• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI SAPI-SAWIT: UPAYA PEMENUHAN GIZI SAPI DARI PRODUK SAMPING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "INTEGRASI SAPI-SAWIT: UPAYA PEMENUHAN GIZI SAPI DARI PRODUK SAMPING"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRASI SAPI-SAWIT: UPAYA PEMENUHAN GIZI SAPI DARI PRODUK SAMPING

(Integration of Cattle with Oil Palm Plantation: The fulfilment of Nutrients Requirement of Catle from By-product)

A.SINURAT,T.PURWADARIA,I.W.MATHIUS,D.M.SITOMPUL danB.P.MANURUNG

1Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 E-mail: balitnak @ indo.net.id. Bogor

2Staf PT. Agricinal, Bengkulu Utara.

ABSTRACT

An integrated farming system between palm oil industry and beef-cattle is being developed in Bengkulu.

Three components in the system are related to each other. Oil palm estate produce fruits for palm oil factory and by products as feed for cattle. Palm oil factory produced by products which could be utilised for oil palm estate and feed. The cattle produces animal power which could be used in the oil palm estate and carrying out the factory wastes. The manure is also used as fertilizer for the estate. Cattle operation in this system rely on feedstuffs such as grass or weed, oil palm fronds, palm oil sludge and palm kernel meal. These ingredients are produced abundantly but their nutritive values are not sufficient to support growth and breeding of cattle optimally. Therefore, it is necessary to supply feed with better nutritive value. Trials are carried out to improve the nutritive values of feed for cattle in the palm oil industry - beef cattle integrated system by fermenting the palm oil sludge and palm oil meal. The fermentation process was successful when the moisture content of the substrate (mixture of palm oil sludge and palm oil meal) was 60%. The fermented product contain 21.39% protein and could be used with other ingredients to meet the nutrient requirements of cattle for growing and breeding.

Key words: Integration, oil palm industry, fermentation, cattle feed ABSTRAK

Suatu sistem integrasi antara usaha industri perkebunan sawit dengan usaha peternakan sapi sedang dikembangkan di Bengkulu. Tiga komponen yang saling membutuhkan dalam sistem integrasi ini adalah kebun sawit yang menghasilkan produk utama buah sawit untuk pabrik pengolahan minyak sawit, dan produk samping untuk pakan sapi. Pabrik pengolahan sawit menghasilkan produk ikutan yang dapat digunakan untuk kebun sawit dan pakan ternak. Sedangkan ternak sapi menghasilkan tenaga yang dapat digunakan untuk kebun sawit dan pengangkutan limbah pabrik serta kotoran sebagai pupuk untuk kebun. Pemeliharaan sapi pada sistem ini mengandalkan sumber pakan yang terdiri dari rumput, pelepah dan daun sawit, lumpur sawit dan bungkil inti sawit. Jumlah bahan ini cukup melimpah, akan tetapi nilai gizinya belum mampu mencukupi kebutuhan ternak sapi untuk bertumbuh dan berkembang biak dengan baik, sehingga perlu upaya untuk mencukupi kebutuhan gizi sapi pada system pemeliharaan tersebut. Salah satu upaya yang sedang dilakukan adalah peningkatan nilai gizi bahan yang tersedia (lumpur sawit dan bungkil inti sawit) melalui proses fermentasi. Proses fermentasi menghasilkan produk yang baik bila campuran lumpur sawit dan bungkil inti sawit yang digunakan sebagai substrat mempunyai kandungan air 60%. Kadar protein produk yang dihasilkan adalah 21,39%. Produk ini diharapkan dapat dicampur dengan bahan lain agar mencukupi kebutuhan gizi ternak sapi untuk bertumbuh dan berkembang biak.

Kata kunci: Integrasi, industri sawit, fermentasi, pakan sapi PENDAHULUAN

Sistem integrasi antara industri perkebunan dengan usaha ternak sapi sedang dikembangkan di P.T. Agricinal, Bengkulu Utara. Sistem integrasi ini merupakan suatu

sistem yang saling membutuhkan antara industri sawit dan usaha ternak sapi. Pola tersebut diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan keuntungan usaha yang lebih baik. Integrasi antara sapi dan sawit sebenarnya bukan hal yang baru. Penelitian

(2)

integrsai ini sudah dimulai pada tahun delapan puluhan (CHEN dan AHMAD, 1983). Menurut AWALUDDIN dan MASURINI (2004), pada tahun 1997 di Malaysia sistem integrasi ini sudah dilakukan oleh 70 perusahaan perkebunan dengan jumlah ternak sapi yang dipelihara sebanyak 56.178 ekor. Pada tahun 2002 jumlah perkebunan yang melakukan integrasi ini meningkat menjadi 214 dengan jumlah sapi yang dipelihara sebanyak 127.589 ekor. Akan tetapi, di Indonesia perkembangan sistem integrasi ini agak lambat.

Dalam industri sawit yang meliputi usaha perkebunan sawit hingga pengolahan hasilnya, ada komponen-komponen yang sudah dan harus tersedia bagi usaha tersebut yang dapat digunakan untuk pemeliharaan ternak sapi.

Komponen ini terutama adalah lahan (termasuk rumput-rumputan yang tumbuh di atasnya), produk samping dari perkebunan (pelepah sawit dan daun) dan produk samping pabrik pengolahan sawit (serat perasan, lumpur sawit dan bungkil inti sawit). Sebagai produk ikutan industri kelapa sawit diketahui bahan-bahan tersebut berkualitas rendah, sehingga dalam pemanfaatannya untuk ternak diperlukan sentuhan teknologi.

Dalam makalah ini diuraikan sumber pakan yang potensial dari pabrik pengolahan yang dapat ditingkatkan nilai gizinya agar dapat memenuhi kebutuhan gizi sapi.

POTENSI PRODUK IKUTAN INDUSTRI SAWIT SEBAGAI BAHAN PAKAN Potensi industri kelapa sawit yang dapat dipergunakan sebagai bahan pakan ternak, khususnya ternak ruminansia, bersumber dari kebun kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Rumput yang tumbuh di kebun sawit umumnya terdiri dari gulma dan tanaman penutup lahan. Hampir semua spesies rumput yang merupakan gulma di kebun sawit cukup disukai oleh ternak sapi (AWALUDIN dan MASURNI, 2004), namun tingkat produktivitasnya antara suatu lokasi berbeda dengan lokasi lainnya. Hasil pengamatan terdahulu menunjukkan bahwa jumlah dan kualitas gizi rumput yang tumbuh pohon sawit sangat tergantung kepada lokasi, umur (tingginya) kelapa sawit dan pola budidaya tanaman kelapa sawit (WATTANACHANT et al., 1999). Kisaran produksi vegetasi alam yang

tumbuh pohon kelapa sawit dengan umur 5 tahun dilaporkan dapat mencapai 2,8-4,8 ton bahan kering per Ha per tahun (CHEN et al., 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa produksi vegetasi alam yang tumbuh pohon kelapa yang telah berumur di atas 5 tahun adalah 0,1-1,0 ton bahan kering per Ha per tahun. Perbedaan produksi vegetasi alam ini sangat bergantung pada tingkat intensitas cahaya yang masuk.

Makin tua umur tanaman kelapa sawit maka semakin kecil tingkat intensitas cahaya yang dapat sampai ke areal dibawah tanaman kelapa sawit. Keadaan yang demikian menyebabkan makin sulitnya vegetasi alam untuk dapat tumbuh sebagai akibat makin sulitnya vegetasi alam melakukan proses pothosintesis.

Pemanfaatan rumput alam/gulma sebagai makanan ternak (terutama pada masa tanaman sawit belum terlalu tinggi) akan mengurangi penggunaan herbisida sehingga merupakan tindakan yang ramah lingkungan (AWALUDIN

dan MASURINI, 2004).

Di samping vegetasi alam yang ada di areal perkebunan, produk lain yang dapat dijadikan sumber bahan pakan adalah pelepah dan daun kelapa sawit. Potensi dan kandungan kimia bahan-bahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Pelepah sawit biasanya berukuran besar dan dilapisi kulit yang cukup keras. Pelepah yang sudah dikupas dan dipotong-potong atau dicacah cukup disenangi oleh ternak sapi.

ELISABETH dan GINTING (2004) dan MATHIUS

et al. (2004) melaporkan bahwa pelepah sawit dapat digunakan sebagai pengganti hijauan untuk sapi. Daun sawit tanpa lidi cukup disukai oleh ternak sapi dan mempunyai kadar protein kasar yang cukup tinggi (14,12%). Akan tetapi daun selalu menyatu dengan lidi yang keras dan tajam sehingga perlu pemisahan atau pengolahan sebelum digunakan sebagai pakan.

Cara praktis dalam penggunaan pelepah dan daun sawit beserta lidinya secara bersama- sama belum pernah dilaporkan. Boleh jadi untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan, pelepah, daun dan lidi harus diolah secara mekanik sehingga berbentuk potongan- potongan yang kecil, halus dan lunak.

Produk utama pengolahan kelapa sawit adalah minyak sawit, sementara beberapa produk samping yang juga dihasilkan adalah tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit atau solid. Beberapa pabrik pengolahan juga mengolah inti sawit yang menghasilkan produk

(3)

utama minyak inti sawit dan produk ikutannya adalah bungkil inti sawit. Tandan kosong tidak disukai oleh ternak karena keras seperti kayu, dan oleh karena itu sampai saat ini tandan kosong umumnya dikembalikan ke kebun sebagai mulsa. Serat perasan juga kurang disukai oleh ternak sapi, kecuali bila bahan tersebut sudah mengalami proses fermentasi (SUHARTO, 2004). Sebagian serat perasan digunakan sebagai bahan bakar di pabrik pengolahan sawit dan sebagian lagi dikembalikan ke kebun. Lumpur sawit atau solid biasanya dihasilkan oleh pabrik yang menggunakan “decanter”. Banyak penelitian yang telah melaporkan bahwa lumpur sawit maupun bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai makanan ternak sapi (SUTARDI, 1991;

CHIN 2002; WANG et al., 1987).

SISTEM INTEGRASI INDUSTRI SAWIT DENGAN PETERNAKAN SAPI

Di dalam suatu sistem integrasi, keterampilan manusia sangat diperlukan dalam mengelola sumber daya yang ada agar tidak terjadi gangguan atau kerugian terhadap komponen-komponen yang berintegrasi. Di dalam sistem integrasi sapi-sawit, ada 3 komponen yang dapat saling berinteraksi, yaitu: kebun sawit, pabrik pengolahan sawit dan ternak sapi. Keterkaitan antara komponen- komponen tersebut dapat digambarkan seperti pada Diagram 1. Sejarah kehadiran sapi di perkebunan kelapa sawit sebagai sumber tenaga kerja merupakan awal cerita integrasi sawit-sapi. Sebagai ternak beban, sapi

mempunyai tenaga yang dapat dimanfaatkan untuk mengangkut buah sawit dari tempat panen ke tempat penampungan sementra (TPS). Keadaan tersebut sangat membantu meringankan beban yang harus ditanggung para pemanen. Demikian juga kotoran sapi dapat digunakan sebagai sumber pupuk organik yang dapat menambah kesuburan dan memperbaiki tekstur tanah di kebun.

Untuk memenuhi kebutuhan gizi sapi, maka pemeliharaan sapi pada sistem integrasi sawit-sapi dapat dilakukan dengan sistem ekstensif, di mana sapi dibiarkan secara bebas mencari rumput di kebun sawit. Sistem ini mungkin kurang disukai karena dapat mengganggu system perakaran tanaman utama, yang pada akhirnya akan mengganggu tingkat produktivitas perkebunan sawit. Selain itu, rendahnya kandungan gizi rumput yang tumbuh di lahan perkebunan kurang dapat memenuhi kebutuhan sapi untuk bertumbuh atau berkembang-biak dengan baik. Sistem pemeliharaan lainnya adalah dengan menyiapkan kandang sapi di areal perkebunan dan menyiapkan pakan yang cukup untuk sapi.

Sistem ini akan lebih mudah, karena pemeliharaan sapi dapat dilakukan pada areal tertentu secara terkonsentrasi. Untuk sistem ini, maka mutu pakan yang diberikan harus dapat mencukupi kebutuhan gizi ternak untuk bertumbuh dan berkembang biak. Bahan pakan yang tersedia dari produk samping industri sawit mungkin tidak dapat lagi memenuhi hal ini, sehingga perlu diberikan pakan suplemen atau perlu upaya peningkatan gizi bahan pakan yang tersedia.

Tabel 1. Potensi dan kandungan gizi bahan pakan untuk sapi dari kebun dan pabrik sawit Serat

kasar (%) Protein

kasar (%) Lemak

kasar (%) Energi bruto (kal/g) Ca

(%) P (%) Bahan Produksi (kg

BK/ha/tahun) Bahan kering (%)

Berdasarkan bahan kering 100%

Kebun sawit:

Rumput 1000*

Daun sawit 658 46,18 21,52 14,12 4,37 4461 0,84 0,17

Pelepah 1640 26,07 50,94 3,07 1,07 4841 0,96 0,08

Pabrik sawit:

Serat perasan 2681 50 48,10 6,20 3,22 4684 - -

Lumpur sawit 1132 24,07 35,88 14,58 14,78 4082 1,08 0,25 Bungkil inti 514 91,83 36,68 16,33 6,49 5178 0,56 0,84

Sumber: MATHIUS et al. (2004); *Angka perkiraan

(4)

KEBUN SAWIT PABRIK PENGOLAHAN SAWIT

Buah sawit (TBS) Tandan kosong

Pelepah & daun Serat perasan

Rumput Solid/lumpur sawit

Bungkil inti sawit

TERNAK SAPI Tenaga Kotoran/Pupuk

Diagram 1. Keterkaitan antara komponen - komponen dalam sistem integrasi industri sawit dengan usaha peternakan sapi

UPAYA PENINGKATAN GIZI PRODUK IKUTAN PABRIK SAWIT

Evaluasi terhadap kandungan gizi produk samping kelapa sawit cukup bervariasi sebagai yang tertera pada Tabel 1. Penggunaan produk samping secara bersama-sama dengan imbangan 1:1:1 (BK) untuk pelepah, solid dan bungkil inti sawit, sebagai pakan sapi belum memberikan respon yang optimal terhadap ternak yang mengkonsumsi. Kemungkinan rendahnya penampilan ternak sapi tersebut disebabkan kandungan gizi produk samping industri sawit tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal agar dapat memenuhi kebutuhan sapi tersebut. Oleh karena itu, untuk meningkatkan performan sapi yang dipelihara di perkebunan sawit perlu diberi pakan yang lebih baik nilai gizinya, dalam artian jumlah dan kualitasnya.

Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai gizi produk ikutan pabrik sawit melalui fermentasi telah dilakukan di Balai Penelitian ternak (SINURAT, 2003). Penelitian yang dilakukan selama ini adalah dengan menggunakan lumpur sawit yang sudah dikeringkan lebih dahulu dan kemudian mengukusnya. Hal ini sangat tidak praktis dan memerlukan biaya tinggi bila diterapkan untuk sistem komersial. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi teknik fermentasi yang lebih memungkinkan dilakukan secara komersil.

Untuk ini dibangun suatu fermentor di lokasi pabrik pengolahan kelapa sawit P.T. Agricinal di Seblat, Bengkulu Utara.

Beberapa modifikasi yang dilakukan adalah dengan menggunakan solid segar (tanpa dikeringkan dan tanpa dikukus) sebagai substrat untuk proses fermentasi. Oleh karena solid segar yang dihasilkan oleh “decanter”

masih mengandung air cukup tinggi (sekitar 75%), maka proses fermentasi dengan inokulan Aspergillus niger tidak akan efektif. Pada kondisi ini, bakteri pembusuk kemungkinan besar akan mudah tumbuh. Hasil penelitian sebelumnya (SINURAT et al., 1998) menunjukkan bahwa kadar air substrat yang paling baik untuk fermentasi lumpur sawit adalah 50-60%.

Penurunan kadar air lumpur sawit dengan cara pengeringan akan membutuhkan energi dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, penurunan kadar air dilakukan dengan mencampur solid segar dengan bungkil inti sawit. Suatu percobaan dilakukan dengan membandingkan 3 komposisi campuran antara solid dengan bungkil inti sawit agar kadar air substrat sebelum fermentasi mencapai 50, 55 dan 60%, yaitu dengan mencampur lumpur sawit dengan bungkil inti sawit, masing- masing dengan perbandingan 65 : 35; 73 : 27 dan 80 : 20. Fermentasi dilakukan dengan masa inkubasi aerob selama 3 hari, dilanjutkan dengan proses enzimatis anaerob selama 2 hari.

Metode fermentasi ini sama seperti yang sudah diuraikan sebelumnya (PASARIBU et al., 1998).

Produk fermentasi yang dihasilkan setelah proses enzimatis mempunyai aroma yang khas seperti halnya produk fermentasi. Data tentang kehilangan bahan kering selama proses

(5)

Tabel 2. Kehilangan bahan kering selama proses fermentasi dan kadar protein kasar produk fermentasi dari campuran solid dan bungkil inti sawit

Kadar air substrat awal Bahan kering produk

fermentasi (%) Kehilangan bahan kering

selama fermentasi (%) Kadar protein kasar produk akhir (% BK)

50 % 62,62 18,74 21,68

55 % 54,25 18,70 23,08

60 % 45,94 36,43 21,39

fermentasi dan kandungan proteinnya disajikan pada Tabel 2.

Selama proses fermentasi terjadi kehilangan bahan kering substrat karena mikroorganisme menggunakan substrat tersebut untuk berkembang biak dan menghasilkan H2O dan CO2 sebagai hasil sisa metabolisme. Oleh karena itu, kehilangan bahan kering dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan mikroorganisme di dalam substrat. Pada penelitian ini terlihat bahwa kehilangan bahan kering tertinggi tercapai pada substrat dengan kadar air awal 60%. Kadar protein produk fermentasi yang dihasilkan pada penelitian ini tidak berbeda di antara ketiga perlakuan. Meskipun demikian, perlakuan kadar air 60% dianggap yang terbaik karena protein sejati (protein kasar-protein terlarut) yang ada pada produk ini akan lebih tinggi dari produk kedua perlakuan lainnya.

Hasil analisis yang mendukung ini akan dilaporkan kemudian. Kandungan protein produk fermentasi yang diperoleh pada percobaan ini (Tabel 2), masih lebih rendah dari kandungan protein produk fermentasi yang dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Ternak-Ciawi. Dengan perbandingan lumpur sawit dan bungkil inti sawit 8 : 2, diperoleh produk fermentasi dengan kadar protein kasar 26,99-28,66%.

Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi yang dilakukan di lokasi pabrik sawit belum optimum. Oleh karena itu, beberapa percobaan sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai gizi produk fermentasi.

Dari hasil ini dapat dilihat bahwa produk fermentasi ini dapat digunakan sebagai sumber protein dalam penyusunan konsentrat bagi sapi.

Umumnya konsentrat sapi hanya mengandung protein sekitar 14 %. Dengan demikian, produk fermentasi perlu dicampur dengan bahan lain seperti lumpur sawit segar, bungkil inti sawit

dan atau serat perasan untuk mencapai kadar protein ransum yang diinginkan. Dengan asumsi bahwa kualitas produk fermentasi dapat meningkat dua kali dari bahan bakunya, maka jumlah ternak yang dapat diberikan produk fermentasi dapat menjadi dua kali pula.

Penggunaan produk fermentasi ini di dalam ransum saat ini sedang diuji pada sapi yang sedang bertumbuh.

KESIMPULAN

Sistem integrasi industri sawit dengan peternakan sapi merupakan sistem usaha yang saling membutuhkan di antara komponen- komponen yang berintegrasi (kebun sawit, pabrik pengolahan sawit dan ternak sapi). Pada sistem ini, industri sawit dapat menjadi sumber pakan bagi ternak sapi dan sebaliknya ternak sapi menjadi sumber tenaga dan pupuk bagi industri sawit. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas gizi pakan yang tersedia pada sistem ini adalah dengan mengolah lumpur sawit dan bungkil inti sawit melalui proses fermentasi. Proses fermentasi yang paling baik adalah bila kandungan air substrat 60 %, dan keadaan tersebut dapat dicapai apabila imbangan campuran lumpur sawit dan bungkil inti sawit adalah sejumlah 80 : 20.

Produk fermentasi ini mengandung protein yang cukup tinggi sehingga bisa digunakan sebagai sumber protein dalam penyusunan ransum komplit untuk sapi.

DAFTAR PUSTAKA

AWALUDIN, R. and S. HJJ. MASURINI. 2004.

Systematic beef cattle integration in oil palm plantation with emphasis on the utilization of undergrowth. In: Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Pros. Lokakarya Nasional. Hal.

(6)

23-35. Dept. Pertanian, Pemda Prov.

Bengkulu dan P.T. Agricinal. Bengkulu.

CHEN, C.P.and O. AHMAD. 1983. Effect of cattle production on forage under oil palm - A preliminary report. Proc. 7th Ann. Conf.

MSAP. pp. 214-227. Port Dickson, Malaysia.

CHIN,F.Y. 2002. Utilization of palm kernel cake as feed in Malaysia.Asian Livestock 26 (4): 19- 26. FAO Regional Office, Bangkok.

ELISABETH,J. dan S.P. GINTING. 2004. Pemanfaatan hasil samping industri kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi potong. In: Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Pros. Lokakarya Nasional. Dept. Pertanian, Pemda Prov.

Bengkulu dan P.T. Agricinal. Bengkulu. hlm.

110-119.

MATHIUS,I.W.,D.SITOMPUL,B.P.MANURUNG dan AZMI. 2004. Produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan komplit untuk sapi: Suatu tinjauan. In: Sistem Integrasi Kelapa Sawit - Sapi. Pros. Lokakarya Nasional. Dept.

Pertanian, Pemda Prov. Bengkulu dan P.T.

Agricinal. Bengkulu. hlm. 120-128.

PASARIBU, T., A.P. SINURAT, T. PURWADARIA, SUPRIYATI dan H.HAMID. 1998. Peningkatan nilai gizi lumpur sawit melalui proses fermentasi: Pengaruh jenis kapang, suhu dan lama proses enzimatis. JITV 3 (4): 237-242.

SINURAT, A.P., T. PURWADARIA, J. ROSIDA, H.

SURACHMAN, H.HAMID dan I.P. KOMPIANG. 1998. Pengaruh suhu ruang fermentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi lumpur sawit. JITV 3 (4): 225-229.

SINURAT, A.P. 2003. Pemanfaatan lumpur sawit untuk bahan pakan unggas. Wartazoa 13(2):

41-47.

SUHARTO. 2004. Pengalaman pengembangan usaha system integrasi sapi-kelapa sawit di Riau.

Pros. Lokakarya Nasional. Dept. Pertanian, Pemda prov. Bengkulu dan PT Agricinal.

Bengkulu. hlm. 57-63.

SUTARDI, T. 1991. Aspek nutrisi sapi Bali. Proc.

Sem. Nas. Sapi Bali. Fakultas Peternakan UNHAS, Ujung Pandang. Hlm. 85-109.

WANG, H.K., O.A.HASSAN, S.Z.ALSMI, and M.

SHIBATA. 1987. The effect of supplementation of oil palm by-product based rations on the digestibility, rumen volatile fatty acids (VFA) and performance in cattle. Proc. 10th Ann.

Conf. MSAP. University Pertanian Malaysia, Selangor. pp. 221-225.

WATTANACHANT.C.,I.DAHLAN,A.R.ALIMON and M.A. ROJION. 1999. Sheep-Oil Palm Integration: Grazing preference, nutritive value, dry matter intake estimation and digestibility of herbage. Asian-Aus. J. Anim.

Sci. 12(2): 209-214.

Referensi

Dokumen terkait

sodium 5atasan Karakteristik 4 # Kelemahan # Haus # =enurunan turgor kulitlidah # ;embran mukosakulit kering # =eningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah,

Therefore this utterance can be said as the code mixing because of the existing of English phrase print out into Bahasa Indonesia. The code mixing of this utterance

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5/W2, 2013 XXIV International CIPA Symposium, 2 – 6 September 2013,

< 80 Lapisan 7 Pasir kerakalan berwarna abu-abu gelap masif, terdiri atas fragmen andesit berwarna kehitam-hitaman dan berstruktur skoria, berbentuk agak

DANOER DORO WIDYAWAN FE SULAKSO YORYAKARTA YORYAKARTA JAKARTA SELATAN JAKARTA SELATAN YOGYAKARTA YOGYAKARTA BEKASI YOGYAKARTA BANTUL JAKARTA SELA- TAN JAKARTA SELATAN JAKARTA

Salah satu solusi yang dibahas dengan metode Minimal Spanning Tree adalah pada pemasangan kabel listrik menggunakan Algoritma Solin untuk mencari jumlah biaya minimal. Masalah

93,33% dari hasil persentase modul pembelajaran kimia materi struktur atom berbasis Alqur’an layak di gunakan untuk SMAN 1 Aceh Barat Daya. Berdasarkan hasil respon siswa terhadap