Upaya peningkatan status kesehatan dan gizi anak umur 6-24 bulan
melalui perbaikan perilaku masyarakat dalam pemberian makanan merupakan
bagian yang dapat dipisahkan dari upaya perbaikan gizi secara menyeluruh.
Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan anak, dan adanya kebiasaan yang
merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung menjadi penyebab
utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada umur dibawah 2
tahun (baduta). Bertambah umur anak bertambah pula kebutuhan gizinya. Ketika
anak memasuki usia 6 bulan ke atas, beberapa elemen nutrisi seperti karbohidrat,
protein, dan beberapa vitamin dan mineral yang terkandung dalam ASI atau susu
formula tidak lagi mencukupi. Oleh karena itu sejak bayi usia 6 bulan, selain ASI
mulai diberi MP ASI (Yesrina, 2010).
MP ASI adalah makanan yang diberikan kepada anak disamping ASI
untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP ASI diberikan pada anak usia 6-24
bulan. Peranan makanan tambahan sama sekali bukan untuk menggantikan ASI
melainkan untuk melengkapi ASI. Jadi, MP ASI harus tetap diberikan kepada
2.1.1 Waktu yang Tepat untuk Memberikan MP ASI
Pemberian ASI saja tidak cukup pada anak yang berumur di atas 6
bulan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak yang beraktivitasnya sudah cukup
banyak. Pada umur 6 bulan, berat badan anak yang normal sudah mencapai 2-3
kali berat badan saat lahir. Pesatnya pertumbuhan anak perlu dibarengi dengan
pemberian kalori dan gizi yang cukup. Oleh karena itu, selain ASI, anak pada
umur 6 bulan juga perlu diberi makanan tambahan yang harus disesuaikan dengan
kemampuan lambung anak untuk mencerna makanan. Pemberian MP ASI plus
ASI hingga anak berumur 2 tahun sangatlah penting bagi anak (Prabantini, 2010).
MP ASI diberikan pada waktu transisi dari pemberian ASI ekslusif ke
bentuk makanan keluarga. Berikan MP ASI pada saat yang tepat, yaitu 6 bulan,
saat pemberian ASI saja sudah mulai tidak mencukupi kebutuhan anak sehingga
anak harus mendapatkan sumber energi lain di samping ASI untuk pertumbuhan
dan perkembangannya (Rini & Bernie, 2011).
2.1.2 Tujuan Pemberian MP ASI
Anak dengan umur 6 bulan ke atas mulai membutuhkan makanan padat
dengan beberapa nutrisi, seperti zat besi, vitamin C, protein, karbohidrat, seng, air,
dan kalori. Oleh karena itu penting juga untuk tidak menunda pemberian MP ASI
hingga anak berumur lebih dari 6 bulan karena menunda dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan. Sesudah anak berumur 6 bulan, secara berangsur angsur
perlu makanan pendamping berupa sari buah atau buah-buahan, nasi tim,
Menurut Maryuni (2010), tujuan pemberian MP ASI pada anak yaitu
untuk menggapai zat gizi ASI yang sudah berkembang, mengembangkan
kemampuan bayi untuk menerima bermacam-macam makanan dengan berbagai
rasa dan bentuk, dan mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan
menelan, serta mencoba melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung
kadar energi tinggi.
2.1.3 Kriteria MP ASI
Menurut WHO yang dikutip oleh Handy (2010), sebaiknya anak
mengonsumsi aneka sumber makanan setiap hari sebagai MP ASI dan tidak hanya
bergantung pada sumber makanan nabati, walaupun untuk mengenalnya perlu
dilakukan secara bertahap. Pemberian bahan makanan tunggal pada awal
pengenalan membantu anak mengenal rasa sehingga diharapkan ia dapat
menyukai aneka bahan makanan di kemudian hari.
Kebutuhan gizi anak usia 6-12 bulan adalah 650 kalori dan 16 gram
protein. Kandungan gizi ASI adalah 400 kalori dan 10 gram protein, maka
kebutuhan yang diperoleh dari MP ASI adalah 250 kalori dan 6 gram protein.
Kebutuhan gizi anak usia 12-24 bulan adalah sekitar 850 kalori dan 20 gram
protein. Kandungan gizi ASI adalah sekitar 350 kalori dan 8 gram protein, maka
kebutuhan yang diperoleh dari MP ASI adalah sekitar 500 kalori dan 12 gram
protein (Bappenas, 2013).
Jenis MP ASI yang dapat diberikan diantaranya adalah buah-buahan
yang dihaluskan atau dalam bentuk sari buah, misalnya pisang ambon, papaya,
bubur susu, nasi tim, dan sebagainya juga dapat dijadikan sebagai MP ASI
(Marimbi, 2010).
Pembuatan MP ASI di tingkat rumah tangga masih cukup untuk
memenuhi kebutuhan gizi apabila dilakukan pengaturan pada sumber makanan
bergizi yang sesuai dengan bahan makanan lokasi yang tersedia baik variasi dan
jumlah yang dibutuhkan masing-masing anak. Hal ini dapat terlihat dengan
mengatur komposisi jumlah dan jenis makanan untuk makan pagi, makan siang,
dan makan sore di samping pemberian ASI yang terus dilanjutkan sampai
minimal anak berusia 2 tahun seperti berikut ini, makan pagi dengan semangkuk
kecil bubur susu, makan siang dengan sepiring sedang (3 sendok makan) nasi, 1
sendok kacang merah, dan setengah butir jeruk, dan makan malam dengan
sepiring sedang (3 sendok makan) nasi, 1 sendok makan hati dan 1 sendok makan
sayuran hijau. Dengan demikian kebutuhan energi hampir terpenuhi, demikian
pula dengan kebutuhan protein, vitamin A, maupun zat besi (Marimbi, 2010).
2.1.4 Jenis MP ASI dan Waktu Pemberiannya
Pengenalan dan pemberian MP ASI harus dilakukan secara bertahap
baik bentuk maupun jumlahnya yang disesuaikan dengan kemampuan pencernaan
bayi dan anak. Tahapan tersebut adalah makanan bayi berumur 0-6 bulan,
makanan bayi berumur 6-9 bulan, makanan bayi umur 9-12 bulan, dan makanan
bayi umur 12-24 bulan. Bayi pada umur 0-6 bulan hanya diberikan ASI saja (ASI
Eksklusif), hisapan bayi akan merangsang produksi ASI terutama pada 30 menit
pertama setelah melahirkan. Ibu dapat memberikan kolostrum pada anak 0-6
dan juga ibu dapat memberikan ASI sesering mungkin sesuai keinginan anak
dengan cara menyusui langsung agar dapat terbina hubungan kasih sayang antara
ibu dan anak.
Bayi pada umur 6-9 bulan sudah dapat diberikan makanan lumat seperti
bubur tim dan bubur susu karena alat cerna bayi sudah lebih berfungsi (pemberian
ASI tetap diteruskan). Makanan lumat tersebut diberikan dua kali sehari setelah
memberikan ASI dengan porsi pemberian 6 sendok makan pada umur 6 bulan, 7
sendok makan pada umur 7 bulan, 8 sendok mana pada umur 8 bulan, dan 9
sendok makan pada umur 9 bulan. Untuk menambah nilai gizi, bubur tim dapat
ditambah sumber zat lemak sedikit demi sedikit, seperti santan, margarine, dan
minyak kelapa.
Bayi pada umur 9-12 bulan diperkenalkan dengan makanan keluarga yang
berbentuk lunak secara bertahap dengan takaran yang cukup, disamping
pemberian ASI yang tetap diberikan. Ibu dapat mencampurkan berbagai lauk pauk
dan sayuran ke dalam makanan lunak secara berganti-ganti. Ibu juga dapat
memberikan makanan selingan seperti bubur kacang hijau atau bubur sumsum
kepada anak satu kali sehari.
Frekuensi pemberian ASI pada anak umur 12-24 bulan sebaiknya
dikurangi sedikit demi sedikit. Makanan yang diberikan pada anak 12-24 bulan
adalah separuh dari besar porsi makanan orang dewasa yang terdiri dari makanan
pokok, lauk-pauk, sayuran, dan buah. Makanan yang diberikan kepada anak
sebaiknya menggunakan aneka ragam bahan makanan setiap harinya, dan
anak untuk makan dan cuci tangan sendiri sebelum dan sesudah makan, serta
membiasakan anak untuk makan bersama dengan keluarga (Nadesul, 2011).
2.2 Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK)
Masa 1000 HPK merupakan masa dimana pertumbuhan dan
perkembangan anak berlangsung secara cepat. Saat masih dalam kandungan
misalnya, janin tumbuh dengan cepat hingga mencapai berat badan 2,5-4,0 kg
hingga menjelang dilahirkan. Pada masa itu, dasar-dasar perkembangannya pun
sudah terbentuk. Rentang 1000 HPK yang harus menjadi perhatian ini bukan
tanpa alasan. Selama ini dipahami bahwa pertumbuhan anak yang berlangsung
secara cepat terjadi pada masa-masa awal, yaitu tahun pertama dan kedua usia
anak. Namun, dalam kasus-kasus kekurangan gizi, justru fakta menunjukkan
bahwa penurunan status gizi terjadi pada periode ini.
Hasil penelitian Shrimpton dkk (Jurnal Pediatrics, Mei 2001) yang
berjudul Worldwide Timing of Growth Faltering: Implications for Nutritional
Interventions menunjukkan bahwa status gizi seorang anak berdasarkan indeks
berat badan menurut umur (BB/U) cenderung menurun pada saat ia memasuki
usia 3 bulan. Penurunan status gizi yang sangat tajam terjadi hingga ia berusia 12
bulan dan mulai melambat pada usia 18-19 bulan. Hanya saja, kekurangan gizi ini
masih akan terus berlanjut hingga anak usia 5 tahun. Indeks berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB) menunjukkan bahwa penurunan status gizi dimulai sekitar
usia 3 bulan hingga 15 bulan. Karenanya, jika intervensi peningkatan asupan gizi
dilakukan setelah anak berusia 2 tahun, maka intervensi tersebut sangat tidak
berusia 2 tahun dan itu proses yang tidak dapat diulang (irreversible) (Priyatna &
Asnol, 2014).
Gerakan 1000 HPK adalah suatu gerakan percepatan perbaikan gizi yang
ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk menjawab permasalahan gizi, dengan
melibatkan berbagai sektor dan pemangku kepentingan untuk bekerjasama dan
menurunkan masalah gizi. Gerakan ini diadopsi dari gerakan Scaling Up-Nutrition
(SUN) Movement. Gerakan SUN Movement merupakan suatu gerakan global di
bawah koordinasi Sekretaris Jenderal PBB. Hadirnya gerakan ini merupakan
respons dari negara-negara di dunia terhadap kondisi status pangan dan gizi di
negara berkembang. Tujuan global dari SUN Movement adalah untuk menurunkan
masalah gizi pada 1000 HPK yakni dari awal kehamilan sampai usia 2 tahun.
Periode 1000 HPK ini telah dibuktikan secara ilmiah merupakan periode yang
menentukan kualitas kehidupan seseorang, oleh karena itu periode ini sering
disebut sebagai “periode emas” (Kemenko Kesra RI, 2013).
Pemenuhan gizi yang optimal selama masa 1000 HPK, selain memberi
kesempatan bagi anak untuk hidup lebih lama, lebih sehat, lebih produktif, dan
berisiko lebih rendah dari menderita penyakit degeneratif di usia dewasa, juga
berperan positif dalam memutus rantai kemiskinan. Hal ini hanya dimungkinkan
dengan dilakukannya upaya intervensi perbaikan gizi ibu hamil, bayi, dan balita,
sehingga melahirkan anak yang sehat (Priyatna & Asnol, 2014).
Masa kehamilan dan balita adalah periode yang paling penting bagi
perkembangan otak. Anak dengan perkembangan otak yang tidak optimal pada
prestasi sekolah yang buruk dan putus sekolah, keterampilan yang rendah dan
perawatan diri yang buruk, sehingga secara tidak langsung akan memberi
kontribusi pada mata rantai kemiskinan antargenerasi (Priyatna & Asnol, 2014).
2.2.1 Periode dalam 1000 HPK
Periode 1000 HPK merupakan masa kritis untuk investasi gizi ke masa
depan. Terutama dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan anak yang
optimal. Masa awal ini sangat singkat, sehingga peluang bagi perbaikan gizi, dan
pada akhirnya pengembangan SDM, tidak boleh dilewatkan. Titik kritis yang
harus diperhatikan selama periode 1000 HPK adalah periode dalam kandungan
(280 hari), periode 0 – 6 bulan (180 hari), dan periode 6-24 bulan (540 hari).
Masa kehamilan merupakan masa yang sangat menentukan kualitas
sumber daya manusia masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat
ditentukan kondisinya di masa janin dalam kandungan. Dengan demikian jika
keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil baik, maka janin yang dikandungnya
akan baik juga. Sebaliknya, jika keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil
kurang baik (anemia) maka akan dapat berakibat janin lahir mati (prenatal death)
dan bayi lahir dengan berat badan lahir dengan berat badan kurang dari normal
(low birth weight) yang dikenal dengan istilah berat badan lahir rendah (BBLR)
(Waryana, 2010).
Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme energi, karena itu
kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan
energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan pekembangan
metabolisme tubuh ibu. Bagi ibu hamil, pada dasarnya semua zat gizi memerlukan
tambahan, namun yang seringkali menjadi kekurangan adalah energi protein dan
beberapa mineral seperti zat besi dan kalsium. Kebutuhan energi untuk kehamilan
yang normal perlu tambahan kira kira 80.000 kalori selama masa kurang lebih 280
hari. Hal ini berarti perlu tambahan ekstra sebanyak kurang lebih 300 kalori setiap
hari selama hamil (Waryana, 2010).
Kebutuhan protein juga mengalami peningkatan selama kehamilan yaitu
hingga 68%. Protein diperlukan untuk pembentukan jaringan baru dan
pertumbuhan organ-organ pada janin, perkembangan kandungan ibu,
pertumbuhan plasenta, cairan amnion, serta penambahan volume darah.
Kekurangan asupan protein dapat berdampak buruk terhadap janin seperti cacat
bawaan, BBLR, dan keguguran (Purwitasari & Dwi, 2009).
Kebutuhan zat gizi mikro seperti zat besi, asam folat, dan kalsium juga
meningkat. Untuk kebutuhan zat besi selama kehamilan mengalami peningkatan
sebesar 200% sampai 300%. Hal ini diperlukan untuk pembentukan plasenta dan
pembentukan sel darah merah. Untuk menjaga agar tidak kekurangan zat besi,
maka wanita hamil disarankan untuk menelan sebanyak 90 tablet besi selama
kehamilan.
Ibu hamil yang berusia lebih dari 25 tahun membutuhkan kalsium
kira-kira 1200 mg/hari dan cukup 800 mg/hari untuk yang berusia lebih muda.
Kalsium digunakan untuk menunjang pembentukan tulang dan gigi serta
persendian janin. Jika ibu hamil kekurangan kalsium, maka kebutuhan kalsium
tulang keropos atau osteoporosis dan tidak jarang ibu hamil yang mengeluh
giginya merapuh atau mudah patah.
Selanjutnya, dalam periode 0 – 6 bulan (180 hari) terdapat dua hal
penting yaitu melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dan pemberian ASI secara
eksklusif. IMD adalah memberikan kesempatan kepada bayi baru lahir untuk
menyusu sendiri pada ibunya dalam satu jam pertama kelahirannya. Prosesnya
bayi diletakkan di atas dada ibu segera setelah lahir untuk mencari puting susu ibu
dan mulai menyusu untuk pertama kalinya. Dengan dilakukannya IMD maka
kesempatan bayi untuk mendapat kolostrum semakin besar. Kolostrum
merupakan ASI terbaik yang keluar pada hari ke 0-5 setelah bayi lahir yang
mengandung antibodi (zat kekebalan) yang melindungi bayi dari zat yang dapat
menimbulkan alergi atau infeksi (Handy, 2010).
Periode 6-24 bulan (540 hari) mengharuskan ibu untuk memberikan MP
ASI karena sejak usia ini, kebutuhan terhadap berbagai zat gizi semakin
meningkat dan tidak lagi dapat dipenuhi hanya dari ASI saja. Pada usia ini, anak
berada pada periode pertumbuhan dan perkembangan cepat, mulai terpapar
terhadap infeksi dan secara fisik mulai aktif, sehingga kebutuhan terhadap zat gizi
harus terpenuhi dengan memperhitungkan aktivitas anak dan keadaan infeksi. Ibu
sebaiknya memahami bahwa pola pemberian makanan secara seimbang pada usia
dini akan berpengaruh terhadap selera makan anak selanjutnya, sehingga
pengenalan kepada makanan yang beranekaragam pada periode ini menjadi sangat
penting. Secara bertahap, variasi makanan untuk anak 6-24 bulan semakin
protein hewani dan nabati, serta makanan pokok sebagai sumber kalori. Demikian
pula jumlahnya ditambahkan secara bertahap dalam jumlah yang tidak berlebihan
dan dalam proporsi yang juga seimbang (Kemenkes RI, 2014).
2.2.2 Kegiatan 1000 HPK
Pedoman Perencanaan Program Gizi pada 1000 HPK menjelaskan
bahwa gizi 1000 HPK terdiri dari dua jenis kegiatan, yaitu intervensi spesifik dan
intervensi sensitif. Kedua intervensi ini sangat baik bila mampu berjalan
beriringan karena akan berdampak jangka panjang. Kegiatan intervensi spesifik
yaitu tindakan atau kegiatan yang dalam perencanaannya ditujukan khusus untuk
kelompok 1000 HPK. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh sektor
kesehatan, seperti pada kelompok khusus ibu hamil dilakukan kegiatan
suplementasi besi folat, pemberian makanan pada ibu KEK, penanggulangan
kecacingan pada ibu hamil, pemberian kelambu berinsektisida dan pengobatan
bagi ibu hamil yang postif malaria. Kelompok 0-6 bulan dilakukan kegiatan
promosi menyusui dan ASI eksklusif (konseling individu dan kelompok) dan
untuk kelompok 7-24 bulan, promosi menyusui tetap diberikan, KIE perubahan
perilaku untuk perbaikan MP ASI, suplementasi zink, zink untuk manajemen
diare, pemberian obat cacing, fortifikasi besi, pemberian kelambu berinsektisda
dan malaria. Intervensi spesifik bersifat jangka pendek, hasilnya juga dapat dicatat
dalam waktu yang relatif pendek.
Kegiatan intervensi sensitif merupakan berbagai kegiatan yang berada di
luar sektor kesehatan. Sasarannya adalah masyarakat umum, tidak khusus untuk
kegiatan spesifik, dampaknya terhadap keselamatan proses pertumbuhan dan
perkembangan kelompok 1000 HPK akan semakin baik. Intervensi gizi sensitif
meliputi penyediaan air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan gizi, keluarga
berencana, jaminan kesehatan masyarakat, jaminan persalinan dasar, fortifikasi
pangan, pendidikan gizi masyarakat, intervensi untuk remaja perempuan, dan
pengentasan kemiskinan (Kemenko Kesra RI, 2012). Dokumen SUN Inggris
menyebutkan bahwa intervensi gizi spesifik yang umumnya dilaksanakan oleh
sektor kesehatan hanya 30% efektif mengatasi masalah gizi 1000 HPK. Hal ini
karena kompleksnya masalah gizi khususnya masalah beban ganda, yaitu
kombinasi antara anak kurus, pendek gemuk, dan penyakit tidak menular (PTM),
yang terjadi pada waktu yang relatif sama di masyarakat miskin, penuntasan 70%
memerlukan keterlibatan banyak sektor pembangunan diluar sektor kesehatan
(Kemenko Kesra RI, 2013).
2.2.3 Pentingnya 1000 HPK
Status gizi dan kesehatan ibu dan anak sebagai penentu kualitas
sumber daya manusia, semakin jelas dengan adanya bukti bahwa status gizi dan
kesehatan ibu pada masa prahamil, saat kehamilannya dan saat menyusui
merupakan periode yang sangat kritis. Periode seribu hari, yaitu 280 hari selama
kehamilannya dan 720 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkannya,
merupakan periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap anak pada
masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampak tersebut tidak
hanya pada pertumbuhan fisik, tetapi juga pada perkembangan mental dan
optimal serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya
produktivitas ekonomi. Banyak yang berpendapat bahwa ukuran fisik, termasuk
tubuh pendek, gemuk, dan beberapa penyakit tertentu khususnya penyakit tidak
menular (PTM) disebabkan terutama oleh faktor genetik. Dengan demikian ada
anggapan tidak banyak yang dapat dilakukan untuk memperbaiki atau
mengubahnya. Namun berbagai bukti ilmiah dari banyak penelitian dari lembaga
riset gizi dan kesehatan terbaik di dunia telah mengubah paradigma tersebut.
Ternyata tubuh pendek, gemuk, PTM, dan beberapa indikator kualitas hidup
lainnya, faktor penyebab terpenting adalah lingkungan hidup sejak konsepsi
sampai anak usia 2 tahun yang dapat dirubah dan diperbaiki (Bappenas, 2013).
Janin dalam kandungan akan tumbuh dan berkembang melalui
pertambahan berat dan panjang badan, perkembangan otak serta organ-organ
lainnya seperti jantung, hati, dan ginjal. Janin mempunyai plastisitas yang tinggi,
artinya janin akan dengan mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan
lingkungannya baik yang menguntungkan maupun yang merugikan pada saat itu.
Sekali perubahan tersebut terjadi, maka tidak dapat kembali ke keadaan semula.
Perubahan tersebut merupakan interaksi antara gen yang sudah dibawa sejak awal
kehidupan, dengan lingkungan barunya. Pada saat dilahirkan, sebagian besar
perubahan tersebut menetap atau selesai, kecuali beberapa fungsi, yaitu
perkembangan otak dan imunitas, yang berlanjut sampai beberapa tahun pertama
Kekurangan gizi yang terjadi dalam kandungan dan awal kehidupan
menyebabkan janin melakukan reaksi penyesuaian. Secara paralel penyesuaian
tersebut meliputi perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan
pengembangan sel-sel tubuh termasuk sel otak dan organ tubuh lainnya. Hasil
reaksi penyesuaian akibat kekurangan gizi di ekspresikan pada usia dewasa
dalam bentuk tubuh yang pendek, rendahnya kemampuan kognitif atau
kecerdasan sebagai akibat tidak optimalnya pertumbuhan dan perkembangan otak.
Reaksi penyesuaian akibat kekurangan gizi juga meningkatkan risiko terjadinya
berbagai PTM seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, dan diabetes dengan
berbagai risiko ikutannya pada usia dewasa.
Berbagai dampak dari kekurangan gizi yang diuraikan diatas,
berdampak dalam bentuk kurang optimalnya kualitas manusia, baik diukur dari
kemampuan mencapai tingkat pendidikan yang tinggi, rendahnya daya saing,
rentannya terhadap PTM, yang semuanya bermuara pada menurunnya tingkat
pendapatan dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Dengan kata lain
kekurangan gizi dapat memiskinkan masyarakat. Suatu yang menggembirakan
bahwa berbagai masalah tersebut diatas bukan disebabkan terutama oleh faktor
genetik yang tidak dapat diperbaiki seperti diduga oleh sebagian masyarakat,
melainkan oleh karena faktor lingkungan hidup yang dapat diperbaiki dengan
fokus pada masa 1000 HPK.
Menurut IFPRI (2000) investasi gizi untuk kelompok ini harus
dipandang sebagai bagian investasi untuk menanggulangi kemiskinan melalui
gizi pada kelompok 1000 HPK akan menunjang proses tumbuh kembang janin,
bayi dan anak sampai usia 2 tahun, sehingga siap dengan baik memasuki dunia
pendidikan. Selanjutnya perbaikan gizi tidak saja meningkatkan pendapatan
keluarga tetapi juga pendapatan nasional. Di Banglades dan Pakistan misalnya,
masalah kekurangan gizi termasuk anak pendek, menurunkan pendapatan nasional
(GNP) sebesar 2 persen - 4 persen tiap tahunnya (Bappenas, 2013).
Masalah kekurangan gizi 1000 HPK diawali dengan perlambatan atau
retardasi pertumbuhan janin yang dikenal sebagai Intra Uterine Growth
Retardation (IUGR). Di negara berkembang kurang gizi pada pra-hamil dan ibu
hamil berdampak pada lahirnya anak yang IUGR dan BBLR. Kondisi IUGR
hampir separuhnya terkait dengan status gizi ibu, yaitu berat badan ibu pra-hamil
yang tidak sesuai dengan tinggi badan ibu atau bertubuh pendek, dan
pertambahan berat badan selama kehamilannya (PBBH) kurang dari seharusnya.
Ibu yang pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh pendek pada saat
meninjak dewasa. Apabila hamil ibu pendek akan cenderung melahirkan bayi
yang BBLR (Victoria CG dkk, 2008).
Apabila tidak ada perbaikan terjadinya IUGR dan BBLR akan terus
berlangsung di generasi selanjutnya, sehingga terjadi masalah anak pendek
intergenerasi. Hal tersebut akan terus terjadi apabila tidak ada perbaikan gizi dan
pelayanan kesehatan yang memadai pada masa-masa tersebut. Kelompok ini tidak
lain adalah kelompok 1000 HPK yang menjadi fokus perhatian pada masalah ini.
Mengapa penting kelompok 1000 HPK diperhatikan. Jawabnya adalah karena
seterusnya. Dengan itu, akan ditingkatkan kualitas manusia dari aspek kesehatan,
pendidikan, dan produktivitasnya yang akhirnya bermuara pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Para ahli ekonomi dunia perbaikan gizi pada 1000
HPK adalah suatu investasi pembangunan yang cost effective. (Copenhagen
Declaration, 2012).
2.2.4 Faktor Penyebab Masalah Gizi pada 1000 HPK
Masalah gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait.
Terdapat dua faktor langsung yang mempengaruhi status gizi individu, yaitu
faktor makanan dan penyakit infeksi. Konsumsi makanan yang tidak memenuhi
jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang yaitu
beragam, sesuai kebutuhan, bersih, dan aman, misalnya bayi tidak memperoleh
ASI Eksklusif akan menyebabkan masalah gizi pada 1000 HPK.
Penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit
menular terutama diare, cacingan, dan penyakit pernapasan akut (ISPA) juga
dapat menyebabkan masalah gizi. Faktor ini banyak terkait mutu pelayanan
kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup, dan perilaku
hidup sehat. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan air bersih,
sarana sanitasi, dan perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan dengan
sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok, adanya sirkulasi udara dalam
rumah, dan sebagainya.
Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan di
keluarga, khususnya pangan untuk bayi 0-6 bulan (ASI Eksklusif) dan 6-24 bulan
Semuanya itu terkait pada kualitas pola asuh anak. Pola asuh, sanitasi lingkungan,
akses pangan keluarga, dan pelayanan kesehatan, dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan, pendapatan, dan akses informasi terutama tentang gizi dan kesehatan
(Bappenas, 2013).
2.2.5 Perlunya Akselerasi Perbaikan Gizi pada 1000 HPK
Tujuan dan sasaran SUN secara global yaitu menyelamatkan generasi
yang akan datang dengan melindungi dan mencegah kelompok 1000 HPK dari
masalah gizi dan kesehatan masyarakat. Periode 1000 HPK begitu penting
sehingga ada yang menyebutnya sebagai periode emas, periode sensitif, dan Bank
Dunia menyebutnya sebagai Window of Opportunity. Maknanya, kesempatan
(opportunity) dan sasaran untuk meningkatkan mutu SDM generasi masa datang,
ternyata serba sempit (window), yaitu ibu prahamil (remaja perempuan) dan hamil
sampai anak 0-2 tahun, serta waktunya pendek yaitu hanya 1000 hari sejak hari
pertama kehamilan. Segala upaya perbaikan gizi diluar periode tersebut telah
dibuktikan tidak dapat mengatasi masalah gizi masyarakat dengan tuntas
(Bappenas, 2013).
Dokumen SUN menyebutkan efektivitas program gizi yang berlaku
sekarang di banyak negara berkembang hanya 30 persen. Tidak tuntasnya
masalah tersebut antara lain disebabkan oleh kebijakan program gizi selama ini
masih bersifat umum belum mengacu pada kelompok 1000 HPK sebagai sasaran
utama. Khususnya untuk anak masih meliputi semua anak dibawah 5 tahun
(balita) tanpa ada kebijakan untuk memberi prioritas pada anak 0-2 tahun.
Selain itu, kegiatan intervensi gizi masih sektoral, khususnya kesehatan.
Belum terlihat upaya mengaitkan kegiatan program pembangunan seperti
penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan, penyediaan air bersih, dan
sanitasi dengan tujuan perbaikan gizi masyarakat. Serta cakupan pelayanan yang
masih rendah untuk imunisasi lengkap, suplementasi tablet besi folat pada ibu
hamil, pemanfaatan KMS dan SKDN, promosi inisiasi ASI eksklusif, cakupan
garam beriodium, dan sebagainya.
Tidak tuntasnya masalah tersebut juga disebabkan oleh tindakan hukum
terhadap pelanggar WHO Code tentang Breast Feeding belum dilaksanakan
karena Peraturan Pemerintah tentang ASI baru diumumkan awal tahun 2012, dan
juga lemahnya penguasaan substansi masalah gizi pada para pejabat tertentu,
petugas gizi dan kesehatan, baik yang ditingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan
lapangan khususnya tentang perkembangan terakhir dan prospeknya dimasa
depan, masalah anak pendek, beban ganda, dan kaitan gizi dengan PTM. Lebih
luas dari itu harus diakui, sebagaimana disinyalir oleh sekretaris jendral PBB,
beberapa negara kurang memberikan perhatian bahkan mengabaikan peran gizi
dalam investasi SDM.
Perhatian terhadap program gizi di Indonesia mulai terlihat sejak tahun
2004 dengan diterbitkannya berbagai RPJPN, RAN, dan RADPG, namun dalam
pelaksanaan masih berat sektoral kesehatan. Berbagai permasalahan pelayanan
program gizi tersebut diatas, ternyata juga terjadi di beberapa negara lain,
tentunya dengan intensitas yang berbeda. Karena itu beberapa sasaran MDGs
dengan adanya kecenderungan meningkatnya beban ganda akibat kekurangan dan
kelebihan gizi terutama di negara berkembang, berbagai pihak di PBB menjadi
sangat peduli untuk mencegah dan menanggulanginya. Akhirnya kepedulian
tersebut diwujudkan oleh sekretariat PBB dalam bentuk Gerakan 1000 HPK yang
bersifat lintas lembaga PBB, bermitra dengan lembaga-lembaga pemerintah,
industri, LSM, mitra pembangunan internasional, dan sebagainya.
2.3 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu pengindraan hingga menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra
pengindraan (telinga), dan indra penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang
terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda
(Notoatmodjo, 2010).
2.3.1 Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan yang cukup didalam domain kognitif mempunyai 6
tingkatan, yaitu tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application),
analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). Tahu (know)
diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang di pelajari atau rangsangan yang
rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
antara lain menyebutkan, menguraikan, menyatakan, dan sebagainya.
Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham
terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini
dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetap masih didalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat
dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat
bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
Sintesis (synthesis) menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat
menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan
Evaluasi (evaluation) berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau suatu penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo,2010).
2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007), faktor yang mempengaruhi tingkat
pengetahuan seseorang antara lain upaya untuk memberikan pengetahuan
sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat (pendidikan), sesuatu
yang pernah dialami seseorang yang akan menambah pengetahuan tentang sesuatu
yang bersifat non formal (pengalaman), memiliki sumber informasi yang lebih
banyak akan memiliki pengetahuan yang lebih luas pula (informasi), lingkungan
dan tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhan yang dapat berupa sikap
dan kepercayaan (lingkungan budaya), dan tingkat kemampuan seseorang untuk
2.4 Kerangka Konsep
Gambar di bawah adalah kerangka konsep yang menggambarkan
hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen
dalam penelitian ini yaitu pengetahuan ibu tentang 1000 HPK khususnya
mengenai MP ASI yang diduga akan berpengaruh terhadap variabel dependen,
yaitu pemberian MP ASI pada anak 6-24 bulan yang meliputi jenis dan tekstur
makanan yang akan diberikan kepada anak, porsi makanan dalam sekali
pemberian makan kepada anak, dan frekuensi pemberian makanan dalam sehari
kepada anak. Tanda panah menunjukkan bahwa variabel independen diduga