• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Kota Medan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi

Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama ≥ 3

bulan, berdasarkan kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan presentasi berupa kelainan struktur hispatologi ginjal, dan pertanda kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah dan urin, atau uji pencitraan ginjal, serta LFG <60mL/menit/1,73m2 (Sukandar, 2006).

The National Kidney Foundation (2002) mendefinisikan gagal ginjal kronik sebagai adanya kerusakan ginjal, atau menurunnya tingkat fungsi ginjal untuk jangka waktu tiga bulan atau lebih. Gagal ginjal kronik ini dapat dibagi lagi menjadi 5 tahap, tergantung pada tingkat keparahan kerusakan ginjal dan tingkat penurunan fungsi ginjal. Tahap 5 disebut sebagai stadium akhir penyakit ginjal (end stage renal disease / end stage renal failure). Tahap ini merupakan akhir dari fungsi ginjal. Ginjal bekerja kurang dari 15% dari normal (Corrigan, 2011).

(2)

2.1.2 Etiologi

Beberapa penyakit yang secara permanen merusak nefron dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi begitupun sebaliknya pada hipertensi kronik dapat menyebabkan terjadinya penyakit ginjal. Kira – kira 10% hipertensi yang terdapat pada GGK berhubungan dengan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron (Sukandar, 2006).

Dalam kondisi normal terdapat autoregulasi pada ginjal yang memungkinkan terdapatnya aliran darah yang tetap pada ginjal sekaligus mempertahankan laju filtrasi glomerolus (LFG) pada tekanan rerata arteri sebesar 80 – 160 mmHg. Mekanisme ini berjalan melalui mekanisme reflek miogenik dan tubuloglomerular feedback. Pada kondisi yang abnormal kemampuan vasodilatasi sebagai akibat autoregulasi ginjal hanya dapat dilakukan sampai tekanan arteri rerata sebesar 80 mmHg. Di bawah nilai tersebut laju filtrasi ginjal dan aliran darah ginjal ikut turun. Tekanan arteri rerata yang tinggi tidak dapat lagi diatur oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan tekanan intraglomerulus yang dapat mengakibatkan kerusakan glomerulus dan menurunnya fungsi ginjal (Williams, 2005).

Beberapa penyakit yang dapat merusak nefron dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik. Penyebab utama penyakit GGK adalah diabetes melitus yaitu sebesar 30%, hipertensi 24%, glomerulonefritis 17%, pielonefritis kronik 5% dan yang terakhir tidak diketahui penyebabnya sebesar 20% (Milner, 2003).

(3)

batas normal, menyebabkan kerusakan organ – organ vital tubuh seperti jantung dan ginjal, serta pembuluh darah, syaraf dan mata. Tekanan darah yang tinggi atau hipertensi, terjadi apabila tekanan darah pada pembuluh darah meningkat dan jika tidak dikawal, hipertensi bisa menjadi puncak utama kepada serangan jantung, stroke dan gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga bisa menyebabkan hipertensi (NKF, 2004).

2.1.3 Patofisiologi

Gagal ginjal kronik tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertropi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi. Gagal ginjal kronik terjadi secara progresif dan melalui beberapa tahapan, yaitu : berkurang cadangan ginjal, insufisiensi ginjal, penyakit ginjal tahap akhir. Perjalanan penyakit ginjal kronik biasanya diawali dengan cadangan ginjal yaitu fungsi ginjal sekitar 3 – 50%. Berkurang fungsi ginjal tanpa akumulasi sampah metabolik dalam darah sebab nefron yang tidak rusak akan mengkompensasi nefron yang rusak. Walaupun tidak ada manifestasi gagal ginjal pada tahap ini, jika terjadi infeksi atau kelebihan (overload) cairan atau dehidrasi, fungsi renal pada tahap ini dapat terus menurun (Smeltzer, et al., 2008).

(4)

2.1.4 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

Klasifikasi derajat penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) sangat penting untuk panduan terapi konservatif dan saat dimulai terapi pengganti faal ginjal. Derajat penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG sesuai dengan rekomendasi National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF-K/DOQI, 2013) dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi GGK berdasarkan derajat penyakit ginjal kronik

Derajat Penjelasan LFG

(ml/menit/1,73m2) 1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

meningkat ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 60-89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang 30-59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 15-29

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

2.1.5 Penatalaksanaan

(5)

2.2 Hemodialisis

2.2.1 Defenisi

Hemodialisis sebagai terapi yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia. Hemodialisis merupakan metode pengobatan yang sudah dipakai secara luas dan rutin dalam program penanggulangan gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik (Smeltzer, et al., 2008).

Sehelai membran sintetik yang semipermiable menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter ginjal yang terganggu fungsinya itu pada penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal (Smeltzer, et al., 2008).

Hemodialisis memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin di luar tubuh. Hemodialisis memerlukan jalan masuk kealiran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (Fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2013).

2.2.2 Indikasi Hemodialisis

Hemodialisis digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen (Smeltzer et al, 2008).

(6)

hemodialisis pada gagal ginjal kronis adalah: 1) LFG kurang dari 15ml/menit; 2) hiperkalemia; 3) asidosis; 4) kegagalan terapi konservatif; 5) kadar ureum lebih dari 200mg/dL dan kreatinin lebih dari 6 mEq/L; 6) kelebihan cairan; 7) anuria berkepanjangan lebih dari 5 hari. Pasien gagal ginjal kronik harus menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya sampai mendapat ginjal baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien memerlukan tetapi dialisis yang kronis bila terapi ini diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala uremia (Smeltzer, et al., 2008).

2.2.3 Tujuan Hemodialisis

Hemodialisis akan dapat membantu penderita dengan mempermudah kerja ginjal. Mengekskresi zat-zat sisa hasil metabolisme, garam, dan cairan yang berlebih agar tidak terakumulasi dalam sirkulasi tubuh, beberapa zat kimia dalam kadar yang aman bagi tubuh. Selain itu, proses hemodialisis juga akan meregulasi tekanan darah pasien (NKF, 2013).

2.2.4 Prinsip Dasar Hemodialisis

Mesin dialisis memiliki suatu filter yang di sebut dializer, atau ginjal artifisial. Untuk dapat menyaring darah melalui dializer maka harus dibuat suatu akses pada pembuluh darah, hal ini dapat di lakukan dengan bedah minor, biasanya pada lengan penderita (NKF, 2013).

(7)

konsentrasinya rendah. Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan: dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapar ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan ). Dimana terdapat tiga sarana hubungan sirkulasi atau akses pembuluh darah yang digunakan yaitu: (a) kateter subklavia dan femoralis, (b) fistula, (c) tanur (Smeltzer, et al., 2008).

2.3 Hipertensi

2.3.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah salah satu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Kebanyakan pasien hipertensi etiologi patofisiologinya tidak diketahui atau yang dikenal sebagai hipertensi primer (Depkes RI, 2006).

(8)

Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII (Chobanian, 2003).

Klasifikasi Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Pre Hipertensi 120-139 80-89

Stage I 140-159 90-99

Stage II ≥160 ≥100

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Berdasarkan etiologi patofisiologinya hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer (essensial) yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol dan kelompok penderita hipertensi lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus yang dikenal sebagai hipertensi sekunder (non essensial). Banyak faktor penyebab hipertensi sekunder, endogen maupun eksogen. Bila penyebab penderita hipertensi sekunder dapat diidentifikasi maka kemungkinan dapat disembuhkan secara potensial (Depkes RI, 2006).

2.3.2 Hipertensi Primer

(9)

Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam satu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen – gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi – mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitrit oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen (Depkes RI, 2006).

2.3.3 Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder meliputi 5 – 10% kasus hipertensi, termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat – obatan dan lain – lain (Nafrialdi, 2007). Penyakit ginjal merupakan penyebab penyakit hipertensi sekunder yang paling sering. Obat – obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati atau mengoreksi kondisi penyakit lain yang menyertainya merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006).

2.3.4 Patofisiologi Hipertensi

(10)

penyebab yang spesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui penyebabnya (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi sekunder bernilai kurang dari 10% kasus hipertensi, pada umumnya kasus tersebut disebabkan oleh penyakit ginjal kronik. Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah adalah kortikosteroid, estrogen, AINS (Anti Inflamasi Non Steroid), amfetamin, siklosporin. Multifaktor yang dapat menimbulkan hipertensi primer adalah ketidaknormalan humoral meliputi sistem renin angiotensin aldosteron (Sukandar, 2008).

Banyak faktor patofisiologi yang telah dihubungkan dalam penyebab hipertensi seperti meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik, mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress psikososial, produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor, asupan natrium (garam) berlebihan, tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium, meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II, aldosteron dan defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oksida (NO), dan peptida natriuretik (Depkes RI, 2006).

(11)

2.3.5 Farmakoterapi Hipertensi

Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner, stroke atau penyakit ginjal kronik. Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan adalah <140/90 mmHg untuk pasien dengan tanpa komplikasi, <130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit komplikasi (Chobanian, 2003).

Menurut JNC VIII (2013), target penurunan tekanan darah berbeda-beda pada pasien hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi seperti terlihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi menurut JNC VIII (James, dkk., 2014)

(12)

berbeda dimulai apabila penggunaan obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mmHg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah risiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien – pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia (Depkes RI,2006).

Komplikasi penyakit hipertensi dengan penyakit lain seperti penyakit jantung koroner, stroke, gagal jantung dan infark miokard memiliki alogaritma terapi yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 2.2.

(13)

2.4 Penyakit Hipertensi pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Berkembangnya penyakit GGK dapat diatasi dengan pengobatan hipertensi. Diuretik, ß-blocker, Angiotensin Converting Enzyme-Inhibitor (ACE-I), dan antagonis kalsium semuanya efektif pada pasien dengan gagal ginjal dini. ACE-I dan Calsium Channel blocker (CCB) tidak mengubah metabolisme glukosa atau lipid, memiliki efek yang diinginkan pada hipertrofi ventrikel kiri dan memiliki efek nefroprotektif potensial dengan mengurangi peningkatan resistensi vaskular ginjal. ACE-I memiliki manfaat tambahan berupa berkurangnya proteinuria pada pasien baik dengan penyakit diabetik maupun nondiabetik (Rubenstein, et al., 2005).

2.5 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Tujuan dari pengobatan hipertensi pada penyakit GGK adalah untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan resiko terjadinya Cardio Vaskular Disease pada pasien hipertensi dan memperlambat progresi penyakit ginjal pada pasien dengan atau tanpa hipertensi (NKF, 2013). Berkembangnya penyakit GGK dapat diatasi dengan pengobatan hipertensi. Diuretik, β-blocker, ACE-I, dan antagonis kalsium semuanya efektif pada pasien dengan gagal ginjal dini. ACE-I memiliki manfaat tambahan berupa berkurangnya proteinuria pada pasien baik dengan penyakit diabetik maupun nondiabetik (Rubenstein, et al., 2005). Obat ini harus diberikan dengan hati – hati karena bisa menurunkan aliran darah ginjal dan memicu gagal ginjal akut, khususnya bila ada stenosis arteri renalis (Suwitra, 2006).

(14)

sehingga tekanan intraglomerular menjadi bervariasi menyesuaikan dengan tekanan arteri rerata. Gangguan pada autoregulasi ginjal menjelaskan mengapa pada pasien dengan hipertensi dan penyakit ginjal kronik lebih cenderung terjadi peningkatan kadar serum kreatinin ketika tekanan darah menurun (Williams, 2005).

Terdapat banyak kelas atau golongan obat antihipertensi yang dapat digunakan, tetapi beberapa obat yang sering digunakan dan direkomendasikan sebagai first-line therapy, yaitu ACE-inhibitor, ARB, β-blocker, CCBs dan diuretik. Penggunaan obat – obat ini harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemilihan obat awal pada pasien harus mempertimbangkan banyak faktor antara lain: umur, riwayat perjalanan penyakit, faktor risiko, kerusakan target organ, diabetes, indikasi dan kontraindikasi. Indikasi spesifik dan target dalam strategi pemilihan obat antihipertensi tergantung dari profil faktor risiko, penyakit penyerta seperti diabetes, penyakit ginjal, dan pembesaran atau disfungsi ventrikel kiri (Sutter, 2007).

2.5.1 Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)

(15)

Golongan obat ini menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang terdapat di jaringan. AT1 memediasi efek angiotensin II yaitu

vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan kontriksi arteriol eferen glomerulus. Penghambat reseptor angiotensin tidak menghambat reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi, efek

yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan

dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh selama penggunaan obat ini. ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan ACE-I karena tidak menghambat degradasi bradikinin yang menyebabkan batuk kering. Sama halnya dengan ACE-I, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi ortostatik (Depkes RI, 2006).

2.5.2 Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-blocker)

Penghambat adrenoreseptor beta menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik norephineprin dan ephineprin endogen maupun obat adrenergik eksogen pada adrenoreseptor beta. Efek terhadap sistem kardiovaskuler merupakan efek β-blocker yang terpenting, terutama akibat kerjanya pada jantung. β-blocker mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard. Disamping itu, hambatan sekresi renin dari ginjal melalui reseptor β1 juga menimbulkan efek

hipotensif. Sebagian sekresi renin akibat diet rendah natrium juga diblok oleh β -blocker. Contoh obat ini adalah propanolol, bisoprolol, dan atenolol (Setiawati dan Sulistia, 2011).

Mekanisme penghambat β adalah menghambat reseptor β1 pada otot

(16)

selektif hanya memblok reseptor β1 dan tidak memblok reseptor β2. Penghambat

beta non selektif memblok kedua reseptor baik β1 maupun β2. Adrenoreseptor β1

dan β2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkonsentrasi pada organ – organ dan

jaringan tertentu. Reseptor β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan reseptor

β2 lebih banyak ditemukan pada paru – paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri.

Perangsangan reseptor β1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan

renin. Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatasi dan vasodilatasi.

Atenolol dan metoprolol adalah penyekat β yang kardioselektif, jadi lebih aman daripada penyekat β yang nonselektif seperti propanolol untuk pasien asma,

PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes (Harvey, 2009).

Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-blocker

dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain: 1) penurunan frekuensi

denyut jantung dan konraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung, 2) hambatan sekresi renin di sel juktaglomeruler ginjal menyebabkan penurunan produksi angiotensin II, 3) efeksentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesa prostasiklin (Nafrialdi, 2007)

Penggunaan β-blocker non selektif dapat menyebabkan bronkospasme pada penderita asma karena pada saluran pernafasan terdapat reseptor β2 yang

berfungsi sebagai vasodilator. Pada penderita diabetes, β-blocker akan meningkatkan kadar glukosa darah melalui penghambatan reseptor β2 di hati.

(17)

2.5.3 Penghambat Kanal Kalsium (CCB)

Penghambat kanal kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan menurunkan kalsium intraseluler. Ion kalsium di jantung mempengaruhi kontraktilitas otot jantung. Kelebihan ion ini akan menyebabkan kontraksi otot jantung meningkat sehingga akan meningkatkan tekanan darah. Antagonis kalsium bekerja menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas jantung kembali normal. Obat – obat yang termasuk dalam golongan ini adalah verapamil, diltiazem, nifedipin dan amlodipin. Obat golongan ini efektif menurunkan tekanan darah baik penggunaan tunggal maupun kombinasi. Untuk terapi hipertensi golongan obat ini sering dikombinasikan dengan ACE-I, β -blocker, dan α-blocker (Fauci, et al., 2008).

Pada otot jantung dan otot polos vaskular, kalsium berperan dalam peristiwa kontraksi. Pada otot jantung mamalia, masuknya Ca2+ ke dalam sel akan

meningkatkan kontraktilitas dari otot jantung melalui peristiwa repolarisasi dan depolarisasi sel. Ion Ca2+ masuk ke dalam sel melalui sebuah kanal. Obat golongan penghambat kanal kalsium akan menghambat masuknya ion Ca2+ ke

dalam sel sehingga kontraktilitas tidak terjadi. Selain itu, obat golongan ini juga memiliki efek lainnya seperti meningkatkan sedikit konsumsi oksigen pada jantung sebagai kompensasi akibat penurunan tekanan darah dan denyut jantung. Contoh obat golongan ini adalah nifedipin dan amlodipin (Suyatna, 2007).

(18)

penurunan tekanan darah. CCBs dibagi dalam dua kelompok, yakni: a) derivat dihidropiridin (misalnya nifedipin, amlodipin), b) derivat non dihidropiridin (misalnya verapamil, diltiazem). CCBs biasanya digunakan dalam pengobatan hipertensi yang berhubungan dengan GGK dan dipercaya bisa mempertahankan efekasinya pada keadaan bertambahnya volume. CCBs nondihidropiridin menujukkan efek anti proterinuria selain dapat mengatur tekanan darah sistemis (Tjay dan Raharja, 2007). CCBs hanya sedikit sekali yang diekskresi dalam bentuk utuh lewat ginjal sehingga tidak perlu penyesuaian dosis pada gangguan funsi ginjal (Nafrialdi, 2007).

2.5.4 Vasodilator

Gambar

Gambar 2.1 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi menurut JNC VIII (James, dkk., 2014)
Gambar 2.2 Algoritma terapi hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit (Dipiro, dkk., 2008)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sehubungan Pelelangan Umum dengan pascakualifikasi Pengadaan Plastik Takah Bening dan Sampul Takah Biru pada Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional VIII

Revitalisasi Lampu PJU Lingkungan dan Taman Komplek Kemayoran BLU PPK Kemayoran DIPA Tahun 2012g. No. Gedung Adpel) Kemayoran Jakarta Pusat,

[r]

Jumlah calon penyedia yang meng upload Dokumen Penawaran untuk pekerjaan tersebut melalui website LPSE http://www.lpse.depkeu.go.id sampai dengan batas akhir

[r]

The combined administration of IBMX and eticlopride induced gene expression that was only partially attenuated (c-fos) or unaffected (zif268 ) by NMDA receptor blockade. These

[r]