• Tidak ada hasil yang ditemukan

REVITALISASI KESENIAN DALANG JEMBLUNG DI DESA NOTOG KECAMATAN PATIKRAJA KABUPATEN BANYUMAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REVITALISASI KESENIAN DALANG JEMBLUNG DI DESA NOTOG KECAMATAN PATIKRAJA KABUPATEN BANYUMAS"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

i

REVITALISASI KESENIAN DALANG JEMBLUNG DI DESA NOTOG KECAMATAN PATIKRAJA KABUPATEN BANYUMAS

SKRIPSI

untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan

Oleh

Nama : Sasetya Tunjung Widyati

NIM : 2501410134

Program Studi : Pendidikan Seni Tari Jurusan : Sendratasik

FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

▸ Baca selengkapnya: teks suluk dalang

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto :

1. Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah dilaksanakan atau diperbuatnya. (Ali Bin Abi Thalib)

2. Kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan berhasillah kau; anggap semua pelajaran mudah, dan semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua. (Pramoedya Ananta Toer)

Persembahan :

1. Jurusan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni

2. Bapakku Slamet Pamuji, Ibukku Sugiarti dan keluarga besarku yang selalu memberikan doa dan dukungan

3. Sahabat-sahabatku yang selalu setia mendengarkan keluh kesahku

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Revitalisasi Kesenian Dalang Jemblung di Desa Notog Kecamatan

Patikraja Kabupaten Banyumas”. Skripsi ini disusun dalam rangka menyelesaikan studi strata satu untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tidak akan berhasil tanpa adanya bimbingan, motivasi dan bantuan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum, Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memperoleh pendidikan di Universitas Negeri Semarang.

2. Prof. Dr. Agus Nuryatin, M. Hum, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah memberikan ijin untuk menyelesaikan skripsi.

3. Dr. Udi Utomo, M.Si, Ketua Jurusan Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk dalam proses penyusunan skripsi.

(7)

vii

5. Dosen beserta staff tata usaha jurusan Pendidikan Sendratasik FBS UNNES yang telah memberikan bantuan dan bimbingannya.

6. Bapak Rusdiono pimpinan paguyuban Dalang Jemblung “Anom Trisno

Budoyo” yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan

penelitian.

7. Keluarga besar paguyuban Dalang Jemblung “Anom Trisno Budoyo” yang

telah mendukung memberi, informasi dan semangat penyusunan skripsi ini.

8. Kedua orang tua dan keluarga besar mbah Dasikin yang telah memberikan do’a dan dukungan dalam penyelesaian penyusunan skripsi.

9. Iwan Aji Saputro yang selalu memberikan semangat dan dukungannya selama penyelesaian skripsi.

10. Teman-teman Pendidikan Sendratasik 2010 yang telah memberikan dukungannya.

11. Sahabat tersayang Arfi, Nira, Silvia, Fadila, Septi, Niken dan Rahajeng yang selalu memberikan semangat dan kebahagiaan.

12. Semua pihak yang ikut membantu penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga bantuan yang telah diberikan kepada penulis menjadi amalan baik serta mendapat pahala yang setimpal dai Allah SWT. Pada akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

(8)

viii SARI

Sasetya Tunjung Widyati. 2015. Revitalisasi Kesenian Dalang Jemblung di Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas. Skripsi. Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik/Program Studi Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

Dosen Pembimbing Prof. Dr. M. Jazuli, M.Hum.

Kata Kunci: Revitalisasi, Sejarah, Bentuk Pertunjukan dan Fungsi.

Dalang Jemblung merupakan kesenan tradisional Banyumas yang sudah punah. Penelitian ini adalah mengamati ditampilkannya kembali kesenian yang hampir punah atau revitalisasi yang dilakukan terhadap kesenian Dalang Jemblung. Demikian juga dengan Kabupaten Banyumas yang memiliki beberapa kesenian yang mulai punah salah satunya yaitu kesenian Dalang Jemblung. Kesenian ini ditinggalkan begitu saja oleh masyarakat karena tidak ada lagi generasi muda yang mau meneruskan kesenian ini, serta masyarakat yang kian lama tidak berminat untuk mementaskan kesenian ini. Maka dari itu, kesenian Dalang Jemblung mengalami rekonstruksi karena adanya program penelitian yang bekerjasama dengan pemerintah Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas agar ditampilkan kembali.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana revitalisasi, sejarah, bentuk pertunjukan dan fungsi kesenian Dalang Jemblung di Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan revitalisasi, sejarah, bentuk pertunjukan dan fungsi kesenian Dalang Jemblung di Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas.

Penelitian Revitalisasi Kesenian Dalang Jemblung di Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Hasil penelitian revitalisasi dilakukan dengan cara menampilkan kembali dengan sedikit menginovasi bentuk pertunjukan yang meliputi dialog, dalang, sinden, pengrawit, tata panggung, sesaji, tata busana/ kostum, tata rias, tata suara agar kesenian Dalang Jemblung lebih menarik dan diminati oleh masyarakat. Dari proses revitalisasi tersebut kemudian muncul sejarah dan fungsi kesenian Dalang Jemblung.

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

SARI ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Sistematika Skripsi ... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka ... 9

2.2 Landasan Teoritis ... 11

(10)

x

2.2.2 Sejarah Wayang ... 15

2.2.3 Bentuk Pertunjukan Wayang ... 18

2.2.3.1 Dialog ... 18

2.2.3.2 Lakon ... 19

2.2.3.3 Babak ... 20

2.2.3.4 Alur ... 21

2.2.3.5 Amanat ... 21

2.2.3.6 Dalang ... 22

2.2.3.7 Sutradara ... 24

2.2.3.8 Sinden ... 25

2.2.3.9 Pemain/ aktor ... 26

2.2.3.10 Sesaji ... 26

2.2.3.11 Iringan ... 27

2.2.3.12 Tata Rias ... 28

2.2.3.13 Tata Busana ... 29

2.2.3.14 Tata Suara dan Bahasa ... 30

2.2.3.15 Tata Lampu ... 31

2.2.3.16 Tata Panggung ... 32

2.3 Fungsi Seni Pertunjukan ... 33

(11)

xi BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian ... 39

3.2 Lokasi dan Sasaran Penelitian ... 40

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 40

3.2.2 Sasaran Penelitian ... 40

3.3 Sumber Data ... 41

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.4.1 Teknik Observasi ... 41

3.4.2 Teknik Wawancara ... 42

3.4.3 Teknik Dokumentasi ... 46

3.5 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 46

3.5.1 Sumber ... 47

3.5.2 Metode ... 48

3.6 Teknik Analisis Data ... 50

3.6.1 Pengumpulan Data ... 52

3.6.2 Reduksi Data ... 53

3.6.3 Penyajian Data ... 54

3.6.4 Kesimpulan ... 55

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 56

4.1.1 Letak dan Luas Wilayah Desa Notog ... 56

4.1.2 Kependudukan ... 57

(12)

xii

4.1.4 Mata Pencaharian ... 59

4.1.5 Agama ... 60

4.1.6 Jenis Kesenian yang Berkembang di Desa Notog ... 60

4.2 Revitalisasi Dalang Jemblung di Desa Notog ... 61

4.2.1 Sejarah Dalang Jemblung ... 62

4.3 Bentuk Pertunjukan Dalang Jemblung ... 65

4.3.1 Pola Pertunjukan Dalang Jemblung ... 65

4.3.2 Elemen-elemen Bentuk Pertunjukan Dalang Jemblung ... 68

4.3.2.1 Urutan Sajian ... 68

4.3.2.2 Lakon ... 77

4.3.2.3 Dalang ... 80

4.3.2.4 Sutradara ... 81

4.3.2.5 Sinden ... 81

4.3.2.6 Pemain/ aktor ... 82

4.3.2.7 Sesaji ... 82

4.3.2.8 Iringan ... 83

4.3.2.9 Tata Rias ... 88

4.3.2.10 Tata Busana ... 92

4.3.2.11 Tata Suara dan Bahasa ... 96

4.3.2.12 Tata Lampu ... 97

4.3.2.13 Tata Panggung ... 98

(13)

xiii BAB 5 PENUTUP

5.1 Simpulan ... 105 5.2 Saran ... 106

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Peta Desa Notog ... 57

Gambar 4.2 Sesaji ... 83

Gambar 4.3 Tata Rias Sinden ... 90

Gambar 4.4 Tata Rias Dalang Jemblung ... 91

Gambar 4.5 Tata Busana Dalang Jemblung ... 94

Gambar 4.6 Tata Busana Pemain/ aktor ... 95

Gambar 4.7 Tata Busana Sinden ... 95

Gambar 4.8 Sound Panggung ... 97

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Instrumen Penelitian ... 111

2. Hasil Wawancara dan Biodata Narasumber ... 117

3. Peta Kecamatan Patikraja ... 124

4. Biodata Penulis ... 125

5. Surat Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing ... 126

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesenian merupakan salah satu sektor kebudayaan kita yang masih jelas menampilkan wajah bangsa yang sulit dilakukan oleh sektor budaya yang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Koentjaraningrat (1993:121) yang menyatakan bahwa ada satu unsur kebudayaan dapat menonjolkan sifat khas, mutu, dan amat cocok sebagai unsur utama dari kebudayaan nasional Indonesia yaitu: Kesenian.

Banyak cabang-cabang kesenian yang tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan sejarah, misalnya, seni musik, seni tari, dan seni rupa. Kesenian sebagai salah satu bagian dari kebudayaan memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Sebagai unsur dari kebudayaan kesenian itu tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan kebudayan yang lain seperti, ilmu pengetahuan, agama, ekonomi, filsafat, dan sebagainya. Melalui seni, pendidikan bangsa dapat ditingkatkan, dan melalui seni pula kehidupan perekonomian dapat dikembangkan. Di dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, maka dapat kita rasakan betapa pentingnya peranan seni dalam berbagai segi kehidupan masyarakat.

(18)

2

Sistem nilai, norma, dan sejumlah gagasan yang didukung oleh media-media komunikasi yang dapat mengubah sistem sosial, politik, ekonomi, pendidikan maupun sistem budaya (Martono, 2011: 24). Dalam hal budaya seperti halnya seni pertunjukan tradisional yang terkesan sangat membosankan juga ditinggalkan begitu saja oleh masyarakat yang cenderung menggemari hal-hal yang modern.

Setiap daerah pasti memiliki sebuah seni pertunjukan, seni pertunjukan yang ditinjau dari segi kondisinya terlihat maju ataupun kurang maju. Menurut Soedarsono (1998:1), penyebab dari hidup dan matinya sebuah pertunjukan ada bermacam-macam, ada yang disebabkan oleh perubahan yang terjadi dibidang politik, dan ada pula yang karena tidak mampu bersaing dengan bentuk-bentuk pertunjukan yang lain. Begitu pula di masyarakat yang mulai menyukai hal-hal yang lebih populer dibandingkan kesenian-kesenian tradisional, sehingga akan mengakibatkan perubahan di lingkup masyarakat itu sendiri.

Apabila terjadi perubahan salah satu bagian, maka akan mempengaruhi bagian lain yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi sistem sosial secara keseluruhan. Begitu juga dengan seni pertunjukan tradisional tidak diminati oleh penontonnya dikarenakan pertunjukan tradisional dirasakan sangat monoton yang dilihat dari bentuk penyajiannya (Soedarsono, 1999:75). Begitu pula di daerah Banyumas, terdapat kesenian yang ditinggalkan oleh masyarakatnya karena dianggap sudah ketinggalan jaman dan tidak dapat bersaing dengan budaya-budaya baru yang ada.

(19)

3

karena orang lebih tertarik menjadi penonton dari pameran profesional, televisi, kaset dan radio (Kuntowijoyo, 2006:41). Masyarakat cenderung lebih menyukai budaya-budaya barat yang kadang lebih dianggap modern daripada kebudayaan sendiri, mereka juga terkadang lupa bahwa kebudayaan merupakan bagian dari sejarah bangsanya. Akan tetapi, kini mulai ada keinginan dari berbagai pihak yakni Dinporabudpar yang berperan besar dalam penggerakan revitalisasi untuk mengangkat kembali kesenian-kesenian yang mulai punah di wilayah Banyumas agar dapat disajikan kembali dengan gaya baru dan kesenian tersebut dapat dinikmati lagi oleh masyarakat.

Salah satu kesenian tradisional yang mengalami revitalisasi tersebut ialah Dalang Jemblung, Dalang Jemblung merupakan salah satu dari beragam kesenian tradisional yang berkembang di daerah Banyumas. Kesenian ini ditinggalkan begitu saja oleh masyarakat karena tidak ada lagi generasi muda yang mau meneruskan kesenian ini, serta masyarakat yang kian lama tidak berminat untuk mengundang atau mementaskan kesenian ini.

(20)

4

di Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas dikarenakan di desa tersebut dilaksanakan pementasan berbagai kesenian tradisional Banyumas. Dalang Jemblung ini juga telah mengalami perkembangan dari bentuk pertunjukannya agar lebih menarik lagi. Dalang Jemblung yang tadinya hanya dapat dinikmati di ruang tertutup kini dapat dinikmati di ruang terbuka dengan menggunakan panggung setelah mengalami revitalisasi, dimaksudkan agar kesenian Dalang Jemblung lebih menarik dan dapat diterima lagi oleh masyarakat.

Revitalisasi yang dilakukan di Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas ini menjadikan masyarakat dengan kata lain anak muda yang belum mengetahui kesenian Dalang Jemblung dikarenakan mereka lebih menyukai kesenian-kesenian modern, kini mereka memahami kesenian tersebut dan bahkan menyukai kesenian-kesenian tradisional bahkan tertarik untuk mengikutinya. Setelah Dalang Jemblung mengalami revitalisasi selanjutnya peneliti akan mencari sejarah, bentuk pertunjukannya dan fungsi Dalang Jemblung.

(21)

5

penelitian yang peneliti lakukan, hal ini dapat dilihat dari objek penelitian, masalah yang dikaji serta tempat penelitiannya.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Rvitalisasi Kesenian Dalang Jemblung di Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas. Alasan peneliti untuk mengadakan penelitian tersebut, karena Dalang Jemblung termasuk kesenian tradisional yang harus tetap dilestarikan agar tidak mengalami kepunahan lagi dan agar masyarakat tetap menjaga warisan budaya yang sudah ada. Selain itu penggunaan bahasa yang unik, yaitu bahasa dialek Banyumasan yang dikenal dengan sebutan Ngapak, iringannya pun tidak menggunakan alat musik sebenarnya, yaitu dengan pengucapan mulut yang menyerupai bunyi musik yang menambah keunikan dari kesenian Dalang Jemblung tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana revitalisasi kesenian Dalang Jemblung di Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas dengan kajian pokok:

1.2.1.1 Bagaimana sejarah kesenian Dalang Jemblung Kabupaten Banyumas? 1.2.1.2 Bagaimana bentuk pertunjukan Dalang Jemblung?

(22)

6

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan diatas penelitian bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:

1.3.1 Hasil revitalisasi kesenian dalang jemblung di Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas dengan kajian pokok:

1.3.1.1 Sejarah kesenian Dalang Jemblung di Kabupaten Banyumas. 1.3.1.2 Bentuk pertunjukan Dalang Jemblung.

1.3.1.3 Fungsi kesenian Dalang Jemblung. 1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Secara Teoritis

1.4.1.1 Sebagai dokumentasi tertulis tentang asal usul kesenian Dalang Jemblung di Kabupaten Banyumas.

1.4.1.2 Sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga pendidikan Universitas Negeri Semararang khusunya prodi Seni Tari dalam hal penelitian.

1.4.1.3 Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi bagi peneliti berikutnya.

1.4.2 Secara Praktis

1.4.2.1 Bagi peneliti, mendapatkan pengalaman langsung sehingga dapat mengkaji secara lebih dalam tentang asal usul Kesenian Dalang Jemblung di Kabupaten Banyumas.

(23)

7

1.4.2.3 Bagi kelompok Kesenian Dalang Jemblung Banyumas, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai motivasi dalam mengembangkan dan mempertahankan Kesenian Dalang Jemblung sebagai Kesenian daerah setempat.

1.5 Sistematika Skripsi

Sistematika skripsi terdiri dari beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:

1.5.1 Bagian awal terdiri dari lembar judul, persetujuan pembimbing, lembar pengesahan, lembar pernyataan, motto dan persembahan, lembar abstrak, kata pengantar, daftar isi, daftar lampiran.

1.5.2 Bagian isi terdiri dari 5 bab, yaitu:

Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang, dan sistematika skripsi.

Bab II Landasan teori yang berisi tentang Rekonstruksi seni, Dalang Jemblung, Bentuk Pertunjukan dan Kerangka berpikir.

Bab III Metode penelitian, berisi tentang pendekatan penelitian, lokasi penelitian, sasaran penelitian, teknik pengumpulan data yang meliputi observasi, wawancara, dokumentasi, teknik keabsahan data dan teknik analisis data.

Bab IV Hasil penelitian dan pembahasan mencakup tentang bentuk pertunjukan Kesenian Dalang Jemblung, dan hasil rekonstruksi bentuk pertunjukan Kesenian Dalang Jemblung

(24)

8

(25)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

Skripsi yang berjudul Revitalisasi Kesenian Dalang Jemblung Kabupaten Banyumas ini sudah pernah diteliti, namun dalam konteks yang berbeda. Sehingga peneliti menggunakan penelitian sejenis yang pernah dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut antara lain:

2.1.1 Penelitian Nurhayati tahun 2014 yang berjudul “Revitalisasi Seni Pertunjukan Dulmuluk: Upaya Pemertahanan dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra”. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana proses revitalisasi kesenian Dulmuluk dan bagaimana upaya pemertahanan dan implikasinya dalam pembelajaran sastra.

(26)

10

proses revitalisasi seni khususnya kesenian Dalang Jemblung di Kabupaten Banyumas.

2.1.2 Penelitian Esa Fatma Ariyani tahun 2012 berjudul “Makna Simbolik Kesenian Wayang Tutus dalam Kehidupan Masyarakat Desa Balapulang Kulon Kabupaten Tegal”. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana sejarah wayang, makna simbolik dan bentuk pertunjukan wayang tutus.

Hasil penelitian ini menjelaskan bentuk pertunjukan dari pra acara, pembukaan, inti pertunjukan dan akhir pertunjukan. Unsur-unsur pertunjukan kesenian wayang tutus meliputi (dalang, niyaga, waranggono atau sinden dan wayang tutus), iringan, tema, busana, tempat, tata lampu, properti, penonton, sesaji, dan makna simbolik kesenian wayang tutus. Penelitian ini memberikan gambaran kepada peneliti mengenai bentuk pertunjukan dari proses pra acara, pembukaan, inti pertunjukan dan akhir pertunjukan. Unsur dalam pertunjukan juga dijelaskan dalam penelitian ini sehingga peneliti dapat menggunakan penelitian ini sebagai contoh untuk mendeskripsikan bentuk pertunjukan Dalang Jemblung dari pra acara, pembukaan, inti hingga akhir pertunjukan.

2.1.3 Penelitian Sri Wahyuni tahun 2015 yang berjudul ”Audio Visual Wayang Jemblung Sebagai Media Pembelajaran Menyimak Cerita Rakyat Siswa Kelas X SMA di Kabupaten Banyumas”. Penelitian ini berisi tentang bagaimana

pengembangan media audio visual wayang jemblung dalam pembelajaran menyimak cerita rakyat siswa kelas X SMA di Kabupaten Banyumas.

(27)

11

SMA di Kabupaten Banyumas. Penelitian ini memberikan gambaran kepada peneliti mengenai wayang jemblung atau yang sering disebut dalang jemblung dalam melakukan proses penelitian sesua dengan judul yang dibuat sehingga peneliti dapat menggunakan penelitian ini sebagai bahan acuan guna membantu proses penggarapan penelitian yang sedang peneliti garap khususnya mengenai kesenian Dalang Jemblung di Kabupaten Banyumas setelah direvitalisasi.

2.2 Landasan Teoritis 2.2.1 Revitalisasi

Revitalisasi adalah proses menghidupkan kembali suatu hal apapun yang sebelumnya terberdaya menjadi vital kembali. Revitalisasi di era modernisasi menandakan adanya suatu kerinduan atau kebutuhan penting dalam kehidupan desa yang kompleks, Jurnal Kependidikan UNY Trie wahyuni dan Ni Nyoman Seriati (Vol 39, No 2 2009). Seperti halnya sebuah kesenian yang sudah ditinggalkan kemudian dihidupkan kembali, salah satunya yaitu seni tradisional yang mulai dihidupkan kembali oleh masyarakat yang pada awalnya sudah sangat tidak diminati oleh masyarakat itu sendiri.

Kasiyan dalam Jurnal Humaniora, (Vol 15, No. 1, 2013) problematika dalam jurnal berjudul Revitalisasi Dialektika Pliralitas Budaya Global dalam Perspektif Poskolonial mengungkapkan permasalahan lebih disebabkan: pertama,

(28)

12

ini maknanya secara substansial, sebenarnya adalah tetap sebagai potret dari riwayat penjajahan baru, di era pos kolonial.

Saat ini minat generasi muda untuk mempelajari seni tradisional masih sangat rendah, khusunya seni pedalangan atau wayang. Apabila persoalaan ini tidak segera diatasi maka bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan kehilangan jatidirinya di masa yang akan datang. Hasil penelitian mengenai revitalisasi seni pertunjukan tradisi dalam menunjang pariwisata di Surakarta dengan menggunakan metode kualitatif, mengungkapkan bahwa generasi muda masih banyak yang belum memahami dan juga belum yakin pengembangan seni tradisional dalam bentuk revitalisasi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun non pemerintah dapat menjadi modal untuk pengembangan seni tradisi dalam menunjang pariwisata di Surakarta (Jurnal Penelitian Humaniora UMS Ali Imran A.M, Vol 6, No. 2, 2005).

(29)

13

tidak eksis atau tidak berlangsung lagi. Refungsionalisasi yang sering dilakukan adalah mengembangkan, menambah atau mengubah fungsinya yang lama dengan fungsi yang baru; (3) representasi, artinya menyajikan kembali, baik dalam frekuensi maupun dalam wujud, forum atau konteks yang bervariasi. Sebagai contoh adalah peristiwa festival kesenian yang sampe saat ini di selenggarakan di mana – mana dengan mementaskan beberapa jenis kesenian tradisional; (4) reformasi, yaitu perubahan formasi atau bentuk penyajian kesenian dari yang lama ke bentuknya yang baru, yang dianggap sesuai dengan kebutuhan, selera, waktu dan tempatnya yang baru; (5) reinterpretasi, yaitu memberi tafsir atau memberi makna baru terhadap suatu fenomena penyajian kesenian atau terhadap unsur ekspresi yang digunakan dalam kesenian tersebut; (6) reorientasi. Kesenian tradisional kehadirannya hampir selalu tidak mandiri, tapi berkaitan erat dengan kegiatan keseharian masyarakat, keagamaan atau kerajaan. Orirntasi kesenian tersebut tersirat dalam pesan yang di sampaikan oleh seniman melalui kekaryaannya; dan, (7) rekreasi, yaitu membuat atau meng-create lagi sesuatu yang (sama sekali) baru. Kesenian atau informasi lama digunakan sebagai sumber, pijakan atau titik tolak untuk penciptaan kesenian yang baru, baik dalam format maupun dalam genre.

(30)

14

yang berbeda, ataupun dengan meningkatkan fungsi dari teks-teks lain baik yang sejenis maupun berbeda, ataupun dengan meningkatkan fungsi dari teks-teks yang ada. Misalnya, mengadakan penyempurnaan pada unsur-unsur yang ada dalam kesenian itu sendiri, seperti memperbaiki unsur dan gaya tarian, iringan musik, dan aksesoris yang dipakai oleh seniman. Sementara itu, revitalisasi kontekstual adalah revitalisasi yang dijalankan dengan menggabungkan teks dengan teks-teks lain yang berasal dari luarnya, atau memanfaatkan sebuah teks untuk kepentinga teks-teks lain, misalnya, teks (kethoprak) dipentaskan untuk penerangan masyarakat, teks (wayang kulit) untuk kampanye politik, teks (pentas tari) untuk menarik wisatawan, dan teks (wayang wahyu) untuk bimbingan agama. Dalam revitalisasi kontekstual ini tidak ada yang harus dikorbankan; semua dapat diselamatkan dari fungsinya sendiri-sendiri.

(31)

15

2.2.2 Sejarah Wayang

Wayang adalah salah satu bentuk drama dan teater yang paling rumit dan halus yang secara terus menerus dikembangkan dari generasi ke generasi berikutnya (Usman, Isnawati, 2010: 4). Adapula yang mengatakan bahwa wayang adalah gambaran yang berupa bayangan tentang tata kehidupan nenek moyang kita dan didalamnya terdapat pesan dari tata kehidupan masa lampau (Soetomo, 2000: 80)

Menurut para ahli, wayang dikenal oleh bangsa Indonesia khusunya di pulau Jawa sejak tahun 1500 SM karena nenek moyang percaya bahwa setiap benda mati mempunyai roh yang baik dan jahat, agar tidak diganggu oleh roh jahat maka roh-roh tersebut dilukis dalam bentuk gambaran atau bayangan (wewayangan atau wayang) dan disembah serta diberi sesajen kepercayaan ini dikenal dengan animisme, kepercayaan ini berlangsung lama namun setelah kedatangan agama Hindu maka gambaran roh berubah fungsinya menjadi alat peraga untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama dan kini menjadi tontonan serta tuntunan (Pasha, 2011: 11). Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang kulit.

(32)

16

dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Silsilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem, yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu, masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem. Begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa (Pasha, 2010: 12). Beberapa jenis wayang yang populer di Indonesia, antara lain:

1. Wayang Beber

Wayang beber merupakan salah satu jenis wayang tertua di Indonesia. Dalam pertunjukan narasi ini, lembaran gambar panjang dijelaskan oleh sang dalang. Wayang beber tertua dapat ditemukan di Pacitan, Donorejo, Jawa Timur. Selain dari kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana, wayang beber juga menggunakan kisah-kisah dari cerita rakyat, seperti kisah asmara Panji Asmoro Bangun dan Dewi Sekartaji.

2. Wayang Kulit

(33)

17

Hindu dengan Budha dan Islam. Selain kisah-kisah religius, cerita-cerita rakyat serta mitos sering digunakan.

3. Wayang Klitik (Karucil)

Bentuk wayang ini mirip dengan wayang kulit, namun terbuat dari kayu, bukan kulit. Kata “Klitik” berasal dari suara kayu yang bersentuhan disaat wayang

digerakan atau saat adegan perkelahian. Kisah-kisah yang digunakan dalam drama wayang ini berasal dari kerajaan-kerajaan Jawa Timur, seperti Kerajaan Jenggala, Kediri, dan Majapahit. Cerita yang paling populer adalah tentang Damarwulan. Cerita ini dipenuhi dengan kisah perseturuan asmara dan sangat digemari oleh publik.

4. Wayang Golek

Pertunjukan ini dilakukan menggunakan wayang tiga dimensi yang terbut dari kayu. Jenis wayang ini paling populer di Jawa Barat. Ada dua macam wayang golek, yaitu wayang golek papak cepak dan wayang golek purwa. Wayang golek yang banyak dikenal orang adalah wayang golek purwa. Kisah-kisah yang digunakan sering mengacu pada tradisi Jawa dan Islam, seperti kisah Pangeran Panji, Damarwulan, dan Amir Hamzah, pamannya Nabi Muhammad SAW.

5. Wayang Wong

(34)

18

dan Sinta. Awalnya, wayang wong dipertunjukan sebagai hiburan para bangsawan, namun kini menyebar menjadi bentuk kesenian populer.

Berdasarkan wayang di atas tersebut merupakan beberapa contoh wayang yang masih populer di Indonesia karena masih banyak diminati oleh masyarakat. Bahkan dalam pertunjukannya pun semakin berkembang. Munculnya ide-ide nyleneh para dalang dengan menggunakan berbagai peralatan elektronik mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan, begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dalang, pesinden, maupun para juru karawitan. Skenarionya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dmembedakan mana yang cerita pakem dan mana cerita carangan. Walau demikian, garis besar struktur dramatikanya relatif tetap pathet nem, pathet sanga, lalu pathet manyura relatif standar dan tetap seperti juga mengenai inti filsafatnya sendiri yaitu wayang merupakan perlambang kehidupan sehari-hari. 2.2.3 Bentuk Pertunjukan Wayang

Handayani dalam Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang (Vol 2, No. 1, Nopember 2014), Unsur bentuk dalam pertunjukan wayang lebih utama menyangkut teknis pertunjukan meliputi dialog, cerita, tokoh, babak, amanat, dalang, sinden, pemain, pengrawit, sesaji, iringan, tata rias, tata busana, tata suara dan bahasa, tata lampu, tata panggung.

2.2.3.1 Dialog

(35)

19

tidak perlu, harus bicara terus terang, dan menuju sasaran (Tri Priyatni, 2010: 186,190). Bakdi Soemanto (Tri Priyatni, 2010: 222), dialog para tokoh disebut teks utama (hauptex), dan petunjuk lakuannya disebut teks sampingan (nebentext). Menurut (Lisbijanto, 2013: 31), dialog adalah percakapan antar pemain sebagai salah satu bentuk permainanya. Dialog memainkan peran yang amat penting karena menjadi pengarah lakon drama. Artinya, jalannya cerita diketahui oleh penonton lewat dialog para pemain. Agar dialog tidak hambar, pengucapannya harus disertai dengan penjiwaan emosional. Selain itu pelafalan harus jelas dan keras sehingga dapat di dengar penonton (Wiyanto, 2007 :13 ).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dialog dalam ketoprak merupakan percakapan antar pemain yang memerankan antar tokoh, dialog ini berperan menjadi pengarah lakon agar tidak hambar diaolog harus jelas, tegas, keras, disertai dengan penjiwaan emosional.

2.2.3.2 Lakon

Salam dalam Jurnal Humaniora, (No. 10 Januari-April 1999) cerita adalah suatu struktur yang utuh. Elemen-elemen struktur tersebut antara lain, tema dan masalah, alur, penokohan dan pusat pengisahan. Dalam hal ini tema memegang peranan penting, yakni sampai sejauh mana pengarang mengkristalkan berbagai pengalamannya sehingga menjadikannya sebagai satu ide yang menggerakan cerita. Di lain pihak, pusat pengisahan menjadi sangat relevan yakni dengan melihat posisi pengarang dalam menempatkan dirinya pada cerita.

(36)

20

prosa (Inggris: prose) sebagai salah satu genre sastra disamping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif

(narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse. Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa cerita adalah rangkaian peristiwa yang disampaikan, baik berasal dari kejadian nyata (non fiksi) seperti, legenda, ataupun tidak nyata (fiksi) seperti, dongeng dan fabel.

2.2.3.3 Babak

Babak adalah rangkuman peristiwa yang terjadi di suatu tempat dan pada waktu tertentu. Dalam pembagian babak dilakukan dengan saksama atas pertimbangan yang matang dan didorong oleh keinginan nyata. Kebutuhan yang berhubungan dengan pementasan, karena peristiwa yang dilukiskan tidak selamanya di suatu tempat dan waktu (Tri Priyatni, 2010:189). Babak merupakan bagian dari lakon dalam satu lakon drama terdiri dari satu,dua atau tiga babak bisa juga lebih. Dalam pementasan, batas antara babak satu dan babak lain ditandai dengan turunnya layar, atau lampu penerang panngung dimatikan. Bila lampu menyala namun layar tertutup biasanya ada perubahan penataan panggung yang menggambarkan setting yang berbeda, baik settting tempat, waktu, maupun suasana terjadinya suatu peristiwa (Wiyanto, 2007: 12).

(37)

21

2.2.3.4 Alur

Alur merupakan peristiwa atau beberapa peristiwa yang dapat disatu kelompokan dihubungkan maka akan terlihatlah susunan peristiwa secara kausalitas (sebab-akibat). Sebuah peristiwa akan menjadi penyebab atau akibat dari peristiwa yang lain atau sekelompok peristiwa lain (Hasanuddin, 1996: 89). Munculnya peristiwa yang dirangkai dengan peristiwa-peristiwa lain sehingga menjadi rangkaian peristiwa. Alur yang berkembang secara bertahap mulai dari konflik sederhana, kompleks, sampai penyelesaian konflik (Wiyanto, 2007: 25).

Berdasrkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa alur merupakan peristiwa dalam sebuah cerita yang saling sambung menyambung berdasarkan hubungan sebab-akibat.

2.2.3.5 Amanat

Amanat merupakan kristalik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar dan ruang cerita. Selain itu opini, kecenderungan, dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat dapat lebih dari satu, asal semuanya itu terkait tema (Hasanudin, 1996: 103). Amanat merupakan pesan moral yang ingin disampaikan peneliti kepada pembaca naskah atau penonton drama. Pesan tidak disampaikan secara langsung, tetapi lewat lakon naskah drama yang ditulisnya (Wiyanto, 2007:24).

(38)

22

2.2.3.6 Dalang

Dalang adalah manusia utama dan manusia inti dalam sajian pergelaran wayang. Ditinjau secara teknis, dalanglah yang memainkan dan mewakili pembicaraan tokoh-tokoh wayang. Dalang harus pandai memerankan watak pemarah, peramah, pengecut dan lain-lainnya sesuai dengan perlambang pada “wanda” dan warna muka tiap-tiap boneka wayang. Dengan kata lain dalanglah

yang memberi jiwa kepada boneka wayang, sehingga boneka wayang menjadi tokoh-tokoh yang hidup. Dalanglah yang berperan menghayati kehidupan manusia melalui tokoh-tokoh wayang (Witjaksono, 2006:19).

Dalang juga harus menguasai jalan cerita yang telah ditetapkan dalam lakon. (lakon dari kata laku artinya lakunya orang hidup sejak lahir sampai mati yang dilambangkan dalam perkeliran sejak “bedhol kayon” = adegan pertama

sampai “tancep kayon” = selesai pertunjukan). Dalam pergelaran wayang dalang

telah menyesuaikan dengan “pakem” atau kerangka pokok lakon. Dan dalang

pulalah yang mengkoordinasi, memberi aba-aba, dan menghentikan “gendhing” (lagu). Disamping itu juga untuk mempercepat atau memperlambat tempo, merubah irama gendhing, menguatkan atau melemahkan gendhing untuk mengiringi adegan-adegan dalam cerita drama wayang yang sedang diolah oleh dalang.

Dalang dalam kapasitasnya sebagai seniman senantiasa mendambakan agar bisa menempatkan diri sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Tugas utama (mendasar) dalang adalah menyampaikan isi lakon melalui aspek

(39)

23

bersifat moral, estetis, pemikiran, politis, hiburan, keagamaan, filosofis, dan sebagainya. Pesan yang disampaikan bukan berupa rumusan ilmiah, melainkan suatu pesan (simbolis) yang menghimbau atau memotivasi yang diharapkan mampu memicu alam imajinasi penonton (kesan) untuk memperoleh pengalaman atau pencerahan jiwa yang berbudi luhur (meningkatkan kualitas kemanusiawian), sehingga dapat mempengaruhi sikap atau mengubah perilaku penonton wayang (Jazuli 2003:111).

(40)

24

Berdasarkan paparan diatas, menunjukan bahwa dalang sebagai orang berbakat dan memiliki kompetensi seni pedalangan sangat berperan dalam memberi hiburan dan penerangan, menerjemahkan dan mengembangkan gagasan, mengakomodasi pesan dengan cara menggunakan kecakapan dan keterampilan berolah seni pedalangan. Kompetensi itu tampak pada kemampuannya dalam memainkan boneka wayang, cerdik bercerita, cerdas menafsirkan lakon secara menarik, canggih, lucu dan kontekstual. Dengan bakat dan kompetensi istimewa seperti itu dalang dapat dipandang sebagai seniman yang komplit dan prestisius. Dalang merupakan sebuah profesi yang langka karena tugas dan tanggung jawabnya memang relatif besar sehingga tidak setiap orang mampu menjadi dalang.

Berdasarkan keseluruhan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa dalang merupakan tokoh atau seniman yang paling utama dalam pertunjukan wayang yang dapat ditinjau secara teknis, dalang bertugas sebagai produser, sutradara dan aktor. Dalanglah yang memainkan dan mewakili pembicaraan tokoh-tokoh wayang, sehingga dalang harus pandai memerankan watak pemarah, peramah, pengecut dan sebagainya.

2.2.3.7 Sutradara

(41)

25

dan mengarahkan segala unsur pementasan (pemain dan properti), memberikan penafsiran pokok atas naskah, serta hal-hal lain, dengan kecakapannya sehingga mencapai sesuatu pementasan seni pertunjukan. Ia bertanggung jawab penuh menentukan corak dan warna pementasan, kemungkinan mendukung suatu pementasan (Tri Priyatni, 2010: 164).

Berdasarkan uraian d iatas dapat peneliti simpulkan bahwa sutradara merupakan orang yang bertanggungjawab di dalam jalannya suatu pertunjukan mengarahkan pemain memberikan contoh serta memilih naskah pemain, melatih pemain, dan koordinasi dengan setiap bagian.

2.2.3.8 Sinden

Pesindhen atau sindhen adalah sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra gamelan, umumnya sebagai penyanyi satu-satunya. Pesindhen yang baik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang luas dan keahlian vokal yang baik serta kemampuan untuk menyanyikan tembang atau melantunkan lagu (Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Menurut (Albiladiyah 2009) Seni pertunjukan tradisional di Indonesia sangat beragam termasuk didalamnya seni Jawa Karawitan, termasuk suara sinden. Pada masa sekarang orang melihat tampilan sinden atau pesinden dilayar televisi yang berkesan

(42)

26

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sinden merupakan seorang wanita yang menyanyikan atau melantunkan lagu sesuai dengan gending yang disajikan dalam suatu pertunjukan. Selain pandai menyanyi, sinden juga biasanya pandai menari. Pada pertunjukan dalang jemblung sinden biasanya hanya menyanyikan tembang jawa (macapat) tetapi jika ada penonton menginginkan menari, maka sinden pun akan menari.

2.2.3.9 Pemain/ aktor

Pemain adalah orang yang memeragakan cerita. Pemain harus dipilih secara tepat agar berhasil memerankah tokoh yang dibawakan. Pemain juga disebut actor. Actor merupakan orang yang melakukan acting. Actor bisa menjangkau pemain pria maupun wanita, khusus wanita disebut actris (Wiyanto, 2007 : 15). Pemain adalah orang-orang yang membawakan peran-peran dalam lakon, para pemain ini merupakan anggota grup dalang jemblung yang mempunyai keahlian dalam menari, memainkan peran tokoh tertentu, menguasai gendhing-gendhing tertentu, menguasai musik gamelan dan bisa acting (Lisbijanto, 2013:31).

Berdasarkan uraian di atas dapat peneliti sampaikan bahwa pemain adalah orang yang berperan mamainkan tokoh dalam cerita, baik berperan secara protagonis maupun antagonis, dan menguasai gendhing-gendhing gamelan.

2.2.3.10 Sesaji

(43)

27

ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak mengganggu. Pemberian makan secara simbolik kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak dan mau membantu hidup manusia (Endraswara, 2003: 195).

Menurut Rosida dan Eny Kusumastuti (Jurnal Seni Tari UNNES, Vol 1, No. 1, 2012), Kelengkapan sesaji menjadi syarat penting dalam sebuah pertunjukan. Sesaji terdiri dari tumpeng lengkap dengan lauk pauknya, jajanan pasar, pisang raja, telur ayam, ingkung, kembang, kopi dan teh.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa sesaji merupakan tanda penghormatan atau rasa syukur yang dilakukan untuk memuja para dewa atau roh-roh tertentu yang diyakini dapat mendatangkan keberuntungan dan sekaligus dapat menolak kesialan. Sesaji terdiri dari Nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauknya, jajanan pasar, telur ayam, ingkung, pisang raja, kembang, kopi dan teh.

2.2.3.11 Iringan

(44)

28

Musik pengiring diperlukan agar suasana yang digambarkan terasa lebih meyakinkan dan lebih mantap bagi para penonton (Wiyanto, 2007: 43).

Berdasarkan di atas dapat peneliti simpulkan iringan dalang jemblung merupakan sarana untuk mengekspresikan suasana dalam cerita biasanya digunakan sebagai pengiring adegan untuk memberikan tekanan dramatik dalam cerita dan sebagai penyekat antar adegan. Sedangkan bunyi-bunyian merupakan suara instrument yang mengilustrasikan suatu adegan dan memperkuat suasana. 2.2.3.12 Tata Rias

Rias berfungsi antara untuk mengubah karakter pribadi menjadi karakter tokoh yang sedang dibawakan, untuk memperkuat ekspresi, dan untuk menambah daya tarik penampilan. Tata rias panggung dibedakan menjadi dua, yaitu tata rias panggung/ pentas biasa (tertutup) dan tata rias panggung arena (terbuka). Untuk penataan rias panggung tertutup dianjurkan agar lebih tegas, jelas garis-garisnya, dan lebih tebal, karena biasanya penonton melihat pertunjukan dalam jarak yang cukup jauh. Untuk tata rias panggung arena atau terbuka seringkali penonton berada lebih dekat dengan pertunjukannya sehingga pemakaian rias tidak perlu terlalu tebal, dan yang lebih utama harus nampak halus atau rapi. Ketepatan dan kerapian dalam pemakaian rias akan sangat membantu mengekspresikan peranan atau menambah daya tarik pertunjukan (Jazuli, 2008: 23).

(45)

29

2.2.3.12.1 Rias Korektif adalah rias wajah yang bertujuan untuk memperbaiki bagian-bagian wajah yang tidak sempurna. Seperti memperbaiki bentuk alis, bentuk hidung dan bentuk bibir.

2.2.3.12.2 Rias Fantasi adalah rias wajah hasil dari angan-angan atau imajinasi. 2.2.3.12.3 Rias Karakter adalah rias wajah yang bertujuan untuk memperjelas

karakter tokoh pada suatu pertunjukan (Pekerti, 2008: 36).

Berdasarkan uraian tata rias di atas dapat disimpulkan bahwa tata rias juga sangat penting dalam sebuah pertunjukan seni (wayang, drama, tari dan musik) walaupun elemen pokok dari wayang adalah suara ataupun bahasa, namun tata rias juga sangat berperan dalam mempertegas watak sebuah tokoh dalam pertunjukan wayang, drama dan teater. Tata rias membantu memperkuat ekspresi penokohan dan untuk menambahkan daya tarik para tokoh terhadap penonton. Rias harus terlihat bersih dan rapi serta garis-garis rias harus jelas sesuai dengan karakter peranannya. Tata rias dalam sebuah pertunjukan tidak hanya tata rias wajah, tetapi juga tata rias pada rambut.

2.2.3.13 Tata Busana

Kostum adalah pakaian para pemain yang dikenakan pada saat memerankan tokoh cerita dipanggung. Tata busana adalah pengaturan pakaian pemain baik bahan, model, maupun cara pemakaiannya (Wiyanto, 2007: 15, 39).

(46)

30

simbolis. Warna merah merupakan simbol keberanian dan agresif. Warna biru merupakan simbol kesetiaan dan mempunyai kesan sejuk serta menentramkan. Warna kuning merupakan simbol keceriaan atau berkesan gembira. Warna hitam merupakan simbol kebijaksanaan atau kematangan jiwa. Warna putih merupakan simbol kesucian atau bersih (Jazuli, 1994: 18-19).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa rias sangat penting dalam pengekspresian karakter tokoh yang diperankan melalui rias wajah, rambut serta busana yang digunakan untuk memperkuat ekspresi pemain sehingga menambah daya tarik pertunjukan.

2.2.3.14 Tata Suara Dan Bahasa

Penataan suara dapat dikatakan berhasil bila dapat menjadi jembatan komunikasi antara pertunjukan dengan penontonya, artinya penonton bisa mendengar dengan baik dan jelas tanpa ganguan apapun sehingga terasa nyaman (Jazuli, 2008: 30). Tata suara yang dimaksud bukan hanya pengaturan pengeras suara (soundsystem), melainkan juga musik pengiringnya (Wiyanto, 2001:43). Kesimpangsiuran pemakaian istilah untuk tatasuara, terutama istilah menyebutkan beberapa istilah yang biasanya digunakan dalam praktik pemanfaatan suara di dalam pementasan, yaitu sound (bunyi), voice (suara), desah, tone (nada) dan hume (dengung) (Tri Priyatni, 2010: 160).

(47)

31

yang mengungkapkan pikiran dan perasaan, peneliti lakon harus pandai memilih kata yang tepat sesuai dengan makna yang ingin disampaikan dan pandai merangkainya menjadi kalimat komunikatif dan efektif (Wiyanto, 2007:29).

Berdasarkan ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa tata suara dalam dalang jemblung merupakan penghubung komunikasi antara pertunjukan dengan penonton yang berjumlah banyak dan jarak yang jauh dari tempat pertunjukan sehingga penonton dapat mendengar dan mengerti dialog tokoh yang diwujudkan melalui bahasa lisan.

2.2.3.15 Tata Lampu

Penataan lampu atau sinar bukanlah sekedar penerangan semata, melainkan juga berfungsi untuk menciptakan suasana atau efek dramatik dan memberi daya hidup pada sebuah pertunjukan tari, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penataan lampu dapat dikatakan berhasil bila dapat memberikan kontribusi terhadap objek (Jazuli, 2008: 29). Pencahayaan didalam suatu pementasan, selain untuk memberikan penerangan juga bertujuan untuk menimbulkan efek dramatik, estetik dan artistic (Tri Priyatni, 2010: 160). Pencahayaan dalam pementasan di malam hari merupakan bagian yang mendasar, pemakaian cahaya sangat mendukung penampilan serta menguatkan suasana dan karakter tiap tokohnya (Haryono dkk, 2011: 86). Tata lampu adalah pengaturan cahaya di panggung. Lampu erat hubungannya dengan tata panggung (Wiyanto: 2007:41).

(48)

32

warna cahaya yang ditimbulkan terhadap warna busana yang dipakai dalam pertunjukan, sehingga pertunjukan akan semakin menarik.

2.2.3.16 Tata Panggung

(49)

33

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk tempat pertunjukan dapat dilakukan dimana saja dengan model ketinggian panggung yang berbeda sehingga penonton dapat menyaksikan pertunjukan.

2.3 Fungsi Seni Pertunjukan

Di Indonesia terdapat banyak organisasi seni pertunjukan yang tersebar di berbagai tempat, di kota besar, di kota kecil, dan bahkan di pelosok pedalaman. Masing-masing organisasi tentu memiliki tujuan atau misi yang akan dicapai oleh organisasi bersangkutan. Dengan demikian tata cara pengelolaan pun telah dilakukan sesuai dengan misi, fungsi, dan stratanya. Apabila dicermati berdasarkan sisi penikmatnya, secara garis besar seni pertunjukan memiliki tiga fungsi primer yaitu, (Soedarsono: 2002): 1) sebagai sarana ritual, 2) sebagai sarana hiburan pribadi, 3) sebagai presentasi estetis.

Fungsi sebagai sarana ritual, jelas bahwa penikmatnya adalah kekuatan yang tak kasat mata seperti dewa, arwah nenek moyang. Apabila penikmatnya adalah pelakunya sendiri, seperti misalnya pertunjukan tayub, bajidoran, maka fungsi seni tersebut tentu sebagai sarana hiburan. Namun jika penikmatnya adalah penonton yang harus membayar maka fungsi seni pertunjukan dimaksud sebagai presentasi estetis.

(50)

34

menyenangkan hati. Sebagai tontonan atau hiburan seni pertunjukan ini biasanya tidak ada kaitannya dengan upacara ritual. Pertunjukan ini diselenggarakan benar-benar hanya untuk hiburan misalnya tampil pada peringatan kelahiran, resepsi pernikahan dan bertujuan untuk memberi pengalaman estetis kepada penonton. Seni pertunjukan disajikan agar dapat memberi kepuasan pada mata dan hati penontonnya, oleh karena itu sebagai seni pertunjukan memerlukan pengamatan yang lebih serius dari pada sekedar untuk hiburan. Sebagai seni pertunjukan/ tontonan adalah tergolong pertunjukan, karena pertunjukannya lebih mengutamakan bobot nilai seni dari tujuan lainnya. Fungsi hiburan pada dasarnya terbagi menjadi 2, yaitu: 1) Hiburan bagi penonton dan 2) Hiburan bagi pemain.

Sudut pandang penonton mengenai fungsi seni sebagai hiburan, banyak penonton yang menghadiri acara pertunjukan hanya untuk memperoleh sesuatu yang menghibur. Kategori menghibur penonton melihat dari kostumnya yang menarik dan pantas, iringannya cocok, dan penyajiannya rapi dan lancer (Sedyawati 1986: 159-160). Selain pertunjukan berfungsi sebagai hiburan untuk penonton, pertunjukan juga berfungsi sebagai hiburan bagi para pemainnya. Pemain atau niaga, sinden dan dalang dapat menjadikan pertunjukan sebagai hiburan, karena mereka mampu mempunyai kepuasan batin pada saat pertunjukan, dan pemain juga dapat memenuhi kebutuhan estetiknya dengan cara berekspresi melalui pertunjukan (Soedarsono 2002: 132).

(51)

35

norma-norma sosial ataupun pndangan hidup yang berlaku dalam masyarakat (Soeteja, 2009: 7).

Seniman yang berhasil bukan semata-mata karena karya-karyanya memenuhi ukuran keindahan yang relatif, melaikan karena kemampuanya menyampaikan pesan-pesan, serta tergantung kepada kemampuan masyarakat untuk menangkapnya dengan mengacu pada nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial yang hidup. Berdasarkan logika itulah Budhisantoso 1994 (dalam Soeteja, 2009: 7), sampe pada kesimpulan bahwa kesenian apapun perwujudannya, mempunyai fungsi sosial yang amat penting, artinya sebagai sarana pembinaan masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan. Fungsi tersebut adalah:

1. Sarana kesenangan dan hiburan

Seni berfungsi sebagai sarana kesenangan. Melalui karya seni, orang dapat menyalurkan energinya yang berlebih untuk memberikan kesenangan pribadi. Disela-sela waktunya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, orang akan menyisihkan waktu untuk mencari kesenangan. Salah satu sarana dan penyaluran energi yang berlebih itu iyalah dengan melakukan kegiatan berkesenian diantaranya dengan menikmati dan menghasilkan karya-karya seni untuk memberi kesenangan pribadi.

(52)

36

2. Sarana pernyataan jati diri

Melalui karya seni memungkinkan seseorang menyatakan kepribadianya secara lebih leluasa. Umumnya melalui karya seni orang tidak perlu malu-malu menyatakan dan mengungkapkan jati dirinya, dan dengan mudah menggunakan karya-karya seni untuk mengungkapkan perasaan dan pemikiran yang mencerminkan kepribadianya secara terus terang, sehingga memperoleh pengakuan masyarakat dan bahkan tidak jarang menjadi pujaan (idola).

3. Sarana integratif

Peryataan dan perwujudan pemikiran seorang seniman dapat disalurkan melalui karyanya, untuk merangsang kepekaan pengertian masyarakat, sehingga menimbulkan tanggapan emosional yang dapat menumbuhkan rasa kebersamaan yang mengikat diantara penikmatnya.

4. Sarana pendidikan

(53)

37

Sejarah

Revitalisasi Kesenian Dalang Jemblung di Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas

Dalang Jemblung di Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas

Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1.

14. Tata Suara dan Bahasa 15. Tata Lampu

(54)

38

Pada penelitian ini peneliti akan mendeskripsikan dan menjelaskan bagaimana revitalisasi kesenian Dalang Jemblung di Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas. Revitalisasi dilakukan dengan cara mendeskripsikan mengenai sejarahnya dalang jemblung di Kabupaten Banyumas dan menampilkan kembali bentuk pertunjukan Dalang Jemblung yang meliputi dialog, lakon, babak, alur, amanat, dalang, sutradara, sinden, pemain/ aktor, sesaji, iringan, tata rias, tata busana, tata suara dan bahasa, tata lampu, dan tata panggung agar kesenian Dalang Jemblung terlihat lebih menarik dan diminati masyarakat. Fungsi pertunjukan Dalang Jemblung bagi masyarakat yaitu sebagai hiburan yang ditinjau dari sudut pandang penonton dan dari sudut pandang pemain.

(55)

100 BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan

(56)

101

mempertegas bagian dari wajah, dan untuk pemain laki-laki hanya menambahkan alas bedak saja.

Fungsi pertunjukan seni dalang jemblung adalah sebagai hiburan artinya pertunjukan tersebut menjadi salah satu sarana hiburan bagi mereka untuk mendapat kesenangan dan kegembiraan. Fungsi hiburan terbagi menjadi dua, yaitu hiburan bagi penonton dan hiburan bagi pelaku (pemain). Hiburan dari sudut pendang penonton ditinjau dari penampilannya yang lucu saat memainkan perannya, sehingga penonton merasa terhibur dan merasa senang setelah menonton pertunjukan dalang jemblung. Hiburan dari sudut pandang pemain, kegiatan pentas dalang jemblung dapat memberikan rasa senang dan kepuasan yang dapat dinikmati menurut seleranya sendiri, yaitu seni dalang jemblung sebagai kegiatan selingan dari pekerjaan rutinnya. Pementasan Dalang Jemblung dipentaskan bersamaan dengan kebutuhan lain seperti HUT Kabupaten Banyumas, HUT RI, dan peringatan Hari Raya Idul Fitri.

5.2 Saran

(57)

102

(58)

103

DAFTAR PUSTAKA

Albiladyah, Samrotul Ilmi. 2009. Jantra: Jurnal Sejarah dan Budaya. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.

http://library.um.ac.id/majalah/printmajalah3.php/34726.html

Ali Imran, Jornal Humaniora UMS, (Vol 6, No. 2, 2005).

Amirul, Hadi dan Haryono. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Atmono. 2007. Babad Banyumas.Purwokerto: Udi Sejahtera.

Budiono, Herusatoto. 2008. Banyumas Sejarah Budaya Bahasa dan Watak.

Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara.

Dinar, Anggraenii. 2014. Revitalisasi dan Sosialisasi Tari Daeng Di SMA N 1 Bobotsari Kabupaten Purbalingga.Skripsi.UNNES Semarang.

Endraswara, Suwardi. 2005. Tradisi Lisan Jawa Warisan Abadi Budaya Leluhur.Yogyakarta: Narasi.

. 2003. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa.Jogjakarta: Narasi.

Esa, Fatma. 2012. Tesis Makna Simbolik Kesenian Wayang Tutus dalm Kehidupan Masyarakat Desa Balapulang Kulon Kabupaten Tegal.

[Semarang]: Universitas Negeri Semarang.

Haryono, Timbul dkk. Sendratari Mahakarya Borobudur. 2011. Jakarta: KPG.

Handayani, Journal Ilmiah Pendidikan IKIP Veteran Semarang, (Vol 02, No. 1, Nopember 2014).

Hasanuddin, WS. 1996. Drama Dua Dimensi Kajian Teori, Sejarah dan Analisis.Bandung: ANGKASA.

Herawati, Nanik. 2009. Kesenian Tradisional Jawa. Klaten: PT Macanan Jaya Cemerlang.

Herawati, Nanik. dan Wibisana, Bayu. 2010. Teater Rakyat Jawa. Klaten: Intan Pariwara.

(59)

104

. 2008. Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni. Semarang: UNNES PRESS.

. 2008. Pendidikan Seni Budaya Suplemen Pembelajaran Seni Tari.

Semarang: UNNES PRESS.

Kasiyan, Journal Humaniora, (Vol 15, No. 1, 2013)

Koentjaraningrat, 1993. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat Edisi Paripurna. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lathief, Halilintar. 1986. Pentas Sebuah Perkenalan. Yogyakarta: Lagaligo Yogyakarta.

Lisbijanto, Herry. 2013. Ketoprak. Yogyakarta: Lagaligo Yogyakarta.

Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial. Jakarta: Rajawali Pers.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja RosdaKarya.

. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja RosdaKarya.

Nurhayati. 2014. Revitalisasi Seni Pertunjukan Dulmuluk: Upaya Pemertahanan dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra.

Palembang: Srijaya Bukit Besar.

Pasha, Lukman. 2011. Buku Pintar Wayang. Yogyakarta: Bentang Pustaka. Rosida, Eny Kusumastuti, Journal Seni Tari UNNES, (Vol 1, No. 1, 2012). Salam, Journal Humaniora, (No. 10, Januari-April 1999).

Sarosa, Samiaji. 2012. Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar. Jakarta: PT. Indeks.

Soedarsono. 1998. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(60)

105

Soeteja, Zakarias dkk. 2009. Pendidikan Seni. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

. .1999. Seni Pertunjukan dan Pariwisata Rangkuman Esai tentang Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

Sri Wahyuni. 2015. Audio Visual Wayang Jemblung Sebagai Media Pembelajaran Menyimak Cerita Rakyat Siswa Kelas X SMA di Kabupaten Banyumas. Skripsi.UNNES Semarang.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuatitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Sumaryanto, Totok. 2007. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan Seni. Semarang: UNNES PRESS.

Tri Priyatni, Endah. 2010. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis.

Jakarta: PT Bumi Angkasa.

Tri Wahyuni, Ni Nyoman, Journal UNY. (Vol 39, No. 2, 2009). Usman Syafaruddin, Din Isnawita. 2010. Wayang. Jakarta: Cakrawala.

Warto. 2014. “Revitalisasi Kesenian Kethek Ogleng untuk Mendukung Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Wonogiri” (jurnal paramita, Vol 24, No. 1, 2014).

Widjono. 2008. Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Grassindo.

(61)

Gambar

Tabel 4.2 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Notog  ..........................................

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini, penurunan motilitas spermatozoa hingga mencapai 40% membutuhkan waktu selama 10 jam, hal ini berarti spermatozoa entok dapat disimpan dalam pengencer

Melihat hal ini, media-media yang ada ini sesungguhnya adalah sebagai perantara informasi, agar pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat

Gambar 4.2.2 Grafik Hubungan Diameter Pipa Osilasi vs Efisiensi Pompa pada Head 1,5 m.

The first part analyzes Mackenzie Allen Phillips’ character before The Great Sadness and the second part discusses Mack’s reaction toward the death of Missy, his beloved

gawai, serta interaksi sosial seperti apa yang dapat membuat orang

q JD dapat diperoleh sebagai hasil pengukuran arus lalu lintas eksisting (untuk melakukan evaluasi kinerja), atau sebagai hasil prediksi (untuk menetapkan Tipe

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis ucapkan karena skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh Penerapan Total Quality Management (TQM) Terhadap Kinerja Perusahaan dengan

Pada dasarnya orang yang membaca dengan baik adalah orang yang. biasanya berpikir baik dan dia memiliki suatu dasar pendapat, suatu