• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM INTEGER UNTUK PERSOALAN PERENCANAAN TERINTEGRASI PRODUKSI DAN DISTRIBUSI PRODUK IKAN DARI BEBERAPA PLANT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM INTEGER UNTUK PERSOALAN PERENCANAAN TERINTEGRASI PRODUKSI DAN DISTRIBUSI PRODUK IKAN DARI BEBERAPA PLANT"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRAM INTEGER UNTUK PERSOALAN PERENCANAAN TERINTEGRASI

PRODUKSI DAN DISTRIBUSI PRODUK IKAN DARI

BEBERAPA PLANT

DISERTASI

Oleh

INTAN SYAHRINI 118110004/Ilmu Matematika

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016

(2)

PRODUKSI DAN DISTRIBUSI PRODUK IKAN DARI

BEBERAPA PLANT

DISERTASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Doktor Ilmu Matematika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Oleh

INTAN SYAHRINI 118110004/Ilmu Matematika

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016

(3)

Judul Disertasi : PROGRAM INTEGER UNTUK PERSOALAN PERENCANAAN TERINTEGRASI PRODUKSI DAN DISTRIBUSI PRODUK IKAN DARI BEBERAPA PLANT Nama Mahasiswa : Intan Syahrini

Nomor Pokok : 118110004

Program Studi : Doktor Ilmu Matematika

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Herman Mawengkang) Promotor

(Dr. Sutarman, M.Sc) (Dr. Marwan Ramli, M.Si)

Co-Promotor Co-Promotor

Dekan

(Dr. Sutarman, M.Sc)

Tanggal lulus: 17 Maret 2016

(4)

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. Dr. Herman Mawengkang Anggota : 1. Dr. Sutarman, M.Sc

2. Dr. Marwan Ramli, M.Si 3. Prof. Dr. Saib Suwilo, M.Sc 4. Prof. Dr. Tulus, M.Si

5. Prof. Dr. Anton Abdulbasah Kamil

(5)

PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala bentuk pernyataan da- lam disertasi saya yang berjudul:

PROGRAM INTEGER UNTUK PERSOALAN PERENCANAAN TERINTEGRASI PRODUKSI DAN DISTRIBUSI PRODUK

IKAN DARI BEBERAPA PLANT

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan pembimbin- gan para komisi pembimbing, kecuali yang dengan ditunjukkan rujukannya. Dis- ertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lainnya.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Medan, Maret 2016 Penulis,

Intan Syahrini

(6)

Pada masa globalisasi sekarang ini, telah terjadi peningkatan minat yang sangat pesat terhadap supply chain system (SCS) terutama dalam permodelan peren- canaan terintegrasi produksi dan distribusi untuk memperoleh keuntungan yang besar secara ekonomi. Penelitian disertasi ini membahas tentang perencanaan terintegrasi produksi-distribusi pada multi-plant dan multi-produk ikan yang se- cara bersamaan menghasilkan multi produk ikan dari beberapa kelas bahan baku.

Penelitian ini dilakukan di pantai timur Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

Masalah perencanaan produksi bertujuan untuk memenuhi permintaan pelang- gan dimana terdapat kendala terhadap bahan baku dan produk yang mudah rusak (perishable). Penelitian ini mengembangkan model program linier mixed integer yang melakukan pengolahan ikan menjadi beberapa produk seafood pada setiap plant dan kemudian mendistribusikan ke pusat distribusi. Solusi penyelesaian masalah tersebut menggunakan metode pencarian langsung (Direct search).

Kata kunci: Rantai pasokan, Multi-plant, Pemodelan, Perikanan, Variabel super basic

(7)

ABSTRACT

Nowadays in the global supply chain system there has been an increased interest in modeling the integration of production and distribution planning, in order to get more economics advantages. This paper considers a multi-plant and multi- product fish production-distribution planning which produces simultaneously multi fish products from several classes of raw resources. The research under investi- gation is located at Eastern coast of North Sumatra Province, Indonesia. The production planning problem aims to meet customer demand subject to perishable nature of raw fish material and the finished products. This paper develops a mixed integer linear programming model of the management which performs processing fish into several seafood products and distributes them to a set of distribution cen- ters. Direct search is used for solving the model.

Keywords: Supply chain, Multi-plant, Modeling, Fishery, Super basic variable

(8)

Dengan ketulusan hati yang sangat dalam penulis menyampaikan segala puji dan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT disertai shalawat dan salam kepada nabi Muhammad SWA. Berkat rahmat, petunjuk dan bimbinganNya penulis da- pat menyelesaikan disertasi ini dengan judul “Program Integer Untuk Persoalan Perencanaan Terintegrasi Produksi Dan Distribusi Produk Ikan Dari Beberapa Plant”. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dok- tor pada Program Studi Doktor Ilmu Matematika Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan disertasi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih yang tulus dan penghargaan kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pro- gram Studi Doktor Ilmu Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Sutarman, M.Sc selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi peserta Program Doktor Ilmu Matematika angkatan 2011.

3. Prof. Dr. Saib Suwilo, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Matematika dan sebagai komisi penguji yang telah banyak memberi saran

(9)

dan dorongan semangat sehingga dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini.

4. Prof. Dr. Herman Mawengkang sebagai Promotor yang telah memberikan dorongan, bantuan, dukungan dan motivasi yang ikhlas dengan mengarah- kan penulisan dari awal hingga selesai.

5. Dr. Sutarman, M.Sc sebagai Co-Promotor yang telah memberi dorongan, bantuan, bimbingan dan kesabaran dalam penulisan disertasi ini.

6. Dr. Marwan Ramli sebagai Co-Promotor, yang dengan tulus ikhlas telah banyak membantu, mengarahkan dan membimbing penulis hingga disertasi ini bisa selesai.

7. Prof. Dr. Tulus, M.Si selaku komisi penguji atas ketulusan hati dalam memberikan motivasi, saran bagi penulis dalam melengkapi disertasi.

8. Prof. Dr. Anton Abdulbasah Kamil, selaku penguji luar komisi atas ketulu- san hati dalam memberikan masukan dan arahan serta penilaian mengenai isi disertasi.

9. Bapak Dr. Hizir selaku Wakil Rektor I Universitas Syiah Kuala, dan se- laku Ketua Jurusan Matematika FMIPA Universitas Syiah Kuala pada saat penulis pertama meminta izin untuk melanjutkan studi pada Program S3 di Universitas Sumatera Utara.

10. Bapak Asep Rusyana, M.Si selaku Ketua Jurusan FMIPA Universitas Syiah Kuala pada saat penulis sedang melanjutkan studi pada Program S3 di Universitas Syiah Kuala.

(10)

sitas Syiah Kuala, yang telah mendukung penuh dalam melaksanakan dan menyelesaikan studi Program S3 di Universitas Sumatera Utara.

12. Seluruh staf pengajar Program Studi Doktor Ilmu Matematika Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

13. Seluruh teman mahasiswa Program Studi Dokter Ilmu Matematika, yang tidak disebutkan satu persatu, yang memberi semangat dan dorongan serta doanya kepada penulis.

14. Sdri. Misiani, S.Si dan Staf Administrasi Departemen Matematika serta Staf Administrasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Sembah sujud yang ikhlas dan tulus serta terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada ayahanda (alm) Drs. M. Syah Asyik dan ibunda (almh) Faridah Nyak Raden yang telah membesarkan, mendidik dan mencintai penulis dengan tulus ikhlas semasa beliau masih hidup sehingga penulis bisa melanjutkan studi di Pro- gram S3 di Universitas Sumatera Utara.

Kepada suami tercinta Dr.dr. Syahrul, Sp.S (K) dan putra putri tersayang dr.Faza Nabila Syahrul, Ulfa Mazaya Syahrul, dan Aqil Naufal Syahrul, semoga Allah SWT selalu memberi rahmatNya kepada kita sebagai keluarga Sakinah, dan terima kasih yang sangat dalam dan tulus atas kesabaran dalam kehidupan sehari-hari dan selalu mendukung penuh dalam melanjutkan studi di Program S3 Universitas Sumatera Utara.

(11)

Terima kasih yang tulus untuk kakak Ir. Meutia Syafridah, Ir. Keumalasari, M.T, dan adik-adik Syahruli, dr. Mira Rosanti dan (Alm) Syahreza, S.T dan keluarga, terimakasih yang sebesar-besarnya atas semua bantuan, dukungan, dan doa dalam menyelesaikan program pendidikan ini.

Kepada kedua mertua (alm) Gazali dan Adnen, ucapan terimakasih yang dalam atas dukungan dan dorongan untuk selalu berbuat baik dan bermarta- bat dalam kehidupan. Kepada adik-adik Elida, Efendi, Yusnita, Nurkhalis dan keluarga atas semua bantuan dan dukungan dalam menunjang pendidikan selama ini.

Kita doakan bersama semoga Allah SWT selalu melindungi, memberi rah- mat dan perlindunganNya kepada kita semua, dan semoga ilmu yang penulis peroleh selama perkuliahan dan hasil penelitian disertasi ini dapat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan.

Medan, Maret 2016 Penulis,

Intan Syahrini

(12)

Intan Syahrini dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 8 September 1964 dari ayah Drs. M.Syah Asyik (Alm) dan ibu Faridah Nyak Raden (Almh) sebagai anak ke tiga dari enam bersaudara. Pada tahun 1976 lulus dari SD Negeri 1 Lho’

Seumawe, Aceh. Pada tahun 1980 lulus dari SMP Negeri 1 Banda Aceh dan pada tahun 1983 lulus dari SMA Negeri 7 Jakarta.

Pada tahun 1988 lulus sarjana dari Jurusan Matematika, Fakultas Matema- tika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Teknilogi Sepuluh November (ITS), Surabaya. Pada tahun 1991 diterima sebagai staf pengajar di Universi- tas Syiah Kuala Banda Aceh. Kemudian pada tahun 1994 lulus Magister ilmu Ekonomi Pembangunan di Universitas Syiah Kuala.

Selanjutnya pada tahun 2011, melanjutkan studi Doktor Ilmu Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Suma- tera Utara.

Saat ini, Intan Syahrini bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syiah Kuala, Bnada Aceh.

Demikian riwayat hidup ini penulis perbuat dengan sebenar-benarnya.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

KATA PENGANTAR iv

RIWAYAT HIDUP viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 9

1.3 Tujuan Penelitian 10

1.4 Manfaat Penelitian 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 11

2.1 Perencanaan Produksi 11

2.1.1 Sejarah dan evolusi model perencanaan produksi 12 2.1.2 Mixed integer linear programming untuk perencanaan

produksi 14

2.2 Perencanaan Produksi untuk Produk yang Tidak Tahan Lama

(Parishable) 17

2.3 Teori Persediaan dan Model Produk yang Tidak Tahan Lama 19

BAB 3 RANTAI PASOKAN 21

3.1 Manajemen Rantai Pasokan 21

(14)

BAB 4 PERENCANAAN PRODUKSI-DISTRIBUSI PADA PRODUK YANG

TIDAK TAHAN LAMA (PERISHABLE) 30

4.1 Klasifikasi Produk yang Tidak Tahan Lama 30 4.2 Memodelkan Masa Pakai Produk dalam Perencanaan Produksi-

Distribusi 40

4.2.1 Tugas perencanaan produksi 42

4.2.2 Tugas perencanaan distribusi 47

BAB 5 PEMBENTUKAN MODEL MATEMATIKA 54

5.1 Formulasi Masalah 54

5.2 Formulasi Model 56

BAB 6 METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN 63

6.1 Metode Penyelesaian 63

6.2 Algoritma 66

6.3 Hasil Perhitungan 67

BAB 7 PENUTUP 79

7.1 Kesimpulan 79

7.2 Saran 80

DAFTAR PUSTAKA 81

LAMPIRAN 79

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Cakupan supply chain management 22

4.1 Klasifikasi produk yang tidak tahan lama 34 6.1 Jumlah produksi setiap produk per periode di setiap plant (Kg) 71 6.2 Jumlah permintaan setiap produk per periode yang tidak terpenuhi

di distributor (Kg) 72

6.3 Jumlah setiap produk yang dalokasikan ke setiap distributor per

periode (Kg) 73

6.4 Jumlah pengiriman setiap produk dari plant 1 ke setiap distributor

per periode (Kg) 73

6.5 Jumlah pengiriman setiap produk dari plant 2 ke setiap distributor

per periode (Kg) 74

6.6 Jumlah Produksi setiap produk untuk total karyawan per periode

di setiap plant (Kg) 75

6.7 Jumlah Penambahan Karyawan 76

6.8 Jumlah Pengurangan Karyawan 77

(16)

Nomor Judul Halaman

3.1 Bagan supply chain untuk produk barang 28

3.2 Bagan supply chain untuk produk barang 29

(17)

ABSTRAK

Pada masa globalisasi sekarang ini, telah terjadi peningkatan minat yang sangat pesat terhadap supply chain system (SCS) terutama dalam permodelan peren- canaan terintegrasi produksi dan distribusi untuk memperoleh keuntungan yang besar secara ekonomi. Penelitian disertasi ini membahas tentang perencanaan terintegrasi produksi-distribusi pada multi-plant dan multi-produk ikan yang se- cara bersamaan menghasilkan multi produk ikan dari beberapa kelas bahan baku.

Penelitian ini dilakukan di pantai timur Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

Masalah perencanaan produksi bertujuan untuk memenuhi permintaan pelang- gan dimana terdapat kendala terhadap bahan baku dan produk yang mudah rusak (perishable). Penelitian ini mengembangkan model program linier mixed integer yang melakukan pengolahan ikan menjadi beberapa produk seafood pada setiap plant dan kemudian mendistribusikan ke pusat distribusi. Solusi penyelesaian masalah tersebut menggunakan metode pencarian langsung (Direct search).

Kata kunci: Rantai pasokan, Multi-plant, Pemodelan, Perikanan, Variabel super basic

(18)

Nowadays in the global supply chain system there has been an increased interest in modeling the integration of production and distribution planning, in order to get more economics advantages. This paper considers a multi-plant and multi- product fish production-distribution planning which produces simultaneously multi fish products from several classes of raw resources. The research under investi- gation is located at Eastern coast of North Sumatra Province, Indonesia. The production planning problem aims to meet customer demand subject to perishable nature of raw fish material and the finished products. This paper develops a mixed integer linear programming model of the management which performs processing fish into several seafood products and distributes them to a set of distribution cen- ters. Direct search is used for solving the model.

Keywords: Supply chain, Multi-plant, Modeling, Fishery, Super basic variable

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam perencanaan suatu rantai pasokan diperlukan koordinasi yang sinergis an- tara sebuah jaringan yang terdiri atas sumber daya pasokan, produksi dan dis- tribusi. Perencanaan rantai pasokan merupakan interaksi antara pembeli dengan penjual yang melibatkan berbagai tahap yang dimulai dengan pasokan sampai de- ngan penjualan, Diantara pasokan dan penjualan terdapat perencanaan produksi dan distribusi produk.

Sebelum terdapat mata rantai pasokan, peneliti melakukan penelitian secara terpisah antara perencanaan produksi dan distribusi. Perencanaan produksi dapat dilihat sebagai perencanaan untuk memperoleh sumber daya dan bahan baku yang mengolah bahan baku menjadi produk dan pendistribusian hasil produksi. Perlu perhitungan yang komprehensif dan manajemen yang profesional dalam distribusi hasil produksi. Perencanaan rantai pasokan sangat bermanfaat untuk manejeral dalam menentukan aliran material bahan baku, pemasok, pusat distribusi, dan berakhir di pelanggan.

Tujuan perencanaan untuk distribusi produk yang tepat ketempat yang sesuai dan pada waktu yang tepat untuk harga yang tepat (Xu et al., 2009 dan Yu et al., 2015). Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan perencanaan produksi dan pendistribusian, khususnya multi produk utuk beberapa periode.

(20)

Dalam suatu proses industri, industri ikan merupakan operasi produksi dan distribusi telah digunakan sebagai alat untuk mendefinisikan sistem manajemen rantai pasokan. Salah satu tujuan utama dari manajemen operasi adalah untuk optimalisasi total biaya dari konversi ikan mentah menjadi barang jadi makanan laut dan kemudian mengirimkannya ke pusat distribusi (Bilgen dan Ozkarahan, 2004 dan Shahparvari et al., 2013). Cohen dan Lee (1988) menjelaskan model sistem rantai pasokan terpadu yang terdiri dari vendor bahan baku, plant yang terdiri dari persediaan bahan baku dan produk akhir, pusat distribusi, gudang dan pelanggan. Sedangkan Cohen dan Moon (1991) menggunakan optimasi rantai pasokan untuk analisis dampak dari skala, kompleksitas.

Biaya operasi merupakan fungsi dari tingkat pemanfaatan dan jumlah pro- duk yang diproses pada setiap fasilitas dan bobot masing-masing faktor biaya, misalnya produksi, transportasi dan biaya alokasi pada desain dan pemanfaatan optimal pada pola sistem rantai pasokan.

Berbagai penelitian yang berkaitan dengan perencanaan produksi dan dis- tribusi hasil produksi telah banyak dilakukan. Timpe dan Kalirat (2000) menggu- nakan model MILP (Mixed Integer Linear Programming) yang mengintegrasikan produksi, distribusi dan pemasaran yang melibatkan material dan hasil penjualan.

Penelitian mereka bertujuan untuk melihat relevansi antara manajemen rantai pa- sokan dengan jaringan produksi multi-site.

Armtzen (1995) mengembangkan MILP untuk membuat model rantai pa- sokan global untuk menentukan jumlah produk pada plant, pelanggan (pusat dis-

(21)

3

tribusi), dan jumlah lokasi dari pusat distribusi. Jolayemi dan Olorumniwo (2004) merumuskan model rantai pasokan dua tahap yang menentukan jumlah produk yang optimal untuk diproduksi pada setiap plant, kemudian diangkut dari setiap plant ke setiap pusat distribusi. Terdapat kendala yang besar dan variabel bin- er akan mengakibatkan peningkatan yang cepat pada jumlah produk, plant, dan pusat distribusi.

Pendekatan Taguchi-Immune hybrid yang diterapkan oleh Tiwari et al., (2010) untuk mengoptimalkan dan mengintegrasikan masalah desain rantai pa- sokan dengan beberapa pilihan pengiriman, distribusi permintaan pelanggan, dan lead time tetap. You dan Grossman (2009) menggunakan model MILP dan strategi komputasi untuk masalah rantai pasokan multi-eselon dengan ketidak- pastian persediaan. Gajpal dan Nourelfath (2015) mempertimbangkan sistem produksi multi-periode yang mengintegrasikan distribusi produk dan produksi perencanaan. Para peneliti tersebut menggunakan pendekatan heuristik tiga fase dan Tabu Search untuk menyelesaikan model terintegrasi. Kajian secara detail sistem produksi-distribusi yang terintegrasi telah disampaikan oleh Riemann et al., (2014), Chen (2010) dan Fahimnia et al., (2013).

Penelitian ini difokuskan pada perencanaan produksi multi-produk dari be- berapa plant dan pendistribusian yang timbul dalam industri perikanan di Indone- sia. Lokasi penelitian terletak di daerah pesisir Timur Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Sektor perikanan merupakan salah satu potensi yang dapat diman- faatkan untuk mendukung pembangunan ekonomi Indonesia. Industri tersebut

(22)

dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang bertempat tinggal didaerah pesisir, dan dapat meningkatkan meningkatkan pendapatan pemerintah daerah.

Sektor industri perikanan diklasifikasikan menjadi tiga sektor yang berbe- da, yaitu perikanan laut lepas, budidaya ikan dan ikan olahan. Penelitian ini terfokus pada sektor yang terakhir yaitu sektor ikan olahan. Umumnya indus- tri ikan olahan di Indonesia dapat ditemukan di daerah pesisir. Berbagai jenis ikan olahan dapat diproduksi seperti ikan asap, ikan asin, ikan kaleng, terasi dan lain-lain. Pengelolaan industri olahan ikan masih didominasi oleh usaha tradi- sional skala kecil dengan menggunakan strategi manajemen konvensional. Aki- batnya para nelayan tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam pengelolaan sistem rantai pasokan, sehingga terjadi ketidak seimbangan antara permintaan dengan pasokan produk perikanan. Ketidakseimbangan terse- but disebabkan oleh kurangnya informasi dan belum optimalnya pengelolaan dan pemasaran ke konsumen.

Produk perikanan memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan produk lain seperti beras, pupuk atau pakaian. Produk ikan memiliki sifat umur penggunaan yang pendek serta tingkat kerentaan yang tinggi terhadap cuaca, se- hingga diperlukan penanganan khusus dalam proses produksi dan distribusinya guna mempertahankan kualitas produk tersebut. Proses produksi dan pendis- tribusian perikanan berkaitan erat dengan manajemen rantai pasokan (supply chain management).

(23)

5

Produk yang mudah rusak, seperti ikan olahan, merupakan kesulitan tam- bahan bagi pengaturan rantai pasokan karena keterbatasan produk shelf-life yang didefinisikan sebagai panjang waktu maksimum produk yang dapat disimpan da- lam kondisi tertentu dan masih bisa digunakan. Kesulitan-kesulitan ini termasuk batas waktu penyimpan produk karena adanya tanggal kadaluarsa. Oleh karena itu, jumlah yang dikirim ke pusat distribusi dibatasi oleh barang yang shelf-life.

Seyed Hosseini dan Ghoreyshi (2014) mempertimbangkan model perencanaan terintegrasi produksi-distribusi untuk produk yang tidak tahan lama. Jaringan rantai pasokan dianggap terdiri dari fasilitas produksi dan beberapa pusat dis- tribusi. Chen dan Varaktarakis (2005) membahas integrasi perencanaan produksi- distribusi dengan penjadwalan untuk industri jasa makanan katering. Penelitian mereka adalah untuk menentukan penjadwalan perencanaan produksi-distribusi sedemikian rupa sehingga tingkat layanan kepuasan pelanggan tercapai dan biaya total yang minimal. Hasil produksi shelf life merupakan salah satu tantangan dan kendala terbesar pada dunia industri makanan segar. Karena sifat pro- duk yang mudah rusak, maka tingkat persediaan pada rantai pasokan makanan segar harus sangat rendah untuk menghindari pemborosan karena kadaluwarsa dan pembusukan produk, seperti yang disampaikan oleh Soman et al., (2004b).

Liu dan Tu (2008) menganalisis tentang lot sizing dan pengaruhnya pada tingkat persediaan dan penjualan yang hilang. Diperoleh bahwa mempertahankan persediaan yang ada untuk memenuhi sebagian dari permintaan bukanlah meru- pakan solusi optimal. Hal ini sangat penting dalam industri produk yang tidak

(24)

tahan lama di mana shelf life membatasi waktu penyimpanan produk tersebut.

Banyak peneliti yang telah menyelidiki masalah produk yang mudah rusak men- yarankan solusi optimal untuk mengelola produk rantai pasokan yang mudah rusak. Jiang dan Chen (2007) mengembangkan penggabungan antara manufaktur, integrasi perencanaan produksi dan penjadwalan optimal. Penelitian ini meng- hasilkan jadwal produksi berdasarkan informasi yang pasti dari sumber daya dan kapasitas seluruh rantai pasokan yang tersedia.

Soman et al., (2004a) juga meneliti proses perencanaan produksi dan penjad- walan di industri manufaktur dengan produk yang mudah rusak. Yang bersang- kutan menyarankan bahwa produsen makanan harus berusaha untuk mengirim produk yang segar kepada pelanggan dengan cara mengurangi waktu penyim- panan produk dan menghindari pengiriman produk dengan tanggal kadaluwarsa.

Penelitian ini memberikan dampak pada lebih seringnya manufaktur beroperasi yang pada akhirnya akan meningkatkan biaya setup mesin, dan juga dapat mem- pengaruhi kualitas produk (Soman et al., 2004b).

Goyal dan Vishwanathan (2002) dan Chowdhury dan Sarker (2001) me- nyatakan bahwa optimasi penjadwalan produksi dapat dicapai baik melalui pe- nyesuaian waktu siklus atau tingkat produksi, atau keduanya secara bersamaan.

Penurunan ukuran frekwensi produksi produk dapat mengakibatkan penurunan produksi lead-time dimana tingkat persediaan yang disimpan lebih rendah se- hingga akan menghasilkan produk yang segar dan biaya produksi yang rendah.

Karakteristik produk yang mudah rusak dapat tercermin dalam bentuk aspek-

(25)

7

aspek yang lain bahkan di luar kondisi fisik produk (misalnya kerusakan atau penipisan). Xu dan Sarker (2003) mempertimbangkan produktifitas dari produk yang mudah rusak dipasar kompetitif. Penelitian ini menggunakan konsep shelf- life (periode waktu di mana produk dapat disimpan tanpa kehilangan fungsi dan kegunaannya).

Untuk menyajikan kontribusi terbaru dan relevan pada model perencanaan produksi perlu diperhitungkan fitur yang mudah rusak atau shelf-life (Kallrath, 2002). Dimana penelitian tersebut menggambarkan beberapa masalah peren- canaan dan penjadwalan produksi yang dihadapi pada industri kimia.

Penelitian tersebut memperhitungkan dan membedakan tiga kelas dari sis- tem produksi, yaitu produksi kontinu, produksi batch dan produksi semi-batch.

Di antara beberapa aspek yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah terse- but, Kallrath mengacu pada kemungkinan pembatasan waktu dari produk shelf- life.

Newmann et al., (2002) memperkenalkan model Pemrograman Mixed Inte- ger Nonlinear pada Sistem Perencanaan Lanjutan dalam masalah produksi batch untuk proses industri. Model yang di gunakan direduksi menjadi Mixed Bina- ry Linear programming ukuran sedang, dan pada kendalanya terdapat produk yang mudah rusak. Pada penelitian ini, semua produk harus dikonsumsi setiap saat sehingga tidak ada produk yang mudah rusak disimpan sebagai cadangan.

Akibatnya jumlah yang diproduksi oleh batch harus sama dengan jumlah yang dikonsumsi tanpa penundaan. Model yang diusulkan tersebut diterapkan untuk

(26)

perencanaan produksi untuk pabrik industri kimia dan diselesaikan dengan meng- gunakan algoritma branch-and-bound.

Entrup et al., (2005) mengembangkan model Mixed Integer Linear Program- ming (MILP) yang menggabungkan batas dari shelf-life untuk produk akhir da- lam perencanaan dan penjadwalan dalam studi kasus pada industri produksi yo- ghurt. Model yang digunakan difokuskan pada tahap rasa dan kemasan dari proses produksi yoghurt. Dengan mempertimbangkan bahwa shelf-life tergantung pada komponen harga, dimana dimasukan aspek shelf-life ke dalam fungsi tujuan yang bertujuan untuk memaksimalkan kontribusi marginal. Kajian numerik dilakukan untuk menilai kesesuaian model untuk masalah perencanaan tertentu. Orun, et al., (2001) mengembangkan model perencanaan dan penjadwalan produksi dengan menggunakan model MILP.

Terlepas dari teknik formulasi, model perencanaan produksi diterapkan pada beberapa pabrik. Karena perumusan model perencanaan produksi sangat fleksi- bel, variabel dan kendala disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahannya.

Secara khusus, seperti industry makanan dan bahan kimia memiliki sistem manu- faktur yang melibatkan kriteria produk dan bahan baku yang tidak tahan lama.

Model dalam penelitian ini menggunakan model perencanaan terintegrasi produksi dan distribusi pada produk seafood. Model tersebut terdiri dari bebera- pa plant yang memproduksi produk ikan, dimana persediaan produk ikan dapat disimpan pada setiap plant dengan kapasitas terbatas dan waktu penyimpanan

(27)

9

yang terbatas. Barang jadi ikan akan dikirim ke setiap pusat distribusi yang memiliki keterbatasan ruang penyimpanan yang dingin.

1.2 Perumusan Masalah

Dari kajian literatur tersebut diatas terlihat bahwa ada banyak permasalahan da- lam perencanaan produksi dan distribusi hasil produk terutama terhadap produksi dan distribusi untuk produk yang memiliki shelf-life. Pada penelitian-penelitian tersebut, shelf-life didefinisikan sebagai lama waktu maksimum bahan baku dapat disimpan dengan kondisi tertentu dan tetap dapat diproses.

Pada penelitian ini shelf-life didefinisikan sebagai peristiwa antara manu- faktur dan pusat distribusi ikan olahan, dalam hal ini ikan olahan berada dalam kualitas terkonsumsi dan kondisi terjual.

Penelitian ini berkaitan dengan model perencanaan terintegrasi produksi dan distribusi terhadap produk yang memiliki shelf-life, yaitu produk yang memiliki batas waktu maksimum dapat disimpan dengan kondisi tertentu dan tetap dapat diproses di beberapa plant.

Proses akhir produk ikan akan dikirim ke setiap pusat distribusi yang memi- liki keterbatasan ruang penyimpanan yang dingin. Hal lain yang dapat menim- bulkan kesulitan yaitu, dalam model yang juga ditentukan jumlah pekerja dalam proses pengolahan. Sehingga model yang akan dihasilkan adalah model peren- canaan terintegrasi produksi dan distribusi dengan memperhatikan produk yang shelf-life, serta dengan memperhatikan jumlah tenaga kerja untuk produksi pro- duk akhir olahan ikan.

(28)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun model program integer untuk perencanaan yang terintegrasi antara produksi dan distribusi ikan olahan pada multi-plant, multi-item, multi-period untuk mencapai biaya minimum dengan mem- perhatikan produk yang memiliki shelf-life, dan tenaga kerja.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi pengambil kepu- tusan dalam mengembangkan ikan olahan yang mudah rusak. Pengkajian peren- canaan secara terintegrasi produksi dan distribusi produk yang mudah rusak da- pat digunakan sebagai informasi tambahan bagi pemerintah dalam rangka menen- tukan kebijakan pemberdayaan usaha kecil di daerah pesisir.

(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perencanaan Produksi

Wolsey dan Pochet (2006) menyatakan bahwa perencanaan produksi dapat dili- hat sebagai perencanaan sumber daya dan bahan baku (komponen), serta peren- canaan kegiatan produksi yang diperlukan untuk mengubah bahan baku men- jadi hasil produksi. Dalam penyusunan perencanaan produksi, hal yang perlu dipertimbangkan adalah adanya optimasi produksi sehingga dapat tercapai biaya minimal untuk pelaksanaan proses produksi tersebut.

Penyelesaian masalah perencanaan produksi membuat keputusan mengenai ukuran banyak produksi atau tingkat produksi untuk setiap periode waktu dalam horizon perencanaan. Selain itu, solusi masalah ini juga dapat mencakup kepu- tusan tentang jumlah bahan baku (komponen) yang dibeli, jumlah pemesanan, tingkat persediaan untuk produk jadi, urutan produksi, dan variabel lain yang berkaitan dengan aspek-aspek tersebut.

Perencanaan produksi menganggap aliran material dan persediaan balance dalam waktu yang diindeks menggunakan diskritisasi kasar relatif waktu, seperti tahun, kuartal, bulan atau minggu (Kallrath, 2005). Model Linear Program- ming (LP), Model Mixed Integer Linear Programming (MILP), dan Model Mixed Integer Non-Linear Programming (MINLP) sering tepat dan berhasil untuk me- nyelesaikan masalah perencanaan produksi dengan fungsi tujuan, seperti: laba

(30)

bersih, kontribusi margi, biaya, jumlah penjualan, total produksi, dan lain-lain (Kallrath, 2005).

2.1.1 Sejarah dan evolusi model perencanaan produksi

Harris dan Wilson EOQ Model

Pengembangan perencanaan produksi dan model penjadwalan produksi di- mulai pada tahun 1913 dengan Model Economic Order Quantity (EOQ) oleh FW Harris. Tujuan dari model EOQ adalah untuk menentukan kuantitas pe- sanan yang meminimalkan total biaya penyimpanan barang dan biaya pemesanan.

Memperluas kontribusi Harris, RH Wilson mengembangkan model titik re-order statistik pada tahun 1934 dengan tujuan mencegah komponen dari kehabisan stok dan memperkenalkan gagasan safety stok.

Pada tahun 1940, Wilson mengkombinasikan model yang telah diperolehnya dengan model Harris EOQ dan model tersebut disebut dengan model Wilson EOQ, atau Formula Wilson. Model ini menjadi teknik pengendalian persediaan selama hampir 30 tahun (Adam dan Sammon, 2004).

Model Wagner and Whitin Dynamic Lot-Sizing and MRP

Lebih dari satu dekade kemudian, kontribusi penting lain dibuat oleh H.

Wagner dan T. whitin. Mereka memperkenalkan model Dinamis Lot-Sizing pada tahun 1958 sebagai bentuk umum dari model EOQ, dimana permintaan sebagai waktu yang bervariasi. Selanjutnya, pengenalan model Bahan Kebutuhan Peren- canaan (MRP, Material Requirement Planning) pada 1970-an adalah langkah

(31)

13

yang besar dalam standarisasi dan kontrol sistem perencanaan produksi (Wolsey dan Pochet, 2006). Sementara MRP memfokuskan pada perencanaan dan pen- jadwalan bahan (material). Model selanjutnya disebut Manufacturing Resource Planning (MRP II) yang mencakup semua aspek proses manufaktur, antara lain:

termasuk perencanaan kebutuhan, penjualan dan perencanaan operasi (S & OP, Sale and Operations Planning), jadwal induk produksi (MPS, Master Production Schedule), bill of material (BOM) dan inventory control.

Advanced Planning and Scheduling and Enterprise Resource Planning Systems

Selama dekade tahun 1980 dan 1990-an, MRP dan MRP II diintegrasikan dalam rantai pasokan (Supply Chain) dan fasilitas manufaktur yang sekarang dikenal sebagai Advanced Perencanaan dan Penjadwalan (APS) dan Enterprise Resource Planning (ERP). Dengan demikian, sistem APS menyediakan peren- canaan rantai pasokan jangka panjang, menengah, dan pendek termasuk aspek pengadaan, produksi, distribusi, dan penjualan (Newmann et al., 2002). Selain itu, sistem ERP tidak hanya pada perencanaan dan penjadwalan pemasokan ma- terial (Chen, 2001). Sistem ERP juga mencakup aspek teknologi, seperti database relasional, penggunaan bahasa generasi keempat, dan komputer yang dibantu alat rekayasa perangkat lunak (Adam dan Sammon, 2004).

Menurut Wolsey dan Pochet (2006), MRP dan penerusnya tidak cukup un- tuk perencanaan pabrik atau perusahaan yang efisien. Banyak kritik ditujukan pada ketidakmampuan sistem tersebut untuk menangani secara efektif terhadap

(32)

waktu dan keterbatasan kapasitas. Bahkan di APS dan sistem ERP, modul peren- canaan masih dilihat sebagai tidak dapat digunakan, atau tidak mampu menan- gani kompleksitas masalah perencanaan berkapasitas.

2.1.2 Mixed integer linear programming untuk perencanaan produksi

Penerapkan perencanaan produksi untuk sistem manufaktur yang sulit disele- saikan dengan menggunakan model Mixed Integer Linear Programming (MILP).

Hal ini disebabkan sifat dari variabel keputusan untuk beberapa fitur terlibat da- lam masalah tersebut, misalnya, setup biaya dan waktu, start up biaya dan waktu, keputusan penugasan mesin, biaya pemesanan (ordering cost), waktu, dan seba- gainya. Biaya dan waktu adalah tetap per batch dan tidak sebanding dengan ukuran batch. Oleh karena itu, variabel biner atau bilangan bulat diperlukan untuk model tersebut (Wolsey dan Pocket, 2006)

Or¸cun et al., (2001) mengembangkan model waktu kontinu untuk peren- canaan produksi dan penjadwalan untuk pengolaha pabrik. Mula-mula, model yang digunakan adalah Mixed Integer Nonlinear Programming (MINLP), dan ke- mudian dirumuskan sebagai MILP dengan menggunakan teknik linearisasi. Model ini bertujuan untuk memaksimalkan laba bersih yang diperoleh dari produksi, waktu minimum untuk operasi dan setup peralatan, dan periode penjadwalan.

Pada penelitian ini diterapkan pada Pabrik pengolahan multi-produk cat untuk menunjukkan efektivitas model.

(33)

15

Timpe (2002) menyajikan gabungan model Mixed Integer Linear Program- ming/pemrogram berkendala (MILP/CP) untuk perencanaan produksi pada in- dustri proses kimia dengan fungsi tujuan meminimalkan setup, stock holding dan backlogging cost. Model MILP adalah bentuk standar dari masalah dynamic lot- sizing dan melibatkan keseimbangan bahan, pembuatan (setup) produksi penggu- naan mesin dan kendala batas persediaan . Model ini diselesaikan menggunakan program C++ menggunakan fungsi perpustakaan XPRESS-MP Dash.

Floudas dan Lin (2005) membuat review kemajuan pendekatan MILP un- tuk sistem penjadwalan jangka pendek. Model yang disajikan diklasifikasikan dalam betuk waktu diskrit dan kontinu, dan beberapa pendekatan untuk mem- percepat proses solusi juga ditampilkan. Variabel keputusan yang digunakan pada penelitian ini dalam bentuk biner. Sedangkan jumlah produk yang diproduk- si, dikonsumsi dan tersedia (kontinu) dalam interval waktu tertentu. Dengan demikian, persamaan persediaan adalah sama dengan menunjukkan bagaimana menambahkan shelf-life di Kallrath (2005), disajikan untuk kedua model waktu diskrit dan kontinu.

Chen dan Ji (2007) menerapkan masalah Perencanaan dan Penjadwalan lanjut (APS) dalam model MILP. Model ini mempertimbangkan keterbatasan kapasitas, urutan operasi, lead time, tanggal jatuh tempo dan multi-level struk- tur produk (Bill of Material). Chen dan Ji membahas masalah MILP untuk mendapatkan jadwal pemesanan optimal dengan menyusun fungsi tujuan dalam dua bagian utama: pertama, produksi waktu idle harus diminimalkan (setara de-

(34)

ngan memaksimalkan pemanfaatan mesin), dan kedua, pesanan harus diselesaikan sedekat mungkin dengan tanggal jatuh tempo (meminimalkan keterlambatan dan denda). Model ini diilustrasikan oleh empat level produk dan diselesaikan de- ngan menggunakan CPLEX. Hasil optimal ditunjukan dalam bentuk numerik dan grafik.

Moreno dan Montagna (2009) mengusulkan sebuah model MILP untuk meng- optimalkan perencanaan produksi dan keputusan desain yang diterapkan pada multi-product tanaman dalam bentuk skenario multi-periode. Model ini meli- batkan biaya musiman deterministik, harga, permintaan dan persediaan. Tujuan dari model ini adalah untuk memaksimalkan keuntungan bersih (biaya penjualan, investasi, persediaan, pembuangan limbah dan biaya sumber). Model menghi- tung struktur tanaman dan alokasi tangki penyimpanan, ukuran satuan, tingkat persediaan baik produk maupun bahan baku dan pembelian produk. Penelitian ini menyajikan dua contoh masalah untuk menggambarkan pendekatan formulasi serta fleksibilitas dan kegunaan.

Seperti dapat dilihat, perencanaan produksi dengan menggunakan Mixed In- teger Linear Programming harus diselesaikan secara ekstensif, mempertimbangkan berbagai aspek, sistem, dan perspektif. Bagaimanapun masih diperlukan waktu yang panjang untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, tidak hanya dalam perumusan masalah tetapi juga pada solusi yang efisien untuk model tersebut.

(35)

17

2.2 Perencanaan Produksi untuk Produk yang Tidak Tahan Lama (Parishable)

Model perencanaan produksi diterapkan pada beberapa jenis sistem manufaktur.

Karena fleksibilitas perumusan model ini, variabel dan kendala disesuaikan dengan kebutuhan dan spesifikasi masing-masing masalah. Secara khusus, industri seperti makanan dan bahan kimia memiliki sistem manufaktur yang melibatkan produk dan bahan baku yang memiliki karakteristik yang tidak tahan lama. Berarti setelah diproduksi dalam waktu tertentu, produk dan bahan baku tidak berguna lagi atau memburuk dan harus dibuang untuk mengurangi nilai komersial.

Kallrath (2002) menyatakan bahwa masalah produksi perencanaan dan pen- jadwalan banyak dihadapi dalam industri proses kimia. Kallrath memperhi- tungkan dan membedakan tiga kelas sistem produksi, yaitu: produksi kontinu, batch dan produksi semi-batch. Di antara beberapa aspek yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut, Kallrath mengacu pada kemungkinan pembata- san waktu kehidupan (self-life) produk. Maka, ditetapkan bahwa waktu product- aging harus ditelusuri dalam bentuk kendala, seperti: waktu maksimum shelf-life, biaya pembuangan untuk produk yang sudah expired, dan penetapan harga jual sebagai fungsi hidup produk.

Entrup et al., (2005) mengembangkan tiga Mixed Integer Linear Program- ming (MILP) model yang menggabungkan keterbatasan shelf-life untuk produk akhir dalam perencanaan dan penjadwalan untuk kasus industri produksi yoghurt.

Model yang disajikan memfokus pada rasa dan kemasan dari proses produksi yo- ghurt.

(36)

Corominas et al., (2007) mengusulkan dua model MILP untuk menyelesaikan masalah produksi, jam kerja dan minggu-minggu libur untuk sumber daya manu- sia dalam proses multi-produk dengan produk yang mudah rusak. Kedua model memiliki fungsi tujuan yang sama yaitu memaksimalkan keuntungan (biaya pen- dapatan dikurangi biaya produksi, penghapusan produk, kehilangan permintaan, dan persediaan). Percobaan komputasi dilakukan untuk mengevaluasi efisiensi Model dan diselesaikan dengan menggunakan ILOG CPLEX 8.1.

Wang et al., (2009) menyajikan model binary integer programming untuk perencanaan operasi yang melibatkan traceability produk, ukuran bets produksi, tingkat persediaan, produk shelf-life, dan aspek lain dalam produksi pangan yang mudah rusak. Mereka memodelkan dua skenario yang berbeda, yaitu: satu de- ngan tagihan bahan dua tingkat (bahan baku dan produk jadi), dan satu dengan tagihan bahan tiga tingkat (menambahkan komponen). Shelf-life dianggap peri- ode antara pembuatan dan pembelian produk yang berkualitas atau kondisi yang memuaskan, dan itu dihitung dengan mengurangi waktu penyimpanan produk yang tahan lama. Untuk memasukkan faktor self-life, diskon harga sementara diterapkan dengan mengukur biaya kerusakan produk. Wang et al., menyatakan bahwa model tersebut berlaku tidak hanya untuk makanan yang cepat rusak, tetapi lebih luas lagi dari batch produksi dan pengolahan perakitan. Sebuah studi kasus dengan simulasi numerik diimplementasikan menggunakan Microsoft Excel.

Analisis sensitivitas dilakukan untuk menggambarkan pekerjaan yang diusulkan.

Meskipun penulis hanya menyajikan sebagian dari literatur yang tersedia, penelitian ini terfokus pada model perencanaan produksi untuk shelf-life dari pro-

(37)

19

duk. Namun, ketika mempelajari sistem seperti yang ada di industri manufaktur bahan komposit, sangat umum untuk menemukan fitur dari kerusak dalam kom- ponen (bahan baku), dan tidak begitu menonjol dalam produk akhir.

2.3 Teori Persediaan dan Model Produk yang Tidak Tahan Lama

Nahmias (1982) disajikan tinjauan literatur yang ada terkait dengan teori perse- diaan tidak tahan lama. Dalam hal ini, bahan tidak tahan lama dibagi menjadi dua kelas, yaitu: fixed lifetime dan random lifetime. Yang pertama mengacu pada kasus-kasus di mana shelf-life diketahui apriori dan tidak tergantung dari para- meter lain dalam sistem. Kategori ini juga memisahkan pada kasus permintaan deterministik dan stokastik. Sedangkan kelas kedua berkaitan dengan peluruhan eksponensial dari self-life dan termasuk kasus di mana berperilaku secara random dengan distribusi probabilitas tertentu.

Chang dan Chou (2008) mengusulkan model persediaan untuk produk tahan lama dalam industri penerbangan. Para penulis mencatat bahwa dalam industri ini, produk yang mudah rusak adalah bahan kimia baku yang digunakan di pe- sawat, atau bahan baku untuk pembuatan bahan senyawa. Asumsi dari studi ini adalah bahwa usia tiba unit persediaan adalah nol, yaitu mereka tiba dalam kon- disi segar dan self-life mulai mengurangi kondisi kesegaran tersebut. Selain itu, sebagian besar yang berhubungan dengan pekerjaan, unit yang belum digunakan sebelum tanggal kedaluwarsa dibuang dan diterapkan biaya outdate. Berdasarkan hal tersebut di atas, Chang dan Chou mengusulkan sebuah model dengan empat pilihan kebijakan yang berbeda: yang pertama mengabaikan kemungkinan negosi-

(38)

asi antara pemasok dan pelanggan; Model 2 termasuk pemasok dan menganggap kebijakan kembali; yang ketiga bergabung pelanggan mempertimbangkan diskon;

dan yang terakhir melibatkan semua hal di atas. Sebuah perusahaan kedirgan- taraan diambil sebagai contoh untuk memverifikasi keabsahan model.

(39)

BAB 3

RANTAI PASOKAN

3.1 Manajemen Rantai Pasokan

Manajemen Rantai Pasokan atau disebut Supply Chain Management merupakan pengelolaan rantai siklus yang lengkap mulai bahan mentah dari para supplier, ke kegiatan operasional di perusahaan, berlanjut ke distribusi sampai kepada kon- sumen. Istilah supply chain management pertama kali dikemukakan oleh Oliver dan Weber pada tahun 1982. Supply chain adalah jaringan fisiknya, yakni pe- rusahaanperusahaan yang terlibat dalam memasok bahan baku, memproduksi barang, maupun mengirimkannya ke pemakai akhir, supply chain management adalah metode, alat, atau pendekatan pengelolaannya. Definisi Supply Chain Management juga diberikan oleh Mona dan Fitzsimmons (2004), yang menyatakan bahwa supply chain management adalah sebuah sistem pendekatan total untuk mengantarkan produk ke konsumen akhir dengan menggunakan teknologi infor- masi untuk mengkoordinasikan semua elemen supply chain dari mulai pemasok ke pengecer, lalu mencapai tingkat berikutnya yang merupakan keunggulan kom- petitif yang tidak tersedia di sistem logistik tradisional. Sedangkan definisi Sup- ply Chain Management menurut Chase, Aquilano, Jacobs (2010) adalah sistem untuk menerapkan pendekatan secara total untuk mengelola seluruh aliran infor- masi, bahan, dan jasa dari bahan baku melalui pabrik dan gudang ke konsumen akhir. Stevenson (2013) mendefinisikan supply chain management sebagai suatu

(40)

koordinasi strategis dari rantai pasokan dengan tujuan untuk mengintegrasikan manajemen penawaran dan permintaan. Russell dan Taylor (2011) mendefini- sikan bahwa supply chain management adalah mengelola arus informasi, produk dan pelayanan di seluruh jaringan baik itu pelanggan, perusahaan hingga pema- sok.

Dengan demikian, berdasarkan berbagai definisi supply chain management sebagaimana telah disampaikan, dapat ditarik hal umum bahwa supply chain management adalah semua kegiatan yang terkait dengan aliran material, infor- masi dan uang di sepanjang supply chain. Lebih jauh cakupan supply chain mana- gement akan meliputi hal-hal berikut (Pujawan, 2005).

Tabel 3.1 Cakupan supply chain management

Bagian Cakupan kegiatan antara lain

Pengembangan Produk Melakukan riset pasar, merancang produk baru, melibatkan supplier dalam perancangan produk baru

Pengadaan Memilih supplier, mengavaluasi kinerja suppli- er, melakukan pembelian bahan baku dan kom- ponen, memonitor supply risk, membina dan memelihara hubungan dengan supplier

Perencanaan Pengendalian Demand planning, peramalan permintaan, perencanaan kapasitas, perancanaan produksi dan persediaan

Operasi/ Produksi Eksekusi produksi, pengendalian kualitas Pengiriman/ Distribusi Perencanaan jaringan distribusi, penjadwalan

pengiriman, mencari dan memelihara hubungan dengan perusahaan jasa pengiriman, memoni- tor service level di tiap pusat distribusi

(41)

23

Hal penting yang menjadi dasar pemikiran pada konsep ini adalah fokus pada pengurangan kesia-siaan dan mengoptimalkan nilai pada rantai pasokan yang berkaitan. Dengan demikian Manajemen Rantai Pasokan dapat didefinisikan se- bagai pengelolaan berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh bahan mentah, dilanjutkan kegiatan transformasi sehingga menjadi produk dalam proses, kemu- dian menjadi produk jadi dan diteruskan dengan pengiriman kepada konsumen melalui sistim distribusi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan mencakup pembe- lian secara tradisional dan berbagai kegiatan penting lainnya yang berhubungan dengan supplier dan distributor.

Komponen dari supply chain management menurut Turban (2004) terdiri dari tiga komponen utama yaitu:

1. Upstream supply chain

Bagian upstream (hulu) supply chain meliputi aktivitas dari suatu perusa- haan manufacturing dengan para penyalurnya (yang mana dapat manufac- turers, assemblers, atau kedua-duanya) dan koneksi mereka kepada para penyalur mereka (para penyalur second-tier ). Hubungan para penyalur da- pat diperluas kepada beberapa strata, semua jalan dari asal material (con- tohnya bijih tambang, pertumbuhan tanaman). Di dalam upstream supply chain, aktivitas yang utama adalah pengadaan.

2. Internal supply chain

Bagian dari internal supply chain meliputi semua proses inhouse yang di- gunakan dalam mentransformasikan masukan dari para penyalur ke dalam

(42)

keluaran organisasi itu. Hal ini meluas dari waktu masukan ke dalam or- ganisasi. Di dalam internal supply chain, perhatian yang utama adalah manajemen produksi, pabrikasi dan pengendalian persediaan.

3. Downstream supply chain

Downstream (hilir) supply chain meliputi semua aktivitas yang melibatkan pengiriman produk kepada pelanggan akhir. Di dalam downstream supply chain, perhatian diarahkan pada distribusi, pergudangan transportasi dan after-sale service.

3.2 Proses Manajemen Rantai Pasokan

Proses supply chain management adalah proses saat produk masih berbahan men- tah, produk setengah jadi dan produk jadi diperoleh, diubah dan dijual melalui berbagai fasilitas yang terhubung oleh rantai sepanjang arus produk dan materi- al. Bila digambarkan supply chain management adalah koordinasi dari material, informasi dan arus keuangan diantara perusahaan yang berpartisipasi (Pujawan, 2005).

Salah satu faktor kunci untuk mengoptimalkan supply chain adalah dengan menciptakan alur informasi yang bergerak secara mudah dan akurat diantara jaringan atau mata rantai tersebut, dan pergerakan barang yang efektif dan efisien yang menghasilkan kepuasan maksimal pada para pelanggan (Indrajit dan Djoko- pranoto, 2003). Dengan tercapainya koordinasi dari rantai supply perusahaan, maka tiap channel dari rantai supply perusahaan tidak akan mengalami keku-

(43)

25

rangan barang juga tidak kelebihan barang terlalu banyak. Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2003) dalam supply chain ada beberapa pemain utama yang merupakan perusahaan-perusahaan yang mempunyai kepentingan didalam arus barang, para pemain utama itu adalah:

1. Supplier

2. Manufacturer

3. Distributor/wholesaler

4. Retail outlets

5. Customers

Proses mata rantai yang terjadi antar pemain utama itu adalah sebagai berikut:

Chain 1: Supplier

Jaringan yang bermula dari sini, yang merupakan sumber yang menyediakan ba- han pertama, dimana mata rantai penyaluran barang akan dimulai. Bahan per- tama ini bisa dalam bentuk bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, bahan dagangan, subassemblies, suku cadang dan sebagainya. Sumber pertama ini dina- makan suppliers.

Chain 1-2: Supplier-Manufacturer

Rantai pertama dihubungkan dengan rantai yang kedua, yaitu manufacturer atau plants atau assembler atau fabricator atau bentuk lain yang melakukan peker-

(44)

jaan membuat, merakit, mengkonversikan, atau pun menyelesaikan barang (finish- ing). Hubungan dengan mata rantai pertama ini sudah mempunyai potensi untuk melakukan penghematan. Misalnya inventories bahan baku, bahan setengah jadi, dan bahan jadi yang berada di pihak suppliers, manufacturer dan tempat transit merupakan target untuk penghematan ini. Tidak jarang penghematan sebesar 40%-60%, bahkan lebih, dapat diperoleh dari inventory carrying cost di mata rantai ini. Dengan menggunakan konsep supplier partnering misalnya, penghe- matan tersebut dapat diperoleh.

Chain 1-2-3: Supplier-Manufactures-Distributor

Barang sudah jadi yang dihasilkan oleh manufacturer sudah mulai disalurkan kepada pelanggan. Walaupun tersedia banyak cara untuk menyalurkan barang ke pelanggan, yang umum adalah melalui distributor dan ini biasanya ditempuh oleh sebagian besar supply chain. Barang dari pabrik melalui gudangnya disa- lurkan ke gudang distributor atau wholesaler atau pedagang dalam jumlah yang besar, dan pada waktunya nanti pedagang besar menyalurkan dalam jumlah yang lebih kecil kepada retailer atau pengecer.

Chain 1-2-3-4: Supplier-Manufacturer-Distributor-Retail Outlet

Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gedung sendiri atau dapat juga menyewa dari pihak lain. Gudang ini digunakan untuk menimbun barang se- belum disalurkan ke pihak pengecer. Sekali lagi disini ada kesempatan untuk memperoleh penghematan dalam bentuk jumlah inventories dan biaya gudang,

(45)

27

dengan cara melakukan desain kembali pola-pola pengiriman barang baik dari gudang manufacturer maupun ke toko pengecer (retail outlet).

Chain 1-2-3-4-5: Supplier-Manufacturer-Distributor-Retail Outlet- Cus- tomer

Dari rak-raknya, para pengecer atau retailer ini menawarkan barangnya langsung kepada para pelanggan, pembeli atau pengguna barang tersebut. Yang terma- suk outlet adalah toko, warung, toko serba ada, pasar swayalan, atau koperasi dimana konsumen melakukan pembelian. Walaupun secara fisik dapat dikatakan ini adalah mata rantai terakhir, sebetulnya masih ada satu mata rantai lagi, yaitu dari pembeli (yang mendatangi retail outlet) ke real customer dan real user, kare- na pembeli belum tentu pengguna akhir. Mata rantai supply baru benar-benar berhenti setelah barang yang bersangkutan tiba di real customers dan real user.

3.3 Model Manajemen Rantai Pasokan

Indrajit dan Djokopranoto (2002) menjelaskan mengenai pelaku utama yang mem- punyai kepentingan didalam arus barang dapat dikembangkan suatu model sup- ply chain, yaitu suatu gambaran plastis mengenai hubungan mata rantai dari pelaku-pelaku tersebut yang dapat berbentuk seperti mata rantai yang terhubung satu dengan yang lain. Suppliers suppliers telah dimasukkan untuk menunjukan hubungan yang lengkap dari sejumlah perusahaan atau organisasi yang bersama- sama mengumpulkan atau mencari, mengubah, dan mendistribusikan barang dan jasa kepada pelanggan terakhir. Salah satu faktor kunci untuk mengoptimalkan

(46)

supply chain adalah dengan menciptakan alur informasi yang bergerak secara mu- dah dan akurat antara jaringan atau mata rantai tersebut dan pergerakan barang yang efektif dan efisien yang menghasilkan kepuasan maksimal. Berikut diberikan bagan supply chain untuk produk barang (Sumber: Indrajit dan Djokopranoto ,2002)

Gambar 3.1 Bagan supply chain untuk produk barang

Sedangkan menurut James dan Fitzsimmons (2006), bentuk fisik dari suatu barang dalam supply chain dapat dilihat sebagai tahapan jaringan nilai tambah bahan pengolahan yang masing-masing didefinisikan dengan pasokan input, trans- formasi material dan output permintaan. Gambar 3.2 merupakan bagan Supply chain untuk produk barang yang dibuat oleh James dan Fitzsimmons (2006).

Supplier, manufacturing, distribution, retailing, dan recycling/ remanufac- turing yang terhubung dengan tanda panah menggambarkan aliran material de- ngan saham persediaan antara tiap tahap. Pengiriman informasi ke arah yang berlawanan ditampilkan sebagai garis putus-putus dan termasuk kegiatan yang

(47)

29

dilakukan oleh supplier, proses desain produk, dan layanan pelanggan. Tahap pada manufacturing mewakili operasi tradisional yang dimana bahan baku tiba dari pemasok eksternal; material berubah dalam beberapa cara untuk menam- bah nilai, menciptakan persediaan barang jadi. Tahap pada bagian hilir lainnya seperti distribusi dan ritel juga menambah suatu nilai terhadap material.

Gambar 3.2 Bagan supply chain untuk produk barang (Sumber: James A. dan Mona J. Fitzsimmons (2006))

(48)

PERENCANAAN PRODUKSI-DISTRIBUSI PADA PRODUK YANG TIDAK TAHAN LAMA (PERISHABLE)

4.1 Klasifikasi Produk yang Tidak Tahan Lama

Terdapat banyak klasifikasi yang berbeda, saling melengkapi dan bertentangan yang telah diusulkan untuk menangani permasalahan produk yang tidak tahan lama. Dalam Ghare dan Schrader (1963), penulis mengklasifikasikan sifat membu- ruknya suatu persediaan ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) pembusukan langsung, misalnya, sayuran, bunga dan makanan segar, dll.; (2) penipisan fisik, misalnya, bensin dan alkohol, dll, ; (3) peluruhan dan keusangan, misalnya dalam produk ra- dioaktif dan dengan hilangnya nilai dalam persediaan, misalnya, surat kabar dan uranium. Nahmias (1982) membedakannya menjadi dua klasifikasi, yaitu: (1) masa pakai tetap, dimana masa pakai suatu barang telah ditentukan sebelumnya dan karenanya dampak dari faktor kerusakan ikut diperhitungkan ketika mem- perbaiki barang tersebut. Bahkan, kegunaan barang tersebut semakin berkurang selama masa pakainya hingga barang tersebut tidak dapat digunakan lagi dan tidak memiliki nilai lagi bagi pengguna, misalnya, susu, yoghurt, dan darah da- lam persediaan, dll, (2) masa pakai acak: tidak terdapat waktu tertentu untuk masa pakai produk ini. Oleh karena itu, masa pakai barang-barang ini dapat di- modelkan sebagai variabel acak menurut distribusi probabilitas tertentu. Contoh produk dalam kategori ini adalah buah-buahan, sayuran dan bunga.

(49)

31

Dalam kajian lain, Raafat (1991) mendefinisikan pembusukan atau kerusakan sebagai “proses yang mencegah suatu produk untuk dapat digunakan sebagaimana tujuan penggunaan aslinya” dan menyebutkan contoh kerusakan tersebut sebagai pembusukan (misalnya bahan makanan), penipisan fisik (misalnya, cairan yang mudah menguap), dan peluruhan (misalnya zat radioaktif). Contoh-contoh ini sangat berkaitan dengan yang disebutkan oleh Ghare dan Schrader (1963). Selain itu, Raafat (1991) memberikan kategorisasi Ketidaktahanan produk berdasarkan hubungan antara waktu dan nilai persediaan: (1) Kegunaan konstan: kegunaan bernilai tetap selama berjalannya waktu sampai akhir periode penggunaan, misal- nya, obat cair; (2) kegunaan meningkat: kegunaannya meningkat seiring berjalan- nya waktu, misalnya, keju atau anggur; (3) Kegunaan menurun: kegunaan menu- run seiring berjalannya waktu, misalnya, buah-buahan, sayuran dan makanan segar lainnya, dll.

Lin et al., (2006) menyatakan bahwa kerusakan dapat diklasifikasikan se- bagai: (1) kerusakan bergantung pada usia produk dan (2) kerusakan yang tidak bergantung pada usia produk, dengan asumsi bahwa proses penuaan dimulai sete- lah proses produksi. Daging, sayuran dan buah-buahan adalah contoh barang yang bergantung pada usia barang tersebut. Cairan yang mudah menguap seperti bensin dan alkohol, bahan radioaktif, dan produk agri-food adalah contoh barang yang tidak bergantung pada usia. Terhadap bahan-bahan ini, sulit untuk menen- tukan ketergantungan antara usia bahan dan kerusakannya karena produk ini da- pat disimpan tanpa batas waktu meskipun mengalami pengurangan dalam perse- diaannya yang menyebabkan kerusakan kondisi barang. Selanjutnya, Ferguson

(50)

dan Koenigsberg (2007) menekankan hilangnya kegunaan produk dan membe- dakannya menjadi dua jenis produk: (1) produk yang kegunaannya berkurang ter- hadap waktu, misalnya, buah-buahan, sayuran, atau susu; (2) produk yang tidak mengalami penurunan kegunaan, tapi pengguna menganggap nilai kegunaannya memburuk dari waktu ke waktu, misalnya, mode pakaian, produk teknologi tinggi dengan siklus hidup yang pendek, koran.

Terdapat konsep lain yang sangat terkait dengan masa pakai dan kerusakan suatu produk, yaitu shelf-life. Shelf-life didefinisikan sebagai periode waktu sete- lah pembuatan produk dimana produk memberikan kualitas kepuasan (Kilcast dan Subramanian, 2000). Hal ini merupakan lamanya waktu suatu produk ter- tentu dimana produk tersebut masih memiliki nilai jual. Shelf-life tidak selalu mencerminkan keadaan fisik produk, karena banyak produk yang menurun ni- lainya setelah nilai shelf-life nya hilang, namun, kualitas ini dapat mencerminkan masa jualnya (Xu dan Sarker, 2003).

Perhitungan klasifikasi masa pakai menunjukkan bahwa kategori-kategori ini meliputi satu sama lain dan, lebih jauh lagi, mereka sangat disesuaikan untuk tu- juan tertentu. Apakah katagori tersebut secara khusus mempertimbangkan aspek pengguna dan kemudian menyimpulkan kegunaan barang tersebut (Raafat, 1991), atau mempertimbangkan kegunaan barang itu sendiri (Ghare dan Schrader, 1963), atau, sebagai contoh, melihat lebih jauh terhadap model matematika dari masa pakainya (Nahmias, 1982). Faktanya, klasifikasi ini tidak selalu digunakan untuk mengklasifikasikan artikel tentang masa pakai suatu produk atau untuk menen-

(51)

33

tukan penerapan model yang diusulkan. Kebanyakan, klasifikasi yang berbeda berdasarkan sifat-sifat matematika dari suatu metode pemodelan digunakan sete- lahnya (Raafat, 1991), dengan demikian, mengabaikan klasifikasi sebelumnya yang berkaitan dengan masa pakai dan kehilangan nilai, akibatnya, hubungan fenomena masa pakai produk diungkapkan oleh suatu model. Suatu benda yang tidak tahan lama yang sulit diklasifikasikan dengan klasifikasi yang telah dipaparkan adalah yoghurt. Yoghurt memiliki shelf-life tetap berdasarkan BBD-nya (Best-before- date), ketika masa pakainya habis (setelah BBD) nilainya mendekati nol dan, dari sudut pandang pelanggan yang telah terbukti secara empiris oleh Tsiros dan Heil- man (2005) bahwa kesediaan untuk membeli barang tersebut menurun terhadap shelf-lifenya. Oleh karena itu, meskipun kegunaannya menurun, ia memiliki masa pakai tetap dan fungsinya tidak memburuk dari waktu ke waktu.

Mengingat pembahasan di atas, diusulkan kerangka kerja terpadu untuk mengklasifikasikan masa pakai produk, karenanya, memperjelas kontribusi karya masa lalu dan masa depan pada penelitian saat ini dalam bidang ini. Tabel 4.1 menunjukkan kerangka yang diusulkan dengan contoh-contoh yang sesuai untuk berbagai kategori. Kerangka kerja ini bermaksud untuk memungkinkan klasifikasi lengkap dari masa pakai produk dalam bentuk konseptual melalui beberapa per- spektif yang berbeda dari fenomena yang sama. Ini berarti bahwa hal ini dapat digunakan untuk memahami ruang lingkup konseptual dari fenomena masa pakai produk yang akan dimodelkan. Untuk tujuan perencanaan rantai pasokan, pen- ting untuk menghubungkan bentuk konseptual dengan representasi matematika.

Ini berarti bahwa sementara tinjauan lain mempertimbangkan masa pakai pro-

(52)

duk, fokus penelitian ini adalah pada pengklasifikasian model matematika yang mampu mengatasi permasalahan masa pakai produk, dimana dalam ulasan ini lebih ditekankan terhadap bagaimana pendekatan model matematika mengenai aspek-aspek tertentu dari masa pakai produk dengan cara mengelompokkannya dalam kerangka kerja yang diajukan dalam membangun suatu kerangka yang menghubungkan permasalahan masa pakai produk tertentu dengan teknik pe- modelan matematika.

Tabel 4.1 Klasifikasi produk yang tidak tahan lama

Kerangka yang diusulkan untuk mengklasifikasikan masa pakai produk ter- diri dari tiga dimensi klasifikasi:

(1) Kerusakan fisik produk,

(2) Batas otoritas dan

(3) Nilai pelanggan.

(53)

35

Dengan jelas dapat dilihat bahwa dimensi ini berhubungan dengan tiga per- spektif yang berbeda dari fenomena yang sama: Produk, Otoritas dan pelang- gan. Nilai tambah dari kerangka ini berasal dari fakta bahwa ketika mengaitkan- nya dengan perspektif yang berbeda kita dapat mengelompokkan fenomena masa pakai produk dengan cara yang lebih akurat dengan hanya melihat satu dimensi.

Kerangka kerja ini bisa diterapkan untuk semua bentuk yang berbeda dari masa pakai produk, baik hal itu berhubungan dengan perubahan kondisi fisik maupun tidak. Selain itu, hal ini juga dapat diterapkan untuk model yang berkaitan de- ngan proses dari rantai pasokan produk. Oleh karena itu, pendekatan ini berbe- da dari klasifikasi-klasifikasi sebelumnya terhadap aspek fleksibilitasnya dan oleh fakta bahwa hal itu dapat diterapkan untuk setiap masalah perencanaan rantai pasokan.

Tinjau setiap dimensi secara independen seolah-olah akan mengklasifikasikan masa pakai produk berdasarkan hanya salah satu dimensi , yaitu dimensi proses Penurunan Kondisi Fisik Produk yang mencerminkan apakah suatu barang menga- lami modifikasi fisik atau tidak. Dengan demikian, baik produk yang memburuk secara fisik, misalnya, setiap produk makanan segar oleh pembusukan, peluruhan atau penipisan jumlah, maupun produk yang memburuk karena sifat alaminya berasal dari dimensi yang lain. Sebagai contoh untuk kasus ini adalah surat kabar harian yang tidak akan mengalami kerusakan fisik dari satu hari ke hari berikut- nya, tetapi mengalami pengurangan nilai. Dimensi ini cukup stabil ketika ruang lingkup model telah didefinisikan karena kasus ini hanya bergantung pada produk itu sendiri, sehingga ini merupakan permasalahan memahami fenomena fisik yang

(54)

berkaitan dengan masa pakainya. Dimensi yang bersangkutan dengan Batas Au- thority merupakan peraturan eksternal atau konvensi yang mempengaruhi secara langsung fenomena masa pakai produk. Alasan mengapa batas ini ditetapkan berasal dari berbagai sumber yang berbeda seperti pertimbangan akan kesela- matan atau kesejahteraan pelanggan serta agar pelanggan mengetahui informasi dengan lebih baik. Dimensi ini cukup menarik jika dilihat dari sudut pandang pemodelan karena pengaruh otoritas dapat mengurangi peluang dari fenomena rusaknya suatu produk ketika masa pakainya tetap. Sebagai contoh adalah bank darah karena pertimbangan nyawa manusia yang tidak boleh terancam, dimana pemerintah menetapkan shelf-life untuk stok darah. Di sisi lain, buah yang di- jual di pengecer memiliki perilaku yang lebih acak mengenai keadaan fisiknya dan masa pakainya menjadi longgar dalam arti sulit untuk diketahui kapan pro- duk akan tidak bisa digunakan lagi. Namun demikian, walaupun batas otoritas tersebut bersifat tetap, hal ini tidak dapat membatasi masa penjualan produk tetapi berfungsi memberikan informasi yang jelas dan pasti untuk pelanggan bah- wa produk telah habis masa pakainya. Oleh karena itu, walaupun dalam sebuah stand terdapat suatu surat kabar dari hari sebelumnya yang dijual, pelanggan akan menganggapnya tidak memiliki nilai lagi (karena tanggal pencetakan yang tertera membuat pelanggan tahu bahwa berita tersebut adalah berita lama). Se- lanjutnya, Nilai Rasa Pelanggan memiliki hubungan terhadap keinginan untuk membayar barang tertentu. Kesediaan untuk membayar ini dapat bersifat di- namis dalam kasus ketika pelanggan memperhatikan penurunan nilai suatu pro- duk seiring berjalannya waktu atau dapat juga menjadi statis ketika pelanggan

(55)

37

memberikan nilai yang sama sepanjang masa produk. Dengan demikian, Nilai Pelanggan memiliki dampak yang luar biasa pada keputusan operasional. Penu- runan nilai menyebabkan operasi yang efisien karena menyebabkan pengiriman produk harus dilakukan secepat mungkin. Nilai Pelanggan yang konstan mem- berikan lebih banyak fleksibilitas dalam mengelompokan operasi dan menghasilkan manfaat ekonomi. Penting untuk diperjelas bahwa kata pelanggan kata pada se- tiap pengguna dari produk yang tidak tahan lama dan tidak hanya pelanggan akhir dari produk tersebut. Bensin adalah contoh yang baik dari produk yang mana pelanggan memberikan nilai yang sama selama masa pakainya karena dapat dipastikan bahwa kegunaannya akan stabil sampai waktu kedaluwarsanya yang biasanya sangat panjang. Akan tapi, sebagai contoh, sayuran akan mengalami penurunan nilai pelanggan ketika mulai terlihat tidak segar lagi.

Menganalisa ketiga dimensi tersebut, Penurunan Fisik Produk, Batas Otori- tas dan Nilai Pelanggan, untuk mengklasifikasikan masa pakai produk memberikan kajian yang lebih tepat pada fenomena masa pakai yang mempengaruhi suatu pro- duk dan akibatnya membuat masalah pemodelan matematika menjadi penting untuk dipertimbangkan. Untuk memahami penerapan kerangka ini, diambil con- toh masalah perencanaan rantai pasokan produksi dan distribusi dari susu segar.

Dengan hanya menggunakan dimensi Kerusakan Fisik Produk, dapat dikatakan bahwa setelah proses produksi produk ini mengalami proses kerusakan fisik (pem- busukan) sehingga masa pakainya pendek. Ketika dilihat dari aspek dimensi Batas Otoritas, dapat dikatakan bahwa masa pakainya tetap karena terdapat cap BBD pada produk ini yang menunjukkan periode jual barang tersebut setelah proses

(56)

produksi. Selanjutnya, melalui perspektif Nilai Pelanggan dapat dikatakan bahwa nilai produk menurun karena pelanggan akan lebih memilih produk dengan BBD yang lebih lama dibandingkan dengan produk yang memiliki BBD dalam waktu yang dekat. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah perencanaan produksi dan distribusi susu segar, adalah suatu keharusan untuk memperhatikan secara integrasi kepada ketiga perspektif ini dalam menentukan masa pakai produk yang benar. Model matematika dibutuhkan untuk menangkap semua fitur yang teri- dentifikasi ini agar dapat mengendalikan semua masalah berkaitan masa pakai produk yang diperlukan dalam kasus ini. Oleh karena itu, pilihan solusinya adalah memodelkan suatu himpunan kendala yang membatasi lamanya waktu suatu pro- duk dapat berada dalam stok yang juga menanggulangi batas otoritas yang tetap dan selanjutnya untuk atribut nilai pelanggan yang menurun, dapat dimodelkan tingkat kesegaran yang berbeda untuk produk didistribusikan dan memberikan nilai kepada tingkatan tersebut untuk memaksimalkan fungsi tujuannya.

Berdasarkan diskusi ini, diberikan definisi masa pakai produk dan konsep- konsep terkait sebagai berikut; “Suatu barang, yang dapat merupakan bahan baku, produk setengah jadi ataupun produk akhir, disebut “tidak tahan lama”

jika selama periode perencanaan memenuhi setidaknya satu dari kondisi berikut:

(1) Keaadaan fisiknya dapat dengan jelas terlihat memburuk (misalnya terjadi pembusukan, peluruhan atau penipisan), dan / atau (2) nilainya menurun dalam persepsi pengguna (internal atau eksternal), dan / atau (3) terdapat suatu bahaya dari berkurangnya fungsi produk tersebut di masa depan berdasarkan pendapat otoritas”.

(57)

39

Oleh karena itu, dapat dibedakan antara keaadaan memburuknya suatu pro- duk atau keaadan fisik yang stabil, nilai pelanggan konstan atau menurun, dan batas kewenangan tetap atau longgar, yang bergantung pada apakah pihak yang memiliki otoritas memberikan reaksi pada fenomena tersebut atau tidak.

Untuk memahami dampak dari masa pakai produk terhadap perencanaan yang berbeda dalam praktik perencanaan produksi dan distribusi, dapat dipertim- bangkan tiga skenario berbeda yang menunjukkan pengaruh yang berbeda yang dapat dihasilkan dari fenomena ini. Pertama, untuk produk yang sangat mudah rusak, seperti produk roti atau makanan mentah, di mana masa perencanaan sangat pendek (satu hari), dimana integrasi produksi dan distribusi adalah su- atu keharusan. Kedua, dalam produk yang ketahanannya biasa, seperti yoghurt, di mana masa perencanaannya biasanya satu atau beberapa minggu, dan terda- pat masa penyimpanan yang terbatas antara produksi dan distribusi. Namun demikian, dalam skenario ini, alokasi jumlah penyimpanan dan penjadwalan yang terpadu yang juga mencakup fungsi penjadwalan produksi merupakan hal yang sa- ngat penting. Ketiga, skenario dengan produk yang memiliki shelf-life yang cukup namun terbatas, misalnya minuman dengan masa kadaluarsa enam bulan, shelf- life yang tersisa adalah masalah yang penting yang berkaitan dengan kebutuhan pengecer . Namun secara umum, untuk perencanaan operasional tidak perlu ada perhatian khusus yang harus diberikan untuk shelf-life yang berkaitan dengan in- dustri barang konsumen yang bergerak cepat karena perputaran persediaan yang tinggi merupakan perhatian yang utama.

(58)

Hal yang penting untuk diperhatikan bahwa produk berkonsentrasi pada efek negatif dari penuaan produk. Misalnya, jika nilai yang dirasakan pelanggan dari suatu produk tidak menurun, kita tidak lagi membedakan apakah produk tersebut memiliki peningkatan nilai. Hal tersebut diasumsikan konstan terkait dengan nilai pelanggan, karena biasanya hanya penurunan nilai yang memiliki dampak yang nyata terhadap operasinya. Lebih lanjut diketahui pada Tabel 4.1 bahwa berdasarkan definisi barang yang stabil secara fisik, memiliki nilai pelanggan yang konstan, dan memiliki batas kewenangan yang tetap atau longgar merupakan barang yang tidak realistik atau barang yang tahan lama.

4.2 Memodelkan Masa Pakai Produk dalam Perencanaan Produksi- Distribusi

Sebagian besar literatur mengenai masa pakai produk difokuskan pada manajemen persediaan, penentuan harga dan reverse logistik. Chen et al., (2009) mengakui bahwa kajian yang membahas area lain dari rantai pasokan barang yang mudah rusak adalah hal yang langka. Namun demikian, telah diterima secara luas bahwa masa pakai produk secara nyata dapat menghasilkan batasan-batasan khusus dan objektif yang berbeda terhadap masalah yang berbeda dalam model perencanaan rantai pasokan.

Pada bagian ini dilakukan review terhadap hasil yang dilakukan dalam me- modelkan masa pakai produk untuk perencanaan produksi dan distribusi. De- ngan demikian, hal ini akan mencakupi permasalahan perencanaan rantai pasokan dalam proses produksi ukuran persediaan dan penjadwalan, serta dalam proses

Gambar

Gambar 3.1 Bagan supply chain untuk produk barang
Gambar 3.2 Bagan supply chain untuk produk barang (Sumber: James A. dan Mona J. Fitzsimmons (2006))
Tabel 4.1 Klasifikasi produk yang tidak tahan lama
Tabel 6.1 Jumlah produksi setiap produk per periode di setiap plant (Kg)
+5

Referensi

Dokumen terkait