• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkatkecemasanpasien Rehabilitasinarkoba Di Al-Kamalsibolangitcentrerehabilitation For Drugaddictkecamatansibolangitprovinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkatkecemasanpasien Rehabilitasinarkoba Di Al-Kamalsibolangitcentrerehabilitation For Drugaddictkecamatansibolangitprovinsi Sumatera Utara"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

 

Narkoba (narkotika dan obat/bahan berbahaya), disebut juga NAPZA

(narkotika, psikotropika, zat adiktif lain) adalah obat, bahan,atau zat bukan

makanan yang jika diminum, diisap, dihirup, ditelan, atau disuntikan, berpengaruh

pada kerja otak (susunan saraf pusat) dan sering kali menimbulkan

ketergantungan (Martono & Joewana, 2008).

Napza adalah singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika, Dan Zat

Adiktif Lainnya. Napza berupa zat yang bila masuk kedalam tubuh dan akan

mempengaruhi tubuh, terutama susunan saraf pusat yang dapat menyebabkan

gangguan pada fisik, psikis dan fungsi sosial (Sumiati DKK, 2009).

2.1.2 Jenis-Jenis Narkoba  

Menurut Rozak & Sayuti (2006), ada beberapa jenis-jenis nakoba yaitu:

 

1. Narkotika

Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika disebut

bahwa istilah narkotika diartikan dengan zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana  

(2)

terlampir dalam undang-undang ini (UU No. 22/1997 Tentang Narkotika) atau

yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan. Dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 1 disebutkan narkotika adalah

zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis

maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan

dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-

golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini (BNN, 2014).

 

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 6 disebutkan bahwa

narkotika dibagi menjadi tiga golongan yaitu

a) Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,

serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b) Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan

sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan.

c) Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak

digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

2. Psikotropika

 

(3)

saraf pusat dan menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan

perilaku. Ada 4 golongan psikotropika yang dibagi menurut potensinya

menyebabkan ketergantungan, yaitu sebagai berikut

a. Golongan I sangat tinggi menimbulkan ketergantungan dan selain untuk

ilmu pengetahuan dinyatakan sebagai barang terlarang, sehingga dilarang

keras digunakan atau diedarkan di luar ketentuan hukum. Contoh ekstasi

(MDMA) dan (LSD) yang banyak disalahgunakan.

b. Golongan II berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan dengan cara

selektif dan digunakkan pada pengobatan. Contoh amfetamin dan

metamefatamin (shabu) yang banyak disalahgunakan.

c. Golongan III dan IV berpotensi sedang dan ringan menimbulkan

ketergantungan, dan dapat digunakan pada pengobatan, tetapi harus dengan

resep dokter. Contoh bermacam-macam obat penenang (sadativa) dan obat

tidur (hipnotika), yang sering disalahgunakan berupa Mogadon (MG),

Rohypnol (Rohyp), pil KB/Koplo, lexotan (lexo).

3. Zat Psikoaktif Lain

 

Zat Adiktif adalah zat yang dapat menimbulkan adiksi (addiction) yaitu

ketagihan sampai pada dependensi (dependency) yaitu ketergantungan,

misalnya zat atau bahan yang tergolong amphetamine, sedativa/hipnotika,

termasuk tembakau atau rokok (Hawari, 2006). zat psikoaktif lain adalah zat

atau bahan lain bukan narkotika dan psikotropika yang berpengaruh terhadap

(4)

a. Alkohol pada minuman keras, terdiri dari golongan A dengan kadar etanol

 

1-5%, contoh bir golongan B dengan kadar etanol 5-20%, contoh sebagai

jenis minuman anggur golongan C dengan kadar etanol 20-45%, contoh

Whiskey, Vodka, TKW, Mansion House, Johny Walker, dan Kamput.

b. Inhalasi atau Solven, yaitu gas atau zat pelarut yang mudah menguap berupa

senyawa organik yang sering digunakan untuk berbagai keperluan industri,

kantor, bengkel, toko, dan rumah tangga, seperti lem, thiner, aceton,

aerosol, bensin. Zat ini disalahgunakan dengan cara dihirup, terutama pada

anak usia 9-14 tahun.

c. Nikotin terdapat pada tembakau. Rokok mengandung 4.000 zat. Yang

paling berbahaya adalah nikotin merupakan bahan penyebab

ketergantungan.

 

Organisasi kesehatan dunia (WHO) menggolongkan obat, bahan, dan zat

psikoaktif, berdasarkan pengaruh terhadap tubuh manusia yaitu, Opioda (opium,

morfin, heroin, dan petidin); Ganja; Kokain dan daun koka; Alkohol; Amfetamin

(amfetamin, ekstasi, shabu); Halusinogen (LSD); Sedativa dan hipnotika (obat

penenang dan obat tidur); PCP (fensiklidin); Inhalansia dan solven; Nikotin dan

Kafein ( Martono & Joewana, 2008).

 

       

2.1.3 Bahaya Penyalahgunaan Narkoba  

(5)

pula berupa bahaya sosial terhadap masyarakat atau lingkungan. Secara umum,

dampak kecanduan narkoba dapat terlihat pada keadaan fisik, psikis maupun

keadaan sosial seseorang, adapun bahaya tersebut yaitu:

1. Secara fisik:

 

a. Gangguan pada system syaraf (neurologis) seperti: kejang-kejang,

halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi.

b. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti:

 

infeksi akut otot jantung, gangguan peredaran darah.

 

c. Gangguan pada kulit (dermatologi) seperti : penanahan (abses), alergi.

 

d. Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti: penekanan fungsi

pernapasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru.

e. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, suhu tubuh meningkat,

pengecilan hati dan sulit tidur.

f. Akan berakibat fatal apabila terjadi over dosis yaitu konsumsi narkoba

melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. over dosis dapat

menyebabkan kematian.

g. Dampak kesehatan reproduksi pada remaja laki-laki dapat mengakibatkan

terjadinya penurunan kadar hormon testosteron, penurunan dorongan seks,

disfungsi ereksi, hambatan ejakulasi, pengecilan ukuran penis dan gangguan

sperma.

h. Dampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan terjadi

penurunan dorongan seks, gangguan pada hormon estrogen dan progesteron,

(6)

sel telur, serta pada wanita hamil dapat menyebabkan kekurangan gizi

sehingga bayi yang dilahirkan juga dapat kekurangan gizi, berat badan bayi

rendah, bayi cacat serta dapat menyebabkan bayi keguguran.

i. Bagi pengguna narkoba melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum

suntik secara bergantian, resikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis

B, C dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya.

2. Secara Psikis:

 

a. Lamban saat kerja, ceroboh pada saat kerja, sering gelisah.

 

b. Hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga terhadap orang

lain.

c. Emosional, dapat melakukan hal–hal negatif diluar dugaan.

d. Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan.

e. Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri.

 

3. Secara Sosial:

 

a. Gangguan mental (sakit jiwa), anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh

lingkungan.

b. Merepotkan dan menjadi beban keluarga.

c. Pendidikan terganggu masa depan suram.

2.1.4 Efek Samping Penyalahgunaan Narkoba Menurut Jenis  

Efek samping penggunaan narkoba adalah gejala yang timbul akibat

pemakaian narkoba dengan dosis yang tidak pasti/tidak sesuai, yang dapat

(7)

1. opioda (morfin, heroin, putaw,dan lain-lain)

 

opioda alami berasal dari getah opium poppy (opiat), seperti morfin, opium,

dan kodein.

Cara pemakaiannya: disuntikkan kedalam pembuluh darah atau dihisap melalui

hidung setelah di bakar.

a. Pengaruh jangka pendek: hilangnya rasa nyeri, ketegangan berkurang,

munculnya rasa nyaman (eforik) diikuti perasaan seperti miimpi dan rasa

mengantuk, dan pemakaian dapat meninggal karena overdosis.

b. Pengaruh jangka panjang: ketergantungan (gejala putus zat, toleransi).

 

Dapat timbul komplikasi, seperti sembelit, gangguan menstruasi, dan

impotensi. Karena pemakaian jarum suntik tidak steril dapat menimbulkan

abses, hepatitis B/C yang merusak hati, dan penyakit HIV AIDS yang

merusak system kekebalan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi dan

akhirnya menyebabkan kematian.

2. Ganja  

Cara pemakaiannya: yang di pakai berupa tanaman kering yang dirajang,

dilinting, dan disulut seperti rokok.

a. Efek Setelah Pemakaian: muncul cemas, rasa gembira, bayak bicara, tertawa

cekikian, halusinasi, dan berubahnya perasaan waktu, (lama dikira sebentar)

dan ruang (jauh dikira dekat), peningkatan denyut jantung, mata merah,

mulut dan tenggorokan kering, dan selera makan meningkat.

b. Pengaruh jangka panjang: daya pikir berkurang, motivasi belajar turun,

(8)

menurun, mengurangi kesuburan, peradangan jalan napas, aliran darah

berkurang kejantung dan terjadi perubahan pada sel-sel otak.

3. Kokain (kokai, crack, daun koka, pasta koka)

 

Cara pemakaiannya: dengan cara disedot melalui hidung, dirokok, atau

disuntikan.

a. Efek Setelah Pemakaian: rasa percaya diri meningkat, bayak bicara, rasa

lelah hilang, kebutuhan tidur berkurang, minat seksual meningkat,

halusinasi visual dan taktil (seperti ada serangan rayap), waham

curiga/curiga (paranoid)

b. Pengaruh jangka panjang: kurang gizi, anemia, sekat hidung rusak,

danterjadi gangguan jiwa (psikotik)

4. Alkohol  

Cara pemakaiannya: diminum

 

a. Efek Setelah Pemakaian: meyebabkan mabuk, jalan sempoyongan, bicara

cadel, kekerasan/perbuatan merusak, ketidak mampuan belajar dan

mengingat, dan kecelakaan karena mengendarai dalam keadaan mabuk

 

       

b. Pemakaian jangka panjang: menyebabkan kerusakan pada hati, lambung,

saraf tepi, otak, gangguan jantung, meningkatnya resiko kanker, dan bayi

lahir cacat dari ibu pecandu alkohol

5. Golongan Amfetamin (Amfetamin, Ekstasi, Sabu)

 

(9)

a. Pengaruh jangka pendek: tidak tidur (terjaga), rasa riang, perasaan

melambung (fly), rasa yaman, dan meningkatkan keakraban. Akan tetapi,

setelah itu, muncul rasa tidak enak, murung, nafsu makan hilang,

berkeringat, rahang kaku da bergerak-gerak, dan badan gemetar, dapat

terjadi gangguan jiwa

b. Pemakaian jangka panjang: kurang gizi, anemia, penyakit jantung, dan

gangguan jiwa psikotik

6. Golongan Halusinogen: Lysergic Acid (LSD)

Cara pemakaiannya: meletakanya pada lidah

Pengaruh LSD tidak dapat di duga. Sensasi dan perasaan berubah secara

dramatis, degan mengalami flash back atau bad rips (halusinasi/penglihatan

semu) berulang tanpa peringatan sebelumnya. Pupil melebar, tidak bisa tidur,

selera makan hilang, suhu tubuh meningkat, denyut nadi dan tekanan darah

naik, tremor, dapat merusak sel otak

               

7. Sedative dan hipnotika (obat penenang, obat tidur)

Cara pemakaiannya: diminum

a. Efek setelah pemakaian: muncul perasaan tenang dan otot-otot mengendur.

 

Pada dosis lebih besar gangguan bicara (pelo), persepsi terganggu, dan jalan

sempoyongan, dosis lebih tinggi: tertekannya pernapasan, koma, dan

(10)

b. Pemakaian jangka panjang: kerusakan otak, paru-paru, ginjal, sumsum

tulang, dan jantung

8. Solven & Inhalansia  

Cara pemakaiannya: dihirup/hisap

 

a. Efek jangka pendek: seperti pengaruh pemakain alkohol, dapat berakibat

mati mendadak karena kekurangan oksigen, atau karena ilusi, halusinasi,

dan persepsi salah

b. Pengaruh jangka panjang: kerusakan otak, paru-paru, ginjal, sumsum tulang,

dan jantung (Lydia & Satya, 2008).

2.1.5 Mekanisme Terjadinya Penyalahgunaan dan Ketergantungan  

Naza (Narkotika, Alkohol, dan Zat adiktif)  

 

Mekanisme terjadinya penyalahgunaan dan ketergantungan naza dapat

diterangkan dengan 3 pendekatan, yaitu pendekatan organobiologik,

psikodinamik, dan psikososial. Ketiga pendekatan tersebut tidak berdiri sendiri

melainkan saling berikatan satu sama lainnya.

 

   

1. Organobiologik

 

Dari sudut pandang organobiologik (susunan saraf pusat/otak) mekanisme

terjadinya adiksi (ketagihan) hingga dependensi (ketergantungan) naza dikenal

2 istilah, yaitu gangguan mental organik akibat naza atau sindrom otak organik

akibat naza yaitu kegaduh gelisahan dan kekacauan dalam fungsi kognitif

(11)

lain adalah ganguan penggunaan naza termasuk didalamnya pengertian

penyalahgunaan naza atau ketergantungan naza, yang lebih banyak menyoroti

berbagai kelainan perilaku (behavior disorder) yang berkaitan dengan

penggunaan naza yang mempengaruhi susunan saraf pusat (otak).

Oleh karena itu di dalam ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) kedua

pengertian tersebut diatas sering kali digabungkan menjadi satu kesatuan

diagnosis yang disebut dengan ganguan mental dan perilaku akibat naza.

Beberapa teori mengemukakan tetang proses terjadinya adiksi (ketagihan) dan

dependensi ( ketergantungan) pada penyalahgunaan naza, antara lain sebagai

berikut :

 

Wikler (1973) mengemukakan conditioning theory. Menurut teori ini

seseorang akan menjadi ketergantungan terhadap naza apabila ia terus

menerus diberi naza tersebut. Hal ini sesuai dengan teori adaptasi selular

(neuro-adaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan

sel-sel saraf bekerja keras. Jika naza dihentikan, sel yang masih bekerja keras

tadi mengalami kehausan, yang diluar nampak sebagai gejala putus naza.

Gejala putus naza ini memaksa seseorang untuk mengulangi pemakaian naza

tersebut, demikian seterusnya. Apabila naza dikonsumsi dengan cara ditelan,

diminum,dihisap, dihirup, dihidu dan melalui suntikan maka naza melalui

peredaran darah sampai susuunan saraf pusat (otak) yang mengganggu sistem

neuro-tansmitter sel-sel saraf otak. Akibat gangguan pada neuro-tansmitter itu

terjadilah gangguan mental dan perilaku akibat naza. Telah diketahui bahwa

(12)

melalui neuro-transmitter tadi, yaitu alat tubuh pada syaraf otak yang

menangkap naza tersebut agar naza itu mempunyai efek.

 

Joewana (1998) menyatakan bahwa kebanyakan naza berinteraksi

dengan cara yang khas pada tempat sasaran dalam suatu sistem biologik di

otak. Tempat itu dalam farmakologik disebut reseptor. Interaksi naza dan

reseptor biasanya bukan merupakan ikatan kovalen kimiawi, melainkan suatu

interaksi yang lebih lemah. Karena bentuk yang khusus dan muatan yang

spesifik, naza dapat terikat secara reversible (yang dapat balik kembali) pada

zat kimia spesifik pada reseptor. Dengan demikian, terjadi perubahan aktifitas

fisiologik reseptor tersebut. Reseptor dapat pula berupa enzim, yang dapat

diubah aktifitasnya oleh naza.

 

       

Reseptor dapat pula berupa membran sel sehingga dapat menghambat

atau memacu sel tersebut. Ada juga yang tidak bekerja melalui reseptor,

misalnya beberapa macam anestetika yang mengubah muatan listrik saraf

dengan melarutkan diri dalam lipo-protein membran sel. Hal tersebut akan

mengubah sifat psiko-kimia membran sel sehingga terjadi hambatan bila ada

eksitasi. Sebagai contoh misalnya opiat (morphine atau heroin). Reseptor opiat

terdapat pada hipotalamus dan sistem limbik otak bagian dalam, yaitu bagian

otak yang berkaitan dengan fungsi kognitif (alam fikir), efektif (alam

(13)

a. Mu-reseptor, terutama mengikat morphine/heroin dan diduga ada kaitannya

dengan fungsi analgetik (penawar nyeri)

b. Gamma-reseptor, yang mengikat enkafalin dan berperan dalam

hubungannya dengan perilaku

c. Kappa-reseptor, secara spesifik mengikat ketosiklasosin dan dinorfin serta

ada hubungannya dengan efek sedasi dan ataxia

d. Delta-reseptor, mempunyai afinitas pada siklasosin, dan opiat yang mirip

siklasosin serta berhubungan dengan efek psikotomi-metik senyawa ini.

 

Peran faktor genetik dalam penyalahgunaan naza dikemukakan oleh Banks

dan Walter (1983), Kaplan dan Sadock (1989) yang menyatakan bahwa gen

berperan pada ketergantungan alkohol, tetapi untuk jenis zat-zat lainnya faktor

gen sebagai etiologi masih lemah.

 

Menurut, Edwards (1982) menyatakan bahwa secara umum contoh orang

tua (parental example) lebih penting dari pada gen (sifat turunan) orang tua

(parental genes). Dari studi kepustakaan dapat disimpulkan bahwa faktor

orgonobiologik mempunyai peran pada penyalahgunaan/ketergantungan naza.

Interaksi antara naza dengan reseptor di susunan saraf pusat (otak), perubahan-

perubahan neuro-psikologik pada sistem neuro-tansmitter pada reseptor yang

bersangkutan mengakibatkan terjadinya adiksi (ketagihan) sampai dengan

depedensi (ketergantungan) naza. peran faktor genetika pada ketergantungan naza

belum bisa dibuktikan kecuali artinya, bila orang tua seorang alkoholik maka anak

yang dilahirkan sudah membawa sifat untuk menjadi seorang alkoholik

(14)

2. Psikodinamik

   

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1990) menyatakan bahwa

seseorang akan terlibat penyalahgunaan naza dan dapat sampai pada

ketergantungan naza, apabila pada orang itu sudah ada faktor predisposisi, yaitu

faktor yang membuat seseorang cendrung menyalahgunakan naza. Adanya faktor

predisposisi ini saja belum cukup sehingga diperlukan faktor lain yang berperan

serta pada penyalahgunaan/ketergantungan naza, yaitu faktor kontribusi. Bila

faktor predisposisi dan kontribusi ini sudah ada, diperlukan satu faktor lagi yang

mendorong terjadinya penyalahgunaan atau ketergantungan naza tadi, yaitu faktor

pencetus. Dalam penelitian tersebut yang termasuk dalam faktor predisposisi

adalah ganguan kejiwaan yaitu gangguan kepribadian (antisosial), kecemasan dan

depresi.

 

Sedangkan yang termasuk faktor kontribusi adalah kondisi keluarga yang

terdiri dari tiga komponen yaitu keutuhan keluarga, kesibukan orang tua, dan

hubungan interpersonal antar keluarga. Dan termasuk faktor pencetus adalah

pengaruh teman kelompok sebaya dan nazanya itu sendiri.

 

3. Psikososial

 

Penyalahgunaan/ketergantungan naza adalah salah satu bentuk perilaku

menyimpang. Dari sudut pandang psikososial perilaku menyimpang ini akibat

negatif dari interaksi 3 kutup sosial yang tidak kondusif (tidak mendukung ke arah

(15)

Secara sistematis terjadi perilaku menyimpang yang berakibat pada

penyalahgunaan dan ketergantungan naza(Hawari, 2006).

2.1.6 Cara Kerja Narkoba  

Narkoba yang ditelan masuk ke dalam lambung, kemudian masuk

kepembuluh darah. Jika dihisap atau dihirup, zat diserap masuk ke dalam

pembuluh darah melalui saluran hidung dan paru-paru. Jika zat disuntikkan, zat

itu ke otak. Semua jenis narkoba dapat mengubah perasaan dan cara berfikir

seseorang, tergantung pada jenisnya, narkoba menyebabkan perubahan pada

suasana hati (menenangkan, rileks, gembira, rasa bebas), perubahan pada pikiran

(stress hilang, meningkatnya khayal), perubahan prilaku (meningkatkan

keakraban, menghambat nilai, lepas kendali) itulah narkoba disebut zat psikoaktif.

perasa nikmat, enak, dan nyaman yang dihasilkan oleh narkoba itulah yang

awalnya di cari oleh pemakai.

Bagian otak yang menghasilkan perasaan tersebut adalah system limbus.

Hipotalamus, adalah pusat kenikmatan pada otak bagian dari system limbus.

Narkoba menghasilkan perasaan “high” dengan mengubah susunan biokimiawi

molekul sel otak pada system limbus, yang disebut neuro-transmitter. Yang

terjadi pada adiksi adalah semacam pembelajaran sel-sel otak pada hipotalamus

(pusat kenikmatan) jika kita mengkonsumsi narkoba, otak membaca tanggapan

kita. Jika mmerasa nikmat, otak mengeluarkan neurotransmitter yang

menyampaikan pesan: “Zat ini berguna bagi mekanisme pertahanan tubuh jadi

ulangi pemakaian. Jika memakai narkoba lagi, kita kembali merasa nikmat,

(16)

Otak akan merekamnya sebagai suatu yang harus di cari sebagi prioritas.

Akibatny, otak membuat “program salah”, seolah-olah kita memang

memerlukanya sebagai mekanisme pertahanan diri. Terjadilah kecanduan dan

ketergantungan (Matono & Joewana, 2008). Jika terjadi ketagihan dan

ketergantungan, Apabila yang bersangkutan menghentikannya, maka ia dapat

jatuh dalam keadaan kecemasan dan atau depresi (Hawari, 2013).

 

Ansietas atau kecemasan adalah respons emosi tanpa obyek yang spesifik

sehingga klien merasakan suatu perasaan was-was seakan sesuatu yang buruk

akan terjadi dan biasanya disertai gejala-gejala otonomik yang berlangsung

beberapa hari, bulan bahkan tahun (Sumiati DKK, 2009). Cemas merupakan suatu

reaksi emosional yang timbul oleh penyebab yang tidak pasti dan tidak spesifik

yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan merasa terancam (Stuart,

(17)

Cemas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh

situasi. Kecemasan merupakan sekolompok kondisi yang memberi gambaran

penting tentang kecemasan yang berlebihan yang disertai respon perilaku,

emosional dan fisiologis individu (Videbeck, 2011). Kecemasan adalah

kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan

tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang

spesifik. Ansietas adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan tidak

dapat dibenarkan yang disertai gejala fisiologis, sedangkan pada gangguan

ansietas terkandung unsur penderitaan yang bermakna dan gangguan fungsi yang

disebabkan oleh kecemasan tersebut (Stuart, 2007 dalam Herman 2011).

 

       

Kecemasan adalah gangguan dalam alam perasaan yang ditandai dengan

perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak

mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian utuh, prilaku dapat

terganggu tetapi dalam batas-batas normal. Orang yang mengalami kecemasan

mempunyai resiko relatif (estimated relative risk) 13,8 terlibat penyalah gunaan

NAZA di bandingkan dengan orang tanpa kecemasan (Hawari, 2006).

Kecemasan yang terjadi merupakan respon terhadap sesuatu atau hal yang

telah terjadi di waktu lampau ataupun yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Semakin besar ancaman yang dirasakan, maka kecemasan yang terjadi pun

semakin besar. Orang-orang yang membutuhkan kontrol, kemungkinan

mengalami kecemasan lebih besar. Respon terhadap kecemasan bervariasi pada

(18)

motivasi kuat yang menjadi pemicu problem solving yang produktif dan

berprestasi. Respon terhadap kecemasan bisa juga berupa maladaptive yang mana

kecemasan tidak membantu menyelesaikan permasalahan yang ada, malah

memperburuk keadaan dan membuat seseorang terpuruk. Dari penjabaran diatas

dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan perasaan gelisah atau ketakutan

akan sesuatu yang merupakan respon dari ancaman yang mengganggu nilai,

kenyamanan dan keamanan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar yang

dapat mempengaruhi keadaan fisik maupun psikologis seseorang, dimana respon

terhadap kecemasan ini bisa berupa adaptive ataupun maladaptive tergantung dari

latar belakang dan respon seseorang menghadapi ancaman.

 

2.2.2 Tingkat kecemasan  

Tingkatan ansietas menurut Stuart (2007), dibagi menjadi 4 yaitu:

 

a. Ansieta ringan; berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari,

ansietas pada tingkat ini menyebabkan seseorang menjadi waspada dan

meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas ini dapat memotivasi belajar dan

menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

b. Ansietas sedang; memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang

penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami tidak

perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih banyak jika

diberi arahan.

c. Ansietas berat; sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Individu

(19)

ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat

berfokus pada suatu area lain.

d. Tingkat panik; dari ansietas berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan

teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik

tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik

melibatkan disorganisasi kepribadian dan terjadi peningkatan aktivitas motorik,

menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang

menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional.

Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika berlangsung

terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan bahkan kematian.

 

   

2.2.3 Rentang Respon Ansietas/Cemas  

Menurut Stuart (2007), rentang respon individu terhadap cemas berfluktuasi

antara respon adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling adaptif adalah

antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas yang

mungkin muncul. Sedangkan rentang yang paling maladaptif adalah panik dimana

individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas yang dihadapi

sehingga mengalami gangguan fisik, perilaku maupun kognitif.

 

(20)

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

       

Gambar : Rentang Respon Kecemasan  

Orang sering mengatakan stres ketika mereka merasa cemas, banyak juga

yang mengalami sters ketika mengalami pertukaran antara kejadian atau situasi

yang menyebabkan ketidaknyaman tersebut, baik dari perasaan yang dihasilkan,

pikiran, dan tingkah laku yang timbul. Secara ilmiah stressor dan reaksinya adalah

respon yang berbeda. Perbedaan ini penting karena stressor tidak dapat disamakan

dengan gangguan kecemasan (Fortinash& Worret, 2003). Semua respon terhadap

kecemasan dipertimbangkan sebagai respon adaptif dalam interpretasi yang luas

karena semua respon tersebut menimbulkan tekanan dan ketidaknyamanan yang

menyebabkan kecemasan, respon tersebut dianggap tidak berbahaya dan dapat

diterima (Fortinash& Worret, 2003).

 

Menurut Fortinash& Worret (2003), kecemasan menimbulkan dua respon,

yaitu respon adaptif dan maladaptif.

a. Respon Adaptif

 

Jika kecemasan timbul dan individu mampu meregulasi dan mengatur

kecemasan, hal yang positif mungkin akan timbul.

(21)

resolusi konflik dan pencapaian fungsi level yang lebih tinggih. Contohnya

seseorang dengan pekerjaan yang buruk dan pengalaman cemas yang tidak bisa

dihindari akan membuat individu tersebut kembali mempelajari sesuatu yang

baru. Seorang pelajar yang gagal dari ujian karena kurang belajar akan

mengalami ancaman terhadap hilangnya harga diri sebagai pelajar, dukungan

dan hal tersebut menyebabkan kecemasan. Seorang motivator dapat membantu

pelajar tersebut untuk mendapatkan bimbingan dan konsentrasi yang lebih

untuk melewati ujian.

Strategi adaptif lainnya yang digunakan orang-orang untuk mengatasi

kecemasan adalah memanggil teman atau terapis, berolah raga,

memperaktekkan teknik relaksasi, membaca novel, beristirahat atau menangis

sebagai pelampiasaannya. Banyak lagi metode koping yang lainnya digunakan

untuk melepaskan ketegangan dan mengurangi kecemasan.

b. Respon maladaptif

 

Kebiasaan sehari-hari dapat melindungi orang dari kecemasan, bertahan dari

ancaman dan memberi kenyamanan bisa mengarah pada pola respon

maladaptif, yang dapat menunjukkan gejala fisik dan psikologis baik dalam

lingkungan individu, sosial dan gangguan pekerjaan. Contohnya mekanisme

ego untuk denial (menolak), represion (mengabaikan), projection

(menyalahkan orang lain) dan rationalization (memberikan penjelasan)

mencari kebenaran akan melindungi seseorang dari kecemasan tetapi juga

mencegah penilaian yang sebenarnya dari diri sendiri, orang lain, situasi atau

(22)

Ketika kecemasan tidak dapat diatur, individu mungkin akan dikatan

mengalami gangguan atau ketidaknormalan dari orang lain. Pola koping

maladaptif dari kecemasan termasuk didalamnya adalah tingkah agresif, isolasi

(menerik diri), makan dan minum secara berlebih. Respon-respon dari

gangguan kecemasan tersebut dikatakan sebagai gangguan kecemasan.

2.2.4 Penyebab Ansietas  

Menjelaskan tentang ansietas, pertama faktor predisposisi terdiri dari

pandangan psikoanalitik yaitu ansietas adalah konflik emosi yang terjadi antara

dua elemen kepribadian Id dan Super Ego. Id mewakili dorongan insting dan

implus primitif, sedang super ego mencerminkan hati nurani seseorang dan

dikendalikan oleh norma budaya seseorang. Ego atau aku berfungsi menengahi

tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah

mengingatkan ego bahwa ada bahaya yang perlu di atasi.

Pandangan Interpersonal yaitu ansietas timbul dari perasaan takut dari

tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Ansietas berhubungan

dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang

menimbulkan kelemahan fisik. Orang yang mengalami harga diri rendah biasanya

sangat mudah mengalami perkembangan ansietas (Stuart & Sundeen, 2007).

Pandangan Perilaku yaitu ansietas merupakan hasil frustasi yaitu segala sesuatu

yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Para ahli perilaku menganggap ansietas sebagai dorongan belajar berdasarkan

(23)

menunjukkan kemungkinan ansietas berat pada kehidupan masa dewasanya.

Kajian Keluarga yaitu ansietas merupakan hal yang bisa ditemui dalam keluarga.

Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas

dengan depresi (Stuart & Sundeen, 2007).

Kajian Biologis yaitu otak mengandung reseptor khusus untuk

benzodiazepine. Reseptor ini membantu mengatur ansietas. Penghambat GABA

(Gamma Amino Butyfic Acid) juga berperan utama dalam mekanisme biologis

berhubungan dengan ansietas. Kajian biologis yaitu menunjukkan bahwa otak

mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin

membantu mengatur ansietas. Penghambat asam amino buturat-

gamaneuroregulator (GABA) juga mempunyai peran penting dalam mekanisme

biologis berhubungan dengan ansietas, sebagaimana halnya umum seseorang

mempunyai akibat nyata sebgai predisposisi terhadap ansietas.

Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik selanjutnya menurunkan

kapasitas seseorang untuk mengatasi stresor (Stuart & Sundeen, 2007). Kedua

faktor presipitasi, faktor presipitasi dibedakan menjadi ancaman terhadap

integritas; seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau

menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Ancaman

terhadap sistem diri; seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan

fungsi sosial yang terintegrasi seseorang (Herman, 2011).

Mekanisme terjadinya cemas yaitu psikoneuro imunologi atau psikoneuro

endokrinologi. Stresor psikologis yang menyebabkan cemas adalah perkawinan,

(24)

penyakit fisik, faktor keluarga, dan trauma. Akan tetapi tidak semua orang yang

mengalami stressor psikososial akan mengalami gangguan cemas hal ini

tergantung pada struktur perkembangan kepribadian diri seseorang (Hawari,

2013).

 

Menurut Sumiati DKK ( 2009), Ansietas dapat disebabkan karena adanya

perasaan takut tidak diterima dalam satu lingkungan tertentu, pengalaman

traumatis, seperti trauma akan perpisahan, kehilangan atau bencana, adanya rasa

frustasi akibat kegagalan dalam mencapai tujuan, ancaman terhadap integrtas diri,

meliputi ketidak mampuan fisiologis atau gangguan terhadap kebutuhan dasar,

dan adanya ancaman terhadap konsep diri.

 

2.2.5 Faktor yang mempengaruhi kecemasan  

Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan (Stuart &

Laraia, 2007).

a. Usia dan tingkat perkembangan

 

Semakin tua usia seseorang atau semakin tinggi tingkat perkembangan

seseorang maka semakin banyak pengalaman hidup yang dimilikinya.

Pengalaman hidup yang banyak itu dapat mengurangi kecemasan.

b. Jeni kelamin

 

Kecemasan dapat dipengaruhi oleh asam lemak bebas dalam tubuh. Pria

mempunyai asam lemak bebas lebih banyak dibandingkan wanita sehingga pria

beresiko mengalami kecemasan yang lebih tinggi dari pada wanita.

(25)

Seorang yang berpendidikan tinggi akan menggunakan koping lebih baik

sehingga memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan

yang berpendidikan rendah. Dengan adanya beasiswa bagi mahasiswa yang

berprestasi ini bisa menjadikan mahasiswa semakin baik dalam kegiatan

belajar, jadi dengan demikian beasiswa tersebut bisa menjadi sistem

pendukung bagi mahasiswa untuk lebih baik dalam belajar, sehingga

mahasiswa akan berpikir positif.

d. Sistem Pendukung

 

Sistem pendukung merupakan suatu kesatuan antara individu, keluarga,

lingkungan dan masyarakat sekitar yang memberikan pengaruh individu

melakukan sesuatu. Sistem pendukung tersebut akan mempengaruhi

mekanisme koping individu sehingga mampu memberi gambaran kecemasan

yang berbeda.

 

2.2.6 Tanda Dan Gejala  

A. Tanda dan gejala ansietas menurut tingkatnya

 

1. Ansietas ringan

 

Respon fisiologis: sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat,

gangguan ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar; respons

kognitif: lapang persepsi meluas, mampu menerima rangsang yang kompleks,

konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif; respon prilaku

dan emosi: tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-

kadang meninggi.

(26)

Respon fisiologis: sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah meninggkat,

mulut kering, anorexia, diare/konstipasi; respons kognitif: lapang persepsi

menyempit, tidak mampu menerima rangsa dari luar, berfokus pada apa yang

menjadi perhatiannya; respon prilaku dan emosi: gerakan tersentak/meremas

tangan, bicara bayak dan cepat, insomnia, perasaan tidak aman, gelisah.

3. Ansietas berat

 

Respon fisiologis: nafas pendek, nadi dan tekanan darah meninggkat,

berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur, ketegangan; respons kognitif:

lapang persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah; respon

prilaku dan emosi: Perasaan adanya ancaman meningkat, verbalisasi

meningkat, bloking.

4. Panik

 

Respon fisiologis: nafas pendek, nadi dan tekanan darah meninggkat, aktivitas

matorik meningkat, ketegangan; respons kognitif: lapang persepsi sangat

sempit, kehilangan pemikiran yang rasional, tidak dapat melakukan apa-apa

walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan; respon prilaku dan emosi:

perasaan adanya ancaman meningkat, menurunya berhubungan dengan orang

lain, tidak dapat mengendalikan diri (Sumiati DKK, 2009).

A. Secara klinis, gejala kecemasan dibagi dalam beberapa kelompok yaitu:

 

1. Gangguan cemas (anxiety disorder)

 

Keluhan-keluhan yang sering kali dikemukakan oleh orang yang mengalami

(27)

gelisah, mudah terkejut; takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak

orang; gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan; gangguan

konsentrasi dan daya ingat; serta adanya keluhan-keluhan somatik, misalnya

rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-

debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit

kepala dan lain sebagainya (Hawari, 2013).

2. Gangguan cemas menyeluruh (generalized anxiety disorder)

 

Secara klinis selain gejala cemas yang biasa, disertai dengan kecemasan

yang menyeluruh dan menetap (paling sedikit berlangsung selama 1 bulan)

dengan manifestasi 3 dari 4 kategori berikut ini: Ketegangan motorik/alat

gerak seperti gemetar, tegang, nyeri otot, letih, tidak dapat santai, kelopak

mata bergetar, kening berkerut, muka tegang, gelisah, tidak dapat diam dan

mudah kaget;

hiperaktivitas saraf autonom (simpatis/parasimpatis) seperti berkeringat

berlebihan, jantung berdebar debar, rasa dingin, telapak tangan/ kaki basah,

mulut kering, mudah pusing, kepala terasa ringan, kesemutan, rasa mual,

sering buang air seni, diare, rasa tidak enak di ulu hati, muka merah atau

pucat dan denyut nadi dan nafas yang cepat waktu istirahat; rasa khawatir

berlebihan tentang hal-hal yang akan datang (apprehensive expectation)

seperti cemas, berpikir berulang, membanyangkan akan datangnya

kemalangan terhadap dirinya atau orang lain; kewaspadaan berlebihan

(28)

perhatian mudah teralih, sukar konsentrasi, sukar tidur, merasa nyeri, mudah

tersinggung dan tidak sabar (Hawari, 2013).

           

3. Gangguan Panik

 

Gejala-gejala yang muncul seperti sesak nafas, jantung berdebar-debar,

nyeri atau rasa tak enak di dada, rasa tercecik atau sesak, pusing, vertigo

(penglihatan berputar-putar), perasaan melayang, perasaan seakan-akan diri

atau lingkungan tidak realistik, kesemutan, rasa aliran panas atau dingin,

berkeringat banyak, rasa akan pingsan, menggigil atau gemetar dan merasa

takut mati, takut menjadi gila atau khawatir akan melakukan suatu tindakan

secara tidak terkendali selama berlangsungnya serangan panik (Hawari,

2013).

 

4. Gangguan Phobik

 

Gangguan phobik adalah salah satu bentuk kecemasan yang didominasi oleh

gangguan alam pikir. Phobia adalah ketakutan yang menetap dan tidak

rasional terhadap suatu obyek, aktivitas atau situasi tertentu, yang

menimbulkan suatu keinginan mendesak untuk menghidarinya. Rasa

ketakutan itu disadari oleh orang yang bersangkutan sebagai suatu ketakutan

yang berlebihan dan tidak masuk akal, namun ia tidak mampu mengatasinya

(Hawari, 2013).

(29)

Obsesi adalah suatu bentuk kecemasan yang di dominasi oleh pikiran yang

terpaku dan mulai berulang kali muncul. Sedangkan kompulsi adalah

perubahan yang dilakukan berulang-ulang sebagai konsekuensi dari pikiran

yang bercorak obsesif tadi.

 

1. Orang yang mencuci tangannya berkali-kali (repeatedhand wishing).

 

2. Orang yang mencuci pintu berulang kali dalam bahasa awam gangguan

ini sering kali di sebut sebagai penyakit was-was (Hawari, 2013).

 

   

2.2.7 Skala Kecemasan Hamilton Rating Scale For Anxiety (HRS-A)  

Menurut Hawari (2013), kecemasan dapat diukur dengan alat ukur

kecemasan yang disebut HRS-A (Hamilton Rating Scale For Anxiety ). Skala

HASR merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya

simtom pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HRS-A

terdapat 14 simptom yang Nampak pada individu yang mengalami kecemasan.

Setiap item yang diobservasi diberi lima tingkatan skor antara 0 sampai dengan 4.

Skala HASR pertama kali digunakan pada tahun 1959 yang diperkenalkan oleh

Max Hamilton.

Skala Hamilton Rating Scale For Anxiety (HRS-A) dalam penilaian

kecemasan terdiri dari 14 item, meliputi:

(30)

2. Merasa tegang, gelisah, gemetar, lesu, mudah menangis, mudah terganggu dan

lesu.

3. Ketakutan: takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri dan

takut pada binatang besar.

4. Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak

pulas dan mimpi buruk.

5. Gangguan kecerdasan: penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit

konsentrasi.

6. Perasaan depresi: hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hoby,

sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.

7. Gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak

stabil dan kedutan otot.

8. Gejala sensorik: perasan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah dan

pucat serta merasa lemah.

9. Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan

detak jantung hilang sekejap.

10. Gejala pernapasan: rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik

napas panjang dan merasa napas pendek.

11. Gejala Gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual

dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan panas di

perut.

(31)

13. Gejala vegetatif: mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma

berdiri, pusing atau sakit kepala.

14. Perilaku sewaktu wawancara: gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan dahi

atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek dan cepat.

 

2.2.8 Cara Penilaian Kategori Dan Skor Dengan Hamilton Rating Scale For

 

Anxiety (HRS-A) (Hawari, 2013)

 

A. Cara Penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan

kategori:

0 = Tidak ada gejala sama sekali

 

1 = Ringan / Satu dari gejala yang ada

 

2 = Sedang / separuh dari gejala yang ada

 

3 = Berat / lebih dari ½ gejala yang ada

 

4 = Berat sekali / semua gejala ada

 

B. Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan

item 1-14 dengan hasil:

a. Skor < 14 : Tidak ada kecemasan.

b. Skor 14 – 20 : Kecemasan ringan.

c. Skor 21 – 27 : Kecemasan sedang.

d. Skor 28 – 41 : Kecemasan berat.

(32)

               

Hawari (2013), mengatakan bahwa seseorang akan menderita gangguan

cemas manakala yang bersangkutan tidak mampu mengatasi stresor yang

dihadapinya. Adapun tipe keperibadian pencemas antara lain: Cemas, khawatir,

tidak tenang, ragu dan bimbang; memandang masa depan dengan rasa was-was

(khawatir); kurang percaya diri, gugup apabila tampil di depan umum (demam

panggung); sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang lain; tidak suka

mengalah, suka “ngotot”, gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk,

gelisah; sering Kali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), khawatir

berlebihan terhadap penyakit; mudah tersinggung, suka membesar-besarkan

masalah yang kecil (dramatisasi); dalam mengambil keputusan sering diliputi rasa

bimbang dan ragu; bila mengemukakan sesuatu atau bertanya sering kali diulang-

ulang; kalau sedang emosi sering kali bertindak histeris.

 

2.3 Rehabilitasi.

 

Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu

melalui pendekatan nonmedis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna

NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan

fungsional seoptimal mungkin. (Dalley, 2001).

Rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya hanya

(33)

Rehabilitasi narkoba adalah tempat yang memberikan pelatihan ketrampilan

dan pengetahuan untuk menghindarkan diri dari narkoba (Soeparman, 2000).

 

Menurut UU RI No. 35 Tahun 2009, ada dua jenis rehabilitasi, yaitu :

   

1. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu

untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.

2. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu,

baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat

kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

 

Pusat atau Lembaga Rehabilitasi yang baik haruslah memenuhi persyaratan

antara lain :

a. Sarana dan prasarana yang memadai termasuk gedung, akomodasi, kamar

mandi/WC yang higienis, makanan dan minuman yang bergizi dan halal,

ruang kelas, ruang rekreasi, ruang konsultasi individual maupun

kelompok, ruang konsultasi keluarga, ruang ibadah, ruang olah raga,

ruang ketrampilan dan lain sebagainya; Tenaga yang profesional

(psikiater, dokter umum, psikolog, pekerja sosial, perawat, agamawan

dan tenaga ahli lainnya/instruktur). Tenaga profesional ini untuk

menjalankan program yang terkait; Manajemen yang baik;

Kurikulum/program rehabilitasi yang memadai sesuai dengan

kebutuhan; Peraturan dan tata tertib yang ketat agar tidak terjadi

(34)

tidak memungkinkan peredaran NAZA di dalam pusat rehabilitasi

 

(termasuk rokok dan minuman keras) (Hawari, 2009).

       

Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.04 Tahun 2010 tentang

Penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan dan pecandu narkotika ke

dalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, untuk

menjatuhkanlamanya proses rehabilitasi, sehingga wajib diperlukan adanya

keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi adalah

sebagai berikut :

 

a. Program Detoksifikasi dan Stabilisasi : lamanya 1 (satu) bulan

 

2.3.1 METODE TERAPI KOMUNITAS (THERAPEUTIC COMMUNITY)  

2.3.1.1 Pengertian Terapi Komunitas

 

Terapi Komunitas adalah grup atau sekelompok orang yang memiliki

prinsip interpersonal yang cukup tinggi, sehingga mampu mendorong orang lain

untuk belajar berinteraksi di suatu komunitas. Terapi komunitas terdiri dari staf

yang pernah mengalami rasa sakit dan memiliki perilaku yang timbul akibat

ketergantungan narkoba, namun telah mampu dan mengetahui cara mengatasinya

(35)

Tenaga professional hanya sebagai konsultan saja. Di lingkungan khusus

ini pasien dilatih ketrampilan mengelola waktu dan perilaku secara efektif serta

kehidupan sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengonsumsi

narkoba. Dalam komunitas ini semua aktif dalam proses terapi (Depkes,

2000).

   

Konsep Therapeutic Community yaitu menolong diri sendiri, dapat

dilakukan dengan adanya keyakinan bahwa:

1. Setiap orang bisa berubah

 

2. Kelompok bisa mendukung untuk berubah

 

3. Setiap individu harus bertanggung jawab

 

4. Program terstruktur dapat menyediakan lingkungan aman dan kondusif bagi

perubahan

5. Adanya partisipasi aktif (Winanti, 2008).

 

(36)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola

kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai,

norma-norma kehidupan masyarakat.

b. Emotional and psychological (Pengendalian emosi dan psikologi) Perubahan

perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan penyesuaian

diri secara emosional dan psikologis.

c. Intellectual and spiritual (Pengembangan pemikiran dan kerohanian)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan,

nilai-nilai spiritual, moral dan etika, sehingga mampu menghadapi dan

mengatasi tugas-tugas kehidupannya maupun permasalahan yang belum

terselesaikan

d. Vocational and survival (Keterampilan kerja dan keterampilan bersosial

serta bertahan hidup)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dan

keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas

sehari-hari maupun masalah dalam kehidupannya (Winarti, 2008).

Fase penanganan progam Therapeutic Community (TC) menurut

 

Perfas (2003) terdiri atas 5 tahap, yaitu :

 

1. Entry / Orientation Phase

 

Perkiraan waktu 2 sampai 4 minggu

 

Tahap awal berupa orientasi terhadap aturan, norma, ritual dan tugas di

 

(37)

dilakukan berupa pekerjaan sederhana dan mudah sehingga tidak perlu

mengambil keputusan penting, tetapi perlu pengawasan tingkat tinggi.

2. Core Treatment Phase

 

Perkiraan waktu antara 3 - 6 bulan

 

Belajar untuk mengidentifikasi isu-isu klinis atau pengobatan misalnya

psikologis, sosial atau keluarga, kesehatan, pendidikan, pelatihan, dll.

Pengelolaan emosi dan belajar ekspresi perasaan yang tepat dalam kelompok

dan bentuk lain dari konseling. Selain itu praktek dalam mengartikulasikan

dan mengungkapkan masalah kritis kehidupan atau masalah pribadi yang

belum terselesaikan dalam sesi kelompok atau sesi pribadi (2003:100).

3. Pre-Reentry Phase

 

Perkiraan waktu antara 2-3 bulan

 

Pada tahap ini fokus terhadap pengejaran karier, pendidikan dan kegiatan

produktif lainnya yang meningkatkan kemandirian, sebagai wujud

resosialisasi secara bertahap untuk persiapan kegiatan di luar TC. Proses

Internalisasi yang baru untuk memperoleh norma, nilai-nilai pribadi dan gaya

hidup bebas narkoba. Keberhasilan dari proses ini perlu melibatkan peran

manajerial dan pengawasan.

4. Reentry Phase

 

Perkiraan waktu antara 2-6 bulan

 

Dalam usaha pengembalian diri ke masyarakat di luar kehidupan komunitas,

maka perlu belajar untuk menangani isu-isi jika terjadi kekambuhan dan

(38)

keluarga, teman, komunitas, dll. Melatih kemampuan dengan gaya hidup baru

seperti mengelola uang, manajemen waktu, manajemen stress, kesehatan dan

praktek seks yang aman.

5. Aftercare Phase

 

Perkiraan waktu antara 6-12 bulan

 

Melakukan kunjungan ke komunitas TC untuk berhubungan kembali dengan

komunitas atau memberi waktu pribadi sebagai pembicara atau fasilitator dari

kelompok-kelompok khusus dalam upaya mempertahankan gaya hidup bebas

dari narkoba

 

2.3.1.3 Kegiatan Terapi Komunitas  

 

Menurut Leon, prinsip terapi yang dilakukan dengan metode Terapi

Komunitas (Therapeutic Community) berupa kegiatan–kegiatan yang

dilaksanakan secara rutin dan teratur. Adapun kegiatan yang rutin

dilakukan,yaitu:

1. Perbaikan Perilaku Sehari-hari (Behavior Management)

 

Setiap hari, residen diharuskan beraktivitas mengikuti jadwal yang telah

ditentukan, kecuali ada kendala seperti residen dalam keadaan sakit. Setiap

kegiatan sudah dijadwal secara padat dan teratur. Tujuannya agar pasien diberi

kesibukan sehingga tidak memiliki waktu untuk berdiam diri dan berkhayal.

Semua aktivitas dilakukan secara bersama – sama, antara para kedisiplinan dan

rasa kebersamaan dalam suatu komunitas.

(39)

menjadi 4 (empat) macam, yaitu :

 

 

a. Morning Meeting

 

Kegiatan yang bersifat formal dilakukan pada pagi hari, sesudah makan,

selama 30-45 menit. Kegiatan ini diikuti oleh staf dan residen dengan

mengenakan pakaian formal dan bersepatu, kemudian mengucapkan moto

hidup dari terapi komunitas agar memberi semangat dan bebas dari

ketergantungan narkoba. Tujuan kegiatan ini yaitu mempengaruhi aspek

psikologi, dengan mengawali hari dengan baik, meningkatkan rasa

keakraban dan persaudaraan dalam komunitas dan yang terutama adalah

memotivasi agar aktivitas sepanjang hari dapat berlangsung dengan baik

(Leon, 2000).

b. Seminar

 

Pertemuan formal yang dilakukan setiap sore selama 60-90 menit.

Kegiatan seminar dilakukan untuk mengasah kemampuan mendengarkan,

berbicara dan memperhatikan. Pada kegiatan ini pasien diberi kesempatan

untuk mengungkapkan pendapat secara bebas sehingga merangsang

kemampuan berkomunikasi. Tujuan seminar adalah sebagai stimulasi

intelektual, yaitu merangsang kreatifitas untuk memberi ide dan tanggapan

terhadap hal-hal yang baru, dan membentuk pola berpikir yang benar dan

sarana berinteraksi sosial serta merupakan pastisipasi aktif dalam kegiatan

berkomunikasi. Penataan ruang biasanya disusun seperti susunan ruang

kelas agar terkesan formal (Leon, 2000).

 

(40)

Pertemuan informal yang dilakukan setiap malam hari, setelah makan malam.

Sifat pertemuan lebih akrab. Lama pertemuan sekitar 45-60 menit. Situasi

pada saat pertemuan adalah pasien dalam keadaan santai, duduk tenang,

pasif atau cenderung mendengarkan. Tujuan house meeting adalah

mengevaluasi semua kegiatan yang telah dilakukan sepanjang hari, baik

yang positif maupun yang negatif (Leon, 2000 : 256).

d. General Meeting

 

Pertemuan ini bersifat santai namun kekeluargaan. Lama pertemuan tidak

ditentukan. Tujuanya merayakan hal-hal yang membaanggakan atas prestasi

residen sehingga memotivasi dan meningkatkan kesadaran untuk

berperilaku positif.. Hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri merupakan

bagian yang sangat berarti bagi proses kesembuhan ( Leon, 2000).

3. Permainan

 

Berbagai permainan yang dapat meningkatkan kemampuan bekerja sama

dalam kelompok, mengasah kreativitas dan intelektual, mengembangkan

kemampuan untuk mengungapkan pendapat dan lain-lain.

           

4. Ibadah

 

Perbaikan mental spiritual sangat dibutuhkan oleh pasien. Memiliki hubungan

yang dekat dengan Tuhan dapat membantu pasien dalam mengendalikan

(41)

5. Ketrampilan untuk bertahan mandiri lepas dari ketergantungan dengan

narkoba (Vocational/Survival Skill)

Pelatihan yang diberikan untuk mampu bertahan mandiri lepas dari

ketergantungan narkoba dengan pemberian tugas secara bertahap mulai

dari yang mudah hingga kompleks dan menuntut tanggung jawab dari

setiap individu. Pelatihan kepemimpinan dan penerapannya di lingkungan

komunitas, meliputi evaluasi dan pengambilan keputusan yang telah dibuat

dalam komunitas.

 

   

.3.2. STANDAR PELAYANAN REHABILITASI NARKOBA  

Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam Buku Standar Pelayan

dan Rehabilitasi Sosial. Kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi

korban penyalahguna narkoba dilaksanakan dengan tahap yang baku / standar,

meliputi:

Minimal Terapi Medik Ketergantungan Narkotika, Psikotropika, dan Bahan

Aditif Lainnya, terbitan tahun 2003 perlu adanya standar pelayanan minimal

diperlukan sebagai panduan bagi pemerintah dan masyarakat dalam

penyelenggaraan rehabilitasi sosial korban narkoba secara lebih profesional.

 

Aspek-aspek yang harus distandarisasi adalah :

 

1. Legalitas Institusi Pengelola.

   

Institusi pengelola pelayanan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan

narkoba wajib mempunyai legalitas. Sebuah panti pelayanan dan rehabilitasi

(42)

Departemen Sosial R.I), mempunyai struktur organisasi, anggaran dasar dan

anggaran rumah tangga (AD/ART) dan akte notaris.

 

2. Pemenuhan Kebutuhan Klien/Residen

 

Kebutuhan pokok klien/residen dipenuhi oleh pengelola panti pelaksana

pelayanan dan rehabilitasi sosila, dengan mempertimbangkan kelayakan dan

proporsionalitas. Kebutuhan yang harus dipenuhi adalah: Makan 3 kali sehari

ditambah dengan makanan tambahan (bubur kacanghijau, dan sebagainya,

dengan mempertimbangkan kecukupan gizi dengan menu gizi seimbang;

Pelayanan kesehatan, untuk pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan dengan

kerjasama Puskesmas, dokter praktek, dan rumah sakit setempat yang

menguasai masalah penyalahgunaan narkoba; Pelayanan rekreasional, dalam

bentuk penyediaan pesawat televisi, alat musik sederhana,di tempat terbuka,

dan lain.

1) Pendekatan Awal

 

Pendekatan awal adalah kegiatan yang mengawali keseluruhan proses

pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan dengan penyampaian

informasi program kepada masyarakat, instansi terkait, dan organisasi sosial

(lain) guna memperoleh dukungan dan data awal calon klien / residen

dengan persyaratan yang telah ditentukan.

2) Penerimaan

 

Pada tahap ini dilakukan kegiatan administrasi untuk menentukan apakah

(43)

persyaratan masuk panti (seperti surat keterangan medical check up, test

urine negatif, dan sebagainya); Pengisian formulir dan wawancara dan

penentuan persyaratan menjadi klien/residen; encatatan klien/residen dalam

buku registrasi.

3) Asesme

 

Asesmen merupakan kegiatan penelaahan dan pengungkapan

masalahuntuk mengetahui seluruh permasalahan klien/residen, menetapkan

rencana dan pelaksanaan intervensi.

Kegiatan asesmen meliputi : Menelusuri dan mengungkapkan latar

belakang dan keadaan klien/residen; Melaksanakan diagnosa

permasalahan; Menentukan langkah-langkah rehabilitasi; menentukan

dukungan latihan ang diperlukan; menempatkan klien/residen dalam proses

rehabilitasi.

4) Bimbingan Fisik

 

Kegiatan ini ditujukan untuk memulihkan kondisi fisik klien/residen,

meliputi pelayanan kesehatan, peningkatan gizi, baris berbaris dan olah

raga.

5) Bimbingan Mental dan Sosial

 

Bimbingan mental dan sosial meliputi bidang keagamaan/spritual, budi

pekerti individual dan social/ kelompok dan motivasi klien/residen

(psikologis).

(44)

Bimbingan bagi orang tua/keluarga dimaksudkan agar orang tua/keluarga

dapat menerima keadaan klien/residen memberi support, dan menerima

klien/residen kembali di rumah pada saat rehabilitasi telah selesai.

7) Bimbingan Keterampilan

 

Bimbingan keterampilan berupa pelatihan vokalisasi dan keterampilan

usaha (survival skill), sesuai dengan kebutuhan klien / residen.

8) Resosialisasi / Reintegrasi

 

Kegiatan ini merupakan komponen pelayanan dan rehabiltasi yang

diarahkan untuk menyiapkan kondisi klien/ residen yang akan kembali

kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini meliputi: Pendekatan kepada

klien/residen untuk kesiapan kembali ke lingkungan keluarga dan

masyarakat tempat tinggalnya; Menghubungi dan memotivasi keluarga

klien/residen serta lingkungan masyarakat untuk menerima kembali

klien/residen; Menghubungi lembaga pendidikan bagi klien yang akan

melanjutkan sekolah.

 

   

9) Penyaluran dan Bimbingan Lanjut (Aftercare)

 

Dalam penyaluran dilakukan pemulangan klien/residen kepada orang

tua/wali, disalurkan ke sekolah maupun instansi/perusahaan dalam rangka

penempatan kerja. Bimbingan lanjut dilakukan secara berkala dalam rangka

pencegahan kambuh/relapse bagi klien dengan kegiatan konseling,

(45)

Kegiatan ini berupa pengakhiran/pemutusan program pelayanan dan

rehabilitasi bagi klien/residen yang telah mencapai target program (clean and

sober).

3. Sumber Daya Manusia

 

Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkoba adalah

kegiatan yang harus dilaksanakan oleh para profesional. Dalam rangka

mencapai target yang baik, maka diperlukan sumber dayamanusia yang

mempunyai kualifikasi tertentu. Dalam bidang administrasi kegiatan pelayanan

dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkoba membutuhkan tenaga

pimpinan/kepala/direktur, petugas tata usaha, keuangan, pesuruh/office boy,

petugas keamanan/security. Dalam bidang teknis diperlukan tenaga pekerja

sosial, bekerja sama dengan psikologi, psikiater/dokter, paramedik/perawat,

guru/instruktur, konselor, dan pembimbing keagamaan.

               

4. Sarana Prasarana (Fasilitas)

 

Sesuai dengan fungsi panti, maka sarana dan prasarana dapat dikelompokkan

menjadi: Sarana bangunan gedung, misalnya: kantor, asrama, ruang kelas,

ruang konseling, ruang keterampilan, aula, dapur, dan sebagainya; Prasarana,

misalnya: jalan, listrik, air minum, pagar, saluran air, peralatan kantor,

pelayanan, dan sebagainya. Untuk terlaksananya tugas dan fungsi panti secara

(46)

jumlah maupun jenisnya termasuk letak dan lokasi panti, yang disesuaikan

dengan kebutuhan. Untuk pembangunan panti pelayanan dan rehabilitasi

korban penyalahgunaan narkoba sebaiknya dicari dan ditetapkan lokasi luas

tanah dan persyaratan sesuai kebutuhan, sehingga dapat menunjang pelayanan,

dengan memperhatikan hal–hal sebagai berikut: Pada daerah yang tenang,

aman dan nyaman; Kondisi lingkungan yang sehat; Tersedianya sarana air

bersih; Tersedianya jaringan listrik; Tersedianya jaringan komunikasi telepon;

Luas tanah proporsional dengan jumlah klien / residen yang ada.

Sebelum menetapkan lokasi panti sebaiknya dilakukan studi

kelayakan tentang: Statusnya, agar hak pemakaian jelas dan sesuai dengan

peruntukan lahan, sehingga tidak terjadi hal-hal yang kurang menguntungkan;

Mendapatkan dukungan dari masyarakat terhadap keberadaan panti,

sehingga proses resosialisasi dan reintegra si dalam masyarakat dapat

dilaksanakan.

 

5. Aksesibilitas

 

Di dalam masyarakat, panti pelayanan dan rehabilitasi sosial korban

penyalahgunaan narkoba tidaklah berdiri sendiri. Panti ini terkait dengan

seluruh aspek penanggulangan penyalahgunaan narkoba.   Oleh karena

itu panti ini harus membuka diri dan menciptakan kerja sama dengan

pihak terkait lain, seperti dalam pelaksanaan sistem referal/rujukan. Bentuk

aksesibilitas semacam itu harus pula bersifat baku/standar.

 

(47)

Pengadaan laboratorium digunakan untuk pemeriksaan uji kadar

narkotika dalam tubuh pasien. Dalam pelaksanaanya perlu adanya perizinan,

yang meliputi: Pro Yustisia,mUntuk keperluan tindak pidana

NAPZA/Narkotika diperlukan suatu laboratorium yang mempunyai sarana dan

prasarana lengkap sesuai standar yang berlaku untuk pemeriksaan

konfirmasi. Dan memiliki izin khusus dari pihak yang berwenang; Klinis

(Terapi dan Rehabilitasi), Untuk keperluan klinis (terapi dan rehabilitasi) dan

Skrining Penyalahgunaan Napza/Narkotika dengan sarana dan prasarana

sesuai standar yang ditentukan.

 

Laboratorium pemeriksa NAPZA/Narkoba dapat dikelola oleh

pemerintah yang meliputi Balai Laboratorium Kesehatan, Rumah Sakit

Propinsi dan Rumah Sakit Kabupaten/Kota dan Laboratorium Instansi lain.

Bagi Laboratorium kesehatan swasta, maupun Rumah Sakit swasta yang

melakukan pemeriksaan NAPZA/Narkoba harus mempunyai izin yang masih

Referensi

Dokumen terkait

Sekolah di jenjang pendidikan dan jenis kejuruan dapat bernama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang

Situs 1 Manajemen Implementasi Kurikulum 2013 di SMPN 1 TA dalam Meningkatkan Mutu Situs 2 Manajemen Implementasi Kurikulum 2013 di SMPN 1 Bandung dalam Meningkatkan Mutu

Bagi kepala sekolah membuktikan bahwa layanan konseling kelompok behavioral dapat meningkatkan self efficacy yang rendah sehingga konseling kelompok behavioral dapat

Informasi sebagai salah satu sarana pemberitahuan yang dilakukan secara cepat dan dengan waktu yang singkat dan informasi merupakan alat penyampaian suatu masalah , Untuk itu

dengan pelaksanaan tugas Seksi Pelayanan Pencatatan Sipil untuk. pembinaan dan peningkatan tugas

a. Didalam lingkungan pengendalian terdapat: 1) Prosedur dan kebijakan dalam pemberian pembiayaan implan yang sudah ditetapkan, dan dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki

Penyelesaian sistem persamaan linear jarang dengan operasi penukaran baris pada matriks 10x10.... Penyelesaian sistem persamaan linear jarang dengan operasi penukaran kolom

padahal dalam pasal 480 KUHP ancaman hukuman yang diberikan adalah 4. tahun.Berdasarkan permasalahan yang penulis lihat bahwa untuk