• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Ikhwanus Shafa dan Relevansiny (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemikiran Ikhwanus Shafa dan Relevansiny (1)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PEMIKIRAN IKHWANUS SHAFA DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA

Almunauwar Bin Rusli, M.Pd

Dosen dan Peneliti IAIN Manado

almunauwar.binrusli@iain-manado.ac.id

Abstrak

Tulisan ini mengkaji corak, makna serta relevansi pemikiran Ikhwanus Shafa terhadap pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Adapun faktor yang mendorong mengapa kajian ini penting dilakukan dapat ditinjau melalui tiga perspektif yakni konflik, modeling dan kontributif. Hasil kajian menunjukkan bahwa Ikhwanus Shafa memiliki corak pemikiran nonformal yang menekankan kepada transmisi keilmuan melalui jalur difusi dan jalur erutorium. Di sisi lain, ada tiga makna yang terkandung dalam pemikiran mereka yaitu makna personal, interdisiplinery, dan intrapersonal. Sedangkan titik relevansinya terletak pada tiga indikator utama yaitu tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, dan metode pengajaran. Fenomena relevansi ini terjadi karena munculnya fenomena "jaringan intelektual baru" kaum muslimin Sulawesi Utara dan Timur Tengah lewat latar belakang pendidikan strata I para pimpinan pesantren tersebut. Sehingga, ada kemungkinan besar para pimpinan itu mempelajari pemikiran Ikhwanus Shafa ketika mereka belajar di sana. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut.

Kata Kunci :Pemikiran, Ikhwanus Shafa, Pendidikan Islam Indonesia

PENDAHULUAN

(2)

cukup mapan. Kami mencermati, model kosmopolitan tersebut dipilih agar mereka dengan leluasa bisa memobilisasi massa, memahami pilihan rasional, serta membingkai (framing) ide-ide pemikiran berdasarkan dasar-dasar ontologi, epistemologi, juga aksiologi yang mereka pegang. Oleh sebab itu, kemunculan pemikiran intelektual Ikhwanus Shafa cenderung menyebar bukan terpaku pada satu titik1.

Yang menjadi akar persoalan kemudian adalah, tampaknya orang hanya mengetahui aspek pemikiran pendidikan Ikhwanus Shafa. Akan tetapi, boleh dibilang masih sedikit kalangan yang mencoba menelusuri secara lebih mendalam terkait pemikiran pendidikan yang mereka lakukan sehingga menghasilkan produk keilmuan yang mereka pasarkan. Oleh sebab itu, jika dipetakan, maka ada tiga model perspektif yang dapat menjelaskan mengapa jaringan transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa penting dikaji meskipun mereka dilabeli “hidden community”. Tidak bisa dihindari, bahwa pelabelan semacam itu ikut mengkonstruksi karakter mereka ketika menjalankan misi keislaman. Ketiga model perspektif itu adalah perspektif konflik, perspektif model, dan perspektif kontributif.

Pertama, perspektif konflik. Ahli sosiologi mengatakan terdapat relasi resiprokal (timbal-balik) antara dunia pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat. Masyarakat berfungsi sebagai penerus budaya dari satu generasi ke generasi lain melalui sosialisasi nilai, pengetahuan, sikap dan keterampilan.2 Namun, representasi dunia pendidikan pada

kenyataannya tidak bisa mewakili secara total kondisi masyarakat apalagi tipenya multikultural. Implikasinya, muncul kesenjangan dalam alur kehidupan. Kesenjangan ini menjadi tanda tanya serius bagi Ikhwanus Shafa dalam rangka membuktikan misi Islam li kulli zaman wa makan. Sebab, dapat dimaklumi mereka hidup dalam kondisi pemerintahan yang kurang bersahabat. Di sisi lain, pemerintah juga memilik power kuat untuk mengontrol kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, bentuk-bentuk pemikiran Ikhwanus Shafa perlu dikemukakan.

Kedua, perspektif modeling. Ketika mencoba menelusuri makna dari orientasi keilmuan Ikhwanus Shafa di sekitar abad ke-10 , maka kenyataannya masih belum ada model pemetaan akademik yang akurat. Akhirnya, ketidakakuratan ini menimbulkan

1 Keberadaan kelompok ini tidak jelas karena mereka bersama para anggota merahasiakan diri dari aktivitas mereka. Kendati tidak jelas, risalah ensiklopedis yang mereka hasilkan, menurut Abu Hayyan al-Tauhidi (Wafat tahun 414/1023 M) dari data internal dalam risalah mereka, dapat disimpulkan berasal dari masa antara tahun 347 H/958 M sampai tahun 373 H/983 M atau dari perempat abad ke-4 H. Pusat kegiatan mereka di kota Basrah, tetapi di Baghdad juga terdapat cabang dari kelompok rahasia itu. Lihat selengkapnya, Abdul Azis Dahlan, Filsafat dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 192

(3)

mata rantai kronologis yang terputus dimana mata rantai itu seharusnya dapat menghubungkan makna jaringan pemikiran di masa lalu, kini dan akan datang. Di sisi lain, gejala tersebut mengakibatkan tidak ada kajian lanjutan yang sifatnya informatif-analitis tentang bagaimana Ikhwanus Shafa memaknai fenomena keilmuan tersebut. Padahal transmisi keilmuan itu terus hadir, berkembang, dan berubah semenjak Bani Abbasiyah berkuasa.

Ketiga, perspektif kontributif. Aspek kontributif yang dimaksud adalah belum banyak terdapat kajian yang mengaitkan implikasi pemikiran pendidikan mereka kepada lembaga pendidikan Islam di Indonesia, semisal pesantren. Sehingga, khazanah keilmuan Ikhwanus Shafa seolah kurang mendapat tempat dan berkembang cukup pesat dikalangan masyarakat Indonesia yang sangat multikultural. Padahal kita tahu, pada abad ke 19-20, murid-murid Jawi dari Nusantara (sekarang Indonesia) seperti Nawawi al-Bantani, Khalil Bangkalan, Ahmad Rifa’i Kali Salak, Mahfuzh al-Termasi, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Muhammad Saleh Darat al-Samarani, Hasan Mustafa Bandung, KH. Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, dan Syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Padani telah terlibat aktif dalam jaringan ulama dengan Timur Tengah. Artinya, Ulama Nusantara telah terpadu dalam ‘a networked civilization’, peradaban berbasis jaringan.3

Penting juga disinggung, bahwa seiring berkembangnya zaman, jaringan baru kaum muslimin terus bergerak akibat kemajuan teknologi, transportasi, komunikasi serta informasi. Akan tetapi, sekali lagi, belum ditemukan satu format analisis yang “mengawinkan” pemikiran Ikhwanus Shafa dengan pesantren di Indonesia

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus kajian dalam tulisan ini adalah bagaimana corak, makna dan relevansi pemikiran Ikhwanus Shafa terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Secara teoritis, tulisan ini dapat menjadi referensi objektif yang membuka arah dan kecenderungan baru dalam studi tentang Ikhwanus Shafa dan khazanah pemikiran Islam pada umumnya. Dengan mengungkap objek kajian ini, beberapa kalangan akademisi sekaligus praktisi pendidikan dapat memperoleh pemahaman baru yang lebih komprehensif-holistik terkait pemikiran Ikhwanus Shafa. Sedangkan secara praktis, hasil kajian ini dapat dijadikan petunjuk teknis untuk melacak, memetakan serta menganalisis pemikiran Ikhwanus Shafa beserta pengaruhnya dalam konteks pendidikan Islam.

Kajian ini dilakukan dengan menggunakan studi pustaka (library research).

Pertama, penulis menentukan pokok permasalahan. Kedua, penulis melakukan proses identifikasi, klasifikasi, analisis, kemudian interpretasi data sesuai dengan fokus

(4)

masalah yang telah ditetapkan. Ketiga, penulis merumuskan kesimpulan. Sumber data bersifat sekunder yaitu informasi dari buku, jurnal dan koran.

PEMBAHASAN

Corak Pemikiran Ikhwanus Shafa

Ikhwanus Shafa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Perkumpulan tersebut berkembang pada abad ke dua hijriah di Kota Basra, Irak. Organisasi ini antara lain mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang didasarkan kepada persaudaraan Islamiyah (ukhuwwah Islamiyah), yaitu suatu sikap yang memandang iman seorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.4 Seperti yang telah kami jelaskan di awal, Ikhwanus Shafa

mencirikan identitas kelompoknya sebagai komunitas eksklusif dan menjadikan kolektivisme sebagai basis pergerakan. Hal ini bisa kita perhatikan pada gairah dakwah mereka yang menujukkan ketajaman loyalitas serta keberpihakkan terhadap pengetahuan. Seluruh anggota Ikhwanus Shafa wajib menjadi guru dan mubaligh terhadap orang lain yang terdapat di masyarakat.

Kemunculan Ikhwanus Shafa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran dari luar Islam dan untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam.5

Menurut hasil pencermatan kami dari berbagai sumber, kehadiran Ikhwanus Shafa di permukaan tidak terlepas dari kontrol pemerintah setempat karena aktivitas mereka dianggap berpotensi untuk mengusik perangkat epistemologis yang telah dimapankan sekaligus dihegemoni oleh pihak penguasa.6 Sehingga, kader Ikhwanus Shafa sangat

terbatas, bahkan aktivitas mereka lebih banyak bersarang “di bawah tanah”. Menarik diperhatikan, bahwa kader-kader yang bisa bergabung dengan Ikhwanus Shafa harus memiliki jiwa militan, komitmen dan berakhlak mulia. Kriteria ini merupakan pantulan

4 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 181

5 Ramayulis & Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat : Quantum Teaching, 2005), h. 102

(5)

dari ideologi Islam murni (puritanisme) yang mereka lakoni7. Jika dibongkar lagi, maka

sebetulnya puritanisme ini cenderung berujung pada Islamisme.

Menurut Philip K. Hitti dalam perkembangannya, kelompok ini sempat melancarkan gerakan oposisi terhadap penguasa. Caranya adalah dengan mendiskreditkan sistem pemikiran dan agama yang populer. Itulah mengapa aktivitas dan sifat keanggotaan mereka cenderung samar, misterius, dan rahasia. Adapun sebutan Ikhwan al-Shafa kemungkinan diambil dari cerita seekor merpati dalam kisah Kalilah wa Dimnah. Ini adalah kisah tentang sekelompok hewan yang berpura-pura menjadi sahabat dekat atau ikhwan al-shafa, satu sama lain berhasil menghindar dari perangkap pemburu. Ikhwan al-Shafa membentuk bukan saja pertalian filosofis, melainkan juga

religius politis.8

Dari gambaran sekilas di atas, maka pada bagian pertama ini kami akan melacak bentuk pemikiran Ikhwanus Shafa. Begini, konsep dasar yang harus kita pahami bersama adalah jaringan atau kontak-kontak ekspansi transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa terjadi karena mereka lebih merasa memiliki banyak kesamaan ideologi dengan kelompok-kelompok intelektual di wilayah lain sedangkan di halaman sendiri justru “dikebiri”. Hal ini serupa dengan fenomena Pan Islamisme yang dikumandangkan oleh Jamaludin Al-Afghani. Maka, bentuk utama dari usaha yang dilakukan Ikhwanus Shafa untuk menghasilkan pemikiran brilian terutama dalam konteks pendidikan lebih bercorak nonformal. Corak nonformal ini menekankan kepada transmisi keilmuan yang diperoleh melalui jalur difusi dan jalur erutorium. Dua jalur inilah yang menjadi kata kunci dari usaha transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa ketika menumbuhkan gerakan pemikiran kepada masyarakat lintas batas, budaya dan ras.

Bentuk difusi adalah kontak transmisi keilmuan langsung secara fisik, sedangkan bentuk erutorium adalah kontak transmisi keilmuan tidak langsung secara pustaka.9

Pada jalur difusi, Ikhwaus Shafa terus melakukan ekspansi ke berbagai daerah seperti Iran dan Kuwait. Dalam perkembangannya, mereka malancarkan strategi secara rapi dengan mengutus beberapa anggota rahasia untuk merekrut orang-orang yang dianggap

7 Diantara anggota yang dapat diketahui nama-nama mereka adalah sebanyak lima orang : (a) Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar Al-Basti dikenal dengan nama al-Maqdisy (b) Abu Al-Hasan Ali Ibnu Harun Ad-Zanjany (c) Abu Ahmad Al-Mahrajani (d) Al-Qufy (e) Zaid Ibnu Rifa’ah. Busyairi Madjidi, h.66

(6)

dapat bekerjasama, terutama dari kalangan pemuda. 10 Para kader harus memiliki

majelis sendiri dimana majelis itu digunakan sebagai tempat bertemu dan tidak boleh dihadiri selain kelompok mereka. Ekspansi keilmuan dengan wilayah lain ini menerapkan sistem muzakarah (tukar pikiran). Materi yang mereka kaji terpusat pada dimensi jiwa, rasionalitas, kitab, science dan non science.11 Oleh sebab itu, dapat

diinterpretasi bahwa jaringan transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa dari jalur difusi ini sangat memprioritaskan penalaran pengetahuan yang sifatnya integratif-interkonektif internal, bukan fanatik buta. Ada tiga kata kunci dalam sifat tersebut yaitu (a)

Semipermeable (b) Intersubjective testability (c) Creative imagination.12 Tapi,

sepertinya ketiga kata kunci ini kurang begitu dimaksimalkan secara eksternal akibat sistem mereka yang melahirkan pembatasan, penyeragaman sekaligus mereduksi kelompok lain yang barangkali dicurigai sebagai mata-mata.

Ada satu fenomena menarik dari jalur difusi ini yaitu Ikhwanus Shafa telah membuat suatu kebijakan bahwa harus pemuda yang menjadi kader utama. Ada apa? Menurut analisis kami, pemuda merupakan sumber daya manusia yang memiliki modal idealisme, aktualisasi diri, dan gejala inquary yang tinggi. Ketiga modal ini selanjutnya menciptakan gerakan sosial. Penjelasan yang lebih akademik terkait gerakan sosial ini datang dari David Meyer dan Sidney Tarrow. Bagi mereka, gerakan sosial ialah tantangan-tantangan bersama yang didasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama dalam interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elit, saingan dan pemegang otoritas.13

Gerakan sosial ini pada fase berikutnya mendiagnosis kondisi sosial yang bermasalah untuk diselesaikan, menawarkan solusi alternatif, dan menghadirkan legitimasi argumentatif demi menarik dukungan masyarakat terhadap aksi-aksi kolektif.

Selanjutnya, pada jalur erutorium, Ikhwanus Shafa giat melakukan kajian pustaka melalui tiga tahap. Pertama, menghimpun sumber-sumber filsafat yang berasal dari Yunani, Persia, dan Islam sehingga menjadi satu ikhtisar dan madzhab filsafat sendiri.

Kedua, mereka melakukan modifikasi daftar isi dari kajian pustaka tersebut secara komprehensif dan holistik agar memudahkan pembaca. Ketiga, gaya tulisan, lafal, perumpamaan, serta contoh dalam menguraikan tujuan dan istilah-istilah filsafat dapat memberikan pemahaman yang otentik kepada pembaca.14 H.A.R. Gibb menyatakan,

10 Ramayulis & Samsul Nizar, h. 101 11 Busyairi Madjidi, h. 69-70

12 Amin Abdullah, Pendekatan Multidisiplin Dalam Studi Keislaman Di Perguruan Tinggi : Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 6

13 Qiuntan Wiktorowicz (Editor), Gerakan Sosial Islam : Teori, Pendekatan, dan Studi Kasus, (Yogyakarta : Gading Publishing, 2012), h. 11

(7)

“Islam is indeed more than a system of theology, it is a complete civilization”. Kebudayaan dan peradaban Islam dibangun atas nilai-nilai ketuhanan yang dibuka oleh spirit keilmuan dan penghargaan terhadap potensi akal pikiran.15 Dengan demikian,

bentuk transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa melalui jalur erutorium mampu memberikan hasil yang signifikan bagi kemajuan wacana sekaligus praktik keilmuan. Karya utama mereka dari kedua jalur ini bernama “Rasaa’il Ikhwanus Shafa”.16

Makna Pemikiran Ikhwanus Shafa

Pada bagian kedua ini, akan dipetakan makna pemikiran Ikhwanus Shafa khususnya yang concern pada bidang pendidikan. Ada tiga pemetaan makna tersebut yaitu makna secara personal, interdisiplinery, dan intrapersonal. Makna secara personal menekankan kepada ilmu yang diperoleh untuk pengalaman pribadi atau perseorangan. Makna secara interdisiplinery menekankan kepada ilmu yang diperoleh agar dapat berinteraksi dengan dimensi keilmuan yang lain. Dan makna secara intrapersonal menekankan kepada ilmu yang diperoleh untuk meningkatkan kualitas spiritual keagamaan.

Makna Personal

Ikhwanus Shafa memandang bahwa ilmu pengetahuan itu dapat dicapai melalui dua cara. Pertama, dengan cara mempergunakan panca indera terhadap obyek alam semesta yang bersifat empirik. Ilmu model ini berkaitan dengan tempat dan waktu.

Kedua, dengan cara mempergunakan informasi atau berita yang disampaikan oleh orang lain. Ilmu yang dicapai dengan cara yang kedua ini hanya dapat dicapai oleh manusia dan tidak dapat dicapai oleh binatang. Dengan cara yang kedua ini pula manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang gaib.17 Selain itu, Ikhwanus Shafa

menyebutkan bahwa ilmu juga dapat dicapai melalui tulisan dan bacaan. Dengan cara

15 Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam : Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, (Jakarta : Rajawali Press, 2013), h.3

16 Mereka membagi empat tingkatan keanggotaan. Pertama, Ikhwan al-Abrar al-Ruhama’, yakni kelompok yang berusia 15-30 tahun yang memilik jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus murid sehingga dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru. Kedua, Ikhwan Akhyar wa al-Fudhala’, yakni kelompok yang berusia 30-40 tahun. Pada tingkatan ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan (tingkat guru-guru). Ketiga, Ikhwan al-Fudhala’ al-Karim, yakni kelompok yang berusia 40-50 tahun. Dalam konteks kenegaraan, kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim. Keempat, Al-Kamal, yakni kelompok yang berusia 50 tahun ke atas. Mereka disebut dengan tingkatan al-Muqarrabin min Allah karena mereka sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga hati mereka telah terbuka dan menyaksikan kebenaran dengan mata hati. Lihat selengkapnya Syamsul Rizal, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2010), h. 129-130

(8)

ini manusia dapat memahami kalimat, bahasa dan ungkapan-ungkapan yang ditangkap melalui pemikiran. Untuk mendapatkan makna personal dari segala keilmuan, maka diperlukan pembiasaan sekaligus perenungan. Kedua hal tersebut akan membentuk karakter yang kokoh.18

Makna personal ini tidak hanya berangkat dari penalaran semata, melainkan ada indikasi nyata yang mereka gali dari ayat Al-Qur’an lalu langsung dijadikan landasan normatif untuk melegitimasi makna pemikiran tersebut. Adapun ayat yang dimaksud sebagaimana di bawah ini :

ننورركرششتن شمكرللنعنلن ةندن‍‍‍شفأنشلٱون رنصنصشبأنشلٱون عنشمسلنلٱ مركرلن لنعنجنون ا‍‍‍شيشن ننومرلنشعتن الن شمكرت‍هنصملنأر ن‍وطربر ننمل‍ مكرجنرنشخأن هرللنلٱون ٧٨

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (QS. An- Nahl 16:78).19

Merujuk kepada hasil diskusi kami dan juga ditunjang oleh informasi penelitian bahwa Ikhwanus Shafa lebih dekat dengan aliran John Locke. Dengan kata lain, untuk mendapatkan makna personal dari ilmu-ilmu maka harus diterapkan paradigma empirisme bukan idealisme. Aliran empirisme sudah barang tentu mengusung paham militan bahwa pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi aktif dengan alam nyata. Sebelum itu, niscaya akal tidak dapat mendeteksi apapun kecuali hipotesis-hipotesis yang diragukan kebenarannya. Ismail K. Poonawala, seorang Guru Besar Bahasa Arab dari Departement of Near Eastern Languages and Cultures UCLA pernah memberikan analisis bahwa sistem filsafat Ikhwanus Shafa pada dasarnya bersifat ekletik, mencampuradukkan berbagai sistem kepercayaan dan filsafat. Sistem itu juga mengandung unsur rasionalisme yang kuat. Struktur filosofis ini diturunkan dari Neoplatonisme dan Neophytagoreanisme.20

Makna Interdisiplinery

Ketika membincangkan makna interdisiplinery dari pemikiran pendidikan Ikhwanus Shafa, maka risalah-risalah mereka patut dijadikan acuan. Data menunjukkan, risalah mereka berjumlah 52 risalah yang masing-masing judulnya dikelompokkan menjadi empat bagian utama. Pertama, 14 risalah mengkaji matematika, seni dan logika. Kedua, 17 risalah mengkaji ilmu alam meliputi materi, bentuk, waktu, ruang, dan gerak, langit, bintang-bintang, benda tambang, tumbuhan, hewan, manusia dan

18 Abuddinata, h. 184

19 Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Per Kata, (Jakarta : Maghfira Pustaka, 2010), h. 275

(9)

jiwa. Ketiga, 10 risalah mengkaji jiwa, arti hidup, mati, kenikmatan, derita, bahasa, proses perkembangan, hari bangkit dan kiamat. Keempat, 11 risalah mengkaji ketuhanan, agama dan tasawuf.21 Jika mencermati dengan seksama, semua risalah yang

mereka rumuskan di atas mengacu kepada unsur universalitas dalam kehidupan dimana dimensi universalitas tersebut akan tercipta jika masing-masing elemen partikular saling mengetahui, berinteraksi juga terlibat aktif baik dari sisi pemikiran, perasaan maupun tindakan sesuai dengan ajaran murni Islam.

Makna Intrapersonal

Ketika memperbincangkan makna intrapersonal dari pemikiran pendidikan Ikhwanus Shafa, maka ada satu paradigma yang patut kita cermati bahwa program rekonstruksi mereka diarahkan kepada dua aspek yaitu (a) memperkenalkan ide-ide untuk memilih semua sumber yang ada dan berguna untuk semua ilmu pengetahuan, dan (b) merancang manfaat semua ilmu pengetahuhan, baik untuk diri sendiri, lingkungan, dan alam semesta sehingga dapat meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.22 Berdasarkan rekonstruksi ini, dapat diinterpretasi bahwa mereka memaknai

ilmu bukan hanya sebatas untuk menundukkan bumi, melainkan meraih kenikmatan secara spiritual bersama Tuhan di akhirat nanti. Ikhwanus Shafa memang sangat mengutamakan pancaindera dan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi mereka mengatakan keduanya memiliki keterbatasan ketika hendak memahami Tuhan. Maka mereka menyodorkan alternatif ketiga yaitu pendekatan inisiasi (bimbingan otoritas agama).23

Berdasarkan hasil diskusi kami, ternyata ada pendekatan-pendekatan yang dimainkan oleh Ikhwanus Shafa dalam melakukan pemaknaan pemikiran keilmuan secara intrapersonal dan juga berfungsi sebagai respons terhadap pemerintah yang bertentangan dengan mereka kala itu. Pendekatan tersebut dapat dipetakan ke dalam lima tahap. Pertama, mereka mengembangkan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami sebuah kebijakan. Kedua, mereka

21 Busyairi, h. 68

22 Ramayulis & Samsul Nizar, h. 10

(10)

memodifikasi cara berpikir subjektif ke cara berpikir objektif melalui mekanisme

inquiry dan interpretasi terkontrol. Ketiga, mereka mengubah corak Islam yang normatif menjadi teoritis. Implikasinya akan banyak disiplin ilmu yang secara orisinal dapat dikembangkan menurut konsep-konsep Alquran. Keempat, mereka mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis. Kelima, mereka merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum (general) menjadi formulasi-formulasi yang spesifik dan empiris.

Relavansi Pemikiran Ikhwanus Shafa terhadap Pendidikan Islam Indonesia

Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dilihat dari output-nya, yakni orang-orang yang menjadi produk pendidikan. Bila pendidikan menghasilkan orang-orang yang senantiasa mampu menjaga keharmonisan hubungan mereka dengan Tuhan-nya, membangun hubungan mereka dengan manusia juga dengan alam sekitar, maka pendidikan tersebut bisa dikatakan berjalan dengan efektif dan efisien. Sebaliknya, bila output-nya adalah orang-orang yang tidak mampu menjaga keharmonisan dalam hidupnya, baik keharmonisan hubungan mereka dengan Tuhan, manusia, maupun alam, maka pendidikan tersebut bisa dikatakan gagal bahkan berjalan pincang. Dalam arti, pendidikan itu bisa dikatakan baik ketika mampu melahirkan manusia-manusia yang saleh dalam keyakinan, pikiran dan amalnya.

Kini, kita telah sampai kepada bagian terakhir yang khusus membahas relevansi dari pemikiran Ikhwanus Shafa terhadap pendidikan Islam Indonesia kontemporer saat ini. Dari segi waktu, memang ada perbedaan yang begitu jauh, tapi dari segi pemikiran tentu senantiasa bersifat jangka panjang. Karena pemikiran pendidikan Ikhwanus Shafa sangat beragam, maka kami hanya mengambil satu bagian saja yakni tentang tujuan pendidikan, kurikulum dan metode.

Menurut Ikhwanus Shafa tujuan pendidikan haruslah dikaitkan dengan keagamaan. Setiap ilmu adalah malapetaka bila tidak ditujukan kepada keridhoan Allah dan kepada keakhiratan. Mengenai kurikulum, mereka menekankan agar mencakup logika, filsafat, ilmu jiwa, pengkajian kitab agama samawi, kenabian, ilmu syariat dan ilmu pasti. Akan tetapi, ilmu keagamaan mendapat porsi lebih banyak karena merupakan tujuan akhir dari pendidikan. Sedangkan metode pengajaran yang direkomendasikan adalah mengajar dari pola yang konkrit kepada pola yang abstrak.24 Dari bagian-bagian ini

terlihat jelas bahwa Ikhwanus Shafa memiliki ambisi yang begitu kuat untuk menjadikan dimensi agama sebagai pondasi dasar dari peradaban manusia. Oleh karena

(11)

agama mengandung unsur-unsur yang kompleks, maka kurikulum harus menyentuh perangkat-perangkat epistemologis keilmuan yang dapat menggali khazanah dari alam semesta ini. Tentunya, agar perangkat epistemologis yang meliputi sumber, cara dan kriteria ini dapat berjalan maksimal, maka ada modifikasi metodologis dengan mengacu kepada struktur penemuan, pemikiran, lalu berujung kepada keyakinan.

Sebagai contoh, kami akan menyajikan hasil temuan di Pesantren Putri Assalam, Jl. Kuala Buha, Bailang, Bunaken, Kota Manado, Sulawesi Utara. Pesantren Assalam didirikan oleh Yayasan Karya Islamiyah tahun 1989.25 Sebelum mendirikan pesantren,

yayasan sudah memiliki sejumlah kegiatan, antara lain mendirikan masjid Assalam pada tahun 1987 di kompleks perumahan pajak jalan 17 Agustus Wale Temboan Manado. Selain itu, yayasan juga memiliki majelis taklim yang dinamakan Studi Islam Assalam (SIAM) dan poliklinik Assalam. Madrasah/Sekolah yang ada di pesantren Assalam terdiri dari Madrasah Tsanawiyah Assalam, Madrasah Aliyah Assalam dan Sekolah Menengah Kejuruan Assalam.26 Perlu kita ketahui, bahwa Pesantren Assalam

merupakan pesantren putri terbesar di Sulawesi Utara, kehadirannya sangat berkontribusi positif bagi orangtua yang ingin memberikan pendidikan Islam yang maksimal kepada putra-putrinya. Fenomena ini dapat dipahami sebab secara statistik, Manado merupakan basis Kristen terbesar.

Pesantren Assalam Manado yang memiliki 3 buah lembaga pendidikan formal, menyelengarakan proses pendidikan dan pembelajaran berdasarkan kurikulum dari Kementerian Agama untuk Madrasah dan Kementerian Pendidikan Nasional untuk Sekolah Umum. Penyelenggaraan pendidikan di pesantren Assalam Manado, selain menggunakan kedua bentuk kurikulum tersebut, diberlakukan juga kurikulum kepesantrenan dan kegiatan ekstra kurikuler.

Dari segi tujuan, Pesantren Assalam Manado memiliki relevansi positif dengan Ikhwanus Shafa. Tujuan akhir lulusan pesantren (MTs, MA, dan SMK) diharapkan menjadi seorang sosok generasi muda muslim yang memiliki (a) aqidah yang bersih dan lurus serta berakhlak mulia (b) kemampuan untuk beribadah dengan baik dan benar serta istiqomah dalam menjalankannya (c) ilmu dan berwawasan yang luas terutama pengetahuan ke-Islaman dan IPTEK (d) sehat jasmani dan rohani (e) kemampuan berusaha dengan dengan 5 AS (keras, cerdas, tuntas, kualitas, dan ikhlas), (f) IQ, EQ,

25 Peletakan batu pertama dilaksanakan pada 6 Mei 1986 oleh Wakil Gubernur KDH tingkat I Sulawesi Utara, Drs. Hi. Abdullah Mokoginta. Diresmikan pada 9 November 1989 oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara, C. J. Rantung.

(12)

SQ yang baik (g) bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat (h) keunggulan dan berprestasi sehingga dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi (i) kedisiplinan yang tinggi untuk mengatur waktu dan kehidupannya.

Dari segi kurikulum, Pesantren Assalam Manado memiliki relevansi positif dengan Ikhwanus Shafa. Secara umum, kurikulum dari pemerintah (kecuali untuk Sekolah Menengah Kejuruan), meliputi Pendidikan Agama Islam (Aqidah Akhlāq, Fiqih, Qur’ān Hadist dan Sejarah Kebudayaan Islam), PPKN, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Matematika. Sedangkan kurikulum pesantren meliputi al-qurān dan tajwid, tafsir-ilmu

tafsir, hadist dan ilmu hadist, muāmalah, tauhid, fiqih dan ushul fiqh, akhlāq, sirah dan sejarahperadaban Islam.27Semua kurikulum ini diajarkan oleh guru berdasarkan dengan

kompetensi mereka masing-masing. Kami menemukan, bahwa beberapa pengajar di sana adalah dosen dari IAIN Manado. Hal ini mengindikasikan adanya transmisi keilmuan yang datang dari perguruan tinggi. Sehingga, dapat berdampak kepada semakin mapannya bekal keilmuan yang santri terima. Selain itu, lokasi pesantren berada di dalam, jauh dari pusat keramaian. Kondisi seperti ini akan melahirkan stabilitas dalam belajar.

Dari segi metode, Pesantren Assalam Manado juga memiliki kesamaan dengan pola pengajaran Ihkwanus Shafa. Pola pengajaran ini awalnya tergambar dalam visi misi pesantren sendiri. Visinya adalah terwujudnya lembaga Pendidikan Islam berkualitas yang membangun generasi khairu ummah. Sedangkan misinya adalah (a) menyelenggarakan pendidikan yang berlandaskan imtaq, berwawasan iptek, dan life skill (b) menciptakan generasi yang selalu berfikir, berzikir dan beramal (c) membina generasi beraqidah benar, berakhlâkul karimah, giat beribadah dan beramal shaleh yang disertai dengan tafaqquh-fiddin (d) melaksanakan dan mengemban dakwah Islam (e) menjunjung tinggi nilai-nilai moral, spritual, dan intelektual menuju kesejahteraan dan keselamatan dunia serta akhirat. Jadi, pola pengajaran utama yang dilakukan guru-guru di pesantren ini bercorak empiris-selektif-kategoris-akomodatif-reflektif.

Berdasarkan tiga fase analisis yang kami rumuskan melalui studi sumber dan studi lapangan, setidaknya memberikan kita paradigma baru bahwa spirit implikasi pemikiran keilmuan Ikhwanus Shafa tidak hanya berputar-putar di wilayah Timur Tengah sana,

(13)

melainkan telah jauh berekspansi hingga ke Sulawesi Utara. Jika ditelusuri lebih lanjut, ada kemungkinan besar para Kyai yang pernah menjadi pimpinan di Pesantren ini mengadopsi pemikiran Ikhwanus Shafa lalu kemudian dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman, setting sosio-kultural masyarakat Manado yang begitu heterogen, serta merujuk kepada kebutuhan santri-santri ketika berhadapan dengan modernitas. Hipotesis ini kami ajukan sebab melihat latar belakang pimpinan pesantren banyak bergelar “Lc”. Dan sudah barang tentu gelar ini hanya di dapatkan jika belajar di Mesir (Timur Tengah). Kami pikir, ini menarik untuk dikaji pada masa-masa yang akan datang.

Pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuannya melakukan

adjusment dan readjusment. Namun, ia harus berperan aktif dalam menghidupkan lokalitas keindonesiaan berdasarkan pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dalam konteks terakhir inilah, pesantren dengan Kyainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai “cultural brokers” (pialang budaya) dalam pengertian seluas-luasnya.28 Meminjam pemikirannya Bahrul Hayat, selaku Sekretaris Jenderal

Kementerian Agama RI, bahwa pesantren bermutu harus memiliki tujuh kecerdasan utama yakni kecerdasan akademik, kecerdasan spiritual, kecerdasan moral, kecerdasan emosional, kecerdasan lingkungan, kecerdasan pedagogis, dan kecerdasan manajerial.29

Kehadiran Pesantren Assalam di Manado merupakan fenomena ekspansi Islam lewat jalur pendidikan. Pesantren tumbuh dengan normal tanpa mengalami kondisi "prematur" atau benturan dalam ruang keragaman budaya serta iman. Meski kalah jauh secara nominal, pesantren Assalam lebih bersifat adaptasionis juga kosmopolitan. Karakter tersebut dibentuk oleh cetakan historis-demografis, sosiologis-ideologis, dan personal-programatik.Karakter itu pada akhirnya berpotensi besar menciptakan civil society yang kemudian melahirkan 'insight' dakwah yang lembut, humanis, dan hampa dari tindak radikalisme bahkan terorisme. Pesantren di Manado bukanlah "dunia lain", ia selalu ada, berkembang sekaligus berubah.

PENUTUP

28 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millineum III, (Jakarta : Kencana, 2014), h. 130-131

(14)

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan persaudaraan suci yang terdiri dari para ilmuwan dan filsuf muslim. Mereka bergerak secara rahasia dan memiliki tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cara

radikal-revolusioner, tetapi melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Mereka sangat peduli dengan nasib Islam di zamannya.Kepedulian tersebut terutama dalam pemikiran pendidikan, yang selanjutnya terefleksi dalam karya spektakulernya,

Rasa’il Ikhwan al-Shafa, sebuah karya dalam bentuk ensiklopedi yang di dalamnya terdapat beberapa disiplin ilmu pengetahuan sekaligus kurikulum pendidikan.

Perhatian Ikhwan al-Shafa terhadap aspek pendidikan telah menyebabkan mereka dikelompokkan ke dalam golongan rasional-religius. Pada hakikatnya mereka hanya bertujuan untuk mengarahkan tindakan dan tingkah laku manusia. Hal itu didasarkan atas keyakinan bahwa akal yang terlatih dan terbina dengan baik akan mampu mengarahkan dan mengendalikan tindak tanduk manusia sesuai dengan fungsinya sebagai Khalifatullah. Perhatian Ikhwan al-Shafa terhadap pendidikan moral dan keterampilan sesungguhnya tidak sesederhana dibanding perhatian mereka terhadap pendidikan intelektual, bahkan dapat dikatakan bahwa sasaran utama pendidikan Ikhwan al-Shafa adalah pendidikan moral.Dilihat dari segi moral dan keterampilan, isi pendidikan yang diinginkan adalah yang sesuai dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Bentuk utama dari pemikiran yang dilakukan Ikhwanus Shafa untuk menghasilkan ilmu-ilmu brilian terutama dalam konteks pendidikan lebih bercorak nonformal. Corak nonformal ini menekankan kepada transmisi keilmuan yang diperoleh melalui jalur

difusi dan jalur erutorium. Dua jalur inilah yang menjadi kata kunci dari bentuk transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa ketika menumbuhkan gerakan pemikiran kepada masyarakat lintas batas, budaya dan ras. Sedangkan makna dari pemikiran yang mereka lakukan terbagi atas tiga pemetaan yaitu makna personal, makna interdisiplinery, dan makna intrapersonal. Terakhir, relevansi pemikiran Ikhwanus Shafa terhadap pendidikan Islam Indonesia terdapat di Pesantren Putri Assalam di Manado, Sulawesi Utara. Titik relevansinya terletak pada tiga indikator utama yaitu segi tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, dan metode pengajaran. Fenomena relevansi ini terjadi karena munculnya fenomena "jaringan intelektual baru" kaum muslimin di Sulawesi Utara dan Timur Tengah lewat latar belakang pendidikan strata 1 para pimpinan pesantren tersebut. Sehingga, ada kemungkinan besar para pimpinan itu mempelajari pemikiran Ikhwanus Shafa ketika mereka belajar di Timur Tengah. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut.

(15)

Buku

Abdullah, Amin. 2015. Pendekatan Multidisiplin Dalam Studi Keislaman Di Perguruan Tinggi : Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga.

Ahmad Hatta, Ahmad. 2010. Tafsir Qur’an Per Kata, Jakarta : Maghfira Pustaka.

Assagaf, Abd Rachman. 2014. Filsafat Pendidikan Islam : Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, Jakarta : Rajawali Press.

______, Abd. Rachman. 2003. Internasionalisasi Pendidikan : Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara –Negara Islam dan Barat, Yogyakarta : Gama Media.

______, Abd. Rachman. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam : Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, Jakarta : Rajawali Press.

Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII : Akar Pembaruan Islam Indonesia, Jakarta : Kencana.

____, Azyumardi. 2014. Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millineum III, Jakarta : Kencana.

Dahlan, Abdul Azis, 2003. Filsafat dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Madjidi, Busyairi. 1997. Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta : Al Amin Press.

Maragustam, 2016. Filsafat Pendidikan Islam : Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta.

Naim, Ngainum & Sauqi, Achmad. 2011. Pendidikan Multikultural : Konsep & Aplikasi, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.

(16)

Ramayulis & Nizar, Samsul. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat : Quantum Teaching.

Rizal, Syamsul, 2010. Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Cita Pustaka Media Perintis.

Wiktorowicz, Qiuntan (Editor), 2012. Gerakan Sosial Islam : Teori, Pendekatan, dan Studi Kasus, Yogyakarta : Gading Publishing.

Jurnal

Ismail K. Poonawala, Ismail K. 1991. Al-Qur’an Dalam Rasa’il Ikhwan Al-Shafa, Jurnal Ulumul Qur’an Vol II No. 9.

Lundeto, Adri & Dachrud, Musdalifah, 2012. Pesantren di Sulawesi Utara:Analisis Kritis Sistem Pendidikannya, Conference Proceedings Annual International Conference On Islamic Studies (AICIS XII) IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Koran

Khazanah Republika, Ikhwan Al- Shafa Menyebarkan Filsafat, Selasa 31 Agustus 2010.

Referensi

Dokumen terkait

1. Melakukan wawancara secara tim. Membentuk suatu format wawancara yang berstruktur untuk setiap klasifikasi lowongan pekerjaan. Membuat wawancara model scenario, untuk

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh efisiensi penggunaan tenaga kerja bagian produksi terhadap produktifitas tenaga kerja di PTPN IX

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian pakan mengandung tepung lumpur sawit tidak dan difermentasi sampai level 15 % dapat diberikan pada ternak ayam

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pada kelompok siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Quantum Learning berbasis

Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu berkonsultasi terkait dengan RPP dan melakukan konfirmasi dengan guru mata pelajaran ekonomi tentang proses dan

thariqah atau thariq , yang dalam bahasa Indonesia diserap menjadi tarekat, sudah familiar semenjak zaman Nabi. Hal ini dapat menjadi argumen bahwa tidak logis kalau ada yang

Dari penelitian yang telah dilakukan, dengan penerapan model pembelajaran project based learning dan metode pembelajaran demonstrasi baik pada siklus I maupun

Dalam teks di atas merupakan nilai akhlak kepada Allah dengan cara bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, dan dalam teks tersebut memotivasi