• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI INTERAKSI OBAT ANTIHIPERTENSI – OBAT LAIN : EFEK INTERAKSI OBAT TERHADAP TERCAPAINYA TARGET TEKANAN DARAH PADA PASIEN STROKE ISKEMIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IDENTIFIKASI INTERAKSI OBAT ANTIHIPERTENSI – OBAT LAIN : EFEK INTERAKSI OBAT TERHADAP TERCAPAINYA TARGET TEKANAN DARAH PADA PASIEN STROKE ISKEMIK"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

i

IDENTIFIKASI INTERAKSI OBAT ANTIHIPERTENSI – OBAT LAIN : EFEK INTERAKSI OBAT TERHADAP TERCAPAINYA TARGET

TEKANAN DARAH PADA PASIEN STROKE ISKEMIK

IDENTIFICATION OF ANTIHYPERTENSIVE DRUG – OTHER DRUG INTERACTION : THE EFFECT OF DRUG INTERACTION ON

ACHIEVING BLOOD PRESSURE TARGETS IN ISCHEMIC STROKE PATIEN

DIANAYU LESTARI P2500215005

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

(2)

ii

Nama : Dianayu Lestari

Nomor Mahasiswa : P2500215005

Program Studi : Farmasi

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pemilikan orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya sendiri siap menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Juli 2017 Yang menyatakan

Dianayu Lestari

(3)

iii

IDENTIFIKASI INTERAKSI OBAT ANTIHIPERTENSI – OBAT LAIN : EFEK INTERAKSI OBAT TERHADAP TERCAPAINYA TARGET

TEKANAN DARAH PADA PASIEN STROKE ISKEMIK

IDENTIFICATION OF ANTIHYPERTENSIVE DRUG – OTHER DRUG INTERACTION : THE EFFECT OF DRUG INTERACTION ON

ACHIEVING BLOOD PRESSURE TARGETS IN ISCHEMIC STROKE PATIEN

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Farmasi

Disusun dan diajukan oleh

DIANAYU LESTARI

kepada

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

(4)
(5)

v PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah, SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat merampungkan tesis yang berjudul

“Identifikasi Interaksi Obat Antihipertensi – Obat lain Terhadap Tercapainya Target Tekanan Darah pada Pasien Stroke Iskemik” sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi di Program Pascasarjana Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar.

Selama penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan dukungan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA, Apt. selaku komisi penasehat I dan Dr.

dr. Hj. Jumraini Tammasse, Sp.S sebagai komisi penasehat II yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan ilmunya dalam memberikan bimbingan, bantuan dan perhatian mulai dari perencanaan judul sampai selesainya tesis ini.

2. Dr. Aliyah, M.S., Apt., Prof. Dr. Rer.nat. Marianti Manggau, Apt., dan Firzan Nainu, M. Biomed. Sc., Ph.D., Apt selaku komisi penguji yang juga telah banyak memberikan masukan, arahan dan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

3. Pihak dari RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian.

(6)

vi

5. Seluruh rekan-rekan Program Pascasarjana Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar Angkatan 2015 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan bantuan, dorongan serta kritikan yang sangat membangun kepada penulis.

6. Seluruh dosen dan staf Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar.

Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat untuk ilmu pengetahuan khususnya untuk bidang farmasi klinik, dan semoga dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa melimpahkan berkah dan anugerah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu.

Makassar, Juli 2017 Penulis

Dianayu Lestari

(7)

vii ABSTRAK

Dianayu Lestari. Identifikasi Interaksi Obat Antihipertensi – Obat Lain : Efek Interaksi Obat terhadap Tercapainya Target Tekanan Darah pada pasien Stroke Iskemik (dibimbing oleh Elly Wahyudin dan Jumraini Tammasse).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi terjadinya

interaksi obat antihipertensi pada pengobatan pasien stroke iskemik, pengaruh efek interaksi obat antihipertensi - obat lainnya terahadap

tercapainya tekanan darah target pasien stroke iskemik, tingkat keparahan interaksi obat antihipertensi pada terapi pasien stroke iskemik.

Penelitian ini dilaksanakan di rawat inap bagian saraf RSUP Dr.

Wahidin Sudirohusodo selama periode April-Juni 2017, penelitian ini merupakan observasional non eksperimen, pengambilan data secara prospektif dan pengambilan sampel dilakukan secara non-probability yang dan memenuhi kriteria inklusi.

Hasil penelitian diperoleh sebanyak 32 sampel menggunakan obat antihipertensi dan seluruhnya (100%) mengalami interaksi obat terdapat diantaranya 13 sampel mengalami efek interaksi obat antihipertensi – obat lain terhadap tercapainya target tekanan darah (TD), yaitu: 2 kasus penurunan TD melampaui target, 1 kasus tidak mencapai TD target, 1 kasus mencapai TD target dalam rentang waktu lama, yaitu 17 hari dan cenderung menyebabkan tekanan darah persisten, 6 kasus TD terkoreksi dengan penggunaan 2 - 3 macam obat antihipertensi sehingga dapat mencapai TD target dalam kurang dari 7 hari pengamatan, 3 kasus tercapai TD. Dari 221 interaksi obat yang terjadi pada terapi pasien stroke iskemik, terdapat 98(44,34%) interaksi obat dengan tingkat keparahan minor, 106(47,96%) interaksi obat dengan tingkat keparahan signifikan, dan 17 (7,70%) interaksi obat dengan tingkat keparahan serius.

Kata kunci : identifikasi interaksi obat antihipertensi

(8)

viii

by Elly Wahyudin and Jumraini Tammasse).

The study aims to identify the potential interaction of antihypertensive drugs in the treatment of ischemic stroke patients, decsribe the effect of antihypertensive drug interaction with other drugs on achieving targeted blood pressure of ischemic stroke patients, and reveal the severity of antihypertensive drug interaction in the therapy of ischemic stroke patients.

The research was perfomed in the inpatient nerve section of the Central general Hospital of Dr. Wahidin Sudirohusodo from April to June 2017. This study is non-experimental observational. Prospective data collection was conducted on a non-probability and sampling fulfilled the inclusion criteria.

The study indicates out of 32 patients used antihypertensive drugs and all (100%) had drug interaction, 13 patients experienced drug interaction of antihypertensive drugs with other drugs on achieving blood pressure (BP) targets, ie: 2 cases of BP decrease over the target, 1 case not reaching the BP target, 1 case reaching the BP target but taking longer time (17 days) causing the BP persistent, 6 BP cases were corrected with 2 to 3 antihypertensive drugs that the BP target was attained less than 7 days, and 3 casees reaching the BP target. From 221 drug interactions, there were 98(44,34%) patients with minor severity, 106(47,96%) with significant severity, and 17 (7,7%) with serious severity.

Keywords: drug interaction identification, antihypertensive drug

(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ii

HALAMAN PENUNJUK TESIS iii

LEMBAR PENGESAHAN iv

PRAKATA v

ABSTRAK vii

ABSTRACT viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 5

C. Tujuan Penelitian 6

D. Manfaat Penelitian 6

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Stroke 8

B. Obat Antihipertensi 18

C. Interaksi Obat 26

(10)

x

F. Kerangka Konsep 39

BAB III. METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian 40

B. Waktu dan Lokasi Penelitian 41

C. Bahan dan Alat Penelitian 41

D. Populasi dan Sampel 42

E. Prosedur Penelitian 42

F. Defenisi Operasional 43

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pasien Stroke Iskemik Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo 45

B. Identifikasi Interaksi Obat Antihipertensi – Obat Lain 49

C. Efek Interaksi Obat Terhadap Tercapainya Target Tekanan Darah Pasien Stroke Iskemik 55

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 64

B. Saran 65 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Nomor halaman 1. Distribusi usia dan jenis kelamin pasien stroke iskemik 45 2. Distribusi faktor risiko pasien stroke iskemik 46 3. Pengobatan pasien stroke iskemik 47 4. Klasifikasi berdasarkan kejadian interaksi obat

dan tingkat keparahan 49 5. Distribusi jenis antihipertensi yang digunakan 51 6. Interaksi obat antihipertensi 54

(12)

xii

1. Diagram interaksi obat dan tingkat keparahan 50

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor halaman

1. Alur penelitian 66

2. Naskah penjelasan untuk mendapatkan persetujuan dari subjek penelitian 67

3. Formulir persetujuan setelah penjelasan 69

4. Rekomendasi persetujuan etik 71

5. Persetujuan ijin penelitian 72

6. Tekanan darah awal dan setelah penggunaan obat antihipertensi 73

7. Efek interaksi obat antihipertensi – obat lain terhadap tekanan darah 74

8. Data profil interaksi obat pasien stroke iskemik 77

9. Data penggunaan obat 82

10. Curiculum Vitae 95

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Interaksi obat telah dikenali selama lebih dari 100 tahun. Hingga kini seiring dengan peningkatan ketersediaan agen – agen terapi yang kompleks serta penyebaran polifarmasi, potensi terjadinya interaksi obat semakin besar dan telah menjadi suatu penyebab penting dalam reaksi obat yang tak diinginkan (Adverse drug reactions/ADR).Walaupun dibutuhkan regulasi untuk mendefinisikan profil keamanan dari obat – obatan baru sebelum dipasarkan, potensi terjadinya interaksi obat yang tak diinginkan tidak selalu tersedia dengan jelas (Walker, 2012).

Risiko interaksi obat meningkat dengan jumlah obat yang digunakan. Dalam sebuah penelitian di rumah sakit, tingkat Adverse Drug Reaction pada pasien dengan 6-10 obat 7% berisiko interaksi, meningkat menjadi 40% pada mereka yang memakai 16-20 obat-obatan, dengan kenaikan eksponensial yang sebagian besar disebabkan interaksi obat (Smith et al., 1969). Dalam kelompok berisiko tinggi pada unit gawat darurat, risiko potensial yang merugikan akibat interaksi obat adalah 13%

pada pasien yang memakai 2 (dua) obat-obatan dan 82% pada mereka yang memakai 7 (tujuh) atau lebih obat (Goldberg, 1996).

(15)

2

Efek – efek dari interaksi yang melibatkan metabolisme obat sangatlah bervariasi pada pasien individual karena perbedaan kecepatan metabolisme obat dan sensitivitas terhadap induksi enzim mikrosomal.

Beberapa obat tertentu sering dimasukkan dalam interaksi obat dan membutuhkan perhatian khusus(Walker, 2012).

Penelitian terkait potensi interaksi obat – obat (potensial drug – drug interactions/pDDIs) lebih besar pada pasien stroke yang berusia lebih dari 40 tahun. pDDIs dari rejimen yang terdiri atas terapi multi-obat merupakan perhatian utama penelitian tersebut dapat menyebabkan peningkatan risiko rawat inap dan biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi. Mayoritas interaksi yang farmakokinetik dengan tingkat keparahan moderat. Dalam penelitian ini pDDIs terutama terjadi antara antihipertensi, antikoagulan dan antiplatelet (Venkateswaramurthy, 2016).

Sekitar tiga dari setiap empat orang (75%) yang mengalami stroke pertama memiliki tekanan darah lebih tinggi dari 140/90 mm Hg.Stroke terjadi ketika aliran darah ke otak terganggu. Tanpa darah yang kaya oksigen, sel-sel otak mati. Sebesar 87% dari stroke diklasifikasikan sebagai iskemik. Stroke iskemik terjadi ketika gumpalan atau blok massa pembuluh darah memotong aliran darah ke suatu bagian dari otak (AHA/ASA, 2016).

Stroke secara luas diklasifikasikan menjadi stroke iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik dibagi menjadi aterotrombosis arteri, emboli

(16)

otak, stroke lakunar, dan hipoperfusi sistemik. Perdarahan otak merupakan 20% sisa penyebab stroke dan dibagi menjadi perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoid, dan hematoma subdural/

ekstradural (Goldszmidt et al, 2013).

Hipertensi, fibrilasi atrial, penyakit jantung, diabetes, dislipidemia, kontrasepsi oral, migrain, penyalahgunaan obat dan alkohol, faktor inflamasi dan hemostatik, homosistein, maupun gangguan pernapasan saat tidur adalah beberapa faktor risiko pada stroke yang dapat dimodifikasi dengan penggunaan obat-obatan (DiPiro, 2012).

Hipertensi adalah faktor risiko yang paling umum dan penting pada stroke iskemik. Ketika terjadi stroke, tekanan darah sering naik karena berbagai faktor, seperti stres psikologis, nyeri, peningkatan tekanan intrakranial, retensi urin, dan hipoksemia (Ishitsuka, 2013).

Hubungan antara tekanan darah dan risiko stroke sangat besar, berkelanjutan, bernilai, konsisten, independen, terprediksi, dan signifikan secara etiologi. Semakin tinggi tekanan darah semakin besar risiko stroke.

Risiko stroke meningkat secara bertahap dengan meningkatnya tekanan darah (Goldstein L.B. et al. 2011). Hipertensi juga dapat memperburuk angka kematian stroke (Muruganathan dan Mangesh, 2016).

The American Heart Association merekomendasikanpenanganan hipertensi pada perdarahan intraserebralhanya ketika tekanan darah lebih dari 180/105 mmHg.Tekanan arteri rata-rata harus dipertahankandi bawah

(17)

4

130 mmHg.Pada pasien dengan stroke iskemik, tekanan perfusidistal ke pembuluh darah terhambat dan kompensasivasodilatasi pembuluh darah ini terjadi untuk mempertahankanaliran darah yang memadai. Tekanan sistemik yang lebih tinggidiperlukan untuk mempertahankan perfusi.

Kebanyakan pasien, terlepas dari kontrol tekanan darah pre-iskemik, mengalami kenaikan berkelanjutan tekanan darah selama iskemia serebral, termasuktransient ischemic attack. Oleh karena itu, pada pasien denganstroke iskemik, tekanan darah harus diamati dengan hati-hati.

Dilakukan pengamatan awal dalam 1 hingga 2 jam untuk menentukan apakah tekanan darah turun secara spontan. Hanya tekanan arteri rata- rata yang persisten lebih dari 130 mm Hg atau tekanan darah sistoliklebih dari 220 mm Hg harus diperlakukan secara hati-hati. Tekanan arteri rata- rata harus diturunkan15% menjadi 20% (Goldstein, 2011).

Penurunan tekanan darah telah menunjukkan pengurangan risiko stroke 30-40% (Furie KL, 2011). Pasien dengan tekanan darah tinggi harus tetap tidak diobati kecuali tekanan darah mereka melebihi 220/120 mm Hg, atau mereka memiliki bukti diseksi aorta, infark miokard akut (AMI), edema paru, atau ensefalopati hipertensi. Namun, tingkat tekanan darah mungkin terlalu tinggi. Jika tekanan darah hendak diobati, obat parenteral bekerja cepat lebih disukai (DiPiro dkk, 2012).

Identifikasi terhadap kemungkinan terjadinya interaksi obat yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi bertujuan untuk menemukan terjadinya

(18)

interaksi dan efek dari interkasi obat sedini mungkin untuk menjamin keselamatan pasien (Patient Safety) merupakan salah satu bentuk pelayanan farmasi klinik sebagai standar pelayanan kefarmasian (Menkes RI, 2014).

Hipertensi terkait dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.

Penanganan dini sangat penting dalam mencegah kerusakan organ target yang progresif. Pemantauan sebagaimana pada unit perawatan intensif diperlukan untuk mencapai endpoint terapi yang tepat. Penanganan hipertensi pada pasien stroke harus dipertimbangkan terhadap risiko tekanan darah yang persisten ataupun yang turun secara berlebihan sehingga harus dilakukan identifikasi kemungkinan adanya interaksi obat untuk mencegah terjadinya interaksi obat antihipertensi dengan obat lainnya yang dapat berakibat pada terjadinya efek interaksi yang menyebabkan tidak tercapainya target tekanan darah yang diharapkan.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah berpotensi terjadi interaksi obat antihipertensi dengan obat lainnya pada pengobatan pasien stroke iskemik ?

2. Apakah efek interaksi obat antihipertensi dengan obat lainnya berpengaruh terahadap tercapainya tekanan darah target pasien stroke iskemik ?

(19)

6

3. Bagaimana tingkat keparahan interaksiobat antihipertensi dangan obat lainnya pada terapi pasien stroke iskemik ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat antihipertensi pada pengobatan pasien stroke iskemik.

2. Untuk mengidentifikasipengaruh efek interaksi obat antihipertensi dengan obat lainnya terahadap tercapainya tekanan darah target pasien stroke iskemik

3. Untuk mengidentifikasitingkat keparahan interaksiobat antihipertensi pada terapi pasien stroke iskemik

D. Manfaat Penelitian

Dengan melakukan penelitian ini diharapkan manfaat berupa:

1. Bagi Peneliti

Menambah wawasan dan pengalaman peneliti dalam melakukanidentifikasiinteraksi obat di rumah sakit khususnyapada penanganan pasien stroke iskemik.

(20)

2. Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data untuk mengetahui potensi dan efek interaksi obat antihipertensi dengan obat lainnya pada penanganan pasien stroke iskemik.

3. Bagi Tenaga Kesehatan Lain di Rumah Sakit

a. Data yang sifatnya informatif bagi tenaga kesehatan khususnya tenaga kefarmasian dalam menilai kasus yang terkait dengan potensi terjadinya interaksi obat antihipertensi untuk mencegah secara dini adanya efek interaksi obat.

b. Dapat menjadi salah satu informasi terkini untuk pengambilankeputusan terkait rasio antara manfaat dan risiko penggunaan obat.

(21)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stroke

1. Definisi

Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan defisit neurologis fokal onset secara tiba-tiba- yang berlangsung setidaknya dalam 24 jam dan diduga berasal dari vaskular. Sama halnya dengan TIA tetapi berlangsung kurang dari 24 jam dan biasanya kurang dari 30 menit. Onset mendadak dan durasi gejala ditentukan melalui riwayat. Penggunaan teknik pencitraan sensitif (magnetic resonance imaging [MRI] dengan pencitraan diffusionweighted [DWI]) telah mengungkapkan bahwa gejala yang berlangsung lebih dari 1 jam dan kurang dari 24 jam berhubungan dengan infark, membuat TIA dan stroke ringan secara klinis tidak dapat dibedakan (Fagan dan Hess, 2012 ).

2. Epidemiologi

Stroke adalah penyebab No 5 kematian di Amerika Serikat, menewaskan hampir 130.000 orang setahun (128.978). Itu 1 dari setiap 20 kematian. Hampir 800.000 (sekitar 795.000) orang di Amerika Serikat mengalami stroke setiap tahun, dengan sekitar tiga dari empat merupakan stroke yang pertama kali (AHA/ASA, 2016).

(22)

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar tujuh per mil dan yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan (nakes) atau gejala sebesar 12,1 per mil. Jadi, sebanyak 57,9 persen penyakit stroke telah terdiagnosis oleh nakes. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara (10,8%), diikuti DI Yogyakarta (10,3%), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil, sedangkan Sumatera Barat 7,4 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%), DI Yogyakarta (16,9%), Sulawesi Tengah (16,6%), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil sedangkan Sumatera Barat sebesar 12,2 per mil.

3. Klasifikasi dan Etiologi

Terdapat dua macam bentuk stroke yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik merupakan 80% dari penyebab stroke, disebabkan oleh gangguan pasokan oksigen dan nutrisi ke sel-sel otak akibat bentukan trombus atau emboli. Keadaan ini dapat diperparah oleh terjadinya penurunan perfusi sistemik yang mengaliri otak. Sedangkan stroke hemoragik intraserebral dan subarakhnoid disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah kranial (Smith et al., 2005).

(23)

10

Stroke secara luas diklasifikasikan menjadi stroke iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik merupakan 80% kasus stroke dan dibagi menjadi aterotrombosis arteri, emboli otak, stroke lakunar, dan hipoperfusi sistemik. Perdarahan otak merupakan 20% sisa penyebab stroke dan dibagi menjadi perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoid, dan hematoma subdural/ ekstradural (Goldszmidt, 2003).

a. Stroke Hemoragik

Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang tidak terkontrol di otak. Perdarahan tersebut dapat mengenai dan membunuh sel otak, sekitar 20% stroke adalah stroke hemoragik (Gofir, 2009). Jenis perdarahan (stroke hemoragik), disebabkan pecahnya pembuluh darah otak, baik intrakranial maupun subarakhnoid. Pada perdarahan intrakranial, pecahnya pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat hipertensi tak terkontrol yang mengubah morfologi arteriol otak atau pecahnya pembuluh darah otak karena kelainan kongenital pada pembuluh darah otak tersebut. Perdarahan subarakhnoid disebabkan pecahnya aneurysma congenital pembuluh arteri otak di ruang subarakhnoidal (Misbach, 2007).

b. Stroke Iskemik

Stroke iskemik mempunyai berbagai etiologi, tetapi pada prinsipnya disebabkan oleh aterotrombosis atau emboli, yang

(24)

masing-masing akan mengganggu atau memutuskan aliran darah otak atau cerebral blood flow (CBF). Nilai normal CBF adalah 50–

60 ml/100 mg/menit. Iskemik terjadi jika CBF < 30 ml/100mg/menit.

Jika CBF turun sampai < 10 ml/mg/menit akan terjadi kegagalan homeostasis, yang akan menyebabkan influks kalsium secara cepat, aktivitas protease, yakni suatu cascade atau proses berantai eksitotoksik dan pada akhirnya kematian neuron. Reperfusi yang terjadi kemudian dapat menyebabkan pelepasan radikal bebas yang akan menambah kematian sel. Reperfusi juga menyebabkan transformasi perdarahan dari jaringan infark yang mati. Jika gangguan CBF masih antara 15–30 ml/100mg/menit, keadaan iskemik dapat dipulihkan jika terapi dilakukan sejak awal (Wibowo, 2001).

Klasifikasi Stroke Iskemik Berdasarkan Penyebabnya :

a. Stroke Trombotik

Stroke trombotik pembuluh darah besar dengan aliran lambat biasanya terjadi saat tidur, saat pasien relatif mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang menyebabkan penyempitan atau stenosis di arteria karotis interna atau, yang lebih jarang di pangkal arteria serebri media atau di taut ateria vertebralis dan basilaris. Stroke trombotik dapat dari sudut pandang klinis tampak gagap dengan gejala hilang timbul berganti–ganti secara

(25)

12

cepat. Mekanisme pelannya aliran darah parsial adalah defisit perfusi yang dapat terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah sistemik. Agar dapat melewati lesi stenotik intra-arteri, aliran darah yang mungkin bergantung pada tekanan intravaskular yang tinggi. Penurunan mendadak tekanan darah tersebut dapat menyebabkan penurunan generalisata CBF, iskemia otak, dan stroke (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006).

b. Stroke embolik

Stroke embolik terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Embolus berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding rongga jantung atau katup mitralis. Karena biasanya adalah bekuan kecil, fragmen– fragmen dari jantung mencapai otak melalui arteria karotis atau vertebralis. Dengan demikian, gejala klinis yang ditimbulkannya tergantung pada bagian mana sirkulasi yang tersumbat dan seberapa dalam bekuan berjalan di percabangan arteri sebelum tersangkut. Embolisme dapat terurai dan terus mengalir sepanjang pembuluh darah sehingga gejala–gejala mereda. Namun, fragmen–fragmen tersebut kemudian tersangkut di sebelah hilir dan menimbulkan gejala–

gejala fokal. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki risiko yang lebih besar terkena stroke hemoragik, karena terjadi perdarahan petekie atau bahkan perdarahan besar di jaringan yang

(26)

mengalami infark beberapa jam atau mungkin hari setelah emboli pertama. Perdarahan tersebut disebabkan karena struktur dinding arteri sebelah distal dari okulasi embolus melemah atau rapuh karena perfusi. Dengan demikian, pemulihan tekanan perfusi dapat menyebabkan perdarahan arteriol atau kapiler di pembuluh tersebut. (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006).

4. Patofisiologi

Rata-rata aliran darah otak yang normal 50 mL/100 g per menit, dan ini dipertahankan melalui berbagai tekanan darah (artinya tekanan arteri dari 50 sampai 150 mm Hg) dengan proses yang disebut autoregulasi cerebral. Pembuluh darah otak melebar dan menyempit dalam menanggapi perubahan tekanan darah, tetapi proses ini dapat terganggu oleh aterosklerosis, hipertensi kronis, dan cedera akut, seperti stroke. Ketika aliran darah lokal otak menurun di bawah 20 mL/100 g per menit, iskemia kemudian terjadi, dan ketika pengurangan lebih lanjut bertahan di bawah 12 mL/100 g per menit, kerusakan permanen otak terjadi, yang disebut infark. Jaringan yang iskemik tetapi mempertahankan integritas membran disebut sebagai penumbra iskemik karena biasanya mengelilingi inti infark. Penumbra ini berpotensi diselamatkan melalui intervensi terapeutik (DiPiro dkk, 2012).

Pada stroke iskemik berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan

(27)

14

reaksi-reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya. Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel-sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi-fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologik. Tingkat iskeminya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hyperemic akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat di reperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami kematian.

5. Patogenesis Stroke Iskemik

Penyebab utama stroke iskemik adalah thrombus dan emboli yang seringkali dipengaruhi oleh penurunan perfusi sistemik.

Thrombus disebabkan oleh kerusakan pada endotel pembuluh darah, dapat terjadi baik di pembuluh darah besar (large vessel thrombosis), maupun di pembuluh darah lakunar (small vessel thrombosis). Kerusakan ini dapat mengaktivasi dan melekatkan

(28)

platelet pada permukaan endotel tersebut, kemudian membentuk bekuan fibrin. Penyebab terjadinya kerusakan yang paling sering adalah aterosklerosis (aterotrombotik). Pada aterotrombotik terbentuk plak akibat deposisi lipid sehingga terjadi penyempitan lumen pembuluh darah yang menghasilkan aliran darah yang turbulen sepanjang area stenosis. Hal ini dapat menyebabkan disrupsi intima atau pecahnya plak sehingga memicu aktivitas trombosit. Gangguan pada jalur koagulasi atau trombolisis juga dapat menyebabkan thrombus. Pembentukan thrombus atau emboli yang menutupi arteri akan menurunkan aliran darah di serebral dan bila ini berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan iskemik jaringan sekitar lokasi thrombus (Fagan dan Hess, 2008).

6. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik pada pasien stroke pada umumnya mengalami kelemahan pada salah satu sisi tubuh dan kesulitan dalam berbicara atau memberikan informasi karena adanya penurunan kemampuan kognitif atau bahasa (Fagan dan Hess, 2008).

Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah bertahun–

tahun, berupa:

a. Nyeri kepala saat terjaga, kadang–kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan darah intrakranium

(29)

16

b. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi c. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan

sarafpusat

d. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus

7. Faktor Risiko

Faktor risiko stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinannya untuk dimodifikasi (nonmodifiable, modifiable, atau potentially modifiable) dan dengan bukti yang kuat (well documented atau less well documented). Rekomendasi untuk mengurangi faktor risiko agresif mengarah pada strokemodifiable, faktor risiko well documented ataupun less well documented, bahkan pada individu dengan risiko nonmodifiable. Faktor risiko nonmodifiable adalah usia, ras, jenis kelamin, berat badan lahir rendah, dan riwayat keluarga. Risiko individu dari memiliki riwayat penyakit stroke meningkat secara substansial karena umur, dengan dua kali lipat risiko untuk setiap dekade untuk pasien yang lebih tua dari 55 tahun. Orang-orang Afrika-Amerika, kepulauan Asia-Pasifik, dan Hispanik mengalami tingkat kematian lebih tinggi daripada ras Kaukasia. Pria berada pada risiko stroke yang lebih tinggi daripada wanita ketika disandingkan untuk usia, tetapi wanita yang menderita stroke lebih besar kemungkinannya untuk meninggal (DiPiro dkk, 2012).

(30)

8. Penatalaksanaan Terapi

Tujuan pengobatan stroke akut adalah (a) mengurangi berlangsungnya cedera neurologis dan penurunan angka kematian dan jangka panjang cacat, (b) mencegah komplikasi sekunder imobilitas dan disfungsi neurologis, dan (c) mencegah stroke kekambuhan (Fagan dan Hess, 2008 ).

Strategi pengobatan stroke iskemik ada dua, yang pertama reperfusi yaitu memperbaiki aliran darah ke otak yang bertujuan untuk memperbaiki iskemik dengan obat-obat antitrombotik (antikoagulan, antiplatelet, trombolitik). Kedua dengan neuroproteksi yaitu pencegahan kerusakan otak agar tidak berkembang lebih berat akibat adanya area iskemik (Fagan dan Hess, 2008).

Berdasarkan guidelines American Stroke Association (ASA), untuk pengurangan stroke iskemik secara umum ada dua terapi farmakologi yang direkomendasikan dengan grade A yaitu t-PA dengan onset 3 jam dan aspirin dengan onset 48 jam (Fagan dan Hess, 2008).

a. Aktivator Plasminogen (Tissue Plasminogen Activator/ tPA)

Obat ini dapat melarutkan gumpalan darah yang menyumbat pembuluh darah, melalui enzim plasmin yang mencerna fibrin (komponen pembekuan darah). Akan tetapi, obat ini mempunyai risiko, yaitu perdarahan. Hal ini disebabkan kandungan terlarut tidak hanya fibrin yang menyumbat pembuluh darah, tetapi juga fibrin cadangan yang ada dalam pembuluh darah. Selain itu, tPA hanya bermanfaat jika diberikan sebelum

(31)

18

3 jam dimulainya gejala stroke. Pasien juga harus menjalani pemeriksaan lain, seperti CT scan, MRI, jumlah trombosit, dan tidak sedang minum obat pembekuan darah (Wiwit S., 2010).

b. Antiplatelet

The American Heart Association/ American Stroke Association (AHA/ASA) merekomendasikan pemberian terapi antitrombotik digunakan sebagai terapi pencegahan stroke iskemik sekunder. Aspirin, klopidogrel maupun extended-release dipiridamol-aspirin (ERDP-ASA) merupakan terapi antiplatelet yang direkomendasikan (Fagan dan Hess, 2008).

Prevensi sekunder dilaksanakan dengan memberikan agen anti platelet serta mengontrol faktor risiko metabolik. Faktor risiko metabolik yang dimaksud meliputi tekanan darah, kadar lemak, dan kadar gula.

Penurunan tekan darah telah menunjukkan pengurangan risiko stroke 30- 40% (Furie KL, 2011).

B. Obat Antihipertensi

Pemilihan obat antihipertensi perlu bijaksana dan disesuaikan dengan respon individual. Penurunan tekanan darah lebih jauh akan berguna terhadap outcomestroke namun harus dilaksanakan secara perlahan-lahan sehingga tidak mengganggu perfusi darah ke otak. Pasien dengan tekanan darah sistolik >220mmHg dan diastolik > 120 mmHg perlu mendapat terapi, namun batasan tekanan darah untuk pasien yang

(32)

akan mendapat terapi fibrinolitik seperti tPA adalah 185/110 mmHg (Widyati, 2014).

Menurut Pedoman ASA, pasien dengan tekanan darah tinggi harus tetap tidak diobati kecuali tekanan darah mereka melebihi 220/120 mm Hg, atau mereka memiliki bukti diseksi aorta, infark miokard akut (AMI), edema paru, atau ensefalopati hipertensi. (DiPiro dkk, 2012)

Tingkat tekanan darah mungkin terlalu tinggi, dan sejumlah uji klinis sedang menguji pengobatan lebih agresif hipertensi dalam pengaturan akut. Jika tekanan darah hendak diobati, obat parenteral bekerja cepat lebih disukai, seperti labetalol dan nicardipine, atau nitroprusside. (DiPiro dkk, 2012).

Untuk pengobatan awal pasien hipertensi, JNC-8 merekomendasikan empat golongan obat antihipertensi, yaitu angiotensin converting enzim inhibitor(ACEI), angiotensin reseptor blocker (ARB), calcium channel blockers (CCBs), dan diuretik thiazide (James, 2014).

1. Diuretik

Obat golongan diuretik menurunkan tekanan darah dengan jalan membantu tubuh menyingkirkan kelebihan cairan dan natrium melalui urinasi. Golongan ini adalah yang paling tua dan paling banyak digunakan daripada obat antihipertensi lain. Diuretik tertentu, yaitu kelompok tiazid dapat berperan sebagai vasodilator dengan membuka pembuluh darah.

Efek samping antara lain keletihan, keram kaki, lemah, encok (jarang), peningkatan gula darah, terutama pada penderita diabetes, dan

(33)

20

penurunan libido dan atau impotensi. Diuretik terbagi ke dalam tiga subkategori:Diuretik tiazid (Klorotizida, Klortalidon, Hidroklorotiazid, Politiazid, Indapamid, Metolazon), Loop Diuretik (Bumetanida, Furosemida, Torsemida), Diuretik Hemat-Kalium (Amilorida, Triamteren) (Kowalski, 2010).

Diuretik tiazid adalah diuretik denganpotensi menengah yang menurunkan tekanandarah dengan cara menghambat reabsorpsisodium pada daerah awal tubulus distal ginjal,meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin.Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasilangsung pada arteriol, sehingga dapatmempertahankan efek antihipertensi lebihlama.

Tiazid diabsorpsi baik pada pemberianoral, terdistribusi luas dan dimetabolisme dihati.

Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2jam setelah pemberian dan bertahan sampai12‐24 jam, sehingga obat ini cukup diberikansekali sehari.

Efek antihipertensi terjadi pada dosisrendah dan peningkatan dosis tidakmemberikan manfaat pada tekanan darah,walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi.Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantungpada tingkat ekskresinya, oleh karena itu tiazidkurang bermanfaat untuk pasien dengangangguan fungsi ginjal.

Efek samping yang dapat terjadi akibat pemakaian Hidroklortiazid adalah hipokalemia, hipomagnesemia, hiponatremia, hiperurisemia dan gout, gula darah tinggi, hiperlipidemia, hiperkalsemia (Ganiswarna,1995).

(34)

2. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE Inhibitor)

Dengan menghambat kerja enzim yang mengaktifkan angiotensin.

ACE inhibitor mencegah penyempitan pembuluh darah dan menurunkan resistensi aliran darah yang pada akhirnya menurunkan tekanan darah.

Efek samping yang mungkin adalah kemerahan pada kulit atau reaksi alergi lain, hilang selera makan, batuk kering kronis, angiodema, hiperkalemia, neutropenia, dan kerusakan ginjal. Selain gejala-gejala tersebut, ACE inhibitor secara umum ditoleransi dengan baik. Contoh:

Benazepril, Kaptopril, Enalapril, Fosinopril, Lisinopril, Moeksipril (Kowalski, 2010).

ACEI merupakan obat antihipertensi lini pertama yang digunakan untuk penanganan hipertensi pasien stroke namun pasien yang diterapi dengan ACEI banyak yang mengalami hiperkalemia dan penggunaan bersamaan dengan potasium-sparingdiuretiks dapat menyebabkan hiperkalemia yang mengancam nyawa (Juurlink, 2003).

3. Calcium Channel Blocker (CCB)

Kategori obat antihipertensi ini, disebut juga antagonis kalsium.

Mengganggu jalan masuk kalsium menuju sel otot jantung dan arteri. Ini akan membatasi penyempitan arteri, memungkinkan aliran darah yang lebih lancar untuk menurunkan tekanan darah. Golongan obat ini juga

(35)

22

diresepkan untuk mengatasi gangguan irama jantung disertai nyeri dada yang disebut sebagai angina pektoris (biasanya disebut angina saja). Efek samping meliputi jantung berdebar, bengkak pada pergelangan kaki, ruam, konstipasi, sakit kepala, dan pening. Setiap obat dalam golongan ini memiliki efek samping khusus. Contoh: Amlodipin, Bepridil, Diltiazem, Felodipin, Nifedipin, Nimodipin, Nisoldipin (Kowalski, 2010).

Calcium channel blockers (CCB)menurunkan influks ion kalsium ke dalam selmiokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung,dan sel‐sel otot polos pembuluh darah. Efek iniakan menurunkan kontraktilitas jantung,menekan pembentukan dan propagasi impulselektrik dalam jantung dan memacu aktivitasvasodilatasi, interferensi dengan konstriksi ototpolos pembuluh darah. Semua hal di atasadalah proses yang bergantung pada ionkalsium (Beth Gormer, 2007).

Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin(misalnya nifedipin dan amlodipin);fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin(diltiazem).

Dihidropiridin mempunyai sifatvasodilator perifer yang merupakan kerjaantihipertensinya, sedangkan verapamil dandiltiazem mempunyai efek kardiak dandugunakan untuk menurunkan heart rate danmencegah angina (Beth Gormer, 2007).

Amlodipinesecara konsisten menunjukkan memiliki efek menguntungkan untuk menurunkan BP, BPV, dan mengurangi kejadian stroke kejadian pada pasien hipertensi (Muruganathan, 2016).

(36)

4. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa darah (Nafrialdi, 2007).

Berdasarkan studi “A Combined Role of Calsium Channel Blockers and Angiotensin Reseptor Blckers in Stroke Prevention” (Peran Kombinasi Kalsium Channel Blocker dan Angiotensin Receptor Blockers dalam Pencegahan Stroke), telah dikaitkan dengan perkembagan dan kemajuan penyakit serebrovaskular pada pasien dengan hipertensi. Angiotensin II diperkirakan dapat mendorong remodeling, menghambat endotelium dependen relaksasi dan mengganggu darah di barier otak, sehingga penggunaan ARB ini dapat untuk cerebroprotection. Menurut hipotesis yang diusulkan oleh Boutitie et al dalam uji klinik, ARB dapat memberikan perlindungan terhadap stroke selain menurunkan tekanan darah karena mereka menghambat efek angiotensin I pada sirkulasi serebral, tetapi disini dikatakan memungkinkan angiotensin II untuk berpotensi memberikan perlindungan terhadap stroke melalui reseptor angiotensin II (Wang, 2009).

Perbandingan interaksi obat dari semua golongan angiotensin reseptor bloker menunjukkan bahwa losartan memiliki potensi tertinggi

(37)

24

untuk interaksi obat karena dimetabolisme oleh isoenzim sitokrom P450.

Sedangkan pada valsartan, irbesartan, dan candesartan tidak ditemukan adanya interaksi obat yang signifikan (Barreras, 2003).

5. Beta-blocker

Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor.Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptorbeta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutamaterdapat pada jantung sedangkan reseptorbeta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru,pembuluh darah perifer, dan otot lurik.Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan dijantung, sedangkan reseptor beta‐1 juga dapatdijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapatditemukan di otak.Stimulasi reseptor beta pada otak danperifer akan memacu pelepasanneurotransmitter yang meningkatkan aktivitassistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1pada nodus sino‐atrial dan miokardiakan meningkatkan heart rate dan kekuatankontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjalakan menyebabkan pelepasan renin,meningkatkan aktivitas system reninangiotensin‐aldosteron. Efek akhirnya adalahpeningkatan cardiac output, peningkatantahanan perifer dan peningkatan sodium yangdiperantarai aldosteron dan retensi air (Beth Gormer, 2007).

Terapi menggunakan beta‐blocker akan bersifat antagonis terhadap semua efek tersebut sehinggaterjadi penurunan tekanan darah.Beta‐blocker yang selektif (dikenal jugasebagai cardioselective betablockers), misalnyabisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1,

(38)

tetapitidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja olehkarena itu penggunaannya pada pasien denganriwayat asma dan bronkhospasme harus hati-hati.Beta‐blocker yang non‐selektif (misalnyapropanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta‐2.Beta‐blocker yang mempunyai aktivitasagonis parsial (dikenal sebagai aktivitassimpatomimetik intrinsik), misalnya acebutolol,bekerja sebagai stimulan‐beta pada saataktivitas adrenergik minimal (misalnya saattidur) tetapi akan memblok aktivitas beta padasaat aktivitas adrenergik meningkat (misalnyasaat berolah raga). Hal ini menguntungkankarena mengurangi bradikardi pada siang hari (Beth Gormer, 2007) .

Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atauginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam airatau lipid. Obat‐obat yang diekskresikanmelalui hati biasanya harus diberikan beberapakali dalam sehari sedangkan yang diekskresikanmelalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruhyang lebih lama sehingga dapat diberikan sekalidalam sehari. Beta‐blocker tidak bolehdihentikan mendadak melainkan harus secarabertahap, terutama pada pasien dengan angina,karena dapat terjadi fenomena rebound (Beth Gormer, 2007).

(39)

26

C. Interaksi Obat

1. Defenisi

Interaksi obat terjadi ketika efek dari satu obat diubah oleh kehadiran obat lain, jamu, makanan, minuman atau oleh beberapa lingkungan bahan kimia (Baxter, 2008).

Efek gabungan dari kombinasi tersebut bisa bermanifestasi sebagai suatu efek yang aditif atau diperkuat dari salah satu atau lebih obat, antagonism dari efek satu atau lebih obat, atau perubahan lain dalam efek dari satu atau lebih obat. Interaksi yang signifikan secara klinis mengacu pada kombinasi dari obat – obatan terapi yang memiliki konsekuensi langsung pada kondisi pasien. Keuntungan terapi bisa didapatkan dari interaksi obat tertentu, misalnya kombinasi dari obat–obat antihipertensi berbeda bisa digunakan untuk memperbaiki kontrol tekanan darah atau suatu antagonis opioid bisa digunakan untuk membalik efek dari overdosis morfin (Walker, 2012)

Perubahan efek obat akibat interaksi obat dapat bersifat membahayakan dengan meningkatnya toksisitas obat atau berkurangnya khasiat obat. Namun, interaksi dari beberapa obat juga dapat bersifat menguntungkan seperti efek hipotensif diuretik bila dikombinasikan dengan beta-bloker dalam pengobatan hipertensi (Fradgley, 2003)

(40)

2. Epidemiologi

Estimasi yang akurat dari insiden interaksi obat sulit untuk didapatkan karena penelitian – penelitian yang dipublikasi sering menggunakan berbagai kriteria yang berbeda – beda untuk mendefinisikan interaksi obat, dan untuk membedakan antara interaksi klinis yang signifikan dan non-signifikan. Beberapa dari penelitian – penelitian terdahulu membandingkan obat – obatan yang diresepkan dengan daftar interaksi obat yang mungkin terjadi tanpa memperhatikan potensi signifikansi/kekuatannya secara klinis (Baxter, 2008).

3. Mekanisme Interaksi Obat

Interaksi obat sering melibatkan lebih dari satu mekanisme. Ada beberapa situasi di mana obat berinteraksi dengan mekanisme yang unik, tetapi mekanisme yang paling umum adalah interaksi yang melibatkan mekanisme farmakokinetik.

a. Interaksi farmakokinetik

Farmakokinetik adalah obat yang diberi bersamaan yang satu obat mengubah tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat lain. Hal ini paling sering diukur dengan perubahan dalam satu atau lebih parameter kinetik, seperti konsentrasi serum puncak, area di bawah kurva, konsentrasi waktu paruh, jumlah total obat diekskresikan dalam urin (Tatro, 2009).

Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :

(41)

28

1) Interaksi pada absorbsi obat

i. Efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Baxter, 2008).

ii. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan kompleks

Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dengan kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap sehingga mengurangi efek antibakteri (Baxter, 2008).

iii. Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Misalnya metoklopramid

(42)

mempercepat pengosongan lambung sehingga meningkatkan penyerapan parasetamol /asetaminofen (Baxter, 2008).

iv. Malabsorbsi dikarenakan obat

Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Baxter, 2008).

2) Interaksi pada distribusi obat

i. Interaksi ikatan protein

Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul - molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Baxter, 2008).

ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat

Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis , dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P- glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari sel- sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor

(43)

30

transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping Central Nervous System (CNS) (Baxter, 2008).

3) Interaksi pada metabolisme obat

i. Perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif.

Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Baxter, 2008).

(44)

ii. Induksi Enzim

Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Baxter, 2008).

iii. Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat.

Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Baxter, 2008).

iv. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi

Parasetamol dimetabolisme oleh CYP2E1, metronidazole menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa metronidazole meningkatkan efek parasetamol (Medscape, 2014).

(45)

32

4). Interaksi pada ekskresi obat

i. Perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus maka akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Baxter, 2008).

ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama ditubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi.

Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. (Baxter, 2008).

iii. Perubahan aliran darah renal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Baxter, 2008).

(46)

b. Interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang satu obat menginduksi perubahan respon pasien terhadap obat tanpa mengubah farmakokinetik objek obat. Artinya, orang dapat dilihat perubahan kerja obat tanpa perubahan konsentrasi plasma. Interaksi farmakologis, yaitu, penggunaan bersamaan dari dua atau lebih obat dengan tindakan farmakologis yang sama atau menentang (misalnya, penggunaan alkohol dengan obat anti ansietas dan hipnotik atau antihistamin), adalah bentuk interaksi farmakodinamik. Beberapa dokter mengatakan bahwa reaksi tersebut tidak interaksi obat, dan memang sebagian besar tidak kecuali reaksi yang dilaporkan merugikan (Tatro, 2009)

1). Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas dan depresi sumsum tulang (Baxter, 2008).

(47)

34

2). Interaksi antagonis atau berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya NSAID diketahui mengurangi efek antihipertensi dengan mekanisme farmakodinamik antagonisme. NSAID menghambat sintesa prostaglandin untuk vasodilatasi ginjal (Mozayani dan Raymond, 2012).

Interaksi obat juga dibedakan menjadi (Tatro, 2009) :

1) Berdasarkan level kejadiannya, interaksi obat terdiri dari established (sangat mantap terjadi), probable (interaksi obat bisa terjadi), suspected (interaksi obat diduga terjadi), possible (interaksi obat mungkin terjadi, tetapi belum pasti terjadi), serta unlikely (interaksi obat tidak terjadi).

2) Berdasarkan onsetnya, interaksi obat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu interaksi dengan onset cepat (efek interaksi terlihat dalam 24jam) dan interaksi dengan onset lambat (efek interaksi terlihat setelah beberapa hari sampai minggu).

3) Berdasarkan keparahannya, interaksi obat dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu mayor (efek fatal, dapat menyebabkan kematian), moderat (efek sedang, dapat menyebabkan kerusakan organ), dan minor (tidak begitu masalah,dapat diatasi dengan baik).

(48)

4. Tingkat keparahan interaksi obat

Potensi keparahan interaksi sangat penting dalam menilai risiko vs manfaat terapi alternatif. Dengan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi jadwal penggunaan obat, efek negatif dari kebanyakan interaksi dapat dihindari. Tiga derajat keparahan didefinisikan sebagai:

a. Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009).

b. Keparahan moderate

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika efek yang terjadi dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien.

Pengobatan tambahan, rawat inap, atau diperpanjang dirawat di rumah sakit mungkin diperlukan (Tatro, 2009).

c. Keparahan major

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas yang tinggi, berpotensi mengancam jiwa atau dapat menyebabkan kerusakan permanen (Tatro, 2009).

(49)

36

D. Identifikasi Interaksi Obat Menggunakan Program Aplikasi Basis Data

Identifikasi interaksi obat pada penelitian ini menggunakan program Medscape, aplikasi basisdata berupa aplikasi android berlisensi bebas, merupakanlayanan web untuk dokter dan profesional kesehatan.

Menyajikan fitur peer-review asli artikel jurnal medis, CME (Continuing Medicine Education), basis data yang disesuaikan dengan versi dari Perpustakaan Nasional of Medicine 's MEDLINE, berita medis sehari-hari, cakupan konferensi besar, dan informasi-termasuk data base obat (Referensi Obat Medscape, atau MDR (Medscape Drug Reference) dan pemeriksaan interaksi obat menggunakan tools drug interaction checker.

Semua konten di Medscape tersedia gratis bagi para profesional dan konsumen, hanya perlu melakukan registrasi. Misi Medscape adalah memperbaiki perawatan pasien dengan informasi dan sumber klinis yang komprehensif yang penting bagi dokter dan profesional kesehatan.

Pada Mei 1995, Medscape, Inc diluncurkan di New York Silicon Alley oleh SCP Communications, Inc, di bawah arahan Peter Frishauf . Pada Februari 1999, redaksi medis George D. Lundberg dipekerjakan sebagai editor-in-chief dari Medscape tersebut. Selama 17 tahun sebelum bergabung Medscape ia menjabat sebagai Editor dari Journal of American Medical Association . Pada September tahun itu, Medscape, Inc go public dan mulai diperdagangkan di NASDAQ bawah MSCP simbol. Pada bulan

(50)

Mei 2000, Medscape bergabung dengan MedicaLogic, Inc., perusahaan publik lainnya. MedicaLogic menyatakan kebangkrutan dalam waktu 18 bulan dan Medscape dijual untuk WebMD pada bulan Desember 2001.

Pada tahun 2009, WebMD merilis aplikasi iOS dari Medscape CME, diikuti oleh versi Android dua tahun kemudian.

Medscape memiliki lebih dari 30 situs khusus yang berbeda, masing- masing dengan tim penasehat khusus dari spesialis tersebut untuk menyediakan dokter dan profesional kesehatan dengan:

a. Berita medis termasuk berita asli dan komentar ahli, ditambah artikel dari jurnal medis teratas untuk memberi tahu perkembangan terbaru di setiap bidang

b. Referensi Klinis yang berisi obat-obatan, penyakit, dan prosedur dengan konten berbasisbukti, ditulis dokter dan diulas untuk digunakan padaperawatan dan ditingkatkan dengan gambar dan video.

c. Continuing Medical Education di lebih dari 30 spesialisasi dan ratusan topik

d. Medscape Consult - Komunitas online dimana dokter bertanya dan menjawab pertanyaan Klinis.

e. 8000+ resep dan monograf obat bebas, termasuk herbal dan suplemen

f. Pada layar utama tersedia pilihan tools: Drugs, Condition, Procedures, Drug Interaction Checker, Pill Identifier, calculator, Formulary, dan Directory(Medscape, 2017).

(51)

38

E. Kerangka Teori

Pasien strok iskemik dengan tekanan darah sistolik >220 mmHg dan

diastolik > 120 mmHg

Terapi Farmakologi : Alteplase Trombolitik Neuroprotektan Obat Antihipertensi

Kegagalan terapi : target tekanan darah tidak tercapai

Efek interaksi obat yang tidak diinginkan

Interaksi obat antihipertensi -

obat lain.

(52)

Variabel Penelitian :

- Variabel bebas : obat antihipertensi - Variabel terika

- Variabel antara : parameter yang dinilai, yaitu tekanan darah.

- Variabel perancu : insufisiensi ginjal dan insufisiensi hati.

• Obat

antihipertensi + obat lain

(neuroprotektan, antiplatelet, anti dislipidemia, dll)

Identifikasi interaksi obat

F. Kerangka Konsep

Variabel Penelitian :

bebas : obat antihipertensi dan obat lain.

Variabel terikat : interaksi obat antihipertensi – obat lain Variabel antara : parameter yang dinilai, yaitu tekanan darah.

Variabel perancu : insufisiensi ginjal dan insufisiensi hati.

antihipertensi + (neuroprotektan,

antiplatelet, anti dislipidemia, dll)

Identifikasi interaksi obat

• Efek sinergis terhadap tekanan darah

• Efek antagonis terhadap tekanan darah

Tekanan darah

• Tercapai target tekanan darah

• Hipotensi

• Hipertensi menetap

Interaksi OAH

Faktor-

mempengaruh

penilaian interaksi obat - Insufisiensi ginjal - Insufisiensi hati

obat lain.

Variabel antara : parameter yang dinilai, yaitu tekanan darah.

Variabel perancu : insufisiensi ginjal dan insufisiensi hati.

Efek sinergis terhadap tekanan darah

Efek antagonis terhadap tekanan darah

Interaksi OAH- Obat lain

-faktor yang mempengaruhi

penilaian interaksi obat : Insufisiensi ginjal Insufisiensi hati

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Tidak ada hubungan antara asupan kalsium dengan tekanan darah pada pasien stroke iskemik di instalasi rawat jalan RSUD Sukoharjo dengan nilai p = 0,825 untuk tekanan darah

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara aktivitas fisik dan asupan kalsium dengan tekanan darah pada pasien stroke iskemik di instalasi rawat

Hasil Penelitian: Dilihat dari tekanan darah pasien, rata-rata tekanan darah sistolik 143 mmHg dan rata-rata tekanan darah diastolik 88 mmHg dengan nilai kualitas

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan tekanan darah dengan skor kualitas hidup terkait kesehatan pasien pasca stroke iskemik di RSUD Dr.. Metode

“ Hubungan Tekanan Darah dengan Tingkat Keparahan pada Pasien Stroke.. Akut di

Berdasarkan tekanan darah menurut klasifikasi tekanan darah JNC VII, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi kejadian pasien stroke paling banyak dijumpai

Tekanan darah yang tinggi pada pasien stroke tidak selalu merugikan karena peningkatan tekanan darah tersebut dapat menguntungkan pasien karena dapat memperbaiki

Hanya terdapat 6 pasien (25%) dari 24 pasien hipertensi dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yang dapat mencapai target terapi tekanan darah