uli Kongenital (Tuli bawaan lahir) 1 Februari 2011 pukul 11:24
Tuli kongenital merupakan salah satu masalah pada anak yang akan
berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan
akademik. Masalah makin bertambah bila tidak dilakukan deteksi
dan intervensi secara dini.
Di negara maju, angka tuli kongenital berkisar antara 0,1 - 0,3 %
kelahiran hidup, sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Dep. Kes di 7 Provinsi pada tahun 1994 - 1996 yaitu
Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan sebanyak 214.100 orang
bila jumlah penduduk sebesar 214.100.000 juta (Profil Kesehatan
2005). Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan adanya
pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar
0,22%. Hal ini tentu saja berdampak pada penyediaan sarana
pendidikan dan lapangan pekerjaan di masa mendatang.
WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000 anak tuli lahir di
Asia Tenggara. Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000
menetapkan tuli kongenital sebagai salah satu penyebab ketulian
yang harus diturunkan prevalensinya. Ini tentu saja memerlukan
kerjasama dengan disiplin ilmu lain dan masyarakat selain tenaga
Apakah yang dimaksud dengan tuli kongenital? Tuli kongenital
merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan
faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat
lahir.
Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli
total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran
berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi
dengan atau tanpa bantuan alat dengar, sedangkan tuli total adalah
keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya
sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat
Tuli kongenital dibagi menjadi genetik herediter (ada faktor
keturunan) dan non genetik. Untuk mencegah terjadinya tuli
herediter sebaiknya hindarilah perkawinan antar keluarga / sedarah.
Tuli kongenital dapat terjadi pada :
Masa kehamilan (PRENATAL)
Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena infeksi
bakteri maupun virus akan mempunyai akibat terjadinya ketulian.
Infeksi yang sering mempengaruhi pendengaran antara lain adalah
infeksi TORCHS (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes
dan Sifilis), selain campak dan parotitis (gondong).
Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina,
terjadinya gangguan proses pembentukan organ dan sel rambut
pada rumah siput (koklea). Gangguan struktur anatomi telinga juga
dapat menyebabkan terjadinya ketulian antara lain aplasia koklea
(rumah siput tidak terbentuk) dan atresia liang telinga.
Saat lahir ( PERINATAL )
Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain : lahir prematur, berat
badan lahir rendah (< 1500 gram), tindakan dengan alat pada
proses kelahiran (ekstraksi vakum, forcep), hiperbilirubinemia (bayi
kuning), asfiksia (lahir tidak langsung menangis), dan hipoksia otak
(nilai Apgar < 5 pada 5 menit pertama.)
Menurut American Academy Joint Committee on Infant Hearing
faktor berikut ini harus dicurigai, karena merupakan kemungkinan
penyebab gangguan pendengaran:
Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir
Infeksi prenatal; TORSCH
Kelainan anatomi pada kepala dan leher
Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital
Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram )
Meningitis bakterialis
Hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi
tukar
Pemberian obat ototoksik
Menggunakan alat bantu pernapasan/ ventilasi mekanik lebih
dari 5 hari (ICU)
Ketulian yang terjadi biasanya merupakan tuli saraf ( sensorineural)
derajat berat sampai sangat berat pada kedua telinga (bilateral).
Gejala awal sulit diketahui karena ketulian tidak terlihat. Biasanya
orang tua baru menyadari adanya gangguan pendengaran pada
anak bila tidak ada respons terhadap suara keras atau belum /
terlambat berbicara. Oleh karena itu informasi dari orang tua
sangat bermanfaat untuk mengetahui respons anak terhadap suara
dl lingkungan rumah, kemampuan vokalisasi dan cara pengucapan
Perkembangan auditorik sesuai dengan usia anak, antara lain :
Usia 0-4 bulan : kemampuan respons auditorik masih terbatas
dan bersifat refleks
Dapat ditanya apakah bayi kaget mendengar suara keras atau
terbangun ketika sedang tidur. Respons berupa refleks
auropalpebral maupun refleks Moro.
Usia 4-7 bulan respons memutar kepala ke arah bunyi yang
terletak di bidang horizontal, walaupun belum konsisten. Pada usia
7 bulan otot leher cukup kuat sehingga kepala dapat diputar dengan
Usia 7-9 bulan dapat mengidentifikasi dengan tepat asal
sumber bunyi dan bayi dapat memutar kepala dengan tegas dan
cepat.
Usia 9-13 bulan bayi sudah mempunyai keinginan yang besar
untuk mencari sumber bunyi dari sebelah atas, dan pada usia 13
bulan mampu melokalisir bunyi dari segala arah dengan cepat.
Pada usia 2 tahun pemeriksa harus lebih teliti karena anak
tidak akan memberi reaksi setelah beberapa kali mendapat stimulus
yang sama. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan
mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran
perlu dicurigai apabila :
Usia 12 bulan : belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru
bunyi
Usia 18 bulan : tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai
arti
Usia 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
Usia 30 bulan : belum dapat merangkai 2 kata
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran maka diagnosis
pendengaran apabila tidak ada sarana yaitu dengan memberikan
bunyi-bunyian pada jarak 1 m di belakang anak :
Bunyi pss – pss untuk menggambarkan suara frekwensi tinggi
Bunyi uh – uh untuk menggambarkan frekwensi rendah
Suara menggesek dengan sendok pada tepi cangkir (frekwensi
4000 Hz)
Suara mengetuk dasar cangkir dengan sendok (frekwensi 900
Hz )
Suara remasan kertas (frekwensi 6000 Hz)
Saat ini OAE (Otoacoustic emission) dan AABR (Automated
Audiometry Brainstem Response) merupakan tehnik pemeriksaan
baku emas (gold standard) dengan prinsip pemeriksaan cepat,
mudah, tidak invasif dan sensitifitas mendekati 100%.
Hal yang penting untuk diperhatikan sebelum melakukan
pemeriksaan ini adalah liang telinga harus bersih dan tidak ada
kelainan pada telinga tengah. Yang menjadi kendala adalah bahwa
sarana ini tidak dimiliki oleh semua Rumah Sakit Provinsi.
Pemeriksaan lain yang tak kalah penting adalah BOA (Behavioral
observation audiometry), yaitu dengan melihat perilaku anak
pemeriksaan ini antara lain usia, kondisi mental, kemauan
melakukan tes, rasa takut, kondisi neurologik yang berhubungan
dengan perkembangan motorik dan persepsi.
Diharapkan pada usia 3 bulan pemeriksaaan sudah selesai
dilakukan dan intervensi dapat dimulai pada usia 6 bulan.
Pemberian Alat Bantu Dengar membantu anak dalam proses
habilitasi suara dan belajar berbicara. Selanjutnya pada usia 1,5-2
tahun mulai dilatih di sarana pendidikan (Taman Latihan Khusus).
Sebagai pilihan lain di Jakarta sejak tahun 2002 sudah ada program
implantasi koklea dengan persyaratan tertentu.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi tuli kongenital di Indonesia diperkirakan 0,1 % dan akan
bertambah setiap tahunnya dengan 4710 orang, jika melihat angka
kelahiran sebesar 2,2 % pada penduduk yang berjumlah
214.100.000 orang. Angka ini akan terus bertambah mengingat
faktor risiko yang mengakibatkan tuli kongenital pada masa
kehamilan dan kelahiran masih tinggi.
Mengingat tuli kongenital mempunyai dampak yang cukup luas
maka sejak awal sebaiknya sudah ada sosialisasi/ penyuluhan
kepada masyarakat dan petugas kesehatan yang bekerja di
Untuk melakukan diagnosis dini maupun habilitasi diperlukan
sarana pemeriksaan, SDM yang melakukan pemeriksaan dan sarana
habilitasi.
DEMOGRAFI
Gambaran populasi berdasarkan kelompok umur penderita, status
sosial dan pendidikan orang tua. Agar dapat secara efektif
mengatasi tuli kongenital, ada beberapa pertanyaan yang harus
terlebih dahulu dicari jawabannya, antara lain :
Seberapa besar jumlah penderita tuli kongenital di suatu
daerah ?
Bagaimana dengan tingkat pengetahuan penduduk didaerah
tersebut ?
Untuk menurunkan prevalensi tuli kongenital, perlu diketahui
sarana dan SDM yang tersedia.
INFRASTRUKTUR
Perlu diketahui kondisi infrastuktur yang tersedia :
1. Sumber Daya :
Jumlah dokter spesialis THT
Jumlah dokter umum, ahli madya audiologi yang membantu
Jumlah ahli madya terapi wicara
Jumlah bidan, kader, dukun di wilayah tersebut
2. Sarana dan Fasilitas
Jumlah Rumah Sakit yang mempunyai sarana diagnostik
Jumlah Puskesmas yang ada di wilayah tersebut
Jumlah sarana penyediaan alat bantu dengar
Jumlah sekolah SLB-B serta jumlah guru yang tersedia
TARGET
Menurunkan 50% angka kejadian tuli kongenital pada tahun 2010
Frekuensi kegiatan promosi yang dilakukan dalam periode
tertentu
Jumlah penemuan kasus dini tuli kongenital
Jumlah penderita yang mendapat habilitasi
ALTERNATIF PENANGGULANGAN
Program akan berhasil apabila tersosialisasi dengan baik, sehingga
setiap orang yang terkait dengan upaya penanggulangan tuli
kongenital (masyarakat, pemerintah setempat, tenaga medis) dapat
menjalankan perannya masing-masing setelah mengetahui masalah
Melakukan penyuluhan kepada kader, tokoh masyarakat serta
masyarakat itu sendiri tentang tuli kongenital mengenai pengertian,
gejala, penyebab, dampak dan penatalaksanaan.
Advokasi pada pemerintah setempat (PEMDA) untuk
memfasilitasi serta menyediakan anggaran untuk memperbaiki
maupun melengkapi infrastruktur.
Melakukan pendekatan kepada pengusaha serta organisasi
swadaya masyarakat untuk saling bekerja sama dalam
menanggulangi masalah yang dihadapi penderita kurang mampu.
Melakukan analisis situasi, menetapkan tujuan serta evaluasi
Menyelenggarakan pelatihan bagi petugas kesehatan dan
kader untuk deteksi dini dan rujukan
Meningkatkan upaya deteksi dan intervensi dini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hodgson WR. Testing infants and young children. In :
Handbook of clinical audiology. Katz JK. Ed 3 rd edition. William
and Wilkins, Baltimore, 1985
2. Notrhern JL, Downs MP. In : Hearing in children.5 th
edition.Lippincott Williams and Wilkins
3. Berg FS,Fletchcher SG. In : The Hard of hearing Child.Clinical
4. Tomaski SM,Grunfast KM.hearing loss in children. A stepwise
approach to the diagnosis and treatment of hereditary hearing
loss. Pediatric Clinics of North America,1999 ; vol.1 (1)
5. Expert panel. Genetics Evaluation Guidelines for Etiologic
Diagnosis of Congenital Hearing Loss.Genetics in
Medicine,2002: May/June vol 4 (3 ).
6. Sirlan F,Suwento R (eds). Hasil survei kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran 1993- 1996.Depkes RI,1997.
7. Hodgson WR. Testing infants and young children. In :
Handbook of clinical audiology. Katz JK. Ed 3 rd edition. William
8. Notrhern JL, Downs MP. In : Hearing in children.5 th
edition.Lippincott Williams and Wilkins
9. Berg FS,Fletchcher SG. In : The Hard of hearing Child.Clinical
and Educational management. Grune and Stratton,
10. Tomaski SM,Grunfast KM.hearing loss in children. A
stepwise approach to the diagnosis and treatment of
hereditary hearing loss. Pediatric Clinics of North
America,1999 ; vol.1 (1)
11. Expert panel. Genetics Evaluation Guidelines for Etiologic
Diagnosis of Congenital Hearing Loss.Genetics in
12. Sirlan F,Suwento R (eds). Hasil survei kesehatan Indera