• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B 2013 PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B 2014 PN-Rap)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B 2013 PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B 2014 PN-Rap)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Anak bukan saja sebagai karunia terbesar bagi pasangan suami istri dalam

membangun rumah tangga, tapi juga terhadap agama, bangsa, dan negara. Dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan

suatu bangsa. Oleh sebab itu, hak asasi anak dilindungi di dalam Pasal 28 (B)

UUD 1945 yang berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh

dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.”1

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan

tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan

kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu

tindakan hukum yang berakibat hukum.2 Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi

kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang

membawa akibat negatif yang tidak di inginkan dalam pelaksanaan kegiatan

perlindungan anak.3

Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orangtua,

yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang

1

AM. Mujahiddin, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Ruang Lingkup Perlindungan Terhadap Anak dan Istri),dalam Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV NO. 290 Januari 2010, Jakarta:Mahkamah Agung, Hal. 72

2

Bismar Siregar, dkk, Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), Hal. 23

3

(2)

Pokok-Pokok Perkawinan, menentukan bahwa orangtua wajib memelihara dan

mendidik anak-anak yang belum dewasa sampai anak-anak yang bersangkutan

dewasa atau dapat berdiri sendiri. Orangtua merupakan yang pertama-tama

bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani,

jasmani, maupu n sosial.4

Setiap orang yang melakukan pemeliharaan anak harus memperhatikan dan

melaksanakan kewajibannya, yang merupakan hak-hak anak peliharaannya. Pasal 2

Undang-undang No. 4 Tahun 1979 menentukan bahwa hak-hak anak berupa:

kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan, pelayanan untuk mengembangkan

kemampuan dan kehidupan sosialnya, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa

dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, perlindungan dari lingkungan hidup

yang dapat membahayakan pertumbuhan dan perkembangannya.5

Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling mendasar dalam

hidup dan kehidupan anak, yang sesungguhnya bersandar pada hati nurani orangtua.

Dalam kenyataannya banyak orangtua yang tidak menyadari hal ini, yang

mempengaruhi perkembangan kehidupan anak. Dalam lingkup rumah tangga, rasa

aman, bebas dari segala bentuk kekerasan dan tidak adanya diskriminasi akan lahir

dari rumah tangga yang utuh dan rukun. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan

tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama

4

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia,(Bandung: Refika Aditama, 2008), Hal.1

5

(3)

kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah

tangga tersebut.6

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan

pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan

dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap

orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.7

Penelantaran anak merupakan salah satu bentuk kekerasan, berakar dari

rumah tangga. Orang tua mengabaikan tanggung jawab, melalaikan kewajiban

untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak mereka. Ada

kecenderungan orang tua melempar tanggung jawab pendidikan anaknya hanya

pada sekolah. Lalu, mereka menyerahkan waktu anaknya kepada kemajuan

teknologi visual, TV dan internet. Tidak jarang, ibu muda menyuapi bayinya

sembari matanya terpaku pada tayangan kekerasan. TV berperan membuat jarak

sosial dalam relasi keluarga melebar. Ada juga anak yang mengunduh tayangan

pornograpi melalui internet. Anak menonton tanpa kendali, dininabobokkan dan

disuapi pengetahuan TV tanpa didampingi orang tua. Anak-anak sekolah berjudi,

bermain game online di warnet.Tak jarang ada yang berhutang dan mencuri agar

bisa mengikuti kemajuan IT.8

Ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga adalah meliputi:9

6

Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

(Yogyakarta:Merkid Press, 2012), Hal. 1

7

Ibid, Hal. 2

8

9

(4)

1. Suami, istri dan anak.

2. Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga.

3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Adapun bentuk tindak kekerasan di dalam lingkup rumah tangga, yaitu

meliputi:10

1. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,

atau luka berat.

2. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya

rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,

dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

3. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan

seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak

disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan

komersial dan/atau tujuan tertentu:

4. Penelantaran rumah tangga meliputi dua tindakan, yaitu:

a) Orang yang mempunyai kewajiban secara hukum atau karena persetujuan

atau perjanjian memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan

kepada orang tersebut dalam lingkup rumah tangga namun tidak

melaksanakan kewajibannya tersebut.

b) Setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara

membatasi dan / atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam dan di

luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

10

(5)

Banyak anak yang ditelantarkan oleh orang tua disebabkan oleh berbagai

alasan, terutama kemiskinan dan kurangnya tanggungjawab orang tua terhadap

pola pengasuhan dan perawatan anak, dan beban ekonomi yang cenderung lemah

mengakibatkan anak selalu menjadi korban.11 Kemiskinan selalu dijadikan argumentasi menjawab kasus penelantaran anak. Alasan ini diterima masyarakat

seperti hal wajar. Ada yang sengaja dibuang keluarganya dan terlunta-lunta

sebagai gelandangan dan pengamen. Penelantaran anak tidak hanya merugikan si

anak saja, tetapi orang tua juga harus menanggung resiko atas perbuatannya.

Kasus penelantaran anak sangatlah sering terjadi di Indonesia, namun

penanganannya sangatlah kurang diperhatikan.12

Dapat dikemukakan dalam penelitian ini diangkat dua (2) kasus tentang

penelantaran anak yang diputus dengan undang-undang kekerasan dalam rumah

tangga. Adapun kasus pertama yaitu penelantaran anak terjadi di Kota medan

dengan terdakwa yaitu Drive Loni E yang terjadi pada bulan Agustus 2013 yang

akibat dari perbuatannya anak mengakibatkab sakit baik fisik, mental maupun

sosial yang telah diputus oleh pengadilan medan dengan putusan nomor

2.632/Pid.B/2013/PN-Mdn. Kasus kedua yaitu terjadi di Kota Rantau Perapat

dengan terdakwa bernama Kriston Sianturi menelantarkan anaknya dengan cara

tidak memberikan nafkah terhadap ke empat anaknya setelah bercerai dari

Rosmaida br. Saragih, sehingga Rosmaida melaporkan kejadian tersebut kepada

11

pada tanggal 8 September 2015 Pukul 21.35 Wib

12

(6)

polisi. Dalam kasus ini Kriston Sianturi diputus oleh Pengadilan Rantau Prapat

dengan putusan nomor: 498/Pid.B/2014/PN-Rap.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis termotivasi untuk mengakaji

dan membahas secara mendalam tentang topik skripsi yang berjudul: “Penerapan

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap

Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632

Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)”

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi

permasalahan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk penelantaran anak dan faktor-faktor penelantaran

anak?

2. Bagaimana ketentuan undang-undang yang terkait dengan penelantaran anak?

3. Bagaimana penerapan Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah

tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak (Studi Terhadap Putusan

No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas yang telah diuraikan, maka

tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan faktor-faktor terhadap penelantaran

(7)

2. Untuk mengetahui peraturan Undang-undang yang terkait terhadap

penelantaran anak

3. Untuk melihat bagaimana penerapan penghapusan kekerasan dalam rumah

tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak terutama terhadap Putusan

No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap.

2. Manfaat Penulisan

a. Secara Teoritis

Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan akan menambah kepastian

hukum pada khususnya dan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam

bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang penerapan penghapusan

kekerasan dalam rumah tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak terutama

terhadap Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498

Pid.B/2014/PN-Rap sehingga diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan

masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan

mengenai hukum pidana.

b. Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan mengenai permasalahan penulisan skripsi ini

diharapakan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan aparat penegak

hukum yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum dan perannya

dalam menerapkan sanksi pidana pada kasus penelantaran anak di Indonesia.

D.Keaslian Penulisan

Skripsi ini dengan judul “Penerapan Undang-Undang Penghapusan

(8)

Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498

Pid.B/2014/PN-Rap)” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya karya ilmiah ini

penulisan memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan,

media masa cetak maupun elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh

karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulisan dan

dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.

E.Tinjauan kepustakaan

1. Tindak Pidana Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni

straf, baar, dan feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah

yang pernah digunakan baik dalam perandang-undangan yang ada maupun dalam

berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu sebagai

berikut:13

1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam

perundang-undangan pidana kita. Dalam beberapa peraturan perundang-perundang-undangan

menggunakan istilah tindak pidana, seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan

perundang-undangan lainnya.

2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya:

R. Tresna dalam bukunya "Azas-azas Hukum Pidana H.J van Schravendijk

13

(9)

dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, A. Zainal Abidin,

dalam bukunya "Hukum Pidana". Pembentuk UU juga pernah

menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUD'S 1950 [baca Pasal

14 ayat (1)].

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin "delictum" juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E.

Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa

pidana (dalam buku Hukum Pidana I). A. Zainal Abidin dalam buku beliau

"Hukum Pidana I". Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada

judul buku "Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan", walaupun

menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana.

4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H. Tirtaamidjaja yang

berjudul Pokok-pokok Hukum Pidana.

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M. Karni dalam

buku beliau "Ringkasan tentang Hukum Pidana Begitu juga Schravendijk

dalam bukunya "Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia".

6. Perbuatan yang dapat dihukum,digunakan oleh Pembentuk Undang-undang

di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3).

7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam: berbagai tulisan beliau,

misalnya dalam buku Azas-azas Hukurn Pidana.

Dari istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari Strafbaar feit itu,

(10)

diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan

dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.14

Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya

memberikan arti dari strafbaar feit. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian

dari tindak pidana (strafbaar feit), menurut para ahli yang dapat digolongkan

menganut pandangan (aliran) dualisme:

15

1. Menurut W.P.J. Pompe, suatu strafbaar feit (definisi menurut hukum

positif) itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu “tindakan yang

menurut suatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan yang dapat

dihukum”.16 Pompe mangatakan, bahwa “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap

tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan

oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut

adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan

umum”.17 Pompe mengadakan pembagian eleman Strafbaar feit atas:18

a. Wederrechtelijkheid ( unsur melawan hukum)

b. Schuld (Unsur kesalahan)

c. SubsocialeI (unsur bahaya/gangguan/merugikan)

14

Adami Chazawi, Ibid , Hal. 69.

15

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi ke-2, (Medan:USU-Press, 2010) , Hal. 73.

16

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti,1997) ,Hal. 174

17

Ibid, Hal. 182.

18

(11)

2. Menurut Van Hamel, telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai “suatu

serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain”.19

3. H.B. Vos, Strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam

pidana oleh Undang-undang.20

4. Menurut R. Tresna, Peristiwa Pidana itu adalah suatu perbuatan atau

rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-Undang

atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan

tindakan penghukuman.21 Tidak ada persamaan pendapat di kalangan para ahli tentang syarat-syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai

peristiwa pidana, oleh karena itu sebagai peristiwa pidana R. Tresna

menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu

harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:22 a. Harus ada suatu perbuatan manusia.

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan

hukum

c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya

harus dapat dipertanggungjawabkan.

d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.

e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang–

undang.

19

Ibid., hlm. 182.

20

Mohammad Eka Putra, Op.Cit., hlm. 81

21

(12)

Jika di atas diterangkan tentang pandangan dualisme yang memisahkan

antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri

orangnya tentang tindak pidana. Ada pandangan lain yakni pandangan monisme

yang tidak memisahkan antara unsur mengenai perbuatan dengan

unsur-unsur mengenai diri orangnya. Beberapa pendapat para ahli yang berpandangan

monisme berdasarkan dari rumusan yang mereka buat tentang tindak pidana

seperti berikut:23

1. J.E.Jonkers dalam Bambang Poernomo, telah memberikan defenisi

strafbaar feit menjadi dua pengertian:

24

a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu

kejadian (Feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang.

b. Defenisi panjang pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang

melawan hukum (wederrechttelijk) berhubung dilakukan dengan sengaja

atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut

Jonkers,25

23

Adami Chazawi, Op.Cit, Hal. 75

24

Bambang Poernimo, Op, Cit, Hal. 91

25

Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda,(Jakarta:Bina Aksara, 1987), Hal.136

sifat melawan hukum dipandang sebagai unsur yang

tersembunyi dari tiap peristiwa pidana, namun tidak adanya kemampuan

untuk dapat dipertanggungjawabkan merupakan alasan umum untuk

dibebaskan dari pidana. Kesengajaan atau kesalahan selalu merupakan

unsur dari kejahatan. Berdasarkan hal ini ternyata defenisi tindak pidana

yang panjang itu terlalu luas dan selain menyebutkan mengenai peristiwa

(13)

hal ini tidaklah merupakan keberatan yang terlampau besar, karena kita

selalu meninjau peristiwa pidana dalam hubungan dengan si pembuat.

2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

3. H.J.Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh di hukum adalah

kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum

sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh

seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan.

4. Simons dalam P.A.F. Lamintang merumuskan strafbaar feit adalah suatu

tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oeh

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang

dinyatakan sebagai dapat dihukum. Alasan dari simons apa sebabnya “

Strafbaar Feit” itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena:

a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus

terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh

Undang–undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban

semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum

b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus

memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam

(14)

c. Setiap Strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan merupakan

suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechmatige

handeling.26

5. Menurut Jan Remmelink,27

6. J. Baumann dalam sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan

perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan

dilakukan dengan kesalahan.

bahwa sekilas tampak bahwa membatasi

pengertian “bahaya” ini tidak perlu, karena makna istilah bahaya kiranya

dapat dirasakan oleh setiap orang secara alamiah. Namun seorang juris tidak

dapat menghindari keharusan untuk mencari batasan yang lebih tegas. Di

sini istilah bahaya dimengerti sebagai kemungkinan nyata timbulnya

kerusakan terhadap benda hukum atau kepentingan hukum (rechtsgoederen)

yang dilindungi oleh hukum.

28

Dari beberapa pendapat para sarjana diatas, maka dapat dikemukakan

bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang baik disengaja atau tidak

disengaja, yang apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan suatu peraturan

yang ada maka akibat dari perbuatannya diberikan sanksi sesuai hukuman yang

ada dalam peraturan tersebut.

Syarat utama penjatuhan pidana terhadap penelantaran anak adalah adanya

perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang, hal

ini adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting, artinya

sebagai prinsip kepastian, Undang-undang pidana sifatnya harus pasti, di

26

P.A.F. Lamintang, Op.Cit, Hal. 176

27

Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama ,2003), Hal. 64 - 65

28

(15)

dalamnya harus dapat diketahui yang dilarang atau apa yang diperintahkan. Pada

prinsipnya tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh karena

perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya

adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Namun unsur-unsur tindak pidana secara

keseluruhan pada umumnya dapat dibagi atas:29

Penelantaran rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9

tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga maka dapat dijabarkan

bahwa unsur-unsur tindak pidana menelantarkan anak adalah: a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana

d. Unsur melawan hukum yang obyektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif

Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan:

(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan pada orang tersebut.

(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.

30

a. Unsur kelakuan yang disebut dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 adalah perbuatan menelantarkan dalam rumah tangga dimana

kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga seharusnya memberikan

29

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2002), Hal. 59

30

(16)

kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan pada orang tersebut. Sedangkan

unsur akibat yang ditimbulkan adalah terlantarnya rumah tangga yang telah

dibangun atas dasar kesepakatan dalam ikatan pernikahan.

b. Unsur hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan menurut beberapa

penulis Belanda berpendapat bahwa keadaan tadi merupakan strafbaar feit,

sekalipun tambahan. Sehingga unsur ini lebih condong untuk memandangnya

sebagai elemen perbuatan pidana tetapi sebagai syarat penuntutan. Untuk hal

ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan penelantaran istri adalah

suami tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada

istri maupun anak.

c. Untuk unsur keadaan tambahan yang memberatkan pidana dalam Pasal 9

dan Pasal 49 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tidak mengatur

hal-hal yang dapat memberatkan pidana terhadap pelaku tindak pidana

penelantaran istri maupun anak.

d. Tindakan penelantaran dalam rumah tangga setelah keluarnya

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah menjadi perbuatan melawan hukum

pidana dimana ada sanksi pidana yang mengaturnya secara khusus dalam

Undang-Undang tersebut. Unsur perbuatan melawan hukum obyektif yang

terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah:

(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan pada orang tersebut.

(17)

e. Unsur melawan hukum yang subyektif merupakan sifat melawan hukumnya

perbuatan tergantung pada bagaimana sikap batinnya terdakwa.Pengetahuan

tentang sifat melawan hukum yang subyektif ini relatif belum lama, dapat

disimpulkan dalam tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga yang

menjadi unsur melawan hukum yang subyektifnya adalah niat suami.

2. Anak dan Penelantaran Anak

Pembicaraan tentang anak tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah

kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus

pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana

pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu

negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti

melindungi potensi sumber daya instansi dan membangun manusia Indonesia

seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual

berdasarkan pancasila dan UUD 1945.31

1. Menurut convention on the right of the child (konvensi hak anak) pada tanggal

20 November 1989, yang telah diartikan oleh Indonesia, disebutkan dalam Berbicara tentang anak, maka banyak dapat kita lihat beraneka ragam

mengenai pengertian anak. Oleh karena itu, umur menentukan apakah seseorang

tersebut dikategorikan anak-anak atau tidak. Beberapa pengertian anak menurut

hukum dapat diartikan sebagai berikut:

31

(18)

Pasal 1 pengertian anak, adalah: semua orang yang dibawah umur 18 tahun,

kecuali Undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal. 32

2. Menurut Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

menyatakan bahwa: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih ada dalam kandungan.33

Adapun beberapa Undang-undang yang terkait tentang pengertian anak

antara lain, sebagai berikut:34

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, menysaratkan usia

perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,

mendefenisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.

3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah

berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah

kawin.

4. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

mendefenisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun

dan belum pernah kawin.

5. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

membolehkan usia anak bekerja adalah 15 tahun.

32

Ibid, Hal. 13

33

Undang-undang no 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat ( 1 ).

34

(19)

6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

memberlakukan wajib belajar 9 tahun, yang dinotasikan menjadi anak berusia

7 sampai 15 tahun.

Jika dicermati, maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia

anak terletak pada skala 0 sampai 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21

tahun ditetapkan berdasarkan pada pertimbangan kepentiangan usaha

kesejahteraan sosial, serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi

serta kematangan mental seseorang yang pada umumnya dicapai setelah seseorang

melampaui usia 21 tahun. Penelantaran berasal dari kata lantar yang memiliki arti

tidak terpelihara, terbengkalai, tidak terurus.35

Bentuk penelantaran anak pada umumnya dilakukan dengan cara

membiarkan dalam situasi gizi buruk, kurang gizi, tidak mendapatkan perawatan

kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis attau pengamen, anak

jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga (PRT), pemulung, dan jenis

pekerjaan lain yang membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak.

36

3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Mengkaji mengenai masalah kekerasan bukanlah suatu hal mudah, sebab

kekerasan pada dasarnya adalah merupakan tindakan agresif yang dapat

dilakukan oleh setiap orang. Misalnya tindakan memukul, menusuk, menendang,

menampar, meninju, menggigit, semuanya itu adalah contoh daripada

bentuk-bentuk kekerasan. Disamping hal-hal itu juga, kadang-kadang kekerasan

merupakan tindakan yang normal, namun tindakan yang sama pada suatu

35

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Hal. 564

36

(20)

situasi yang berbeda akan disebut penyimpangan.37

Situasi dimana suatu tindakan kekerasan dapat dikategorikan sebagai

tindakan agresif dan kapan tindakan kekerasan dapat dikategorikan sebagai suatu

tindakan normal dan situasional. Istilah kekerasan digunakan untuk

menggambarkan sebuah perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert)

dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau yang bersifat bertahan

(deffense) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.38

Dalam pandangan klasik suatu tindak kekerasan (violence) menunjukan

kepada tingkah laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan

Undang-undang, baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan tindakan nyata

dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau dapat

mengakibatkan kematian pada seseorang, defenisi sangat luas sekali karena

menyangkut pula perbuatan mengancam di samping suatu tindakan nyata. Namun

demikian kekerasan dilihat dari persfektif kriminologi, kekerasan ini menunjukan

kepada tingkah laku yang berbeda-beda baik motif maupun mengenai

tindakannya seperti perkosaan dan pembunuhan.39

Kejahatan kekerasan oleh Yesmil Anwar40

37

diartikan sebagai:

“Penggunaan kekuatan fisikdan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri

sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan

(21)

memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau

perampasan hak”.

Dalam kamus bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan:41

F. Metode Penelitian

“Perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan. Menurut penjelasan ini, kekerasaan itu merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai.”

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menurut Pasal 1

Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah

Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara

fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk

ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Bambang Sunggono menyatakan bahwa dalam penulisan sebuah karya

ilmiah ada beberapa 2 (dua) jenis metode penelitian, yaitu:

1. Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal

karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan

yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut

sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian

ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di

41

(22)

perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai

lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).42

2. Penelitian yuridis empiris disebut juga dengan penelitian huku m non doktrinal

karena penelitian ini berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori

mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di

dalam masyarakat. Atau yang disebut juga sebagai Socio Legal Research.43

Adapun jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Penelitian yang akan digunakan dalam penulisan skripsi adalah dengan

menggunakan jenis penelitian yuridis normatif yang didasarkan pada bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier serta

menganalisis kasus yang berkaitan dengan judul skripsi ini, yaitu “Penerapan

Undang-Undang Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap

Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn

dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)”

2. Sumber Data

Data dalam penelitian dapat diperoleh dari:

a) Bahan hukum primer terdiri dari bahan-bahan hukum yang

undangan, catatan-catan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan hakim. Dalam penelitian ini yang menjadi data primer

adalah:

1. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945

42

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 ), Hal. 81

43

(23)

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

3. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan

Dalam Rumah Tangga

4. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentamg Hak Asasi Manusia

5. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 perubahan atas UU No. 22 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak

6. Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn

7. Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap

b) Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen–dokumen resmi44

c) Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus

Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris-Indonesia, kamus hukum,

ensiklopedia, karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet, dan

Iain-lain.

, jadi bahan hukum sekunder ini bahan

yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, dalam hal ini bahan

acuan yang berisikan informasi tentang bahan primer yaitu berupa tulisan / buku

yang berkaitan tentang penelantaran anak

3. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang dipakai dalam penulisan skripsi

ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yaitu penelitian terhadap

44

(24)

literatur–literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang digunakan sebagai

dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses menafsirkan atau memaknai suatu data. Analisis

data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan perkerjaan seorang

peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya pikir secara optimal,

dan secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji.45

G.Sistematika Penulisan

Dari hasil analisis ini

diharapkan dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan

dalam skripsi ini dan akhirnya dapat digunakan untuk menarik suatu kesimpulan

serta memberikan saran seperlunya. Dalam penulisan skripsi ini, data yang

dianalisis adalah dengan metode kualitatif, yaitu dengan menganalisa data–data

dan diuraikan melalui kalimat-kalimat yang merupakan penjelasan atas hal-hal

yang terkait dalam penulisan skripsi ini.

Agar terdapat suatu alur pemikiran yang tertip dan teratur secara sistematis

maka penulisan skripsi ini disusun dalam suatu kerangka yang terdiri atas lima

bab dengan masing-masing bab memiliki sub bab, sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab awal yang akan mendukung untuk memasuki

bab-bab selanjutnya. Dimana bab ini akan memuat dan menguraikan

hal-hal yang berkenaan dengan latar belakang, perumusan masalah,

45

(25)

tujuan dan manfaat masalah penulisan, keaslian penulisan, tinjauan

pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II: BENTUK - BENTUK DAN FAKTOR - FAKTOR

PENELANTARAN ANAK

Bab ini akan membahas tentang bagaimana bentuk-bentuk dan

faktor-faktor yang terjadi pada penelanataran anak.

BAB III: KETENTUAN UNDANG-UNDANG YANG TERKAIT DENGAN PENELANTARAN ANAK

Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang ketentuan-ketentuan

yang terkait dengan penelantaran anak seperti ketentuan penelantaran

anak menurut KUHP, penelantaran anak menurut UU No. 39 Tahun

1999, penelantaran anak menurut UU No. 35 Tahun 2014 perubahan

atas UU No. 22 Tahun 2002, dan penelantaran anak menurut UU No.

23 Tahun 2004.

BAB IV: PENERAPAN UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP TINDAK PIDANA PENELANTARAN ANAK ( STUDI PUTUSAN NO: 2632 PID.B/2013/PN-MDN DAN PUTUSAN NO: 498 PID.B/2014/PN-RAP )

Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang penerapan

undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terhadap tindak

pidana penelantaran anak ( studi putusan no: 2632 pid.b/2013/pn-mdn

dan putusan no: 498 pid.b/2014/pn-rap )

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab akhir dimana akan dirumuskan mengenai

kesimpulan yang didapat berdasarkan uraian dan pembahasan

terhadap pokok permasalahan yang timbul. Kemudian dari hasil

Referensi

Dokumen terkait

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Pada dasarnya program ini berfungsi untuk memantau saat kapan pangaksesasn suatu web server mengalami jumlah pengaksesan yang tinggi atau

Dengan mempertimbangkan berbagai keberhasilan dalam pelaksanaan pembangunan di tahun-tahun sebelumnya, maka peranan tahunan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Kabupaten

Naskah ini akan menjadi pedoman bagi pejabat SKPD Kehutanan, Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Pesisir Selatan dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai instansi

Dengan cara mengenkripsi data maka setidaknya data yang kita anggap penting tidak bisa dipelajari atau dibaca oleh orang yang tidak berhak, Sedangkan untuk mengembalikan data kita

1. M Quraish Shihab berpendapat kata jahiliyah terambil dari kata jahl yang digunakan Alquran untuk menggambarkan suatu kondisi dimana masyarakatnya

Tujuan dari kegiatan Pengabdian kepada masyarakat ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada para ibu tentang pemberian makanan pada bayi dan anak guna mencegah

Perlindungan secara terbatas sumberdaya ikan napoleon pada wilayah yang memiliki karakter yang khas dengan kemampuan menyediakan benih alam yang memadai untuk mendukung