• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III EKSISTENSI MANUSIA DALAM SURAT AT-TIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III EKSISTENSI MANUSIA DALAM SURAT AT-TIN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

24

EKSISTENSI MANUSIA DALAM SURAT AT-TIN

A. Pengertian Eksistensi Manusia

Eksistensi berasal dari kata bahasa latin existere yang artinya muncul, ada, timbul, memiliki keberadaan aktual1. Existere disusun dari ex yang artinya keluar dan sistere yang artinya tampil atau muncul. Terdapat beberapa pengertian tentang arti eksistensi yang dijelaskan menjadi empat pengertian.

Pertama, eksistensi adalah apa yang ada. Kedua, eksistensi adalah apa yang memiliki aktualitas. Ketiga, eksistensi adalah segala sesuatu yang dialami dan menekankan bahwa sesuatu itu ada. Keempat, eksistensi adalah kesempurnaan2.

Mufassir Indonesia, dalam buku Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, M. Quraish Shihab mengutip pendapat Dr. A.

Carrel Dalam bukunya, Man the Unknown, menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat eksistensi manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya ia menulis:

“Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan, dan para ahli di bidang keruhanian sepanjang masa ini.

Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun

1 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005). hlm.

253

2 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996). hlm. 183-185

(2)

pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia -kepada diri mereka- hingga kini masih tetap tanpa jawaban.3

Pembicaraan mengenai eksistensi manusia ini sangat luas sekali dan tidak akan pernah habis meskipun para cendekiawan sudah berkali-kali mengkajinya dengan sangat mendalam. Pengetahuan tentang eksistensi manusia kenapa diciptakan dan untuk tujuan apa dengan silang sengkarut permasalahan yang ada dalam kehidupan ini. Maka dari itu kita memerlukan sebuah pedoman sebagai rujukan utama akan yang memberikan gambaran pengetahuan tentang eksistensi manusia.

Keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya itu disebabkan oleh:

1. Pembahasan tentang masalah manusia terlambat dilakukan, karena pada mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi. Pada zaman primitif, nenek moyang kita disibukkan untuk menundukkan atau menjinakkan alam sekitarnya, seperti upaya membuat senjata-senjata melawan binatang-binatang buas, penemuan api, pertanian, peternakan, dan sebagainya sehingga mereka tidak mempunyai waktu luang untuk memikirkan diri mereka sebagai manusia.

Demikian pula halnya Pada Zaman Kebangkitan (Renaisans) ketika para ahli digiurkan oleh penemuan-penemuan baru mereka yang disamping menghasilkan keuntungan material, juga menyenangkan publik secara umum karena penemuan- penemuan tersebut mempermudah dan memperindah kehidupan ini.

2. Ciri khas akal manusia yang lebih cenderung memikirkan hal- hal yang tidak kompleks. Ini disebabkan oleh sifat aka1 kita

3 M. Quraish Shihab, ‘Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat’. pdf, hlm. 273

(3)

seperti yang dinyatakan oleh Bergson tidak mampu mengetahui hakikat hidup.

3. Multikompleksnya masalah manusia.

Dari penjelasan di atas, agamawan dapat berkomentar, bahwa pengetahuan tentang manusia demikian itu disebabkan karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh Ilahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh, kecuali sedikit (QS. Al- Isra' [17]: 85).

Jika apa yang dikemukakan oleh A. Carrel itu diterima, maka satu- satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada wahyu Ilahi, agar kita dapat menemukan jawabannya.

Untuk maksud tersebut tentu tidak cukup dengan hanya merujuk kepada satu dua ayat, tetapi seharusnya merujuk kepada semua ayat Al-Quran (atau paling tidak ayat-ayat pokok) yang berbicara tentang masalah yang dibahas, dengan mempelajari konteksnya masing-masing, dan mencari penguat- penguatnya baik dari penjelasan Rasul, maupun hakikat-hakikat ilmiah yang telah mapan. Cara ini dikenal dalam disiplin ilmu Al-Quran dengan metode maudhu'i (tematis)4.

B. Manusia dalam Al-Quran 1. Istilah Manusia

Pengertian manusia secara leksikal yaitu, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia‚ manusia diartikan sebagai makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain).5 Pembahasan etimologi manusia yang dalam bahasa Inggris disebut man (asal kata dari bahasa Anglo Saxon, man). Makna dasar kata ini tidak jelas, tetapi pada dasarnya bisa dikaitkan dengan mens (Latin), yang berarti "ada yang berpikir".

4 Ibid, hlm. 274-275

5 Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005) Edisi Ketiga. hlm.

714

(4)

Demikian halnya arti kata anthropos (Yunani) tidak begitu jelas. Semua antrophos berarti "seseorang yang melihat ke atas". Akan tetapi sekarang kata itu dipakai untuk mengartikan "wajah manusia". Akhirnya, homo dalam bahasa latin berarti „orang yang dilahirkan di atas bumi‟.6

Pembahasan hakikat manusia dengan indikasi bahwa ia merupakan makhluk ciptaan di atas bumi sebagaimana semua benda duniawi, hanya saja ia muncul di atas bumi untuk mengejar dunia yang lebih tinggi. Manusia merupakan makhluk jasmani yang tersusun dari bahan meterial dan organis. Kemudian manusia menampilkan sosoknya dalam aktivitas kehidupan jasmani. Selain itu, sama halnya dengan binatang, manusia memiliki kesadaran indrawi. Namun, manusia memiliki kehidupan spiritual-intelektual yang secara intrinsik tidak tergantung pada segala sesuatu yang material.7

Karena itu, pengetahuan ruhani manusia menembus inti yang paling dalam dari benda-benda, menembus eksistensi sebagai eksistensi, dan pada akhirnya menembus dasar terakhir dari seluruh eksistensi yang terbatas: Eksistensi absolut (Mutlak = Allah). Kendati manusia memiliki tipe yang beragam.

Perkembangan universal dari kecendrungan-kecendrungan kodrat manusiawi pada akhirnya akan menuju kepada kemanusiaan yang luhur yang dinyatakan oleh humanisme sebagai tujuan umat manusia, yang merupakan subjek dari proses historis dalam proses perkembangan kultur material dan spiritual manusia di atas bumi. Manusia merupakan manifestasi makhluk bio sosial, wakil dari spesies homo sapiens.8 Menurut Alex MA‚9 homo sapiens adalah manusia mempunyai potensi berpikir dan kebijaksanaan.

6 Loren Bagus. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 564-565.

7 Ibid., hlm. 629

8 Ibid., hlm. 565

9 Alex MA, Kamus Ilmiah Populer Internasional. (Surabaya: Alfa, t.t), hlm. 153.

(5)

Semua filosof, sufi, dan cendekiawan muslim mendasarkan konsepnya tentang “manusia” kepada Al-Quran dan hadits. Kosa-kata yang bermakna “manusia” dalam Al-Quran cukup banyak, yaitu: al- basyar, al-insan, al-nas, bani adam, al-fithrah, al-nafs, al-ruh, al-qolb, dan al-‘aql, muslim, mu’min, muttaqin, muhsin, mukhlish, musyrik, kafir munafiq, fasiq, dan dzalim.10 Tapi yang biasa diterjemahkan secara langsung sebagai “manusia” ada tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia, yaitu: insan, basyar, dan bani Adam.

1. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin, semacam insan, ins, nas, atau unas.

2. Menggunakan kata basyar.

3. Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.

Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang Al- Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dan kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu (berguncang).

Kitab Suci Al-Quran -seperti tulis Bint Al-Syathi' dalam Al- Quran wa Qadhaya Al-insan- seringkali memperhadapkan insan dengan jin/jan. Jin adalah makhluk halus yang tidak tampak, sedangkan manusia adalah makhluk yang nyata lagi ramah.

Kata insan, digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang11 berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan.

Kata insan disebut di dalam Al-Quran sekitar 65 kali. Kata ini dikaitkan dengan penciptaan awal manusia yang sangat baik, tapi kemudian (karena kafir, musyrik, dan dzalim) dijatuhkan ke tempat yang

10 Munawar Rahmat, ‘Manusia Menurut Al-Quran Cenderung Mempertuhankan Hawa Nafsunya’, Taklim - Jurnal Pendidikan Agama Islam, Volume 10.No. 2 September 2012 (2012), hlm. 108

11 Op. Cit, Wawasan Al-Quran, hlm. 276

(6)

serendah-rendahnya. Kata insan lebih sering diungkap Al-Quran sebagai peringatan akan kedzaliman, kebodohan, kekafiran, dan segala watak buruk lainnya dari manusia.

Sedangkan kata al-ins dan al-insan menurut Bintu Syati‟

memiliki kesamaan makna (كرتشم ظحلم) karena berasal dari akar kata yang sama yaitu a-n-s (س – ن – ا). kedua kata ini merujuk pada makna yang sama, yaitu lawan kata dari “liar” (شحوتلا). Akan tetapi kedua kata ini memiliki perbedaan dari segi penggunaan kata dalam Al-Quran. kata al-ins digunakan dalam Al-Quran sebagai lawan kata dari al-jinn. dalam relasi paradigmatifnya, kata al-ins memiliki makna yang disesuaikan dengan kata al-jinn sebagai antonimnya, yaitu makna yang terkandung dalam kata al-ins adalah tidak liar (jinak) sebagai lawan dari kata al-jinn yang berbentuk metafisik menandakan sifat liar atau bebas karena tidak terikat ruang dan waktu. dengan kata lain, kata al-ins merujuk pada sifat manusia yang berbeda dari makhluk selainnya yang bersifat metafisik dan berbeda cara hidupnya.12

Begitupun penggunaan kata al-insan dalam Al-Quran menurut Bintu Syati‟ adalah untuk menunjukkan tingginya derajat manusia sehingga ia pantas untuk menjadi khalifah di bumi. hal tersebut disebabkan karena manusia memiliki kemampuan dalam bidang ilmu, berbicara, akal dan berpikir, pandai membedakan antara yang benar dan yang salah, serta mampu mengatasi segala masalah dan kesesatan yang datang dalam dirinya. oleh karena itu, manusia diberikan tanggung jawab yang besar baik dari segi hubungan kepada tuhan maupun kepada alam sekitar. di sisi lain, kata al-insan juga menunjukkan kelemahan manusia dan kehinaannya ketika ia tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh tuhan.13

12 Aisyah Abd Rahman, Maqaal Fii Al-Insaan: Diraasah Qur’aniyyah (Beirut: Daar al-Ma’arif, t.t), hlm. 14

13 Ibid, hlm. 15-19

(7)

Adapun kata al-nas dalam Al-Quran memiliki penekanan makna yang menunjukkan satu kesatuan makhluk hidup. Dengan kata lain, kata al-nas digunakan dalam Al-Quran untuk menunjukkan jenis makhluk hidup keturunan adam.14

Kata basyar sering dimaknai dimensi jasmaniah manusia, antara lain dikemukakan oleh Ali Shari‟ati dan beberapa buku yang mengupas tentang manusia perspektif Al-Quran.

Kata basyar terambil dari akar kata yang pada awalnya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.

Binti Syati‟ menyebutkan bahwa kata al-basyar digunakan dalam Al-Quran untuk menyebut manusia sebagai anak keturunan adam, yaitu makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. kata ini digunakan untuk menunjukkan aspek fisik manusia secara keseluruhan, dengan kata lain menunjukkan keturunan adam seluruhnya baik itu orang beriman, orang kafir, maupun para nabi.15

Al-Quran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya dengan ciri sifat-sifat biologis, seperti berjalan, makan-minum, berbicara, hubungan suami-istri, dan lain-lain.

Ayat-ayat Al-Quran yang menyebut kata ini menunjukkan bahwa yang dimaksud al-basyar memang manusia dalam konteks fisik dan biolog serta persamaannya dengan manusia seluruhnya, termasuk segi basyariahnya Nabi dan Rasul sama dengan manusia sebelumnya16. Karena itu Kanjeng Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk menyampaikan bahwa,

14 Ibid, hlm. 13.

15 Ibid, hlm. 11.

16 Op.Cit. Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, hlm 109

(8)

Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu (QS.

Al-Kahf [18]: 110).

Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat Al-Quran17 yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran (QS. Al-Rum [30]: 20).

Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezeki. Kedua hal ini tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu pula Maryam A.s. mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak, padahal dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa yang mampu berhubungan seks) (QS. Ali 'Imran [3]: 47). Kata basyiruhunna yang digunakan oleh Al- Quran sebanyak dua kali (QS. Al-Baqarah [2]: 187), juga diartikan dengan hubungan seks.

Demikian terlihat basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Dan karena itu pula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar (QS. Al-Hijr 115): 28 yang menggunakan kata basyar), dan QS.

Al-Baqarah (2): 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitaan Allah kepada malaikat tentang manusia.

2. Potensi Manusia

Yang banyak dibicarakan oleh Al-Quran tentang manusia adalah sifat-sifat dan potensinya. Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat yang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya

17 Op.Cit. Wawasan Al-Quran, hlm. 275

(9)

manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (QS. Al-Tin [95]: 5), dan penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk Allah yang lain (QS. Al-Isra' [17]:

70) Tetapi, di samping itu sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS. Ibrahlm [14]: 34), sangat banyak membantah (QS. Al-Kahf [18]: 54), dan bersifat keluh kesah lagi kikir (QS. Al-Ma'arij [70]: l9), dan masih banyak lagi lainnya.18

Ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu dengan lainnya, akan tetapi ayat-ayat tersebut menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang harus dihindarinya. Disamping menunjukkan bahwa makhluk ini mempunyai potensi (kesediaan) untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji, atau berada di tempat yang rendah sehingga ia tercela.

Seperti dikemukakan di atas, Al-Quran menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah dan setelah sempurna kejadiannya dihembuskanlah kepadanya Ruh Ilahi (QS. Shad [38]: 71-72).

Dari sini jelas bahwa manusia merupakan kesatuan dua unsur pokok, yang tidak dapat dipisahkan karena bila dipisahkan maka ia bukan manusia lagi. Sebagaimana halnya air yang merupakan perpaduan antara oksigen dan hidrogen dalam kadar-kadar tertentu. Bila kadar oksigen dan hidrogennya dipisahkan, maka ia tidak akan menjadi air lagi.

Potensi manusia dijelaskan oleh Al-Quran antara lain melalui kisah Adam dan Hawa (QS. Al-Baqarah [2]: 30-39).

Dalam ayat itu dijelaskan bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan

18 Ibid. hlm. 278

(10)

di bumi. Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan Ruh Ilahi (akal dan ruhani), makhluk ini dianugerahi pula:19

a. Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang berkemampuan untuk menyusun konsep- konsep, mencipta, mengembangkan, dan memberi gagasan, serta melaksanakannya. Potensi ini adalah bukti yang membungkam malaikat, yang tadinya merasa wajar untuk dijadikan khalifah di bumi, dan karenanya mereka bersedia sujud kepada Adam.

b. Pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akibat buruknya. Pengalaman di surga adalah arah yang harus dituju dalam membangun dunia ini, kecukupan sandang, pangan, dan papan, serta rasa aman terpenuhi (QS. Thaha [20]:

116-119), sekaligus arah terakhir bagi kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan godaan Iblis, dengan akibat yang sangat fatal itu, adalah pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan Iblis di dunia, sekaligus peringatan bahwa jangankan yang belum masuk, yang sudah masuk ke surga pun, bila mengikuti rayuannya akan terusir.

c. Petunjuk-petunjuk keagamaan.

Masih banyak ayat-ayat lain yang dapat dikemukakan tentang sifat dan potensi manusia serta arah yang harus manusia jalani.

Dari kitab suci Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. diperoleh informasi serta isyarat-isyarat yang boleh jadi dapat mengungkap sebagian misteri makhluk ini. Namun demikian, pemahaman atau informasi dan isyarat tersebut tidak dapat dilepaskan dari subjektivitas

19 Ibid. hlm. 279

(11)

manusia, sehingga ia tetap mengandung kemungkinan benar atau salah, seperti halnya yang dikemukakan oleh tulisan ini.

Secara tegas Al-Quran mengemukakan bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi melalui proses yang tidak dijelaskan rinciannya, sedangkan reproduksi manusia, walaupun dikemukakan tahapan-tahapannya, namun tahapan tersebut lebih banyak berkaitan dengan unsur tanahnya.20

Isyarat yang menyangkut unsur immaterial, ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia, dan dari uraian tentang fithrah, nafs, qalb, dan ruh yang menghiasi makhluk manusia.

Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya. Al-Quran menyebutkan kata fithrah dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak dua puluh delapan kali, empat belas diantaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fithrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu pada surat Ar-Rum ayat 30:

Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.

Merujuk kepada fithrah yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.21

Selanjutnya dipahami juga, bahwa fithrah adalah bagian dan khalq (penciptaan) Allah.

20 Ibid. hlm. 280

21 Ibid. hlm. 281

(12)

Kalau kita memahami kata la pada ayat tersebut dalam arti

"tidak", maka ini berarti bahwa seseorang tidak dapat menghindar dari fithrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa fithrah keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk selama lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui atau diabaikannya.

Tetapi apakah fithrah manusia hanya terbatas pada fithrah keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja karena redaksi ayat ini tidak dalam bentuk pembatasan tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptann potensi manusia --walaupun tidak menggunakan kata fithrah, seperti misalnya:

Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati kepada perempuan (atau lelaki), anak lelaki (dari perempuan), serta harta yang banyak berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang (QS. Ali 'Imran [3]: 14).

Karena itu agaknya tepat kesimpulan Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya tentang surat Al-Rum (30): 30, yang menyatakan bahwa:

Fithrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fithrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya).

Manusia berjalan dengan kakinya adalah fithrah jasadiahnya, sementara menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fithrah akliahnya. Senang menerima nikmat dan sedih bila ditimpa musibah juga adalah fithrahnya.22

3. Khalifah di Bumi

Awal kehidupan manusiadiungkapkan oleh Al-Quran dengan adanya penciptaan adam sebagai khalifah di bumi. Penunjukkan status

22 Ibid, hlm. 282

(13)

kekhalifahan ini bahkan telah ditentukan sebelum adam diciptakan. Hal ini membuat entitas lain yang telah ada sebelum lahirnya adam bertanya- tanya tentang maksud dan tujuan diciptakan makhluk baru ketika makhluk yang ada sudah melakukan perintah tuhan dengan sebaik- baiknya.

Sebagaimana yang diketahui oleh mayoritas umat islam di seluruh dunia bahwa penciptaan manusia yang pertama kali dilakukan dengan adanya perdebatan antara tuhan dan malaikat. Malaikat adalah makhluk yang telah ada jauh sebelum manusia diciptakan. Mereka terikat pada perintah yang mutlak, dikendalikan oleh kehendak yang maha tinggi yang tidak dapat dibangkang, tidak diuji dengan adanya kehendak dan kebebasan, sehingga alam raya sebelum kemunculan adam adalah alam yang penuh kedamaian.23

Permasalahan muncul kemudian ketika datang firman allah yang menyatakan akan hadirnya makhluk baru. Hal ini menyebabkan terjadinya anomali pada malaikat dimana aktivitas berpikir berdasarkan hukum kausalitas terjadi. Malaikat yang awalnya merupakan makhluk patuh tanpa pernah menanyakan apapun yang diperintahkan dan disampaikan tuhan, mengalami keadaan di luar kebiasaan dan mempertanyakan tentang kehadiran manusia. Akan tetapi anomali segera berakhir ketika tuhan menjelaskan tentang makhluk baru tersebut beserta kemampuannya dan malaikat kembali menjadi makhluk yang patuh seperti biasanya.24

Penunjukkan manusia sebagai khalifah di bumi tidak terlepas dari kemampuannya yang berbeda dengan makhluk sebelumnya. Manusia memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu, kebebasan berkehendak, serta kemampuan untuk menghadapi berbagai ujian kehidupan yang akan dialaminya. Hal inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk istimewa dibandingkan makhluk sebelumnya. Pertentangan antara

23 Op. Cit, Aisyah Abdurrahman, Maqal ..., hlm. 27.

24 Ibid, hlm. 27.

(14)

kebaikan dan keburukan serta munculnya iblis sebagai pembanding dari malaikat yang akan terus menggoda manusia melakukan keburukan, menjadikan manusia sebagai makhluk terbaik yang menjembatani dua medan yang saling bertentangan tersebut dengan adanya pertanggungjawaban kepada tuhan di hari akhir nanti. Hal inilah yang membuat manusia layak untuk menjadi khalifah di bumi.25

Dalam pandangan Murtadha Muthahari menyatakan bahwa : Khalifah Tuhan di bumi, manusia merupakan makhluk yang mempunyai ontelegensi yang paling tinggi, manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan, manusia dalam fithrahnya memiliki sekumpulan unsur surgawi yang luhur, manusia memilki kesadaran moral, jiwa manusia tidak akan pernah damai kecuali dengan mengingat Allah, segala bentuk karunia duniawi, diciptakan untuk kepentingan manusia, Tuhan menciptakan manusia agar mereka menyembah- Nya dan tunduk patuh kepada- Nya, manusia tidakdapat memahami dirinya, kecuali dalam sujudnya kepada Tuhan dan dengan mengingatnya, setiap realitas yang tersembunyi akan dihadapkan kepada manusia semesta setelah mereka meninggal dan selubung roh mereka disingkapkan, manusia tidaklah semata- semata tersentuh oleh motivasi duniawi saja.26

Abdurrahman An-Nahlawi, mengatakan manusia menurut pandangan Islam

meliputi :

1) Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan, artinya Islam tidak memposisikan manusia dalam kehinaan, kerendahan atau tidak berharga seperti binatang, benda mati atau makhluk lainnya (QS..al- Isro: 70 dan al-Hajj : 65).

2) Manusia sebagai makhluk istimewa dan terpili. Salah satu anugrah Allah yang diberikan kepada manusia adalah menjadikan manusia

25 Ibid, hlm. 17-21

26 Murtadha Muthahhari, Perspektif Al-Qur’ an Tentang Manusia Dan Agama (Bandung: Mizan, 1992). hlm. 117- 121

(15)

mampu membedakan kebaikan dan kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan. Ke dalam naluri manusia, Allah menanamkan kesiapan dan kehendak untuk melakukan kebaikan atau keburukan sehingga manusia mampu memilih jalan yang menjerumuskannya pada kebinasaan. Dengan jelas Allah menyebutkan bahwa dalam hidupnya, manusia harus berupaya menyucikan, mengembangkan dan meninggalkan diri agar manusia terangkat dalam keutamaan (Q.S.as-Syam: 7-10).

3) Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan untuk belajar, dalam surat al-Alaq : 3 dan 5, Allah telah menganugrahi manusia sarana untuk belajar, seperti penglihatan, pendengaran dan hati. Dengan kelengkapan sarana belajar tersebut, Allah selalu bertanya kepada manusia dalan firman-Nya "afala ta'kilun", “afala tatafakkarun", dan lain-lain pertanyaan Allah kepada manusia yang menunjukkan manusia mempunyai potensi untuk belajar.27

Jadi dari beberapa pandangan tentang kemuliaan diatas dapat dipahami bahwa kemuliaan manusia tidak memposisikan dirinya dalam kehinaan, kerendahan atau tidak berharga seperti binatang, benda mati atau makhluk lainnya. mampu menggunakan segala potensi dan fasilitas yang diberikan oleh Allah Swt. dengan tujuan yang mulia. Signifikansi kemuliaan merupakan bentuk memanusiakan manusia yang saling menghormati antar sesama mahkluk dan menghormati segala perbedaan yang ada.

Dengan demikian, hakikat kemuliaan itu adalah mampu menjaga dan memelihara mahkluk Allah dengan melindungi hak eksistensinya dan mengoptimalkan potensi yang diberikan Allah Swt. dengan tujuan yang mulia.

27 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, ( Jakarta:

Gema Insani Press, 1995). hlm.138

(16)

Setelah menunjukkan kualitas manusia yang layak menjadi khalifah di bumi, kemudian allah mengajarkan manusia al-bayan. Kata al-bayan ditafsirkan oleh bintu syathi‟ sebagai kemampuan untuk menjelaskan sesuai dengan keadaan masyarakat pada saat itu. Ucapan manusia memiliki nilai untuk menjelaskan, pendengarannya untuk memahami dan mencerna, dan penglihatannya untuk membedakan dan mencari hidayah. Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.28

Selanjutnya manusia diberikan amanat oleh tuhan. Dalam hal ini amanat adalah ujian seiring dengan adanya pemberian kewajiban dari allah disertai adanya hak kebebasan bertindak dan tanggung jawab dalam setiap perbuatan. Makhluk-makhluk lainnya tidak sanggup menerima amanat ini dikarenakan besarnya tanggung jawab dibebankan dimana amanat tersebut nantinya akan diminta pertanggungjawaban dan diberikan balasan sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan.29

Adapun kebebasan manusia terletak pada berbagai macam pilihan yang tersedia untuknya dalam menjalani hidup. Pilihan tersebut kemudian diikuti dengan usaha sebagai proses untuk mewujudkan keinginan dasar dari pilihan itu. Pilihan ini kemudian akan menjadi final sesuai dengan iradah tuhan yang merupakan ketentuan akhir dan tujuan dari ikhtiar manusia.

Akhir perjalanan kehidupan manusia dalam Al-Quran ditandai dengan adanya kematian dan hari kebangkitan. Konsep kehidupan setelah kematian ini dibawa oleh agama samawi sebagai jawaban dari konsep duniawi yang menyatakan bahwa manusia akan punah seiring dengan datangnya kematian. Keinginan manusia akan kehidupan yang abadi dijawab oleh Al-Quran dengan adanya kehidupan lain setelah dunia.

Oleh karena itu, Al-Quran menganjurkan bahkan menyuruh manusia

28 Op. Cit, Aisyah Abdurrahman, maqal.., hlm. 47.

29 Ibid, hlm. 58

(17)

untuk berlomba-lomba mengisi bekal untuk kehidupan selanjutnya setelah mereka terlepas dari ikatan dunia fana ini.30

Kehidupan manusia modern diliputi oleh permasalahan klasik antara agama dan ilmu pengetahuan. Seiring meningkatnya ilmu pengetahuan dengan berbagai revolusi di berbagai bidang, banyak orang yang mulai menganggap bahwa ilmu pengetahuan lebih layak diimani daripada agama.31

Pertentangan ini sebenarnya bukan berasal dari agama dan ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan dari tokoh dari kedua kubu tersebut.

Agama dan ilmu pengetahuan sebenarnya saling mendampingi satu sama lain, saling menyokong dan membuktikan kebenaran bersama-sama.32

Oleh karena itu, manusia perlu memahami esensi dari agama dan pengetahuan sehingga dapat saling membangun satu sama lain dalam menjalani kehidupan di dunia ini.33

C. Konsep Manusia dalam Al-Quran Surah At-Tiin

Penjelasan isi kandungan surah At-Tiin, terdapat pada ayat ke-empat, lima dan enam yang menjelaskan tentang keberadaan manusia. Surah At-Tiin didahului dengan lafad sumpah untuk meyakinkan pembahasan pokok surah tersebut dan diakhiri dengan pernyataan sebagai bukti kebesaran Allah Swt.

Hakikat yang terkandung dalam surah ini, yaitu:













































30 Ibid, hlm. 117-140.

31 Ibid, hlm. 181

32 Ibid, hlm. 168

33 Ibid, hlm. 172-174

(18)

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus- putusnya.

Dari ayat diatas, tampak bagaimana perhatian Allah Swt dalam menciptakan manusia di dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Memang Allah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, tetapi dikhususkannya penyebutan manusia disini dan di tempat-tempat lain dalam Al-Quran dengan susunan yang sebaik-baiknya, bentuk yang sebaik-baiknya, dan keseimbangan yang sebaik-baiknya. Hal ini menunjukkan perhatian yang lebih dari Allah kepada makhluk yang bernama manusia.

Perhatian Allah Swt terhadap manusia, meskipun pada diri mereka terdapat kelemahan dan adakalanya penyimpangan dari fithrah dan kerusakan, mengisaratkan bahwa mereka memiliki urusan tersendiri di sisi Allah Swt, dan memiliki timbangan sendiri di dalam sistem semesta. Perhatian ini tampak di dalam penciptaannya dan susunan tubuhnya yang bernilai dibandingkan dengan makhluk lain, baik dalam susunan fisik yang sangat cermat dan rumit, susunan akalnya yang unik, maupun susunan ruhnya yang menakjubkan.34

Pada ayat ini diterangkan bahwa manusia yang diciptakan Allah Swt dalam bentuk yang sebaik-baiknya karena satu dan lain hal (tidak menggunakan anugrah yang diberikan oleh Allah Swt) sehingga kemudian Kami (Allah Swt) bersama dengan manusia itu sendiri menggembalikan ke tingkat yang serendah-rendahnya.

Dijelaskan pada ayat seterusnya, yaitu mengecualikan sekelompok dari mereka. Allah Swt berfirman pada ayat keenam surah At-Tiin: kecuali orang- orang yang beriman dengan keimanan yang benar dan membuktikan kebeneran imannya dengan mengerjakan amal-amal yang saleh; maka bagi mereka secara khusus pahala yang agung yang tiada putus-putusnya.

34 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhalalil Qur‟an. hlm. 299

(19)

Penjelasan diatas dapat ditarik benang merah bahwa manusia terdiri dari dari dua unsur, yaitu unsur materi (aspek fisik) dan unsur imateri (aspek non fisik) yang masing-masing unsur dilengkapi dengan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar atau disebut fithrah, yang harus diaktualkan dan ditumbuh-kembangkan.

1. Aspek Fisik

Dalam al-Quran surah at-Tiin bahwa manusia disebut dengan istilah al-insan yang memuat pesan-pesan khusus yang berbeda dari pengertian lain, yang secara sepintas lafad itu sinonim sifatnya dengan kata al-basyar, an-nas, dan al-ins. Kata manusia yang disebut dalam al- Quran suah at-Tiin dengan menggunakan kata al-insan menunjukkan bahwa yang dimaksudkan manusia itu adalah anak turun Adam As, makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar dan tidak dipandang dari Aspek Ruh. Pengertian al-insan mencakup anak turun Adam As, secara keseluruhan. Baik itu muslim maupun kafir, baik beriman maupun tidak beriman.

Setelah Allah bersumpah dengan tiga kelompok tempat di atas yang juga mengindikasikan tiga manusia terbaik yang diciptakan-Nya dan diutus-Nya ke bumi untuk membimbing manusia, kini giliran Allah menyampaikan maksud-Nya yang menjadi misi surat ini. Yaitu, mengungkap tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. melalui penciptaan manusia yang sangat dahsyat, dalam bentuk yang sempurna dan terbaik di antara sekian makhluk Allah yang ada di alam ini.

Secara fisik, manusia diberi indera terlengkap. Dibekali dengan otak dan perasaan. Struktur tubuh dan anatominya juga bagus dan indah. Proses penciptaannya bahkan sangat menakjubkan.

Kebaikan di sini mencakup berbagai dimensi. Secara fisik manusia adalah makhluk Allah yang terbaik. Meskipun ia kadang

(20)

mengagumi alam ini dan isi-isinya, namun ia akan lebih takjub bila melihat dirinya sendiri. Jantung yang berdetak sebelum ia dilahirkan dari rahim ibunya dan tak pernah berhenti sampai sebelum ajal mendatanginya. Organ-organ luar yang tatanan eksteriornya sangat eksotis. Organ-organ dalam yang sangat seimbang. Sehingga ia benar- benar menjadi manusia yang –sebenarnya- memiliki amanah menanggung tugas kekhalifahan dan memakmurkan bumi Allah dengan sebaik-baiknya dan bukan merusaknya. Dimensi non materi juga demikian. Manusia diberi rasa sedih dan gembira. Nikmat lupa dan ingat dan sebagainya.

Namun, bila kemuliaan dan segala perangkat kesempurnaan ini tak pandai disyukuri akan mengakibatkan murka Allah yang sangat mengerikan. ”Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)” (QS. 95: 05)

Adakah kehinaan dan kenistaan selain mendekam di dalam panasnya neraka? Kesengsaraan dan keabadian dalam penyesalan.

Dari struktur kata yang dipakai sangat menarik. ”asfala sâfilîn” yang secara zhahir berarti tempat terendah diantara orang-orang penghuni tempat rendah/dasar neraka.

Meskipun Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain, juga Qatadah, al-Kalbi, adh-Dhahhak dan Ibrahim an-Nakha‟i menafsirkan ayat ini dengan pengembalian Allah terhadap keadaan manusia seperti semula pada saat ia renta dan pikun, mudah lupa dan sarat dengan kelemahan.35

Orang-orang yang tak pandai menyukuri nikmat kesempurnaan atau bahkan mendustakan dan mengingkarinya serta menggunakan karunia Allah untuk hal-hal yang menyebabkan murka-Nya pada hakikatnya derajat mereka diturunkan. Dijatuhkan lebih rendah dari binatang sekalipun.

35 Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, hlm. 356

(21)

Pada ayat ke-empat surah At-Tiin, terdapat kata al-insan / manusia diciptakan dengan sebaik-baik ciptaan. Manusia yang dimaksud oleh ayat ini adalah jenis manusia secara umum, mencakup yang mukmin maupun yang kafir. Kata al-insan dalam al-Quran yang berbentuk definit yaitu dengan menggunakan al berarti menegaskan jenis manusia secara umum, mencakup siapa saja.

Kata al-insan / manusia. Menurut al-Qurthubi adalah manusia- manusia yang durhaka kepada Allah Swt. Pendapat ini ditolak oleh banyak pakar tafsir dengan alasan antara lain adanya pengecualian yang ditegaskan oleh ayat berikutnya yaitu, kecuali orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa “manusia” yang dimaksud oleh ayat ini adalah jenis manusia secara umum, mencakup yang mukmin maupun yang kafir. Bahkan Bint asy-Syati merumuskan bahwa semua kata al-insan dalam al-Quran yang berbentuk definit yaitu dengan menggunakan al berarti menegaskan jenis manusia secara umum, mencakup siapa saja.

Pada ayat ini juga dijelaskan penciptaan manusia diciptakan sebaik-baik ciptaan. Yakni diciptakan dengan bentuk fisik yang pas dengan fungsinya. Ar-Raghib al-Ashfahani, pakar bahasa Al-Quran, memandang kata taqwim di sini sebagai isyarat tentang keistimewaan manusia disbanding binatang, yaitu akal, pemahaman, dan bentuk fisiknya yang tegak dan lurus. Kalimat ahsan at-taqwim berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang menyebabkan manusia dapat melakukan fungsinya sebaik mungkin.36

Ayat ini dikemukakan dalam konteks penggambaran anugrah Allah Swt kepada manusia, dan tentu tidak mungkin anugrah tersebut terbatas pada bentuk fisik saja. Apalagi, secara tegas Allah Swt mengecam orang-orang yang bentuk fisiknya baik, namun jiwa dan akalnya kosong dari nilai-nilai agama, etika dan pengetahuan.

36 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm, 378

(22)

Nilai standar untuk menjaga kualitas kesempurnaan manusia adalah Iman dan amal salih. Iman dengan berbagai dimensi keimanan yang diikuti dan dibuktikan dengan keseriusan beramal baik dan menjaga kontinyuitas serta kualitasnya. Hal inilah yang menjaga manusia untuk keluar dari rel kesempurnaan. Orang yang memiliki karakteristik demikian laik mendapat balasan kebaikan dari Allah secara sempurna pula. Yaitu tidak terkurangi dan bahkan tidak terputus-putus37

Imam Thabrani mengeluarkan sebuah hadits qudsi yang mengabarkan bahwa jika seorang hamba diberi cobaan Allah diantaranya berupa sakit dan ia ridho dan bersyukur atas cobaan itu maka saat ia sembuh bagaikan terlahir kembali dari rahim ibunya, dosa-dosanya tergugurkan dan mendapatkan pahala sebagaimana saat ia melakukan kebaikan ketika ia sehat

Kekosongan jiwa dan akal manusia membuat dirinya jatuh dan hina. Hal ini terangkum dalam ayat selanjutnya (Q.S At-Tiin 5) diterangkan bahwa manusia yang diciptakan Allah SWT dalam bentuk yang sebaik-baiknya karena satu dan lain hal (tidak menggunakan anugrah yang diberikan oleh Allah SWT) sehingga kemudian Kami (Allah SWT) bersama dengan manusia itu sendiri menggembalikan ke tingkat yang serendah-rendahnya.

Aspek fisik manusia (jasad) hanyalah alat ruh di alam nyata.

Suatu ketika alat (jasad) itu terpisah dari ruh. Perpisahan itulah yang disebut dengan peristiwa maut. Yang mati adalah jasad, sedangkan ruh akan melanjutkan eksistensinya di alam barzah.

Jika tanda-tanda di atas sudah demikian jelasnya, lantas apa yang menyebabkan mata hati manusia tertutup sehingga tak mampu dan tak mau melihat dan menerima kebenaran yang sangat jelas.

37 Dr. H. Saiful Bahri, M.A, Tesis, Kitab Lawami’ al Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’ani al- Qur’an Karya Imam al-Ma’iny: Dirasah wa Tahqiq, Kairo: Universitas al-Azhar Jurusan Tafsir, 2006, Vol.2, hlm. 881

(23)

”Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?” (QS. 95:

07).

Hanya orang-orang bodoh saja yang kemudian berpaling dari meyakini kepastian hari perhitungan tersebut. Hari tatkala keadilan ditegakkan dan tak ada yang bisa menutup-nutupi kezhaliman sekecil apapun.

Karena itu sangat wajar bila kata ganti yang digunakan mengkhithab di ayat ini adalah langsung. Yaitu kata ganti kedua

”kamu” (كـبذكي). Hal ini sekaligus untuk memberikan tantangan kepada jiwa yang selalu menentang titah dan perintah Allah yang dibawa oleh utusan-Nya.

”Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?” (QS. 95: 08) Jika nantinya Allah memuliakan kembali orang beriman dan beramal salih dengan kemuliaan yang lebih serta memperlakukan orang-orang yang mendustakan dengan balasan adzab dan siksa maka yang demikian itu bukanlah sebuah kezhaliman. Karena Allah takkan memurkai dan menyiksa hamba-Nya kecuali setimpal dengan perbuatan dan kezhalimannya. Jika kemudian Allah melebihkan pahala dan balasan kebaikan itu semata karena rahmat dan kemurahan Dzat yang serba maha sesuai dengan janjinya tak sering diucapkan disela-sela firman-Nya.38

Maka pertanyaan di akhir surat ini tidaklah untuk dijawab.

Karena jawabannya hanya satu. Yaitu, berupa pembuktian keadilan yang jelas tanpa ada yang disembunyikan. Karena persaksian yang dihadirkan bukan hanya buku catatan dan orang-orang lain yang bersangkutan. Namun, berupa bukti otentik yang tak terbantahkan.

38 Dr. H. Saiful Bahri, M.A, Tadabbur QS. (95) At-Tin. Pdf

(24)

”Pada hari ini kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada kami tangan mereka dan kaki mereka memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka lakukan”. (QS. 36: 65)

2. Aspek Non Fisik

Di antara makhluk allah di atas permukaan bumi ini, manusialah yang diciptakan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk, bentuk lahir dan bentuk batin. Bentuk tubuh dan bentuk nyawa. Bentuk tubuhnya melebihi bentuk tubuh hewan yang lain. Dan manusia diberi pula akal.

Maka dengan keseimbangan sebaik-baik tubuh dan pedoman pada akal, manusia dapat menjadi pengatur di permukaan bumi.39

Bentuk fisik manusia dikemukakan dalam konteks penggambaran anugrah Allah SWT kepada manusia, dan tentu tidak mungkin anugrah tersebut terbatas pada bentuk fisik saja. Apalagi, secara tegas Allah SWT mengecam orang-orang yang bentuk fisiknya baik, namun jiwa dan akalnya kosong dari nilai-nilai agama, etika dan pengetahuan.

Kualitas manusia tidak memiliki arti apa-apa di sisi agama apabila aspek rohaninya tidak difungsikan. Iman dan moral yang menghiasi setiap pribadi merupakan hal yang sangat menentukan diterima dan tidaknya suatu amal. Dalam surah At-Tiin diterangkan bahwa, manusia itu mulia bila beriman dan berbuat baik, kemudian mereka menjadi hina apabila ingkar dan berbuat jahat. Telah ditentukan kepada mereka yang melakukan suatu pekerjaan betapapun dinilai baik oleh manusia, tidak akan diterima Allah SWT apabila amal tersebut tidak diserti keimanan dan keikhlasan kepada-Nya.

Tetapi, sebaliknya, mereka yang beriman dan beamal saleh akan memperoleh ganjaran yang tidak teputus. Di jelaskan pada ayat 6, yaitu mengecualikan sekelompok dari mereka (yang terjerumus dalam

39 Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), JUZ XXX. hlm. 206

(25)

keadaan yang hina). Allah SWT berfirman pada ayat ke-enam surah At- Tiin: “kecuali orang-orang yang beriman dengan keimanan yang benar dan membuktikan kebeneran imannya dengan mengerjakan amal-amal yang saleh; maka bagi mereka secara khusus pahala yang agung yang tiada putus-putusnya”.

Dengan keunggulan wujud manusia, mereka diberi potensi mencapai kedudukan tertinggi melebihi kedudukan malaikat muqarrabin, sebagaigmana dibuktikan dengan adanya peristiwa isra mikraj. Ketika itu malaikat Jibril berhenti pada suatu tempat, sedang Nabi Muhammad yang manusia itu terus naik ke tempat yang lebih tinggi.40

Dalam konsep Islam, iman merupakan potensi rohani yang harus diaktualisasikan dalam bentuk amal saleh, sehingga menghasilkan prestasi rohani (iman) yang disebut takwa. Amal saleh itu menyangkut keserasian dan keselarasan hubungan manusia dengan Allah SWT, dan hubungan manusia dengan dirinya yang bentuk kesalehan pribadi;

hubungan manusia dengan sesamanya yang membentuk kesalehan sosial (solidaritas sosial), dan hubungan manusia dengan alam yang membentuk kesalehan alam sekitar. Kualitas amal saleh ini akan menentukan derajat ketakwaan (prestasi rohani/iman) seseorang terhadap Allah SWT.

Manusia yang memiliki sikap hidup yang didaasarkan atas iman dan perbuatan baik itu akan memperoleh balasan dari Allah tanpa putus-putunya. Iman dan perbuatan baiknya itu akan berubah di dunia, berupa kesentosaan hidup baginya dan bagi masyarakatnya, dan kebahagiaan hidup di akhirat di dalam surga.

Imam al-Qurtubi menuturkan bahwa Isa al-Hasyimi sangat mencintai istrinya suatu hari Isa berkata kepada istrinya, “Kamu tertalak tiga jika kamu tidak lebih cantik daripada rembulan.” Maka

40 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 209

(26)

istrinya membuat tabir darinya dan berkata, “Kamu sudah menceraikan kami.” Hal itu membuat Isa sangat bersedih dan menghadap khalifah al-Manshur serta menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Al-Manshur memanggil ulama fiqih dan meminta fatwa mereka, lalu seluruh orang yang hadir berkata, “Perempuan itu sudah tertalak,” kecuali satu orang ulama diantara murid Abu Hanifa. Dia diam saja, sehingga al-Manshur bertanya kepadanya,” Kenapa anda tidak berbicara ?” Ulama itu menjawab,” Amirul Mukminin, Allah berfirman,” sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Karena itu, tidak ada sesuatu yang lebih cantik dari pada manusia. Al-Manshur berkata,” anda benar, dan al- Manshur menggembalikan perempuan itu kepada suaminya.” (karena dianggap talaknya batal).41

Bentuk keimanan manusia yaitu beraqidah atau percaya kepada Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya, percaya akan wahyu dan segala yang terkandung didalamnya, antara lain iman kepada kitab- kitab Suci, malaikat dan para Nabi serta percaya dengan hari kemudian (hari kiamat) dengan balasan dan ganjaran dari Allah SWT.

Keimanan yang ada pada diri manusia menjadi suatu syarat diterimanya semua bentuk ibadah yang dilakukan manusia selama hidup di dunia. Akan tetapi, manusia yang paling sempurna rohaninya itu akan menjadi jahat dan merusak di muka bumi ini bila tidak diberi agama dan pendidikan yang baik. Dengan agama dan pendidikan hidup manusia akan terarah sesuai dengan ketentuan- ketentuan yang ditetapkan Allah SWT, yang tertuang dalam kitab Suci- Nya yaitu Al- Quran.

Manusia yang tidak memiliki keimanan, agama dan pendidikan hidupnya tidak terarah dan tidak memiliki masa depan yang cerah.

Mereka merasa hidup ini suatu beban dan penderitaan, yang ada dalam fikirannya hanya bagaimana bisa bertahan hidup, sehingga

41 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut tafasir (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), hlm, 762

(27)

manusia seperti ini akan menjadi jahat dan menjadi beban masyarakat.

Dengan demikian, tolak ukur kemuliaan adalah iman dan perbuatan baik. Hal itu karena iman berarti mengakui adanya Allah dan nilai- nilai yang diajarkan-Nya. Pengakuan itu akan menjadi jalan hidup atau dilaksanaknnya dengan sepenuh hatinya. Karena nilai-nilai yang dijarkan Allah seluruhya baik, maka manusia yang melaksanakannya akan menjadi manusia baik pula semakin tinggi akidah seseorang semakin baik perbuatannya, sehingga ia akan menjadi manusia terbaik dan termulia.

Referensi

Dokumen terkait

Kajian Penggunaan Tepung Millet Kuning Sebagai Substitusi Tepung Terigu Pada Karakteristik Sensoris, Fisikokimia, dan Aktivitas Antioksidan Mie Instan Ubi Jalar Ungu.. Universitas

meningkatkan budaya organisasi dengan cara melalui perilaku karyawan dalam menghadapi pekerjaan sehari-hari dan membiasakan para karyawannya untuk mengenal

Dari 15 ekor sampel darah domba, semua DNA dapat diisolalsi dan kemurnian DNA yang dihasilkan berkisar antara 1,75 - 2,00 yang berarti sebagian besar sudah sesuai dengan

Sejalan dengan akuisisi tersebut, perseroan akan menunjuk mitra bisnis untuk membangun pabrik di Myanmar.. Setelah itu, perseroan akan menyusun rencana bisnis dan membentuk anak

pada gambar (a), kendaraan membelok ke arah kanan dari lajur luar (di USA, peraturan mengemudi menggunakan lajur kanan), memutar kearah kiri, berhenti dan menungu

Tujuan penelitian ini adalah: (a) memperoleh jenis bakteri pemecah minyak yang mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon dalam proses bioremediasi; (b) mengetahui pengaruh jenis

Daerah pengelasan dilindungi oleh gas lindung (gas tidak aktif)agar tidak berkontaminasi dengan udara luar.. dapat ditambahkan atau tidak tergantung dari bentuk sambungan

Bukan tidak mungkin dengan menggunakan kusen bekas dalam bangunan baru, kusen yang tadinya biasa-biasa saja bisa tampil lebih indah bersama elemen