PENGARUH SALINITAS TERHADAP SINTASAN DAN RASIO RNA/DNA LARVA KEPITING BAKAU (Scylla tranquebarica)
ANDI DAHLIAH L221 13 501
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
SKRIPSI
PENGARUH SALINITAS TERHADAP SINTASAN DAN RASIO RNA/DNA LARVA KEPITING BAKAU (Scylla tranquebarica)
Oleh:
ANDI DAHLIAH
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Program Studi Budidaya Perikanan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Dalam perjalanan menyelesaikan skripsi ini, banyak hal yang harus penulis lalui. Berbagai kesulitan dan tantangan setia mengiringi, namun berkat semua kerja keras, pertolongan Allah SWT serta motivasi dan bantuan dari berbagai pihak menjadikan semua kesulitan itu sebagai sebuah anugerah yang harus disyukuri dan diambil hikmahnya. Melalui kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghormatan sebagai wujud rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Muh Yusri Karim, M.Si selaku pembimbing utama dan selaku pembimbing akademik yang banyak memberikan nasehat dan arahan yang sangat bermanfaat dan Dr. Marlina Achmad, S.Pi, M.Si selaku pembimbing anggota yang dengan tulus dan telah sangat banyak membantu, memberi motivasi dan arahan-arahan. Semoga selalu dalam keadaan yang sehat dan sukses.
2. Dr. Ir. Muh. Iqbal Djawad. M. Sc, Dr. Ir. Dody Dh. Trijuno,. M.App. Sc dan Ir. Badraeni. MP selaku penguji yang banyak memberi masukan yang bermanfaat.
3. Bapak dan Ibu Dosen, serta Staf pegawai FIKP UH yang telah banyak berbagi ilmu dan pengalaman.
4. Bapak Ir. Nono Hartanto, M.Aq., selaku pimpinan Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar yang telah memberikan izin dalam melaksanakan penelitian di BPBAP.
5. Seluruh pengawai di Lawi-lawi dan Kepiting Bapak Iman Sudrajat, S.Pi, dan bapak Marwan yang telah banyak memberikan saran dan masukan serta ilmu selama penelitian
6. Bapak Sucipto guru SUPM Negeri Bone dan bapak Nur Safaat serta seluruh staf BRPBAP Maros yang telah memberikan bantuan.
7. Teman Penelitian dan rekan-rekan seperjuangan yaitu Hastriyanti salam, Nurul Mutmainnah
8. Penghuni Asrama BPBAP Takalar Hardiyati marding, Nirmala, Nurhana, Muhaimina, Dwi Fajrianti, Siti Rahma, Mir’ati Shohih, Julianti Nasihah serta Windasari, Sri Kuspiati, dan Mutahhara Fahrunnisa
9. Sahabatku , Lidya, Muslimah, Haslindah, Sri Wahyuni Utami dan seluruh kawan-kawan BDP 2013 UNHAS serta Angkatan XXVII SUPM Negeri Bone atas dukungannya, motivasi serta selalu mendoakan kelancaran penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Tulisan ini saya persembahkan spesial untuk keluargaku Ayahanda Andi Mannu dan Ibunda Ida yang selalu ada dan rela mengorbankan banyak hal bagi penulis. Kakak-Kakak dan Adik saya tercinta yang selalu menyertai dengan doa.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penulisan yang lebih baik. Billahi Taufik Walhidayah Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Makassar, 16 Agustus 2017
Andi Dahliah
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Cenrana pada tanggal 06 Juni 1995. Diberi nama Andi Dahliah oleh pasangan Alm.Andi Mannu dan Ida. Penulis sebagai puteri ke tujuh dari delapan bersaudara. Pertama kali mengenyam pendidikan formal di Taman Kanak-Kanan Idhata Cenrana dan lulus pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan Sekolah Dasar SD Inp 12/79 Carima dan lulus pada tahun 2007.
Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMP Neg.1 Kahu, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SUPM Neg. Bone pada tahun 2010.
Pada tahun 2013 melalui jalur Penelusuran Prestasi Olahraga, Seni dan Keilmuan (POSK) penulis berhasil diterima sebagai mahasiswa pada program studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Dalam menjalani aktifitas sebagai mahasiswa, penulis banyak terlibat dalam kegiatan kampus, diantaranya KMP BDP FIKP UH, ASCM, dan PMB-UH LATENRITATTA. Penulis juga aktif sebagai asisten dibeberapa mata kuliah.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
RIWAYAT HIDUP ... vii
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I. PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan dan Kegunaan... ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau ... 4
Siklus Hidup Kepiting Bakau ... 5
Perkembangan Larva Kepiting Bakau ... 7
Salinitas dan Osmoregulasi ... 8
Pengaruh Salinitas Pada Pemeliharaan Larva ... 10
Rasio RNA/DNA Pada Organisme ... 11
III. METODE PRAKTEK LAPANG Waktu dan Lokasi Penelitian ...13
Materi Penelitian ...13
Prosedur Penelitian ...14
Ekstraksi dan Pengukuran Rasio RNA dan DNA ...15
Rancangan Penelitian ...15
Parameter Yang Diamati ...16
Analisis Data ...17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sintasan ...18
Rasio RNA/DNA ...20
Kualitas Air ...22
V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...24
Saran ...24
DAFTAR PUSTAKA ... xv
LAMPIRAN ... xviii
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Pemberian pakan Larva Kepiting Bakau ...15 2. Rata-rata nilai sintasan larva kepiting bakau...18 3. Rata-rata Nilai Rasio RNA/DNA ...20 4. Data parameter kualitas air media pemeliharaan larva kepiting bakau
(Scylla tranquebarica) ...22
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Morfologi kepiting bakau (S. tranquebarica) ...4
2. Siklus hidup kepiting bakau ...5
3. tata letak wadah penelitian setelah pengacakan ...16
4. Grafik hubungan antara salinitas dan sintasan larva ...20
5. Grafik hubungan antara salinitas dan rasio RNA/DNA larva ...22
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. cara menghitung kepadatan naupli artemia pada pemberian pakan ... 25 2. Sintasan larva kepiting bakau (S. tranquebarica) yang dipelihara pada berbagai salinitas ... 26 3. Analisis ragam sintasan larva kepiting bakau (S. tranquebarica) yang dipelihara pada berbagai salinitas ... 26 4. Hasil uji W-Tuckey sintasan larva kepiting bakau ... 27 5. Prosedur Ekstraksi RNA dan DNA dengan Sillica-Extraction Kit ... 28 6. Prosedur pengukuran konsentrasi RNA dan RNA dengan Nano Drop 2000 Spectrophotometer ... 29 7. Rasio RNA/DNA larva kepiting bakau (S. tranquebarica) yang
dipelihara pada berbagai salinitas ... 30 8. Analisis ragam Rasio RNA/DNA larva kepiting bakau
(S. tranquebarica) yang dipelihara pada berbagai salinitas ... 30 9. Hasil uji lanjut W-Tuckey rasio RNA/DNA larva kepiting bakau
(S. tranquebarica) yang dipelihara pada berbagai salinitas ... 31 10. Data parameter kualitas air media pemeliharaan larva kepiting
bakau (S. tranquebarica) ... 31
1
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepiting bakau, merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting. Salah satu dari empat jenis kepiting bakau yang banyak dijumpai di perairan Indonesia terutama di daerah bakau (mangrove) adalah Scylla tranquebarica. Menurut Pedapoli dan Ramudu (2014) S. tranquebarica memiliki keunggulan komparatif yaitu pertumbuhan dapat mencapai ukuran 1,5 kg, tahan terhadap penyakit, permintaan pasar yang baik, toleransi lebar untuk suhu dan salinitas, dan ruang lingkup yang lebih besar di pasar ekspor maupun di pasar domestik.
Selama ini permintaan konsumen akan kepiting bakau sebagian besar masih dipenuhi dari hasil penangkapan di alam yang sifatnya fluktuatif yakni 90%, sedangkan kontribusi budidaya 10%. Di sisi lain, seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen akan kepiting bakau membawa implikasi terhadap tuntutan pemenuhannya, yakni pengembangan budidaya kepiting bakau secara intensif (Karim, 2013).
Keberhasilan suatu kegiatan budidaya ditentukan dari berbagai aspek, salah satunya yaitu ketersediaan benih. Selama ini kebutuhan benih kepiting bakau sebagian besar masih mengandalkan hasil penangkapan dari alam yang sifatnya masih tidak menentu baik secara kualitas maupun kuantitas. Upaya- upaya dalam memproduksi benih telah dilakukan melalui pembenihan, namun kendala utama yang dihadapi masih tingginya tingkat kematian larva kepiting terutama pada stadia zoea hingga megalopa. Beberapa hasil penelitian tentang larva kepiting menyebutkan antara lain Jantrarotai et al. (2002) memperoleh 7,08-22,91%, Nghia et al. (2007) 8-13%, Quinito et al. (2011) memperoleh 0,15- 0,74% dari zoea hingga megalopa, Saputra et al. (2013) 7,88%,
2
Thirunavukkarasu et al. (2014) 12% mencapai megalopa.
Rendahnya sintasan larva kepiting diakibatkan oleh berbagai faktor salah satunya yaitu lingkungan pemeliharaan yang tidak sesuai. Menurut Pedapoli dan Ramudu (2014) salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi sintasan, efisiensi pakan, pertumbuhan dan kesehatan kepiting.
Meskipun kepiting bakau dewasa termasuk organisme akuatik yang bersifat euryhaline yaitu mampu beradaptasi pada media dengan kisaran salinitas lebar yakni antara 1 sampai 42 ppt (Karim, 2008), namun kisaran salinitas yang optimum lebih sempit bagi ukuran larva, terutama pada stadia zoea (Rusdi, 2007). Menurut Romano dan Zeng (2006) pada kondisi salinitas yang tidak optimum dapat menyebabkan stress osmotik seperti peningkatan konsumsi oksigen, ekskresi ammonia, dan penggunaan energi yang tinggi sehingga diperlukan kisaran salinitas yang optimum.
Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk menggambarkan keabsahan kondisi lingkungan yang baik (kisaran salinitas yang optimum) yaitu rasio RNA/DNA. Jumlah DNA yang konstan dalam spesies dibandingkan dengan jumlah RNA yang mengalami perubahan pada sintesis protein dan pertumbuhan dapat mengekspresikan kualitas larva. Selain itu, rasio RNA/DNA yang tinggi juga berhubungan dengan nilai nutrisi pakan dan kondisi pemeliharaan yang baik, sehingga rasio tersebut dapat digunakan sebagai indikator kondisi fisiologis dalam sistem pemeliharaan ikan (Haryanti et al., 2006; Chicharo et al., 1998;
Signini & Chun, 1997).
Analisis rasio RNA/DNA telah banyak dilakukan dalam penelititian untuk mengevaluasi kualitas organisme termasuk ikan dan udang. Terdapat kecenderungan dimana semakin besar rasio RNA/DNA semakin berkualitas larva ikan yang dihasilkan. Penilaian kualitas benih berdasarkan karakter rasio RNA/DNA telah dilakukan pada ikan gobi (Esteves et al., 2000), ikan mas
3
Cyprinus carpio (Dewantoro, 2001) dan udang windu (Haryanti et al., 2006).
Hubungan antara rasio RNA/DNA dengan laju pertumbuhan dan sintasan larva ikan menunjukkan adanya korelasi positif pada beberapa spesies ikan (Caldarone et al., 2003).
Berdasarkan informasi tersebut maka dibutuhkan pemeliharaan larva kepiting bakau pada salinitas yang optimum guna menghasilkan sintasan yang tinggi dan kualitas larva yang baik dengan rasio RNA/DNA yang tinggi. Oleh karena itu salinitas optimum bagi larva S.tranquebarica belum dapat ditentukan, maka penelitian tentang tentang hal tersebut perlu dilakukan.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan salinitas optimum yang dapat menghasilkan sintasan dan rasio RNA/DNA larva kepiting bakau (S. tranquebarica) yang terbaik.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan informasi tentang pengaplikasian salinitas pada pemeliharaan larva kepiting bakau (S. tranquebarica). Selain itu sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla tranquebarica)
Secara morfologi kepiting bakau Scylla tranquebarica memiliki ciri-ciri karapas yang berukuran lebih lebar dari pada panjang, panjang karapas kurang lebih dua pertiga dari lebarnya. Permukaan karapas hampir licin kecuali adanya beberapa lekuk yang bergranula halus di daerah branchial. Pada dahi terdapat 4 buah gigi tumpul tidak termasuk duri ruang mata sebelah dalam yang berukuran kurang lebih sama. Tepi anterior dari karapas bergigi 9 buah, runcing dan berukuran kurang lebih sama, sudut posterolateral melengkung dan pada bagian sambungan ruasnya sedikit melebar. Kaki yang bercapit atau cheliped pada jantan dewasa dapat mencapai panjang hampir dua kali panjang karapas, sedangkan betina capitnya lebih pendek. S. tranquebarica memiliki bentuk duri di antara mata yang agak rendah namun lebih tinggi dari S. olivacea dan juga bulat tetapi tidak terdapat duri pada karpusnya (Karim, 2013). Morfologi kepiting bakau (S. tranquebarica) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi kepiting bakau (S. tranquebarica) (Keenan, et al. 1998) Kepiting bakau jantan dan betina dapat dibedakan dengan mengamati ruas-ruas abdomennya. Kepiting jantan memiliki ruas abdomen yang lebih sempit, sedangkan pada betina lebih besar. Perut kepiting jantan berbentuk segitiga meruncing, sedangkan yang betina berbentuk segitiga melebar.
Perbadaan lainnya adalah kaki renang atau pleopod yang terletak di bawah
5
abdomen pada kepiting jantan berfungsi sebagai kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat pelekatan atau penempelan telur (Karim, 2013).
Siklus Hidup Kepiting Bakau
Siklus hidup kepiting bakau sebagian besar berlangsung di laut, perairan bakau atau payau dan eustuaria (muara sungai). Kepiting bakau melangsungkan perkawinannya di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan bermigrasi ke laut dalam atau menjauhi pantai untuk mencari lingkungan perairan yang cocok terutama suhu dan salinitas air laut untuk melepaskan telurnya (ovulasi).
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kepiting memerlukan lingkungan yang ideal untuk ovulasi (Karim, 2013).
Gambar 2. Siklus hidup kepiting bakau (Karim, 2013)
Perkembangan kepiting bakau mulai dari telur sampai ukuran dewasa dengan beberapa tingkatan perkembangan atau fase. Perkembangan kepiting bakau dalam daur hidupnya dibagi atas tiga fase yaitu embrionik, larva dan pasca larva. Perkembangan kepiting bakau mulai dari telur hingga mencapai dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan (fase), yaitu fase zoea, megalopa, tingkat kepiting muda (juvenile) dan dewasa. Sebagai fase awal adalah fase zoea yang terdiri atas lima tingkatan (stadia). Setiap tingkatan
6
dibedakan dengan adanya penambahan perkembangan organ tubuh, baik organ tubuh yang menunjang kemampuan bergerak maupun untuk aktivitas makan (Karim. 2013).
Setelah melewati 5 tingkatan stadia zoea dengan cara 5 kali molting terbentuklah fase megalopa. Pergantian kulit pada fase zoea dan megalopa berlangsung melalui perobekan pada bagian punggung yaitu antara cephalothorax dan abdomen (Yusuf, 2015).
Dalam perkembangannya dari zoea-1 ke zoea selanjutnya memerlukan waktu 3 sampai 4 hari. Setelah melewati 5 tingkat zoea dengan cara 5 kali molting (ganti kulit) terbentuklah fase megalopa berlangsung melalui perobekan pada bagian punggung yaitu cephalothorax dan abdomen. Larva kepiting pada zoea-1 berwarna transparan, panjang tubuh mencapai 1,15 mm, duri-duri rostrum 0, 35 mm, duri dorsal 0,48 mm, duri lateral 0,19 mm, mata menempel, antenulla tidak bersegmen serta pendek dan mempunyai 3 aesthetes panjang, antenna berduri panjang, exopodite antenne merupakan duri pendek dan seta panjang. Pada stadia zoea-2, panjang tubuh mencapai 1,51 mm, duri rostrum 0,39 mm, duri dorsal 0,54 mm, duri lateral 0,2 mm, mata bertangkai, antenulla dengan 4 aesthetes dan 2 seta pendek yang panjangnya tidak sama, antenna seperti pada zoea-1 tetapi ukurannya berbeda. Pada zoea-3 panjang tubuh mencapai 1,93 mm, duri rostrum 0,52 mm duri dorsal 0,63 mm, duri lateral 0,24 mm, antenulla seperti pada zoea-2 tetapi lebih besar, antenna merupakan kuncup kecil yang berpangkal pada flagellum. Pada zoea-4 duri dorsal mencapai 1,31 mm, duri lateral 0,32 mm, antenulla dengan kuncup, seluruh kaki jalan atau periopod bertambah panjang dan mulai bersegmen (Karim, 2013; Mardjono, 1994)
Fase kedua adalah megalopa, yang dalam perkembangannya dari zoea sampai megalopa berlangsung selama 18 hari sampai 20 hari. Pada fase
7
megalopa ukuran tubuhnya semakin membesar, panjang karapas 2,18 mm (termasuk duri rostral), lebar karapas 1,52 mm panjang abdomen 1,87 mm panjang tubuh total (termasuk duri rostral) 4,1 mm, mempunyai periopoda 5 pasang dan abdomen terdiri 7 segmen memanjang kebelakang. Selanjutnya stadia megalopa dalam perkembangannya untuk mencapai juvenil (crab-1), memerlukan waktu 11 sampai 12 hari (Karim, 2013; Mardjono 1994)
Fase ketiga adalah crablet atau juwana (kepiting muda) membutuhkan waktu kurang lebih 30-34 hari sejak telur menetas. Bentuk dan anggota tubuh crablet sudah seperti kepiting dewasa dan kebiasaannya cenderung di dasar perairan. Stadia keempat atau menjelang dewasa dicapai setelah mengalami molting kurang lebih 20 kali sejak dari zoea. Kepiting bakau mulai dewasa pada ukuran panjang karapas 42,70 mm (Mardjono, 1994).
Perkembangan Larva Kepiting Bakau
Kepiting bakau mengalami perkembangan mulai dari telur sampai mencapai mencapai ukuran dewasa dengan beberapa tingkat perkembangan, yaitu: zoea, megalopa, kepiting muda dan dewasa. Zoea adalah merupakan fase larva yang terdiri dari lima tingkatan, perkembangan larva kepiting dari stadia zoea-1 ke zoea selanjutnya memerlukan waktu 3 – 4 hari. Setelah melewati 5 tingkatan zoea dengan 5 kali moulting terbentuklah stadia megalopa.
Larva kepiting bakau mengalami enam kali metamorfosa sebelum mencapai kepiting muda dalam bentuk definitif, yakni: zoea-1, zoea-2, zoea-3, zoea-4, zoea-5 dan megalopa. Perkembangan dari stadia zoea ke megalopa berlangsung selama 18 sampai 20 hari. Pergantian kulit pada setiap stadia zoea berlangsung relatif cepat (3 sampai 4 hari), bergantung kepada kondisi lingkungan dan ketersediaan pakan.
Jumlah zoea yang dihasilkan pada setiap kali pemijahan bergantung
8
kepada ukuran induk dan frekuensi pemijahan. Semakin besar ukuran kepiting, semakin banyak jumlah telur. Seekor kepiting betina dengan bobot ± 500 gram dan memijah pertma kali untuk satu siklus reproduksi dapat menghasilkan ± 2000 000 telur. Telur kepiting baku sebaiknya ditetaskan pada suhu air laut 28 – 310C dan salinitas 30 – 35 ppt (Mardjono dkk.,1994).
Salinitas dan Osmoregulasi
Salintas merupakan konsentrasi total dari semua ion yang larut dalam air, dan dinyatakan dalam bagian perseribu (ppt) yang setara dengan gram per liter (Boyd, 1990). Sifat osmotik air berasal dari seluruh elektorik yang larut dalam air tersebut. Semakin tinggi salinitas, konsentrasi elektrolit makin besar, sehingga tekanan osmotiknya makin tinggi (McConnaughey dan Zottoli, 1983). Air larut mengandung 6 elemen terbesar, yaitu Cl, Na+, Mg2+, Ca2+, K, dan SO42- (lebih dari 90% dari garam total yang terlarut) di tambah elemen jumlahnya kecil (unsur mikro) seperti Br-, Sr2+, dan B+. Ion-ion yang dominan dalam menentukan tekanan osmotik (osmolaritas) air laut adalah Na+(450 mM) dan CI-(560 mM) dengan porsi 30.61 dan 55.04 persen dari total konsentrasi ion-ion terlarut (McConnaughey dan Zottoli 1983, Nybakken 1990, Boeuf dan Payan 2001, Mananes et al 2002).
Salinitas dapat mempengaruhi aktivitas fisiologis kepiting bakau. Dalam hubungannya dengan salinitas, kepiting bakau termasuk organisme akutik euryhaline yaitu mampu hidup pada rentan salinitas yang lebar. Menurut Chen dan Chia (1997) salinitas yang masih dapat ditolerir kepiting bakau yaitu 1 sampai 42 ppt sehingga digolongkan organisme akuatik tipe osmoregulator.
Osmoregulator adalah organisme yang mempunyai kemampuan mekanisme faali untuk menjaga kemantapan lingkungan internal dengan cara mengatur
9
osmolaritas (kandungan garam dan air) pada cairan internalnya (Karim, 2013;
Mantel dan Farmer, 1983).
Pada kondisi yang hipertonik, cairan tubuh kepiting bersifat hipoosmotik terhadap media hidupnya. Oleh karena itu, air dari cairan tubuhnya cenderung untuk bergerak keluar secara asmosis. Dalam kondisi tersebut kepiting akan berusaha mempertahankan osmolaritas cairan tubuh agar cairan internal tidak keluar dari selnya serta mencegah agar cairan urin tidak lebih pekat dari hemolimfenya. Dengan demikian, keping mengekstrak H2O dari medianya, dengan cara minum air atau memasukkan air lewat insangn dan kulit (pada saat ganti kulit). Di dalam saluran pencernaan, air dan ion terlarut itu diabsorbsi.
Kelebihan ion, terutama Na+ dan Cl- yang diambil oleh hemolimfe akan dikeluarkan oleh insang melalui sel-sel epitel (salt secreting epithelium), sehingga diperoleh air bebas ion untuk pembentukan urin dan keseimbangan osmotik cairan tubuh kepiting. Pengaturan cairan tubuh tersebut dilakukan dengan transpor aktif yang memerlukan sejumlah energi yang berasal dari ATP (Adenosin tri-fosfat) (Karim, 2013).
Pada kondisi lingkungan yang hipotonik, cairan tubuh kepiting bersifat hiperosmotik terhadap media eksternalnya. Pada kondisi tersebut, air dari media eksternalnya cenderung untuk menembus masuk kedalam bagian tubuh yang berlapis tipis, antara lain insang, usus, dan kulit (pada saat ganti kulit). Ion-ion cenderung berdifusi keluar tubuh dan cairan internal akan terancam kekurangan ion melalui ekskresi. Untuk mengatasi hal itu, kepiting akan berusaha mempertahankan kemantapan osmolaritas cairan tubuh dengan mekanisme regulasi hiperosmotik, yaitu dengan cara meningkatkan absorbsi ion (garam) dari media eksternal melalui insang dan usus, dan menghasilkan urin yang hipoosmotik melalui organ eksresi (kelenjar antena). Dalam hal ini alat eksresi
10
berfungsi sebagai pompa air ssehingga kelebihan volume air dalam cairan ekstrasel dapat dikeluarkan melalui urin yang hipoosmotik (Karim, 2013).
Pengaruh Salinitas pada Pemeliharaan Larva
Dalam perkembangan teknik pembenihan kepiting salah satu yang berperan penting adalah tingkat salinitas yang optimum dalam setiap perkembangan fase kepiting. Menurut Jantrarotai et al. (2002) mengemukakan bahwa salinitas 30 ppt memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup zoea kepiting bakau dengan persentase jumlah yang hidup sekitar 22,19%. Tingkat salinitas yang optimum akan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup zoea, selain itu kemampuan zoea untuk menjaga cairan tubuh terhadap lingkungannya juga berperan terhadap sintasan larva kepiting.
Menurut Nurdiani dan Zeng (2007) larva Scylla umumnya mentolelir berbagai salinitas dan suhu. Kombinasi suhu dan salinitas yang optimum untuk sintasan larva kepiting yaitu 25-31ºC dan 20-35 ppt.
Parameter kualitas air diantaranya salinitas membatasi faktor untuk menentukan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva kepiting.
Menjaga salinitas dalam budidaya kepiting merupakan faktor yang penting dalam meningkatkan kelangsungan hidup. Tetapi menjaga parameter ini sangat sulit dikarenakan curah hujan dan kondisi kelembapan akan mempengaruhi fluktuasi kualitas air yang akan mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup larva kepiting (Pedapoli dan Ramudu, 2014).
Hasil Penelitian Jantrarotai et al. (2002) zoea dipelihara pada salinitas masing masing 28, 30, 32 dan 34 ppt dikembangkan untuk tahap megalopa dengan sintasan masing-masing 13, 16, 22,19%. Pedapoli dan Ramudu (2014) mendapatkan perubahan salinitas yang tiba-tiba pada kisaran 8 ppt mengakibatkan kematian larva kepiting.
11
Salinitas merupakan masking factor bagi organisme akuatik yang dapat memodifikasi peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang berdampak terhadap organisme (Gilles dan Pequeux, 1983; Ferraris et al., 1986).
Hal ini sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme kepiting yang dapat berpengaruh pada tingkat pembelanjaan energi. Oleh sebab itu, pertumbuhan kepiting yang maksimum hanya dapat dihasilkan apabila penggunaan energi untuk metabolisme dapat diminimalisir.
Rasio RNA/DNA Pada Organisme
Pada hampir semua organisme, Deoxyribonucleid acid (DNA) adalah materi genetiknya, kecuali pada beberapa bakteriophage, virus dan beberapa tanaman yang materi genetiknya berupa Ribonucleid acid (RNA). Bentuk alami DNA adalah helix ganda dari dua rantai anti paralel yang mempunyai sekuen nukleotida yang komplementer. Lokasi basah saling berhadapan pada kedua rantai, Adenin hanya berhadapan dengan timin, guanin hanya dengan sitosin.
Sedangkan bentuk alami RNA adalah helix tunggal yang memiliki sekuen basa yang komplementer dengan DNA, namun basah timin pada DNA di ganti menjadi Urasil pada RNA (Fujaya, 2005).
RNA merupakan rantai panjang lurus yang berfungsi dalam sintesis protein. Terdapat 3 jenis RNA yaitu mRNA (messenger RNA atau RNA duta/RNAd), bertugas untuk mengkodekan kode genetik dari DNA untuk sintesis protein dan terdapat di anak inti sel. Sintesis protein adalah proses pembentukan protein dari monomer peptida yang diatur susunannya oleh kode genetik. Sintesi protein dimulai dari anak inti sel, sitoplpasma dan ribosom yang merupakan proses terbentuknya protein yang terdiri atas dua tahap yaitu transkripsi dan tahap translasi. Tahap transkripsi adalah tahap dimana pada saat pembentukan mRNA di dalamnukleus dari DNA templete dengan dibantu oleh enzim
12
polimerase. Tahap translasi adalah tahap dimana mRNA keluar dari inti sel dan bertemu dengan tRNA lalu dibantu oleh ribosom yang terdiri dari sub unit besar dan sub unit kecil (Yuwono, 2005).
Larva yang berada dalam kondisi yang baik cenderung untuk mempunyai perbandingan RNA/DNA yang tinggi dibandingkan yang memiliki kondisi yang kurang baik. Perbanadingan tersebut mencerminkan peristiwa perkembangan yang didasari peningkatan pertumbuhan sel dan jumlah sel (Karnila, 2012).
Pertumbuhan digambarkan sebagai penambahan jumlah sel (hiperplasia) dan ukuran sel (hipetrofi), dimana jumlah sel dapat diduga dari konsentrasi DNA pada jaringan, sedangkan konsentrasi RNA dapat digunakan untuk menduga ukuran sel. Adapun kandungan DNA relatif konstan dalam sel sedangkan konsentrasi RNA akan berfluktuasi tergantung dari sintesis protein. Dengan demikian, rasio RNA/DNA dapat dijadikan sebagai penduga bagi aktifitas sintesis protein yang berakhir dalam bentuk penambahan bobot (pertumbuhan). Hal tersebut didukung oleh beberapa hasil penelitian seperti yang dilaporkan oleh Blackley (1979) bahwa terdapat korelasi positif antara laju pertumbuhan larva ikan Atlantik cod (Gadus marhua) dengan rasio RNA/DNA, dimana rasio RNA/DNA meningkat seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan (Cangara, 2011).