2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal
“Komunikasi interpersonal (antar pribadi) merupakan komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik verbal maupun nonverbal”
(Mulyana, 2004, p.73). “Komunikasi interpersonal juga merupakan komunikasi yang berlangsung di antara dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan jelas” (DeVito, 2007, p.5). Dalam hal ini, “komunikasi interpersonal meliputi komunikasi antara seorang anak dengan ayahnya, pengusaha dengan karyawannya, dua bersaudara, guru dengan murid, dua kekasih, dua teman, dan sebagainya. Sebagaimana disebutkan bahwa bentuk khusus dari komunikasi interpersonal adalah komunikasi diadik (dyadic communication) yang melibatkan hanya dua orang. Di mana karakteristik komunikasi diadik adalah bahwa: pihak- pihak yang berkomunikasi berada dalam jarak yang dekat; pihak-pihak yang berkomunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan atau spontan, baik secara verbal maupun nonverbal” (Mulyana, 2004, p.73).
Dalam penelitian ini, komunikasi interpersonal yang akan diamati adalah komunikasi interpersonal antara orang tua dengan anak, sehingga akan diperoleh gambaran mengenai proses komunikasi yang terjadi di antara orang tua dan anak.
2.1.2 Model Komunikasi Interpersonal
“Model komunikasi interpersonal merefleksikan siklus natural komunikasi interpersonal, dimana komunikasi berlangsung dari orang pertama kepada orang kedua, lalu orang kedua kepada orang pertama, dan seterusnya”
(DeVito, 2007, p. 9). Model komunikasi interpersonal tersebut digambarkan sebagai berikut:
Model komunikasi di atas menunjukkan bahwa dari sumber pesan akan menyampaikan pesan kepada penerima pesan melalui saluran. Penerima pesan selanjutnya akan memberikan respon, baik berupa feedback maupun feedforward kepada sumber pesan. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa sumber pesan bisa saja menjadi penerima pesan, demikian juga sebaliknya. Di samping itu, gambar di atas juga menunjukkan adanya gangguan (noise) dalam proses komunikasi interpersonal yang terjadi. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa di dalam model proses komunikasi interpersonal melibatkan berbagai elemen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain.
Gambar 2.1. A Model of universal interpersonal communication Sumber: DeVito (2007, p.12)
2.1.3 Elemen-elemen dalam Komunikasi Interpersonal
Beberapa elemen dalam komunikasi interpersonal adalah sebagai berikut (DeVito, 2007, p. 10-21):
1. Sumber-Penerima. Setiap orang melakukan fungsi sumber (mengirim pesan) dan juga sekaligus melakukan fungsi penerima (menerima dan memahami pesan). Istilah sumber-penerima menegaskan bahwa kedua fungsi tersebut dihasilkan oleh masing-masing individu dalam komunikasi interpersonal.
2. Enkoding -Dekoding. Enkoding adalah mengena i kegiatan memproduksi pesan, contoh: berbicara atau menulis. Dekoding adalah kebalikannya dan berkenaan dengan kegiatan untuk memahami pesan, contoh: mendengarkan atau membaca.
3. Pesan. Pesan adalah sinyal yang menjalankan stimuli untuk menerima. Sinyal ini bisa berupa sesuatu yang didengarkan (auditory), dilihat (seeing), diraba atau disentuh (touching), dibau (smelling), dirasakan (tasting), atau kombinasi dari beberapa jenis sinyal. Pesan dalam hal ini bisa berupa umpan balik dan umpan maju. Umpan balik adalah informasi yang dikirim kembali ke sumbernya. Umpan balik dapat berasal dari diri sendiri maupun orang lain, misalnya pembicara sedang berbicara, ia mendengar dari dirinya sendiri.
Artinya ia menerima umpan balik dari dirinya sendiri. Sedangkan umpan maju adalah informasi yang disediakan sebelum mengirim pesan utama.
4. Hambatan atau gangguan adalah segala sesuatu yang mendistorsi/menyimpangkan pesan. Gangguan dapat menghalangi penerima dalam menerima pesan dan sumber dalam mengirim pesan. Gangguan dalam komunikasi merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Gangguan komunikasi interpersonal meliputi gangguan fisik, gangguan fisiologis, gangguan psikologis, dan gangguan semantik. Gangguan fisik adalah interferensi eksternal dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain dari sumber atau penerima. Contohnya adalah desingan mobil yang lewat, suara-suara berisik yang mengganggu di lingkungan sekitar, dan lainnya. Gangguan fisiologis yaitu gangguan dengan fungsi tubuh antara pembicara atau pendengar. Seperti misalnya, kelemahan penglihatan, gangguan pendengaran, masalah ingatan, dan sebagainya. Gangguan psikologis adalah interferensi kognitif atau mental.
Contohnya yaitu bias dan prasangka pada sumber dan penerima, pola pikir yang tertutup, emosi yang ekstrim (marah, sedih, jatuh cinta, dan lainnya).
Gangguan semantik adalah gangguan yang terjadi di mana pembicara dan pendengar memiliki cara pengartian yang berbeda. Misalnya, orang yang berbicara dalam bahasa yang berbeda, maka ketika salah seorang menggunakan bahasa jargon, maka orang yang lainnya akan kesulitan mengartikan bahasa tersebut sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pembicaranya.
5. Channel. Saluran komunikasi adalah media dimana pesan disampaikan. Itu seperti jembatan yang menghubungkan sumber dan penerima. Cara untuk memahami tentang saluran adalah dengan mengetahui mereka sebagai alat komunikasi. Contoh: kontak tatap muka, telepon, instant messaging, email dan sebagainya.
6. Konteks. Komunikasi selalu berada pada konteks atau situasi yang mempengaruhi bentuk dan isi pesan. Konteks komunikasi memiliki 4 dimensi; dimensi fisik, dimensi temporal, dimensi sosial-psikologis, dan konteks budaya. Dimensi fisik adalah lingkungan nyata atau konkrit dimana komunikasi berlangsung, contohnya taman, auditorium, meja makan keluarga, dan sebagainya. Dimensi temporal berhubungan tidak hanya pada hari dan saat yang telah berlaku tetapi juga dimana lebih tepatnya pesan masuk dalam rangkaian kegiatan komunikasi. Dimensi sosial-psikologis termasuk, contohnya status hubungan antara partisipan, aturan main, dan permainan ketika orang bermain. Konteks budaya berkaitan dengan kepercayaan budaya dan kebiasaan orang berkomunikasi. Ketika berinteraksi dengan orang yang berbeda budaya, seseorang bias mengikuti aturan komunikasi yang berbeda.
7. Etika. Setiap komunikasi memiliki konsekuensi, begitu pada komunikasi interpersonal. Setiap tindakan komunikasi memiliki moral dimensi, yaitu sebuah kebenaran dan kesalahan.
8. Kompetensi. Kemampuan untuk melakukan komunikasi secara efektif adalah kompetensi interpersonal. Kompetensi termasuk, contohnya pengetahuan tentang kepastian situasi dan kepastian pendengar bahwa sebuah topik itu cocok dan yang lain tidak. Pengetahuan tentang aturan perilaku nonverbal
seperti vocal volume dan ketidakcocokan sentuhan juga merupakan bagian dari kompetensi.
Dari uraian di muka maka proses komunikasi interpersonal akan terjadi bila terdapat elemen-elemen komunikasi tersebut.
2.1.4 Bentuk Komunikasi
Veeger (1986, p.39) “mengungkapkan bahwa komunikasi tidak hanya berlangsung melalui kata-kata saja, namun melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti artinya. Artinya gerak yang menentukan. Dalam interaksi simbolik, orang menafsirkan gerak-gerik orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu”. Di dalam komunikasi maka terdapat dua bentuk komunikasi yaitu:
1. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal yaitu komunikasi yang menggunakan simbol atau kata- kata, baik yang dinyatakan secara oral maupun tulisan (Muhammad, 2004, p.95).
2. Komunikasi non Verbal
Komunikasi non verbal adalah pe nciptaan atau pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata -kata, seperti, menggunakan gerakan badan, sikap tubuh, kontak mata, vokal yang bukan berupa kata-kata, ekspresi muka, sentuhan, dan kedekatan (Muhammad, 2004, p.130).
“Komunikasi non verbal (atau yang lebih dikenal dengan bahasa tubuh) seringkali menyampaikan pesan-pesan yang tidak terucapkan. Pesan bahasa tubuh sangat tepat untuk menyampaikan perasaan. Bahasa tubuh merupakan cara komunikasi non-verbal yang unik, untuk menyampaikan informasi, mengekspresikan diri melalui gerakan-gerakan sadar atau bawah sadar, gerak-gerik tubuh, atau ekspresi wajah” (Kumar, 2004, p.9). Beberapa bentuk komunikasi non verbal (Wood, 2009, p.138-142) antara lain adalah:
a. Kinesics : disebut juga bahasa tubuh, mencakup gerakan- gerakan tubuh dan wajah.
b. Haptics : sentuhan. Sentuhan ini bisa menunjukkan keakraban dan rasa senang.
c. Physical appearance : Penampilan seseorang, mencakup cara berpakaian.
d. Artifacts : yaitu objek personal di mana dengan objek tersebut individu menunjukkan identitasnya, seperti perhiasan, dokter dengan peralatannya.
e. Proxemic : Ruangan privasi (space) di sekitar setiap manusia, yang akan menunjukkan kedekatan dengan seseorang. Misalnya jika seseorang tidak senang dengan orang lain maka akan cenderung berjauhan.
Selain itu, “bentuk komunikasi non verbal juga dibagi dalam empat bentuk yaitu sentuhan (touch), nada suara (paralinguistic), bahasa tubuh (body language), dan penggunaan personal space (jarak) atau proxemics” (Andersen dan Taylor, 2007, p.108).
2.1.5 Komunikasi Keluarga
Saluran komunikasi antar pribadi dapat digunakan untuk melihat struktur keluarga, karena saluran komunikasi ini paling tinggi frekuensinya digunakan untuk berkomunikasi. “Beberapa anggota keluarga lebih banyak menggunakan waktunya untuk berbicara dengan yang lain. Tipikal pola interaksi dalam keluarga menunjukkan jaringan komunikasi. Struktur jaringan keluarga sangat bervariasi antara satu dengan yang lain. Jaringan tersebut terpusat pada salah satu anggota keluarga ” (Wiryanto, 2004, p.34). ”Keluarga merupakan suatu kelompok sosial yang bersifat langgeng berdasarkan hubungan pernikahan dan hubungan darah.
Keluarga adalah tempat pertama bagi anak, lingkungan pertama yang memberi penampungan baginya, tempat anak akan memperoleh rasa aman” (Gunarsa, 2009, p.43-44).
”Orientasi dan suasana keluarga timbul dari komitmen antara suami isteri dan komitmen mereka dengan anak-anaknya. Keluarga inti (nuclear) terdiri atas orang tua dan anak yang merupakan kelompok primer yang terikat satu sama lain karena hubungan keluarga ditandai dengan kasih sayang (care), perasaan yang mendalam (affection), saling mendukung (support), dan kebersamaan dalam kegiatan-kegiatan pengasuhan. Suami isteri yang selanjutnya menjadi ayah-ibu merupakan anggota keluarga yang penting dalam membentuk keluarga yang utuh
dan sejahtera. Kebudayaan yang mengikuti kemajuan teknologi mengalami perubahan cepat. Kebudayaan yang berubah sering disertai dengan perubahan- perubahan nilai kebudayaan ”(Gunarsa, 2009, p.44).
Cangara (2002, p.62) mengungkapkan bahwa ”fungsi komunikasi dalam keluarga ialah meningkatkan hubungan insani (human relation ), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi dalam keluarga, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain.
Komunikasi dalam keluarga dapat meningkatkan hubungan kemanusiaan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi”. Dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat seseorang bisa memperoleh kemudahan-kemudahan dalam hidupnya karena memiliki banyak sahabat. Melalui komunikasi dalam keluarga, juga dapat dibina hubungan yang baik, sehingga dapat menghindari dan mengatasi terjadinya konflik-konflik di antara anggota keluarga.
Di dalam komunikasi keluarga maka terdapat komunikasi interpersonal antara orang tua dengan anak. Komunikasi antara orang tua dengan anak merupakan hal yang amat penting, karena anak memiliki keterbatasan kemampuan yang dapat memiliki persepsi yang salah tentang segala sesuatu yang dialaminya. ”Anak cenderung menangkap segala sesuatu seperti apa adanya, seperti apa yang dilihat dan dialaminya, tanpa mampu menangkap pesan yang tersembunyi” (Wahyuning, 2003, p.33).
Oleh karena itu orang tua harus mampu menjalin hubungan interpersonal yang baik dengan anak agar orang tua dan anak bisa saling mendukung (supportive) dalam berkomunikasi. Sebagaimana diungkapkan oleh Rakhmat (2005, p.129) bahwa “faktor-faktor yang menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik ada tiga yaitu percaya, sikap terbuka, dan sikap suportif”.
“Kepercayaan merupakan faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi interpersonal yang efektif, di mana kepercayaan ini akan tumbuh ketika komunikasi bersifat terbuka, maksud dan tujuan sudah jelas, dan ekspektasi sudah dinyatakan” (Rakhmat, 2005, p.129-131).
“Sikap sportif akan mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Sikap defensif ditunjukkan ketika seseorang tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis. Dalam hal ini, komunikasi defensif akan terjadi ketika ada faktor
personal dan faktor situasional yang mempengaruhinya. Faktor personal tersebut seperti ketakutan dan kecemasan” (Rakhmat, 2005, p.133).
Komunikasi yang terjalin di antara anggota keluarga tersebut dipengaruhi oleh tipe atau bentuk keluarga, karena tipe keluarga akan mempengaruhi tingkah laku anggota keluarga dan pola pengasuhan.
2.1.6 Tipe Keluarga
Friedman (1986) menjelaskan bahwa ada delapan tipe keluarga yaitu (Ali, 2010, p.6-7):
1. Nuclear family (keluarga inti), yaitu keluarga yang terdiri atas orang tua dan anak yang menjadi tanggungannya dan tinggal dalam satu rumah yang terpisah dari sanak keluarga lainnya. Pada keluarga inti tradisional maka suami berperan sebagai pencari nafkah, ibu berperan sebagai ibu rumah tangga.
Sedangkan pada keluarga inti nontradisional maka kedua orang tua yaitu suami dan istri bekerja atau keluarga yang tanpa anak.
2. Extended family (keluarga besar), yaitu satu keluarga yang terdiri atas satu atau dua keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah dan saling menunjang satu dengan yang lain. Karena terdapat banyak anggota keluarga dengan banyak aturan maka anak menjadi bingung akan mencontoh model yang mana (ayah/kakek/paman). Akibatnya, bila kondisi tersebut berlangsung lama maka terjadi angka perceraian tinggi, kehamilan di kalangan remaja, kelahiran di luar pernikahan, dan lain-lain.
3. Single parent family (keluarga dengan orang tua tunggal), yaitu satu keluarga yang dikepalai oleh satu kepala keluarga dan hidup bersama anak-anak yang masih bergantung padanya. Hal ini biasanya terjadi karena perceraian atau kehamilan di luar nikah, sehingga hanya akan ada ayah atau ibu saja di dalam satu keluarga.
4. Nuclear dyed, yaitu keluarga yang terdiri dari sepasangan suami istri yang tanpa anak, tinggal dalam satu rumah yang sama.
5. Blended family, yaitu suatu keluarga yang terbentuk dari perkawinan pasangan, yang masing-masing pernah menikah dan membawa anak hasil perkawinan terdahulu.
6. Three generation family (keluarga tiga generasi), yaitu keluarga yang terdiri atas tiga generasi, yaitu kakek, nenek, bapak, ibu, dan anak dalam satu rumah.
7. Single adult living alone (orang dewasa tunggal yang hidup sendiri), yaitu bentuk keluarga yang hanya terdiri atas satu orang dewasa yang hidup dalam rumahnya.
8. Middle age atau elderly couple, yaitu keluarga yang terdiri atas sepasang suami istri paruh baya.
Denga n adanya perbedaan peran tersebut maka setiap tipe keluarga akan menggambarkan perbedaan sosial, tingkah laku, kultur, dan gaya hidup, di mana akan mempengaruhi pelaksanaan pengasuhan anak (Friedman, dikutip Ali, 2010, p.8). Dalam penelitian ini dipilih sa tu pasang dari keluarga inti yang ibu dan ayahnya sama-sama bekerja, istilah lainnya adalah keluarga inti nontradisional.
2.1.7 Masa Remaja
Masa remaja merupakan masa transmisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. ”Remaja dalam gambaran yang umum merupakan suatu periode yang dimulai dengan perkembangan masa pubertas dan menyelesaikan pendidikan tingkat menengah. Perubahan biologis yang membawanya pada usia belasan (teenagers) seringkali mempengaruhi perilaku masa remaja. Masa remaja juga merupakan masa yang membedakan antara jenjang anak-anak di satu sisi dan jenjang orang dewasa di sisi lain ” (Ihromi, 2004, p.39). ”Masa remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian, karena sifat-sifat khasnya dan peranannya yang menentukan dalam kehidupan individu dalam masyarakat orang dewasa”
(Yusuf, 2008, p.26).
Masa remaja dapat diperinci menjadi beberapa masa yaitu (Yusuf, 2008, p.26):
1. Masa pra remaja (remaja awal)
Masa praremaja biasanya berlangsung hanya dalam waktu yang relatif singkat. Masa ini ditandai ole h sifat-sifat negatif dengan gejalanya seperti tidak tenang, kurang suka bekerja, pesimistik, dan sebagainya. Secara garis besar, sifat-sifat negatif tersebut dapat diringkas, yaitu: (a) negatif dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun mental; dan (b) negatif dalam sikap
sosial, baik dalam bentuk menarik diri dalam masyarakat (negatif pasif) maupun dalam bentuk agresif terhadap masyarakat (negatif aktif).
”Masa ini disebut juga sebagai masa preadolescence atau masa anak tanggung atau meningkat remaja, yaitu masa di mana anak mencapai usia 10- 13 tahun” (Gunarsa, 2009, p.52). Masa ini ditandai dengan pertumbuhan fisik yang sangat hebat, terutama tinggi badan yang bertambah secara tiba-tiba.
Pada masa ini, anak sudah menyelesaikan perkembangan anak dan bersiap- siap untuk memasuki masa perkembangan remaja. Anak mulai belajar segala hal yang ingin diketahui dan ingin dikuasainya. Mereka merasa paling aman jika mereka berada di antara teman sebaya, yang sama kematangan dan statusnya. Mereka memiliki hubungan akrab dengan teman sebaya dan perasaan solidaritas yang kuat.
”Pada masa ini juga anak-anak mulai berpikir kritis, mengajukan pertanyaan teoritis sebab akibat, menentang pendapat orang dewasa, dan identifikasi emosional dengan teman sejenis yang sebaya. Minat dan aktivitas juga mulai mencerminkan jenisnya secara lebih jelas. Pengendalian diri dalam hal emosionalitas dan kesediaan bertanggung jawab lebih diperlihatkan dalam hal perbuatan/tindakan. Selain itu, pada masa ini, pengaruh teman sebaya juga sangat besar mempengaruhi perkembangan anak” (Gunarsa, 2009, p.52-53).
2. Masa remaja (remaja madya)
Pada masa ini mulai tumbuh dalam diri remaja dorongan untuk hidup, kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya, teman yang dapat turut merasakan suka dan dukanya. Pada masa ini, sebagai masa mencari sesuatu yang dapat dipandang bernilai, pantas dijunjung tinggi dan dipuja -puja, sehingga pada masa ini disebut masa merindu puja (mendewa-dewakan) sebagai gejala masa remaja.
3. Masa remaja akhir
Setelah remaja dapat menentukan pendirian hidupnya pada dasarnya masa remaja akhir telah tercapai dan tugas-tugas perkembangan masa remaja telah terpenuhi, yaitu menemukan pendirian hidup, dan individu tersebut akan masuk ke masa dewasa.
Dari ketiga fase perkembangan masa remaja di atas maka pada masa remaja awal, pengaruh kelompok sebaya sangat besar, sedangkan pengendalian orang tua dan orang dewasa berkurang. Anak tanggung atau pra remaja ini sering menolak segala hal yang dianggap baik oleh orang tua. Perilaku suka mengkritik dan menyusahkan orang tua. Namun demikian, “pada masa ini anak-anak tetap memerlukan kehangatan dan keserasian keluarga serta rumah, dan mereka membutuhkan dukungan emosional dari orang tua ketika mengalami kekecewaan dalam pergaulannya. Pengertian orang tua sangat dibutuhkan justru pada saat anak mengalami kegagalan dalam kelompok sebaya” (Gunarsa, 2009, p.53).
Oleh karena itu, pada masa remaja diperlukan peranan orang tua yang aktif dan efektif dalam proses komunikasi interpersonal agar remaja dapat melaksanakan tugas perkembangannya dengan baik dan mampu menemukan pendirian dan nilai-nilai kehidupan.
2.1.8 Peranan Orang Tua dalam Perkembangan Seksual Anak
Proses perkembangan manusia mempengaruhi aspek psikososial, emosional, dan biologis kehidupan yang selanjutnya akan mempengaruhi seksualitas individu. ”Sejak lahir, gender atau seks memempengaruhi perilaku individu sepanjang kehidupannya” (Hamid, 2009, p.54). Berikut adalah perkembangan seksualitas kehidupan manusia mulai lahir sampai masa pubertas.
Tabel 2.1 Perkembangan Seksualitas Kehidupan Manusia Mulai Lahir Sampai Masa Pubertas
Tahap perkembangan Karakteristik Implikasi pengasuhan Bayi (lahir – 18 bulan) Membutuhkan kasih sayang
dan stimulasi sentuhan
Hindarkan penyapihan terlalu dini untuk mencegah deprivasi oral
Anak laki-laki mengalami ereksi dan wanita potensial orgasme
Orang tua berperan dalam memberikan sentuhan fisik, karena kurangnya sentuhan dapat menyebabkan kurang berkembangnya fisik dan mental bayi.
Secara bertahap dapat membedakan diri sendiri dan orang lain
manipulasi genital yang dilakukan sendiri merupakan perilaku normal
Berpakaian sesuai gender Hindarkan kata-kata tidak baik Mainan sesuai gender Hindarkan keracunan seksual
dengan mengenalkan secara
Tahap perkembangan Karakteristik Implikasi pengasuhan anak laki-laki dan perempuan Todler (1 - 3 tahun) Mengembangkan
pengendalian terhadap defekasi dan berkemih
Membiarkan anak menentukan kesiapan untuk latihan defekasi dan berkemih (toilet training), karena jika
dipaksakan akan menimbulkan perilaku kompulsif.
Kedua gender menikmati memegang genitalianya
Hukuman karena memegang genitalnya akan menimbulkan Mampu mengidentifikasi jenis
kelaminnya sendiri
rasa bersalah dan malu terhadap perilaku seksual dalam kehidupannya lebih lanjut
Mengembangkan
perbendaharan kata terkait dengan anatomi
Gunakan istilah yang sesuai untuk bagian tubuh tertentu
Pra sekolah (4 – 6 tahun) Sampai usia 6 tahun, seksualitas sudah diinternalisasikan
Orang tua dapat menimbulkan asistensi pada anak -anak dengan tidak menoleransi idiosinkrasi perilaku peran seksual.
Cara bermain dan berpakaian sesuai dengan gender
Orang tua yang memberi reaksi berlebihan terhadap Menikmati mengeksplor
bagian tubuh sendiri dan teman bermain
Terlibat masturbasi
perilaku masturbasi anak dapat menimbulkan keyakinan bahwa genital dan seksual adalah buruk dan kotor Usia sekolah (6 – 10 tahun) Terdapat keterikatan
emosional antara orang tua dan anak dengan gender yang berbeda
Kecenderungan untuk berteman dengan gender yang sama
Keingintahuan tentang seksual dan berbagi rasa takut Peningkatan kesadaran diri
Lebih memilih hubungan dengan jenis seks yang sama tidak berarti cenderung untuk homoseksual atau heteroseksual.
Beri informasi pada anak yang diinginkan secara jelas dalam bentuk nyata
Mungkin akan mencari informasi dari teman sebayanya yang justru mungkin salah Pra-remaja (10 – 13 tahun) Pubertas mulai terlihat
perkembangan karakteristik gender sekunder
Perlu diberi informasi tentang perubahan tubuh untuk mengurangi rasa takut.
Mulai menstruasi Informasi ini diberikan kepada Mungkin menguji batasan
perilaku
remaja sebelum terjadi perkembangan pubertas
Sumber: Hamid (2009, p.55-56).
Terkait dengan perkembangan seksual anak dan remaja di atas maka peran orang tua da lam menyampaikan pendidikan seksual adalah berlangsung terutama bagaimana anak perempuan beridentitas dengan ibunya sebagai perempuan dewasa, dan anak laki-laki dengan ayahnya sebagai laki-laki dewasa.
Oleh karena itu, hubungan kasih sayang ayah dan ibu se bagai suami-istri dan ayah-ibu dengan anaknya sebagai tokoh pria dewasa dan wanita dewasa sangat penting. Contoh nyata dalam kehidupan orang tua sehari-hari jauh lebih bermakna daripada sekedar pemberian informasi (Martono dan Joewana, 2008, p.41).
Walaupun kedua orang tua memegang peranan penting dalam penentuan peran pendidikan seksual anak, peranan mereka beragam bergantung dari jenis kelamin dan usia anak. Karena ibu lebih banyak bertanggung jawab dalam pendidikan anak selama awal masa hidupnya dibandingkan ayah, penentuan peran pendidikan seksual lebih dilakukan ibu dari ayah pada saat itu. Selama masa kanak-kanak, para ibu cenderung lebih berminat untuk mengasuh anak daripada para ayah. Akibatnya hubungan ibu dengan anak lebih baik. Ini mendorong anak untuk lebih dipengaruhi ibunya daripada ayahnya. Hal ini berlaku juga pada anak laki-laki. Dimana anak laki-laki bereaksi terhadap ibunya juga mempengaruhi pengaruh ibu pada penentuan peran pendidikan seksual ke anak laki-lakinya. Para ibu sebagai suatu kelompok, lebih mendorong ketergantungan dari ayah sehingga anak cenderung menjadi tergantung ketimbang mandiri dan agresif (Hurlock, 1978, p.174).
2.1.9 Pendidikan Seksual
Seksual adalah bagian dari kehidupan manusia. Sesuatu yang ada dan tidak bisa ditolak. Sesuatu yang muncul dan bisa menimbulkan berbagai masalah jika tidak dikendalikan, diatur, diredam secara baik (Gunarsa, 2004, p.91). Oleh karena itu, agar bisa mengendalikan, mengatur, dan meredam dengan baik maka diperlukan pendidikan seksual. Menurut Gunarsa (2004, p.94), penyampaian materi pendidikan seksual seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak. Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah, mengingat yang paling mengetahui keadaan anak adalah orangtuanya sendiri.
Tabel 2.2. Seks, Gender dan Orientasi Seksual sebagai Keberlanjutan dan sebagai Variabel yang saling Berartikulasi (Suryakusuma, 1991, p. 7)
SEKS (Biologis)
Betina Hermaphrodite Jantan
0………0
GENDER Feminin Androgin Maskulin
0………0 SEKSUALITAS
(Orientasi Seksual)
Biseks Heteroseks Homoseks Selibat
0………0
”Seks adalah kategori biologis, gender dan seksualitas adalah kategori sosial maupun psikologis. Seksualitas berkaitan dengan genitalia dan organ seks sekunder. Setiap kategori merupakan spektrum keberlanjutan (arah horisontal) dimana terletak sub-kategori seperti di atas. Dalam manusia yang konkrit terjadi artikulasi (arah vertikal) dari kategori di atas” (Suryakusuma, 1991, p. 7). Dalam penelitian kali ini dapat mencakup ketiga kategori diatas, namun disesuaikan usia anak yang ingin diteliti yaitu 10-13 tahun (dalam masa puber awal).
Pendidikan seksual merupakan salah satu pendidikan yang perlu diajarkan oleh orang tua kepada anak-anak sejak anak-anak mulai menunjukkan perhatian terhadap organ tubuhnya, yang biasanya mulai tampak pada saat anak berusia tiga tahun. ”Pada masa ini, anak-anak mulai memperhatikan perbedaan organ tubuhnya dengan anak lain atau dengan orang yang lebih tua. Anak pada usia ini akan mulai bertanya secara lugas kepada orang tua ya ng menyebabkan orang tua kadang kesulitan untuk memberikan penjelasan kepada anak-anak”
(Hana, 2009, p.75).
Madani (2003, p.91) mengutip pendapat Syekh Abdullah Nashih Ulwan
”memberi pengertian pendidikan seksual sebagai pengajaran, penyadaran, dan penerangan kepada anak sejak ia memikirkan masalah-masalah seksual, hasrat, dan pernikahan, sehingga ketika anak itu menjadi pemuda, tumbuh dewasa, dan memahami urutan-urutan kehidupan maka ia mengetahui kehalalan dan keharaman”. Maksud dari pendidikan seksual menurut Gawshi (dikutip Madani, 2003, p.91) adalah ”untuk memberi pengetahuan yang benar kepada anak yang
menyiapkannya untuk beradaptasi secara baik dengan sikap-sikap seksual di masa depan kehidupannya; dan pemberian pengetahuan ini menyebabkan anak memperoleh kecenderungan logis yang benar terhadap masalah-masalah seksual dan reproduksi”.
Dengan demikian, pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat membantu anak-anak dan remaja untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Artinya, pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomis dan biologis juga menerangka n tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Juga nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral juga.
Adapun aspek dalam pendidik an seksual menurut Madani (2003, p.94) meliputi:
1. Aspek ketuhanan dalam pendidikan seksual
Pendidikan seksual pada anak harus mampu menjelaskan bahwa ada ikatan yang kuat antara aktivitas seksual dengan tujuan penciptaan manusia. Anak harus diajarkan bahwa konsep Tuhan akan mampu merealisasikan kesucian sebagaimana yang dipahami oleh manusia. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk menjaga kehormatannya dan mengendalikan jiwanya terhadap seksual.
Aktivitas seksual harus dilakukan sesuai dengan ketentuan ajaran Tuhan.
Selanjutnya, pendidikan seksual yang merupakan penghambaan diri tidak hanya dilakukan dengan kontrol yang kuat, pengendalian diri pada hal-hal yang tidak diperbolehkan, dan kerelaan jiwa, tetapi juga harus didasarkan pada takdir Tuhan, keridhoan, serta adanya sentuhan keimanan rohaniah.
2. Aspek kemanusiaan dalam pendidikan seksual
Pendidikan seksual untuk anak di antaranya mengharuskan seksual sebagai bagian dari sifat manusia yang akan memperkuat aspek kemuliaan, kesucian, dan kehormatan manusia. Oleh karena itu, orang tua juga harus menghormati aurat anak-anak. Artinya, orang tua harus memiliki kehati-hatian ketika sedang membantu atau mengajarkan anak-anak mengenai bagaimana
membersihkan kotoran dari bagian tubuhnya yang tidak boleh dilihat oleh orang lain, memberi tahu kepada anaknya mengenai bagian tubuh yang mana saja yang tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain, meminta ijin kepada anak ketika masuk ke kamarnya, dan sebagainya.
3. Pendidikan seksual yang integral
Integral dimaksudkan bahwa pe ndidikan seksual kepada anak harus diajarkan sejarah menyeluruh, yaitu bukan hanya mengaitkan seksual dengan perkembangan anatomi tubuh saja, tetapi juga dengan aturan dan kaidah yang berlaku. Dengan demikian, anak-anak akan memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan berkaitan dengan perubahan dan peristiwa yang dialami terkait dengan perkembangan seksual.
4. Kesinambungan pendidikan seksual
Kesinambungan pendidikan seksual dimaksudkan bahwa pendidikan seksual harus diberikan oleh seluruh bagian dalam masyarakat. Bukan hanya dalam satu bagian saja. Artinya mulai dari keluarga, lembaga pendidikan, institusi publik, media, dan sebagainya harus saling mendukung dalam menyampaikan pendidikan seksual secara benar.
5. Nyata dan benar
Pendidikan seksual harus didasarkan pada kenyataan dan kebenaran. Artinya adalah bahwa apa yang disampaikan kepada anak harus menjelaskan semua yang berhubungan dengan seksual yang nyata. Misalnya ketika menjelaskan tentang darah haidh maka harus dijelaskan mengenai asal usul darah haidh, sifat darah haidh, dan apa saja yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan ketika seorang wanita mendapatkan haidh. Demikian juga dengan asal usul manusia, mulai dari pembuahan, dan perkembangannya.
6. Tahapan dalam pendidikan seksual
Pendidikan se ksual harus diberikan secara bertahap dan disesuaikan dengan usia dan pertumbuhan fisik anak, serta perkembangan wawasan anak. Selain itu pendidikan seksual juga memperhatikan jenis kelamin anak, karena anak perempuan lebih cepat tingkat kematangan seksualnya dibandingkan dengan anak laki-laki.
Sementara itu, hal-hal yang perlu dikomunikasikan dalam pendidikan seksual di antaranya adalah (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 2002, p.18):
1. Menstruasi atau haidh
Menstruasi adalah pelepasan darah dan cairan encer dari uterus melalui vagina. Menstruasi dimulai saat pubertas, berhenti sesaat pada waktu hamil dan menyusui, dan berakhir pada saat menopause, yaitu ketika seorang wanita berusia 40 – 50 tahun. Dalam mengomunikasikan menstruasi dengan anak maka orang tua perlu mengingatkan kebersihan dan kesehatan selama masa haidh, seperti menyarankan anak untuk mandi teratur dan mengganti pakaian dalam setiap empat jam untuk mencegah infeksi.
2. Ejakulasi dan mimpi basah
Mimpi basah adalah tanda seorang anak laki-laki telah memiliki kemampuan bereproduksi. Orang tua harus mengomunikasikan kepada anak bahwa mimpi basah adalah proses alamiah yang sangat wajar, di mana di awal pubertas, anak akan memproduksi secara terus menerus air main (sperma), sehingga secara alamiah sperma tersebut akan keluar pada saat tidur, yang biasanya diiringi dengan adanya mimpi tentang seksual.
Hickling (1999, p.92) menyatakan bahwa “kadang-kadang anak laki-laki merasa bersalah mengenai mimpi basah, karena mereka berpikir bahwa hal itu menunjukkan bahwa mereka telah bermimpi mengenai hal-hal yang sensual.
Oleh karena itu, anak laki-laki akan cenderung untuk tidak mengkomunikasikannya ”.
3. Masturbasi
Masturbasi adalah perilaku merangsang diri sendiri untuk memperoleh kenikmatan seksual. Meskipun masturbasi merupakan perilaku normal, tetapi orang tua harus mengkomunikasikannya dengan anak agar anak menghindarkan diri dari perilaku masturbasi agar anak belajar mengendalikan diri. Pengendalian diri ini penting dalam rangka mengembangkan rasa tanggung jawab dan disiplin diri pada anak. Kebiasaan masturbasi pada anak biasanya dilakukan sejak anak berusia 4 atau 6 tahun.
4. Hubungan laki-laki dan perempuan
Anak perempuan memiliki kecenderungan untuk tertarik kepada lawan jenis lebih cepat dibandingka n dengan laki-laki. Namun demikian, adat istiadat dan kebudayaan yang berlaku di masyarakat menjadikan anak perempuan cenderung tidak dapat secara terang-terangan menunjukkan ketertarikannya tersebut. Meskipun demikian, dewasa ini, remaja lebih banyak memiliki aktivitas di luar, sehingga lebih cepat dalam membina hubungan yang sehat antara laki-laki dan perempuan, seperti melakukan kegiatan sekolah bersama- sama yang melibatkan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam hal ini, orang tua perlu mengomunikasikan batasan-batasan antara apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan pada remaja tersebut.
5. Pacaran
Pada dasarnya pacaran itu baik. Remaja dapat belajar untuk mengenali bagaimana sebuah hubungan antara dua orang yang berbeda dapat berjalan dengan baik. Mereka juga dapat merasakan kehangatan dan cinta dari hubungan tersebut. Dalam hal ini, orang tua harus mengingatkan bahwa pacaran tidak berarti harus melakukan hubungan seksual. Orang tua harus selalu mengingatkan kepada remaja tentang situasi-situasi yang dapat mengakibatkan timbulnya hasrat untuk melakukan hubungan seksual dalam masa pacaran. Orang tua juga perlu memberi sarana bagi anak seperti dengan mengenalkan anak kepada anak teman-teman mereka, memberi wawasan kepada anak bahwa pacaran mengenai sisi positif dan negatif dari pacaran kepada anak.
6. Tingkah laku seksual pranikah mulai dari menggenggam tangan sampai berciuman, berpagutan, bercumbu, sampai bersetubuh.
Perilaku seksual perlu dikomunikasikan kepada anak agar anak mampu memahami apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika sedang berhadapan dengan lawan jenisnya, seperti dampak dari beberapa perilaku seksual tersebut.
7. Penularan penyakit seksual.
Penyakit menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks. Hubungan seksual dalam hal ini tidak hanya hubungan seksual melalui alat kelamin, tetapi juga meliputi ciuman, kontak oral-genital, dan pemakaian
“mainan seksual”, seperti vibrator. Kebanyakan orang menganggap berciuman sebaga i aktivitas yang aman. Sayangnya, sifilis, herpes dan penyakit-penyakit lain dapat menular lewat aktivitas yang nampaknya tidak berbahaya ini. Semua bentuk lain kontak seksual juga berisiko.
“Di dalam pendidikan seksual bukan hanya diajarkan bagaimana car anya melakukan hubungan seksual, namun memberikan informasi mengenai perkembangan fisik remaja, gejolak yang dialami remaja, organ-organ seksual laki-laki dan perempuan beserta fungsinya, perilaku dan sikap yang benar terhadap lawan jenis” (Chomaria, 2008, p.75-78).
Hal yang harus diperlukan orang tua untuk memulai pendidikan seksual adalah (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 2002, p.21):
1. Kepedulian yang tidak pernah putus.
2. Kasih sayang yang ditunjukkan kepada anak.
3. Kesetiakawanan, artinya menganggap anak sebagai sahabat dan orang tua senantiasa membantu.
2.1.10 Studi Kasus
“Studi kasus adalah pengujian intensif, menggunakan berbagai sumber bukti (yang bisa jadi kualitatif, kuantitatif, atau kedua -duanya) terhadap satu entitas tunggal yang dibatasi oleh ruang dan waktu” (Daymon dan Holloway, 2008, p.162). “Studi kasus merupakan inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tidak tampak dengan tegas, dan di mana multisumber bukt i dimanfaatkan dalam penelitian” (Yin, 2008, p.18).
“Tujuan studi kasus adalah meningkatkan pengetahuan mengenai peristiwa-peristiwa komunikasi kontemporer yang nyata dalam konteksnya.
Pernyataan tentang bagaimana dan mengapa hal-hal tertentu terjadi dala m sebuah
situasi tertentu, atau ‘apa yang terjadi di sini?’ menjadi kepentingan utama dalam memilih pendekatan riset studi kasus” (Daymon dan Holloway, 2008, p.162).
“Esensi studi kasus, kecenderungan utama dari semua jenis studi kasus, adalah mencoba menjelaskan keputusan-keputusan studi tersebut dipilih, bagaimana mengimplementasikannya, dan apa hasilnya” (Schramm, dalam Yin, 2008, p.17).
“Kelebihan riset studi kasus adalah bahwa riset studi kasus memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan informasi yang detil dan ‘kaya’, mencakup dimensi-dimensi sebuah kasus tertentu atau beberapa kasus kecil, dalam rentang yang luas. Studi kasus yang baik menyoroti berbagai faktor yang mengatur komunikasi dalam situasi tertentu, melukiskan keunikannya, sekaligus mencoba menawarkan pemahaman-pemahaman yang mendalam yang mempunyai relevansi lebih luas” (Daymon dan Holloway, 2008, p.162).
2.2 Nisbah Antar Konsep
Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan sejak dini, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri. Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila remaja tersebut tidak memiliki pengetahuan dan informasi yang tepat. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja tidak mengetahui dampak dari perilaku seksual yang dilakukan, da n seringkali remaja sangat tidak matang untuk melakukan hubungan seksual, terlebih lagi jika harus menanggung risiko dari hubungan seksual tersebut.
Oleh karena itu, dengan meningkatnya minat remaja pada masalah seksual dan sedang berada dalam potensi seks ual yang aktif, maka remaja berusaha mencari berbagai informasi mengenai seksualitas. Dari sumber informasi yang berhasil didapatkan, pada umumnya hanya sedikit remaja yang mendapatkan
seluk beluk seksual dari orang tua. Padahal, orang tua merupakan pemegang peran yang paling penting bagi pendidikan, pembinaan, dan pengarahan remaja dalam segala hal, termasuk dalam hal pendidikan seksual.
Pembinaan dan pengarahan yang dilakukan oleh orang tua dengan anak dapat dilakukan melalui komunikasi interpersonal di antara keduanya.
Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang berlangsung di antara dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan jelas. Dalam hal ini, komunikasi interpersonal merupakan komunikasi diadik (dyadic communication) yang melibatkan hanya dua orang. Di mana karakteristik komunikasi diadik adalah bahwa: pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam jarak yang dekat;
pihak-pihak yang berkomunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan atau spontan, baik secara verbal maupun nonverbal.
Di dalam menjalankan komunikasi antara orang tua dengan anak maka proses komunikasi yang terjadi tergantung pada kebiasaan di rumah, karena sifat anak dan orang tua bermacam-macam, sehingga tidak ada satu cara yang sama yang dapat diterapkan di segala situasi untuk semua anak di semua lingkungan.
Oleh karena itu, dengan menggunakan studi kasus penelitian ini akan mengamati proses komunikasi interpersonal antara orang tua, yaitu ibu, dengan anak laki-laki tentang pendidikan seksual.
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
PROSES KOMUNIKASI INTERPERSONAL
Studi Kasus
ELEMEN -ELEMEN K OMUNIKASI INTERPERSONAL
Proses komunikasi interp ersonal antara ibu dan anak laki-laki tentang pendidikan seksual
Pembicaraan terkait dengan seksual masih dianggap tabu sehingga adanya kesulitan dalam mengk omunikasikan masalah s eksual
Peran penting ibu dalam mengkomunikasikan pendidikan seksual
Komunikasi interpersonal ibu bekerja (Y, 39 tahun) dan anak laki - laki (N, 11 tahun) yang pernah membahas mengenai masalah
seksual secara mendalam
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian