• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM NIKAH and CERAI VIA MEDIA ELEKTRON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM NIKAH and CERAI VIA MEDIA ELEKTRON"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM NIKAH & CERAI VIA MEDIA

ELEKTRONIK

(TELEPON, INTERNET, SMS, DLL)

A. HUKUM AKAD NIKAH LEWAT MEDIA ELEKTRONIK

Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluknya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya. Di Indonesia hukum perkawinan sudah disusun sedemikian rupa agar masyarakat dalam hidup tentram, aman dan damai. Adakalanya masyarakat sendirilah yang membuat-buat hukum yang belum dicantumkan dalam UU perkawinan seperti nikah dengan gadis dibawah umur, nikah siri dan sebagainya. Namun seiring berjalannya waktu, syariat yang sedah dilakukan manusia berabad-abad ini mengalami perkembangan. Begitu juga dengan keganjalan-keganjalan yang terdapat didalamnya. Makalah ini akan membahas tentang akad nikah dan cerai lewat telephon, INTERNET dll,

Menentukan sah atau tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhinya atau tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Dalam pernikahan terdapat rukun-rukun yang harus dipenuhi. Rukun-rukun nikah ada 5 :

1. Suami (جوز)

2. Istri (ةححوز) dengan beberapa kriteria yaitu : tidak mahramnya sendiri, ta’yin, suci dari pernikahan, tidak dalam masa iddah, dan perempuan asli.

3. Wali nikah (حاكن ىلو). Harus memiliki beberapa persyaratan: islam, baligh, berakal, sifat merdeka, laki-laki, dan sifat-sifat lainnya. Tapi untuk pernikahan kafir dzimmi tidak memerlukan islamnya wali, dan untuk pernikahan amah tidak memerlukan syarat sifat adlnya tuan. Bagi fuqaha yang memegangi adanya wali, maka macam-macam wali itu ada tiga, yaitu: wali nasab (keturunan), wali penguasa, dan wali bekas tuan yang jauh dan yang dekat.

4. Dua orang saksi (نادححه اححش) Nabi Muhammad bersabda :

ل

ل د

د ع

ع َيدعهه اش

ع وع ي

ي له وعبه للاه حع اك

ع نه لع

Artinya: “ Perkawinan tidak sah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” ( H.R. Addaruquthni)

5. Shigat (ijab Kabul)

Pandangan ulama dalam kitab kifayatul akhyar karangan Imam Taqiyuddin menjelaskan bahwa :

ي ححلهوع : ةلححععبعرداع ررودححض

ر حر حهاححك

ع نيلا دهقدعع ةهحلص

ه يفه ط

ر رعتعشدير

زلححلاوع ى

ى لهوعححلدا ل

ع ححكهودير نداع زر ودجريع وع,للددعع َيدعهه اشعوع,جلودزعوع

ى

ى لهوعلدا رعض

ع حع وداعامعهر اددحداهوداع جرودزللاوع ى

ى له وعلدا ل

ع ك

ع وع ودلعفع,جرود

هللاو .ى

ي لهوعلدا ب

ر ئه انع ل

ع يدكهوعلدا نلله

ع حراكعنيلا حىص

ه يع م

د لع هرلريدك

ه وعوع

.ملعا

“disyari’atkan sahnya akad nikah hadirnya empat orang, yaitu wali, suami, dan dua orang saksi yang adil. Dan boleh saja wali dan suami atau salah seorang dari keduanya sudah mewakilkan. ( Kifayatul Akhyar juz 2 hal. 51)

Keterangan diatas sudah jelas

menjabarkan tentang akad nikah. Bahwasanya akad nikah harus di laksanakan dalam satu waktu dan satu majelis

(دلحه اوع س

ل

لهجدمع ى

د فه)

Bila kita lihat secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, ijab qabul. Namun, jika dilihat dari syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi. Misalnya identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya hambatan untuk nikah (baik karena adanya larangan agama atau peraturan perundangan-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecakan tentang identitas wali yang tidak bisa tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon. Juga para saksi yang hanya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putera lewat telepon dengan bantuan mikrofon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam sebagaimana yang dilakukan oleh Prof. Baharudin yang menikahkan puterinya di Jakarta (Dra. Nurdiani) dengan Drs. Ario Sutarto yang sedang belajar di Universitas Indianna AS pada hari sabtu tanggal 13 Mei 1989 pukul 10.00 WIB bertepatan hari jumat pukul 22.00 waktu Indianna AS.

َي

ي رهددحخ

ر لا ن

ل انع س

ه ن

د حبه ك

ل له احمع نحب دعس ديعس

ع ي

د بهاع ن

د ع

ع

وع ههححيدلععع ههححللا ىللححص

ع هححللا ل ودس

ر رع ن

ل اع هنع هلل ا ي

ع ض

ه رع

نبا هراو رع ن

ن س

ع حع ث

ن يد دهحع رع ارعض

ه لوع رعرعض

ع ل

ع ل

ع اقع معللس

ع

ن

ر ححبدا هر اوعرع وا دننعححس

د مر اححمعهر رريدغع وع ىنَطقع ر دللا وع هجع امع

هجع امع

(2)

Maka untuk menentukan hukumnya, paling tidak ada dua syarat sah nikah yang harus dibahas terlebih dahulu :

Syarat Pertama : calon mempelai laki-laki atau yang mewakilinya dan wali perempuan atau yang mewakilinya harus berada dalam satu majlis ketika dilangsungkan akad pernikahan.

Pertanyaannya adalah apakah dua pihak yang berbicara melaui telpun atau internet untuk melakukan transaksi dianggap dalam satu majlis, sehingga transaksi tersebut menjadi sah ? Dalam hal ini, Majma’ al Fiqh telah menetapkan hukum penggunakan ponsel, hp, dan internet di dalam melakukan transaksi, yang isinya sebagai berikut : “ Jika transaksi antara kedua pihak berlangsung dalam satu waktu, sedangkan mereka berdua berjauhan tempatnya, tetapi menggunakan telpun, maka transaksi antara keduanya dianggap transaksi antara dua pihak yang bertemu dalam satu majlis.” ( Majalah Majma’ al Fiqh al Islami, OKI, periode ke – 6 ( no : 2/1256 )

Syarat Kedua : pernikahan tersebut harus disaksikan oleh dua orang atau lebih.

Pertanyaannya adalah dua saksi pernikahan tersebut tidak bisa menyaksikan secara langsung akad pernikahan tersebut, mereka berdua hanya bisa mendengar suara akad pernikahan dari kedua belah pihak melalui telpun atau internet, apakah persaksian keduanya telah dianggap sah atau tidak ?

Masalah di atas mirip dengan masalah persaksian orang buta yang mendengar sebuah transaksi antara dua belah pihak, apakah persaksian orang buta tersebut sah ? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :

Pendapat Pertama, menyatakan bahwa persaksian orang buta tersebut tidak bisa diterima. Ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah. Berkata al Kasani : “ Persaksian orang buta tidak diterima dalam semua hal. Karena dia tidak bisa membedakan antara kedua belah pihak. “ ( Badai’ Shonai’ 3/243 )

Berkata Imam Syafi’I : “Jika seseorang memberikan persaksian, sedangkan dia buta dan mengatakan : saya menetapkannya, sebagaimana saya menetapkan segala sesuatu dengan mengetahui suaranya atau dengan meraba, maka persaksian orang buta tersebut tidak bisa diterima, karena suara mempunyai kemiripan satu dengan yang lainnya, begitu juga

rabaan mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya “ ( Al Umm : 7/46 )

Pendapat Kedua, menyatakan bahwa persaksian orang buta bisa diterima selama dia menyakini suara tersebut. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanabilah. Tersebut di dalam buku al Mudawanah al Kubra ( 5/ 43 ) : “ Apakah dibolehkan seorang buta memberikan persaksian di dalam masalah perceraian ? Berkata Imam Malik : “ Iya, dibolehkan jika ia mengenali suara tersebut. Berkata Ibnu al Qasim : Aku bertanya kepada Imam Malik: “ Seorang laki-laki mendengar tetangganya dari balik tembok sementara dia tidak melihatnya, ia mendengar tetangga tersebut mencerai istrinya, kemudian dia menjadi saksi atasnya berdasarkan suara yang dia kenal ? Imam Malik menjawab : persaksiannya diperbolehkan.”

Pendapat kedua ini berdalil dengan beberapa hadist, diantaranya adalah :

1. Hadist Abdullah bin Umar ra, bahwasanya nabi Muhammad saw bersabda : “ Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada waktu malam, maka makan dan minumlah sampai terdengar adzan Ibnu Maktum “ ( HR Bukhari )

Hadist di atas menunjukkan bahwa adzan Ibnu Maktum ( beliau adalah seorang yang buta ) merupakan persaksian darinya terhadap masuknya waktu sholat. Seandainya persaksian orang buta tertolak, tentunya adzannya juga tidak sah. Begitu juga yang mendengar adzan digolongkan orang yang buta, karena hanya mendengar suara muadzin tanpa melihat secara langsung fisik dari muadzin tersebut, dan itupun dianggap sah. ( Ibnu Abdul Barr, Tamhid : 10/61, An Nawawi, Syarh Muslim : 7/202, Ibnu Hajar, Fathul Bari : 5/ 265)

2. Dari Aisyah berkata : “ Pada suatu ketika Rasulullah saw sholat tahajud di rumahku, dan beliau mendengar suara Ubad yang sedang sholat di masjid, beliau bertanya “ Wahai Aisyah apakah itu suara Ubad?, saya menjawab : “ Benar“, beliau langsung berdo’a : “ Ya Allah berilah kasih sayang kepada Ubad “ ( HR Bukhari )

Dua hadist di atas menunjukkan secara kuat bahwa persaksian orang buta dibolehkan dan dianggap sah di dalam ibadah dan mua’malah.

(3)

pernikahan lewat telpun maupun internet, apakah dianggap sah ?

Orang yang menikah lewat telpun dan internet tidak lepas dari dua keadaan :

Keadaan Pertama : Salah satu pihak yang melakukan akad serta dua orang saksi tidak yakin dengan suara pihak kedua. Maka dalam hal ini, pernikahan lewat telpun dan internet hukumnya tidak sah. Inilah yang diputuskan oleh Lajnah Daimah li al Ifta’ ketika ditanya masalah tersebut, mereka memutuskan sebagai berikut : “Dengan pertimbangan bahwa pada hari-hari ini banyak penipuan dan manipulasi, serta canggihnya orang untuk meniru pembicaraan dan suara orang lain, bahkan diantara mereka ada yang bisa meniru suara sekelompok laki-laki dan perempuan baik yang dewasa maupun yang masih anak-anak, dia meniru suara dan bahasa mereka yang bermacam-macam sehingga bisa menyakinkan orang yang mendengar bahwa yang bicara tersebut adalah orang banyak, padahal sebenarnya hanya satu orang.

Begitu juga mempertimbangkan bahwa Syariat Islam sangat menjaga kemaluan dan kehormatan, dan agar berhati-hati dalam masalah tersebut lebih dari masalah lainnya seperti muamalah. Oleh karenanya, Lajnah memandang bahwa seharusnya tidak menyandarkan secara penuh akad pernikahan ijab dan qabul serta perwakilannya dengan menggunakan alat telpun, agar tujuan Syariat bisa teralisir serta lebih menekankan kepada penjagaan terhadap kemaluan dan kehormatan, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang jahat untuk bermain-main dalam masalah ini dengan manipulasi dan penipuan.

Keadaan Kedua : kedua belah pihak yang melakukan akad sangat mengenal suara antara satu dengan yang lain, begitu juga dua orang saksi yakin bahwa itu suara dari pihak kedua yang melakukan akad. Pada kondisi seperti ini, persaksian atas pernikahan tersebut dianggap sah, dan pernikahannya sah juga. Khususnya dengan kemajuan teknologi sehingga seseorang bisa bicara langsung dengan pihak kedua melalui gambar dan suara, sebagaimana yang terdapat dalam teleconference.

Dalam hal ini Syekh Bin Baz, mufti Negara Saudi ketika ditanya oleh seseorang yang menikah lewat telpun dan mereka saling mengenal suara masing-masing pihak, beliau menyatakan bahwa pernikahannya sah. Tetapi walaupun demikian tidak dianjurkan bagi orang yang ingin menikah

untuk menggunakan alat teknologi seperti yang diterangkan di atas kecuali dalam keadaan terpaksa dan darurat, hal itu untuk sifat kehati-hatian di dalam melakukan pernikahan karena berhubungan dengan kehormatan seseorang.

Selain keterangan yang diuraikan diatas, Menikah lewat telepon atau internet juga tidak sesuai dengan dalil-dalil syar’i sebagai berikut :

a. Nikah itu termasuk ibadah. Karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunah Nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum :

من ا رعحع ةهدع ابععهلد ا يفه لرص

د لد

ع ا

“pada dasarnya ibadah itu haram.”

Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa) aturan sendiri.

b. Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarang akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sakral dan syiar islam serta tanggung jawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam surat An-nisa :21

“...dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (Q.S An-nisa : 21)

c. Nikah lewat telepon dan internet mengandung resiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar atau khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (cafused atau syak), apakah telah terpenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu hadir dalam tempat yang sama

Dikhawatirkan jika akad dilaksanakan jarak jauh maka akan terjadi manipulasi. Misalnya suaranya di dubbing ataupun gambarnya dan backgroundnya tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini akan merugikan pihak perempuan. Karena perempuan harus dihormati, islam mengajarkan itu. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadits Nabi atau kaidah fiqih. Hadits Nabi saw

ك

ع بريد رهيع لع امع ىلعاه كعبريد رهيع امع عددع

“Tinggalkanlah sesuatu yang merugikan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak merugikan engkau.”

Dan tidak sesuai dengan kaidah fiqih :

حهله اص

ع معلد ا ب

ه لدجع ىلعع

ع مندلقعمر دهس

ه افعمعلد ا عررددع

(4)

d. Dampak negatif yang akan timbul juga akan lebih berbahaya lagi jika sudah punya anak. Hak waris ataupun hadlonahnya akan memberatkan dan juga membingungkan.

Kesimpulan:

Proses pernikahan dalam Islam mempunyai aturan- aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul, sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu, calon suami atau wakilnya harus hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad pernikahan. Berdasarkan alasan diatas, menikah lewat telepon itu tidak diperbolehkan dan tidak sah menurut hukum islam, karena selain terdapat kelemahan atau kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah lewat dan syarat-syaratnya, dikecualikan bila semua rukun terpenuhi walaupun berbeda tempat seperti via teleconference. Wallahu A’lam.

B.HUKUM CERAI (TALAK) VIA MEDIA ELEKTRONIK (SMS)

Seiring dengan perkembangan media komunikasi saat ini, hubungan antar sesama manusiapun mengalami pergeseran dan perubahan. Kalau dahulu melakukan percakapan melalui dunia maya masih berupa khayalan, maka sekarang sebagian percakapan bahkan transaksi akad dan yang lainnya dapat terselesaikan hanya dengan memencet tombol-tombol yang ada di alat komunikasi modern seperti telepon genggam (HP), komputer, tablet dan alat sejenis lainnya dengan memanfaatkan beragam aplikasi yang ada di dalamnya. Dalam kenyataannya, kaum muslimin tidak bisa dilepaskan dari penggunaan media komunikasi ini. Dipastikan, sebagian besar kaum muslimin tersentuh dengan perkembangan komunikasi modern ini baik itu berupa layanan pesan singkat (SMS), Email, Facebook, Skype, WhatsApp dan puluhan aplikasi lainnya yang menemani keakraban hubungan antar sesama dalam kehidupan saat ini.

Akibatnya, beberapa bentuk dan model komunikasi kontemporer yang terjadi lewat media ini menimbulkan beragam masalah dalam kehidupan kaum muslimin yang barang tentu memerlukan kepastian hukum. Terutama yang menyangkut dengan persoalan akad antara dua orang atau lebih, baik itu yang berkaitan dengan persoalan muamalat seperti : jual beli, sewa

menyewa ataupun yang berkaitan dengan persoalan ahwal syakhsiyah dalam hal ini pernikahan dan perceraian (talak) yang dapat dijadikan sebagai contoh yang sangat menonjol.

Secara khusus, persoalan cerai (talak) semakin marak terjadi dalam kehidupan kaum muslimin. Dengan berbagai latar belakang masalah, fenomena ini semakin kerap terjadi, bahkan dalam pasangan suami istri yang usia pernikahannya baru seumur jagung. Fatalnya, sebagian dari subyek dan obyek perceraian ini buta, jahil dan sama sekali tidak mengerti hukum-hakam yang berkaitan dengan perceraian ini. Salah satunya ; adalah masalah kesahihan dan keabsahan perceraian jika dilakukan melalui media komunikasi modern, seperti : SMS, Email, WhatsApp, Skype, Facebook dan yang lainnya. Hal inilah yang menjadi kajian kita saat ini.

Beberapa Kaidah Penting dalam Perceraian

Sebelum, membahas masalah sah dan tidaknya perceraian via media komunikasi modern, penulis ingin mengingatkan beberapa kaidah penting berkaitan dengan masalah ini :

Pertama : Hukum asalnya sebuah ikatan pernikahan adalah tetap ada dan terjaga, selama belum ada hal yang meyakinkan dan membuktikan secara jelas terjadinya perceraian. Olehnya itu, jatuhnya sebuah perceraian haruslah berdasarkan keyakinan dan bukti yang jelas. Bahkan dalam hal lafadz yang digunakan dalam perceraian para ulama membaginya menjadi dua; lafadz Sharih (jelas dan dimengerti) dan lafadz kinayah (samaran dan perlu penjelasan serta pembuktian niat). Hal ini berlandaskan kaidah fiqih

(كشلاب لوزي ل نيقيلا)

yang berarti sebuah keyakinan, dalam hal ini pernikahan dan halalnya hubungan suami istri dengan akad yang shahih, tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan yang membatalkan pernikahan itu.

Kedua : Perceraian tidak dapat dijadikan sebagai bahan candaan, permainan dan senda gurau. Karena peceraian dinyatakan sah jika lafadz (kata/kalimat) yang digunakan jelas dan dimengerti meskipun dengan niat bercanda dan tidak dalam keadaan serius. Hal ini berdasarkan riwayat hadits :

اقلَطلاو حاحححكنلا : ددحححج نحححهلزهو ددحححج نهدلحححج ث

ن لث

ةعجرلاو

Artinya : Ada tiga perkara, yang seriusnya dianggap serius dan berguraunya dianggap serius : nikah, cerai dan rujuk (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Sahabat Abu Hurairah –Radhiyallahu’anhu-).

(5)

yang sah secara hukum, dan tidak lagi bermanfaat untuknya jika ia berkata : “Saya hanya bermain-main” atau “saya hanya bergurau” atau “Saya tidak meniatkannya cerai” atau yang semisal dengannya”. (‘Aun al-Ma’bud, 6/188)

Ketiga : Jika terjadinya perceraian tidak dapat dielakkan, maka hendaklah perceraian itu dilakukan dengan cara dan proses yang baik dan tidak meninggalkan kesan buruk. Sangatlah tidak bijak jika perceraian antar sepasang suami dan istri yang telah menjalani kehidupan bersama dilakukan dengan cara yang kasar, mendadak dan menimbulkan persangkaan-persangkaan yang tidak baik bagi keduanya, keluarga suami dan istri, apalagi bagi anak-anak yang banyak menjadi korban akibat perceraian yang tidak berlandaskan prinsip ihsan (kebaikan). Allah Ta’ala berfirman yang artinya :

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf dan menceraikan dengan cara yang baik”. (QS al-Baqarah : 229).

Hukum Cerai via Media Komunikasi Modern

Para ulama kontemporer, membagi perceraian melalui media komunikasi menjadi dua bagian penting dari sisi cara penjatuhan talak , sebagai berikut :

Pertama : Jika jatuhnya perceraian dilakukan dengan pembicaraan langsung baik melalui sambungan telepon, HP atau melalui jaringan internet baik hanya berupa suara atau disertai dengan wujudnya pihak yang berkomunikasi dalam bentuk gambar (video call). Maka ketika lafadz talak tersebut diucapkan oleh suami maka secara syariat talak tersebut dinyatakan sebagai talak yang sah. Hal ini berdasarkan beberapa pertimbngan berikut :

1. Dalam talak kehadiran seorang istri (dalam majlis talak) bukanlah sebuah kemestian. Artinya talak tersebut dikatakan sah meskipun sang istri tidak mendengarkan dan menyaksikannya. Begitujuga talak dikatakan sah meskipun sang istri tidak ridha dan tidak menyetujuinya.

2. Adanya saksi dalam perceraian bukanlah sebuah persyaratan, hal ini berbeda dengan akad pernikahan yang mewajibkan adanya dua orang saksi. Olehnya itu, jika seorang suami menelpon sang istri dan melafadzkan kata-kata talak secara jelas, maka talak tersebut sah, meskipun tanpa disaksikan atau didengarkan oleh pihak ketiga. Dalam kasus ini, kepastian dan keyakinan bahwa sang suami benar-benar telah menjatuhkan talak menjadi persyaratan mutlak. Dalam pembicaraan jarak jauh, haruslah dipastikan

bahwa yang berbicara adalah suami yang berhak menjatuhkan talak.

Kedua : Jika perceraian itu dilakukan dengan tulisan, baik itu melalui Email, SMS, WhatsApp ataupun aplikasi dan layanan lainnya, maka para ulama mendudukkan masalah ini sama dengan permasalahan perceraian melalui tulisan (at-Thalaq bi al- Kitabah). (lih: Mustajaddat Fiqhiyyah fi Qadhaayaa az-Zawaaj wa at-Thalaaq, hal : 112)

Berkaitan masalah ini, maka mayoritas ulama berpendapat jika ia menuliskan lafadz talak/cerai baik secara sharih (jelas), seperti seorang suami mengirimkan SMS kepada istrinya : “Saya menceraikan/mentalak kamu” ataupun dengan kinayah (kata samaran) seperti : “Saya telah melepaskanmu” , maka jika disertai dengan niat (menjatuhkan talak kepada istrinya) maka talak tesebut dikategorikan sebagai talak yang sah. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa kedudukan tulisan yang terdiri dari huruf-huruf yang difahami bentuk dan maknanya sama dengan kedudukan lafadz yang dilafadzkan oleh lisan. Olehnya itu, Rasulullah –Shallallahu’alaihi wasallam- tatkala diperintahkan untuk menyampaikan risalahnya, maka selain beliau menyampaikan ajakan secara lisan, beliau juga menyampaikannya secara tulisan sebagaimana surat-surat beliau yang dituliskan kepada Raja-raja yang berkuasa pada saat itu.

Jika ia menuliskan kata cerai atau talak baik secara sharih ataupun kinayah tetapi tidak disertai dengan niat, maka pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah talak tersebut tidaklah dikategorikan sebagai talak yang sah, dikarenakan penulisan yang dituliskan oleh penulis bisa saja dimaksudkan untuk hal-hal yang laindan bukan dimaksudkan untuk mentalak. (lihat al-Mughni : 10/505).

Maka dalam persoalan perceraian dengan menuliskan pesan, seperti lewat SMS dan yang sejenis, adanya niat sang penulis (pengirim pesan) menjadi persyaratan sah dan tidaknya talak yang ia tuliskan. Begitu juga dengan kepastian orang yang menulis dan mengirimkan pesan, juga harus dijadikan sebagai landasan yang kuat untuk menghukumi sah dan tidaknya talak tersebut. Hal ini, tentunya sesuai dengan kaidah yang pertama yang telah disebutkan di atas.

Ulama empat madzhab sepakat bahwa kalimat talak yang sharih (disampaikan secara tegas), statusnya sah tanpa melihat niat suami yang mengucapkannya, sebagaimana keterangan Ibnu Qudamah.

Ibnul Mundzir menegaskan,

(6)

Ulama yang saya ketahui sepakat bahwa serius dan tidak serius dalam talak, statusnya sama (al-Ijma’, hlm. 24).

Talak juga tidak Harus Dilakukan di Hadapan Istri, Ini berdasarkan hadis dari Fatimah bintu Qois, ketika beliau dicerai oleh suaminya Abu Amr bin Hafs. Fatimah menceritakan,

ٌ،ب

ن ئهاححغع وعححهروع , ةعححتلبعلدا اححهعقعللط

ع ص

ل

ححفدحع ن

ع ححبد ورهححمدع

ع ابعأع ن

ل أع

رليعهش

ع به هرلعيكهوع اهعيدلعإ لعس

ع ردأ

ع فع

Bahwa Abu Amr bin Hafs menceraikan Fathimah dengan talak 3, ketika Abu Amr tidak ada bersamanya. Kemudian Abu Amr mengutus seseorang untuk memberikan gandum ke Fathimah.. (HR. Bukhari dan Muslim).

Jadi SMS dihukumi sebagaimana layaknya surat. Sementara para ulama menegaskan bahwa tulisan semakna dengan ucapan. Mengingat satu kaidah baku,

لوقلا ةلزنم لزنت ةباتكلا

“Tulisan statusnya sama dengan ucapan.”

Karena itulah para ulama sepakat bahwa talak dengan tulisan hukumnya sah.

Sebagai penutup, Nasehat kepada para suami yang memiliki hak cerai. Jika sekiranya perceraian menjadi solusi yang terakhir bagi pasangan suami istri, setelah melalui pertimbangan yang matang dan mantap. Maka hendaklah dilakukan dengan prinsip ihsan yaitu dengan cara yang baik, bijak dan tidak menimbulkan kemudharatan yang besar. Alangkah, tidak bijaknya jika anda menceraikan “hanya” dengan untaian pesan yang anda kirimkan kepada sang istri secara mendadak dan tergesa-gesa. Padahal, ketika menikahinya anda datang meminang serta melafadzkan akad nikah dengan kata-kata yang baik, santun dan penuh kesopanan. Maka seharusnya ketika cerai menjadi pilihan, maka kata-kata yang baik dan cara yang bijak itupun tentunya harus menjadi pilihan. Semoga Allah mengkaruniakan kepada kita keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Al Imam Yahya Syarifuddin An-nawawi, Matan Al-Arba’in An-nawawiyyah, (Surabaya: Al Fatah, tth), hlm. 25.

2. Musthafa Abu Sulaiman an- Nadwy, Khifayatul Akhyal…, hlm. 346.

3. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat

Khitbah, nikah dan talak, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 44.

4. Sayyid Ahmad bin Umar asy- syathiry, Al Yaqutun Nafis fi Madzhab Ibnu Idris, (Beirut : Haramain, tth), hlm. 142-144

5. Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Khifayatul Akhyar(Kelengkapan Orang Saleh), (Mesir: Maktabah al-Imam, 1996), hlm. 104-105.

6. Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid juz 2, ( Semarang: Asy-Syfa, 1990), hlm. 374.

7. H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1983), hlm. 41.

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan (1) perencanaan pembelajaran IPA berkategori baik (88%) berdasarkan kesesuaian antara Rencana Program Pembelajaran (RPP)

Berdasarkan gejala- gejala yang timbul dan juga hasil dari pemeriksaan tinja pasien, dapat langsung gejala yang timbul dan juga hasil dari pemeriksaan tinja

belajar mengajar jarak jauh, atau pembelajaran tanpa tatap muka. Namun demikian masalah yang timbul tidak semudah yang dibayangkan. Pengajar dalam hal ini, guru yang

Menentukan Faktor-Faktor Gaya Kepemimpinan yang Mempengaruhi Kinerja Bawahan Dalam menentukan faktor-faktor dalam sebuah model, digunakan metode analisis deskriptif yang

Posisikan saklar pada posisi OFF, periksa dengan multitester maka seluruh kabel untuk saklar lampu kepala/lampu besar tidak ada yang berhubungan. Posisikan saklar di posis 1

Soal ketiga butir ini dijawab sama (18) oleh kelompok atas dan dijawab sama (7) pula oleh kelompok bawah, sehingga indeks yang dihasilkannya pun sama, yakni 0,69. Soal ini

Sedangkan pengalamatan secara tak langsung pada lokasi dari RAM internal ini adalah akses data dari memori ketika alamat memori tersebut tersimpan dalam suatu

Untuk mengambil contoh situs yang mengusung sistem belanja online atau E-commerce, saya mengambil contoh situs belanja online yang sudah cukup terkenal di Indonesia, yaitu Lazada,