDAYAT 197024009/SP

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS:

Ketua : Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si Anggota : 1. Drs. Amir Purba, MA., Ph.D

2. Warjio, MA., Ph.D 3. Aidil Arifin, S.Sos., MA

(5)

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERPILIHNYA ANGGOTA LEGISLATIF DARI PARTAI GERINDRA DI KABUPATEN

ACEH TAMIANG PADA TAHUN 2019

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka.

Medan, 15 Juli 2021 Penulis,

M. Luthfi Hidayat NIM. 197024009

(6)

ABSTRAK

Kabupaten Aceh Tamiang merupakan salah satu Kabupaten melalui pemekaran pada tahun 2002 di Provinsi Aceh, Pada Pemilihan Legislatif tahun 2019 Partai Gerindra Kabupaten Aceh Tamiang berhasil mengalahkan Partai yang selalu menjadi partai pemenang di periode sebelum-sebelumnya yaitu Partai Aceh, partai yang berideologikan religius atau islam konservatif. Perolehan suara mayoritas yang diraih oleh Partai Gerakan Indonesia Raya dengan mendapatkan 6 kursi atau 20% dari total keseluruhan kursi DPRK Aceh Tamiang.

Penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap 5 (lima) orang informan dan Diskusi Kelompok Terfokus (DKT) terhadap 5 (lima) orang, para informan menjawab tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terpilihnya anggota legislatif di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2020.

Banyak kalangan beranggapan bahwa uang dan kepopuleran modal utama dalam memenangkan kontestasi Pileg. Tetapi dalam konteks Pileg Aceh Tamiang tahun 2019 silam tidak sepenuhnya demikian, banyak faktor lain yang menyebabkan terpilihnya anggota-anggota legislatif dari Partai Gerindra. Karena ada juga caleg dengan modal dana yang sedikit tetapi dapat terpilih, keterpilihan anggota-anggota legislatif dipengaruhi oleh partai politik, rekam jejak yang baik, kinerja tim sukses yang sangat massif, serta dukungan tokoh agama dan tokoh masyarakat.

Kata kunci: Faktor-faktor yang menyebabkan keterpilihan calon pada Pileg.

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan nikmat yang tiada terkira. Salah satu dari nikmat tersebut adalah keberhasilan penulis dalam menyelesaikan Tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, Penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Hendra Harahap, M.Si, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si., selaku Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si., selaku Sekretaris Program Studi Magister Studi Pembangunan dan Ketua Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini.

5. Bapak Drs. Amir Purba, MA., Ph.D, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini.

6. Bapak Warjio, MA., Ph.D, selaku Penguji atas pemberian saran dan kritik yang diberikan.

7. Bapak Aidil Arifin, S.Sos., MA, selaku Penguji atas pemberian saran dan kritik yang diberikan.

8. Seluruh Bapak/Ibu Dosen di Program Studi Magister Studi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis.

9. Teristimewa yang tak terhingga kepada kedua orang tua saya yang tercinta, Ibunda Rosmiati, S.Pd dan Ayahanda Suprianto, S.T saya sampaikan terimakasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya atas segala pengorbanan yang tiada terbalaskan di dalam membesarkan, menyekolahkan, serta memberi didikan yang sangat berharga sehingga saya dapat menyelesaikan perkuliahan.

(9)

Permohonan saya kepada Allah SWT melalui doa yang tulus kiranya Ibu dan Ayah saya diberikan kekuatan dan kesehatan serta kesabaran dalam menjalani kehidupan ini.

10. Tunangan saya drg. Arinda Sarah Ferina atas saran, doa, dan motivasi yang terus menerus diberikan.

11. Kedua kakak saya Dewi Rianiati, S.T dan Dian Yasmine, A.Md.Far. atas doa dan motivasi yang terus menerus diberikan.

12. Seluruh pegawai sekretariat Magister Studi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara, yang telah bekerja keras demi membantu kelancaran administrasi dari awal sampai akhir pendidikan Pasca Sarjana penulis.

13. Rekan-rekan seperjuangan Magister Studi Pembangunan 2019 atas segala masukan dan saran yang berguna untuk penulis.

Akhir kata dengan segala keridhaan hati, penulis berharap Tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan apabila dalam penulisan ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan, penulis mohon maaf sebesar-besarnya, semoga Allah SWT dapat membalas kebaikan Bapak/Ibu dan kita semua. Amin.

Wassalammu’alaikum. wr. wb.

Medan, 15 Juli 2021

M. Luthfi Hidayat

(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : M. Luthfi Hidayat

2. NIM : 197024009/SP

3. Tempat/Tanggal Lahir : Lhokseumawe, 22 Oktober 1995

4. Alamat : Jl. Darussalam Gg. Kuburan,

Lhokseumawe, Aceh

5. Pekerjaan : Wiraswasta

6. Pendidikan

• 2007 : SD Negeri 5 Banda Sakti

• 2010 : SMP Negeri 5 Lhokseumawe

• 2013 : SMK Negeri 1 Lhokseumawe

• 2017 : Jurusan Teknik Sipil UMSU

7. Riwayat Pekerjaan

• 2017 – Sekarang : Direktur Utama PT. Ataya Pratama Karya

• 2018 : Tim Pemenangan Partai Gerindra di Pemilihan Gubernur Jawa Barat

• 2018 – 2019 : Tim Pemenangan Partai Gerindra Kabupaten Aceh Tamiang

• 2019 – Sekarang : Direktur CV. Trust Tech 8. Pengalaman Organisasi

• 2017 – Sekarang : Gerindra Masa Depan

• 2017 – Sekarang : Partai Gerindra Kabupaten Aceh Tamiang

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ……….. ii

KATA PENGANTAR ………...……….. iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……… v

DAFTAR ISI ……… vi

DAFTAR TABEL ……… viii

DAFTAR GAMBAR ……… x

DAFTAR LAMPIRAN ……… xi

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Fokus Penelitian ……… 4

1.3 Tujuan Penelitian ………... 5

1.4 Manfaat Penelitian ……… 5

1.5 Tinjauan Pustaka ……… 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. 6

2.1 Demokrasi dan Pemilu ………... 6

2.2 Partai Politik di dalam Sejarah Indonesia ……….. 21

2.3 Otonomi Daerah dan Desentralisasi ……….. 26

2.4 Perilaku Memilih dan Partisipasi Politik ………... 32

2.4.1 Perilaku Memilih ………... 32

2.4.1.1 Pendekatan Sosiologis ………... 33

2.4.1.2 Pendekatan Psikologis ………...…… 35

2.4.2 Partisipasi Politik ……….. 38

2.5 Modalitas Dalam Kontestasi Politik ……….. 41

2.5.1 Modal Politik ………. 43

2.5.2 Modal Sosial ……….. 45

2.5.3 Modal Ekonomi ………. 49

2.6 Kerangka Berpikir ……….. 50

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………... 52

3.1 Jenis Penelitian ……….. 52

3.2 Lokasi Penelitian ……… 52

3.3 Informan Penelitian ……… 53

3.4 Metode Pengumpulan Data ……… 53

3.5 Teknik Analisa Data ……….. 54

(12)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 55

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………. 55

4.1.1 Sejarah Singkat Kabupaten Aceh Tamiang …….. 55

4.1.2 Profil Kabupaten Aceh Tamiang ……….. 57

4.1.3 Jumlah Kecamatan, Desa, Luas Wilayah, dan Aparatur Pemerintahan Daerah ..……….. 60

4.1.4 Jumlah dan Kepadatan Penduduk ……… 61

4.1.5 Kondisi Sosial Budaya ………. 63

4.1.6 Kondisi Sosial Ekonomi ………... 65

4.1.7 Pendidikan ……… 65

4.1.8 Kondisi Sosial Politik ………... 66

4.2 Deskripsi Informan ……… 70

4.3 Pemilihan Legislatif Kab. Aceh Tamiang Tahun 2019 …. 73 4.3.1 Calon Anggota Legislatif dari Partai Gerindra Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2019 …………. 73

4.3.2 Hasil Penelitian Faktor-Faktor Terpilihnya Anggota Legislatif ………. 75

4.3.3 Modal Politik ………. 76

4.3.3.1 Dukungan Partai Politik ……… 76

4.3.3.2 Kinerja Tim Sukses ………... 77

4.3.3.3 Kampanye ……….. 78

4.3.4 Modal Sosial ……….. 80

4.3.4.1 Rekam Jejak ………... 80

4.3.4.2 Peranan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat …. 81 4.3.4.3 Dukungan Media Massa dan Pers ……….. 82

4.3.4.4 Primordial……… 82

4.3.5 Modal Ekonomi………... 83

4.3.6 Keterkaitan Antar Faktor………. 84

4.4 Analisis ………...…. 85

BAB V PENUTUP……….. 94

5.1 Kesimpulan ……….. 94

5.2 Saran ……… 96

DAFTAR PUSTAKA ……….. 97

LAMPIRAN ………...……….. 101

(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

Tabel 4.1. Nama Bupati Kabupaten Aceh Tamiang dan Masa Bhakti …….. 58

Tabel 4.2 Nama Ketua DPRK Aceh Tamiang dan Masa Bhakti ……… 58

Tabel 4.3 Ibukota Kecamatan, Luas Wilayah, dan Jumlah Desa ………….. 60

Tabel 4.4 Luas Wilayah Rumah Tangga, Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan ………. 61

Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin …….. 62

Tabel 4.6 Jumlah Agama yang Dianut Penduduk Menurut Kecamatan …… 63

Tabel 4.7 Daftar Perolehan Suara Sah Pasangan Calon Pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2006 di Kabupaten Aceh Tamiang ……… 66

Tabel 4.8 Daftar Perolehan Suara Sah Pasangan Calon Pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2012 di Kabupaten Aceh Tamiang ……… 67

Tabel 4.9 Daftar Perolehan Suara Sah Pasangan Calon Pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2017 di Kabupaten Aceh Tamiang ……… 67

Tabel 4.10 Daftar Perolehan Suara Sah Partai Politik Yang Memperoleh Kursi Pada Pemilihan Umum Tahun 2009 di Kab. Aceh Tamiang …… 68

Tabel 4.11 Daftar Perolehan Suara Sah Partai Politik Yang Memperoleh Kursi Pada Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kab. Aceh Tamiang …… 69

Tabel 4.12 Daftar Perolehan Suara Sah Partai Politik Yang Memperoleh Kursi Pada Pemilihan Umum Tahun 2019 di Kab. Aceh Tamiang …… 70

Tabel 4.13 Deskripsi Informan Berdasarkan Kategori ……… 71

Tabel 4.14 Deskripsi Informan Berdasarkan Jenis Kelamin ……… 71

Tabel 4.15 Deskripsi Informan Berdasarkan Penghasilan ……… 72

Tabel 4.16 Deskripsi Informan Berdasarkan Pendidikan……….. 72

Tabel 4.17 Deskripsi Informan Berdasarkan Agama ….……….. 72

(14)

Tabel 4.18 Deskripsi Informan Berdasarkan Umur …...……….. 73 Tabel 4.19 Deskripsi Informan Berdasarkan Etnis .…...……….. 73 Tabel 4.20 Daftar Nama Calon dan Nomor Urut Anggota Legislatif dari

Partai Gerindra ……… 74 Tabel 4.21 Alasan Informan Ikut Memilih Dalam Pileg Tahun 2019 ……….. 75

(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian ……….. 51

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Naskah Wawancara ………... 101 2. Data Informan dan Dokumentasi Kegiatan Wawancara ………... 104

(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

Pembangunan adalah suatu proses untuk memajukan taraf hidup masyarakat dan warganya. Pembangunan bukan hanya semata-mata dalam bentuk fisik. Proses peningkatan demokrasi (demokratisasi) juga merupakan suatu proses pembangunan. Dalam proses demokratisasi tersebut, diharapkan meningkatnya kesadaran politik rakyat dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara.

Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Adapun, secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “kratos atau kratein” yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Demokrasi dapat diartikan rakyat berkuasa atau

“government or rule by the people” (pemerintahan oleh rakyat). Dengan kata lain, demokrasi berarti pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber dan Jurdil).

Menurut Abraham Lincoln, “Demokrasi adalah suatu pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

Dapat disimpulkan bahwa pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam suatu sistem demokrasi yaitu ada di kuasa rakyat dan rakyat memiliki hak, kesempatan dan suara yang sama untuk mengontrol dan mengatur kebijakan pemerintah melalui keputusan yang terbanyak, salah satu wujud dari demokrasi adalah Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2017, pasal 1 ayat 1 yang berbunyi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

(18)

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sejauh ini prinsip dan nilai demokratis di atas belum menampakan perkembangan maksimal. Padahal prinsip tersebut merupakan unsur mendasar bagi proses perubahan kehidupan politik lokal yang lebih baik. Ketimpangan tersebut tidak lepas dari tradisi dan budaya politik yang diartikulasikan oleh elit struktural, khususnya anggota legislatif daerah.

Di satu sisi era demokratisasi dewasa ini sangat membanggakan hati namun disisi lain masyarakat banyak terjebak kepada ketidaktahuan esensi demokrasi itu sendiri. Bagi masyarakat, sekarang demokrasi dijadikan sebuah tujuan, padahal menurut pikiran umum demokrasi hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan.

Pemahaman masyarakat yang demikian itulah yang menyebabkan pemilu dijadikan obyek untuk mengeruk keuntungan materil bagi masyarakat. Kecenderungan ini sekarang sudah menjadi budaya demokrasi di tengah-tengah masyarakat kita.

Bergesernya nilai-nilai demokrasi di tengah masyarakat karena pelaksanaan pilkada banyak diwarnai praktek-praktek perusakan sendi-sendi demokrasi misalnya jurus politik uang.

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan berdemokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi dan partisipasi adalah orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan memengaruhi kehidupan warga masyarakat, maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau memengaruhi hidupnya.

Sebuah kegiatan pemasaran politik sedapat mungkin diawali dengan kegiatan pembentukan tim kerja yang biasa disebut “Tim Sukses”. Tim sukses direkrut dari tenaga-tenaga potensial sesuai tugas dan fungsinya. Sebuah tim suksess biasanya terdiri dari : Penasihat, Tim Ahli, Tim Riset, Tim Pengumpul Dana, Tim Kampanye, Tim Penggalangan Massa, Tim Pengamat, Tim Pengaman dan Tim Pengumpul Suara.

(19)

Kampanye adalah sebuah tindakan dan usaha yang bertujuan mendapatkan pencapaian dukungan, usaha kampanye dilakukan guna mempengaruhi masayarakat untuk memberikan dukungannya terhadap partai politik dan calon legislatif. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh dalam perencanaan komunikasi untuk kampanye, yakni : Analisis khalayak dan kebutuhannya, Penetapan sasaran atau tujuan komunikasi, Rancangan strategi yang mencakup:

komunikator, saluran atau media, pesan dan penerima, Penetapan tujuan pengelolaan serta Implementasi perencanaan yang mencakup besarnya dana, sumber dana dan waktu.

Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisasi yang anggota- anggotanya mempunyai orientasi, nila-nilai, dan cita-cita yang sama (Budiardjo, 2002 :161). Pengertian partai politik menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 2011, Pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan programnya (Miriam Budiarjo, 2008: 404). Adapun fungsi partai politik di Negara demokrasi adalah sebagai berikut (Miriam Budiarjo, 2008: 405) : Partai sebagai sarana komunikasi politik, Partai sebagai sarana sosialisasi politik, Sebagai sarana rekrutmen politik, Sebagai sarana pengatur konflik.

Dalam sejarah kontestasi Pemilihan Legislatif di Aceh sejak Partai Gerakan Indonesia Raya atau Partai Gerindra yang berdiri dan diketuai oleh Prabowo Subianto pada tanggal 6 Februari 2008 dengan berjati dirikan Kebangsaan, Kerakyatan, Religius, dan Keadilan Sosial dan berazaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, tidak pernah kader Partai Gerindra Aceh memenangkan kursi di DPR RI. Bahkan di tingkat lokal Aceh, Gerindra sama sekali belum mendapatkan tempat dihati masyarakat Aceh.

(20)

Namun kondisi dan dinamika politik berubah paska afiliasi politik antara Partai Aceh dan Partai Gerindra Aceh, Partai Gerindra berhasil mendapatkan kursi untuk DPR RI di dua dapil Aceh yang tersedia dan beberapa kursi di DPR Aceh dan DPRK seluruh Aceh. Keuntungan itulah yang yang didapatkan Partai Gerindra hasil afiliasi dengan Partai Aceh. Munculnya nama Ketua Umum Partai Aceh, Muzakir Manaf sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Aceh pada tahun 2014 mempertegas bentuk koalisi antara Partai Aceh dan Partai Gerindra pada Pemilu 2014 hingga saat ini.

Di bawah kepemimpinan Suprianto, ST Partai Gerindra Kabupaten Aceh Tamiang berhasil mengalahkan Partai yang selalu menjadi partai pemenang di periode sebelum-sebelumnya yaitu Partai Aceh, partai yang berideologikan religius atau islam konservatif dengan memperoleh 4 kursi di periode 2019 – 2024 atau hanya 13% dari keseluruhan kursi DPRK, menurun dari periode sebelumnya yaitu pada periode 2014 – 2019 dengan memperoleh 6 kursi.

Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tamiang memiliki 30 orang anggota yang tersebar di 10 partai politik, dengan perolehan suara mayoritas yang diraih oleh Partai Gerakan Indonesia Raya dengan mendapatkan 6 kursi atau 20%

dari total keseluruhan kursi DPRK Aceh Tamiang.

Dewan Perwakilan Aceh Tamiang berkomposisikan oleh tiga partai pemenang yang menduduki kursi Pimpinan yaitu Partai Gerindra mendapatkan Kursi Ketua DPRK, Partai Aceh mendapatkan Kursi Wakil Ketua I, dan Partai Demokrat yang memperoleh kursi Ketua II, dan disusul dengan partai-partai lain seperti Partai Keadilan Sosial dengan perolehan 3 kursi dan urutan terbawah adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan ideologi Nasionalismenya dan Partai PBB yang berideologi Islamisme dengan perolehan masing-masing 1 kursi.

1.2.Fokus Penelitian

Sekaitan dengan pesta demokrasi di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh tersebut, maka dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah:

Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terpilihnya Anggota Legislatif dari Partai Gerindra di Kabupaten Aceh Tamiang pada tahun 2019?

(21)

1.3.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan keterpilihan Anggota Legislatif dari Partai Gerindra di Kabupaten Aceh Tamiang pada tahun 2019.

1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat Ilmiah

Meningkatkan pemahaman tentang mekanisme pelaksanaan Pemilu secara demokratis serta pemahaman tentang manfaat dilaksanakannya Pileg dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya di tingkat lokal.

2. Manfaat Praktis

Mengetahui strategi atau upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk memenangkan kompetisi dalam Pileg.

1.5.Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang Pemilihan Legislatif, penulis melakukan tinjauan pustaka, baik berupa buku, jurnal, hasil penelitian/riset, undang-undang dan peraturan, makalah, klipping koran/majalah, maupun bahan lain yang relevan. Sebagian bahan pustaka tersebut diperoleh dalam bentuk fisik (hard copy) dan sebagian lagi diunduh dari internet (soft copy).

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demokrasi dan Pemilu

Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, atau disebut juga pemerintahan rakyat, Demokrasi juga dapat diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

Istilah Democratia sudah ada sejak jaman Yunani, yang secara prinsip adalah Demos dan Kratos, demos adalah pemerintahan dan kratos adalah oleh rakyat. Yang dikemudian hari sistem ini menjadi sebuah hal yang baku sebagai prinsip bernegara, selain itu terminologi demokrasi juga membuka perdebatan besar dalam berbagai mazhab ideologi.

Akan tetapi kita meletakan terminologi pada makna awalnya, Demokrasi adalah sebuah antitesis dari sistem Monarkhi, di mana dalam sistem kerajaan pemerintah berjalan sangat feodalistik sehingga rakyat di posisikan sebagai pengabdi raja. Pemikiran demokrasi lahir untuk melawan itu, maka dari itu kratos disini dimaksudkan untuk rakyat terdindas (kebanyakan). Karena selama sistem monarkhi berjalan, rakyat (marginal) hanya di minta upeti (pajak) tanpa menikmati hasilnya. Mac Iver menuliskan masa transisi menuju demokrasi penuh, adalah ketika raja difungsikan sebagai simbol keyakinan (Homerus) dan para bangsawan mengambil alih kekuasaan politik. Lantas jabatan sipil menjadi hal yang diperebutkan oleh bangsawan dan warga kota jelata dan pertarungan ini menghasilkan sebuah lembaga baru, dimana sudah terjadi suatu kompromi (Mac Iver, 1984: 72).

Seperti halnya perjalanan Indonesia, masa rakyat Indonesia berjuang untuk meraih kemerdekaan di masa kolonialisme Belanda. Sampai terciptalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di Proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Itu adalah sebuah momentum sejarah yang melekat pada negara dalam melangkah menuju masa depan yang lebih baik. Kemerdekaan adalah sebuah antitesis dari penindasan kolonialisme dan Indonesia sebagai sebuah negara hadir bukan semata-

(23)

mata perjuangan fisik namun ada sebuah semangat persatuan yang dilatar belakangi multi agama, etnis, dan keberagaman ide.

Hal itu tercermin ketika terjadi perdebatan kembali dasar negara yang menjadi dua ekstrim, negara berlandaskan Islam dan Pancasila. Ini adalah sebuah perdebatan panjang soal ide-ide yang harus dimanifestasikan dalam dasar negara.

Namun hasil konsesi sepakat bahwa Indonesia berlandaskan Pancasila, dalam hal ini saya ingin menunjukan bahwa dibalik semangat persatuan yang multikultural juga terjadi perdebatan sengit antar ide-ide besar.

Sebuah fakta historis bahwa prinsip universal demokrasi di terjemahkan dalam bentuk musyawarah yang menghasilkan mufakat bersama. Bung Karno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Kita mengenal istilah bapak pendiri bangsa (founding fathers) yang merintis perjuangan sampai pada gerbang kemerdekaan, yang di kemudian hari mereka menjadi aktor dari negara. Soekarno, Hatta, Sjahrir, bahkan Tan Malaka adalah seseorang yang perlu didedikasikan dalam perjalanan sebuah bangsa.

Dalam pandangan saya bukan semata sosok yang diberikan penghargaan tinggi oleh bangsa, namun ada ide besar yang tetap harus diberikan ruang penghargaan oleh para penerus bangsa dan negara. Terkadang kita lupa bahwa mereka adalah orang yang memiliki pandangan revolusioner atau biasa kita menyebut kaum kiri. Rasanya ini seperti sebuah paradoks demokrasi Indonesia, dimana sebuah pemikiran di kubur hidup-hidup dan di deskritkan dengan istilah subversif. Ini adalah sebuah fakta yang kita temukan dalam kehidupan demokrasi hari ini.

Perjalanan demokrasi memang perlu ditanamkan di dalam diri masyarakat, karena hampir semua masyarakat dan elitnya sepakat bahwa pola demokrasi harus dipertahankan dalam menjalankan perpolitikan di Indonesia, tidak terkecuali Aceh, kekuatan ini harus terus dikembangkan, karena pola Autoritarian yang dikembangkan dimasa Orde baru hampir semua masyarakat menklaim bahwa pola perpolitikan dimasa tersebut dinyatakan gagal dalam menjalankan pola ruang publik dalam berkreasi, jadi untuk itu perlu semangat positif yang diarahkan dalam menjawab tantangan pasca reformasi. Meskipun Aceh memiliki historis yang

(24)

panjang terhadap konflik, tetapi tidak membuat semangat demokrasi harus pudar tetapi semangat tersebut terus dikembangkan untuk menuju yang lebih baik.

Pemilihan umum yang dilaksanakan di Aceh selama ini lebih dikenal dengan electoral threshold (ET). Sistem pada kebiasaan digunakan sebagai batas perolehan suara partai-partai politik untuk mendapatkan suara yang lebih banyak dan maksimal sebagaimana yang diharapkan dalam Pemilu. Sementara mekanisme yang telah diterapkan ini dalam UU No. 2 Tahun. 2008 tentang Partai Politik.

Parlementary threshold adalah penetapan para calon legislatif (caleg) terpilih untuk duduk diparlemen dengan memperhatikan keefektifan dalam menyederhanakan nomor politik dan untuk megurangi perpecahan diparlemen.

Sementara upaya untuk menerapkan sistem parlemetary threshold di Negara Indonesia bukan suatu sistem yang mudah mungkin dibutuhkan banyak waktu untuk menerapakan sistem tersebut karena sudah pasti salah satunya mesti bertentangan dengan partai-partai politik yang kecil dikarenakan menurut partai politik yang kecil bahwa pasti yang lebih besar mesti mendapatkan suara terbesar ketika dilaksanakan Pemilu kedepan. Sementara bila dilihat dari mekanisme sistem tersebut adalah sangat efektif dan realitas, guna menempatkan wakil-wakil partai politik di parlemen yang berdasarkan minimal perolehan kursi melaui aturan main.

Tentunya mekanisme yang demikian akan berimplikasi positif terhadap kemampuan anggota partai parlemen yang telah dipilih untuk menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat yang memadai dan maksimal. Implikasi dari penerapan sistem ET terhadap pemilu 2014 sangat berpengaruh pada suara yang didapati oleh setiap parpol maupun parlok untuk dapat menduduki parlemen.

Menurut Urbaningrum, ET sendiri Memiliki dua jenis yang berbeda. Yakni, threshold untuk bias ikut pemilu Berikutnya (electoral threshold), dan threshold untuk bisa masuk di parlemen (parlementary threshold). Sedangkan secara lebih spesifik. Erawan mendefenisikan, parlementary threshold adalah hak partai politik di Parlemen yang diukur dari banyaknya jumlah kursi yang diperoleh.

Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki peraturan khusus atau asimetrik terutama dalam penyelenggaraan Pemilu. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya aturan tidak seimbang atau asimetrik. Pertama, adanya konsensus historis yang dituangkan dalam konstitusi sehingga menciptakan

(25)

daerah-daerah khusus dan istimewa, termasuk hak khusus bagi elit tertentu dalam aspek politik.

Banyak hal yang membedakan antara pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Aceh dengan Pemilu dan Pilkada daerah lain pada umumnya di Indonesia sebagai akibat dari lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ini. Salah satunya yang paling mencolok dan dominan yaitu terkait dengan persoalan rekrutmen Penyelenggara Pemilu. Pada Pasal 23 Ayat (1) huruf l dan pasal 24 Ayat (1) huruf i yang menyatakan bahwa penyelenggara pemilu di Aceh di usulkan oleh anggota legislatif. Pasal lainnya yang menyangkut dengan persoalan rekrutmen penyelenggara pemilu terdapat pada pasal 56 Ayat (4) dan (5) yang menyatakan bahwa, “Anggota KIP Aceh diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan ditetapkan oleh KPU dan diresmikan oleh Gubernur.

Anggota KIP Kabupaten/Kota diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota (DPRK) ditetapkan oleh KPU dan diresmikan oleh bupati/walikota.” Ditambah lagi pasal 56 Ayat (6) yang menyatakan, “Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan (5), DPRA/DPRK membentuk tim independen yang bersifat ad hoc untuk melakukan penjaringan dan penyaringan calon anggota KIP.”

Sementara di daerah lain di Indonesia, Penyelenggara Pemilu di pilih melalui berbagai tahapan seleksi oleh tim seleksi independen yang dibentuk sendiri oleh KPU dan tidak ada hubungannya dengan legislatif. Pasal-pasal dalam Undang- Undang tersebut kemudian diperkuat dengan adanya Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum di Aceh yang hingga kini telah mengalami beberapa kali perubahan sampai pada Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum di Aceh. Berdasarkan Qanun tersebut legislatif (yang diwakili oleh Komisi A DPRA/DPRK) membentuk tim independen yang meliputi unsur akademisi, tokoh masyarakat dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% serta mempunyai hak dalam pembentukan partai politik lokal, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Partai Politik Lokal (Parlok).

(26)

Salah satu cermin negara demokrasi adalah pemerintah yang menjalankan sistem Pemilu dengan baik. Setiap pemerintahan yang mengaku demokratis hendaknya mampu menyelenggarakan Pemilu secara demokratis pula karena Pemilu demokratis merupakan pilar penting dalam sistem demokrasi modern.

Dikebanyakan negara demokrasi, Pemilu dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari demokrasi. Hasil Pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. Dengan adanya Pemilu diharapkan dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang mampu mengerti mengenai aspirasi dari rakyat terutama dalam proses perumusan kebijakan publik dengan adanya sistem pergiliran kekuasaan.

Sebagai elemen kunci pelaksanaan demokrasi, tentu saja Pemilu harus diselenggarakan secara demokratis pula. Pemilu harus mencerminkan prinsip dan nilai demokrasi, serta dapat menjadi jalan bagi pelaksanaan demokrasi itu sendiri.

Sifat demokratis Pemilu diperlukan untuk menjaga bahwa Pemilu sebagai suatu mekanisme demokrasi dapat mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Melalui Pemilu, rakyat tidak hanya memilih orang yang akan menjadi wakilnya dalam menyelenggarakan negara, tetapi juga memilih program yang dikendaki sebagai kebijakan negara pada pemerintahan selanjutnya.

Situasi yang konfliktual masih mewarnai pesta demokrasi di Provinsi Aceh.

Sebagai daerah pasca konflik, potensi kekerasan politik masih terus muncul terutama menjelang diadakannya pemilihan umum (Pemilu) baik pemilu legislatif maupun pilkada. Berbagai laporan pemantauan pemilu dari tahun ketahun menunjukkan bahwa Provinsi Aceh selalu mengalami berbagai kasus pelanggaran pemilu. Kasus-kasus ini pada akhirnya berimplikasi terhadap konflik pemilu dan mengganggu stabilitas keamanan. Pada dasarnya, baik pemilu legislatif maupun pilkada menyimpan potensi konflik yang hampir sama. Keduanya saling berhubungan dalam konteks relasi elit-elit politik yang bertarung.

Kemunculan wacana kritis pada awal dekade 1900’an oleh para kaum intelektual yang terdidik dalam perspektif berfikir barat, adalah sebuah cikal bakal dari resistensi terhadap praktek-praktek kolonialisme di Hindia-Belanda. Gagasan ini tidak lahir serta-merta tanpa proses “intelektualisasi” yang cukup panjang. Frank

(27)

Dhont seorang sejarawan yang menulis soal Nasionalisme era ’20-an mencatat, bahwa gagasan baru soal “Nasionalisme” mulai dilahirkan oleh para intelektual muda yang belajar di dalam negeri (Hindia-Belanda) maupun di luar negri (Belanda) melalui study club sebagai alat perjuangan. Selain itu kelompok- kelompok ini lahir juga dipengaruhi oleh iklim politik internasional yang sedang berkecamuk dan gagasan-gagasan politik barat yang revolusioner dimana empat orang tokoh yang saya sebut terlibat aktif dalam pembangunan wacana-wacana politik kebangsaan (Nasionalisme). Dalam rangakaian ini kita akan semakin kuat untuk berangkat dari pijakan barat dimana pada masa itu gagasan barat cukup mendominasi dalam perdiskusian kaum intelektual. Hal ini akan semakin diperkuat bahwa para tokoh bangsa kita juga cukup terinspirasi oleh sosok seperti; Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Edward Bernstain bahkan August Bebel dimana sosok ini dianggap pemikir yang visioner pasca PD-I. Dengan pernyataan ini, kita akan coba meneropong kembali perdebatan Marxisme Eropa yang secara sadar maupun tidak pendiri bangsa kita cukup terpengaruhi oleh gagasan itu. Seperti kita tahu Rosa adalah seorang yang cukup keras mengorganisir buruh pabrik lantas, Kausky dan Bernstain adalah seorang ideolog partai yang mampu melihat peluang kemenangan pada masanya. Masing-masing dari mereka memiliki preferensi acuan dari pemikiran barat untuk menguliti bentuk krisis yang sedang berlangsung. Jadi, kita juga bisa mengakui pergolakan politik saat itu cukup terinspirasi dengan yang terjadi di Eropa.

Semakin mengakarnya ide perjuangan di tengah-tengah kehidupan massa rakyat adalah sebuah bentuk penerimaan sekaligus artikulasi terhadap gagasan barat yang dipertemukan dengan nilai-nilai lokal (local wisedom). Momentum ini adalah titik awal menjamurnya Gerakan kemerdekaan secara masif, yang dapat dijelaskan oleh seorang antropolog seperti Ben Anderson mencoba mendifinisikan sebuah bangsa. Bangsa (nation) adalah sebuah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas terbatas secara inheren sekaligus bekedaulatan. Bangsa adalah sebuah yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak tahu dan tidak kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin pula tidak pernah mendengar tentang mereka. Namun toh dibenak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu

(28)

hidup sebuah bayangan kebersamaan tentang mereka (Ben, 2002: 8). Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikat nya bersifat terbatas karena bahkan bangsa-bangsa paling besar pun, yang anggotanya mungkin semilyar manusia, memiliki garis-garis perbatasan yang pasti meski elastis. Di luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Tak satu bangsa pun membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Para nasionalis yang paling mendekati sikap ’juru selamat’ pun tidak mendambakan datangnya hari agung dimana seluruh anggota spesies manusia bakal bergabung dengan bangsa mereka dengan cara seperti, pada zaman-zaman tertentu, orang-orang kristen memimpikan seutuhnya planet yang Kristen.

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang berdaulat (sovereign) lantaran konsep itu lahir dalam kurun waktu Pencerahan dan Revolusi emporak-porandakan keabsahan ranah dinasti (absolute) berjenjang berkat pentahbisan oleh Tuhan sendiri. Konsep itu beranjak matang dimasa para pengikut paling setia pun dari agama universal mana pun tak ayal lagi dihadang kemajemukan agama-agama universal yang hidup, dan harus menghadapi alomorfisme antara masing-masing kalim keimanan ontologis serta bentang kewilayahannya yang terbatas; maka dari itu bangsa-bangsa bermimpi tentang kebebasan, dan andai pun dibawah lindungan Tuhan, secara langsung tanpa perantara. Panji-panji kebebasan ini adalah negara berdaulat. Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar.

Pada akhirnya, selama dua abad terakhir rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahya, bersedia jangankan melenyapkan yawa orang lain, merenggut nyawa sendiri pun rela demi pembayangan yang terbatas itu. Kematian-kematian itu menyeret kita ke hadapan problema pokok yang dibawa nasionalisme: apa yang menjadikan pembayangan- pembayangan yang kian menciut kedalam kerangka sejarah terkini (tidak lebih dari dua abad saja) bisa mengugah pengorbanan kolosal seperti itu? Ben percaya bahwa jawabannya terletak di akar-akar budaya nasionalisme (Ben, 2002: 10-11) . Pandangan bebrapa ahli dalam melihat negara dan menjelelaskan proses terjadinya,

(29)

ini menjadi pijakan teoritis dalam menjelaskan negara. ketika negara hadir menjadi sebuah pemerintahan yang legitim, sesungguhnya ruh (cita-cita) dari negara itu adalah berusaha membangun demokrasi dalam kehidupan politiknya.

Konstitusi dasar negara UUD’ 45 adalah sebuah penterjemahan dari falsafah negara (weltanschauungen), di mana ini lahir berdasarkan dari sebuah konsensus dan penggalian dari nilai-nilai di Indonesia. Bicara Indonesia dalam konteks negara tidak bisa dilepaskan dengan bentuk konstitusinya. Maka menjadi penting kembali meletakan negara dalam formasi konstitusinya ketika terjadi sebuah perdebatan panjang. Sebgai penerus bangsa terkadang kita mampu memperdebatkan persoalan politik jauh kedepan, namun terkadang kita lupa akar dari negara ini yaitu kontitusi. Ini adalaha sebuah tematik kontemporer, yang atinya perdebatan itu masih terbuka sampai sekarang. Yang saya maksud dalam hal ini bukan saja peerdebatan yang berakhir dalam sebuah amandemen (perubahan konstitusi) tetapi juga kembali mengintepretasikan baik pasal per pasal. Penting bagi kelanjutan demokrasi di Indonesia, untuk meletakan konstitusi sebagai supremasi sipil. Meskipun dalam perjalan Indonesia sebagai sebuah negara, terkadang ada upaya memanipulasi kontitusi demi kepentingan sebuah rezim.

Konstitusi adalah wujud dari kompromi dan kesepakatan pikiran besar anak bangsa sekaligus harapan sebuah bangsa dalam menjalankan proses bernegara.

Adalah sebuah cita-cita besar ketika negara ini lahir yang secara estafet diturunkan oleh bapak pendiri bangsa (founding fathers) kita, kepada para penerus bangsa.

Persoalan dalam perjalan sebuah bangsa konstitusi itu sendiri mengalami pasang surut itu adalah dinamika politik yang dilatar belakangi oleh kepentingan internal dan eksternal itu bersifat natural. Namun kita sebagai penerus bangsa juga penting untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan dimasa lalu. Lalu menjadi penting melihat sebuah penyelengaraan negara hari ini dalam sudut pandang konstitusi, bagaimana negara seharusnya menjalankan pemerintahan sesuai dengan kontitusi sebagai dasar negara disatu sisi. Disisi lain terjadi sebuah paradox terhadap kontitusi dalam menjalankan pemerintahan, sehingga pemerintah menjalankan berdasarkan kekuasaaan belaka (Machtsstaat).

Salah satu defenisi demokrasi yang paling umum, bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan

(30)

dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dari batasan ini, tampak beberapa unsur penting ciri demokrasi, di antaranya adanya unsur kekuasaan yang dilaksanakan secara langsung atau melalui perwakilan, kedaulan di tangan rakyat, sistem pemilihan yang bebas. Prinsip kedaulatan rakyat dan kebebasan sangat penting dalam konsepsi tersebut di atas. Selain prinsip-prinsip maka demokrasi juga mengandung unsur seperangkat praktek dan prosedur dari sebuah proses pelembagaan kebebasan yang panjang dan berliku.

Dari prakteknya, maka demokrasi dapat dibedakan atas dua bentuk:

langsung dan tidak langsung (sering disebut ‘demokrasi perwakilan’). Demokrasi langsung adalah sistem demokrasi yang semua warga biasanya aktif terlibat di dalam pembuatan keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh negara; mereka tidak mewakilkan pandangan, pikiran, atau kepentingan mereka pada orang lain yang mengatasnamakan mereka. Demokrasi langsung adalah yang lebih tua atau lebih dikenal sebagai demokrasi masa Yunani kuno atau demokrasi Athena. Demokrasi model ini biasanya dilaksanakan dalam sebuah negara yang kecil dan dengan penduduk yang jumlahnya kecil.

Sedangkan demokrasi tidak langsung bersifat lebih umum dan diberlakukan oleh banyak negara modern saat ini. Jumlah penduduk yang besar dan wilayah negara yang sangat luas menyebabkan lebih dipilihnya model demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan ini. Dalam model ini warga akan memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat yang akan membuat keputusan atau kebijakan politik, merumuskan undang-undang dan menjalankan program untuk kepentingan umum atas nama mereka. Warga mewakilkan kepentingan, aspirasi, pikiran, atau pandangan mereka pada para anggota dewan, pemimpin atau pejabat yang mereka pilih melalui Pemilu. Dengan demikian kewenangan yang dimiliki oleh penguasa atau pemerintah baik untuk membuat keputusan atau kebijakan pemerintah dan untuk melaksanakannya diperoleh berdasarkan persetujuan warganya yang diberikan melalui Pemilu.

Pemilu merupakan mekanisme memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat yang akan mengatasnamakan rakyat dalam melaksanakan tugas-tugas mereka.

Dengan kata lain ketika warga memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat untuk

(31)

mewakili mereka di dalam Pemilu maka warga sekaligus memberikan mandat pada para wakil dan pejabat tersebut untuk dan atas nama rakyat, membuat dan mengambil keputusan atau kebijakan dan melaksanakan program untuk kepentingan mereka. Untuk memperoleh wakil atau pejabat yang mengatasnamakan rakyat maka pemilihan harus demokratis.

Untuk Indonesia, sejak masa pergolakan politik dalam rangka pencapaian kemerdekaan, para pendiri negara memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menentukan pemikiran politik yang melandasi praktek-praktek kenegaraan dan demokrasi. Secara historis, pelaksanaan (orde) demokrasi di Indonesia telah melampaui 4 (empat) masa dan bentuk, yaitu: demokrasi liberal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1966), demokrasi Pancasila (1966-1997), dan demokrasi pasca orde baru (1998-sekarang).

Konsep demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan sudah lama dikenal, yang diperkirakan pertama kali diterapkan di Yunani kuno, sekitar 2500 tahun lalu.

Bisa dipahami, betapa demokrasi menjadi pokok pembahasan yang tidak lekang sepanjang zaman, hingga sekarang. Oleh karena itu, sebagaimana dilihat dari berbagai literatur, pendefenisian secara beragam mengenai demokrasi oleh para ahli dan demikian juga pilihan defenisi oleh negara-negara tertentu, menjadi tidak terelakkan.

Pengertian itu bisa saja bertolak belakang atau bertabrakan, meski tidak jarang juga ditemukan defenisi yang bisa ditarik “benang merahnya”. Sebagai contoh perbedaan ini bisa diamati dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia—sejak merdeka hingga sekarang—yang mengenal nama “Demokrasi Terpimpin”,

“Demokrasi Pancasila”. Hingga kini, masih menjadi perdebatan yang tiada akhir tentang demokrasi. Ini artinya, demokrasi sebagai konsep masih layak dijelajahi dan dicari bentuk idealnya. Huntington, misalnya, mencatat bahwa pada pertengahan abad ke 20, dalam perdebatan mengenai arti demokrasi muncul tiga pendekatan umum. Sebagai suatu bentuk pemerintahan, demokrasi telah didefenisikan berdasarkan sumber kewenangan bagi pemerintah, tujuan yang dilayani oleh pemerintah, dan prosedur untuk membentuk pemerintahan (Huntington, 1995: 4).

(32)

Tidak ada definisi tunggal tentang apa itu demokrasi. Namun beberapa definisi demokrasi berikut ini bisa membantu kita ketika membicarakan Pilkada sebagai sebuah proses politik yang sangat penting di negara kita dewasa ini.

Prosedur utama demokrasi, adalah pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat yang mereka pimpin. Rumusan modern terpenting dari konsep demokrasi ini dikemukakan oleh Yoseph Schumpeter pada tahun 1942. Dalam studi perintisnya, Capitalism, Socialism, and Democracy, Schumpeter menyatakan secara rinci kekurangan dari apa yang diistilahkannya “teori demokrasi klasik” yang mendefenisikan demokrasi dengan istilah-istilah “kehendak rakyat [the will of the people]” (sumber) dan “kebaikan bersama [the common god]” (tujuan). Setelah meruntuhkan secara efektif pendekatan itu, Schumpeter mengemukakan apa yang ia namakan “teori lain mengenai demokrasi”. Metode demokratis”, katanya,

“adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh suara rakyat”.

Huntington mendefenisikan sistem politik abad ke-20 sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, serta berkala dan di dalam sistem itu para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara. Dengan demikian, menurut defenisi Huntington, demokrasi mengandung dua dimensi, yakni kompetisi dan partisipasi. Demokrasi juga, kata Huntington lebih lanjut, mengimplikasikan adanya kebebasan sipil dan politik yaitu kebebasan untuk berbicara, menerbitkan, berkumpul dan berorganisasi, yang dibutuhkan bagi perdebatan politik dan pelaksanaan kampanye- kampanye pemilihan itu.

Lebih lanjut, Huntington menjelaskan, defenisi demokrasi dari sudut prosedur ini memberikan sejumlah patokan yang memungkinkan kita untuk menilai sejauh manakah suatu sistem politik bersifat demokratis, membandingkan sistem- sistem dan menganalisis apakah suatu sistem bertambah atau berkurang demokratis.

Bila di sebuah negara masih ada pembatasan hak pilih pada sebagian pihak, maka sistem itu tidak demokratis. Begitu pula, suatu sistem menjadi tidak demokratis apabila oposisi tidak diperbolehkan di dalam pemilihan umum, atau oposisi itu dikontrol atau dihalang-halangi dalam mencapai apa yang dapat dilakukannya, atau

(33)

koran-koran oposisi disensor atau dibredel, atau hasilnya menimbulkan pertanyaan mengenai tingkat kompetisi yang diperbolehkan oleh sistem itu (Huntington, 1995:

5-6).

Pendapat Huntington di atas tampaknya tidak jauh berbeda dengan pendapat Robert A. Dahl, yang dikenal sangat intens membahas tema demokrasi. Menurut Dahl, demokrasi adalah suatu sistem politik yang memberikan kesempatan untuk beberapa hal berikut ini. Pertama, partisipasi efektif. Sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh asosiasi, seluruh anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk membuat pandangan mereka diketahui oleh anggota-anggota lainnya, sebagaimana seharusnya kebijakan itu dibuat. Kedua, persamaan suara.

Ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan tentang kebijaksanaan itu, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara dan seluruh suara harus dihitung sama (Robert A. Dahl, 2001: 52-53).

Ketiga, pemahaman yang cerah. Dalam batas waktu yang rasional, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari kebijakan-kebijakan alternatif yang relevan dan konsekuensi yang mungkin.

Keempat, pengawasan agenda. Setiap anggota harus mempunyai kesempatan eksklusif untuk memutuskan bagaimana dan apa permasalahn yang dibahas dalam agenda. Jadi proses demokrasi yang dibutuhkan oleh tiga kriteria sebelumnya tidak pernah tertutup. Berbagai kebijakan asosiasional tersebut selalu terbuka untuk dapat diubah oleh para anggotanya jika mereka menginginkannya begitu. Kelima, pencakupan orang dewasa. Semua, atau paling tidak sebagian besar orang dewasa yang menjadi penduduk tetap seharusnya memiliki hak kewarganegaraan penuh yang ditunjukkan oleh empat kriteria sebelumnya.

Lebih lanjut lagi, Dahl merumuskan lembaga-lembaga politik dalam pemerintahan demokrasi perwakilan modern sebagai berikut (Robert A. Dahl, 2001: 118-120):

1. Para pejabat yang dipilih. Kendali terhadap keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional berada di tangan para pejabat yang dipilih oleh warga negara. Jadi, pemerintahan demokrasi skala besar yang modern merupakan perwakilan;

(34)

2. Pemilihan umum yang bebas, adil dan berkala. Para pejabat yang dipilih ditentukan dalam pemilihan umum yang sering kali diadakan dan dilaksanakan dengan adil, di mana tindakan pemaksaan agak jarang terjadi;

3. Kebebasan berkumpul. Warga negara berhak menyatakan pendapat mereka sendiri tanpa adanya bahaya hukuman yang keras mengenai masalah-masalah persamaan politik yang didefenisikan secara luas, termasuk kritik terhadap para pejabat, pemerintah, rezim, tatanan sosial ekonomi dan ideologi yang ada;

4. Akses ke sumber-sumber informasi alternatif. Warga negara berhak mencari sumber-sumber informasi alternatif dan bebas dari warga lain, para ahli, surat kabar, majalah, buku, telekomunikasi dan lain-lain. Lagi pula, sumber-sumber informasi alternatif yang ada secara nyata tidak berada di bawah kendali pemerintah atau kelompok politik lain yang berusaha mempengaruhi keyakinan dan tingkah laku masyarakat dan sumber-sumber alternatif ini secara efektif dilindungi undang-undang;

5. Otonomi asosiasional. Untuk mencapai hak mereka yang beraneka ragam itu, termasuk hak yang diperlukan untuk keefektifan tindakan lembaga-lembaga politik demokrasi, maka warga negara juga berhak membentuk perkumpulan atau organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan yang bebas;

6. Hak warga negara yang inklusif. Tak seorang dewasa pun yang menetap di suatu negara dan tunduk pada undang-undang tersebut dapat diabaikan hak- haknya, hal ini diberikan kepada warga lainnya dan diperlukan kelima lembaga politik yang baru saja disebutkan. Hak-hak tersebut meliputi hak memberikan suara untuk memilih para pejabat dalam pemilihan umum yang bebas dan adil;

hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan; hak untuk bebas berpendapat;

hak untuk membentuk dan berpartisipasi dalam organisasi politik; hak untuk mendapatkan sumber informasi yang bebas; dan hak untuk berbagai kebebasan dan kesempatan lainnya yang mungkin diperlukan bagi keberhasilan tindakan lembaga-lembaga politik pada demokrasi skala besar.

Tidak jauh berbeda dengan Dahl maupun Huntington, dalam pembahasan lainnya, Linz & Stepan, mendefenisikan demokrasi sebagai berikut (Linz & Stepan, 2001: 26-27):

(35)

Kebebasan hukum untuk merumuskan dan mendukung alternatif-alternatif politik dengan hak yang sesuai untuk bebas berserikat, bebas berbicara, dan kebebasan dasar lain bagi setiap orang, persaingan yang bebas dan anti kekerasan di antara para pemimpin dengan keabsahan periodik bagi mereka untuk memegang pemerintahan; dimasukkannya seluruh jabatan politik yang efektif di dalam proses demokrasi; dan hak untuk berperan serta bagi semua anggota masyarakat politik, apapun pilihan mereka. Secara praktis, ini berarti kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik dan menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas dan jujur pada jangka waktu tertentu tanpa menyingkirkan jabatan politis efektif apapun dari akuntabilitas pemilihan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan sejumlah indikator demokrasi yang dikemukakan sejumlah ilmuwan politik, Afan Gaffar mencoba menyimpulkan sejumlah persyaratan untuk mengamati apakah sebuah political order merupakan sistem yang demokratis atau tidak, yakni (Afan Gaffar, 2005: 7-9):

1. Akuntabilitas. Dalam demokrasi setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat mempertanggungjawabkan ucapan, perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan bahkan akan dijalaninya. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas;

2. Rotasi kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang untuk orang lain tertutup sama sekali;

3. Rekrutmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan satu sistem rekrutmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekrutmen

(36)

politik biasanya dilakukan secara tertutup, hanya dinikmati oleh segelintir orang saja;

4. Pemilihan umum. Dalam sebuah negara yang demokratis, Pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Warga bebas menentukan partai atau calon yang didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktivitas pemilihan, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan suara;

5. Menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya hak menyatakan pendapat, hak berkumpul dan berserikat dan hak menikmati pers yang bebas. Hak untuk menyatakan pendapat dapat digunakan untuk menentukan preferensi politiknya, tentang suatu masalah, terutama menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Dengan kata lain, ia punya hak untuk ikut menentukan agenda yang diperlukan. Hak untuk berkumpul dan berserikat dapat diwujudkan dengan memasuki berbagai organisasi politik dan nonpolitik tanpa dihalang-halangi oleh siapa pun dan institusi manapun. Kebebasan pers dalam masyarakat yang demokratis mempunyai makna bahwa masyarakat dunia pers dapat menyampaikan informasi apa saja yang dipandang perlu, sepanjang tidak mempunyai elemen menghina, menghasut, ataupun mangadu-domba sesama warga masyarakat.

Untuk melengkapi beberapa teori demokrasi di atas, berikut indikatornya, perlu kiranya dicatat satu hal penting lagi menyangkut hakekat demokrasi, yakni tersedianya mekanisme cheks & balances dalam berbagai proses politik. Dalam sistem politik demokrasi, menurut Ramlan Surbakti, terdapat distribusi kekuasaan yang relatif merata di antara kelompok sosial dan lembaga pemerintahan. Situasi ini akan menimbulkan persaingan dan saling kontrol antara kelompok yang satu dan kelompok yang lainnya, antara lembaga pemerintah yang satu dengan lembaga yang lain (legislatif, eksekutif dan yudikatif), dan antara kelompok sosial dan lembaga pemerintahan. Akan tetapi, pada pihak lain, kelompok-kelompok sosial

(37)

maupun lembaga-lembaga pemerintah mempunyai suatu kesadaran dan kesepakatan bahwa kekuasaan hanya sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat umum. Maka untuk mewujudkan kesejahteraan umum diperlukan kesediaan untuk berkompromi dan bekerja sama, bahwa pemerintah sebagai lembaga yang memadai untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Jadi, persaingan dan saling kontrol di antara pusat-pusat kekuasaan akan melahirkan konflik, sedangkan kesadaran dan kesepakatan akan melahirkan konsensus (Ramlan Surbakti, 2010: 220-221).

2.2 Partai Politik di dalam Sejarah Indonesia

Dalam legitimasi sistem politik demokratis, partai politik menduduki posisi yang amat sangat penting. Keberadaan partai politik akan menjadi pendamping pemberi legalitas bagi pembentukan pemerintah dan kebijakan politik atas politik nasional. Menengok dari sejarah, partai-partai politik Indonesia telah mengalami beberapa kali restrukturisasi. Perkembangan partai politik di Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa periode perkembangan, dengan setiap kurun waktu mempunyai ciri dan tujuan masing-masing, yaitu : Masa penjajahan Belanda, Masa pedudukan Jepang dan Masa merdeka.

Pada masa penjajahan Belanda, masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka.

Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi kesadaran nasional untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Setelah didirikan Dewan Rakyat, gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di dalam badan ini. Pada tahun 1939 terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin.

Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk

(38)

KRI (Komite Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islamil A’laa Indonesia) yang merupakan gabungan partai-partai yang beraliran Islam yang terbentuk tahun 1937, dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan organisasi buruh.

Pada masa penjajahan Jepang semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang lebih banyak bergerak di bidang sosial. Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah partai-partai politik Indonesia. Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai.

Pertama pada 1955, Indonesia memasuki kehidupan politik yang sebenarnya dalam alam demokrasi, dengan diselenggarakannya pemilu pertama kali sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Tiga puluh partai politik bersaing memperebutkan kursi di parlemen. Konon, menurut saksi sejarah, pemilu kala itu disebut-sebut sebagai pemilu yang paling demokratis di Indonesia sepanjang sejarah. Hal itu dikarenakan bangsa kita baru saja mengalami eforia politik, dan seluruh bangsa bersaing dalam rasa senasib sepenanggungan. Semua berlangsung secara terbuka dan fair, meski sarana komunikasi belum secanggih saat ini. Sampai akhirnya pemilu 1955 ini memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI. Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer. Tetapi pemilu kala itu membawa sebuah konsekuensi bahwa kekuatan politik kala itu menjadi terpecah dalam partai-partai dan sangat sulit diakurkan.Sistem banyak partai ternyata tidak dapat berjalan baik.

Partai politik tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan tidak dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya pembangunan tidak dapat berjaan dengan baik pula. Masa demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959, yang mewakili masa masa demokrasi terpimpin.

Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini

(39)

dikenal dengan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan bertambah kuat. Sampai akhirnya kekuatan politik Indonesia pada awal 1965 berpusat pada tiga kekuatan utama; Partai Komunis Indonesia, bung Karno dengan PNI-nya, dan Angkatan Darat dengan Golkar.

Setelah itu Indonesia memasuki masa Orde Baru dan partai-partai dapat bergerak lebih leluasa dibanding dengan masa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini adalah munculnya organisasi kekuatan politik baru yaitu Golongan Karya (Golkar). Pada pemilihan umum tahun 1971, Golkar muncul sebagai partai pemenang yang diikuti oleh 3 partai politik besar yaitu NU, Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI.

Pada tahun 1973 Soeharto berhasil mendorong 9 partai politik berfusi dua.

Hanya satu yang dipertahankan, yakni Golkar, yang notabene dibentuk oleh Angkatan Darat dan pendiri Orde Baru. Empat partai politik Islam, yaitu : NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam dan Perti bergabung menjadi Partai Persatu Pembangunan (PPP). Lima partai lain yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba dan Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Dengan demikian terjadi segitiga dalam politik kepartaian Indonesia; PPP, Golkar dan PDI. dan terus berlangsung hinga pada pemilu 1999.

Pada tahun 1999 Presiden Habibi membebaskan kehidupan kepartaian Indonesia yang menghasilkan Pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 kontestan dan pada akhirnya tidak menghasilkan satu pemenang mayoritas (lebih dari 50%) dan dalam pemerintahan mendorong terbentuknya pemerintahan koalisi yang pada gilirannya mendorong ke bawah kinerja pembangunan. Dan terus berlanjut hingga pemilu tahun 2004 dan 2009.

Dari perjalanan sejarah partai di Indonesia seperti yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan partai politik dalam alam demokrasi adalah untuk mengartikulasi dan mengagegrasi isu-isu politik yang ada. Di sini bisa difahami pernyataan para pakar bahwa sistem satu partai atau adanya satu partai yang sangat dominan sekalipun satu bangsa menganut doktrin demokrasi, sebenarnya justru tidak demokratis. Artikulasi dan agregasi kepentingan massa

(40)

yang didominasi oleh satu partai mengakibatkan fungsi partai sebagai agen sosialisasi menjadi agen indoktrinasi politik.

Tumbangnya rezim orde Baru memungkinkan diselenggarakan sistem pemilu multi partai, maka sejak itu gerakan transisi ke demokrasi mulai menemukan momentumnya. Masyarakat Pasca reformasi mengaharapkan hadirnya partai-partai baru sebagai prakondisi bagai terciptanya sistem pemerntahan demokratis, sehingga akan tercipta iklim demokrasi yang sehat. Sehingga banyak pekerjaan yang harus dikerjakan partai. Dan bila dilaksanakan partai hasilnya akan lebih maksimal, karena memiliki kekuatan massa dan kekuatan politik.

Pasca musibah gempa Tsunami 26 Desember 2004, kedatangan para relawan kemanusiaan dari berbagai penjuru dunia telah memulihkan kembali infrastruktur dan supra struktur kehidupan masyarakat di beberapa kabupaten dan kota di Aceh. Selanjutnya, beberapa bulan kemudian tanggal 15 Agustus 2015, ditanda-tanganinya MOU Helsinki anatara pihak pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang menandai berakhirnya konflik yang berkepanjangan di Aceh. Suasana kondusif yang terus berlangsung, menempatkan Aceh untuk kembali menata dan menjalankan aktifitas pembangunan diberbagai bidang kehidupan.

Undang-Undang Pemerintahan Aceh No 11 tahun 2006, sebagai implementasi butir-butir MOU Helsinki, memberikan paradigma baru dalam kehidupan pembangunan politik di Aceh. Yaitu adanya penyerapan demokrasi lokal untuk pertama kali (pasca Reformasi 1998), dilaksanakan dalam pemilihan umum legislatif. Pelaksanaan pemilu legislatif 2009 di Aceh, selain dikuti oleh Partai Nasional (Parnas), juga Partai Lokal (Parlok). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 memberikan hak kepada Aceh untuk mendirikan partai lokal tersendiri, namun Undang-Undang tersebut tidak terlepas bagi partai lokal untuk berkompetisi dengan partai nasional. Awal Pemilu legislatif pada tahun 2009 melahirkan catatan sejarah yang sangat besar bagi aceh dikarnakan kemenangan partai lokal yang sangat signifikan.

Pemilu legislatif 2014 di Aceh selain diikuti 12 partai nasional (parnas) juga melibatkan 3 partai lokal (parlok) yaitu Partai Aceh (PA), Partai Nasional Aceh (PNA), dan Partai Damai Aceh (PDA). Jumlah ini lebih sedikit dibanding pada saat

(41)

berlangsungnya Pemilu Legislatif 2009 yang melibatkan 6 partai lokal yaitu (Partai Aceh/PA, Partai Rakyat Aceh/PRA, Partai Suara Independen Rakyat Aceh/SIRA, Partai Aceh Aman Sejahtera/PAAS, Partai Bersatu Aceh/PBA, Partai daulat Aceh/PDA).

Keikut-sertaan tiga partai lokal itu pun tidak benar-benar partai baru. Partai Nasional Aceh, misalnya, merupakan perpecahan dari Partai Aceh, sementara Partai Damai Aceh merupakan perubahan nama dari Partai Daulat Aceh karena tak memenuhi ambang batas electoral threshold. Keikut-sertaan Partai Lokal dalam sejarah Pemilu Legislatif di Indonesia, khususnya di Aceh, memiliki landasan yuridis berlangsung pada pelaksanaan pemilihan umum legislatif pada tanggal 9 April 2009. Jika dilihat dari pelaksanaan Pemilu Legislatif tahun 2009 (sebanyak 36 Partai nasional), maka jumlah partai politik nasional (parnas) yang ikut pada pemilu legislatif 2014 mengalami penurunan yang signifikan yaitu sebanyak 12 partai nasional sebagai berikut Partai Nasional Demokrat (NASDEM), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), Parta Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Agenda rutin pemilu legislatif 2014 bagian dari sistem demokrasi prosedural, di mana diamanahkan dalam UUD 1945 sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam sebuah negara yang melaksanakan sistem demokrasi.

Khusus UU Pemilu untuk memilih anggota legislatif diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 yang telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 2008. Adanya perbedaan peserta Pemilu Legislatif 2014 di Aceh yang melibatkan 3 partai lokal dan 12 partai nasional merupakan model perwujudan sistem demokrasi tersendiri bagi pemilih yang berada di Propinsi Aceh. Pilihan pemilih pada Pemilu Legislatif 2014 akan menentukan masa depan Aceh Baru.

Partai politik merupakan elemen yang bertugas memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Tetapi dalam perjalanannya partai politik yang ada lebih mementingkan politik kekuasaan ketimbang pendidikan politik rakyat, sehingga pemilu bukan menjadi sarana pendidikan politik, melainkan hanya untuk

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka berpikir penelitian Modal Politik:
Tabel 4.8. Daftar Perolehan Suara Sah Pasangan Calon Pada Pemilihan        Kepala Daerah Tahun 2012 di Kabupaten Aceh Tamiang

Referensi

Dokumen terkait

Berbagai permasalahan dalarn Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan dampaknya pada proses penyelidikan. sebagaimana dimaksud dalam

AN ANALYSIS OF SPONGEBOB SQUAREPANTS’ SELECTED EPISODES: A STUDY OF QUEER THEORY AND GENDER PERFORMATIVITY Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu..

Hasil ini menunjukkan nilai probabilitas jauh lebih kecil dari alpha 0,05 maka dapat dikatakan bahwa variabel Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen,

Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui tingkat stres responden kelompok intervensi sebelum diberikan latihan hatha yoga, bahwa hasil tertinggi dari pretest

2.2Menjelaskan urutan membuat atau melakukan sesuatu dengan kalimat yang runtut dan mudah dipahami 2.3Memberikan tanggapan dan saran sederhana terhadap suatu masalah

The use of mobile GIS therefore needs be extended to other informal settlement upgrading projects in South Africa as well as other cities in the global south..

Pembahasan masalah ini yang akan dibahas adalah mengenai cara pembuatan dari mulai menentukan struktur navigasi, membuat peta navigasi, membuat disain antarmuka, pembentukan

Dan oleh karena itu juga Pemilik Distro Lebah Kecil turut mengikuti perkembangan teknologi informasi dengan membuat Aplikasi Penjualan Distro Lebah Kecil dengan mengggunakan