• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SIKAP GURU TERHADAP KESANTUNAN BERBICARA PADA SISWA KELAS X.2 SMA NEGERI 2 BANTAENG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH SIKAP GURU TERHADAP KESANTUNAN BERBICARA PADA SISWA KELAS X.2 SMA NEGERI 2 BANTAENG"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

OLEH:

NASFRIYANDI SETIAWAN NIM: 10533 5536 09

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2014

(2)

vi

SURAT PERJANJIAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nasfriyandi Setiawan

NIM : 10533 5536 09

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:

1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai skripsi ini, saya akan menyusun sendiri skripsi saya (tidak dibuatkan oleh siapapun).

2. Dalam menyusun skrispsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan pembimbing yang telah ditetapkan oleh pemimpin fakultas.

3. saya tidak akan melakukan penjiplakan (plagiat) dalam penyusunan skripsi.

4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti pada butir 1, 2, dan 3, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.

Makassar, Juni 2014 Yang membuat perjanjian

Nasfriyandi Setiawan

.

(3)

vii

diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.

Kupersembahkan karya ini buat:

Kedua orang tuaku, saudaraku, dan sahabatku,

Atas keikhlasan dan doanya dalam mendukung penulis

Mewujudkan harapan menjadi kenyataan.

(4)

viii

Indonesia, Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Munirah dan Aliem Bahri.

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan pengaruh sikap guru terhadap kesantunan dalam berbicara pada siswa kelas X.2 SMA Negeri 2 Kabupaten Bantaeng dengan metode analisis korelasional.

Desain penelitian ini adalah penelitian survey dengan menggunakan analisis korelasional. Populasi penelitian adalah siswa kelas X.2 SMA Negeri 2 Kabupaten Bantaeng tahun ajaran 2013-2014 sebanyak 20 siswa dalam sekelas.

Teknik pengumpulan data yang diperoleh dari angket kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kuantitatif dan rumus yang penulis gunakan adalah rumus product moment.

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pengaruh sikap guru terhadap kesantunan dalam berbicara pada siswa kelas X.2 SMA Negeri 2 Kabupaten Bantaeng sangat besar pengaruh atau dampak yang ditimbulkan. Hal ini dibuktikan setelah dianalisis dengan koefisien korelasi product moment, ternyata koefisien korelasi yang diperoleh melalui data sebesar 0,810. Ini berarti nilai r hitung lebih besar dari nilai r tabel yaitu 0,810 > 0,444 taraf signifikansi 5%

dan 0,810 > 0,561 taraf signifikansi 1% pada N=20 sehingga hipotesis dapat diterima.

Kata kunci: Pengaruh sikap guru terhadap kesantunan dalam berbicara pada siswa kelas X.2 SMA Negeri Bantaeng.

(5)

ix Assalamu ‘Alaikum Wr.Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah swt atas segala limpahan Rahmat dan karunia-Nya yang telah di limpahkan kepada hambanya dalam setiap langkah dalam hidup ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang direncanakan.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Sikap Guru terhadap Kesantunan dalam Berbicara pada Siswa Kelas X.2 SMA Negeri 2 Bantaeng” disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar. Selain itu, skripsi ini disusun sebagai wujud perhatian penulis terhadap upaya pengembangan kualitas pendidikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak mengandung kekurangan baik dalam teknik penulisan maupun dalam penyajian isi. Oleh karena itu, diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna memperbaiki kesalahan yang ada. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan rasa syukur dan terima kasih yang tulus kepada Dr. Munirah, M.Pd, selaku pembimbing pertama dan Aliem Bahri, S.Pd., M.Pd, selaku pembimbing kedua yang telah membimbing dan mengoreksi baik penulisan maupun penyajian isi skripsi.

Terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga pula ditujukan teristimewa kepada Orang Tua dan seluruh keluarga tercinta atas segala do’a dan bantuan baik moril maupun materil, Dr. H. Irwan Akib, M.Pd. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr.

Munirah, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar, Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

(6)

x

Indonesia S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNISMUH khususnya kelas A angkatan 09 yang telah menunjukkan kerja samanya dalam kegiatan perkuliahan maupun dalam penulisan skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada pihak lain yang tak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu. Dengan iringan do’a semoga Allah swt memberikan balasan kepada mereka atas segala kebaikan yang diberikan kepada penulis. Amin.

Atas segala perhatian dan kerja sama penulis mengucapkan banyak terimah kasih.

Wassalamu Alaikum Wr. Wb

Makassar, Juni 2014

Penulis

(7)

xi

HALAMAN JUDUL ... ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

SURAT PERNYATAAN ... ... v

SURAT PERJANJIAN ... vi

MOTO ... ... vii

ABSTRAK ... ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka ... 6

1. Hasil Penelitian yang Relevan .. ... 6

2. Hakikat Berbicara ... 8

3. Sikap dan Santun Berbahasa ... 15

(8)

xii

B. Kerangka Pikir ... 34

C. Hipotesis Penelitian ... 36

BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ...……….…... 37

B. Populasi, Sampel Dan Responden ... 38

a. Populasi ... 38

b. Sampel ... ... 39

C. Teknik Pengumpulan Data ……….. 40

D. Waktu Dan Tempat Penelitian ... 40

E. Instrumen Penelitian ……… 40

F. Analisis Data ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data Pertama... 43

B. Analisis Data Kedua... 46

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 47

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 49

B. Saran ... 50 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(9)

xiii

(10)

xiv

4.1 Interval nilai angket sikap guru pada siswa... 43

4.2 Frekuensi nilai angket sikap guru pada siswa. ... 44

4.3 Interval nilai angket kesantunan dalam berbicara ... 45

4.4 Frekuensi nilai angket kesantunan dalam berbicara. ... 45

4.5 Nilai Product Moment... ... 46

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan adalah suatu sistem yang berhadapan langsung dengan kebutuhan masyarakat dan tidak jarang menghadapi kendala yang bersumber dari dalam maupun dari luar. Kendala yang bersumber dari dalam meliputi kurikulum, efektifitas guru, siswa, metode pengajaran, sarana dan prasana. Sementara kendala yang bersumber dari luar meliputi lingkungan sekolah, masyarakat dan keluarga.

Kendala-kendala tersebut merupakan suatu konsep yang sangat mempengaruhi tingkat pemahaman, kecerdasan dan peningkatan hasil belajar siswa. Selain mempengaruhi tingkat pengetahuan siswa, kendala yang bersumber dari luar diri siswa misalnya efektifitas dan sikap guru juga mempengaruhi nilai-nilai kognitif dan psikomotorik siswa (Hamalik, 2009: 59).

Efektifitas guru merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam proses pengembangan kreatifitas peserta didik. Efektifitas guru dalam proses pembelajaran termasuk di dalamnya sikap guru baik pada saat proses pembelajaran berlangsung maupun di luar proses pembelajaran. Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal.

Guru merupakan satu komponen manusiawi dalam proses pembelajaran yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial dalam bidang pembangunan. Pembangunan dalam dunia pendidikan

1

(12)

mencakup pembangunan karakter siswa menuju manusia yang mampu diandalkan dalam mengisi pembangunan nasional. Oleh karena itu, guru merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan yang berperan secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pendidikan dan teknologi seperti dewasa ini (Soekamto, 2009: 125).

Mudjiono (2009: 170) menambahkan bahwa seorang guru yang profesional dan memiliki integritas tentunya harus memandang peningkatan nilai afektif, kognitif dan psikomotik sebagai suatu tujuan utama dalam proses pembelajaran di sekolah. Guru hendaknya memiliki tanggungjawab penuh untuk menyalurkan nilai-nilai yang berbau spiritual dan intelektual kepada peserta didik agar nantinya menjadi manusia yang penuh dengan kewibawaan, kesantunan dan keramahan. Ironisnya kekawatiran di dunia pendidikan kini menyeruak ketika menyaksikan tawuran antar pelajar yang bergejolak dimana-mana.

Dunia pendidikan yang harusnya penuh dengan kasih saying, tempat untuk belajar tentang moral, budi pekerti justru sekarang ini dekat dengan tindak kekerasan dan asusila. Dunia yang seharusnya mencerminkan sikap-sikap intelektual, budi pekerti dan menjunjung tinggi nilai moral, justru telah dicoreng oleh segelintir oknum pendidik (guru) yang tidak bertanggung jawab.

Realita ini mengandung pesan bahwa dunia guru harus segera melakukan evaluasi ke dalam. Seperti sudah waktunya dunia pendidikan untuk melakukan pelurusan kembali atas pemahaman dalam memposisikan profesi guru (Boeree, 2010: 56). Kesalahan guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan

(13)

bergesernya fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak sama-sama membawa kepentingan dan saling membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana proses pembelajaran menjadi tidak menyenangkan, membosankan dan jauh dari suasana yang membahagiakan.

Dari sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara- cara yang tidak benar. Namun pada hakekatnya ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal (Soekamto, 2009:125). Minat, bakat, kemampuan dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) termasuk di dalamnya kesantunan dalam berbicara baik ketika siswa berbicara di dalam kelas maupun di luar kelas.

Kesantunan siswa dalam berbicara merupakan salah satu bagian dari tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, di mana siswa dapat berbicara dengan santun jika guru mata pelajaran mampu memberikan contoh yang terbaik bagi pada saat proses pembelajaran. Kurang meningkatnya kesantunan siswa dalam berbahasa Indonesia disebabkan oleh sikap guru yang tidak memperlihatkan nilai- nilai yang patut untuk dicontoh oleh siswa.

(14)

SMA Negeri 2 Kabupaten Bantaeng merupakan lembaga pendidikan formal yang bertujuan menciptakan siswa yang cerdas, pandai dan santun dalam berbicara sebagai salah satu tujuan dari proses pembelajaran bahasa Indonesia.

Kesantunan siswa dalam berbicara tentunya harus didukung oleh sikap guru yang mencerminkan seorang guru yang memiliki kode etik dan integritas dan profesionalisme sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing.

Pada pemaparan di atas, dengan sadar peneliti mencoba melakukan suatu penelitian dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia yang menyangkut tentang kesantunan berbicara siswa dengan judul “Pengaruh Sikap Guru Terhadap Kesantunan dalam Berbicara pada Siswa Kelas X.2 SMA Negeri 2 Kabupaten Bantaeng”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah Pengaruh Sikap Guru Terhadap Kesantunan Berbicara pada Siswa Kelas X.2 SMA Negeri 2 Kabupaten Bantaeng?”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sikap guru terhadap kesantunan berbicara pada siswa kelas X.2 SMA Negeri 2 Kabupaten Bantaeng.

(15)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Komunikasi merupakan hal yang sangat pokok dalam menyampaikan sesuatu. Yang disampaikan akan bisa diterima secara efektif bila materi dan cara penyampaiannya dilakukan dengan baik. Untuk dapat menyampaikan dengan baik, perlu dilakukan dengan cara sikap dan tutur bahasa yang santun.

2. Sebagai referensi bagi pelaku pendidikan dalam proses pembelajaran dilakukan oleh guru haruslah berdasarkan kaidah dan tata cara penyampaian yang santun, baik isi, bahasa, cara menyampaikan, maupun mimik dan gerak geriknya.

3. Bahan informasi yang dapat menambah wawasan peneliti dan pelaku pendidikan tentang pengaruh sikap guru terhadap kesantunan siswa dalam berbicara.

4. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya

(16)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka

1. Hasil Penelitian yang Relevan

Sebelum melakukan penelitian ini, penulis mengadakan kajian terhadap penelitian yang sudah ada. Sejauh ini penulis belum pernah menemukan penelitian yang mengkaji tentang permasalahan yang persis sama dengan permasalahan yang penulis kaji. Walaupun demikian terdapat beberapa penelitian yang bahasannya berhubungan dengan permasalahan yang penulis bahas. Untuk lebih jelasnya, berikut ini penulis sebutkan beberapa hasil penelitian diantaranya adalah:

Skripsi berjudul “ Perbedaan Tingkat Kesantunan Berbahasa Aspek Berbicara dan Menulis Hasil Belajar Menggunakan Buku Ajar Santun Berbahasa Indonesia dan Bahasa Indonesia (BSE) pada Siswa Kelas VII SMP dengan Model Pertemuan Kelas “ yang ditulis oleh Prima Astuti Th (2011), dalam skripsi ini dijelaskan bahwa buku ajar Bahasa Indonesia, sebagai media pendidikan berperan sangat vital untuk mencapai tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah supaya siswa tidak verbalistis, bergairah belajar, berinteraksi dengan sumber belajar, bersikap positif terhadap materi pembelajaran, terutama untuk memperoleh pengalaman bahasa dan bertindak dengan bahasa. Namun, buku ajar Bahasa Indonesia yang digunakan di sekolah-sekolah belum eksplisit bermuatan kesantunan berbahasa, baik dalam komponen materi, penyajian, dan petunjuk melaksanakan tugas dan latihan. Efeknya, kesantunan berbahasa siswa terutama pada aspek berbicara dan menulis masih rendah.

6

(17)

Kesantunan berbahasa sangat penting dan harus diajarkan kepada siswa SMP. Ini sejalan dengan program pemerintah: pendidikan budi pekerti di sekolah- sekolah. Dengan demikian sebaiknya (1) guru memilih bahan ajar dan buku ajar pelajaran Bahasa Indonesia yang bermuatan kesantunan berbahasa, seperti buku ajar Santun Berbahasa Indonesia, (2) guru mulai menyusun bahan ajar bahasa Indonesia yang integrated kesantunan berbahasa, (3) guru dan pendidik menjadi panutan dan teladan dalam aspek kesantunan berbahasa bagi siswa.

Skripsi yang berjudul “Keterampilan Berbicara Dengan Teknik Masyarakat Belajar (Learning Community) Siswa Kelas Xi Is-3 SMA Negeri 2 Makassar” dikemukakan oleh La Halisi (2008) bahwa Keterampilan berbicara merupakan sesuatu yang vital dalam suatu masyarakat yang terpelajar, dibanding aspek keterampilan berbahasa lainnya. Sejalan dengan proses belajar yang efektif, pembelajaran bahasa Indonesia pada dasarnya bertujuan meningkatkan kemampuan siswa menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Oleh karena itu, keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang perlu dimiliki oleh seseorang dalam kegiatan- kegiatan yang menuntut keterampilan berbicara/dialog baik dalam lingkungan keluarga maupun di luar lingkungan keluarga. Bahkan, kadang-kadang terjadi adu argumentasi dalam suatu forum tertentu, jadi, dalam semua situasi dituntut keterampilan berbicara setiap individu yang ikut berpartisipasi.

Berdasarkan tinjauan kepustakaan yang peneliti deskripsikan diatas, peneliti akan gunakan sebagai rujukan dalam meneliti tentang Pengaruh Sikap

(18)

Guru Terhadap Kesantunan dalam Berbicara pada Siswa Kelas X.2 SMA Negeri 2 Kabupaten Bantaeng.

2. Hakikat berbicara

Berbicara adalah sebagai sesuatu yang berhubungan dengan tindakan menyatakan sesuatu kepada seseorang dalam bentuk ujaran (bahasa lisan) (Tarigan, 1996). Hal tersebut berkaitan dengan perbedaan antara kompetensi (competence) dan performansi (performance) yang dikemukakan oleh Chomsky (dalam Stern, 1983). Gagasan kompetensi berhubungan dengan pengetahuan ini harus diungkapkan melalui performansi (Clark dan Clark, 1977). Selanjutnya, Widdowson (1985) menggambarkan usage sebagai satu aspek performansi tempat pengguna bahasa menunjukkan pengetahuannya mengenai aturan linguistik. Use adalah performa lain tempat pengguna bahasa menunjukkan kemampuannya untuk menggunakan pengetahuannya mengenai aturan linguistik bagi komunikasi yang efektif. Berkenaan dengan usage, berbicara sebagai keterampilan produktif tertinggal di belakang kecakapan reseptif, bergantung pada siswa, cara ia mengalami kemajuan dalam pembelajaran bahasanya dan kompleksitas bahan linguistiknya. Jadi, berbicara dan menulis selalu berada di belakang kecakapan reseptif.

Clark dan Clark (1977) mengemukakan bahwa berbicara merupakan suatu aktivitas instrumenta. Pembicaraan mengatakan sesuatu dalam suatu suasana untuk memberikan efektif kepada pendengar atau untuk menambah pengetahuan mereka, seperti memberi pertanyaan agar untuk mengkomunikasikan gagasan- gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan

(19)

pendengar atau penyimak. Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi.

Agar dapat makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan; dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap pendengarnya; dia harus mampu mengevaluasikan prinsip-prinsip yang mendasarkan segala situasi pembicaraan.

Pengertian lain mengenai berbicara terdapat dalam Depdiknas (2003a). Di sana dinyatakan bahwa kemampuan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan gagasan, pendapat, dan perasaan kepada pihak lain secara lisan, ketepatan penggunaan gagasan, pendapat, dan perasaan sebaiknya didukung oleh penggunaan bahasa secara tepat, dalam arti sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku.

Untuk memperdalam pemahanan mengenai kemampuan berbicara,

diuraikan konsep dasar berbicara menurut Tarigan, dkk (1997), yaitu:

(1) berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal, (2) berbicara adalah proses individu berkomunikasi, (3) berbicara adalah ekspresi yang kreatif, (4) berbicara adalah tingkah laku, (5) berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari, (6) berbicara distimulasi oleh pengalaman, (7) berbicara alat untuk memperluas cakrawala, (8) kemampuan linguistik dan lingkungan, dan (9) berbicara adalah pancaran kepribadian.

Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa berbicara adalah aktivitas manusia dengan bahasanya yang terwujud dalam kegiatan berkomunikasi secara lisan. Oleh karena itu, retorika pada hakikatnya senantiasa berkaitan dengan manusia dalam berkomunikasi. Berkomunikasi yang dimaksud adalah kegiatan berkomunikasi yang dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai

(20)

alatnya. Atas dasar itu, berbicara dapat dipahami sebagai seni kemampuan menyatakan pendapat, mengemukakan gagasan, menyampaikan informasi kepada orang lain secara efektif dengan menggunakan bahasa lisan sebagai alatnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam proses belajar mengajar, seorang guru harus mampu memahami dan memperhatikan keseimbangan konsep dasar berbicara tersebut. sebagai pihak yang paling berkompeten, efektif, dan berperan, gurulah yang paling mengetahui, memahami, dan menghayati betapa pentingnya keterampilan berbicara bagi seorang siswa.

Untuk menjadi pembicara yang baik, seorang pembicara harus memberikan kesan bahwa ia menguasai masalah yang dibicarakan dan memperhatikan keberaniannya, selain itu, pembicaraan juga harus berbicara dengan jelas dan tepat. Agar kegiatan berbicara menjadi efektif, seorang pembicara harus memperhatikan aspek-aspek berbicara, yaitu aspek kebahasaan dan aspek pengungkapan.

1) Aspek kebahasaan

Aspek kebahasaan yang menunjukkan keterampilan berbicara diuraikan berikut ini.

a) Lafal. Menurut Arsyad dan Mukti (1988), secara resmi lafal standar bahasa Indonesia belum ada. Namun, dalam Seminar Bahasa Indonesia tahun 1968, Seminar Politik Bahasa Nasional tahun 1975, dan beberapa karangan, secara tidak langsung tampak kecenderungan mengenai kehadiran lafal yang dapat

(21)

dijadikan lafal standar bahasa Indonesia. Lafal yang demikian itu dirumuskan sebagai lafal yang tidak memperhatikan ciri-ciri lafal bahasa daerah.

Meskipun penstandaran lafal dalam bahasa Indonesia dianggap sulit, tetapi patut dicatat bahwa usaha menuju lafal baku bahasa Indonesia telah dimulai oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Salah satu tujuan penstandaran lafal bahasa Indonesia ialah pemakaiannya secara merata di kalangan pemakai bahasa Indonesia dalam situasi-situasi yang menghendaki penggunaan lafal standar tersebut, misalnya dalam komunikasi resmi, komunikasi teknik, dan penghormatan.

Seorang pembicara mengucapkan bunyi-bunyi bahasa sastra secara tepat.

Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian pendengar. Setiap pembicara mempunyai gaya tersendiri dan gaya bahasa yang dipakai berubah-ubah sesuai dengan pokok pembicaraan, perasaan, dan sasaran.

Tetapi, kalau perbedaan atau perubahan itu terlalu mencolok, sehingga menjadi suatu penyimpangan, maka keefektifan berbicara menjadi terganggu. Misalnya, pembicara menambahkan bunyi-bunyi tertentu di belakang suku kata atau di belakang kata, seperti kata “jembatan” diucapkan “jembatang”, kata “makan”

diucapkan “makang”. Tambahan bunyi seperti itu dapat mengalihkan perhatian pendengar. Sehingga mengurangi keefektifan berbicara.

b) Kosakata. Kegiatan komunikasi merupakan jalinan kata-kata dalam suatu konstruksi yang lebih besar berdasarkan kaidah sintaksis yang ada dalam suatu bahasa. Hal yang paling penting dari rangkaian kata-kata tersebut adalah pengertian (makna) yang tersirat di balik kata yang digunakan itu. Setiap anggota

(22)

masyarakat yang terlibat dalam kegiatan komunikasi, selalu berusaha agar orang lain dapat memahaminya. Di samping itu, ia juga harus bisa memahami orang lain. Dengan cara ini, dapat terjalin komunikasi yang baik dan harmonis.

Untuk mewujudkan komunikasi yang baik dan harmonis, seorang pembicara harus memiliki kosakata yang luas. Kata merupakan alat penyalur gagasan, ini berarti bahwa semakin banyak kata yang dikuasai seseorang semakin banyak pula ide atau gagasan yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya. Namun, yang perlu diperhatikan adalah cara memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan ide dan gagasan tersebut. Pilihan kata inilah yang disebut dengan diksi.

Kridalaksana (2001) menyatakan diksi adalah pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertetu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang-mengarang. Lebih lanjut, Keraf (2004) menyatakan bahwa diksi adalah:

(1) kata-kata yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, cara membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya yang paling baik digunakan dalam suatu situasi, (2) kemampuan membedakan secara tepat nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menentukan bentuk yang serasi (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar, dan (3) pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu.

Pendengar lebih tertarik dan senang mendengarkan kalau pembicara berbicara dengan jelas dalam bahasa yang dikuasainya. Selain itu, pilihan kata

(23)

juga harus disesuaikan dengan pokok pembicaraan. Kalau pokok pembicaraan masalah ilmiah, pemakaian istilah tidak dapat dihindari dan pendengar pun dapat memahaminya karena pendengarnya juga orang-orang tertentu. Oleh karena itu, dalam berbicara pilihan kata hendaknya tepat, jelas, dan bervariasi. Pilihan kata harus jelas maksudnya dan mudah dimengerti oleh pendengar, serta disesuaikan dengan pokok pembicaraan.

c) Tata bahasa. Ketepatan penggunaan tata bahasa menyangkut pemakaian kalimat efektif. Pembicaraan yang menggunakan kalimat efektif akan memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraannya. Arsyad dan Mukti (1988) mengemukakan bahwa kalimat efektif mempunyai ciri keutuhan, perpautan, pemusatan, perhatian, dan kehematan. Ciri keutuhan akan terlihat jika setiap kata betul-betul merupakan bagian yang padu dari sebuah kalimat.

Perpautan, bertalian dengan hubungan unsur-unsur kalimat, misalnya antara kata dengan kata, frase dengan frase, dalam sebuah kalimat. Hubungan itu harus jelas dan logis. Pemusatan perhatian pada bagian yang penting dalam kalimat dapat dicapai dengan menempatkan bagian tersebut pada awal atau akhir kalimat, sehingga bagian ini mendapat tekanan pada waktu berbicara. Selain itu, kalimat efektif juga harus hemat dalam pemakaian kata, sehingga tidak ada kata yang mubazir, artinya tidak berfungsi sehingga harus dibuang.

Sebuah kalimat yang efektif mempersoalkan cara ia mewakili secara tepat isi pikiran atau perasaan pembicaraan secara segar dan sanggup menarik perhatian pendengar terhadap sesuatu yang dibicarakan. Kalimat yang efektif memiliki kemampuan atau tenaga untuk menimbulkan kembali gagasan pada pikiran

(24)

pendengar identik dengan sesuatu yang dipikirkan pembicara. Di samping itu, kalimat efektif selalu tetap berusaha agar gagasan pokok selalu mendapat tekanan atau menonjol dalam pikiran pendengar.

Untuk dapat menciptakan kalimat yang efektif, selain kerangka sintaksis dan kosakata, diperlukan juga syarat-syarat lain. Syarat-syarat tersebut adalah kesatuan gagasan, koherensi yang lengkap, penekanan, variasi, paralelisme, dan penalaran atau logika.

Kalimat dikatakan efektif jika mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan berlangsung sempurna. Kalimat efektif mempunyai isi atau maksud yang disampaikan tergambar lengkap dalam pikiran pendengar persis seperti sesuatu yang dimaksud oleh pembicara. Di samping itu, seorang pembicara harus mengetahui pendengarnya dan menyesuaikan gaya kalimatnya dengan pendengarnya, dengan memperhatikan ciri kalimat efektif.

2) Aspek pengungkapan

Selain aspek kebahasaan, keterampilan berbicara juga didukung oleh aspek pengungkapan, bahkan dalam pembicaraan formal, aspek pengungkapan sangat mempengaruhi keterampilan berbicara. Dalam proses belajar mengajar berbicara, aspek pengungkapan juga perlu diperhatikan. Aspek pengungkapan yang dimaksud adalah frekuensi (kefasihan/kelancaran) dalam berbicara.

Arsyad dan Mukti (1988) mengungkapkan bahwa pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan menangkap isi pembicaraannya. Seringkali ada pembicara yang berbicara terputus-putus, bahkan antara bagian-bagian yang

(25)

terputus itu diselipi bunyi-bunyi tertentu yang sangat mengganggu pendengar, misalnya bunyi “ee”, “oo”, dan sebagainya, sebaliknya, pembicara yang terlalu cepat berbicara juga menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicaraan.

Aspek keterampilan berbicara yang menjadi fokus dalam penelitian ini ada dua, yaitu aspek kebahasaan dan aspek pengungkapan, aspek kebahasaan menyangkut lafal, kosakata, dan tata bahasa. Sedangkan, aspek pengungkapan adalah fluensi (kefasihan/kelancaran). Dalam pembelajaran keterampilan berbicara, kedua aspek inilah yang harus mendapat perhatian oleh guru, agar siswa dapat memiliki keterampilan berbicara yang memadai sesuai dengan tuntutan standar kompetensi dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Pelaksanaan penilaian kemampuan berbicara juga sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan siswa, baik dari segi kemampuan berbahasa maupun berpikirnya. Jika kemampuan berbahasa siswa masih sederhana, tugas berbicara yang diberikan masih bersifat “membimbing” misalnya berbagai dialog sederhana, berbicara dengan rangsangan gambar (visual), atau buku-buku bacaan sederhana, dan sebagainya. Sebaliknya, jika kemampuan berbahasa berbahasa siswa sudah lebih tinggi, tugas berbicara yang diberikan dapat lebih bebas, seperti tugas diskusi, berpidato, wawancara, berbicara dengan rangsangan buku yang lebih kompleks, dan sebagainya.

3. Sikap dan Santun Berbahasa a. Pengertian Sikap

Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek tersebut. Manifestasi sikap

(26)

tidak dapat langsung dilihat, akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang masih tertutup dan dalam penggunaan praktis, sikap sering dihadapkan pada rangsang sosial dan reaksi yang bersifat emosional.

Sikap dalam Kamus Bahasa Inggris adalah attitude (Mar‟at, 1984: 10-12).

Sedangkan menurut Adryanto dan Savitri Soekrisno (1999: 137) Sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman, yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya.

Dalam “The Penguin Dictionary of Psychology” dijelaskan bahwa attitude is some internal affective orientation that would explain the actions of a person. Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa sikap adalah beberapa orientasi kecenderungan internal, yang menjelaskan tentang perbuatan manusia (S. Reber dan Emily Reber, 2001: 63). Pandangan itu mengisyaratkan bahwa sikap bukan merupakan suatu tindakan melainkan merupakan kecenderungan perilaku.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa sikap adalah kecenderungan bertindak terhadap rangsangan yang datang dari lingkungan sosial seorang subyek. Kecenderungan itu dapat bersifat positif yang berupa perilaku menerima obyek maupun negatif yang berupa perilaku menolak obyek.

Menurut Adryanto dan Savitri soekrisno (1999: 137) bahwa sikap terhadap obyek, gagasan atau orang tertentu merupakan orientasi yang bersifat menetap dengan komponen-komponen kognitif efektif. Perilaku komponen kognitif terdiri dari kognisi yang dimiliki seseorang mengenai obyek sikap tertentu, fakta,

(27)

pengetahuan dan keyakinan tentang obyek. Komponen efektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap obyek, terutama penilaian. Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek.

Menurut Bimo Walgito (1999: 15) sikap mengandung 3 komponen yang membentuk struktur sikap yaitu :

a. Komponen Kognitif (Komponen Perseptual)

Komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap obyek sikap.

b. Komponen Afektif (Komponen Emosional)

Komponen yang berhubungan dengan rasa senang/tidak senang terhadap obyek sikap. Rasa senang merupakan hal positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.

c. Komponen Konatif (Komponen Perilaku atau Action Component)

Komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap obyek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap obyek sikap.

1) Faktor intern

Faktor yang terdapat dalam diri seseorang yang bersangkutan seperti selektifitas kita tidak dapat menangkap seluruh rangsang dari luar melalui persepsi kita. Oleh karena itu, kita harus memilih rangsang mana yang akan kita dekati dan

(28)

mana yang harus dijauhi. Pilihan ini ditentukan oleh motif-motif dan kecenderungan dalam diri kita, karena harus memilih inilah kita menyusun sikap positif terhadap satu hal dan membentuk sikap negatif terhadap hal lainnya.

2) Faktor ekstern

Sikap ditentukan pula oleh faktor-faktor yang berada di luar, seperti:

a. Sikap objek yang dijadikan sasaran sikap

b. Kewibawaan orang yang mengemukakan suatu sikap

c. Sifat-sifat orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut d. Media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap e. Situasi pada saat sikap terbentuk

Krech (1982 : 185) mengemukakan 4 dalil pembentukan sikap:

a. Attitudes develop in the process of want satisfaction

b. Attitudes of the individual are shaped by the information to which he is exposed

c. The group affiliations of the individual help determine the formation of his attitudes

d. The attitudes of the individual reflect his personality.

Dalil pertama menunjukkan bahwa sikap berkembang dalam rangka memuaskan suatu keinginan atau kebutuhan, informasi memegang peranan penting dalam pembentukan sikap seseorang, peranan partisipasi individu dalam kelompok akan membantu pembentukan sikap seseorang terhadap suatu objek, dan sikap individu terhadap suatu objek sikap merupakan pencerminan dari kepribadiannya.

(29)

b. Pengertian Santun Berbahasa

Depertemen Pendidikan Nasioanal (2005: 997) menyatakan bahwa santun dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya, sabar, dan tenang, sopan).

Menurut Moeliono (1984: 68) bahasa santun berkaitan dengan tata bahasa dan pilihan kata, yaitu penutur bahasa menggunakan tata bahasa yang baku, mampu memilih kata-kata yang sesuai dengan isi atau pesan yang disampaikan dan sesuai juga dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Bahasa yang tidak santun adalah bahasa yang kasar, melukai perasaan orang, kosa kata yang membuat tidak enak orang yang mendengarkan. Karena itu bahasa santun berkaitan dengan perasaan dan tata nilai moral masyarakat penggunanya.

Sofyan Sauri (2006: 75) berpendapat bahwa kesantunan bahasa dalam Al Qur‟an berkaitan dengan cara pengucapan, perilaku, dan kosa kata yang santun serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan penutur. Santun dalam istilah Al Qur‟an bisa diidentifikasikan dengan akhlak dari segi bahasa karena akhlak berarti ciptaan, atau apa yang tercipta, datang, lahir dari manusia dalam kaitan dengan perilaku. Perbedaan santun dan akhlak dapat dilihat dari sumber dan dampaknya. Dari segi sumber, akhlak datang dari Allah, sedangkan santun dari masyarakat/budaya. Dari segi dampak dapat dibedakan kalau akhlak dampaknya dipandang baik oleh manusia sekaligus baik dalam pandangan Allah SWT, sedangkan santun dipandang baik oleh masyarakat, tetapi tidak selalu dipandang baik oleh Allah SWT.

(30)

Berbahasa santun menuntut proses pembelajaran bukan hanya mengajarkan kosa kata dan kalimat bahasa yang santun tetapi menuntut penghayatan terhadap norma yang mendasarinya. Bahasa santun menuntut gerak isyarat (gesture) dan mimik sesuai dengan kosa kata atau kalimat yang diucapkannya. Seseorang dapat melakukan kesantunan semacam itu, jika telah terjadi penghayatan yang mendalam terhadap nilai dan norma yang melingkupinya. Proses penghayatan bukan hanya melibatkan pikiran saja, tetapi juga perasaan- perasaan, sehingga nuansa berbahasa dapat dihayati dan dialami dengan sempurna. Proses pendidikan seperti itu bukan proses transformasi pengetahuan, melainkan penanaman, penghayatan, pertimbangan dan aktualisasi nilai- nilai.

Mansoer Palted (1987: 26) mengemukakan bahwa sikap berbahasa ditekankan pada kesadaran diri dalam menggunakan bahasa secara tertib, tiap orang harus disadarkan untuk bertanggung jawab terhadap bahasa ibunya dan bahasa nasionalnya. Ciri-ciri orang yang bertanggung jawab terhadap suatu bahasa dan pemakai bahasa adalah:

a. Selalu berhati-hati menggunakan bahasa

b. Tidak merasa senang melihat orang yang menggunakan bahasa secara serampangan

c. Memperingatkan pemakai bahasa kalau ternyata ia membuat kekeliruan d. Tertarik perhatiannya kalau orang menjelaskan hal yang berhubungan

dengan bahasa

e. Dapat mengoreksi pemakaian bahasa orang lain

(31)

f. Berusaha menambah pengetahuan tentang bahasa tersebut g. Bertanya kepada ahlinya kalau menghadapi persoalan bahasa.

Jelas disini bahwa tiap orang diusahakan bukan saja harus mencintai bahasanya melainkan juga menggunakan bahasanya secara tertib. Mereka harus sadar bahwa bahasa itu akan diwariskan lagi kepada generasi sesudah dia.

Tanggung jawab bahasa bukan saja terbatas pada pemilihan kata dan kalimat yang baik, melainkan juga bagaimana caranya mengucapkan kata dan kalimat itu.

Menurut Sofyan Sauri (2006: 134-135) berbahasa santun pada dasarnya adalah keterampilan yang merupakan akumulasi dari penghayatan terhadap nilai atau dengan kata lain adalah bentuk tingkah laku yang telah melalui proses penghayatan dan pemaknaan terhadap nilai. Sebagai bahasa, kesantunan itu harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari- hari dalam konteks komunikasi sosial.

Karena itu bahasa santun di didikan untuk dilaksanakan secara praktis dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain pembinaan bahasa santun adalah pembelajaran bahasa yang memiliki kegunaan praktis yaitu kemampuan dan ketrampilan yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dilihat dari segi ketrampilan, berbahasa santun merupakan keterampilan yang harus dimiliki setiap orang sebagai warga dan anggota masyarakat yang bertata nilai. Bahasa santun menjadi ciri manusia yang memahami dan menghayati nilai-nilai budaya dan agama. Orang yang berbahasa santun akan mampu menempatkan dirinya ditengah-tengah masyarakat sebagai anggota masyarakat yang baik dan memberi manfaat bagi lingkungannya.

(32)

Etika berbahasa menurut pendapat Choer dan Leonie Agustina (1995: 226- 227) bahwa erat kaitannya dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. Oleh karena itu, etika berbahasa ini antara lain mengatur :

a. Apa yang harus dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada seorang partisipan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat.

b. Ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi sosiolinguistik dan budaya.

c. Kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dan menyela pembicaraan orang lain.

d. Kapan kita harus diam.

e. Bagaimana kualitas suara atau sikap fisik kita dalam berbicara.

Butir-butir aturan dalam beretika berbahasa di atas tidaklah merupakan hal yang terpisah, melainkan merupakan hal yang menyatu di dalam tindak laku berbahasa.

Kesantunan berbahasa menjadi dasar bagi penutur untuk mencapai komunikasi yang baik dengan mitra tutur sehingga apa yang ingin disampaikan dapat tersampaikan dengan baik. Konsep kesantunan berbahasa itu kemudian berkembang menjadi teori kesantunan berbahasa. Teori ini dikembangkan oleh Leech yang memperkenalkan sejumlah maksim yang berhubungan dengan kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa juga dapat ditelaah dari ilmu sosiopragmatik. Sosiopragmatik adalah telaah yang berfokus pada keberadaan

(33)

budaya setempat atau kultur local (Rahardi, 2009: 5). Sejalan dengan Rahardi, Tarigan (2009: 25) menyatakan “Sosiopragmatik adalah telaah mengenai kondisi- kondisi „setempat‟ atau kondisi-kondisi „lokal‟ yang lebih khusus mengenai pengguanaan bahasa. Penggunaan bahasa dipengaruhi oleh kondisi-kondisi tempat bahasa tersebut digunakan”.

Jadi, sosiopragmatik adalah disiplin ilmu yang membahas penggunaan bahasa berdasarkan kondisi tempat atau kondisi local yang melatarbelakangi penggunaan bahasa. Kesantunan suatu bahasa dapat dipengaruhi oleh kondisi atau tempat penggunaan bahasa tersebut. Oleh karena itu, kesantunan bahasa termasuk dalam kajian sosiopragmatik

4. Bahasa sebagai Alat Komunikasi a. Pengertian Bahasa

Bahasa sebagai alat komunikasi secara historis telah diungkapkan pada saat penciptaan manusia pertama (Adam). Pada saat itu Allah mengajarkan Adam untuk berbahasa sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 31.

Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:

"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang- orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah: 31).

(34)

Pada ayat di atas terungkap bahwa yang pertama kali Allah ajarkan kepada Adam adalah bahasa, untuk mengungkapkan isi pikiran, lalu Adam dapat menyebutkan benda-benda dengan simbol-simbol bahasa.

Menurut Satiadarma (2001: 96) bahasa adalah alat bagi seseorang untuk mengemukakan gagasan, idealisme, dan keinginan-keinginan kepada orang lain.

Dardjowidjojon (2001: 96) berpendapat bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.

Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa:

a. Bahasa adalah sebuah sistem dari simbol vocal arbitrer yang digunakan untuk komunikasi manusia.

b. Bahasa terdiri dari 2 sistem yaitu sistem bunyi dan sistem makna, hanya bunyi tertentu yang digunakan oleh pembicara dari beberapa bahasa dan hanya gabungan tertentu dari suara atau bunyi ini yang mungkin.

c. Bahasa sebagai arbitrary atau sekehendak hati, ini berarti bahwa kita tidak dapat memperkirakan dengan tepat tanda-tanda khusus. Kita dapat menemukan dalam sebuah bahasa kalau kita tidak paham dengan bahasa itu atau dengan sebuah hubungan bahasa.

d. Bahasa sebagai vokal, dalam pengertiannya kembali kepada kenyataan bahwa perantara pokok dari bahasa adalah suara dan itu adalah suara untuk semua bahasa, bukan soal seberapa baik perkembangan sistem penulisan bahasa.

(35)

e. Bahasa sebagai simbol, dalam pengertiannya kembali kepada kenyataan bahwa tidak ada hubungan atau dalam beberapa hal hanya sedikit hubungan di antara suara yang orang-orang gunakan dan objek dimana suara ini kembali.

f. Bahasa sebagai milik manusia, kata “milik manusia” dalam pengertiannya kembali pada kenyataan bahwa macam-macam sistem yang menarik minat kita adalah dimiliki oleh manusia dan sangat berbeda dari sistem komunikasi yang merupakan bentuk lain dari milik kehidupan.

g. Bahasa sebagai komunikasi. Bahasa digunakan untuk komunikasi, dengan bahasa seseorang bisa mengatakan sesuatu kepada orang lain dan mengekspresikan kebutuhan komunikasi mereka.

Berdasarkan dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa bahasa adalah suatu sistem, vocal (bunyi ujaran) yang tersusun dari lambang-lambang mana suka (arbitrary symbols) yang bersifat unik, khas, dibangun dari kebiasaan- kebiasaan sebagai alat komunikasi yang berhubungan erat dengan budaya tempat bahasa itu berada.

Bahasa juga dapat dipelajari dari ilmu sosiolinguistik. Sosiolinguistik adalah cabang ilmu bahasa yang berusaha menerangkan korelasi antara perwujudan struktur atau elemen bahasa dengan factor-faktor sosiokultural pertuturannya (Wijaya dan Rohmadi, 2006: 11). Berbeda dengan Wijana dan Rohmadi, Kridalaksana (dalam Cher dan Agustina, 2010: 3) menyatakan

“Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari cirri dan variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan cirri fungsi variasi bahasa itu di dalam

(36)

suatu masyarakat bahasa”. Jadi, sosiolinguiostik adalah ilmu bahasa yang menjelaskan cirri dan variasi bahasa, yang mempengaruhi pengguna bahasa di masyarakat.

Bahasa juga dapat di teliti oleh ilmu pragmatik. Pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks social. Performansi bahasa dapat mempengaruhi tafsiran atau interpretasi. Pragmatik bukan saja menelaah pengaruh-pengaruh fonem suprasegmental, dialek, dan register, melainkan memandang performansi ujaran pertama sebagai suatu kegiatan social yang ditata oleh aneka ragam konvensi sosial. Para teoritikus pragmatic telah mengidentifikasi adanya tiga jenis prinsip kegiatan ujaran, yaitu kekuatan ilokusi, prinsip-prinsip percakapan, dan presuposisi (Heatherington dalam Tarigan,2009:

30).

Levinson (dalam Rahardi, 2009: 20-21) menjelaskan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Batasan Levinson itu dapat dilihat pada kutipan berikut: “Pragmatics is the study of those relation between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of e a language”. Sejalan dengan itu Parker (dalam Rahardi, 2009:

20-21) Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Jadi, pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi pengguana bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang melatarbelakangi bahasa itu dan menelaah makna dalam hubungannya dengan berbagai situasi ujaran.

(37)

b. Bahasa sebagai alat komunikasi

Deddy Mulyana (2010: 49) menyimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penciptaan makna antara 2 orang atau lebih lewat penggunaan simbol- simbol atau tanda-tanda.

Orang atau kelompok ke kelompok untuk mempengaruhi sikap dan perilaku orang-orang atau kelompok-kelompok dalam suatu interaksi.

Al-Qur‟an diturunkan kepada manusia yang memiliki sifat sebagai makhluk yang memerlukan komunikasi. Karena itu, Al-Qur‟an memberikan tuntunan berkomunikasi. Santun berbahasa dalam Al-Qur‟an berkaitan dengan cara pengucapan, perilaku, dan kosakata yang santun serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi (lingkungan) penutur, sebagaimana dalam ayat berikut:

“Dan sederhanakanlah dalam berjalan (secara wajar) dan rendahkanlah suaramu, sebenarnya seburuk-buruk suara yang dibenci adalah suara keledai. (Q.S Lukman : 19 )”

Bahasa dan komunikasi merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan sehingga Al-Wasilah menyebutkan bahwa hakikat bahasa adalah komunikasi dan komunikasi merupakan alat untuk berinteraksi. Karakteristik yang ditarik dari teori-teori bahasa sebagai komunikasi adalah sebagai berikut:

a. Bahasa adalah sistem untuk mengungkapkan makna

b. Fungsi utama bahasa adalah untuk interaksi dan komunikasi

(38)

c. Struktur bahasa mencerminkan kegunaan fungsional dan komunikasinya d. Unit utama bahasa tidak hanya berupa karakteristik gramatikal dan

strukturnya tetapi juga kategori makna fungsional dan komunikatif.

Menurut Andi Abdul Muis (2012: 48), komunikasi adalah:

a. Proses penyampaian pesan antara 2 orang atau lebih

b. Proses penyampaian lambang-lambang yang mempunyai arti c. Tindakan membagi informasi atau pengetahuan

d. Proses yang oleh satu individu (komunikator) dikirim stimulasi (biasanya verbal) untuk mengubah perilaku individual (komunikan).

Proses komunikasi beroperasi dalam konteks sosial yang orang-orangnya berinteraksi satu sama lain. Fungsi sosial komunikasi antar pribadi mengandung beberapa aspek di antaranya:

a. Manusia berkomunikasi untuk mempertemukan kebutuhan biologis dan psikologis Tanpa mengadakan interaksi sosial, maka seseorang gagal dalam hidupnya atau mungkin hidup dalam angan-angan. Kebutuhan biologis dan psikologis harus seimbang melalui komunikasi antar pribadi, setiap manusia berusaha mencari dan melengkapi kebutuhannya.

b. Manusia berkomunikasi untuk memenuhi kewajiban sosial. Setiap orang terikat dalam suatu sistem nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat seperti ia wajib secara sosial berhubungan dengan orang lain. Norma dan nilai telah mengatur kewajibankewajiban tertentu secara sosial dalam berkomunikasi sebagai suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan.

(39)

c. Manusia berkomunikasi untuk mengembangkan hubungan timbal balik.

Dalam setiap perkenalan pertama dengan orang lain, setiap orang berusaha menutup diri beberapa waktu dan mencari peluang kesempatan berkenalan. Barangkali pada saat pertama bentuk tindakan sosial yang terjadi hanyalah berinteraksi biasa akibat basa-basi pergaulan. Kemudian meningkat dalam suatu relasi sosial ekonomi, bisnis dan di antara mereka.

d. Manusia berkomunikasi untuk meningkatkan mutu atau merawat mutu diri sendiri. Seseorang yang terus menerus berkomunikasi dengan lugas, segar, terbuka, saling bertukar pikiran dan perasaan. Sampai pada tahap psikologi maka ia akan mengubah dirinya sendiri dan mengubah keadaan kesehatan jiwa seseorang yang berkomunikasi dengannya.

e. Manusia berkomunikasi untuk menangani konflik Pertentangan antar manusia, terutama antar pribadi merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari. Melalui komunikasi antar pribadi konflik dapat dihindari karena telah terjadi pertukaran pesan dan kesamaan makna tentang suatu makna tertentu

Komunikasi yang baik dapat terjadi bila antara penutur dan mitra tutur menggunakan bahasa yang baik atau dengan kata lain menggunakan bahasa yang santun. Kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari masih banyak yang kurang memperhatikan kesantunan berbahasa, disadari atau tidak terkadang kita sendiri termasuk di dalamnya. Di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan sekolah terkadang masih ditemukan penggunaan bahasa yang kurang santun. Penggunaan bahasa yang kurang santun tersebut dapat menyebabkan kerugian bagi orang lain.

(40)

Misalnya, di lingkungan sekolah, seorang guru mengatakan “bodoh” kepada siswa yang bernama Budi, maka Budi bias menjadi sakit hati, minder, dan sebagainya.

5. Pengaruh Sikap Guru terhadap Kesantunan dalam Berbicara

Sekolah berfungsi sebagai pelaksana pembelajaran yang resmi. Banyak unsur yang terlibat dalam mendukung tujuannya. Dalam pembelajaran di sekolah bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting. Penggunaan bahasa untuk bersosialisasi tidak terlepas dari faktor-faktor penentu tindak komunikasi serta prinsip-prinsip kesantunan dan direalisasikan dalam Proses Mengajar, khususnya masih dalam ruang lingkup sekolah. Penilaian kesantunan berbahasa oleh guru minimal ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu bagaimana kita bertutur dan dengan siapa kita bertutur. Hakikatnya kesantunan berbahasa adalah etika kita dalam bersosioalisasi di masyarakat dengan penggunaan bahasa dan pemilihan kata yang baik, dengan memerhatikan di mana, kapan, kepada siapa, dengan tujuan apa kita berbicara secara santun. Hal tersebut senada dengan pendapat Wijana (1996: 11), bahwa bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilator-belakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama.

Guru harus menggunakan bahasa yang santun kepada murid. Jika ada murid yang keadaannya sangat menjengkelkan atau anak yang sangat bodoh dan malas, guru tetap harus dapat mengunakan bahasa yang santun pada murid.

Karena secara psikologis tuturan guru yang tidak santun akan berakibat fatal pada

(41)

siswa. Misalnya, kata “bodoh” diganti dengan “belajarnya perlu ditingkatkan”,

“menguap terus” diganti dengan “jangan tidur kemalaman”, “malas” karena sering tidak mengerjakan tugas” diganti dengan tuturan “berusaha belajar dengan teman dan sebagainya.

Penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk bertutur dan menyapa orang lain. Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri Engkau, Anda, Saudara, Bapak/ibu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang.

Budaya kita menilai berbicara dengan menggunakan bahasa yang santun akan memperlihatkan sejati kita sebagai manusia yang beretika, berpendidikan, dan berbudaya yang mendapat penghargaan sebagai manusia yang baik. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik dengan tindak komunikasi dalam kesantunan berbahasa di sekolah, karena interaksi antara guru dan murid dalam proses belajar mengajar tentu berlangsung lama atau tidak sebentar. Faktor-faktor penentu tindak komunikasi serta prinsip-prinsip kesantunan sangat penting dalam realisasi komunikasi di sekolah.

Kondisi ideal yang diharapkan seperti di atas, kadang kala berbenturan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Masih sering dijumpai dalam proses pembelajaran di kelas, baik yang dilakukan oleh guru maupun siswa, penutur menggunakan kalimat yang sering tidak sesuai dengan etika dan tutur kata yang sopan. Kondisi tersebut disebabkan oleh faktor kebiasaan yang dilakukan di rumah, lingkungan, maupun teman sepergaulan. Oleh karena itu, kita sebagai tenaga pendidik harus berupaya untuk selalu menggunakan bahasa yang santun.

(42)

Sikap dan tuturan guru di kelas mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap dan tuturan siswa. Oleh karena itu, guru sebagai teladan dan anutan bagi siswa harus bisa membawakan diri dan bertutur kata dengan baik.

Dalam proses pembelajaran, guru mempunyai peran sentral dan sebagai teladan baik dalam tutur kata maupun sikap dan perilakunya. Witherington (dalam Buchori, 1982: 27) menyatakan, tidak diketahui dengan pasti berapa persenkah guru yang memperlihatkan kecenderungan-kecenderungan psychoneurose; hanya dapat dikatakan bahwa jumlah itu cukup besar. Sebuah penyelidikan menemukan, bahwa dalam suatu negara bagian kira-kira sebesar 15% dari guru-guru adalah orang-orang yang gagal dalam menyesuaikan diri mereka. Mereka ini memperlihatkan gejala-gejala seperti perasaan yang tidak dapat dikontrol, sarkasme yang menyakitkan hati, tekanan-tekanan syaraf, tidak sabar, tidak dapat bersikap ramah dan kekurangan citarasa untuk humor. Tentu saja dari semua keterangan itu tidak boleh diambil kesimpulan, bahwa guru-guru pada umumnya lebih mengutamakan kemampuan berpikir (neurotic) sifatnya dari pada mereka yang bukan guru. Tetapi posisi guru yang mengharuskannya selalu mempunyai hubungan yang erat dengan anak didiknya, supaya kejadian-kejadian yang menimpa guru yang berhubungan dengan penyakit rohani lebih sedikit jumlahnya.

6. Penyebab Kurang Berbahasa Santun

Ada beberapa analisis tentang penyebab kurang dapat berbahasa santun di kalangan remaja. Pada umumnya para pakar berpendapat, bahwa ketidak santunan dalam berbahasa disebabkan kurang adanya perhatian yang lebih baik dari kalangan keluarga, masyarakat dan sekolah. Keluarga sebagai lingkungan pertama

(43)

dan utama bagi anak memberikan pengaruh yang besar dalam pola berbahasa anak, baik santun maupun tidak santun. Kondisi keluarga sekarang ini tidak lagi berada di bawah pengaruh orang tua secara keseluruhan, karena alat komunikasi yang semakin canggih, seperti televisi, majalah, video, bahkan internet telah memberikan pengaruh kepada anak-anak di dalam keluarga. Masalah tersebut semakin bertambah dengan semakin sibuknya ayah dan ibu dalam karirnya masing-masing sehingga pengasuhan anak-anak diserahkan kepada pembantu.

Peran pembantu kadang kala bias lebih dominan dalam mempengaruhi anak-anak di rumah ketimbang orang tuanya. Karena itu, dalam hal berbahasa, anak sering mendengar tutur kata yang diucapkan pembatu, saat meminta anak unruk segera makan, melarang saat ada hal-hal yang kurang sesuai dengan keinginan pembantu, dsb.

Sekolah merupakan tempat yang paling tepat untuk melaksanakan proses pembinaan berbahasa santun. Guru adalah orang yang paling diperhatikan para siswa di kelas dan di luar kelas. Bahasa yang digunakakn dalam bertutur kata hendaklah memilih kata-kata yang paling baik, dan pantas dipergunakan di hadapan para siswa. Keteladanan guru dalam bertutur kata sangat diperhatikan dan dijadikan contoh dalam tutur kata siswa dengan siswa yang lainnya.

Karyawan sekolah dalam melayani para siswa hendaknya melakukannya dengan bena sesuai dengan yang seharusnya, dan disampaikan dengan sikap lemah lembut, sehingga para siswa akan merasa dihargai dan dihormati, dan siswa sendiri akan menggunakan bahasa yang lebih baik kembali bahkan besikap yang lebih halus dan hormat.

(44)

Apabila ada siswa yang bertutur kata kurang santun henaklah segera diingatkan, bahwa kata yang lebih baik dan enak di dengar semua yang mendengar adalah adalah bertutur kata yang santun. Anak perlu dibina dan dididik berbahasa santun, sebab mereka adalah generasi penerus yang akan hidup pada zamannya. Bila anak dibiarkan dengan bahasa mereka, tidak mustahil bahasa santun yang sudah ada pun bisa hilang dan selanjutnya lahir generasi yang arogan, kasar, dan kering dari nilai-nilai etika dan agama.

Pengamatan sementara menunjukkan bahwa akibat dari ungkapan bahasa yang kasar dan arogan di kalangan remaja, seringkali menyebabkan perselisihan dan perkelahian antar mereka. Sebaliknya, mereka yang terbiasa berbahasa santun dan sopan pada umumnya mampu berperan sebagai anggota masyarakat yang baik. Ucapan dan perilaku santun tersebut merupakan salah satu gambaran dari manusia utuh yang menjadi tujuan pendidikan umum, yaitu manusia yang berkepribadian (Dahlan, 1988:14; Soelaeman, 1988:147; Sumaatmadja dalam Mulyana, 1999:18; Raven, 1977:156; McConnell, 1952:13; UUSPN No.2 tahun 1989).

B. Kerangka Pikir

Memperhatikan uraian pada tinjauan pustaka, maka selanjutnya penulis akan menentukan landasan atau kerangka pikir yang dapat dijadikan pegangan dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Sikap guru terhadap kesantunan dalam berbicara. Hal ini membawa pengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Namun, untuk mencapai tujuan proses belajar dan pembelajaran yang baik, peran guru sebagai pendidik harus

(45)

menyadari pentingnya kesantunan dalam berbicara dan bahasa yang digunakan di lingkungan sekolah tentunya menggunakan bahasa resmi yaitu bahasa Indonesia.

2. Prestasi belajar merupakan suatu keberhasilan yang telah dicapai oleh siswa pada bidang studi atau kegiatan tertentu dalam tertentu pula. Prestasi yang diraih oleh siswa merupakan keberhasilan seorang guru. Prestasi siswa bukan hanya diukur dari pintar secara ilmu, tetapi siswa yang santun dalam berbicara, pintar secara ilmu belum cukup jika tidak memiliki karakter yang baik. Dari hasil penelitian dapat menjadi acuan bagi pihak sekolah untuk melakukan tindakan selanjutnya.

Variabel pengaruh sikap guru terhadap kesantunan dalam berbicara terhadap prestasi belajar bahasa Indonesia siswa merupakan fokus konsentrasi penelitian ini. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan kerangka piker berikut ini:

(46)

Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pikir di atas, maka hipotesis penelitian ini yaitu, “ada pengaruh sikap guru terhadap kesantunan dalam berbicara pada siswa kelas X.2 SMA Negeri 2 Kabupaten Bantaeng”.

Proses Belajar-Pembelajaran Bahasa Indonesia

Pengaruh

Motivasi Belajar- Pembelajaran

Temuan Sikap Guru Terhadap Kesantunan dalam Berbicara

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penentuan metode dalam skripsi ini ditentukan oleh jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, subyek penelitian, populasi, sampel, metode pengumpulan data dan analisis data yang dipergunakan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei dengan menggunakan analisis korelasional.

Metode korelasi berkaitan dengan pengumpulan data untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan antara 2 variabel atau lebih dan seberapakah tingkat hubungannya atau tingkat hubungan dinyatakan sebagai suatu koefisien korelasi.

Sedangkan teknik analisis korelasional adalah teknik analisis statistik mengenai hubungan antara 2 variabel atau lebih.

Teknik analisis korelasional ini memiliki 3 macam tujuan yaitu :

1. Ingin mencari bukti atau berdasarkan pada data yang ada, apakah memang benar antara variabel yang satu dengan yang lain terdapat hubungan atau korelasi.

2. Ingin menjawab pertanyaan, apakah antara variabel itu atau jika memang ada hubungannya, termasuk hubungan yang kuat, cukup atau lemah.

3. Ingin memperoleh kejelasan dan kepastian, apakah hubungan antar variabel itu merupakan hubungan yang berarti atau meyakinkan (signifikan) ataukah hubungan yang tidak berarti atau tidak meyakinkan.

37

(48)

Variabel dapat diartikan sebagai sesuatu yang akan menjadi obyek pengamatan, penelitian, sering kali dinyatakan variabel penelitian sebagai faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti.

Adapun variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Variabel Bebas

Yang menjadi variable bebas (X) dalam penelitian ini adalah sikap guru pada siswa.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat (Y) dalam penelitian ini adalah kesantunan dalam berbicara

Untuk itu dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk menyelidiki, mempelajari yang selanjutnya menggambarkan atau melukiskan obyek pada penelitian ini yaitu “Pengaruh Sikap Guru Terhadap Kesantunan dalam Berbicara pada Siswa Kelas X.2 SMA Negeri 2 Kab. Bantaeng”

B. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Keberadaan populasi dalam suatu penelitian merupakan suatu hal yang sangat penting, karena dengan meneliti populasi tersebut maka tujuan penelitian dapat diketahui.

Yang dimaksud dengan populasi menurut Taliziduhu Ndraha (2010: 36) adalah, “himpunan semua hal yang ingin diketahui dalam suatu penelitian”.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua murid kelas X.2 SMA Negeri 2 Kabupaten Bantaeng sebanyak 20 siswa (responden).

(49)

2. Sampel

Yang dimaksud dengan sampel menurut Hadari Nawawi (2012: 145) adalah, “sebagai bagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam suatu penelitian”.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa sampel akan diperlukan jika penelitian tidak bermaksud meneliti seluruh populasi yang ada. Dengan kata lain jika tidak semua populasi diteliti, maka peneliti dapat menarik/mengambil sampel yang representative.

Sementara menurut Suharsimi Arikunto (2011: 24) apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitiannya maka penelitiannya merupakan penelitian populasi. Hampir senada dengan pendapat di atas adalah dikemukakan oleh Winarno Surachmad (2011: 14) sebagai berikut :

Adakalanya masalah penarikan sampel ditiadakan sama sekali dengan memasukkan seluruh populasi sebagai sampel, yakni selama populasi yaitu diketahui terbatas. Sampel yang berjumlah sebesar populasi itu disebut sampel total.

Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa apabila ada penelitian terdapat populasi yang akan diteliti jumlahnya terbatas, maka penggunaan sampel sama dengan jumlah populasi atau dengan kata lain penelitian sampel total.

(50)

C. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis juga mengumpulkan data primer dengan cara mengadakan interview atau wawancara langsung terhadap pihak yang berkompoten.

Disamping itu, penulis juga mengumpulkan data sekunder dengan cara membaca sebagai literatur, beberapa dokumentasi serta bahan-bahan tertulis lainnya yang diperoleh dari bidang tata usaha ataupun pada guru terkait yang berhubungan dengan skripsi ini.

D. Waktu dan Tempat Penelitian

Guna memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penelitian ini dilaksanakan sebagai berikut :

Waktu/Tanggal : 15 Februari s/d 15 April

Tempat : Kelas X.2 SMA Negeri 2 Kabupaten Bantaeng E. Instrumen Penelitian

Instrumen merupakan alat dalam pengumpulan data lokasi penelitian.

Instrumen pengumpulan data meliputi lunak dan instrumen keras. Sehubungan dengan hal tersebut Taliziduhu Ndraha (2010: 36) menerangkan sebagai berikut : Instrumen pengumpulan data, meliputi instrumen lunak dan keras. Instrumen lunak antara lain daftar isian kuesioner atau pedoman wawancara. Alat perekam, misalnya perekam gambar, perekam bunyi, termasuk instrumen keras.

Dalam rangka pengumpulan data serta informasi di lokasi penelitian yang diperlukan dalam penelitian ini, maka sesuai dengan teknik pengumpulan data, instrumen yang digunakan adalah instrumen lunak yang meliputi kuesioner (daftar

(51)

pertanyaan), yang diajukan kepada responden dengan kategori alternatif jawaban sebagai berikut ;

a) Jawaban a dikategorikan baik,

b) Jawaban b dikategorikan kurang baik, c) Jawaban c dikategorikan tidak baik.

Selain menggunakan kuesioner, dalam rangka mencapai tingkat validitas data maka upaya untuk menjaring data dilengkapi dengan melakukan wawancara kepada responden yang dilakukan secara terpola atau berdasarkan pedoman wawancara yang telah disiapkan.

F. Analisis Data

Dalam penelitian ini, setelah data terkumpul selanjutnya adalah mengadakan analisis terhadap data tersebut untuk memperoleh informasi lebih lanjut. Adapun langkah penulis gunakan dalam analisa data ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui variasi dari masing-masing variable digunakan teknik analisa prosentase frekuensi dengan menggunakan rumus:

P = F x 100% (Sudijono, 2010:43) N

Keterangan :

P : Prosentase perolehan F : Frekuensi mentah N : Jumlah tetap responden

(52)

b. Untuk menegtahui ada tidaknya pengaruh sikap guru terhadap kesantunan dalam berbicara pada siswa, maka dalam penelitian ini digunakan teknik analisa product moment dengan rumus sebagai berikut:

rxy = N ∑ xy-(∑x)(∑y)

√{(𝑁 ∑𝑥²− (∑𝑥)²) (𝑁∑𝑦²−(∑𝑦)²)}

Keterangan:

𝑟𝑥 : Angka indek korelasi : Jumlah sampel yang diselidiki

𝑥 : Jumlah hasil perkalian antara skor x dan skor y : Variabel sikap guru

: Variabel kesantunan dalam berbicara

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan karakteristik konsumen yang membeli buah anggur di kota Medan, untuk menganalisis pengaruh faktor harga, produk, promosi

Bidang I: Keilmuan dan Bimbingan Belajar (Total JKEM bidang ini minimal 600

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, dengan tiap siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan

Pengajaran mikro dilaksanakan di program studi (prodi) masing- masing fakultas oleh dosen pembimbing pengajaran mikro dan dikoordinasi oleh seorang koordinator pengajaran

Pendidikan jasmani merupakan suatu proses seseorang sebagai individu ataupun anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik, melalui berbagai kegiatan

Teknik non test merupakan teknik pengumpulan data yang tidak baku dan hasil rekayasa dari pendidik dan sekolah yang mana kegunaan dari teknik non test ini adalah

Forum diskusi merupakan tempat bagi peserta untuk berbagi pendapat, pengetahuan, maupun argumen kepada sesama peserta ataupun tutor. Dalam forum diskusi tersebut

Hal ini terlihat dari terus meningkatnya transaksi pembayaran tunai masyarakat yang salah satunya tercermin dari pertumbuhan jumlah uang kartal yang diedarkan (UYD). Selama