• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nadya Putri (Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) (

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Nadya Putri (Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) ("

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS MENGENAI PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG TUNTUTAN GANTI KERUGIAN YANG DIDASARKAN ADANYA ATAS PUTUSAN BEBAS (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS

REGISTER PERKARA NOMOR: 8/PID.PRA/2017/PN.BLS)

Nadya Putri

(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) (Email: nadya.ptr29@gmail.com)

Setiyono

(Dosen Fakultas Hukum Trisakti) (Email: setiyono@trisakti.ac.id)

ABSTRAK

Dalam hukum acara pidana terdapat proses penyidikan dan penuntutan yang merupakan proses untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka dan terdakwa, dalam melakukan penyidikan dan penuntutan undang-undang memberikan wewenang kepada penyidik dan penuntut umum yang sedemikian luas untuk mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang.

Namun pada faktanya didalam proses tersebut masih ditemukan tindakan yang dilakukan secara sewenang-wenang yang bertentangan dan melanggar undang-undang. Untuk melindungi HAM dari tersangka dan terdakwa maka dibentuklah Lembaga praperadilan sebagai upaya perlindungan HAM.

Permasalahannya adalah apakah pertimbangan hukum hakim yang menolak tuntutan ganti kerugian dalam praperadilan atas dasar tidak ada kekeliruan dalam penerapan hukum ditingkat penyidikan dan penuntutan sudah sesuai dengan KUHAP. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian hukum normatif, yang bersumber pada data sekunder dan primer, dianalisis secara kualitatif, dan ditarik kesimpulan dengan metode deduktif.

Adapun hasil dari penelitian yaitu: terdapat kekeliruan pada tingkat penyidikan dan penuntutan dalam penerapan hukum yang menimbulkan kerugian bagi pemohon praperadilan.

Katakunci : Hukum Acara Pidana, Praperadilan, Ganti Kerugian

(2)

A. Pendahuluan 1. Latar belakang

Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia adalah makhluk sosial yang hidup bersama-sama sehingga dapat menimbulkan suatu tindak kejahatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok sebagai akibat dari adanya perbedaan kepentingan. Menurut Herbert L. Packer, suatu kejahatan terjadi bukanlah karena suatu hal yang bersifat natural, melainkan terjadi karena adanya perbedaan kepentingan yang disebabkan oleh masalah sosial, ekonomi dan politik.1 Untuk mengatur masyarakat agar tertib dan damai diperlukan suatu aturan yang lazim disebut dengan hukum.

Hukum merupakan alat antara lain untuk menjamin terciptanya sebuah kepastian hukum didalam masyarakat modern, dalam rangka menjaga agar tidak terjadi benturan kepentingan-kepentingan yang ada didalam anggota masyarakat.

Hukum berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia (ubi societas ibi ius) yang semakin kompleks dengan segala permasalahannya, untuk itulah hukum hadir sebagai sarana untuk membangun adanya kesejahteraan dan ketertiban dalam masyarakat.

Secara umum hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Publik (Hukum Pidana) dan Hukum Privat (Hukum Perdata).2 Pembagian lain dari hukum adalah Hukum Materiil dan Hukum Formil. Demikian hukum pidana juga dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Pidana Materiil (seperti KUHP) dan Hukum Pidana Formil (seperti KUHAP).

Dalam Hukum Acara Pidana memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur mekanisme tata cara dan proses beracara sejak terjadinya suatu tindak pidana, yang diketahui langsung oleh aparat penegak hukum ataupun dilaporkan kepada penyidik, baik yang dialami sendiri ataupun yang dialami oleh orang lain.3

Penyelidik dan/atau Penyidik mengambil langkah-langkah berupa penyelidikan dan penyidikan, dengan berbagai langkah dan upaya paksa yaitu:

1 Aristo M.A Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers,2017), h. 1.

2 Darwan Prints, Hukum Acara Pidana (Jakarta: Djambatan, 1989), h. 1.

3 A. Soetomo, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Praktek (Jakarta: Pustaka Kartini, 1990), h. 9.

(3)

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tindakan lain yang diatur dalam KUHAP, kemudian setelah penyidik menganalisis dan mengambil kesimpulan serta pendapat atas hasil penyidikan tersebut, berkas perkara hasil penyidikan diserahkan kepada penuntut umum (Jaksa Penuntut Umum), kemudian disidangkan di pengadilan negeri yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas perkara pidana tersebut, yang setelah itu mendapat putusan pengadilan. Jika pelaku (terdakwa) dinyatakan bersalah setelah melakukan upaya hukum lain, maka yang bersangkutan dijatuhi pidana. Sebaliknya, apabila dalam proses pemeriksaan hukum di pengadilan, Terdakwa dinyatakan tidak terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan hingga putusan yang bersifat berkekuatan hukum tetap, maka yang bersangkutan (terdakwa) akan mendapat putusan bebas4 dan yang bersangkutan juga mempunyai hak untuk mengajukan rehabilitas atau pengembalian nama baiknya.5

Berkaitan dengan hal tersebut maka KUHAP secara normatif telah mengatur tentang pengajuan upaya ganti kerugian dan rehabilitasi yang dapat dilakukan oleh Tersangka dan/atau Terdakwa, yang telah mendapatkan putusan bebas yang telah berkekuatan hukum tetap oleh pengadilan negeri. Hal ini sebagaimana diatur dan ditegaskan dalam ketentuan Pasal 95 KUHAP sampai dengan Pasal 97 KUHAP juncto Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan KUHAP

Pengajuan ganti kerugian dan rehabilitas dapat dilakukan melalui proses

“PraPeradilan”. Praperadilan merupakan salah satu inovasi baru dalam KUHAP.

Bersamaan dengan inovasi-inovasi yang lain seperti limitasi atau proses penangkapan/penahanan, yang membuat KUHAP disebut juga sebagai karya agung (master-piece). Menurut Andi Hamzah, Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran hak asasi manusia sebab niat dibentuknya praperadilan

4 Menurut ketentuan Pasal 191 ayat 1 KUHAP, dijelaskan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Agnes Asisi. “Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Putusan Bebas dalam perkara Pidana Korupsi”.

E-jurnal, 2015, h.5. Demikianlah Agnes Asisi, memberi pengertian bahwa putusan bebas diartikan bahwa seorang terdakwa bebas dari segala tuntutan dan bebas dari hukuman yang didakwakan.

5 Ibid., h. 10.

(4)

adalah terjemahan dari harbeas corpus yang isinya sebagai berikut:6 “Merupakan upaya untuk memberikan jaminan yang mendasar terhadap HAM dan juga memberikan hak kepada seseorang untuk membuktikan bahwa aparat penegak hukum atau jaksa dalam menjalankan wewenangnya tidak melanggar hukum dan telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.”7

Ketentuan mengenai praperadilan diatur dalam Bab X KUHAP bagian kesatu yang memuat beberapa pasal yakni pasal 77 hingga pasal 83. Kewenangan praperadilan berdasarkan pada Pasal 77 KUHAP, yaitu sebagai berikut:

“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

Seiring berjalannya waktu kewenangan praperadilan ditambah dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUUXII/2014 yang amarnya menyatakan:

“Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan serta Pasal 77 huruf a KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.”

Berdasarkan wewenang praperadilan yang tercantum didalam KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yang mana didalam salah satu wewenangnya, pengadilan negeri mempunyai kewajiban untuk memeriksa dan memutus tentang ganti kerugian dan rehabilitasi. Namun demikian, ketentuan mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi dibatasi dalam Pasal 81 dan Pasal 95 KUHAP.

6 Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Surat-surat Resmi Advokat di Pengadilan, (Jakarta: Papas Sianar Sinanti, 2014), h. 22.

7 Ali Hitori, “Hak Habeas Corpus untuk Praperadilan” (On-line), tersedia di:

http://www.kompasiana.com/www.hitori.com/54f35f88745513982b6c736e/hak-habeas-corpus- untuk-praperadilan (25 Maret 2019, pukul 02.23)

(5)

Ketentuan Pasal 81 KUHAP hanya mengatur tentang tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi terhadap akibat tidak sahnya penangkapan dan penahanan, dan akibat sahnya penghentian penyidikan. Mengenai ganti kerugian dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 95 KUHAP, yaitu :

1. “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan;

2. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang- undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77;

3. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan;

4. Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan;

5. Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.”

Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli waris yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang pra peradilan (Pasal 95 angka 2 KUHAP). Sedangkan jika perkara telah diadili di pengadilan, untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut, ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan (Pasal 95 angka 4 KUHAP). Dalam putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan (Pasal 96 angka 1 KUHAP) menjelaskan bahwa ganti kerugian tersebut dapat diberikan setelah adanya tuntutan dari yang bersangkutan (tersangka, terdakwa, atau terpidana)/ atau ahli warisnya.

(6)

Berkaitan dengan penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk membahas dan menganalisis putusan pengadilan nomor: 8/Pid.Pra/2017/PN.Bls yang pada pokok perkaranya sebagai berikut, perkara antara Agen Simbolon (Ketua SBRI) sebagai pemohon melawan (Kepala Kepolisian Resor Bengkalis) sebagai termohon I, (Kepala Kejaksaan negeri Bengkalis) sebagai termohon II, dan (Departemen Keuangan RI) sebagai Turut Termohon. Kasus ini bermula ketika pemohon pada hari Jumat tanggal 9 Oktober 2015 pukul 09.22 WIB yang menjabat sebagai Ketua SBRI menyuruh saksi Bobson Samsir (Kepala Bidang Hukum dan HAM SBRI) untuk memanggil wartawan PT. Gema Informasi Riau Digital (media Go.Riau.com) yaitu Frederich Edward Lumy (Eric bin Rony) dan memintanya untuk datang ke kantor SBRI.

Pada hari yang sama pukul 10.00 WIB, saksi Eric bersama Ida datang kekantor SBRI. Kemudian pemohon menunjukan surat dari Disnakertrans Kabupaten Bengkalis kepada PJ. Bupati Bengkalis Cq. Sekda Kabupaten Bengkalis Nomor 560/DTKT-PK2015/503 tanggal 25 September 2015 perihal Laporan Pemeriksaan 8 Perusahaan Mitra Kerja PT CPI Duri dan pemohon mengatakan kepada saksi Eric bin Rony bahwa isi surat tersebut adalah pembohongan publik kemudian pemohon mengatakan, “Itu bukan dugaan lagi, tapi memang Kepala Disnakertrans dan Kabid Pengawasan telah menerima suap dengan jumlah miliaran rupiah, kita punya buktinya”, dan pemohon meminta saksi Eric bin Rony untuk memuat pernyataannya tersebut di dalam surat kabar online GoRiau.Com.

Pada pukul 16.00 WIB saksi Eric memberitakan pernyataan yang disampaikan pemohon tersebut dalam surat kabar online. Akibat dari tindakan yang dilakukan oleh pemohon, pemohon dilaporkan oleh Kepala Disnakertans Kabupaten Bengkalis Sdr. Ridwan Yazid pada Polsek Mandau dengan dugaan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan perbuatan fitnah. Pemohon kemudian ditetapkan menjadi tersangka oleh Termohon I tanpa mempertimbangkan kembali penerapan hukum atas laporan tersebut dan pemohon didakwakan dengan dakwaan kesatu Pasal 311 ayat (1) KUHPidana jo. Pasal 316 ayat (1) dan dakwaan kedua Pasal 310 ayat (2) KUHPidana jo. Pasal 316 KUHPidana dan oleh Termohon II menuntut pemohon dengan dakwaan kesatu dan menjatuhkan pidana penjara terhadap pemohon dengan pidana penjara kurungan selama 1 tahun.

(7)

Terhadap tuntutan yang dilakukan oleh Termohon II, dalam sidang permusyawaratan pada hari Kamis, tanggal 18 Oktober yang dibacakan pada sidang terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal 15 November 2016, berdasarkan Putusan Nomor : 208/Pid.B/2016/PN.Bls memutus dengan amar sebagai berikut: menyatakan Pemohon tidak terbukti, secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakdwakan dalam dakwaan kesatu atau dakwaan kedua, membebaskan pemohon, dan memulihkan hak pemohon. Bahwa atas putusan tersebut Termohon II menyatakan menolak dan mengajukan permohonan Kasasi dan putusan permohonan Kasasi tersebut ditolak.

Dalam putusan bebas pemohon dijelaskan bahwa Termohon I dan Termohon II tidak secara profesional dalam menangani perkara pemohon, dan telah melakukan proses hukum atas diri pemohon secara keliru dalam menerapkan hukum atau menyatakan pemohon telah dituntut dan diadili tanpa berdasarkan Undang-Undang sehingga menimbulkan kerugian materiil dan moril bagi diri pemohon.

Akibat dari salahnya penerapan hukum yang dilakukan oleh Termohon I dan Termohon II sehingga membawa kerugian bagi diri Pemohon. Pemohon harus mengikuti seluruh proses hukum mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan serta mengikuti acara persidangan pada Peradilan Tingkat Pertama hingga sampai pada Mahkamah Agung yang mana proses tersebut terjadi selama kurang lebih 2 tahun. Proses perkara yang memakan waktu cukup banyak tersebut menimbulkan kerugian bagi diri Pemohon baik secara Materiil ataupun Moril. Bahwa berdasarkan alasan tersebut, pemohon mengajukan permohonan praperadilan tentang ganti kerugian terhadap dirinya.

Berdasarkan uraian fakta diatas, penulis tertarik mengangkat putusan tersebut untuk dianalisis dan dituangkan dalam skripsi, oleh karena itu melalui skripsi ini penulis akan membahas mengenai : “Analisis Yuridis Mengenai Permohonan Praperadilan Tentang Tuntutan Ganti Kerugian Yang Didasarkan Adanya atas Putusan Bebas (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis Register Perkara Nomor 8/Pid.Pra/2017/PN.Bls)”.

2. Pokok Permasalahan

(8)

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang dalam penelitian ini, timbullah beberapa permasalahan. Adapun yang menjadi permasalahan di sini adalah sebagai berikut:

1. Apakah pertimbangan hukum hakim yang menolak tuntutan ganti kerugian dalam praperadilan atas dasar tidak ada kekeliruan dalam penerapan hukum ditingkat penyidikan sudah sesuai dengan KUHAP?

2. Apakah pertimbangan hukum hakim yang menolak tuntutan ganti kerugian dalam praperadilan atas dasar tidak ada kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan ditingkat penuntutan dan persidangan dipengadilan sudah sesuai dengan ketentuan hukum?

B. Metode penelitian

Penelitian hukum tentang “Analisis Yuridis Mengenai Permohonan Praperadilan Tentang Tuntutan Ganti Kerugian Yang Didasarkan Adanya atas Putusan Bebas (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis Register Perkara Nomor 8/Pid.Pra/2017/PN.Bls)”. Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian Hukum Normatif. Penelitian Hukum Normatif merupakan penelitian yang mengkaji norma-norma yang berlaku meliputi Undang- Undang yang mempunyai relefansi dengan permasalahan sebagai bahan hukum sumbernya.

Objek penelitian dalam skripsi ini yaitu membahas mengenai Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP dan buku-buku dari para ahli hukum terkait Hukum Acara Pidana. Kemudian penelitian ini bersifat deskriptif, dikarenakan peneliti ingin berusaha menggambarkan secara lengkap aspek-aspek hukum dari suatu keadaan.8

Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Data sekunder adalah jenis data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud buku laporan,

8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 49.

(9)

buku harian, dan seterusnya.9 Menurut Soerjono Soekanto data sekunder dapat digolongkan berdasarkan kekuatan mengikatnya, yaitu sebagai berikut: bahan hukum primer, yaitu berupa Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Pelaksanaan KUHAP, Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis Nomor: 8/Pid.Pra/ 2017/PN.Bls, kemudian bahan hukum sekunder, yang terdiri dari: Buku-buku dari para ahli hukum mengenai Hukum Acara Pidana dan Praperadilan, Jurnal Hukum mengenai Hukum Acara Pidana dan Praperadilan, Artikel mengenai Hukum Acara Pidana dan Praperadilan dan yang terakhir yaitu bahan hukum tersier, seperti kamus dan internet.10

Pengumpulan data yang penulis gunakan melalui studi kepustakaan yang bahan pustaka berupa literatur-literatur. Studi kepustakaan dilakukan di beberapa tempat, seperti di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas Indonesia, maupun mengakses melalui internet. Dan data hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif, artinya data yang terkumpul dianalisis secara mendalam dan data yang diperoleh disusun secara sistematis dalam bentuk uraian atau penjelasan untuk menggambarkan hasil penelitian sehingga mudah dipahami agar dapat diinformasikan kepada orang lain.11

Cara penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deduktif, yang bersifat melakukan penarikan kesimpulan dari keadaan yang umum menuju ke keadaan yang khusus.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Dalam pertimbangannya Majelis Hakim pada putusan praperadilan nomor 8/Pid.Pra/2017/Pn.Bls menyatakan bahwa: “Termohon I maupun Termohon II telah melakukan proses hukum atas diri Pemohon bukan merupakan kekeliruan dalam penerapan hukum ataupun dituntut dan diadili tanpa berdasarkan alasan undang-undang maka petitum ke-3 (ketiga) permohonan Pemohon tidak beralasan

9 Ibid., h. 12.

10 Ibid.

11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 93.

(10)

menurut hukum sehingga ditolak.” Atas dasar pertimbangan tersebut hakim memberikan putusan yang pada diktum putusannya menetapkan bahwa:

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, penulis berpendapat Majelis Hakim keliru dalam memberikan pertimbangannya. Pertama, bahwa didalam putusan tingkat pertama nomor 208/Pid.B/2016/Pn.Bls Agen Simbolon ditetapkan menjadi tersangka, karena diduga melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan perbuatan fitnah terhadap Abdul Ridwan Yazid selaku Kepala Disnakertans Kabupaten Bengkalis atas penyataannya yang termuat dalam media online Go. Riau.com.

Dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka harus didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian status tersangka kepada seseorang harus didasarkan atas bukti permulaan yang cukup. Menurut Pasal 1 angka 14 KUHAP, yang dimaksud dengan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-II/2014 menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah:

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Sedangkan yang dimaksud dengan bukti permulaan diatur dalam Pasal 1 angka 21 Perkap Nomor 14 Tahun 2012 bukti permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan. Jadi, berdasarkan laporan polisi dan satu alat bukti yang sah maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka.

(11)

Sebagaimana fungsi dari bukti permulaan yang cukup, Menurut Chandra M Hamzah dalam bukunya mengenai Penjelasan Hukum tentang Bukti Permulaan yang cukup menjelaskan bahwa pada dasarnya, fungsi bukti permulaan yang cukup dapat diklasifikasikan atas 2 (dua) buah kategori, yaitu merupakan prasyarat untuk melakukan penyidikan dan menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana.

Untuk itu dalam melakukan penyidikan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana harus didasarkan atas bukti permulaan yang cukup.

Sebagaimana dalam perkara Agen Simbolon, pada saat proses penyidikan saksi- saksi dipanggil oleh penyidik untuk memberikan kesaksian, termasuk Abdul Ridwan Yazid yang membuat laporan tersebut. Dalam beberapa keterangannya ia menjelaskan bahwa ia pernah dipanggil oleh Dewan Pers secara resmi melalui undangan tertulis untuk menyelesaikan permasalahan tersebut yang pertemuannya diadakan di Hotel Grand Central Pekan Baru, karena permasalahan tersebut seharusnya melalui mekanisme Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun Abdul Ridwan Yazid tidak dapat hadir dalam pertemuan tersebut yang pada pokoknya panggilan pertemuan dilakukan sebanyak dua kali.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, bahwa keterangan saksi merupakan alat bukti pertama yang harus diperhatikan oleh penyidik dalam mengumpulkan bukti-bukti selanjutnya. Menurut penulis bagaimana penyidik tidak memperhatikan mengenai mekanisme Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebelum menindaklanjuti perkara tersebut dan malah mendakwa Agen Simbolon dengan dakwaan kesatu: melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam Pasal 311 angka 1 KUHP dan dakwaan kedua: melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam Pasal 310 angka 2 KUHP jo. Pasal 316 KUHP.

Untuk itu dalam menetapkan seseorang tersangka oleh penyidik memang sudah tugasnya, tetapi jika dalam menjalankan tugasnya penyidik tidak cermat dan tidak berpedoman pada UU yg berlaku, label tersangka tersebut dapat merugikan seseorang. Yang kedua akibat dari kelalaian penyidik dengan tidak memperhatikan mengenai Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terlebih dahulu mengingat permasalahan tersebut terdapat dalam media online,

(12)

dapat dikategorikan sebagai satu bentuk kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan karena hal itu dapat dibuktikan dengan ditetapkannya putusan pengadilan tingkat pertama nomor 208/Pid.B/2016/Pn.Bls Jo. Putusan tingkat kasasi nomor 42 K/Pid/2017 yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum karena tidak terpenuhinya unsur pasal yang didakwakan oleh penyidik dan penuntut umum.

2. Pada tanggal 16 januari 2018, pengadilan negeri bengkalis dalam putusan praperadilan nomor 8/Pid.Pra/2017/Pn.Bls menolak permohonan Agen Simbolon (selaku pemohon) untuk seluruhnya. Dengan alasan majelis hakim berpendapat bahwa termohon 1 dan termohon 2 telah melakukan proses hukum atas diri pemohon bukan merupakan kekeliruan dalam penerapan hukum ataupun dituntut dan diadili tanpa berdasarkan undang-undang maka petitum ke tiga permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Kemudian karena petitum permohonan pemohon ditolak maka petitum permohonan yang lainnya juga tidak relevan dan beralasan menurut hukum sehingga ditolak.

Dalam putusan pengadilan tingkat pertama dan putusan pengadilan tingkat kasasi Agen Simbolon dibebaskan dari segala tuntutan karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Karena berdasarkan pertimbangan hakim dalam tingkat kasasi dijelaskan yang pertama, bahwa pokok permasalahan dakwaan tersebut adalah produk pers, maka dalam penyelesaian masalah tersebut seharusnya didasarkan pada undang-undang pers yaitu undang-undang nomor 40 tahun 1999.

Yang kedua bahwa terdakwa sudah menggunakan hak ralatnya dan mengirimkan surat bahwa ia tidak menyatakan seperti yang tertulis dalam berita (keberatan), dan yang ketiga bahwa setelah dimuatnya ralat tersebut permasalahan seharusnya telah selesai dan tidak seharusnya didakwakan Pasal 311 angka 1 KUHP dan Pasal 310 angka 2 KUHP jo. Pasal 316 KUHP. Dengan demikian maka Agen Simbolon mengajukan permohonan praperadilan mengenai ganti kerugian.

Mengenai ganti kerugian menurut KUHAP, terdapat dalam Pasal 81 dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 95. Perbedaan dari kedua Pasal dalam KUHAP tersebut yaitu dalam Pasal 81, tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan terhadap perkara

(13)

yang tidak diajukan ke pengadilan, apabila perkara tidak diajukan ke pengadilan, sedangkan terhadap tersangka telah dilakukan penangkapan, penahanan, atau tindakan-tindakan lain secara melawan hukum, maka tuntutan ganti kerugian dapat diajukan oleh tersangka atau ahli waris ke pengadilan.

Namun pada Pasal 95 diatur lebih lanjut mengenai tuntutan ganti kerugian terhadap perkara yang telah diajukan ke pengadilan yaitu tuntutan ganti kerugian diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Dalam Pasal 95 KUHAP angka 1 dijelaskan bahwa “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Apabila merujuk pada putusan praperadilan tersebut Agen Simbolon telah memenuhi unsur Pasal 95 angka 1 KUHAP.

Sebagaimana yang dijelaskan secara tegas dalam pertimbangan hakim pada putusan pengadilan tingkat kasasi nomor: 42 K/Pid/2017 menetapkan:

“Bahwa oleh karena pokok permasalahan dakwaan tersebut adalah produk pers, maka dalam penyelesaian masalah tersebut seharusnya didasarkan pada undang- undang Pers yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, sedang dalam hal sumber berita menggunakan haknya untuk meralat dan media yang memuat berita wajib memuat Pasal 5 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999. “

“Bahwa dalam permasalahan ini terdakwa sudang menggunakan hak ralatnya dengan mengirim surat bahwa ia tidak menyatakan seperti yang tertulis dalam berita (keberatan), yang dimuat tanggal 14 November 2015 dan tanggal 10 Maret 2016 atas berita tanggal 09 Oktober 2015 dianggap tidak ada dan sudah dibetulkan atau diralat yang bersangkutan”.

“Bahwa dengan telah dimuatnya ralat tersebut, permasalahan telah selesai dan tidak seharusnya didakwakan Pasal 311 angka 1 dan Pasal 310 angka 2 KUHP Jo.

Pasal 316 KUHP”.

Apabila dilihat dari pertimbangan hakim tersebut, penulis berpendapat karena jaksa tidak dapat membuktikan tuntutannya, sehingga dalam putusan tingkat pertama nomor 208/Pid.B/2016/Pn.Bls Jo. Putusan tingkat kasasi nomor 42

(14)

K/Pid/2017 membebaskan Agen Simbolon karena tidak memenuhi unsur sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga penuntut umum tidak professional dalam membuktikan dakwaannya.

Penuntut umum tidak dapat membuktikan dakwaan kesatu yaitu Pasal 311 angka 1 KUHP Jo. Pasal 316 KUHP. Dalam dakwaan kesatu tersebut, penuntut umum tidak dapat membuktikan unsur Pasal yang ke 2 yaitu “dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum”. Dengan pertimbangan hakim sebagai berikut:

“Majelis hakim sependapat dengan Jiwa Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS Jo. Kode Etik KEWI Jo. Kode Etik PWI yang pada pokoknya menitikberatkan pada apabila narasumber dijadikan terlapor seyogyanya terlebih dahulu mengadukan media, karena jika saja media-media tersebut tidak memuat pernyataan narasumber tentu tidak ada kasus pencemaran nama baik atau fitnah.

Selanjutnya pengutipan pernyataan narasumber dalam suatu berita sepenuhnya adalah otoritas redaksi, karena redaksi dapat saja memutuskan untuk mengutip seluruhnya, mengutip sebagian, menyunting atau bahkan tidak mengutip sama sekali pernyataan narasumber, misalnya: dilakukan redaksi dengan menimbang bahwa pernyataan narasumber tendensius terhadap pihak tertentu atau berpotensi menimbulkan konflikasi hukum. Redaksi juga harus mempertimbangkan untuk meminta klarifikasi pihak-pihak terkait, sebelum publikasi dilakukan. Oleh karena itu yang bertanggungjawab atas pengutipan berita tersebut adalah pihak media dan bukan sumber berita”.

“Disamping itu, harus dibuktikan secara materiil pula bahwa sumber berita yang dinaikan si subjek hukum (penulis berita) adalah benar-benar seutuhnya hasil dari narasumber dan bukan hasil citarasa si penulis berita pada media lain”.

“Hakim Anggota I dan Hakim Anggota II berpendapat, bahwa berita yang diterbitkan media adalah karya kolektif, sehingga jangan sampai persoalan jurnalistik, sengaja digiring kepersoalan personal”, seharusnya media dapat mentaati kode etik jurnalistik selain bersikap independen, media seharusnya tidak terlibat dalam perkara pencemaran nama baik, apalagi sampai bersaksi untuk memberatkan narasumbernya”

(15)

“Berdasarkan pertimbangan hukum diatas unsur “dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum” beralasan hukum untuk dinyatakan tidak terpenuhi”.

Kemudian penuntut umum tidak dapat membuktikan dakwaan kedua yaitu Pasal 310 angka 2 KUHP Jo. Pasal 316 KUHP, Dalam dakwaan kedua tersebut, penuntut umum tidak dapat membuktikan unsur Pasal yang ke 2 yaitu “dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum”. Dengan pertimbangan hakim sebagai berikut:

“Didalam unsur kedua ini terdapat frasa “menuduhkan sesuatu hal”, maka hakim anggota I dan anggota II berpendapat frasa “menuduhkan sesuatu hal” didalam unsur ini bersifat sama dengan unsur kedua didalam Pasal 311 angka 1 KUHP Jo.

Pasal 316 KUHP”.

“Karena hal tersebut unsur kedua “dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum” beralasan hukum dinyatakan tidak terpenuhi”.

“Karena unsur kedua didalam Pasal 310 angka 2 KUHP Jo. Pasal 316 KUHP tidak terpenuhi, maka beralasan hukum dakwaan kesatu Pasal 310 angka 2 KUHP Jo.

Pasal 316 KUHP dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”.

Sehingga menurut penulis Agen Simbolon berhak untuk mengajukan permohonan ganti kerugian, karena sudah dituntut dan diadili tanpa berdasakan undang-undang dan salah dalam menerapkan hukum yang karena perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi diri terdakwa.

Agen simbolon mengajukan permohonan tuntutan ganti kerugian melalui praperadilan, karena pemeriksaan terhadap perkara ganti kerugian melalui praperadilan dilakukan secara cepat dan hakim harus sudah menjatuhkan putusan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.

Nominal ganti kerugian dalam praperadilan bersifat limitatif atau terbatas, yaitu berdasarkan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan KUHAP, besarnya ganti kerugian adalah sebagai berikut: besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp500.000,00 dan paling banyak Rp100.000.000,00

(16)

, apabila mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, paling sedikit Rp25.000.000,00 dan paling banyak Rp300.000.000,00 , apabila mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp600.000.000,00 .

Selanjutnya, perihal tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan juga melalui gugatan dalam perdata, namun proses pemeriksaan terhadap perkara ganti kerugian melalui perdata membutuhkan waktu lebih lama dari pada pemeriksaan melalui perdata, yang mana proses nya sampai kurung waktu kurang lebih 1 (satu) tahun. Mengenai nominal pemberian ganti kerugian dalam gugatan perdata tidak bersifat limitatif atau terbatas, namun mengenai tuntutan ganti kerugian melalui gugatan perdata tidak dapat menuntut ganti kerugian yang bersifat immaterial.

D. Penutup

1. Kesimpulan

a. Menurut penulis alasan majelis hakim kurang tepat, karena penyidik dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka harus didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian status tersangka kepada seseorang harus didasarkan atas bukti permulaan yang cukup. Untuk itu dalam menetapkan seseorang tersangka oleh penyidik memang sudah tugasnya, tetapi jika dalam menjalankan tugasnya penyidik tidak cermat dan tidak berpedoman pada uu yg berlaku, label tersangka tersebut dapat merugikan seseorang.

b. Menurut penulis mengenai pertimbangan hukum hakim yang menolak permohonan ganti kerugian pemohon untuk seluruhnya dalam tingkat penuntutan kurang tepat, karena jaksa tidak dapat membuktikan tuntutannya dengan mendakwa tuan agen simbolon dengan pasal tersebut, sehingga menurut penulis penuntut umum tidak professional dalam membuktikan dakwaannya.

2. Saran

a. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyarankan bahwa dalam sistem peradilan pidana, dalam proses pengadilannya sebaiknya terdapat suatu

(17)

lembaga yang bertugas untuk mengawasi atau sebagai lembaga examinasi yang bertugas untuk melakukan examinasi terhadap putusan.

b. Kepada Penyidik hal ini juga menjadi pelajaran agar dalam melaksanakan tugasnya tidak berlaku secara sewenang-wenang dalam menjalankan proses pemeriksaan. Mengingat dalam memberikan label tersangka kepada seseorang dapat menimbulkan kerugian.

c. Kepada Penuntut umum dalam menjalankan tugasnya untuk menerapkan hukum terhadap seseorang harus bertindak secara cermat dan harus teliti dalam membuktikan tindak pidana yang didakwakan.

DAFTAR REFERENSI BUKU

A. Soetomo, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Praktek Jakarta: Pustaka Kartini, 1990

A.C Hart dan Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1996 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Legal theory dan Teori Peradilan Judicial

prudance, Makasar: Kencana, 2007

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Jakarta: Sinar Grafika, 2008 _______, Hukum Acara Pidana di Indonesia Edisi II, Jakarta: Sinar Grafika, 2008 _______, Terminologi Hukum Pidana Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Andi Sofyan dan Abd Aziz, Hukum Acara Pidana, edisi pertama, Jakarta: Prenandamedia Group, 2014

Aristo M.A Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia Jakarta: Rajawali Pers, 2017

Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori-Teori Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1993

Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Jakarta: Djambatan, 1989

Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan dalam Teori dan Praktek, Jakarta: CV Mandar Maju, 2003

(18)

Harun M Husein, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi, dan Permasalahannya, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005

Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Surat-surat Resmi Advokat di Pengadilan, Jakarta: Papas Sianar Sinanti, 2014

M. Husein Harun. Penyidik Dan Penuntut Dalam Proses Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Edisi Kedua), Jakarta: Sinar Grafika, 2016

_______, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Cet. XII (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap II), Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009

Ramelan, Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2006 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Jakarta: Akademika Pressindo,

1986

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986

Sri Untari Indah, et.al.Pengantar Hukum Indonesia Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2005

Sugianto, Hukum Acara Pidana dalam Praktek Peradilan di Indonesia. Yogyakarta:

Deepublish, 2018

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP

ONLINE DARI INTERNET

Ali Hitori, “Hak Habeas Corpus untuk Praperadilan” (On-line), tersedia di:

http://www.kompasiana.com/www.hitori.com/54f35f88745513982b6c736e/hak- habeas-corpus-untuk-praperadilan 2019

(19)

Muhammad Riza, “Penangkapan Sebagai Upaya Paksa Penyidikan” (On-line), tersedia di: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/122878-PK%20III% 20629. 8221- Tertangkap% 20tangan-Literatur.pdf (26 Juni 2019, pukul 22.40).

Denny Petrus MP, “Analisis Terhadap Tindakan Upaya Paksa Yang Dilakukan Oleh Penyidik Pada Tindak Pidana Sistem Budidaya Tanaman” (On-line), tersedia di:

http://lib.ui.ac. id/file?file= digital/2016-8/20323648-S22603 Denny%20Petrus%20Marihot%2 0Napitupulu.pdf (26 Juni 2019, pukul 22.50).

JURNAL

Agnes Asisi. “Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Putusan Bebas dalam perkara Pidana Korupsi”. E-jurnal, 2015.

Muntaha, “Pengaturan Praperadilan Dalam Sistem Peradilan di Indonesia”. Jurnal Mimbar Hukum Ugm, Vol. 29 No. 3 Oktober 2017.

PUTUSAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.

Referensi

Dokumen terkait

Harta pusaka tinggi merupakan harta yang diperoleh secara turun menurun dalam adat Minangkabau disebutkan “dari ninniak turun ka mamak dari mamak turun ka kamanakan” dan

Berdasarkan uruaian diatas, maka penulis tertarik untuk membahas dan mengangkat permasalahan tersebut dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk skripsi berjudul :

Maka dari penelitian tersebut, penulis dapat mengetahui pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Malang terkait penagihan pajak restoran yang

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh Corporate Social Responsibility dan Kepemilikan Manajerial secara simultan terhadap nilai perusahaan pada subsektor industri

Komposisi vegetasi pada Hutan Kota Baruga Kota Kendari tersusun atas 76 jenis yang terkelompok dalam 29 famili yang menyebar pada semua tingkatan vegetasi. Famili

Untuk menjawab permasalah tersebut dilakukan penelitian hukum normatif terhadap 3 (tiga) putusan KPPU dan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya. Data yang digunakan

Garuda Indonesia selaku pengangkut belum bertanggung jawab atas kehilangan uang didalam bagasi tercatat milik penumpang Bapak Ihsan, berdasarkan Pasal 144 Undang-Undang Nomor 1

“Melihat penggugat menggunakan mekanisme gugatan legal standing yang notabene muaranya untuk membela masyarakat luas, tapi ternyata materi atau pokok gugatannya menyangkut