9
PEMIKIRAN, HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Resiko
Resiko adalah konsekuensi dari apa yang telah kita lakukan. Seluruh kegiatan
yang dilakukan baik perorangan atau perusahaan juga mengandung resiko.
Kegiatan bisnis sangat erat kaitannya dengan resiko. Resiko dalam kegiatan
bisnis juga dikaitkan dengan besarnya return yang akan diterima oleh pengambil
resiko. Semakin besarresiko yang dihadapi umumnya dapat diperhitungkan
bahwa return yang diterima juga akan lebih besar. Pola pengambilan resiko
menunjukkan sikap yang berbeda terhadap pengambilan resiko. Resiko adalah
ketidakpastian dan dapat menimbulkan terjadinya peluang kerugian terhadap
pengambilan suatu keputusan (Harwood, et al 1999).
Menurut Kountur (2006), resiko berhubungan dengan ketidakpastian, ini terjadi
akibat kurangnya atau tidak tesedianya informasi yang menyangkut apa yang akan
terjadi. Selanjutnya Kountur (2008), menyebutkan ada tiga unsur penting dari
suatu yang dianggap resiko yaitu:
1.Merupakan suatu kejadian.
2.Kejadian tersebut masih merupakan kemungkinan, jadi bisa saja terjadi bisa
tidakterjadi.
Apabila ketidakpastian yang dihadapi berdampak menguntungkan maka disebut
dengan istilah kesempatan (opportunity), sedangkan ketidakpastian yang
berdampak merugikan disebut sebagai resiko. Oleh sebab itu resiko adalah
sebagai suatu keadaan yang tidak pasti yang dihadapi seseorang atau perusahaan
yang dapat memberikan dampak yang merugikan.
Resiko adalah konsekuensi dari apa yang telah kita lakukan. Seluruh kegiatan
yang dilakukan baik perorangan atau perusahaan juga mengandung resiko.
Kegiatan bisnis sangat erat kaitannya dengan resiko. Resiko dalam kegiatan bisnis
juga dikaitkan dengan besarnya returnyang akan diterima oleh pengambil resiko.
Semakin besar resiko yang dihadapi umumnya dapat diperhitungkan bahwa
returnyang diterima juga akan lebih besar. Pola pengambilan resiko menunjukkan
sikap yang berbeda terhadap pengambilan resiko. Analisis resiko berhubungan
dengan teori pengambilan keputusan (decision theory) berdasarkan konsep
expected utility model (Moschini dan Hennessy,1999).
Dalam menganalisis mengenai pengambilan keputusan yang berhubungan dengan
resiko dapat menggunakan expected utility model. Model ini digunakan karena
adanya kelemahan yang terdapat pada expected return model, yaitu bahwa yang
ingin dicapai oleh seseorang bukan nilai (return) tetapi kepuasan (utility).
Hubungan fungsi kepuasan dengan pendapatan adalah berhubungan positif,
dimana jika tingkat kepuasan meningkat maka pendapatan yang akan diperoleh
UTILITY UTILITY
INCOME INCOME
RISK NEUTRAL RISK AVERSE
UTILITY
INCOME
RISK TAKER
Gambar 1. Hubungan Fungsi Kepuasaan dan Pendapatan
Sumber : Debertin, 1986
Debertin (1986), juga menjelaskan mengenai hubungan tingkat kepuasan petani
dengan keputusan strategi yang diambil pada tingkat resiko tertentu. Sehubungan
dengan Gambar 1, setiap petani yang ingin mendapatkan income (pendapatan)
yang lebih tinggi maka akan menghadapi resiko yang lebih besar, dimana tingkat
resiko selalu berbanding lurus dengan tingkat harapan pendapatan. Resiko adalah
konsekuensi dari apa yang telah kita lakukan. Seluruh kegiatan yang dilakukan
baik perorangan atau perusahaan juga mengandung resiko. Kegiatan bisnis sangat
erat kaitannya dengan resiko. Resiko dalam kegiatan bisnis juga dikaitkan dengan
besamya return yang akan diterima oleh pengarnbil resiko. Semakin besar resiko
yang dihadapi umurnnya dapat diperhitungkan bahwa return yang diterima juga
akan lebih besar. Pola pengambilan resiko menunjukkan sikap yang berbeda
resiko dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Robison dan Barry, 1987
dalam Fariyanti, 2008).
1) Pembuat keputusan yang takut terhadap resiko (risk aversion).
Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance) dari
keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan
menaikkan keuntungan yang diharapkan yang merupakan ukuran tingkat
kepuasan.
2) Pembuat keputusan yang berani terhadap resiko (risk taker).
Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance) dari
keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan
menurunkan keuntungan yang diharapkan.
3) Pembuat keputusan yang netral terhadap resiko (risk neutral).
Sikap ini menunjukan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance) dari
keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan
menurunkan atau menaikkan keuntungan yang diharapkan.
2.1.2 Strategi Pengambilan Keputusan
Respon petani terhadap resiko dapat dikategorikan menjadi: a) usaha yang
diaraahkan untuk mengendalikan kemungkinan timbulnya resiko b) tindakan yang
ditujukan untuk mengurangi dampak resiko (Jolly,1983). Dalam usaha
mengontrol sumber resiko, petani harus memilih himpunan distribusi probabilitas
yang paling mungkin dihadapi. Keputusan-keputusan yang diambil dapat berupa
pemilihan jenis usaha, diversifikasi usaha atau pola tanam, tingkat penggunaan
input, penentuan skala usaha, pemilihan pasar, serta keikutsertaan dalam
langsung terhadap distribusi probabilitas yang dihadapi petani. Pada dasarnya,
respon tersebut sangat berpengaruh terhadap kapasitas usaha tani untuk tetap
bertahan mengahadapi kondisi yang kurang menguntungkan atau untuk
memanfaatkan peluang seoptimal mungkin dalam kondisi yang menguntungkan.
Respon petani terhadap goncangan/kejutan yang dihadapi usaha tani dapat
dibedakan menjadi: a) respon sebelum terjadi goncangan yaitu ex ante; b) respon
pada saat terjadi goncangan yaitu interactive, dan c) respon telah terjadi
goncangan yaitu expost (Adiyoga dan Soetiarso,1999). Respon yang pertama
dirancang untuk mempersiapkan usaha tani agar tidak berada pada posisi yang
terlalu rawan pada saat goncangan terjadi. Respon pada saat terjadi goncangan
melibatkan realokasi sumber daya agar dampak resiko terhadap produksi dapat
diminimalkan, sedangkan respon setelah goncangan diarahkan untuk
meminimalkan dampak berikutnya. Ketiga jenis respon tersebut saling bergantung
satu dengan yang lainnya (respon yang satu merupakan fungsi dari respon yang
lain).
2.1.3 Teknologi
Teknologi disini maksudnya adalah teknologi pertanian yang berarti cara-cara
bagaimana penyebaran benih, pemeliharaan tanaman, memungut hasil serta
termasuk pula benih, pupuk, obat-obatan, pemberantasan hama, alat-alat, sumber
tenaga kerja dan kombinasi jenis-jenis usaha oleh para petani sebagai fungsinya
selaku pengelola untuk mengambil keputusan (Suhardiyono, 1992).
Teknologi dapat dilihat atau diartikan dari proses kegiatan manusia yang
menghasilkan barang itu dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu membuat dan
menggunakan. Membuat merupakan kegiatan merancang dan menciptakan suatu
barang buatan, sedangkan menggunakan adalah melakukan kegiatan sesuai
dengan fungsi suatu barang yang telah dibuat. Teknologi sebagai kegiatan
manusia dalam merencanakan dan menciptakan benda-benda yang bernilai
praktis.
Syarif dan Halid (1993) menyatakan bahwa teknologi harus dilihat secara utuh
dengan cara menguraikannya ke dalam empat komponen sebagai berikut;
1. Perangkat keras (fasilitas berwujud fisik); misalnya traktor, computer,
peralatan tangkap ikan, mesin pengolah makanan dan minuman, mesin
pendingin. Komponen tersebut disebut juga technoware yang
memberdayakan fisik manusia dan mengontrol kegiatan operasional
transformasi.
2. Perangkat manusia (berwujud kemampuan manusia); misalnya
keterampilan, pengetahuan, keahlian, dan kreativitas dalam mengelola
ketiga komponen teknologi lainnya di bidang agroindustri/agribisnis.
Komponen tersebut disebut juga humanware yang memberikan ide
pemanfaatan sumber daya alam dan teknologi untuk keperluan produksi.
3. Peringkat informasi (berwujud dokumen fakta); misalnya website di
internet, informasi yang diperoleh melalui telpon dan mesin facsimile,
database konsumen produk agribisnis, informasi mengenai riset pasar
produk agribisnis, spesifikasi mesin pengolah makanan, buku mengenai
pemeliharaan mesin-mesin pertanian, jurnal-jurnal aplikasi teknologi
Teknologi pertanian merupakan penerapan prinsip-prinsi
pengetahuan alam dalam rangka pendayagunaan secar
teknologi pertanian merupakan praktik-empirik yang bersifat pragmatik finalistik,
dilandasi paham mekanistik-vitalistik dengan penekanan pada objek formal
kerekayasaan dalam pembuatan dan penerapan peralat
siste
dalam i
pemeliharaan, pemungutan hasil dar
panen yang diperoleh, penanganan, pengolahan dan pengamanan sert
hasil. Oleh sebab itu, secara luas cakup
penerapan ilm
pemasaran.
2.1.4 Kelembagaan
Kelembagaan adalah suatu jaringan yang terdiri dari sejumlah orang dan lembaga
untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur. Dalam
konteks sistem agribisnis di pedesaan (Kompasiana, 2013), dikenal delapan
bentuk kelembagaan yaitu:
1) kelembagaan penyediaan input usahatani,
2) kelembagaan penyediaan permodalan,
3) kelembagaan pemenuhan tenaga kerja,
4) kelembagaan penyediaan lahan dan air irigasi,
5) kelembagaan usahatani/usahaternak,
7) kelembagaan pemasaran hasil pertanian, dan
8) kelembagaan penyediaan informasi (teknologi, pasar, dll).
Dalam konteks kelembagaan ada tiga kata kunci, yaitu: norma, perilaku, kondisi
dan hubungan sosial. Signifikansi ketiga kata kunci tersebut dicerminkan dalam
perilaku dan tindakan, baik dalam tindakan tindakan individu, maupun dalam
tindakan kolektif. Setiap keputusan yang diambil selalu akan terkait atau dibatasi
oleh norma dan pranata sosial masyarakat dan lingkungannya. Vice-versa, kondisi
demikian menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan dalam masyarakat
merupakan suatu tindakan berbasis kondisi komunitas (community-based action)
yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu celah masuk (entry-point) upaya
diseminasi teknologi. Dalam kontek kelembagaan pertanian, pemahaman
terminologi ”lokal” dinterpretasikan sebagai suatu yang memiliki karakteristik
tersendiri yang berkaitan dengan kondisi setempat. Terminologi lokal dimaksud
meliputi dasar-dasar untuk melakukan tindakan kolektif, energi untuk melakukan
konsensus, koordinasi tanggung jawab; serta menghimpun, menganalisis dan
mengkaji informasi.
Kelembagaan usaha atau kelembagaan kesejahteraan sosial dapat diartikan
sebagai suatu sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi atau digunakan
dalam kegiatan usaha kesejahteraan sosial (UKS). Melalui kelembagaan itu pula
hubungan antar manusia diatur oleh sistem norma dan organisasi sosial yang
mengatur hubungan manusia tersebut. Sementara dalam hal hubungan dan
perilaku yang terjadi dalam suatu organisasi sosial, di dalam suatu kelompok
terdapat pengaruh dari perilaku organisasi (kelompok) terhadap perilaku
norma dan sistem nilai bersama yang biasanya menjadi perilaku kelompok.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian kelembagaan, dapat
disimpulkan bahwa kelembagaan merupakan suatu sistem yang syarat dengan
nilai dan norma yang bertujuan mengatur kehidupan manusia di dalam
kelembagaan pada khususnya maupun manusia di luar kelembagaan pada
umumnya.
Norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat memiliki tingkatan kekuatan
mengikat tersendiri. Seperti yang dipaparkan Soekanto (2002) dalam Sosiologi
sebagai Pengantar bahwa untuk dapat membedakan kekuatan mengikat
norma-norma tersebut dikenal adanya empat pengertian, yaitu:
a. Cara (usage)
b. Kebiasaan (folksway)
c. Tata kelakuan (mores), dan
d. Adat istiadat (custom)
Setiap tingkatan di atas memiliki kekuatan memaksa yang semakin besar
mempengaruhi perilaku seseorang untuk menaati norma. Begitu pula yang
dipaparkan oleh Soemardjan dan Soelaeman (1974) bahwa setiap tingkatan
tersebut menunjukkan pada kekuatan yang lebih besar yang digunakan oleh
masyarakat untuk memaksa para anggotanya mentaati norma-norma yang
terkandung didalamnya.
2.1.5 Persepsi
Menurut Sunaryo (2004), persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang
indra, lalu diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang
sesuatu yang dipersepsikan
Menurut Rakhmat (2004), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa,
atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
melampirkan pesan.
Persepsi adalah stimulus yang mengenai individu itu kemudian diorganisasikan
dan diinterpretasikannya sehingga individu menyedari tentang apa yang
diinderanya (Walgito, 2006). Ketika individu petani mendengar atau melihat suatu
inovasi teknologi, maka muncul stimulus yang diterima alat inderanya, kemudian
melalui proses persepsi suatu inovasi teknologi baru yang ditangkap oleh indera
sebagai sesuatu yang berarti dan bermanfaat baginya. Melalui suatu interpretasi
dan pemaknaan dari suatu teknologi maka muncul keyakinan dan kepercayaan
terhadap inovasi teknologi tersebut. Akan tetapi individu petani masih
memerlukan pembuktian terhadap kebenaran inovasi tersebut melalui uji coba
atau melihat kepada sesama petaninya yang telah mencoba.
Stimulus yang diterima alat indera, kemudian melalui persepsi sesuatu yang
diindera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan
diinterpretasikan (Walgito, 2006).
Dengan demikian menurut Walgito (2006) persepsi merupakan proses
pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh
individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang
terintegrasi dalam diri individu. Persepsi petani terhadap suatu inovasi teknologi
stimulus yang diterima oleh individu petani, sehingga inovasi teknologi tersebut
merupakan yang berarti dan bermanfaat serta merupakan aktivitas yang
terintegrasi dalam diri individu sebelum mengambil keputusan untuk berperilaku.
Bentuk keputusan berpelilaku adalah merupakan tindakan individu untuk
menerpakna inovasi teknologi yang telah diyakini dan dibuktikan. Persepsi petani
terhadap sesuatu inovasi teknologi baru dapat dipengaruhi oleh faktor internal
(dari dalam diri individu) dan faktor eksternal (atau dari stimulus itu sendiri dan
lingkungan). Suatu inovasi teknologi baru yang dipersepsi erat kaitannya terhadap
kondisi lingkungan (agro-ekosistem) dan tingkat kesulitan untuk menerapkan
teknologi tersebut. Penilaian terhadap tingkat kesulitan inovasi teknologi itu
merupakan faktor-faktor internal individu dalam mempersepsikan kemampuan
diri sendiri untuk melakukan tindakan atau penerapan sebagai pola perilakunya.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang menjadi rujukan adalah Ratna Mega Sari (2009) dengan
judul “Resiko Harga Cabai Merah Keriting dan Cabai Merah Besar di Indonesia”
menganalisis resiko harga cabai merah keriting dan cabai merah besar di
Indonesia dan menganalisis alternative strategi terkait dengan adanya resiko harga
komoditi cabai merah keriting dan cabai merah besar di Indonesia.
Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan analisis ARCH-GARCH yang digunakan untuk meramalkan
volalitas pada periode selanjutnya, dengan hasil penelitian sebagai berikut:
1. Cabai merah keriting dan cabai merah besar merupakan komoditi yang
sangat fluktuatif dari sisi harga. Harga yang sangat fluktuatif ini
besar. Resiko harga cabai merah keriting lebih besar dibandingkan cabai
merah besar.
2. Penanggulangan resiko oleh petani dilakukan melalui tindakan seperti
perhitungan yang cermat dalam penentuan masa tanam cabai, menghindari
penanaman cabai dalam satu hamparan, rotasi tanaman dan pembuatan
pupuk olahan cabai. Penanggulangan resiko harga cabai merah keriting
dan cabai merah besae akan efektif melalui peran dan kontribusi
pemerintah, melalui pembentukan atau pengaktifan koperasi dankelompok
tani, pengaturan pola produksi serta pembinaan dan penyuluhan terkait
dengan pengolahan pasca panen, budidayaa dan pendekatan terhadap
petani terkait pentingnya kebijakan pengaturan pola produksi untuk
mengurangi resiko harga.
Menurut Drs.H.Hendro Sunarjo, APU (Purn.) dalam bukunya yang berjudul
“Bertanam 36 Jenis Sayur” menyatakan bahwa varietas yang termasuk jenis kol
diantaranya ialah hybrid KK cross, KY cross, hybrid 21, R.v.E., yoshin, pujon,
segon, Copenhagen market dan kubis merah. Sementara itu, varietas kol yang
dianjurkan untuk ditanam adalah hybrid 21, hybrid 31, hybrid KK cross, hybrid
KY cross. Semua varietas hybrid tersebut berasal dari Jepang. Var ietas lainnya
yang dianjurkan untuk ditanam adalah hybrid 368 dari Australia. Varietas kol
lokal seperti pujon, segon, dan yoshin kurang popular karena kropnya lunak
(keropos). Kol dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 1.000-3.000 m
dpl dengan pH tanah antara 6-7. Waktu tanam kol yang baik adalah pada awal
musim hujan (awal Oktober) atau awal musim kemarau (Maret). Jarak antar baris
kandang, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCl. Jenis pestisida yang digunakan
pada komoditi kol adalah Ambush 2 EC, Decis 2,5 EC 0,1-0,2% untuk ulat
Plutella maculipennis, ulat Crocodolomia binoyalis. Bubur bordeaux, Antracol,
atau Dithane M-45 0,2% untuk penyakit busuk akar.
Untuk komoditas sawi putih (petsai) varietas yang dianjurkan ditanam ialah granat
denmark, amiliore dan beberapa hybrid seperti naga oka, waka, wong bok dan
lain-lain. Sawi putih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian lebih dari 1000 m
dpl dengan pH tanah sebaiknya antara 6-7. Waktu tanam sawi putih yang baik
ialah menjelang akhir musim hujan (Maret) atau awal musim hujan (Oktober).
Bibit sawi putih ditanam menurut barisan dengan jarak tanam 40 cm dan jarak
antar baris 40 cm. Pupuk yang digunakan ialah pupuk kandang, pupuk urea dan
pupuk TSP. Sedangkan pestisida yang digunakan ialah Bayrusil 250 EC 0,2%
untuk memberantas ulat perusak daun (Plutella maculipennis) , Dithane M-45
0,2% untuk memberantas cendawan (Alternaria solani).
Untuk komoditas wortel, mudah ditanam ditempat yang tingginya lebih dari 500
m dpl, terutama di ketinggian 1.200 m dpl dengan pH tanah 5,5 – 6,5. Tanah yang
akan ditanami dicangkul sedalam 40cm, lalu diberi pupuk kandang atau kompos
tetapi pemberian pupuk kandang ini dapat ditiadakan jika tanahnya subur,
misalnya tanah bekas tanaman kentang, dan kubis. Dibuat alur dengan jarak antar
alur 20 cm. Pupuk buatan yang digunakan berupa pupuk urea, dan pupuk KCl.
2.3Landasan Teori
Persepsi petani mengenai resiko di dalam beberapa kajian empiris menunjukkan
memiliki persepsi negatif (Dillon dan Scandizzo, 1978). Perilaku tersebut
mengindikasikan bahwa petani lebih menyukai perencanaan usahatani yang dapat
memberikan rasa aman walaupun harus mengorbankan sebagian pendapatannya.
Sampai sejauh mana proposisi tersebut berlaku untuk petani di Indonesia yang
masih dikategorikan subsisten dalam penggunaan input (Adiyoga dan Soetiarso,
1999). Terlebih lagi jika dikaitkan dengan implikasinya terhadap usaha
pengembangan teknologi baru.
Perancangan teknologi di bidang pertanian diperlukan dalam usaha
pengembangan teknologi baru. Perancangan ini terdapat pada berbagai komponen.
Menurut (Sumarno, 2006) teknologi pertanian terdapat pada berbagai komponen,
yaitu :
1) Sumber daya lahan, air dan iklim
2) Sarana biologis, varietas dan benih
3) Sarana produksi sintesis
4) Alat mesin pertanian
5) Kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
Pengembangan kelembagaan juga perlu dilakukan karena apabila petani
jikaberusahatani secara individu terus berada di pihak yang lemah karena petani
secara individu akan mengelola usahatani dengan luas garapan kecil dan
terpencar serta kepemilikan modal yang rendah. Sehingga pemerintah perlu
memperhatikan penguatan kelembagaan lewat kelompok tani karena dengan
berkelompok maka petani tersebut akan lebih kuat, baik dari segi kelembagaannya
maupun permodalannya. Kelembagaan petani di desa umumnya tidak berjalan
1) Kelompok tani pada umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis
untuk memudahkan pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau program
pemerintah, sehingga lebih bersifat orientasi program dan kurang
menjamin kemandirian kelompok dan keberlanjutan kelompok.
2) Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok
masih relatif rendah, ini tercerin dari tingkat kehadiran anggota dalam
pertemuan kelompok rendah (hanya mencapai 50%).
3) Pengelolaan kegiatan produkstif anggota kelompok bersifat individu.
Kelompok sebagai forum kegiatan bersama belum mampu menjadi wadah
pemersatu kegiatan anggota dan pengikat kebutuhan anggota secara
bersama, sehingga kegiatan produktif individu lebih menonjol. Kegiatan
atau usaha produktif anggota kelompok dihadapkan pada masalah
kesulitan permodalan, ketidakstabilan harga dan jalur pemasaran yang
terbatas.
4) Pembentukan dan pegembangan kelembagaan tidak menggunakan basis
social capital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai
melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan.
5) Pembentukan dan pengembangan berdasarkan konsep cetak biru (blue
print approach) yang seragam. Introduksi kelembagaan dari luar kurang
memperhatikan struktur jaringan kelembagaan lokal yang telah ada serta
kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan.
6) Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan pendekatan
7) Kelembagaan - kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk
memperkuat ikatan horizontal bukan ikatan vertikal. Anggota suatu
kelembagaan terdiri atas orang - orang dengan jenis aktivitas yang sama.
Tujuannya agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan
daya tawar mereka meningkat. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada
mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya.
8) Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang
dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan
kepada kontak tani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak
mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya,karena
tidak ada social learning approach.
9) Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural dan
lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktural organisasi
dibangun lebih dahulu,namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek
kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan
aggotanya meskipun wadahnya sudah tersedia.
Dalam menghadapi resiko diperlukan strategi. Menurut (Adiyoga dan
Soetiarso,1999) strategi dapat dikelompokkan menjadi strategi pengelolaan
resiko yang bersifat :
1) Ex-ante, yaitu respon yang dirancang untuk mempersiapkan usaha tani
agar tidak berada pada posisi yang terlalu rawan pada saat goncangan
terjadi
2) Interactive, yaitu respon pada saat terjadi goncangan melibatkan realokasi
3) Ex-post, yaitu respon setelah goncangan diarahkan untuk meminimalkan
dampak berikutnya
Ketiga jenis respon tersebut saling bergantung satu dengan yang lainnya (respon
yang satu merupakan fungsi dari respon yang lain) dan implementasi strategi ini
secara langsung tercermin pada teknik budidaya yang dilakukan petani.
2.4Kerangka Pemikiran
Dalam melakukan usaha tani, ada beberapa resiko yang akan dihadapi, seperti
resiko hasil produksi, resiko manusia, resiko kelembagaan, resiko harga dan
resiko institusi.
Resiko usaha tani yang dialami oleh para petani kol, wortel dan sawi putih harus
dihadapi dengan strategi penanggulangannya agar resiko tersebut dapat
diminimalisir pengaruhnya terhadap usaha tani. Strategi yang dilakukan oleh
petani tentunya dengan berbagai pertimbangan agar tepat sasaran sesuai dengan
resiko yang dihadapinya. Dengan demikian, petani kol,wortel dan sawi putih di
Kabupaten Karo perlu memiliki strategi yang dapat digunakan untuk mengurangi
peluang – peluang munculnya resiko didalam usaha tani.
Perancangan teknologi di bidang pertanian sangat diperlukan. Pemanfaatan
teknologi pertanian terdapat pada berbagai komponen seperti sumber daya lahan,
air dan iklim, varietas dan benih, sarana produksi sintesis, alat mesin pertanian,
kelestarian lingkungan dan keberlanjutan. Rekomendasi terhadap perancangan
teknologi di bidang pertanian diperlukan, karena penggunaan teknologi di bidang
menanggulangi resiko usaha tani, seperti resiko produksi pada usaha tani kol,
wortel dan sawi putih.
Pengembangan pada kelembagaan perlu dilakukan karena melalui kelembagaan
ini pemerintah berperan membantu petani dalam menghadapi resiko, hal ini dapat
dilihat dari lembaga-lembaga yang didirikan oleh pemerintah untuk mendukung
para petani. Lembaga-lembaga seperti lembaga pembiayaan, lembaga pemasaran
dan distribusi, lembaga penyuluh pertanian dan lembaga penjamin dan
penanggung resiko. Pengembangan pada kelembagaan tentunya sangat diperlukan
agar dapat terus membantu petani dengan berbagai permasalahan yang dihadapi.
Secara sitematis berikut ini digambarkan skema kerangka pemikitan sebagai
berikut :
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Resiko Usahatani
HasilProduksi Harga Pasar Institusi Manusia Kelembagaan
Strategi Petani
Pengembangan Kelembagaan
Perancangan Teknologi Persepsi Petani
Petani Kol, Wortel, Sawi Putih
Keterangan : Berhubungan
2.5 Hipotesis Pemikiran
Sesuai dengan landasan teori yang menyatakan petani cenderung menghindari
resiko/ memiliki persepsi negatif terhadap resiko. Petani lebih menyukai
perencanaan usahatani yang dapat memberikan rasa aman. Dengan adanya
rekomendasi kebijakan perancangan teknologi dan pengembangan kelembagaan
diharapkan mampu mengurangi resiko, karena penggunaan teknologi di bidang
pertanian dapat meningkatkan produksi dan produktivitas, serta pengembangan
kelembagaan yang membantu petani dari permasalahan baik permodalannya,
kelembagannya, dll. Dalam menghadapi resiko usahatani, sebaiknya petani
memiliki strategi dalam pengelolaan resiko yang dihadapinya, strategi tersebut
berupa strategi ex-ante, interactive dan ex-post, maka dapat dirumuskan hipotesis
penilitian yang akan diuji sebagai berikut:
1) Petani komoditas kol, sawi putih dan wortel memiliki persepsi yang
negatif tentang resiko usahatani.
2) Terdapat rekomendasi kebijakan dalam perancangan teknologi dan
pengembangan kelembagaan di daerah penelitian.
3) Terdapat strategi petani komoditas kol, wortel dan sawi putih dalam