RELATIVITAS LINGUISTIK DAN KODE MELUAS DAN TERBATAS
Disusun oleh
Mohammad Shihab
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MERCU BUANA
Teori sosio-kultural berangkat dari premis bahwa selama orang-orang berbicara mereka menghasilkan budaya. Sebagian dari para ahli berasumsi bahwa tutur kata mencerminkan apa yang telah ada [ CITATION Emo12 \l 1033 ].
Pada kajian sebelumnya telah dijelaskan bahwa semiotik mengkaji bagaimana tanda-tanda termasuk bahasa menjembatani dunia pengalaman dan pikiran manusia. Oleh karena hanya ada sedikit hubungan alami antara bahasa dan realitas, bahasa sebenarnya membentuk realitas. Salah satu perbedaan utama antara budaya-budaya adalah bagaimana bahasa digunakan, seperti yang ditunjukkan oleh kedua teori: relativitas linguistik dan kode rumit dan terbatas [ CITATION Ste09 \l 1033 ].
Relativitas Linguistik (Linguistic Relativity)
Orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. Inilah gagasan dasar teori relativitas linguistik, yang dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf dalam kajian mereka tentang bahasa-bahasa Indian-Amerika (Kramsch, 2001 dalam Jufrizal, 2007).
Hipotesis Sapir-Whorf selalu dikaitkan dengan pembahasan tentang bahasa yang dikaitkan dengan budaya dan pola pikir suatu masyarakat [ CITATION Har11 \l 1033 ]. Perbedaan cara berpikir memiliki kaitan dengan cara manusia berbahasa. Dalam kajian Jufrizal (2007), teori relativitas linguistik yang dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf menyatakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. Sapir dan Whorf (dalam Widhiarso, 2005) kemudian mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas social yang sama. Untuk mengkaji lebih dalam, Sapir dan Whorf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
2. Hipotesis kedua adalah linguistic determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perceptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa (Widhiarso, 2005).
Untuk memperkuat hipotesisnya, Sapir dan Whorf (dalam Widhiarso, 2005) memaparkan salah satu contoh yakni salju. Whorf mengatakan bahwa sebagian besar manusia memiliki kata yang sama untuk menggambarkan salju. Salju yang baru saja turun, salju yang mengeras atau salju yang sudah meleleh, objek tersebut tetap dinamakan salju. Namun, masyarakat Eskimo memiliki lebih dari satu kata untuk membedakan macam-macam salju seperti yang disebutkan sebelumnya. Hal ini bisa jadi dikarenakan masyarakat Eskimo hidup di lingkungan bersalju sehingga salju menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan mereka.
Contoh lain, bahasa Indonesia memiliki kata tersendiri untuk padi, gandum, beras, dan nasi karena salah satu budaya bangsa Indonesia adalah mengkonsumsi nasi. Berbeda dengan masyarakat di Amerika yang hanya memiliki satu kata rice untuk menyebut padi, gandum, beras, dan nasi karena mengkonsumsi beras bukanlah budaya masyarakat Amerika dan masyarakat Amerika tidak merasa penting untuk membedakan padi, gandum, beras, dan nasi.
Para ahli dalam kajian Widhiarso (2005) menguraikan keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain:
a. Bahasa mempengaruhi pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Pikiran manusia dapat terkondisikan oleh kata yang manusia gunakan. Orang Jepang mempunyai pemikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang memiliki banyak kosa kata dalam menjelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.
b. Pikiran mempengaruhi bahasa
c. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi
Hubungan ini dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantic dari Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi.
Sapir dan Whorf berusaha untuk membuktikan bahwa memang terdapat hubungan antara bahasa dan pikiran. Namun, hingga saat ini hipotesis Sapir-Whorf masih menjadi perdebatan di antara para ahli psikologi linguistic. Teori ini dianggap belum terbukti kebenarannya secara ilmiah. Dasar yang dipakai sebagai bentuk keberatan tersebut adalah bahwa pikiran yang sama dapat diekspresikan dalam beberapa cara. Salah satu fakta yang dipaparkan adalah dalam kehidupan sehari-hari bayi yang belum memiliki bahasa secara optimal sudah mampu menalar lebih dari hal-hal yang menarik bagi mereka. Misalnya usia 3-4 bulan bayi dapat memahami jarak dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan jarak [ CITATION Wah05 \l 1033 ].
Bukti kedua yang menunjukkan bahwa manusia dapat berpikir meski tanpa menggunakan bahasa adalah kasus anak-anak tuna rungu yang tidak memahami struktur symbol bahasa. Anak-anak ini dapat menemukan isyarat dan gerak mereka sendiri untuk mengkomunikasikan pikiran dan keinginan mereka [ CITATION Wah05 \l 1033 ].
Kode-kode Meluas dan Kode-kode Terbatas (Elaborated Codes and Restricted Codes)
Dalam sebuah kebudayaan, diferensiasi social ditentukan oleh berbagai macam kode-kode social. Kita mengkomunikasikan identitas social melalui apa yang kita kerjakan, cara kita berbicara, pakaian yang kita kenakan, gaya rambut, kebiasaan makan, lingkungan domestik dan kepemilikan, waktu luang, moda perjalanan dan sebagainya. Penggunaan bahasa berperan sebagai penanda utama identitas social [ CITATION Dan07 \l 1033 ].
Bahasa manusia disusun oleh kode-kode bahasa yang menunjukkan status social. Basil Bernstein, seorang ahli linguistic Inggris, melihat perbedaan status social masyarakat dari kode-kode bahasa yang mereka gunakan. Bernstein membagi kode-kode-kode-kode bahasa itu menjadi Kode-kode Meluas (elaborated codes) dan Kode-kode Terbatas (restricted codes).
pembicara, sintaks sederhana dan sering menggunakan gerakan dan keterangan pertanyaan seperti ‘bukan begitu?’. Kode Meluas digunakan dalam situasi formal dan ditandai oleh kurangnya ketergantungan pada konteks, berbagai gaya yang luas (termasuk suara pasif), kata sifat yang banyak, sintaks yang relatif kompleks dan penggunaan kata ganti 'aku'. Bernstein berpendapat bahwa anak-anak dari kelas menengah sering menggunakan kedua jenis kode-kode ini sementara anak-anak dari kelas bawah hanya menggunakan Kode Terbatas [ CITATION Dan07 \l 1033 ].
Perbedaan kode-kode bahasa tersebut dapat dilihat pada table di bawah ini.
Elaborated Code Restricted Code
Middle Classes Working classes
Grammatically Complex Grammatically simple
Varied Vocabulary Uniform vocabulary
Complex sentence structure Short, repetitious sentence structure Careful use of adjectives and adverbs Little use of adjectives and adverbs High-level conceptualization Low-level conceptualization
Logical Emotional
Use of qualifications Little use of qualifications Users aware of codes Users unaware of code
Sumber: Berger, 2004
Salah satu studi penelitian Bernstein melibatkan sekelompok anak-anak yang diperlihatkan kartun strip dan merekam interpretasi mereka dari apa yang digambarkan. Beberapa anak mengatakan hal-hal seperti:
"They're playing football and he kicks it and it goes through there it breaks the window and they're looking at it
and he comes out and shouts at them
because they've broken it so they run away
and then she looks out and she tells them off"
Sementara itu, sebagian anak-anak yang lain mengatakan:
"Three boys are playing football and one boy kicks the ball
and it goes through the window
the ball breaks the window and the boys are looking at it
so they run away
and then that lady looks out of her window and she tells the boys off"
[ CITATION JSA11 \l 1033 ].
Ada beberapa perbedaan yang bisa dilihat dari studi Bernstein di atas. Perbedaan pertama adalah sebagian anak menyebut “three boys” dan sebagian yang lain menyebut “they”. Perbedaan kedua adalah menyebut “one boy” daripada “he”. Perbedaan ketiga adalah menyebut “the ball”
daripada “it”. Perbedaan terakhir adalah “the boys” daripada “them”.
Kode Meluas membahasakan sebuah kata dengan lebih luas karena itu merupakan sebuah kebutuhan. Namun, tidak semua orang dapat mengerti apa yang telah dibahasakan. Kode Terbatas bekerja lebih baik dari Kode Meluas di dalam situasi dimana terdapat banyak pengetahuan bersama dan dibagikan di antara seluruh kelompok pembicara. Dalam keadaan ini, Kode Terbatas bersifat ekonomis dan kaya, menyampaikan sejumlah besar makna dengan sedikit kata.
Bibliography
Atherton, J. S. (2011). Doceo; Language Codes. Retrieved November 27, 2012, from http://www.doceo.co.uk/background/language_codes.htm
Berger. (2004). Semiotic Analysis. Retrieved November 27, 2012, from Sage Publications:
http://www.uk.sagepub.com/upm-data/5171_Berger_Final_Pages_Chapter_1.pdf
Chandler, D. (2007). Semiotics, The Basic (2nd Ed.). New York: Routledge.
Griffin, E. A. (2012). A First Look at Communication Theory (8th Ed.). New York: McGraw-Hill.
Hardiyanti, D. (2011). Hipotesis Sapir-Whorf dan Tata Pergaulan Generasi Muda.
Lensa , 1 (1), 59.
Jufrizal, Z. A. (2007). Hipotesis Sapir-Whorf dan Struktur Informasi. Linguistika, Vol. 14, No. 26, Maret 2007 Universitas Negeri Padang , 1.
Littlejohn, S. W. (2009). Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika.
Widhiarso, W. (2005). Hubungan antara Bahasa dan Pikiran. Retrieved November 5, 2012, from Staff Universitas Gajah Mada: