Rencana Keterlibatan Pemangku Kepentingan – Draft
Disusun oleh:
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA
Agustus 2022
Proyek INSAN TERANG LAUTRA
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 1
DAFTAR SINGKATAN 2
BAB 1: TUJUAN 4
1.1 Uraian Singkat Proyek 4
1.2 Konteks Sosial 7
1.3 Pengaturan kelembagaan 8
BAB 2: KAIDAH UTAMA 9
BAB 3: KERANGKA PERATURAN 14
3.1 Peraturan Perundang-undangan yang Terkait 14
3.2 Standar Lingkungan Hidup dan Sosial Bank Dunia 15
BAB 4: RINGKASAN SINGKAT KETERLIBATAN SEBELUMNYA 17
BAB 5: IDENTIFIKASI PEMANGKU KEPENTINGAN 20
BAB 6: KELOMPOK RENTAN DAN MASYARAKAT ADAT 24
6.1 Kelompok Rentan 24
6.2 Masyarakat Adat 26
BAB 7: RENCANA KETERLIBATAN PEM ANGKU KEPENTINGAN 27
BAB 8: KETERBUKAAN INFORMASI 37
BAB 9: MEKANISME PENANGANAN KELUHAN 38
BAB 10: PEMANTAUAN, EVALUASI DAN PELAPORAN 43
BAB 11: PEMBIAYAAN 44
LAMPIRAN I: FORMULIR PENCATATAN KELUHAN 45
LAMPIRAN II: CATATAN KONSULTASI PUBLIK 47
2
DAFTAR SINGKATAN
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BPD Badan Permusyawaratan Desa
BRIN Badan Riset dan Inovasi Nasional (sebelumya dikenal sebagai LIPI) BRWA Badan Registrasi Wilayah Adat
CME Coordinating Ministry for the Economy / Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
CMMAI Coordinating Ministry for Marine Affairs and Investment / Kementerian Koordinator Bidang Kelautan dan Investasi DJ PRL Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut
ESMF Environmental and Social Management Framework / Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sosial
ESCP Environmental and Social Commitment Plan / Rencana Komitmen Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sosial
IP Indigenous People / Masyarakat Adat
IPD Indeks Pembangunan Desa (untuk mengukur kemajuan suatu kabupaten atau provinsi berdasarkan ketersediaan dan kondisi infrastruktur dasar; akses dan keterjangkauan layanan kesehatan dan pendidikan; dan pemerintahan)
LAPOR Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat(suatu aplikasi digital yang dibangun untuk menampung pengaduan berbagai
permasalahan terkait dengan proyek, program, dan kegiatan instansi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah)
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MHA Masyarakat Hukum Adat / Subdirektorat Masyarakat Hukum Adat (subdirektorat di bawah DJ PRL di Kementerian Kelautan dan Perikanan)
MMAF Ministry of Marine Affairs and Fisheries / Kementerian Kelautan dan Perikanan
MSP Marine Spatial Planning / Perencanaan Tata Ruang Laut MPA Marine Protected Area / Kawasan Konservasi Perairan Perpres Peraturan Presiden
KemenPUPR Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
3
KKP Kementerian Perikanan dan Kelautan (lihat MMAF)
P4K Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Direktorat di bawah Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut di
Kementerian Kelautan dan Perikanan)
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (rencana 5 tahun di tingkat provinsi dan kabupaten)
RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah (rencana 5 tahun di tingkat pusat)
RPJPD Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (rencana 20 tahun di tingkat provinsi)
RPJPN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (rencana 20 tahun di tingkat pusat)
RTRW Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah
RUU Rancangan Undang-Undang
RZWP3K Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
SEP Stakeholder Engagement Plan / Rencana Keterlibatan Pemangku Kepentingan
SESA Strategic Environment and Social Assessment / Penilaian Lingkungan Strategis dan Sosial
UPG Unit Pengarusutamaan Gender
UU Undang-Undang
WPP Wilayah Pengelolaan Perikanan
WPPNRI Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
BAB 1: TUJUAN
Tujuan dari Rencana Keterlibatan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Engagement Plan, SEP) ini adalah untuk mendokumentasikan semua kegiatan pemangku kepentingan untuk proyek INSAN TERANG LAUTRA (untuk selanjutnya: LAUTRA), yang didanai oleh Bank Dunia dan dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan di 16 provinsi di seluruh Indonesia. SEP ini disusun oleh tim tugas penyusunan LAUTRA di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Keterlibatan pemangku kepentingan mengacu pada proses berbagi informasi dan pengetahuan, berusaha memahami dan menanggapi kekhawatiran orang lain, dan membangun hubungan berdasarkan kolaborasi. Konsultasi dan keterbukaan informasi dengan para pemangku kepentingan adalah elemen kunci dari keterlibatan dan penting untuk pelaksanaan proyek yang berhasil.
Tujuan keseluruhan dari SEP ini adalah untuk memastikan bahwa pendekatan yang tepat waktu, konsisten, komprehensif, terkoordinasi dan sesuai budaya diambil untuk konsultasi dan keterbukaan informasi proyek. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan komitmen Kementerian Kelautan dan Perikanan terhadap pendekatan praktik yang baik secara internasional untuk keterlibatan yang sejalan dengan Standar Lingkungan hidup dan Sosial (Environmental and Social Standards/ESS) Bank Dunia. Dalam konteks ini, hubungan yang baik dengan para pemangku kepentingan juga merupakan prasyarat untuk pengelolaan risiko yang baik.
1.1 URAIAN SINGKAT PROYEK
INSAN TERANG LAUTRA akan mendukung pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP), konservasi terumbu karang dan ekosistem terkait, pengelolaan berkelanjutan perikanan terumbu karang prioritas dan peningkatan mata pencaharian di sekitar KKP sambil meningkatkan kapasitas Pemerintah Indonesia untuk memobilisasi pembiayaan jangka panjang untuk sektor-sektor ini.
Ada empat komponen di bawah proyek ini.
Komponen 1. Penguatan infrastruktur dan kelembagaan pengelolaan terumbu karang dan KKP.
Subkomponen 1.1. Peningkatan Infrastruktur dan Pembangunan Kapasitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (akan dilaksanakan oleh DJPRL) akan memperkuat dan menunjukkan
5
pengelolaan KKP yang efektif melalui beberapa kegiatan inti: (i) membangun infrastruktur dan kapasitas yang diperlukan untuk mengelola KKP secara efektif; (ii) memperkuat kerangka peraturan untuk pemanfaatan ekonomi berkelanjutan dari aset alam di dalam KKP; (iii) meningkatkan pengelolaan partisipatif dan kemitraan untuk pengelolaan KKP, termasuk pembiayaan berkelanjutan; (iv) dukungan terhadap kegiatan restorasi terumbu karang di lokasi prioritas dalam KKP; (v) meningkatkan pemantauan, evaluasi dan pelaporan efektivitas pengelolaan KKP menggunakan evaluasi standar Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk kinerja KKP (kerangka Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi, EVIKA).
Subkomponen 1.2. Pembangunan Infrastruktur dan Kapasitas Wilayah Pengelolaan Perikanan (akan dilaksanakan oleh DJPT) akan memperkuat pengelolaan yang efektif dari perikanan terkait terumbu karang prioritas di dalam WPP sasaran dengan: (i) meningkatkan pemantauan tangkapan dan upaya di dalam dan di sekitar KKP; dan (ii) membangun infrastruktur dan kapasitas untuk pengelolaan perikanan terpilih berbasis ekosistem.
Komponen 2. Memperluas peluang ekonomi di dalam dan di sekitar KKP.
Subkomponen 2.1. Infrastruktur untuk Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan di dalam dan di sekitar KKP (akan dilaksanakan oleh DJPRL, DJPT, dan DJBT). Subkomponen ini akan mendukung, antara lain: i) perencanaan pembangunan ekonomi berbasis desa dan usulan subproyek pembangunan infrastruktur berdasarkan rencana pembangunan; ii) penambahan staf dalam bentuk dua tim fasilitator (Pendamping Desa) – untuk memimpin proses perencanaan partisipatif di desa sasaran termasuk dukungan kepada pemerintah desa untuk meningkatkan visibilitas langkah-langkah perlindungan KKP, mendukung identifikasi peluang mata pencaharian berkelanjutan di desa-desa sasaran, kegiatan yang mendukung pelaksanaan kepatuhan masyarakat terhadap pengelolaan KKP, wilayah untuk dukungan LAUTRA hingga infrastruktur tingkat desa dan supra-desa dan kelompok masyarakat serta kelompok usaha yang memiliki kapasitas untuk melaksanakan peningkatan investasi mata pencaharian berkelanjutan.
Subkomponen 2.2. Pengembangan Usaha Berkelanjutan dan Aset Keuangan di dalam dan di sekitar KKP (akan dilaksanakan oleh DJPRL DJPRL, DJPT, DJBT). Subkomponen ini akan mendukung, antara lain: i) bantuan teknis untuk membangun kapasitas UMKM wilayah pesisir dalam rantai nilai yang berkelanjutan (terutama perikanan, budidaya, dan pariwisata) untuk mengakses keuangan dan permodalan dari lembaga dan penyedia layanan keuangan yang ada;
ii) memberikan bantuan teknis kepada BLU-LPMUKP (lembaga keuangan mikro KKP) untuk memperluas produk keuangan ke UMKM wilayah pesisir yang berkelanjutan dan menilai usulan rencana usaha.
6
Komponen 3. Pembiayaan Berkelanjutan untuk Konservasi Terumbu Karang dan Mata Pencaharian.
Subkomponen 3.1. Memperkuat Lingkungan yang Mendukung dan Kerangka Kebijakan untuk Keuangan Biru (Blue Finance) (akan dilaksanakan oleh BAPPENAS). Subkomponen ini akan mendukung i) pembentukan Komite Penasihat Keuangan Biru (Blue Finance); ii) Koordinasi kerangka kerja biru nasional sebagai bagian dari Kerangka Kerja Surat Utang Negara (SUN) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs); iii) koordinasi dan penerapan Penandaan Anggaran Biru (Blue Tagging) untuk APBN; iv) penilaian peluang yang disajikan dengan tujuan untuk adaptasi penggunaan anggaran untuk tujuan yang berbeda (repurposing) dari belanja pemerintah; v) merekonsiliasi persyaratan kebijakan untuk meningkatkan nilai karbon dari Kawasan Konservasi Perairan (KKP); pengembangan kerangka pemantauan dan pelaporan untuk investasi biru yang terkait dengan taksonomi biru.
Subkomponen 3.2. Mengembangkan dan menerapkan strategi investasi jangka panjang untuk sektor ekonomi biru (blue economy) prioritas yang diidentifikasi dalam Laporan Insan Terang LAUTRA. (akan dilaksanakan oleh BAPPENAS) Subkomponen ini akan berfokus pada pengembangan tiga strategi pembiayaan berkelanjutan jangka panjang – satu untuk operasi KKP dan investasi modal; satu untuk infrastruktur pesisir yang terkait dengan peningkatan mata pencaharian, dan satu lagi untuk akses pembiayaan UMKM.
Komponen 4. Pengelolaan Proyek (akan dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan). Komponen ini akan mendukung kegiatan pengelolaan proyek dan koordinasi untuk memastikan bahwa proyek dikelola, dipantau secara efektif dan sesuai dengan persyaratan pengelolaan risiko fidusia dan lingkungan hidup dan sosial. Komponen ini akan memberikan dukungan untuk Kantor Pengelola Proyek (Project Management Office, PMO) dan Unit Pelaksana Proyek (Project Implementation Units, PIU) dalam mengelola dan mengawasi kegiatan proyek, termasuk, antara lain: i) Kepegawaian; ii) Pemantauan dan kepatuhan Kerangka Keja Lingkungan Hidup dan Sosial terhadap ESCP; iii) pemantauan dan evaluasi, dan pelaporan; iv) komunikasi, pelibatan warga, dan kegiatan koordinasi pemangku kepentingan selama berlangsungnya proyek termasuk pengelolaan GRM; v) komunikasi dan koordinasi antarlembaga; vi) pengelolaan fidusia termasuk audit; dan vii) biaya operasi tambahan secara keseluruhan.
Lokasi. INSAN TERANG - LAUTRA akan dilaksanakan di sepuluh provinsi, antara lain Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Ke-10 provinsi tersebut termasuk tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan Nasional (WPPNRI). Gambar 1 di bawah ini menunjukkan lokasi sasaran proyek, termasuk WPP 714, 715 dan 718 (pada kotak biru).
7
Gambar 1. Wilayah sasaran proyek
1.2 KONTEKS SOSIAL
Di sepuluh provinsi lokasi sasaran LAUTRA, sebagian besar rumah tangga telah menangkap ikan untuk kegiatan yang menghasilkan pendapatan utama selama lebih dari 10 tahun dengan pendapatan bulanan rata-rata bervariasi dari Rp 500 ribu hingga 3 juta per bulan. Sumber pendapatan lain didapat dari pekerjaan di bidang konstruksi atau pekerjaan yang berhubungan dengan pabrik, ritel, pekerjaan sektor publik, pertanian dan budidaya. Mayoritas perempuan, dari 1.161 rumah tangga yang disurvei, terlibat dalam kegiatan berbasis laut di desa mereka, sebagian besar menjalankan warung di lingkungan sekitar (34%), atau kegiatan pasca-produksi penangkapan ikan, seperti membersihkan ikan (12%) dan memproduksi ikan asin ( 12%). Dengan melakukan kegiatan tersebut, perempuan terlibat aktif sebagai pencari nafkah kedua dalam rumah tangga.
Ketergantungan pada penangkapan ikan didapati lebih tinggi untuk masyarakat nelayan di Indonesia bagian Timur dan Tengah, terutama di desa yang jauh dari ibu kota kabupaten.
Beberapa rumah tangga yang paling rentan teridentifikasi, termasuk rumah tangga dengan ketergantungan pendapatan yang tinggi dari daerah penangkapan ikan tradisional; rumah tangga
8
tanpa aset produktif (perahu, bidang tanah, lemari es atau kotak pendingin, dll); dan rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga usia produktif yang sedikit.
Selain itu, secara makro, 16 provinsi tersebut relatif memiliki tingkat kemiskinan sedang hingga tinggi; Indeks Pembangunan Desa dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah hingga sedang, semuanya relatif terhadap nilai rata-rata nasional. Peningkatan angka pengangguran dan angka kemiskinan dalam satu tahun terakhir yang dipicu oleh pandemi Covid-19 yang berkepanjangan telah memperburuk kerentanan masyarakat tersebut. Dalam hal kondisi tenaga kerja, informalitas dan kurangnya perlindungan sosial juga berkontribusi pada pemiskinan masyarakat wilayah pesisir. Konteks sosial yang lebih rinci dapat ditemukan dalam dokumen Penilaian Sosial Awal.
1.3 PENGATURAN KELEMBAGAAN
Komite Pengarah Proyek Nasional (National Project Steering Committee/NPSC) akan dibentuk untuk memberikan panduan strategis keseluruhan untuk pelaksanaan proyek, yang terdiri dari perwakilan dari BAPPENAS (Ketua), semua Eselon 1 (Dirjen) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Desa. Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menjadi Badan Pelaksana utama LAUTRA. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Laut (DJPRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menjadi tuan rumah Kantor Pengelola Proyek (Project Management Office, PMO) yang akan bertanggung jawab atas administrasi dan pengelolaan proyek secara keseluruhan dan akan melapor setiap enam bulan sekali ke NPSC.
LAUTRA akan memiliki dua Badan Pelaksana – Kementerian Kelautan dan Perikanan dan BAPPENAS. Kementerian Kelautan dan Perikanan akan mengelola kegiatan di Komponen 1 dan 2 melalui tiga Unit Pelaksana Proyek di Direktorat Jenderal Penataan Ruang Laut (DJPRL), Ditjen Perikanan Tangkap dan Ditjen Perikanan Budidaya (DJPB). Di tingkat daerah, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan dan pemerintah provinsi (Dinas Perikanan dan Kelautan) akan mengawasi pelaksanaan proyek di provinsi sasaran. BAPPENAS, melalui PIU di Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), yang melapor ke Direktorat Kelautan dan Perikanan, akan melaksanakan Komponen 3. Beberapa badan pemerintah lainnya di tingkat kabupaten akan terlibat dalam struktur kelembagaan LAUTRA. Meskipun mereka akan memainkan peran koordinasi, mereka tidak akan menjadi penerima dana. Lampiran 1 memberikan rincian mengenai pengaturan kelembagaan.
[(bagian ini dicadangkan) untuk memutakhirkan/ menyisipkan bagan dari PAD setelah tersedia]
9
BAB 2: KAIDAH UTAMA
SEP ini dikembangkan untuk mendorong peran serta baik dari para pemangku kepentingan yang terkena dampak maupun para pemangku kepentingan yang berkepentingan sehingga desain proyek, khususnya pendekatan dan kegiatan pelibatan pemangku kepentingan, dilaksanakan secara partisipatif dan inklusif, transparan, mendorong kesempatan yang sama dan meminimalkan risiko lingkungan hidup dan sosial. Agar keterlibatan dengan pemangku kepentingan utama dapat dilakukan dengan efektif, akan dilaksanakan pembangunan kapasitas dan perekrutan konsultan/staf teknis untuk membantu pelaksanaan SEP ini.
Kotak 1. Kaidah Keterlibatan Pemangku Kepentingan
Kaidah komunikasi dan pelibatan pemangku kepentingan adalah sebagai berikut:
● Peran serta: Penting untuk memastikan partisipasi yang luas dan inklusif dari warga yang terkena dampak bencana. Peran serta tersebut akan dilakukan melalui pendekatan yang peka budaya dan didasarkan pada keterlibatan yang bermakna dan Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) jika terjadi dampak buruk terhadap Masyarakat Adat (atau masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional). Masyarakat akan diberi pilihan agar mereka dapat berperan serta, dan penjangkauan yang ditargetkan akan tersedia untuk memastikan bahwa kelompok rentan memiliki akses ke pelaksanaan proyek secara keseluruhan.
● Akses ke informasi dan keterbukaan informasi: Informasi yang relevan akan disampaikan dalam bahasa dan bentuk yang dapat diakses oleh masyarakat sasaran dan masyarakat luas.
Masyarakat akan memiliki hak untuk menanyakan informasi mengenai status proyek, hak mereka, kriteria kelayakan serta tanggung jawab dan saluran FGRM akan dapat diakses.
Inklusi sosial: Keterlibatan masyarakat harus mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat menghambat dan/atau mencegah peran serta seperti ketidaksetaraan gender, buta huruf, disabilitas, etnis, dan faktor eksklusi lainnya di antara kelompok-kelompok rentan.
Oleh karena itu, konsultasi dan fasilitasi akan ditargetkan untuk memastikan
dilaksanakannya pendekatan keterlibatan yang disesuaikan. Langkah-langkah mitigasi risiko harus disiapkan melalui konsultasi dengan kelompok-kelompok rentan
Transparansi: Risiko dan manfaat lingkungan hidup dan sosial yang dihasilkan dan/atau terkait dengan kegiatan proyek harus dikomunikasikan melalui dialog yang terbuka dan konstruktif. Kesepakatan mengenai langkah-langkah mitigasi, termasuk desain alternatif
10
harus didokumentasikan dan tersedia untuk umum. Pemantauan dan pelacakan FGRM secara teratur akan tersedia untuk umum, termasuk status penyelesaiannya.
● Konsultasi berdasarkan informasi tanpa paksaan: Keterlibatan sebelumnya dan penyebaran informasi harus dilakukan terlebih dahulu sebelum konsultasi agar konsultasi tersebut menjadi bermakna. Para pemangku kepentingan proyek akan diberi pilihan mengenai berbagai modalitas dan/atau pendekatan konsultasi dan tetap memiliki hak untuk menolak berperan serta meskipun ada pilihan seperti itu.
Di bawah ini adalah penerapan secara umum dari jaidah keterlibatan pemangku kepentingan pada proyek.
Di bawah Komponen 1, pada penguatan infrastruktur dan kelembagaan pengelolaan terumbu karang dan Kawasan Konservasi Perairan (KKP), kegiatan meliputi pembangunan infrastruktur fisik kawasan terumbu karang dan konservasi dan pengelolaan perikanan, serta kegiatan pembangunan kapasitas pengelolaan terumbu karang dan kawasan konservasi serta pengelolaan perikanan. Di bawah komponen ini, para pemangku kepentingan utama termasuk lembaga pemerintah pusat dan daerah, badan pengelola perikanan daerah (WPP), lembaga adat (dalam wilayah adat), LSM dan OMS baik internasional maupun lokal, lembaga donor internasional, dan bank pembangunan multilateral, dan masyarakat setempat di lokasi sasaran. Konsultasi berkelanjutan dengan para pemangku kepentingan utama akan dilakukan di sepanjang siklus proyek. Khususnya, apabaila terdapat kehadiran masyarakat adat (lokasi sasaran, setelah dipastikan berada di dalam atau di sekitar wilayah MA). Tidak ada subproyek yang mensyaratkan PADIATAPA yang akan dibiayai di bawah Proyek ini. Sesuai dengan ESS 7 Bank Dunia, PADIATAPA dengan Masyarakat Adat dipersyaratkan dalam hal telah dimasukkan ke dalam Daftar Negatif oleh LAUTRA, antara lain i) di mana proyek memiliki dampak buruk pada tanah dan sumber daya alam yang dimiliki secara tradisional atau telah dimanfaatkan atau ditempati secara adat ii) menyebabkan pemindahan masyarakat adat dari tanah dan sumber daya tradisional yang dimiliki secara tradisional dan telah dimanfaatkan atau ditempati secara adat atau iii) berdampak signifikan terhadap masyarakat adat yang bersifat material terhadap identitas dan/atau aspek budaya, upacara, atau spiritual masyarakat adat yang terkena dampak.
Di bawah Komponen 2, mengenai perluasan peluang ekonomi di dalam dan sekitar KKP, kegiatan proyek mencakup penyediaan pembangunan kapasitas dan bantuan untuk proses perencanaan pembangunan desa dan pengembangan proposal infrastruktur (untuk mendukung rencana pembangunan desa), bantuan teknis untuk meningkatkan kapasitas UMKM wilayah pesisir dalam rantai nilai berkelanjutan (terutama perikanan, budidaya, dan pariwisata; dan pemberian bantuan kepada BLU-LPMUKP (lembaga keuangan mikro KKP) untuk memperluas produk
11
keuangan ke UMKM wilayah pesisir yang berkelanjutan dan menilai usulan rencana usaha. Serupa dengan komponen lain, konsultasi dan pelibatan pemangku kepentingan akan dilakukan dengan instansi pemerintah daerah, pelaku usaha, masyarakat sasaran, termasuk pengusaha lokal di daerah sasaran.Komponen ini juga akan membiayai pelatihan pendamping desa, pelatihan praktik produksi berkelanjutan untuk beberapa kelompok masyarakat di masing-masing desa sasaran dan penasihat teknis untuk mendukung dan mengawasi kegiatan pelatihan. Isi pelatihan yang relevan akan mengintegrasikan praktik keberlanjutan lingkungan hidup dan sosial.
Selanjutnya, langkah-langkah yang relevan untuk mendorong inklusi kelompok-kelompok rentan untuk mendapatkan manfaat dari pembangunan kapasitas dan bantuan teknis harus ditetapkan di bawah Komponen ini. Langkah-langkah utama untuk mendorong peran serta para pemangku kepentingan yang inklusif antara lain:
● Penyediaan teknik fasilitasi dan pelatihan yang peka gender, termasuk yang diperuntukkan bagi warga dari berbagai latar belakang (yaitu, warga dengan tingkat literasi yang rendah, para penyandang disabilitas, lansia, perempuan, Masyarakat Adat, dll.).
● Pendaftaran peserta yang inklusif, terbuka dan transparan dari kelompok produsen untuk sekolah lapangan. Penjangkauan untuk mendorong penyebaran informasi yang luas dan langkah-langkah afirmatif untuk memfasilitasi peran serta kelompok-kelompok rentan.
● Penggabungan langkah-langkah untuk mengurangi hambatan bagi perempuan untuk meningkatkan peluang mata pencaharian pesisir seperti pengolahan rumput laut, pengeringan dan pengolahan ikan, ikan asin dan bahan pangan lainnya, pariwisata pesisir dan laut yang berkelanjutan, dan sebagainya.
● Mempekerjakan fasilitator lokal, yang memiliki pemahaman dan keakraban konteks di mana mereka ditugaskan serta memiliki keterampilan sosial.
Di bawah Komponen 3, mengenai pembiayaan berkelanjutan untuk konservasi dan mata pencaharian terumbu karang, pelibatan pemangku kepentingan akan diupayakan untuk memastikan agar koordinasi keuangan biru dan kegiatan pembangunan kapasitas diatur dengan cara yang mendorong peran serta para pemangku kepentingan yang inklusif agar pandangan, keprihatinan, dan umpan balik mereka dapat dimasukkan ke dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini relevan khususnya, ketika mengembangkan dan menerapkan strategi investasi jangka panjang untuk sektor ekonomi biru prioritas yang diidentifikasi dalam Laporan Insan Terang LAUTRA dan Kerangka Biru Nasional sebagai bagian dari Kerangka Kerja Surat Utang Negara (SUN) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs).
Komponen ini juga mencakup keterlibatan dan konsultasi yang relevan mengenai langkah- langkah pengelolaan yang dipersyaratkan dari potensi dampak di tingkat hilir sebagai akibat dari penciptaan lingkungan yang mendukung (yaitu percontohan pembiayaan biru di lokasi tertentu).
Secara khusus, kegiatan pelibatan pemangku kepentingan akan mendukung tujuan lingkungan hidup dan sosial berikut ini, yang mencakup hal-hal berikut:
12
● Integrasi tujuan lingkungan hidup dan sosial ke dalam proses pengembangan kebijakan dan peraturan melalui proses konsultatif, terutama dengan para pemangku kepentingan yang berpotensi terkena dampak dari penegakan kebijakan dan peraturan serta perubahan ke dalam kerangka hukum pembiayaan biru.
● Penilaian partisipatif implikasi lingkungan hidup dan sosial di tingkat hilir, dengan dukungan dari para ahli yang memenuhi syarat dan dalam konsultasi dengan para pemangku kepentingan yang berpotensi terkena dampak. Ini juga mencakup analisis alternatif yang sistematis dan komprehensif di mana terdapat potensi pertukaran (trade-off) lingkungan hidup dan sosial yang signifikan.
● Peningkatan transparansi melalui peran serta pemangku kepentingan dan keterbukaan informasi sebagai bagian dari proses pengembangan dan penegakan kebijakan dan peraturan.
● Peran serta inklusif dari lembaga-lembaga terkait dalam kegiatan pembangunan kapasitas.
Langkah-langkah afirmatif kepada kelompok-kelompok rentan, termasuk nelayan skala kecil dan tradisional/ nelayan subsisten (nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri – pent.), perempuan nelayan, masyarakat adat/masyarakat hokum adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan penyandang disabilitas dari rumah tangga berpenghasilan rendah di wilayah pesisir, harus ditetapkan sebagai bagian dari desain program pembangunan kapasitas.
Di bawah Komponen 4, pengelolaan proyek, kegiatannya meliputi koordinasi, pemantauan dan evaluasi, serta manajemen pengetahuan (knowledge management). Kaidah umum standar lingkungan hidup dan sosial akan diterapkan dalam melakukan pemantauan dan evaluasi alat (dan indikator) dan manajemen pengetahuan. Umpan balik dari para pemangku kepentingan, melalui proses konsultasi formal atau seperti yang ditangkap dalam GRM, akan dipertimbangkan dalam mengembangkan instrumen untuk pemantauan dan evaluasi (M&E) tersebut.
Kotak 2. Mengarusutamakan Keterlibatan Pemangku Kepentingan ke dalam Desain Proyek Kaidah berikut ini akan berlaku di semua tahap kegiatan di bawah semua komponen secara umum:
a. Semua anggota masyarakat harus memiliki kesempatan yang sama, tanpa memandang jenis kelamin, usia, kemampuan, dan lokasi tinggal mereka di kota yang berperan serta, untuk berperan serta dalam forum/acara pelibatan. Informasi yang menguraikan pilihan untuk berperan serta harus tersedia secara luas, dalam format yang dapat diakses oleh warga yang memiliki gangguan penglihatan dan pendengaran, dan proyek harus berusaha untuk menjangkau kelompok-kelompok yang paling rentan.
13
b. Peran serta masyarakat dalam merehabilitasi dan melestarikan serta mengurusi (pemantauan dan pemeliharaan) di bawah komponen 1, akan mencakup kelompok yang beragam dan rentan di masyarakat, termasuk untuk menjangkau lingkungan tertentu atau kelompok orang tertentu untuk mendapatkan umpan balik mereka.
c. Praktik peran serta inklusif, yaitu membuat diskusi kelompok khusus perempuan atau penyandang disabilitas, perlu dipertimbangkan dalam meningkatkan inklusi sosial dan peran serta yang berarti dari semua elemen masyarakat.
d. Preferensi masyarakat terhadap rencana tapak, terutama untuk kegiatan pembangunan konstruksi sipil/infrastruktur struktural di bawah komponen 1 dan komponen 2, akan mempertimbangkan dengan cermat mobilitas manusia, akses ke kegiatan mata pencaharian sebelumnya, keterikatan sosial, budaya, dan psikologis masyarakat.
e. Kegiatan ekonomi berkelanjutan di bawah Komponen 2 harus secara hati-hati mempertimbangkan kebutuhan, kendala dan peluang bagi kelompok-kelompok rentan (yaitu, perempuan, penyandang disabilitas, rumah tangga tak bertanah, rumah tangga miskin) untuk berperan serta. Langkah-langkah afirmatif harus ditetapkan melalui konsultasi dengan kelompok-kelompok ini.
f. Secara umum, proses pelibatan akan dilakukan secara demokratis, partisipatif, transparan, dan akuntabel. Masyarakat dan kelompok masyarakat sasaran akan memiliki kesempatan untuk menolak berperan serta dengan cara yang benar-benar terinformasi.
Untuk menyelaraskan kaidah di atas dengan usulan kegiatan pelibatan pemangku kepentingan, proyek ini akan memobilisasi para ahli dan fasilitator dengan keahlian dan keterampilan yang terkait yang diperlukan untuk memfasilitasi proses peran serta masyarakat, terutama untuk Komponen 1 (yaitu, pengelolaan dan infrastruktur terumbu karang dan KKP) dan Komponen 2 (yaitu, infrastruktur ekonomi berkelanjutan dan pembangunan kapasitas); dan di bawah Komponen 3 (yaitu, pembiayaan berkelanjutan untuk konservasi terumbu karang dan mata pencaharian, khususnya dalam mengembangkan dan menerapkan strategi investasi jangka panjang untuk sektor ekonomi biru prioritas yang diidentifikasi dalam Laporan Insan Terang LAUTRA). Fasilitator ini akan dibiayai di bawah Komponen 4 Proyek ini.
14
BAB 3: KERANGKA PERATURAN
Di bawah ini adalah kerangka peraturan nasional dan standar Bank Dunia dalam hal keterbukaan informasi, keterlibatan dengan pemangku kepentingan, dan sistem penanganan keluhan.
3.1 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT
Beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia terkait dengan Pelibatan Pemangku Kepentingan dan Keterbukaan Informasi sebagaimana diatur dalam Standar Lingkungan Hidup dan Sosial (ESS) dari ESF Bank Dunia dan juga berkaitan dengan pelaksanaan Proyek, antara lain:
● Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, mensyaratkan tersedianya informasi publik yang transparan;
● Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk penyandang disabilitas, yang memiliki kedudukan hukum dan hak asasi manusia yang sama dengan warga negara Indonesia, termasuk hak atas pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi;
● Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang memuat pasal mengenai keterbukaan informasi dan peran serta pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk mengelola dan memanfaatkan laut secara berkelanjutan.
● Undang-Undang No. 1 Tahun 2017 jo Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, memuat persyaratan urutan konsultasi publik dengan masyarakat setempat dalam penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) di tingkat kabupaten dan kecamatan.
● Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, di mana masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan pembangunan daerah;
● Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) untuk a) penyediaan informasi yang lengkap dan transparan; b) kesetaraan posisi di antara para pihak; c) pemecahan masalah yang adil dan bijaksana; dan d) koordinasi dan komunikasi;
● Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 31 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi, yang mencakup kewajiban untuk melakukan konsultasi publik yang menghasilkan
15
konsensus untuk mengembangkan rencana kawasan konservasi perairan di tingkat kecamatan dan/atau desa.
● Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat, sebagai mitra dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan;
● Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, menginstruksikan pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan, serta dalam pelaksanaan dan evaluasi melalui analisis gender yang mencakup peran serta dalam proses pembangunan dan manfaat yang diterima; dan
● Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, [ditetapkan] untuk pelaksanaan pengarusutamaan gender di tingkat daerah.
3.2 STANDAR LINGKUNGAN HIDUP DAN SOSIAL BANK DUNIA
ESS 10 Bank Dunia, “Keterlibatan Pemangku Kepentingan dan Keterbukaan Informasi”, mengakui pentingnya keterlibatan yang terbuka dan transparan antara Peminjam dan para pemangku kepentingan Proyek sebagai elemen penting dari praktik internasional yang baik. Secara khusus, persyaratan ESS10 adalah sebagai berikut:
● Peminjam akan terlibat dengan pemangku kepentingan sepanjang siklus hidup Proyek, memulai keterlibatan tersebut sedini mungkin dalam proses pengembangan proyek dan dalam kerangka waktu yang memungkinkan dilakukannya konsultasi yang bermakna dengan para pemangku kepentingan mengenai desain Proyek. Sifat, ruang lingkup, dan frekuensi keterlibatan pemangku kepentingan akan sebanding dengan sifat dan skala Proyek serta potensi risiko dan dampaknya;
● Peminjam akan terlibat dalam konsultasi yang berarti dengan semua pemangku kepentingan.
Peminjam akan memberikan informasi yang tepat waktu, relevan, dapat dipahami, dan dapat diakses kepada para pemangku kepentingan, dan berkonsultasi dengan mereka dengan cara yang sesuai secara budaya, yang bebas dari manipulasi, campur tangan, paksaan, diskriminasi, dan intimidasi;
● Proses pelibatan pemangku kepentingan akan melibatkan hal-hal berikut, sebagaimana dijelaskan secara lebih rinci dalam ESS ini: (i) identifikasi dan analisis pemangku kepentingan;
(ii) merencanakan bagaimana keterlibatan dengan pemangku kepentingan akan berlangsung;
(iii) keterbukaan informasi; (iv) konsultasi dengan para pemangku kepentingan; (v) menangani dan menanggapi keluhan; dan (vi) pelaporan kepada para pemangku kepentingan.
16
● Peminjam akan menyimpan dan mengungkapkan, sebagai bagian dari penilaian lingkungan hidup dan sosial, catatan terdokumentasi mengenai keterlibatan pemangku kepentingan, termasuk deskripsi dari pemangku kepentingan yang dikonsultasikan, ringkasan umpan balik yang diterima, dan penjelasan singkat mengenai bagaimana umpan balik tersebut dipertimbangkan, atau alasan mengapa tidak dipertimbangkan.
Standar ini mewajibkan Peminjam untuk mengembangkan Rencana Keterlibatan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Engagement Plan, SEP) yang proporsional dengan sifat dan skala Proyek serta potensi risiko dan dampaknya, mengungkapkannya sedini mungkin sebelum dilakukannya penilaian Proyek, dan mencari pandangan para pemangku kepentingan mengenai SEP tersebut, termasuk mengenai identifikasi para pemangku kepentingan dan usulan untuk keterlibatan di masa mendatang. Jika perubahan signifikan dilakukan pada SEP, Peminjam akan mengungkapkan SEP yang dimutakhirkan. Selain itu, Peminjam juga akan mengembangkan dan menerapkan mekanisme pengaduan untuk menerima dan memfasilitasi penyelesaian kekhawatiran dan pengaduan para pihak yang terkena dampak Proyek terkait dengan kinerja lingkungan hidup dan sosial Proyek secara tepat waktu. Untuk penjelasan lebih rinci mengenai Standar Lingkungan Hidup dan Sosial Bank Dunia, silakan merujuk ke tautan berikut ini:
http://www.worldbank.org/en/projects-operations/environmental-and-social- framework/brief/environmental-and-social-standards.
17
BAB 4: RINGKASAN SINGKAT KETERLIBATAN SEBELUMNYA
Telah ada keterlibatan berkelanjutan dengan pemangku kepentingan setempat, termasuk pemerintah daerah, pemimpin desa dan pemerintah desa, akademisi, masyarakat setempat, termasuk nelayan skala kecil dan perempuan yang bekerja di ekonomi biru. Keterlibatan tersebut dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk pertemuan, wawancara, survei, dan Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Froup Discussion, FGD). Keterlibatan dalam hal survei dan FGD dengan pemerintah daerah dan masyarakat, dilakukan oleh konsultan penelitian, yang datanya digunakan untuk memberikan masukan pada desain proyek. Survei di 25 desa dan melibatkan sekitar 1.600 peserta di 10 provinsi dilakukan pada pertengahan tahun 2021. Rincian daftar keterlibatan sebelumnya adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Kegiatan Keterlibatan Pemangku Kepentingan dari April 2021 hingga Agustus 2022
Kegiatan Komponent
Target/ Pemangku Kepentingan yang Berperan Serta
Uraian Waktu
Wawancara dengan pemerintah daerah dan pemerintah desa
Komponen 1 mengenai infrastruktur dan pembangunan kapasitas untuk pengelolaan konservasi; dan Komponen 2 mengenai ekonomi berkelanjutan
1.160 responden di 20 desa di 12 provinsi
Survei rumah tangga dilakukan untuk
mengetahui latar belakang sosial ekonomi dan profil sosial desa nelayan di 12 provinsi (tidak semuanya menjadi lokasi sasaran LAUTRA). Data ini digunakan untuk menangkap harapan pemerintah daerah, pemerintah desa dan masyarakat dan digunakan untuk mengembangkan desain untuk Komponen 2 dan sebagai masukan bagi ESMF dan SEP.
April sampai Desember 2021
Survei rumah tangga
Komponen 1;
Komponen 2;
E&S
Wawancara dengan pemerintah daerah dan kepala desa di 20 desa di 12 provinsi
Keterlibatan awal dengan pemerintah daerah dan kepala desa ini dilakukan bersama dengan survei rumah tangga untuk
18
Kegiatan Komponent
Target/ Pemangku Kepentingan yang Berperan Serta
Uraian Waktu
memahami profil sosial ekonomi dari 20 desa nelayan di Indonesia.
Pertemuan dan misi teknis internal
Semua, Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sosial, Fidusia dan Keuangan
Internal Kementerian Kelautan dan Perikanan (Ditjen Penataan Ruang Laut, Ditjen Perikanan Tangkap dan Ditjen
Perikanan Budidaya)
Urutan pertemuan dan diskusi teknis masing- masing komponen, E&S (safeguard), Pengelolaan Keuangan (FM) dan Fidusia
Desember 2021 sampai Juli 2022
Diskusi teknis pada tahap persiapan
Lokakarya teknis untuk Kriteria Kesiapan untuk memulai kegiatan Desain
proyek, termasuk E&S, lokakarya
Semua, Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sosial, Fidusia dan Keuangan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (Ditjen Penataan Ruang Laut, Ditjen Perikanan Tangkap dan Ditjen
Perikanan Budidaya) dan BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional)
Lokakarya selama lima hari mengenai desain dan komponen proyek, ruang lingkup dan cakupan; serta lingkup dan aplikasi E&S generik dalam proyek.
Sepanjang bulan Juni 2022
Mekanisme Penanganan Keluhan
E&S Ditjen Penataan Ruang Laut, Ditjen Perikanan Tangkap dan Ditjen
Perikanan Budidaya
Rapat koordinasi dan rapat teknis membahas
Mekanisme Penanganan Keluhan (Grievance Redress Mechanism, GRM) di tingkat proyek
April 2022
Pertemuan teknis (dua mingguan) untuk membahas setiap topik sosial dan lingkungan hidup yang tercakup di dalam ESMF
E&S Ditjen Penataan Ruang Laut, Ditjen Perikanan Tangkap dan Ditjen
Perikanan Budidaya
Kerangka Kerja Lingkungan Hidup dan Sosial Bank Dunia (ESF), ESS, rencana kerja dan lini waktu E&S, dokumen E&S perlu disusun untuk proyek ini, dan titik pumpun (focal point)
Dua mingguan dari April hingga Juli 2022
19
Kegiatan Komponent
Target/ Pemangku Kepentingan yang Berperan Serta
Uraian Waktu
Lokakarya mengenai ESMF
ESMF Tim pengamanan
persiapan proyek dari LAUTRA; Ditjen Penataan Ruang Laut, Ditjen Perikanan Tangkap dan Ditjen
Perikanan Budidaya
Lokakarya hibrida selama dua hari untuk
menyelesaikan rancangan Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sosial; dan instrumennya
29-30 Juni 2022
20
BAB 5: IDENTIFIKASI PEMANGKU KEPENTINGAN
Sebelum menyusun rencana pelibatan pemangku kepentingan, langkah pertama adalah mengidentifikasi siapa pemangku kepentingan di seluruh tingkatan yang akan terkait dengan proyek. Pemangku kepentingan dipahami sebagai pihak yang lebih luas yang terdampak dan/atau dapat terdampak oleh keputusan atau pelaksanaan atau mengambil kepentingan atas kegiatan proyek. Ini termasuk pelaku dari pemerintah dan non-pemerintah, baik di tingkat pusat, daerah dan desa. Tabel di bawah ini menunjukkan para pemangku kepentingan yang diidentifikasi selama persiapan proyek LAUTRA.
Mengikuti ESS 10 Bank Dunia, kami membagi pemangku kepentingan menjadi dua kategori, yaitu i) pihak yang terkena dampak proyek dan ii) pihak berkepentingan lainnya. Kami menambahkan sub-kategori kelompok rentan di bawah kategori Pihak yang Terkena Dampak Proyek.
Para pihak yang terkena dampak proyek adalah individu dan kelompok yang terkena dampak atau kemungkinan akan terkena dampak proyek, dan dalam Proyek ini, kami mengidentifikasi bahwa kelompok-kelompok ini kemungkinan besar akan masuk dalam kategori ini terkait dengan komponen 1 mengenai pembangunan infrastruktur dan pembangunan kapasitas di Terumbu Karang dan pengelolaan KKP dan komponen 2 mengenai Memperluas peluang ekonomi di dalam dan di sekitar KKP. Para Pihak yang Terdampak Proyek di LAUTRA meliputi nelayan skala kecil/nelayan tradisional/nelayan subsisten, perempuan/perempuan yang bekerja di ekonomi biru, masyarakat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, para pemilik usaha kecil dan menengah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan masyarakat adat. Kelompok-kelompok rentan. Para pihak yang terkena dampak proyek juga dapat masuk ke dalam kelompok rentan, sebagaimana diinformasikan di dalam Penilaian Sosial Awal, termasuk nelayan skala kecil/nelayan tradisional/nelayan subsisten, anak buah kapal penangkap ikan/nelayan skala kecil tanpa aset produktif, perempuan/perempuan nelayan yang bekerja di ekonomi biru dari rumah tangga berpenghasilan rendah, dan kelompok adat. Diskusi rinci pengenai keterlibatan dengan kelompok rentan akan dibahas di …
Para pihak yang berkepentingan adalah individu atau kelompok yang tertarik atau akan tertarik dengan proyek ini. Di LAUTRA, kami mengidentifikasi bahwa para pihak yang berkepentingan
21
adalah pemerintah daerah, akademisi, organisasi non-pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil yang bekerja di sektor biru, baik dari segi konservasi maupun ekonomi.
Di bawah ini adalah rincian kategori dan daftar dari pemangku kepentingan:
Tabel 2. Daftar Pemangku Kepentingan di bawah LAUTRA Kelompok Pemangku
Kepentingan
Pemangku Kepentingan Pemerintah
Pemerintah Pusat ● Kementerian Kelautan dan Perikanan (Ditjen Penataan Ruang Laut dan Ditjen Perikanan Tangkap serta semua direktorat dan unit terkait) – badan pelaksana
● Kementerian Perencanaan Pembangunan (Direktorat Kelautan dan Perikanan) – badan pelaksana
● Badan Riset dan Inovasi Nasional (sebelumnya dikenal sebagai LIPI, kelompok kerja Kelautan dan Terumbu Karang)
● Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
● TNI AL Komite pengelolaan
sumber daya lokal/perorangan
● Kelompok kerja teknis untuk pengelolaan perikanan (UPT)
● Kepala pelabuhan Pemerintah Provinsi dan
Kota/Kabupaten ● Dinas Perikanan
● Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) di setiap provinsi dan kota
● Dinas lingkungan hidup Dewan pengurus WPP di
WPP 714, 715, 718 ● Badan pengurus WPP di masing-masing WPP 714, 715, 716 dan 718
● Kepala badan pengurus; dan/atau perwakilan masyarakat adat dalam badan pengurus
Masyarakat
Pemerintah di tingkat
lokal ● Pemerintah desa
● Badan Permusyawaratan Desa) Masyarakat ● Nelayan yang terkena dampak
● Penjaga Konservasi Masyarakat
● Masyarakat pesisir yang terkena dampak (yaitu pemilik usaha pariwisata skala mikro/kecil; restoran, dll)
● Masyakat di sekitar
● Masyarakat rentan, sesuai dengan informasi yang didapat dari Penilaian Sosial Awal meliputi nelayan skala kecil/nelayan tradisional/nelayan subsisten, anak buah kapal/nelayan tanpa aset produktif, perempuan yang bekerja di sektor biru/perempuan nelayan, nelayan dari rumah tangga berpenghasilan rendah, masyarakat adat.
Kelompok-kelompok rentan Kelompok-kelompok
rentan (sesuai dengan
● Nelayan skala kecil/nelayan tradisional atau nelayan subsisten
22
Kelompok Pemangku Kepentingan
Pemangku Kepentingan informasi yang didapat
dari Penilaian Sosial Awal)
● Nelayan tanpa aset produktif/ anak buah kapal
● Rumah tangga (berpenghasilan rendah) dengan jumlah anggota keluarga usia produktif yang sedikit
● Perempuan nelayan atau perempuan yang bekerja di sektor biru
● Masyarakat adat Kelompok-kelompok adat
Pemegang hak sumber daya masyarakat adat/masyarakat
● Indikasi tersedia di Penilaian Sosial Awal dan akan ditentukan setelah situs dikonfirmasi
Lembaga adat ● Badan Musyawarah Adat/ Lembaga Adat
● Tetua adat/ Raja/ Kapita Laung/ para lansia Masyarakat adat ● Masyarakat adat di daerah sasaran
● Kelompok perempuan masyarakat adat
● Kelompok pemuda masyarakat adat LSM/OMS dan Akademisi
LSM/Organisasi Berbasis Masyarakat (community- based organisation, CBO)
● Yayasan Institut Sumber Daya Dunia
● BirdLife International
● Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
● Persaudaraan Perempuan Nelayan
● Aliansi Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
● Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Pakar/kelompok
independen
● Universitas dan akademisi (para akademisi dari Universitas Pattimura, Universitas Cendrawasih, Universitas Ternate, Universitas Papua, Universitas Hassanudin, Universitas Padjajaran, dll)
● Institut Suhana
Kepentingan komersial ● Para operator wisata di situs-situs tertentu
● E-commerce perikanan berkelanjutan ARUNA
● Perusahaan Tuna/ Perikanan Domestik Mitra pembangunan
LSM/Organisasi
Pembangunan ● Uni Internasional untuk Konservasi Alam (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, IUCN)
● Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ)
● KfW (Bank Pembangunan Jerman) Media
Media nasional ● Kompas
● Jakarta Post
● Kompas TV
● Detik.com
● Kumparan
● Katadata
● Theconversation.id
23
Kelompok Pemangku Kepentingan
Pemangku Kepentingan Media daerah ● Jringan Tribun
● Jaringan Kompas
● lainnya,
24
BAB 6: KELOMPOK RENTAN DAN MASYARAKAT ADAT
6.1 KELOMPOK RENTAN
Kelompok rentan adalah kelompok penduduk yang mengalami diskriminasi, memiliki akses yang tidak setara terhadap hak, akses dan kontrol yang tidak setara atas sumber daya atau akses yang tidak setara terhadap peluang pembangunan. Akibatnya, mereka mungkin tidak terintegrasi dengan baik ke dalam ekonomi formal, mungkin menderita karena akses yang tidak memadai ke barang dan layanan publik dasar, dan mungkin dikecualikan dari pengambilan keputusan politik.
Akibatnya, mereka berisiko terkena dampak negatif dan risiko terkait proyek secara tidak proporsional. Kelompok-kelompok tersebut dapat mencakup etnis minoritas, agama, budaya, bahasa, kelompok adat, rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-anak dan remaja, lansia, penyandang disabilitas, dan warga miskin.
Dalam proyek ini, sesuai dengan Penilaian Sosial Awal, beberapa kelompok rentan yang teridentifikasi termasuk nelayan skala kecil/nelayan tradisional/nelayan subsisten, rumah tangga atau kelompok yang mengandalkan sumber daya pesisir dan/atau laut untuk bertahan hidup/sumber mata pencaharian dan/atau kegiatan usaha mikro, anak buah kapal/nelayan tanpa aset produktif, perempuan yang bekerja di sektor biru/perempuan nelayan, dan masyarakat adat di wilayah pesisir dan (pulau-pulau) kecil (terutama yang belum mendapat pengakuan formal dari negara).
Dalam kasus kelompok rentan, Proyek ini memastikan bahwa individu dan kelompok rentan dikonsultasikan dengan sepatutnya dan tepat waktu, memastikan bahwa kekhawatiran mereka didengar, dengan mempertimbangkan kekhususan individu dan masyarakat, dan disampaikan dalam bentuk, cara, dan bahasa yang sesuai. Hal ini dilakukan dalam bentuk diskusi kelompok terfokus, survei informan utama, penilaian gender serta memastikan materi disampaikan dalam bahasa setempat.
Kelompok rentan dalam hal pembatasan akses dan penggunaan sumber daya kelautan
Konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan oleh Masyarakat Adat, pemilik tanah perorangan, perusahaan, masyarakat sipil dan negara selalu membutuhkan penetapan dan penerapan aturan yang menentukan siapa yang memiliki hak sah untuk
25
mengakses dan menarik (yaitu, menggunakan) sumber daya tertentu, di suatu daerah tertentu, selama periode waktu tertentu. Tanpa aturan ini dan penegakannya yang efektif, sumber daya akan menjadi “akses terbuka” dan, jika berharga, orang akan bersaing untuk mendapatkannya (yaitu, jika saya tidak mengambilnya, orang lain akan mengambilnya), dan dengan cepat menghabiskan sumber daya tersebut.
Tetapi jika peraturan mengenai akses dan penggunaan sumber daya ingin adil, berkeadilan dan efektif, para pembuat keputusan baik aturan adat maupun formal harus mengakui bahwa setiap orang memiliki perlindungan yang sama di bawah hukum (yaitu, hukum berlaku untuk semua orang, dan penegakannya buta terhadap status sosial, ekonomi atau politik terdakwa), dan penerapan hukum tidak boleh mengakibatkan pengambilan hak tanpa persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan.
Ketika negara atau otoritas sah lainnya memutuskan untuk membatasi akses perorangan atau kelompok ke dan penggunaan sumber daya alam, mereka harus menentukan apakah peraturan yang diusulkan akan dianggap sebagai pengambilalihan hak (yaitu, membatasi kemampuan suatu kelompok untuk menjalankan kewenangan hukum atau adatnya untuk mengakses dan menggunakan sumber daya). Jika penerapan peraturan akan menghilangkan hak-hak kelompok, administrator peraturan ini harus memastikan persetujuan adanya persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan dari pemegang hak sebelum memberlakukan peraturan yang membatasi tersebut, atau merubah peraturan tersebut dengan berkonsultasi dengan para pemegang hak untuk mendapatkan persetujuan.
Jika kelompok yang terkena dampak bukan pemegang hak, karena mereka tidak memiliki yurisdiksi hukum atau adat atas sumber daya tertentu, maka setidaknya mereka yang berencana untuk menerapkan pembatasan akses dan penggunaan harus berusaha memastikan bahwa kelompok yang tidak memiliki hak ini tidak terjerumus ke dalam kemiskinan setelah mereka tidak dapat lagi menggunakan sumber daya. Ini mungkin memerlukan intervensi pemerintah untuk memastikan bahwa kelompok yang tidak memiliki hak memiliki akses ke bantuan keuangan dan teknis untuk beralih ke mata pencaharian alternatif.
Ketika para pemegang hak memutuskan untuk memberlakukan pembatasan akses dan penggunaan terhadap diri mereka sendiri, maka menurut definisi ini bukanlah pengambilan hak, karena para pemegang hak sendirilah yang memberlakukan pembatasan tersebut. Namun demikian, ini mengasumsikan bahwa pembatasan tersebut diterapkan secara setara kepada semua pemegang hak, dan bahwa semua pemegang hak atau perwakilan mereka setuju untuk menerapkan dan mematuhi pembatasan tersebut.
26
6.2 MASYARAKAT ADAT
Di bawah ini adalah uraian tentang Masyarakat Adat yang berpotensi terlibat dalam proyek ini.
Masyarakat Adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia
Berdasarkan penapisan awal menggunakan data sekunder dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) di tingkat provinsi, dipeiksa-silang dengan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, kelompok adat terdapat di 4 kecamatan/desa lokasi indikatif LAUTRA (lokasi tingkat desa belum belum dikonfirmasi). Walaupun kondisinya berbeda-beda, pada umumnya masyarakat adat yang bertempat tinggal di wilayah pesisir dan/atau pulau-pulau kecil melakukan kegiatan pertanian dan perikanan skala kecil/rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada beberapa sub kelompok dan perorangan yang melakukan pekerjaan lain, seperti menjadi pegawai negeri, memberikan jasa (pariwisata), dan perdagangan skala kecil.
ESS 7 Bank Dunia telah menetapkan standar untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, terlibat dan berkonsultasi secara bermakna, terlepas dari pengakuan formal mereka dari negara. Tidak ada kegiatan yang mensyaratkan Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) yang akan dibiayai di bawah LAUTRA.
[sisipkan daftar masyarakat adat indikatif dan lokasinya]
Keterlibatan dengan masyarakat adat akan disesuaikan untuk memastikan cara konsultasi dan/atau pelibatan yang sesuai secara sosial dan budaya. Fasilitator lokal/ Ahli masyarakat adat atau juru bahasa akan dipekerjakan untuk memastikan bahwa sarana konsultasi efektif dan tepat.
Akan dibentuk Mekanisme Penanganan Keluhan yang khusus untuk masyarakat adat.
27
BAB 7: RENCANA KETERLIBATAN PEMANGKU KEPENTINGAN
Keterbukaan informasi proyek dilakukan selama persiapan, baik melalui situs web, publikasi umum dan konsultasi masyarakat. Tabel di bawah ini memberikan uraian singkat mengenai tindakan yang telah dilakukan serta tindakan yang akan diambil untuk menerapkan Rencana Keterlibatan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Engagement Plan, SEP) ini.
Proyek akan mendapat masukan lebih lanjut melalui pendekatan pelibatan pemangku kepentingan yang lebih luas melalui: i) konsultasi dan peran serta masyarakat selama pelaksanaan proyek; ii) mekanisme penanganan keluhan dan pengaduan (feedback and grievance redress mechanisms, FGRM) yang transparan dan; iii) penjangkauan komunikasi, kampanye publik dan pembangunan kapasitas; dan iv) pengembangan proses dan keterlibatan pengelolaan risiko yang dipersyaratkan di bawah Kerangka Kerja Lingkungan Hidup dan Sosial (Environmental and Social Framework, ESF) Bank Dunia.
Tingkat dan pendekatan untuk pelibatan pemangku kepentingan akan bergantung pada tingkat risiko dan pengaruh yang dimiliki setiap pemangku kepentingan, dan kapasitas mereka untuk mengelola risiko lingkungan hidup dan sosial yang diantisipasi secara memadai. Pertimbangan penting lainnya adalah keterlibatan untuk meningkatkan manfaat proyek dan penerimaan sosial dengan meningkatkan pelaksanaan proyek menjadi partisipatif, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. SEP ini akan dilaksanakan sedini mungkin pada tahap perencanaan agar peran serta masyarakat dan umpan balik awal mereka dapat diintegrasikan sepenuhnya sebagai bagian dari pendekatan pelaksanaan secara keseluruhan.
Kegiatan keterlibatan akan mempertimbangkan risiko kesehatan masyarakat, khususnya dalam konteks COVID-19. COVID-19 tetap menjadi risiko kesehatan masyarakat di Indonesia dan akan menghadirkan ancaman bagi pekerja dan calon pemangku kepentingan, termasuk masyarakat. Di bawah proyek ini, keterlibatan akan menjunjung tinggi langkah-langkah keselamatan dan kesehatan masyarakat sebagaimana didefinisikan dalam prinsip Keselamatan ESMF proyek, yang berarti bahwa penyesuaian terhadap rencana keterlibatan harus dipertimbangkan dengan hati- hati, termasuk preferensi atas sarana virtual bila memungkinkan dan kepatuhan yang ketat terhadap tindakan Pengendalian Pencegahan Infeksi (PPI) sebagaimana dirinci dalam ESMF, yang
28
sejalan dengan peraturan Pemerintah Indonesia dan praktik baik internasional lainnya, termasuk pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Di bawah proyek ini, konsultasi publik berfungsi sebagai salah satu platform keterlibatan pemangku kepentingan untuk membahas desain proyek dan komponen utama dan telah diselenggarakan untuk kegiatan di mana pandangan pemangku kepentingan yang luas sangat penting untuk meningkatkan desain dan pelaksanaan proyek. Konsultasi ini telah dilakukan secara paralel dengan kegiatan keterlibatan lain yang didukung oleh proyek, termasuk fasilitasi masyarakat untuk perencanaan dan mobilisasi, komunikasi dan pemantauan pemangku kepentingan proyek sehari-hari, rapat koordinasi reguler, konsultasi ad-hoc, pelaksanaan FGRM, dll. Oleh karena itu, hal-hal berikut ini memberikan rencana awal konsultasi utama yang diharapkan selama persiapan dan pelaksanaan proyek.
Proyek ini akan mempekerjakan dan melatih Fasilitator Masyarakat (FM) yang akan memastikan bahwa harapan masyarakat sesuai dengan hasil yang dapat diberikan oleh proyek yang diusulkan secara realistis. FM adalah orang-orang yang direkrut dari masyarakat setempat yang peran utamanya adalah untuk bertindak sebagai penghubung budaya, di mana mereka mengartikulasikan keprihatinan masyarakat kepada staf UPT/ Kelompok Kerja Teknis (sebagai badan pelaksana lokal), dan pada gilirannya dilatih untuk menjelaskan visi dan tujuan dari proyek kepada masyarakat dalam bahasa setempat dalam pengaturan formal dan informal. Mereka adalah pelaku instrumental dalam berkomunikasi dan menanggapi setiap keluhan terhadap proyek.
Dalam bekerja dengan dan di wilayah masyarakat adat, Proyek mematuhi protokol adat untuk mengunjungi masyarakat melalui komunikasi reguler dengan titik pumpun (focal point) yang sesuai dari Subdirektorat Masyarakat Adat di tingkat pusat, bersama dengan Kelompok Kerja Teknis (UPT), dan dinas perikanan di tingkat provinsi dan kabupaten untuk memberikan informasi mengenai sifat dan tujuan kegiatan kami. Spesialis sosial dan/atau Masyarakat Adat akan dipekerjakan untuk membantu persiapan teknis dan kegiatan keterlibatan dengan Masyarakat Adat di wilayah sasaran.
INSAN TERANG LAUTRA tidak akan membiayai kegiatan yang mensyaratkan adanya Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) sesuai dengan ESS 7 Bank Dunia. Bank Dunia mensyaratkan PADIATAPA jika proyek menghasilkan (a) dampak terhadap lahan dan sumber daya alam yang secara tradisional dimiliki, digunakan, atau ditempati oleh Masyarakat Adat; (b) menyebabkan pemindahan Masyarakat Adat; atau (c) berdampak signifikan terhadap warisan budaya Masyarakat Adat. LAUTRA tidak mengantisipasi tiga keadaan yang mensyaratkan adanya PADIATAPA.
29
Rencana konsultasi publik berikut ini akan diselenggarakan secara inklusif, partisipatif, dan transparan, yang dapat mencakup pilihan modalitas keterlibatan, produksi dan penyebaran informasi, penggunaan Menganisme Penanganan Keluhan (GRM), dan langkah-langkah afirmatif kepada kelompok rentan. Hal ini dirinci di dalam Tabel di bawah ini.
30
Tabel 3. Rencana Ketelibatan Pemangku Kepentingan
Tahapan Proyek Topik konsultasi Metode Kelompok Sasaran Kerangka Waktu Penanggungjawab Sebelum
Berlakunya Masa Pinjaman
Desain proyek secara umum
Lokakarya, pertemuan teknis, kunjungan lapangan, dll.
Instansi pemerintah di tingkat pusat dan lokal
Selama desain teknis dan oenyusunan dokumen
lingkungan hidup dan sosial (E&S)
Kementerian Kelautan dan Perikanan
(sekretariat proyek LAUTRA, PMO) dan Bappenas
Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sosial, termasuk IIPF, GRM, LMP, Ekspoitasi dan Kekerasan Seksual (SEA)/
Rencana tindakan Gender
Rapat/lokakarya, kunjungan lapangan, diskusi kelompok terfokus tematik, dan pertukaran surat, email, dan grup pesan WhatsApp
Intern Kementerian Kelautan dan Perikanan
Selama penyusunan dokumen teknis dan E&S
Kementerian Kelautan dan Perikanan – Sekretariat Proyek LAUTRA (PMO)
Petunjuk/Pedoman teknis yaitu, konsultasi
masyarakat, GRM,
pengelolaan keuangan dan pengadaan, dll.
Lokakarya dan pertemuan teknis
Instansi pemerintah terkait di tingkat pusat
Tahap awal pelaksanaan proyek
Kementerian Kelautan dan Perikanan – Sekretariat Proyek LAUTRA (PMO) Desain proyek, tujuan,
ruang lingkup dan kegiatan, mencari contoh
kekhawatiran dan pendapat masyarakat sasaran atas desain umum proyek
Survei, forum desa;
kunjungan lapangan
Pemerintah tingkat kabupaten dan kecamatan/desa, masyarakat sasaran potensial
Selama
berlangsungnya penilaian proyek
Kementerian Kelautan dan Perikanan – Sekretariat Proyek LAUTRA (PMO)