• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Experiential Marketing terhadap Kepuasan Pelanggan untuk Mendorong Minat Beli Ulang pada Rumah Makan 100 Batu Bara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Experiential Marketing terhadap Kepuasan Pelanggan untuk Mendorong Minat Beli Ulang pada Rumah Makan 100 Batu Bara"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai experiential marketing telah banyak dilakukan oleh

peneliti-peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, peneliti berupaya melakukan

tinjauan terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki bahasan yang

hampir sama, yaitu mengenai experiential marketing.

Rujukan yang pertama diambil dari penelitian yang berjudul “The Study

of Relationship among Experiential Marketing, Service Quality, Customer

Satisfaction, and Customer Loyalty” oleh Zena dan Hadisumarto tahun 2012.

Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui mengetahui bagaimana

dampak kegiatan experiential marketing yang diterapkan oleh Strawberry Cafe

terhadap kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan. Data yang berhasil

dikumpulkan sebanyak 142 data, namun yang bisa diolah dan dianalisa lebih

lanjut hanya 80 data. Alat analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Structural Equation Modeling (SEM) dengan menggunakan Lisrel. Penelitian ini

menemukan bahwa memang kegiatan experiential marketing yang dilakukan

Strawberry Cafe dapat mempengaruhi loyalitas pelanggan.

Rujukan yang kedua adalah penelitian yang berjudul “Pengaruh

Experiential Marketing terhadap Repurchase Intention melalui Customer

Satisfaction sebagai Variabel Intervening (Studi pada Nanny’s Pavillon

Bathroom- Pacific Place)” oleh Farisya tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisa pengaruh experiential marketing terhadap repurchase intention

(2)

orang pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa experiential marketing

mempengaruhi repurchase intention dengan kepuasan sebagai perantara.

Rujukan ketiga adalah penelitian yang berjudul “The Impact Of

Experiential Marketing Use On The Customer Perceived Value And Satisfaction

In Lithuanian Restaurants” oleh Kanopaité tahun 2015. Penelitian ini bertujuan

untuk menganalisa dampak experiential marketing, customer perceived value, dan

kepuasan pelanggan di Restoran Lituania. Sampel sebanyak 243 di teliti melalui

online survey dan face to face. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan

yang signifikan antara experiential marketing dan customer perceived value,

antara experiential marketing dan cutomer satisfaction.

Rujukan keempat adalah penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh

Experiential Marketing dan Kualitas Layanan terhadap Kepuasan Pelanggan

untuk Mendorong Minat Beli Ulang (Studi Kasus Pada Member Sanggar Senam

Kharisma)” oleh Lionora tahun 2015. Data sampel adalah sebanyak 150

reswponden dengan teknik analisis data menggunakan regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa experiential marketing serta kualitas layanan

berpengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan. Sedangkan kepuasan pelanggan

juga berpengaruh positif terhadap minat beli ulang.

Rujukan kelima adalah penelitian berjudul “Analisis Pengaruh

Experiential Marketing Terhadap Repeat Purchase Dengan Customer Satisfaction

Sebagai Mediating Variable Di De Mandailing Cafe UC Boulevard Surabaya”.

Sampel adalah sebanyak 200 responden. Penelitian ini menggunakan teknik

Structural Equation Modeling (SEM ) dengan hasil peneltian menunjukkan bahwa

(3)

Experiential Marketing berpengaruh signifikan terhadap customer satisfaction,

dan customer satisfaction memediasi pengaruh antara experiential marketing

terhadap repeat purchase secara parsial.

Dari kelima rujukan penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa

experiwntial marketing berpengaruh terhadap kepuasan. Kelima rujukan tersebut

dapat dilihat secara singkat dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1. used by Strawberry Cafe can affect the customer loyalty. The factors that make consumers satisfied with Strawberry Café is the quality of service of this restaurant. kuat dan positif antara variabel experiential

marketing terhadap

repurchase intention Use On The Customer Perceived Value And

(4)

Lanjutan Tabel 2.1.

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan menunjukan

positif terhadap minat beli ulang terhadap repeat purchase,

Experiential Marketing

marketing terhadap repeat purchase secara parsial.

Pada penelitian ini, peneliti akan menganalisis pengaruh experiential

marketing terhadap kepuasan pelanggan untuk mendorong minat beli ulang pada

Rumah Makan 100 Batu Bara. Terdapat persamaan dengan 5 rujukan penelitian di

atas, yaitu variabel X (experiential marketing) dan variabel intervening

(kepuasan). Selain itu terdapat beberapa perbedaan variabel yang diteliti dalam

penelitian ini dengan rujukan penelitian di atas, yaitu pada penelitian Zena dan

Hadisumarto (2012), di mana terdapat variabel service quality dan customer

loyalty; penelitian oleh Kanopaité (2015), di mana terdapat variabel customer

perceived value; dan penelitian oleh Lionora (2015), di mana terdapat variabel

(5)

Tak hanya mengenai variabel, teknik analisis data juga memiliki

perbedaan, sebagian besar kelima penelitian di atas menggunakan Structural

Equation Modeling (SEM) sedangkan penelitian ini menggunakan analisis jalur

(path).

2.1.Minat Beli Ulang

Minat beli adalah tahap kecenderungan responden untuk bertindak

sebelum keputusan membeli benar-benar dilaksanakan. Terdapat perbedaan antara

pembelian aktual dan minat pembelian. Bila pembelian aktual adalah pembelian

yang benar-benar dilakukan oleh konsumen, maka minat pembelian adalah niat

untuk melakukan pembelian pada kesempatan mendatang. Meskipun merupakan

pembelian yang belum tentu akan dilakukan pada masa mendatang namun

pengukuran terhadap minat pembelian umumnya dilakukan guna

memaksimumkan prediksi terhadap pembelian aktual itu sendiri.

Menurut Durianto,dkk (2001:109), minat beli merupakan sesuatu yang

berhubungan dengan rencana konsumen untuk membeli produk tertentu, serta

berapa banyak unit produk yang dibutuhkan pada periode tertentu. Minat beli

merupakan pernyataan mental konsumen yang merefleksikan rencana pembelian

sejumlah produk dengan merek tertentu. Pengetahuan akan niat beli sangat

diperlukan para pemasar untuk mengetahui niat beli konsumen pada masa yang

akan datang.

Intention to buy juga didefinisikan sebagai pernyataan yang berkaitan

dengan batin yang mencerminkan rencana dari pembeli untuk membeli suatu

(6)

Kurniawan, Santoso, dan Dwiyanto, 2007). Minat beli ulang merupakan bagian

dari perilaku pembelian. Minat beli ulang ini biasanya terjadi karena telah

terbentuknya loyalitas pelanggan, sehingga terjadilah pembelian berulang ini.

Minat beli ulang ini juga sangat berhubungan dengan kepuasan pelanggan, jika

pelanggan tidak merasa puas maka pelanggan tidak akan melakukan pembelian

selanjutnya. Sehingga kepuasan yang diperoleh seorang pelanggan, dapat

mendorong ia melakukan pembelian ulang, menjadi loyal terhadap produk

tersebut ataupun loyal terhadap toko tempat dia membeli barang tersebut sehingga

pelanggan dapat menceritakan hal-hal yang baik kepada orang lain. Minat beli

ulang yang tinggi mencerminkan tingkat kepuasan yang tinggi dari konsumen

ketika memutuskan untuk mengkonsumsi suatu produk atau jasa.

Menurut Ferdinand dalam Lionora (2015 :17) terdapat empat indikator

yang dapat digunakan untuk mengukur minat beli ulang. Keempat indikator

tersebut yakni (1) minat transaksional, yaitu kecenderungan seseorang untuk

membeli produk, (2) minat referensial, yaitu kecenderungan seseorang untuk

mereferensikan produk kepada orang lain, (3) minat preferensial, yaitu minat yang

menggambarkan perilaku seseorang yang memiliki preferensi utama pada produk

tersebut. Preferensi ini dapat berubah bila terjadi sesuatu dengan produk

preferensinya, (4) minat eksploratif, minat ini menggambarkan perilaku seseorang

yang selalu mencari informasi mengenai produk yang diminatinya dan mencari

informasi untuk mendukung sifat-sifat positif dari produk tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa minat beli ulang adalah di mana pelanggan

memiliki niat atau keinginan untuk melakukan pembelian selanjutnya, yang

(7)

2.2.Kepuasan Pelanggan

2.2.1. Pengertian Kepuasan Pelanggan

Di tengah ketatnya persaingan bisnis yang terjadi saat ini, perusahaan

berlomba untuk dapat menang dalam persaingan. Beragam cara ditempuh

perusahaan untuk dapat menjadi market leader. Mulai dari menciptakan produk

yang unik, mematok harga yang rendah, menjanjikan layanan prima, dan lain

sebagainya. Cara-cara tersebut dilakukan tidak lain untuk menjaga kepuasan

konsumen. Kepuasan pelanggan telah menjadi konsep sentral dalam teori dan

praktik pemasaran, serta merupakan salah satu tujuan esensial bagi aktivitas bisnis

(Tjiptono, 2005:348). Kata kepuasan atau satisfaction berasal dari bahasa Latin

“satis” (artinya cukup baik, memadai) dan “facio” (artinya melakukan atau

membuat). Jadi, secara sederhana kepuasan dapat diartikan sebagi upaya

pemenuhan sesuatu atau membuat sesuatu memadai (Tjiptono, 2005:349).

Menurut Lovelock et al. (2010:60), kepuasan adalah semacam penilaian

perilaku yang terjadi setelah pengalaman mengonsumsi layanan. Kebanyakan

hasil riset menunjukkan bahwa konfirmasi atau diskonfirmasi dari ekspektasi

prakonsumsi adalah faktor yang menentukan dari kepuasan. Berikut ini akan

dipaparkan definisi kepuasan pelanggan menurut beberapa ahli :

1. Menurut Oliver (1997) dalam Tjiptono (2012:311), kepuasan pelanggan

adalah “the consumer’s fulfillment response”, yaitu penilaian bahwa fitur

produk atau jasa, atau produk/jasa itu sendiri, memberikan tingkat

pemenuhan berkaitan dengan konsumsi yang menyenangkan, termasuk

(8)

2. Menurut Kotler dan Keller (2009:177), kepuasan pelanggan adalah

perasaan senang atau kecewa seseorang yang dihasilkan dari

membandingkan suatu kinerja produk yang dirasakan dengan kinerja (atau

hasil) yang diharapkan.

3. Menurut Supranto (2006:233), kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang

setelah membandingkan kinerja (hasil) yang dirasakan dengan harapannya.

Dari definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan

bahwa kepuasan pelanggan menggambarkan perasaan positif yang dialami

pelanggan ketika mengkonsumsi/menggunakan produk/jasa.

2.2.2. Manfaat Kepuasan Pelanggan

Menurut Tjiptono dan Diana (2003:102), kepuasan pelanggan dapat

memberikan beberapa manfaat, yaitu:

1. Hubungan antara perusahaan dan para pelanggan menjadi harmonis

2. Memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang

3. Dapat mendorong terciptanya loyalitas pelanggan

4. Membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word-of-mouth) yang

menguntungkan bagi perusahaan

5. Reputasi perusahaan menjadi baik di mata pelanggan

(9)

2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan

Dalam menentukan tingkat kepuasan pelanggan, terdapat lima faktor

utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan (Lupiyoadi, 2001:158), yaitu :

1. Kualitas jasa

Pelanggan akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa

produk yang mereka gunakan berkualitas.

2. Kualitas pelayanan

Terutama untuk industri jasa, pelanggan akan merasa puas bila mereka

mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai dengan yang diharapkan.

3. Emosional

Pelanggan akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain

akan kagum terhadap dia bila menggunakan jasa dari perusahaan yang

cenderung mempunyai tingkat kepuasan lebih tinggi. Kepuasan yang

diperoleh bukan karena kualitas dari produk tetapi nilai sosial atau self-esteem

yang membuat pelanggan menjadi puas terhadap merek tertentu.

4. Harga

Produk yang mempunyai kualitas sama tetapi menetapkan harga yang relatif

murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pelanggannya.

5. Biaya

Pelanggan yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu

membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa cenderung puas

(10)

2.2.4. Model Kepuasan Pelanggan

Tjiptono (2005:356) menerangkan tentang model kepuasan pelanggan, di

antaranya model expectancy disconfirmation model, equity theory, attribution

theory, experientially-based affective feelings, assimilation-contrast theory,

opponent process theory, serta model anteseden dan konsekuensi pelanggan.

1. Expectancy Disconfirmation Model

Model ini mendefiniskan kepuasan pelanggan sebagai evaluasi yang

memberikan hasil di mana pengalaman yang dirasakan setidaknya sama baiknya

dengan yang diharapkan. Model ini ditunjukkan dalam Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Model ekspektasi diskonfirmasi dari kepuasan/ketidakpuasan Produk

Lama/pengalaman produk

Ekspektasi bagaimana

merek seharusnya

Evaluasi atas kinerja

aktual merek

Evaluasi

ketidaksesuaian antara

Kinerja sesuai dengan harapan Kinerja tidak

selalu berbeda dengan harapan Kinerja gagal

(11)

Berdasarkan konsumsi atau pemakaian produk atau merek tertentu dan

juga merek lainnya dalam kelas produk yang sama, pelanggan membentuk

harapannya mengenai kinerja seharusnys dari merek bersangkutan. Harapan atas

kinerja ini dibandingkan dengan kinerja aktual produk (yakni persepsi terhadap

kualitas produk). Jika kualitas lebih rendah daripada harapan, yang terjadi adalah

ketidakpuasan emosional (negative disconfirmation). Bila kinerja lebih besar

daripada harapan, terjadi kepuasan emosional (positive disconfirmation).

Sedangkan bila kinerja sama dengan harapan, maka yang terjadi adalah

konfirmasi harapan (simple disconfirmation atau non-satisfaction).

2. Equity Theory

Sejumlah peneliti berpendapat bahwa setiap orang menganalisis

pertukaran antara dirinya dengan pihak lain guna menentukan sejauh mana

pertukaran tersebut adil atau fair. Equity theory beranggapan bahwa orang

menganalisis rasio input dan hasilnya (outcome) dengan rasio input dan hasil

mitra pertukarannya. Jika ia merasa bahwa rasionya unfavorable dibandingkan

anggota lainnya dalam pertukaran tersebut, ia cenderung akan merasakan adanya

ketidakadilan.

3. Attribution Theory

Attribution theory mengidentifikasi proses yang dilakukan seseorang

dalam menentukan penyebab aksi atau tindakan dirinya, orang lain dan objek

tertentu. Atribusi yang dilakukan seseorang dapat sangat mempengaruhi kepuasan

purnabelinya terhadap produk atau jasa tertentu, karena atribusi memoderasi

(12)

4. Experientially-Based Affective Feelings

Pendekatan eksperiensial berpandangan bahwa tingkat kepuasan

pelanggan dipengaruhi perasaan positif dan negatif yang diasosiasikan pelanggan

dengan barang atau jasa tertentu setelah pembeliannya. Dengan kata lain, selain

pemahaman kognitif mengenai diskonfirmasi harapan, perasaan yang timbul

dalam proses purnabeli juga mempengaruhi perasaan puas atau tidak puas

terhadap produk yang dibeli.

5. Assimilation-Contrast Theory

Menurut teori ini, konsumen mungkin menerima penyimpangan (deviasi)

dari ekspektasinya dalam batas tertentu. Apabila produk atau jasa yang dibeli dan

dikonsumsi tidak terlalu berbeda dengan apa yang diharapkan pelanggan, maka

kinerja produk atau jasa tersebut akan diasimilasi atau diterima dan produk atau

jasa bersangkutan akan dievaluasi secara positif (dinilai memuaskan). Akan tetapi,

jika kinerja produk atau jasa melampaui zona penerimaan konsumen (zone of

acceptance), maka perbedaan yang ada akan dikontraskan sedemikian rupa

sehingga akan tampak lebih besar dari sesungguhnya.

6. Opponent Process Theory

Teori ini berusaha menjelaskan mengapa pengalaman konsumen yang

pada mulanya sangat memuaskan cenderung dievaluasi kurang memuaskan pada

kejadian atau kesempatan berikutnya. Dasar pemikirannya adalah pandangan

bahwa organisme akan beradaptasi dengan stimuli di lingkungannya, sehingga

(13)

7. Model Anteseden dan Konsekuensi Pelanggan

Dalam model tersebut, anteseden kepuasan pelanggan meliputi

ekspektasi pelanggan, diskonfirmasi ekspektasi, kinerja, affect; dan equity

(penilaian konsumen terhadap keadilan distributif, prosedural, dan interaksional).

Sedangkan konsekuensi kepuasan pelanggan diklasifikasikan menjadi tiga

kategori, yaitu perilaku komplain, perilaku word-of-mouth, dan minat pembelian

ulang (repurchase intention).

2.2.5. Metode Pengukuran Kepuasan Pelanggan

Paling tidak ada empat metode yang banyak dipergunakan dalam

mengukur kepuasan pelanggan (Kotler, 2005:366) :

1. Sistem keluhan dan saran

Setiap organisasi jasa yang berorientasi pada pelanggan wajib

memberikan kesempatan seluasnya-luasnya bagi para pelanggannya untuk

menyampaikan saran, kritik, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang

digunakan biasa berupa kotak saran yang diletakkan di tempat-tempat strategis,

kartu komentar, saluran telepon khusus bebas pulsa, website, dan lain-lain.

Informasi-informasi yang diperoleh melalui metode ini dapat memberikan ide-ide

baru dan masukan yang berharga kepada perusahaan, sehingga memungkinkannya

untuk bereaksi dengan tanggap dan cepat untuk mengatasi masalah-masalah yang

timbul.

2. Ghost shopping

Salah satu metode untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan

pelanggan adalah dengan mempekerjakan beberapa orang ghost shoppers untuk

(14)

diminta melaporkan berbagai temuan penting berdasarkan pengalamannya

mengenai kekuatan dan kelemahan jasa perusahaan dibandingkan para pesaing.

Selain itu, para ghost shopper juga dapat mengobservasi cara perusahaan dan

pesaingnya melayani permintaan spesifik pelanggan, menjawab pertanyaan

pelanggan, dan menangani setiap masalah atau keluhan pelanggan.

3. Lost customer analysis

Perusahaan seyogyanya menghubungi para pelanggan yang telah berhenti

membeli atau yang telah beralih pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu

terjadi dan supaya dapat mengambil kebijakan perbaikan atau penyempurnaan

selanjutnya.

4. Survei kepuasan pelanggan

Umumnya sebagian besar penelitian mengenai kepuasan pelanggan

menggunakan metode survey, baik via pos, telepon, e-mail, maupun wawancara

langsung. Melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan

balik langsung dari pelanggan dan juga memberikan sinyal positif bahwa

perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka.

2.3. Experiential Marketing

2.3.1. Pengertian Experiential Marketing

Experience atau pengalaman adalah kejadian pribadi dengan makna

emosional yang diciptakan oleh interaksi dengan produk atau merek yang terkait

rangsangan (Holbrook dan Hirschman dalam Adeusun dan Ganiyu). Hal ini dapat

dicapai melalui partisipasi dalam pertemuan pribadi yang relevan, kredibel, dan

(15)

mengubah dengan cepat wajah pemasaran. Beberapa pengertian mengenai

experiential marketing yaitu:

Adaptasi dari Marketing Aesthetics (Andrawina, 2013) mengungkapkan

bahwa :

“Experiential marketing adalah pendekatan baru dalam bidang disiplin ilmu pemasaran yang mengacu pada peristiwa individual yang terjadi, baik bersifat rasional maupun emosional, dikarenakan adanya stimulasi tertentu atau rangsangan dari luar yang membentuk suatu persepsi dan mempunyai dampak terhadap perilaku individu tersebut pada masa yang akan datang”.

Menurut Kartajaya (2009), experiential marketing adalah : “Suatu konsep

pemasaran yang bertujuan untuk membentuk pelanggan-pelanggan yang loyal

dengan menyentuh emosi mereka dan memberikan suatu feeling yang positif

terhadap produk dan service”.

Smilansky (2005: 13) mengartikan experiential marketing sebagai :

“Proses mengidentifikasi dan memuaskan kebutuhan dan aspirasi pelanggan,

menguntungkan, melibatkan pelanggan melalui komunikasi dua arah yang

membawa kepribadian merek untuk hidup dan memberikan nilai tambah pada

target audiens”.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

experiential marketing merupakan strategi pemasaran yang mengacu pada

penciptaan pengalaman nyata pelanggan terhadap merek/produk/jasa untuk

meningkatkan penjualan sekaligus menciptakan customer loyalty (loyalitas

(16)

2.3.2. Manfaat Experiential Marketing

Experiential marketing telah banyak digunakan oleh berbagai bidang

usaha bisnis untuk menciptakan hubungan pengalaman dengan pelanggan. Ada

beberapa manfaat menerapkan experiential marketing bagi sebuah usaha bisnis

menurut pandangan Schmitt (1999: 33), antara lain :

1. Membangkitkan kembali merek yang sedang menurun

2. Untuk membedakan satu produk dengan produk pesaing

3. Untuk menciptakan citra dan identitas sebuah perusahaan

4. Untuk mempromosikan inovasi-inovasi

5. Untuk mendorong percobaan, pembelian , dan loyalitas konsumen.

2.3.3. Karakteristik Experiential Marketing

Schmitt membagi experiential marketing menjadi empat karakteristik,

yaitu : “Fokus kepada pengalaman konsumen, menguji situasi konsumen,

mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumsi, dan

metode dan perangkat bersifat elektik”. Berikut penjelasannya :

1. Fokus pada pengalaman konsumen

Experiential marketing fokus kepada pengalaman konsumen yang

timbul dari proses menghadapi, menjalani, atau melewati situasi-situasi tertentu

yang memberikan nilai-nilai indrawi, emosional, kognitif, perilaku, dan relasional

yang menggantikan nilai-nilai fungsional. Pengalaman menghubungkan

perusahaan beserta produknya dengan gaya hidup konsumen yang mendorong

(17)

2. Menguji situasi konsumen

Schmitt mengatakan bahwa pelanggan tidak mengevaluasi setiap produk

hanya sebagai item saja, atau menganalisis fitur dan manfaatnya saja. Akan tetapi

sebaliknya, pelanggan akan bertanya bagaimana setiap produk itu sesuai dengan

situasi konsumsi mereka secara keseluruhan dan bagaimana pengalaman yang

diberikan melalui situasi konsumsi. Para pemasar experiential percaya bahwa

peluang terbesar untuk mempengaruhi sebuah merek terjadi pada periode

pasca-pembelian, yaitu selama mengkonsumsi. Pengalaman selama konsumsi adalah

faktor penting yang menentukan kepuasan konsumen dan loyalitas merek.

3. Mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumsi

Pelanggan merupakan makhluk yang rasional dan emosional, kedua sifat

tersebut akan memicu konsumsi. Dalam experiential marketing, konsumen bukan

hanya dilihat dari sisi rasional saja melainkan juga dari sisi emosionalnya.

Pemasar tidak boleh memperlakukan konsumen hanya sebagai pembuat keputusan

yang rasional saja karena konsumen lebih menginginkan untuk dihibur,

dirangsang serta dipengaruhi secara emosional dan ditantang secara kreatif.

4. Metode dan perangkat bersifat elektik

Metode dan perangkat untuk mengukur pengalaman seseorang lebih

bersifat elektik. Artinya, metode dan perangkat yang digunakan lebih bergantung

pada objek yang diukur atau lebih mengacu pada setiap situasi yang terjadi

(18)

2.3.4. Pendekatan Experiential Marketing

Schmitt (1999: 99-188) membagi pendekatan experiential marketing atau

yang dikenal sebagai SEMs (Strategic Experiential Modules) ke dalam 5 tipe

experience, yaitu : “sense, feel, think, act, dan relate”.

1. Sense

Sense marketing mengacu pada kelima fungsi panca indera manusia yaitu

penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan sentuhan. Tujuan

keseluruhan dari sense marketing adalah untuk menghasilkan kenikmatan estetika

(kegembiraan, keindahan, kepuasan) pelanggan melalui rangsangan terhadap

panca indera. Organisasi dapat menggunakan sense marketing untuk

membedakan dirinya dan produk-produknya di pasar, memotivasi pelanggan

untuk membeli produknya, dan memberikan nilai kepada pelanggan. Terdapat

tiga tujuan strategis antara lain :

a. Sense sebagai pendiferensiasi

Organisasi dapat menggunakan sense marketing sebagai pembeda dari

produk pesaing di dalam pasar. Sense marketing akan memikat konsumen karena

tampil dengan cara yang berbeda dan spesial sehingga organisasi mampu

mendistribusikan nilai kepada konsumen dengan baik.

b. Sense sebagai motivator

Sense marketing dapat memotivasi pelanggan untuk mencoba produk dan

membelinya. Pokok persoalan utamanya adalah bagaimana untuk merangsang

pelanggan tanpa memaksa atau acuh kepada mereka. Dengan tingkat optimal dari

stimulasi dan aktivasi, kampanye sense dapat menjadi sebuah kekuatan motivasi

(19)

c. Sense sebagai penyedia nilai

Sense marketing dapat mendistribusikan nilai yang unik kepada

konsumen, tidak hanya tentang fiture dan benefit tetapi sebuah experience yang

dapat merangsang panca indera konsumen.

Untuk membedakan produk perusahaan melalui ketertarikan inderawi,

maka perlu diperhatikan rangsangan apa yang paling tepat untuk menciptakannya

(stimuli). Sementara itu, untuk memotivasi konsumen, perlu dilakukan

identifikasi proses (processes). Pada akhirnya, untuk menciptakan suatu nilai,

kita harus memahami konsekuensi dari ketertarikan inderawi tersebut

(consequences). Stimuli, Processes, dan Consequences tersebut dikenal dengan

S-P-C Model.

2. Feel

Feel marketing memikat perasaan dan emosi pelanggan dengan tujuan

untuk menciptakan pengalaman afektif dari sekedar suasana positif terhadap

merek menjadi emosi yang kuat terhadap kesenangan dan kebanggaan.

Pengalaman afektif adalah tingkat pengalaman yang merupakan perasaan yang

bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan yang positif atau pernyataan

mood yang negatif sampai emosi yang kuat. Jika pemasar ingin menggunakan

pengalaman afektif sebagai strategi pemasaran, maka diperlukan pemahaman

lebih baik mengenai suasana hati (moods) dan emosi (emotions).

1. Suasana hati (moods)

Moods dapat dibangkitkan dengan cara memberikan stimuli yang

(20)

konsumsi produk dan pada gilirannya, dapat mempengaruhi evaluasi menyeluruh

konsumen atas produk tersebut.

2. Emosi (emotions)

Emosi merupakan keadaan afektif yang rangsangannya diketahui secara

spesifik dan intens. Emosi selalu disebabkan oleh sesuatu atau seseorang (orang,

events, perusahaan, produk, komunikasi). Emosi dapat digerakkan oleh tiga aspek

utama, yaitu events, agents, dan objects. Events dapat dikatakan sebagai situasi

pada saat mengonsumsi produk, agents merupakan perusahaan dan sales people,

sedangkan objects dapat digambarkan sebagai produk yang ditawarkan.

Situasi konsumsi merupakan hal terpenting bagi feel marketing. Ketika

konsumen menggunakan produk dan mendapatkan pengalaman terhadap merek,

saat itu konsumen benar-benar menemukan pelayanan dan tenaga penjualan, maka

perusahaan bisa mendapatkan most complex, seperti: emosi yang berkaitan dengan

suka cita, sedih, bahagia, puas, dendam, lega, ketakutan, dan sebagainya. Jika

sebuah strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang baik secara konsisten

bagi pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat

dan bertahan lama.

3. Think

Tujuan utama dari think marketing adalah mendorong konsumen untuk

terlibat dalam suatu pemikiran seksama dan kreatif yang berdampak pada

penilaian kembali perusahaan dan produk. Sekaligus juga berperan penting dalam

merubah asumsi dan ekspektasi konsumen yang kuno. Think marketing harus

berupaya agar konsumen berpikir positif terhadap produk atau jasa yang

(21)

Dalam Think marketing terdapat dua jenis pemikiran yang harus

diperhatikan, yaitu : Pemikiran kovergen dan divergen. Pemikiran konvergen

dimaksudkan untuk menganalisis dan mengambil keputusan terhadap suatu

masalah spesifik. Sedangkan pemikiran divergen dimaksudkan untuk

memunculkan ide baru (perceptual fluency), fleksibilitas atau flexibility

(kemampuan untuk menyesuaikan perspektif dengan mudah), dan kemampuan

untuk memunculkan ide-ide asli yang luar biasa (originality). Schmitt

mengemukakan tiga cara agar kampanye think berhasil, yaitu :

1. Kejutan (surprise)

Menciptakan sebuah kejutan yang dihadirkan baik dalam bentuk visual, verbal

ataupun konseptual. Kejutan merupakan suatu hal yang penting dalam

membangun pelanggan agar mereka terlibat dalam cara berpikir yang kreatif.

Kejutan harus bersifat positif, yang berarti pelanggan mendapatkan lebih dari

yang mereka minta, lebih menyenangkan dari yang mereka harapkan, atau sesuatu

yang sama sekali lain dari yang mereka harapkan yang pada akhirnya dapat

membuat pelanggan merasa senang.

2. Memikat (intrigue)

Jika kejutan dimulai untuk membangun sebuah harapan, kampanye

intrigue mencoba membangkitkan rasa ingin tahu pelanggan, apa saja yang

memikat pelanggan. Misalnya, dengan diberikannya paket makan yang menarik.

Terkadang apa yang dapat memikat seseorang dapat menjadi sesuatu yang

membosankan bagi orang lain, tergantung pada tingkat pengetahuan, kesukaan,

(22)

3. Provokasi (provocation)

Provokasi dapat merangsang diskusi, menciptakan perdebatan, atau

kejutan tergantung pada tujuan kelompok target yang diharapkan. Provokasi

dapat beresiko jika dilakukan secara tidak baik dan agresif.

4. Act

Act berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran dan tubuh). Hal

ini berhubungan tentang bagaimana membuat orang berbuat sesuatu dan

mengekspresikan gaya hidupnya. Perubahan gaya hidup seringkali lebih

memotivasi, menginspirasi, dan spontan secara alami dan dapat membuat

pelanggan berbuat hal-hal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan cara yang

baru, dan merubah hidup mereka menjadi lebih baik. Selain pengalaman fisik dan

gaya hidup, terdapat pengalaman yang terkait dengan konsumen lainnya. Perilaku

konsumen tidak hanya bergantung pada kepercayaan, sikap, dan minat mereka,

tetapi juga kepercayaan terhadap kelompok rujukan dan norma sosial.

Act marketing didesain untuk menciptakan experience pelanggan yang

berhubungan dengan physical body, pola perilaku jangka panjang, dan lifesyle

serta pengalaman yang terjadi sebagai akibat dari interaksi dengan orang lain. Act

bergerak melampaui sensasi, afeksi, dan kognisi. Act Experience meliputi :

1. Pengalaman tubuh/fisik (physical body experience)

Physical body (flesh, motor action, dan body signals) tidak hanya

menghasilkan sensasi dan persepsi dari dunia luar (seperti persepsi produk,

perusahaan, web site, dll.). Tubuh kita (the flesh), juga merupakan sumber

experience, contohnya adalah ketika seseorang ke salon untuk memotong rambut,

(23)

yang menghasilkan keadaan kejiwaan dalam bentuk experience. Body signals,

bermacam gerak tubuh yang menunjukkan emosi seseorang. Sebagai pemasar,

penjual, dan pengiklan, pemasar dapat menggunakan sinyal tubuh yang sama

untuk mempengaruhi perilaku konsumen, dan environmental influences on

physical desires (mengalokasikan pemasaran produk tepat dengan keinginan

konsumen pada waktu dan kondisi yang sesuai).

2. Gaya hidup (lifestyle)

Dalam literatur pemasaran, gaya hidup mengacu pada pola hidup

seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas orang yang bersangkutan,

minat, dan pendapatnya. Untuk mengekspresikan lifestyle-nya, konsumen

membutuhkan markers (penanda) dan indikator, yaitu lifestyle brand. Pemasar

perlu sensitif terhadap trend lifestyle dan memastikan bahwa brand tersebut

diasosiasikan sebagai bagian dari lifestyle. Hanya dengan cara itu kita dapat

menciptakan pengalaman gaya hidup yang paling efektif.

3. Interaksi (interact)

Perilaku orang tergantung tidak hanya pada kepercayaan, sikap, dan

tujuan orang tersebut, melainkan juga pada kepercayaan kelompok referensi dan

norma sosial.

5. Relate

Relate marketing berisikan aspek-aspek dari sense, feel, think, act

marketing serta menitik beratkan pada penciptaan persepsi positif di mata

pelanggan. Relate Marketing mengembangkan suatu experience di luar sensasi

pribadi individu, perasaan, kesadaran, dan tindakan dengan menghubungkan

(24)

merek. Tujuan berhubungan dengan orang lain tampaknya dimotivasi oleh

kebutuhan untuk kategorisasi dan pencarian makna. Relate experience dibentuk

oleh beberapa hal berikut: kin relations (hubungan kerabat), social role (peran

sosial), social influence (pengaruh sosial), social categorization (kategorisasi

sosial), social identity (identitas sosial), brand communities (komunitas merek),

group membership (kelompok keanggotaan).

2.3.5. Alat-alat Penting dari Experiential Marketing : Experience Providers (ExPros)

“Experience providers (Expros) merupakan alat taktis untuk

mengimplementasi kelima tipe experience (sense, feel, think, act, dan relate),

terdiri dari: communications, identities, products, co-branding, environment, web

sites, dan people” (Schmitt, 1999 :72 - 74).

a. Communications (komunikasi) : mencakup periklanan, komunikasi perusahaan

internal dan eksternal (seperti magalogs, brosur dan koran, laporan tahunan, dll.)

serta kampanye public relations.

b. Visual/verbal identity (identitas visual/verbal) : mencakup nama perusahaan,

logo dan lambing.

c. Product presence (kehadiran produk) : mencakup desain produk, pengemasan

dan penampakan produk, dan karakter merek yang digunakan sebagai bagian dari

pengemasan dan poin dari material penjualan.

d. Co-branding (kerja sama merek) : mencakup event marketing dan sponsorship,

aliansi dan partnership, perizinan, penempatan produk dalam film, kerja sama

(25)

e. Spatial environment (lingkungan spasial) : mencakup gedung, bangunan

kantor, lahan pabrik, toko ritel, dan gerai‐gerai promosi.

f. Web sites dan media elektronik

g. People (orang) : mencakup sales people, perwakilan perusahaan, penyedia jasa,

penyedia pelayanan pelanggan dan siapa saja yang terlibat dengan perusahaan

atau merek.

2.4. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah pondasi utama dari proyek penelitian. Hal

ini merupakan jaringan hubungan antar variabel yang secara logis diterangkan,

dikembangkan, dan dielaborasi dari perumusan masalah yang telah diidentifikasi

melalui proses wawancara, observasi dan survey literature (Kuncoro, 2003:4).

Experiential marketing adalah suatu konsep pemasaran yang bertujuan

untuk membentuk pelanggan – pelanggan yang loyal dengan menyentuh emosi

mereka dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap produk dan service.

Strategic Experiential Modules (SEMs) merupakan modul yang dapat digunakan

untuk menciptakan berbagai jenis pengalaman bagi konsumen. Strategic

Experiential Modules (SEMs) meliputi : Sense, Feel, Think, Act, Relate (Schimitt,

2004 : 89).

Sebenarnya tujuan utama experiential marketing adalah untuk

menciptakan holistic experience, yaitu pengalaman-pengalaman yang unik, positif

dan mengesankan bagi konsumen yang mencakup sense, yang bertujuan untuk

menyentuh sensory experience dari diri konsumen melalui kelima panca indera

konsumen sehingga konsumen merasa berkesan dengan produk/jasa kita. Pada

(26)

positif maupun negatif terhadap kepuasaan. Mungkin saja suatu produk dan jasa

yang ditawarkan oleh produsen tidak sesuai dengan selera konsumen atau

mungkin juga konsumen menjadi sangat puas.

Feel yang bertujuan untuk membentuk pengalaman afektif yang

konsumen dapat dari pemasar. Affective experience adalah tingkat pengalaman

yang merupakan perasaan yang bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan

yang positif atau pernyataan mood yang negatif sampai emosi yang kuat.Untuk

restoran misalnya, apakah restoran itu dapat memberikan kenyamanan, pelayanan

yang baik dan ramah, dan bagaimana sikap pemasar dalam menangani keluhan

konsumen.

Think marketing adalah untuk mempengaruhi pelanggan agar terlibat

dalam pemikiran yang kreatif dan dapat menciptakan kesadaran melalui proses

berfikir yang berdampak pada evaluasi ulang terhadap perusahaan, produk dan

jasanya. Misalnya, konsumen dapat mengartikan makna logo produk/jasa,

beragam paket yang ditawarkan membuat konsumen berpikir bahwa restoran

tersebut murah dan enak.

Act digunakan untuk mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan segala

bentuk interaksi terhadap konsumen yang dapat memberikan pengaruh positif

terhadap kepuasaan konsumen. Ketika act marketing mampu mempengaruhi

perilaku dan gaya hidup pelanggan maka akan berdampak positif terhadap

kepuasan konsumen karena pelanggan merasa bahwa produk atau jasa tersebut

sudah sesuai dengan gaya hidupnya. Misalnya, restoran menjadi tempat ketiga

(27)

Relate bertujuan untuk membentuk hubungan yang baik antara konsumen

dengan suatu produk/jasa dan merek. Relate marketing dapat memberikan

pengaruh yang positif atau negatif terhadap kepuasan konsumen. Ketika relate

marketing tidak berhasil meningkatkan individu dengan apa yang ada di luar

dirinya maka konsumen tersebut tidak akan mungkin puas dan memberikan

dampak yang negatif.

Dari kelima experience tersebut, terlihat bahwa pemasar ingin menarik

hati konsumen untuk dapat menjadi pelanggan yang loyal nantinya dan untuk

mengukur keberhasilan penerapan experiential marketing tersebut, pemasar dapat

melihatnya dari tingkat kepuasan konsumen setelah merasakan experience yang

diterimanya.

Yang dalam Farisya (2010) meneliti tentang kepuasan konsumen yang

menunjukkan arah yang positif antara pengalaman pembelian sebelumnya dengan

tingkat kepuasan. Dengan adanya pengalaman terhadap pembelian sebelumnya

kemungkinan hanya sedikit ketidaksesuaian antara harapan dan kinerja serta

kemungkinan kecil terhadap ketidakpuasan.

Dari definisi-definisi seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, minat

beli ulang diartikan sebagai keputusan konsumen untuk melakukan pembelian

kembali suatu produk atau jasa berdasarkan apa yang telah diperoleh dari

perusahaan yang sama. Dengan pengalaman yang sudah diperoleh sebelumnya,

dengan suatu produk atau jasa tertentu maka akan menimbulkan kesan positif

sehingga konsumen akan melakukan pembelian ulang.

Oliver dalam Farisya (2012 : 39) menyatakan bahwa di dalam banyak

(28)

antara kepuasan konsumen dengan pembelian ulang, di mana apabila konsumen

memperoleh kepuasan atas suatu produk atau jasa yang dikonsumsi, maka

konsumen tersebut cenderung untuk melakukan pembelian ulang.

Dari uraian tersebut, maka dapat digambarkan kerangka konseptual

sebagai berikut :

Gambar 2.2. Kerangka Konseptual 2.5. Hipotesis

Hipotesis adalah suatu penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena,

atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi. Hipotesis merupakan

pernyataan penelitian tentang hubungan antara variabel – variabel dalam

peneliatian, serta merupakan pernyataan yang paling spesifik (Sinulingga, 2014 :

114).

Berdasarkan kerangka konseptual dan perumusan masalah, maka

dihipotesiskan sebagai berikut :

Experiential Marketing

Kepuasan Pelanggan

(Y1)

Minat Beli Ulang

(Y2) Sense (X1)

Feel (X2)

Think (X3)

Act (X4)

(29)

H1 : Sense berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan

pada Rumah Makan 100 Batu Bara.

H2 : Feel berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan

pada Rumah Makan 100 Batu Bara.

H3 : Think berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan

pada Rumah Makan 100 Batu Bara.

H4 : Act berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan pada

Rumah Makan 100 Batu Bara.

H5 : Relate berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan

pada Rumah Makan 100 Batu Bara.

H6 : Sense,Feel, Think, Act, dan Relate mempunyai pengaruh positif dan

signifikan secara simultan terhadap kepuasan pelanggan pada Rumah Makan 100

Batu Bara.

H7 : Sense berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang pada

Rumah Makan 100 Batu Bara.

H8 : Feel berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang pada

Rumah Makan 100 Batu Bara.

H9 : Think berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang pada

Rumah Makan 100 Batu Bara.

H10 : Act berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang pada

Rumah Makan 100 Batu Bara.

H11 : Relate berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang pada

(30)

H12 : Sense,Feel, Think, Act, dan Relate mempunyai pengaruh positif dan

signifikan secara simultan terhadap minat beli ulang pada Rumah Makan 100

Batu Bara.

H13 : Sense berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang

melalui kepuasan pelanggan sebagai variabel intervening pada Rumah Makan 100

Batu Bara.

H14 : Feel berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang melalui

kepuasan pelanggan sebagai variabel intervening pada Rumah Makan 100 Batu

Bara.

H15 : Think berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang

melalui kepuasan pelanggan sebagai variabel intervening pada Rumah Makan 100

Batu Bara.

H16 : Act berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang melalui

kepuasan pelanggan sebagai variabel intervening pada Rumah Makan 100 Batu

Bara.

H17 : Relate berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang

melalui kepuasan pelanggan sebagai variabel intervening pada Rumah Makan 100

Gambar

Tabel 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1 Model ekspektasi diskonfirmasi dari kepuasan/ketidakpuasan
Gambar 2.2. Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Terbukti bahwa experiential marketing dan kepuasan pelanggan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan Rumah Makan Pring Asri, artinya semakin baik experiential

Salah satu konsep pemasaran yang dapat digunakan untuk mempengaruhi emosi konsumen adalah Experiential Marketing.. Demikian juga dibidang usaha restoran siap saji

Experiential Marketing (sebuah pendekatan pemasaran).. Jurnal

Kepuasan pelanggan sebagai variabel yang mempengaruhi dan di pengaruhi mampu memediasi pengaruh dari experiential marketing terhadap minat membeli ulang.Menurut penelitian

Experiential Marketing merupakan salah satu strategi pemasaran untuk mempengaruhi minat beli dengan cara memperlakukan konsumen melalui perpaduan antara sense, feel,

Penelitian ini meneliti mengenai pengaruh penerapan experiential marketing di rumah makan Lesehan Joyo yang menggunakan strategic experiential modules (SEMs) yaitu

Pada saat ini konsep strategi marketing yang dapat mempengaruhi emosional konsumen yaitu dengan melalui Experiential Marketing , merupakan sebuah konsep pemasaran

pendekatan pemasaran berdasarkan pengalaman.Andreani (2007:2) menyatakan bahwa Experiential Marketing adalah lebih dari sekedar memberikan informasi dan peluang pada