PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA
DALAM PENDIDIKAN JASMANI
Risma *, Prof. Dr. Adang Suherman, M.A.**, Dr. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd ***
Program Studi Pendidikan Olahraga Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
Email : [email protected]
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah model pembelajaran dan jenis kelamin (gender) berpengaruh terhadap keterampilan sosial siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan desain faktorial 2x2. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Labschool UPI Tahun Ajaran 2013/2014 yang berjumlah 56 orang terbagi menjadi dua kelompok yakni N=28 sebagai kelas kooperatif (eksperimen) dan N=28 sebagai kelas konvensional sebagai kelompok kontrol. Jumlah pertemuan adalah 8 kali pertemuan dimana satu kali pertemuan adalah 2 x 40 menit. Keterampilan siswa diukur dengan menggunakan instrumen keterampilan sosial yang diadaptasi dari Social Skill Rating Scale yang dikembangkan oleh Gresham, F.M., & Elliott, S.N. (1990). Data yang dikumpulkan ketika pretest dan posttest diolah dengan SPSS 18 menggunakan analisis uji ANCOVA Faktorial. Dari hasil penelitian, didapatkan hasil yakni nilai rata-rata kelompok laki-laki kelas kooperatif (41,90) sedangkan rata-rata kelompok perempuan adalah (42,29). Untuk kelas konvensional (kontrol), nilai rata-rata kelompok laki-laki (37,26) dan untuk kelompok perempuan (35,38). Dari hasil uji ANCOVA Faktorial didapat kesimpulan yakni terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap keterampilan sosial siswa dalam pembelajaran pendidikan jasmani, tidak terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa dalam pembelajaran pendidikan jasmani dan tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan jenis kelamin pada keterampilan sosial siswa.
Pendidikan formal membentuk siswa tidak hanya cerdas secara akal tetapi
cerdas secara emosi dan hati dan berkembang secara holistik, karena siswa
merupakan kesatuan dari beberapa komponen yakni jasmani dan rohani
(Suherman, 2009:3). Dalam upaya membentuk pribadi berkarakter tersebut,
lingkungan pendidikan formal atau sekolah dikondisikan seperti tatanan
kehidupan dalam masyarakat dimana saling menghormati dan saling menghargai
menjadi nilai yang harus terus tercermin dan dikembangkan sehingga siswa akan
bisa berkembang tidak hanya menjadi individu yang berkarakter akan tetapi
menjadi anggota dari masyarakat yang mampu memberikan peranan dan
sumbangsih terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya. Berdasarkan tujuan
dan fungsi sekolah sebagai pendidikan formal sudah seyogyanya pendidikan
menjadi sebuah fase penting dalam perkembangan anak karena merupakan proses
pembentukan individu secara holistik dan dari proses tersebut diharapkan akan
menghasilkan individu-individu yang berkualitas, yang bertanggung jawab,
menghormati, menghargai dirinya sendiri dan menyadari bahwa dirinya
merupakan bagian dari masyarakat sehingga nilai-nilai sosial masyarakat bisa
terjaga dengan sikap saling menghargai dan menghormati sesama.
Namun seiring dengan munculnya berbagai masalah yang timbul di kalangan
pelajar, fungsi dan peranan sekolah sebagai media untuk membentuk individu
yang berkarakter menjadi pertanyaan. Berdasarkan pada berbagai sumber
diketahui bahwa masalah di kalangan pelajar seperti tawuran, seks bebas, narkoba
mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Komisi Nasional Perlindungan
Anak mencatat bahwa ditemukan 339 kasus tawuran pada tahun 2011. Dari 339
kasus kekerasan antar sesama pelajar SMP dan SMA ditemukan 82 diantaranya
meninggal dunia, selebihnya luka berat dan ringan (Komnas Anak, 2011). Jumlah
kasus tawuran pada semester pertama tahun 2012 meningkat. Direktorat Reserse
Narkoba (Ditresnarkoba) Polda Metro Jaya menginformasikan bahwa selama
tahun 2012 kasus narkoba yang menimpa kalangan pelajar meningkat
di tingkat SMA dengan jumlah 3.327 kasus pada 2012. Angka tersebut meningkat
dari tahun 2011 yang berjumlah 3.187 kasus (Andry, 2012).
Pergaulan bebas di kalangan remaja kerap kali menimbulkan berbagai masalah
lainnya seperti seks bebas, aborsi dan HIV AIDS. Dari penelitian yang dilakukan
oleh BKKBN diketahui bahwa separuh aborsi yang terjadi dilakukan oleh remaja
berusia 15-25 tahun. Mengutip hasil penelitian Komnas Anak tahun 2011
diketahui bahwa terdapat 2 juta tindakan aborsi yang dilakukan pada tahun 2008.
Sebanyak 62 % dari jumlah tersebut dilakukan oleh remaja (Maulana, 2012). Pada
penelitian bersama antara Australian National University dan Universitas
Indonesia diketahui bahwa dari 3600 responden penelitian sebanyak 20,9%
remaja telah hamil di luar nikah. Angka tersebut menggambarkan banyaknya
remaja yang melakukan pernikahan dini disebabkan kehamilan yang tidak
diinginkan yang sebagian besar dikarenakan kegiatan seks bebas di kalangan
remaja dan mahasiswa. Begitu pun kasus AIDS yang periode Januari hingga
September 2011 sebanyak 1805 kasus (Alimoeso, 2012).
Berbagai macam masalah di kalangan pelajar memberikan indikasi adanya
degradasi moral yang mengarah pada berbagai perilaku yang bertentangan dengan
tatanan hukum, agama dan sosial masyarakat. Banyak pelajar yang mengabaikan
rasa hormat terhadap orang yang lebih tua serta melakukan aktivitas tidak
produktif dan cenderung merugikan masyarakat. Kondisi seperti ini tentunya
bukan kondisi yang diinginkan siapapun, oleh karena itu dibutuhkan segera solusi
untuk mengatasi permasalahan ini. Jika kita ingin membuat Indonesia menjadi
negara yang lebih baik, maka bukanlah hari ini saja yang harus kita persiapkan
akan tetapi kita harus menyiapkan generasi muda yang tahun ini berjumlah
sebanyak 74 juta menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas.
Pendidikan jasmani sebagai bagian dari program pendidikan secara utuh yang
memberikan kontribusi melalui pengalaman gerak terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak (Pangrazi, 2007:5) memiliki potensi untuk bisa mengatasi
masalah sosial yang sekarang semakin tumbuh dan berkembang. Pendidikan
perkembangan dan kesejahteraan individu secara optimal dengan meningkatkan
keterampilan, kebugaran, pengetahuan dan sikap (Bucher & Wuest, 1999).
Pendidikan jasmani dapat membantu anak untuk memahami dirinya sebagai
sebuah kesatuan antara pikiran dan tubuh, mengembangkan rasa hormat terhadap
tubuh mereka dan orang lain, memberikan pemahaman terhadap peranan aktivitas
fisik terhadap perkembangan kognitif dan pencapaian mereka dalam bidang
akademik (Talbot, 2001:39-50). Kekhasan pendidikan jasmani yang bisa
mencakup semua aspek perkembangan anak yakni dalam domain kognitif,
psikomotor dan afektif, menjadi keunggulan yang tidak dimiliki oleh mata
pelajaran lainnya. Lebih luasnya, pendidikan jasmani memberikan keuntungan
dalam lima domain perkembangan anak yakni perkembangan fisik, perkembangan
gaya hidup, perkembangan afektif, perkembangan sosial dan perkembangan
kognitif (Bailey, 2006:397).
Dampak pendidikan jasmani terhadap fisik merupakan dampak yang paling
populer dan diposisikan sebagai kontribusi unik dari pendidikan jasmani yang
meliputi kebugaran jasmani, keterampilan gerak, dan pengetahuan tentang
kebugaran jasmani dan keterampilan gerak yang berujung pada pemahaman gaya
hidup aktif dan sehat sepanjang hayat (Suherman, 2013:4). Pendidikan jasmani
yang berisikan berbagai macam aktivitas fisik bisa meningkatkan pencapaian prestasi akademik anak. “Learning, memory, concentration, and mood all have a significant bearing on a student’s academic performance, and there is increasing evidence that physical activity enhances each” (Sattelmair & Ratey, 2009: 365).
Senada dengan pernyataan dari Hollingsworth (2009) yang menemukan hubungan
antara tingkat partisipasi anak dalam aktivitas fisik dengan gabungan kebugaran,
sosial, fisik, dan kebugaran keseluruhan dengan prestasi akademik.
Pendidikan jasmani memberikan anak kesempatan untuk berkembang dengan
seimbang dan memberi keuntungan tidak hanya aspek fisik tetapi juga pada aspek
sosial (Suherman, 2013:12) dan membekali anak dengan berbagai keterampilan
yang dibutuhkan dalam mempersiapkan dan menjalani kehidupannya sebagai
Banyak penelitian telah membahas mengenai peranan pendidikan jasmani
terhadap keterampilan sosial. Karakter pendidikan jasmani yang menimbulkan
rasa dan kesadaran untuk menguasai emosi pribadi, mandiri, penyesuaian diri
sebagai dasar bagi terbentuknya mental sehat dan kebiasaan hidup sehat di
lingkungan masyarakat di mana pun siswa berada, termasuk mendapatkan
pengakuan diri sebagai anggota masyarakat yang baik karena kemampuan
bersosialisasinya atau keterampilan sosialnya berfungsi secara efektif dalam
hubungan antar orang (Budiman, 2009:11). Keterampilan sosial merupakan esensi
dari penampilan sukses di bidang akademik dan dalam kehidupan (Eldar &
Ayvazo, 2009: 1) dan anak dengan keterampilan sosial yang baik akan bisa
menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya dan mampu cepat beradaptasi
dengan keadaan serta tidak tergantung pada orang-orang sekitarnya (Jurevicience
dkk, 2012:42-52). Oleh karena itu keterampilan sosial merupakan salah satu aspek
perkembangan yang penting dan tidak bisa dipisahkan dari perkembangan seorang
anak.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Gulay dkk (2004:664-678) diketahui
bahwa anak yang mendapatkan pendidikan prasekolah lebih sering menggunakan
keterampilan sosial daripada anak yang tidak mendapatkan pendidikan
prasekolah.
Anak dengan keterampilan sosial yang baik mengalami depresi yang lebih
rendah dibandingkan dengan anak berketerampilan sosial rendah (Deniz dkk,
2009:881-888). Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan didapat hasil
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keterampilan sosial anak dengan
kemampuan mengatasi masalah, mengatasi stress, kemampuan regulasi emosi,
kontrol diri, kepercayaan sosial, mengatasi kecemasan dan kemampuan
berkomunikasi dengan lingkungan (Arslan dkk, 2011; Al-Ali dkk, 2010).
Keterampilan sosial yang tinggi akan menjauhkan anak dari berbagai macam
masalah sosial yang terjadi belakangan ini. Durmusoglu-Satali dalam
penelitiannya menemukan bahwa kekerasan fisik, pelanggaran kriminal,
aturan dan kurangnya dukungan keluarga memiliki hubungan positif dengan
keterampilan sosial yang rendah. Artinya, keterampilan sosial yang rendah
berpotensi menimbulkan berbagai macam masalah sosial yang bisa mengganggu
perkembangan anak (Durmusoglu-Satali, 2012:585-590).
Avsar & Kuter (2007:197-206) dalam penelitiannya menemukan bahwa anak
perempuan cenderung memiliki nilai keterampilan sosial yang lebih baik
dibandingkan dengan anak laki-laki. Dalam penelitian ini digunakan Social Skills Inventory (SSI) sebagai instrumen untuk mengukur keterampilan sosial anak didapat hasil bahwa anak perempuan mendapatkan skor yang lebih tinggi daripada
anak laki-laki. Anak perempuan mendapatkan skor yang lebih tinggi dalam semua
aspek penilaian (Emotional Expressivity (EE), Emotional Sensitivity (ES),
Emotional Control (EC), Social Expressivity (SE), Social Sensitivity (SS)) kecuali dalam aspek emotional control (EC)).
Namun penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh
DR. Majed M. Al-Ali yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara kecemasan sosial dengan keterampilan sosial pada anak
perempuan.
Secara logika peranan pendidikan jasmani bisa membentuk atau meningkatkan
keterampilan sosial anak hanya bisa terwujud ketika anak berpartisipasi aktif
dalam pendidikan jasmani karena proses pembentukan keterampilan sosial anak
terbentuk selama proses pembelajaran pendidikan jasmani. Sederhananya, anak
dengan tingkat keterlibatan aktif yang tinggi dalam pembelajaran pendidikan
jasmani akan memiliki keterampilan sosial yang lebih baik daripada anak dengan
tingkat partipasi yang rendah.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan inkonsistensi hasil. Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Avsar & Kuter (2007:197-206) didapatkan
hasil bahwa anak perempuan mendapatkan skor yag lebih tinggi dibandingkan
dengan anak laki-laki. Namun Bailey (2006:398) menyatakan bahwa tingkat
partisipasi anak perempuan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan
hasil bahwa rata-rata perempuan 10% lebih sedikit pada setiap kelas pendidikan
jasmani di Ontario dan hanya rata- rata 12% yang terdaftar dalam pendidikan
jasmani setiap tahunnya. Hal ini diindikasikan karena beberapa hal diantaranya
adalah kepercayaan diri, motivasi, pemahaman tentang manfaat dari aktivitas
fisik, kesempatan untuk melakukan aktivitas fisik, skema penilaian, kompetisi,
pembagian kelas, pendekatan pengajaran, dan teman sekelas.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Martinovic dkk (2011:96)
mendapatkan hasil yakni anak laki-laki lebih aktif dibandingkan dengan anak
perempuan. Anak laki-laki mendapatkan skor lebih tinggi dalam skala penilaian
motivasi dan tingkat partisipasi dalam pendidikan jasmani. Inkonsistensi hasil
penelitian-penelitian tersebut menjadi satu hal yang menarik perhatian. Salah satu
yang menarik perhatian adalah bagaimana keterampilan anak perempuan bisa
lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki jika tingkat partisipasi dan
motivasi mereka dalam pendidikan jasmani lebih rendah dibandingkan dengan
anak laki-laki? Pendidikan jasmani yang bagaimana dan yang seperti apa yang
bisa membentuk atau meningkatkan keterampilan sosial?
Peranan pendidikan jasmani dalam membentuk atau meningkatkan
keterampilan sosial anak hanya bisa terwujud ketika anak berpartisipasi aktif
dalam pendidikan jasmani karena proses pembentukan keterampilan sosial anak
terbentuk selama proses pembelajaran pendidikan jasmani. Sudrajat (2010:163)
menyatakan bahwa dalam upaya peningkatan keterampilan sosial pada siswa bisa
dilakukan melalui pendekatan terhadap konten pembelajaran dan proses
pembelajaran. Hal ini diperkuat oleh Rohmah (2010:120) yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara proses pembelajaran pendidikan
jasmani dengan perilaku sosial siswa. Model pembelajaran cooperative learning
merupakan salah satu model pembelajaran yang ada dalam pendidikan jasmani.
Cooperative learning dikembangkan oleh Robert Slavin pada tahun 1970 merupakan seperangkat pengajaran dimana pengelompokkan siswa, pengaturan
kontribusi pada proses belajar dan memberikan hasil yang terbaik Metzler
(2000:221).
Model pembelajaran kooperatif merupakan alternatif pilihan dalam mengisi
kelemahan kompetisi (Isjoni, 2012: 18). Maksud dari kompetisi dalam hal ini
adalah adanya kecenderungan hanya sebagian siswa saja yang akan bertambah
pintar sementara yang lainnya semakin tenggelam dalam ketidaktahuan. Model
pembelajaran TGT telah banyak digunakan dalam berbagai mata pelajaran yang
ada, mulai dari matematika, seni, sampai dengan ilmu pengetahuan sosial dan
ilmu pengetahuan lainnya. Model TGT sesuai digunakan untuk bidang studi yang
sudah terdefinisikan dengan jelas seperti matematika, berhitung dan studi terapan
(Slavin, 2005:12). Hal ini menjadikan penelitian yang membahas mengenai model
kooperatif TGT dalam pendidikan jasmani jumlahnya lebih sedikit dibandingkan
dengan bidang studi lain.
Pada penelitian-penelitian yang sudah dilakukan terungkap hasil bahwa model
kooperatif tipe TGT berhubungan dengan hasil belajar siswa. (Nugroho, 2013;
Sinaga, 2012). Pada penelitian-penelitian ini, sampel penelitian dibagi menjadi
kelompok sampel dan kelompok eksperimen. Kelompok siswa dengan perlakuan
(eksperimen), pembelajaran pendidikan jasmani dilakukan dengan model
pembelajaran kooperatif.
Dalam penelitian, pengelompokkan anak dilakukan dengan memperhatikan
beberapa hal di antaranya adalah heterogenitas siswa dilihat dari tingkat
keterampilan siswa, ras, sampai dengan sosial ekonomi. Oleh karena populasi
penelitian yang masih terbatas pada beberapa tahapan pendidikan, maka
hasil-hasil penelitian tidak bisa digeneralisasikan, mengingat setiap tahapan pendidikan
memiliki tahapan perkembangan anak tersendiri yang khas dan tidak bisa
disamaratakan. Selain itu, sampel penelitian yang masih cenderung pada anak
perempuan membuat hasil penelitian yang ada tidak bisa digeneralisasikan
terhadap anak laki-laki. Pelaksanaan program pembelajaran penjas yang teratur
akan memberikan pengaruh pada perkembangan hidup siswa yang akan semakin
melainkan juga keadaan emosi, mental, dan hubungan sosialnya menjadi lebih
baik karena mampu berinteraksi melalui sikap dan perilaku yang direstui
masyarakat (Lutan dalam Budiman 2009:12).
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah yakni : 1). Meningkatnya jumlah masalah di kalangan pelajar di
antaranya adalah tawuran, seks bebas, narkoba dan lainnya. 2). Inkonsistensi hasil
penelitian mengenai keterampilan sosial. Hasil penelitian yang menyatakan bahwa
anak perempuan lebih tinggi dibanding dengan anak lali-laki sedangkan penelitian
lainnya menyatakan bahwa tingkat partisipasi anak perempuan lebih rendah
dibandingkan dengan anak laki-laki. 3). Terbatasnya penelitian mengenai
keterampilan sosial dan model pembelajaran cooperative learning dalam pendidikan jasmani. Penelitian dalam keterampilan sosial masih terbatas dalam
hal pemilihan sampel penelitian yang sebagian besar menggunakan anak sekolah
dasar.
Cooperative Learning adalah rencana atau susunan pembelajaran yang mengarah pada pembagian siswa ke dalam kelompok kecil dan heterogen agar
bisa bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran dan menjalin hubungan
kolaboratif di antara anggota kelompok tersebut (Goodwin, 1999:29). Juliantine
dkk (2013:63) menyatakan bahwa
“Pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama, siswa yang berbeda latar belakangnya.”
Metzler (2000: 221) menyatakan tiga konsep dasar dari Cooperative Learning
yakni : 1) Team reward, 2). Individual accountability, 3). Equal opportunities. Selanjutnya Metzler (2000:223) mengungkapkan bahwa dalam proses
Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu model pembelajaran
kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktifitas seluruh siswa tanpa harus
ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan
mengandung unsur permainan dan reinforcement (Sinaga, 2012). Pada TGT kompetisi terjadi tidak hanya anggota dalam satu kelompok akan tetapi terjadi
secara eksternal antar tim. (Slavin, 2005:166; Suherman, 2009:29). Dalam TGT,
setiap anggota kelompok memiliki kesempatan untuk bisa sukses. Keberhasilan
penerapan model TGT dipengaruhi oleh heterogenitasnya anggota dalam suatu
kelompok baik dilihat dari level keterampilan, pengalaman, etnik, jenis kelamin,
keterampilan berkomunikasi, kepemimpinan, dan keinginan untuk berjuang bagi
timnya. Makin heterogen anggota tim makin cenderung mudah melaksanakan
penilaian keberhasilan pembelajaran ini (Suherman, 2009:30).
Keterampilan sosial merupakan kemampuan atau perilaku individu untuk
berinteraksi dengan orang lain, keterampilan sosial merupakan keterampilan yang
dipengaruhi oleh keadaan individu itu sendiri dan faktor lingkungan, keterampilan
sosial berperan dalam terciptanya kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Oleh
karena itu, keterampilan sosial bisa kita definisikan sebagai kemampuan atau
perilaku seseorang atau individu dalam proses interaksi dengan orang lain yang
dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern (keadaan individu tersebut dan
lingkungan) dalam upaya menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis.
Muzaiyin (2013) menyatakan bahwa keterampilan sosial anak dipengaruhi oleh
beberapa faktor yakni : kondisi anak, usia, interaksi anak dengan lingkungan, jenis
kelamin, keadaan sosial ekonomi, pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua.
Pengembangan keterampilan sosial dapat dilihat dari seberapa besar peran
seseorang dalam interaksi sosial. Pengembangan keterampilan sosial yang utama
adalah melalui belajar, baik secara formal maupun nonformal. Berbagai
pembelajaran yang dilakukan di sekolah harus memberikan kesempatan
berkembangnya keterampilan sosial para siswa berdasarkan urutan dan tingkatan
menyediakan berbagai kesempatan pada seseorang untuk berinteraksi dan
memperlihatkan keterampilan sosialnya.
Banyak penelitian yang membahas mengenai keterampilan sosial. Hal ini
dilandasi dengan pemahaman bahwa keterampilan sosial adalah keterampilan
hidup (life skill) dan merupakan esensi dari penampilan sukses baik dalam bidang akdemik maupun dalam kehidupan (Eldar dkk, 2009:1). Anak dengan
keterampilan sosial yang baik akan bisa menghadapi berbagai tantangan dalam
hidupnya dan mampu cepat beradaptasi dengan keadaan serta tidak tergantung
pada orang-orang sekitarnya (Jurevicience dkk, 2012:42-52). Oleh karena itu
keterampilan sosial merupakan salah satu aspek perkembangan yang penting dan
tidak bisa dipisahkan dari perkembangan seorang anak.
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat
pengaruh cooperative learning dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial
siswa. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah
penelitian yakni :1). Untuk menguji dan mengetahui apakah terdapat pengaruh
model pembelajaran terhadap keterampilan sosial siswa. 2). Untuk menguji dan
mengetahui apakah terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial
siswa. 3). Untuk menguji dan mengetahui apakah terdapat interaksi antara model
pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial.
Populasi penelitian adalah siswa kelas VII SMP Labschool UPI yang
berjumlah 138 orang. Setelah diundi, didapatkan hasil yakni untuk kelas koperatif
(eksperimen) adalah kelas VII A dengan N= 28 orang, dan kelas konvensional
(kontrol) adalah kelas VII C dengan N= 28 orang, sehingga jumlah seluruh
sampel adalah 56 orang siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah
eksperimen faktorial 2x2 dengan desain penelitian sebagai berikut :
Tabel 1. Desain penelitian faktorial 2x2
Jenis Kelamin Model Pembelajaran
Koperatif (A1) Konvensional (A2) Laki-laki (B1) A1 B1 A2 B1
Keterangan : A1 = Model Koperatif A2 = Model Konvensional
B1 = Kelompok Laki-laki
B2 = Kelompok Perempuan
A1 B1 = Model Koperatif kelompok Laki-Laki A2 B1 = Model Konvensional kelompok Laki-Laki A1 B2 = Model Koperatif kelompok Perempuan A2 B2 = Model Konvensional kelompok Perempuan
Penelitian dimulai dengan dilakukannya pretest terhadap kedua kelompok kelas. Perlakuan diberikan kepada kedua kelompok kelas yakni materi mata pelajaran penjas dengan kompetensi dasar “Memahami pengetahuan modifikasi teknik dasar permainan bola besar”. Jumlah pertemuan yang digunakan adalah 8 kali pertemuan, disesuaikan dengan silabus sekolah. Setiap pertemuan mata
pelajaran penjas berdurasi 2x 40 menit. Pada kelas koperatif, siswa dibagi ke
dalam kelompok-kelompok beranggotakan 7 orang. Pembagian kelompok siswa
pada kelas koperatif berdasarkan tingkat keterampilan dan jenis kelamin.
Eksperimen penelitian dilakukan setiap hari Kamis pukul 10.20 WIB sampai
dengan 11.40 WIB mulai tanggal 12 Sepetember 2013 sampai dengan 31 Oktober
2013. Sedangkan pada kelompok kontrol pembelajaran pendidikan jasmani
dilakukan pada pukul 13.00 WIB sampai dengan 14.20 WIB.
Dalam setiap pertemuan, RPP tertuang dalam skenario pembelajaran, baik itu
untuk kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Skenario pembelajaran terbagi
menjadi tiga kegiatan yakni, kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan
penutupan. Secara garis besar dalam kegiatan pendahuluan dan penutupan kelas
eksperimen dan kelas kontrol berisi kegiatan yang sama. Perbedaan kelas
eksperimen dan kelas kontrol terletak pada kegiatan inti pembelajaran. Setelah
perlakuan selesai, maka dilaksanakan posttest dengan menggunakan instrumen
keterampilan sosial yang sama ketika pretest.
Instrumen keterampilan sosial yang digunkan dalam penelitian ini diadaptasi
pertanyaan-pertanyaan dengan indikator yakni cooperation/kerjasama, assertion/ sikap tegas, empathy/ empatidan self control/ kontrol diri.
Pengujian hipotesis menggunakan analisis statistik uji ANCOVA Faktorial.
Analisis Kovarians (ANCOVA) merupakan model linier dengan satu variabel
dependen kontinu dan satu atau lebih variabel independen. ANCOVA dilakukan
dengan menambahkan variabel penguat (kovariat) ke dalam model sehingga
memperkuat ketepatan/presisi analisis dan meningkatkan signifikansi secara
statistik. Uji ANCOVA juga mempersyaratkan adanya hubungan linier antara
variabel dependen dan independen. Dalam analisis ANCOVA Faktorial penelitian
ini, pretest dijadikan sebagai covariat dan posttest dijadikan sebagai dependent variabel. Sedangkan model pembelajaran dan gender dijadikan sebagai fixed factors.
Pengolahan data hasil penelitian dimulai dengan uji asumsi statistik terhadap
semua kelompok data penelitian untuk mengetahui normalitas dan
homogenitasnya. Langkah ini digunakan untuk menentukan langkah pengolahan
data selanjutnya. Setelah pengujian dilakukan didapatkan hasil bahwa semua
kelompok data berdistribusi normal dan homogen.
Perolehan rata-rata dan standar deviasi keterampilan sosial siswa pada setiap
kelompok koperatif dan kelompok konvensional disajikan pada tabel berikut :
Tabel 2. Kelompok Data Penelitian Between-Subjects Factors
Value
Label N
gender laki-laki 1 26
perempuan 2 30
model konvensional 2 28
koperatif 1 28
Untuk kelompok laki-laki jumlah N Koperatif = 11 orang dan N Konvensional
= 15 orang, sehingga jumlah untuk siswa laki-laki adalah 26 orang. Untuk
kelompok siswa perempuan, N Koperatif = 17 orang dan N Konvensional = 13
Tabel 3. Nilai Rata-Rata dan Standar Deviasi Kelompok Data
Untuk lebih memudahkan dalam menginterpretasikan data tabel di atas
dapat disederhanakan dengan membaca tabel 4.3. di bawah ini :
Tabel 4. Nilai Rata-Rata Kelompok Data Berdasarkan Pada Desain Faktorial 2x2
eksperimen kelompok laki-laki adalah 41,90, sedangkan untuk kelompok
perempuan adalah 42,29. Untuk kelas konvensional rata-rata kelompok laki-laki
adalah 37,26 sedangkan untuk kelompok perempuan adalah 35,38. Sehingga dapat
kita ambil kesimpulan bahwa rata-rata pada kelas eksperimen lebih besar
rata-rata setiap kelompok, dapat diketahui bahwa model pembelajaran koperatif
berpengaruh secara signifikan terhadap keterampilan sosial siswa, baik untuk
kelompok siswa laki-laki ataupun perempuan. Namun model pembelajaran
koperatif cenderung memberikan hasil yang lebih baik pada kelompok siswa
perempuan. Untuk model pembelajaran konvensional didapatkan hasil bahwa
model pembelajaran konvensional berpengaruh akan tetapi tidak signifikan
terhadap keterampilan sosial siswa. Dan model pembelajaran konvensional
cenderung memberikan hasil yang lebih baik pada kelompok siswa laki-laki.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis ANCOVA
Faktorial. Dalam pengujian dengan ANCOVA Faktorial, skor pretest dijadikan
sebagai covariate karena pretest merupakan variabel berskala kuantitatif, sedangkan skor posttest dijadikan sebagai dependent variabel. Nilai ini menunjukkan berapa besar pengaruh covariate terhadap variabel dependen.
Signifikan < 0,05 berarti pengaruh signifikan. Model pembelajaran dan gender
merupakan variabel berskala kualitatif, maka ia menjadi peubah bebas atau
disebut juga fixed factor. Nilai ini menunjukkan berapa besar pengaruh peubah bebas terhadap variabel dependen. Signifikan < 0,05 berarti pengaruh signifikan.
Berikut adalah hasil uji data penelitian :
Tabel 5. Hasil Uji ANCOVA Faktorial
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:posttest
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 1845,816a 4 461,454 19,084 ,000
Intercept 82,532 1 82,532 3,413 ,070
pretest 1357,283 1 1357,283 56,133 ,000
gender 78,141 1 78,141 3,232 ,078
model 195,428 1 195,428 8,082 ,006
gender * model 35,549 1 35,549 1,470 ,231
Error 1233,166 51 24,180
Total 89429,000 56
Corrected Total 3078,982 55 a. R Squared = ,599 (Adjusted R Squared = ,568)
Tabel 6. Uji Homogenitas
Dari tabel 5. di atas dapat kita ketahui beberapa hasil, antara lain:
Nilai Sig. pretest sebesar 0,000. < 0,05. Artinya, pretest berpengaruh
signifikan terhadap posttest.
Gender : Diketahui bahwa nilai Sig. gender adalah 0,078 > 0,05.
Model : Diketahui nilai Sig. model 0,006 < 0,05.
Gender*model : Diketahui bahwa nilai sig. 0,231 > 0,05.
Dengan demikian sesuai dengan rumusan masalah penelitian, didapatkan hasil
antara lain :
1. Apakah terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap keterampilan sosial siswa?
Hipotesis :
H0 : Tidak terdapat pengaruh signifikan antara model pembelajaran
terhadap keterampilan sosial siswa
H1 : Terdapat pengaruh signifikan antara model pembelajaran terhadap
keterampilan sosial siswa
Dengan kriteria apabila sig. < 0,05, maka H0 ditolak, dan apabila sig. >0,05
maka H0 diterima.
Berdasarkan pada tabel 5, Diketahui nilai Sig. model 0,006 < 0,05. maka H0
ditolak sehingga H1 diterima, artinya model pembelajaran berpengaruh signifikan
terhadap keterampilan sosial siswa.
2. Apakah terdapat pengaruh gender terhadap keterampilan sosial siswa?
Hipotesis :
Dependent Variable:posttest
F df1 df2 Sig.
1,699 3 52 ,179
H0 : Tidak terdapat pengaruh signifikan antara gender terhadap
keterampilan sosial siswa
H1 : Terdapat pengaruh signifikan antara gender terhadap keterampilan
sosial siswa
Dengan kriteria apabila sig. < 0,05, maka H0 ditolak, dan apabila sig. > 0,05
maka H0 diterima.
Dari tabel 5, diketahui bahwa nilai Sig. gender adalah 0,078 > 0,05. maka H0
diterima. Artinya, gender (jenis kelamin) tidak berpengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial siswa.
3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial ?
Hipotesis :
H0 : Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gender
terhadap keterampilan sosial siswa
H1 : Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gender terhadap
keterampilan sosial siswa
Dengan kriteria apabila sig. < 0,05, maka H0 ditolak, dan apabila sig. > 0,05
maka H0 diterima.
Dari tabel 5. diketahui bahwa nilai bahwa nilai sig. 0,231 > 0,05. maka H0
diterima. Artinya, tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gender
(jenis kelamin) terhadap keterampilan sosial. Hal ini berarti peningkatan
keterampilan sosial dalam kelompok eksperimen hanya dipengaruhi oleh model
pembelajaran pada pendidikan jasmani, tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin
Gambar 1. Plot Interaksi Model Pembelajaran dan Jenis Kelamin
Keterangan : Model 1 = Model Koperatif Model 2 = model Konvensional Gender 1 = Laki-Laki
Gender 2 = Perempuan
1. Apakah terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap keterampilan sosial ?
Berdasarkan pada hasil uji analisis yang dilakukan diketahui nilai Sig. model
0,006<0,05., maka H0 ditolak sehingga H1 diterima, artinya model pembelajaran
berpengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial siswa.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan merupakan salah
satu media untuk membentuk siswa menjadi individu yang siap untuk hidup
bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan formal membentuk
siswa tidak hanya cerdas secara akal tetapi cerdas secara emosi dan hati dan
berkembang secara menyeluruh (Suherman, 2009:3). Dalam upaya membentuk
pribadi berkarakter tersebut, lingkungan pendidikan formal atau sekolah
dikondisikan seperti tatanan kehidupan dalam masyarakat dimana saling
menghormati dan saling menghargai menjadi nilai yang harus terus tercermin dan
individu yang berkarakter akan tetapi menjadi anggota dari masyarakat yang
mampu memberikan peranan dan sumbangsih terhadap kehidupan masyarakat
pada umumnya. Pendidikan yang ada di sekolah pada dasarnya berfungsi sebagai
alat tranformasi nilai.
Dengan tujuan dan fungsi sekolah atau pendidikan formal yang telah dijelaskan
tersebut, sudah seyogyanya pendidikan menjadi sebuah fase penting dalam
perkembangan anak karena merupakan proses pembentukan individu secara
holistik dan dari proses tersebut diharapkan akan menghasilkan individu-individu
yang berkualitas, yang bertanggungjawab, menghormati, menghargai dirinya
sendiri dan menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat sehingga
nilai-nilai sosial masyarakat bisa terjaga dengan sikap saling menghargai dan
menghormati sesama.
Pendidikan jasmani sebagai bagian dari pendidikan menyeluruh memiliki
potensi untuk bisa memberikan kontribusi yang maksimal dalam perkembangan
anak. Bailey (2006:397) mengungkapkan bahwa hasil dari pendidikan jasmani
dapat dipahami dalam 5 domain perkembangan anak yakni : (1) fisik, (2) gaya
hidup, (3) afektif, (4) sosial, (5) kognitif. Pendidikan jasmani merupakan waktu
pembelajaran yang menyenangkan setelah para siswa berkutat dengan pelajaran
teori di dalam kelas.
Dalam pembelajaran pendidikan jasmani banyak model pembelajaran yang
biasa digunakan salah satunya adalah model cooperative learning. Cooperative learning merupakan model pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran, yang mendorong siswa untuk tidak hanya fokus terhadap dirinya
sendiri tetapi juga membantu temannya dalam proses pembelajaran (Dyson (2005)
dalam Casey dkk, 2009: 409). Siswa dibagi ke dalam kelompok kecil yang
terstruktur heterogen berdasarkan pada tingkat keterampilan, ras, sosial ekonomi
dan jenis kelamin. Dalam model pembelajaran ini siswa harus bekerja sama dalam
kelompok untuk bisa melaksanakan tugas dan mencapai tujuan bersama (Wang,
2012: 109). Dengan demikian akan terjalin komunikasi interpersonal termasuk ke
terhadap tugas, belajar untuk memberi dan menerima umpan balik, dan
kemampuan untuk saling menolong satu sama lain antara anggota kelompok
(Polvi & Telama, 2000: 106). Siswa diberi kesempatan untuk bisa mengatasi
permasalahan yang dihadapinya dengan cara dialog dan diskusi kelompok.
TGT merupakan salah satu model cooperative learning yang telah dikembangkan oleh Slavin. Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu
model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktifitas
seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai
tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement (Sinaga, 2012).
Aktivitas belajar yang di dalamnya berisikan permainan yang dirancang dalam
pembelajaran kooperatif tipe TGT (memungkinkan siswa dapat belajar lebih
rileks dan menyenangkan. Di samping menyenangkan, hal itu juga menumbuhkan
rasa tanggung jawab, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. TGT
merupakan model cooperative learning yang menekankan pada pembelajaran dalam kelompok-kelompok. Oleh karena dalam TGT menambahkan dimensi
kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan permainan dalam pembelajaran,
sehingga sebagian besar guru lebih memilih TGT karena faktor menyenangkan
dalam pelaksanaan kegiatan pembelajarannya (Slavin, 2005:14).
Tujuan dari pendidikan jasmani bisa tercapai dengan maksimal salah satunya
ketika anak menyadari peranan dan pentingnya pendidikan jasmani dengan cara
partisipasinya secara aktif dalam kelas pendidikan jasmani. Tingkat partisipasi
siswa banyak dipengaruhi oleh banyak hal seperti di antaranya adalah tingkat
motivasi, kepercayaan diri, pemahaman terhadap manfaat dari aktivitas fisik,
kesempatan untuk berpartisipasi, kompetisi, dan teman sekelas (Ryan & Poirie,
2012).
Model cooperative learning memberikan kesempatan yang sama kepada anak untuk bisa berpartisipasi dalam pembelajaran pendidikan jasmani.
Memberikan mereka kesempatan untuk berkomunikasi dengan anggota
kelompoknya agar menjadi kelompok yang menang dalam kompetisi. Dengan
keterampilan sosial siswa meningkat. Berdasarkan pada penjelasan-penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa model cooperative learning tipe TGT memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan
interpesonalnya dengan cara interaksi dengan teman dalam kelompok belajarnya.
Selain itu, model TGT memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari
solusi untuk menghadapi setiap masalah yang dihadapinya. Siswa menyadari akan
peranan dan kontribusinya terhadap kemajuan kelompok sehingga mereka akan
bekerja sama, saling menghormati dan menghargai peranan dan keberadaan orang
lain. Dengan demikian, model TGT memberikan pengaruh terhadap keterampilan
sosial anak.
2. Apakah terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa ?
Dari tabel 5, diketahui bahwa nilai Sig. gender adalah 0,078 > 0,05. maka H0
diterima. Artinya, gender (jenis kelamin) tidak berpengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial siswa.
Keterampilan sosial sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh anak
berkembang secara alami sesuai dengan pertumbuhan mereka. Namun dalam
tahapan perkembangannya, keterampilan sosial dipelajari oleh anak dari interaksi
sehari-hari mereka dengan orang lain. Artinya, perkembangan keterampilan sosial
anak tidak hanya terbentuk di lingkungan sekolah saja, tetapi di semua lingkungan
tempat dia hidup sebagai media dan sarana pembelajaran. Dalam
perkembangannya, keterampilan sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah (Muzaiyin, 2013) :
a. Kondisi anak
Beberapa kondisi anak yang mempengaruhi tingkat keterampilan sosial anak
antara lain adalah temperamen anak, regulasi emosi dan kemampuan sosial
kognitif. Anak-anak yang memiliki temperamen sulit dan cenderung mudah
terluka secara psikis, biasanya akan takut dan malu-malu dalam menghadapi
stimulus sosial yang baru, sedangkan anak-anak yang ramah dan terbuka lebih
cenderung lebih agresif dan impulsif sehingga sering ditolak oleh teman sebaya.
Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan
teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media yang penting dalam
proses belajar keterampilan sosial.
Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki
keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak
yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka
walaupun jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara
konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak anak
yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi cenderung
akan berperilaku agresif dan merusak interaksi anak dengan lingkungan.
Perkembangan keterampilan sosial anak juga dipengaruhi oleh kemampuan
sosial kognitifnya yaitu keterampilan memproses semua informasi yang ada
dalam proses sosial. Kemampuan ini antara lain kemampuan mengenali isyarat
sosial, menginterprestasi isyarat sosial dengan cara yang tepat dan bermakna,
mengevaluasi konsekuensi dari beberapa kemungkinan respon serta memilih
respon yang akan dilakukan.
b. Usia
Anak yang masih usia pra sekolah masih belum memiliki kemampuan untuk
mencerna berbagai macam informasi secara baik dan sulit memahami orang lain.
Namun setelah memasuki usia sekolah, anak akan bertahap mendapatkan
pemahaman akan peranan orang lain dan mulai berinteraksi dengan orang lain.
c. Interaksi anak dengan lingkungan
Lingkungan berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan sosial anak
mulai dari lingkungan terdekat yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Secara
umum, pola interaksi anak dengan orang tua, kualitas hubungan pertemanan dan
penerimaan anak dalam kelompok merupakan dua faktor eksternal atau
lingkungan yang cukup berpengaruh bagi perkembangan sosial anak. Anak
banyak belajar mengembangkan keterampilan sosial baik dengan proses modeling
penerimaan penghargaan saat melakukan sesuatu yang tepat dan penerimaan
hukuman saat melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut orang tua dan teman
sebaya.
d. Jenis kelamin
Anak perempuan dan anak laki-laki memiliki perbedaan pola interaksi, hal ini
mempengaruhi pula pada keterampilan sosial anak. Dua anak yang usianya sama
tetapi berjenis kelamin berbeda, maka keterampilan sosialnya pada aspek aspek
tertentu juga berbeda.
e. Keadaan sosial ekonomi
Kondisi perekonomian keluarga akan berdampak pada sosial anak. Anak-anak
yang memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik akan memiliki kepercayaan yang
baik. Mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosialnya
pada berbagai kesempatan dan kondisi lingkungan yang berbeda.
f. Pendidikan orang tua
Secara garis besar, pendidikan orang tua berpengaruh terhadap peranan dan
pemahaman orang tua terhadap berbagai kondisi tahapan perkembangan anak dan
memposisikan diri dalam berbagai kondisi yang dihadapi oleh anak.
g. Jumlah saudara
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru menilai siswa yang
mempunyai satu saudara kandung mempunyai keterampilan interpersonal lebih
baik dibandingkan yang tidak mempunyai saudara kandung.
h. Pekerjaan orang tua
Hasil penelitian dari Liebling (2004) yang menyatakan bahwa pada kondisi ibu
bekerja di luar rumah mengakibatkan waktu bertemu dengan anak akan menjadi
berkurang, sehingga ibu tidak bisa maksimal dalam mendidik dan membimbing
anak, sehingga akan berpengaruh terhadap keterampilan sosial anak.
Pada penelitian ini diketahui hasil bahwa model pembelajaran memberikan
pengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial sedangkan jenis kelamin tidak
berpengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial siswa. Hal ini terjadi
pendidikan jasmani baik itu untuk anak laki-laki ataupun anak perempuan. Hal
ini terjadi karena model pembelajaran yang diberikan pada kelas eksperimen
yakni model TGT merupakan model pembelajaran yang jarang mereka dapatkan
dalam pembelajaran penjas sebelumnya. Sehingga, baik siswa laki-laki dan
perempuan menunjukkan ketertarikannya dalam pembelajaran penjas dengan
partisipasi aktif mereka.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa keterampilan sosial dalam
perkembangan anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Siswa di SMP Percontohan
Labschool UPI berasal dari latar belakang yang berbeda, seperti tingkat
pendidikan dan pekerjaan orang tuanya serta keadaan sosial ekonomi keluarga.
Frekuensi mata pelajaran penjas yang hanya diberikan selama satu kali dalam
satu minggu memberikan indikasi bahwa anak lebih banyak berinteraksi di luar
dari pelajaran penjas bahkan di luar lingkungan sekolah. Interaksi anak di luar
lingkungan sekolah tidak bisa terkontrol. Dalam penelitian ini, hanya faktor jenis
kelamin yang dijadikan variabel penelitian sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi keterampilan sosial lainnya tidak menjadi variabel dalam
penelitian ini. Oleh karena itu, untuk penelitian lebih lanjut perlu menjadikan
faktor lainnya seperti faktor status ekonomi keluarga, pendidikan dan pekerjaan
orang tua dan jumlah saudara menjadi variabel penelitian sehingga faktor-faktor
tersebut bisa lebih terkontrol.
3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin
terhadap keterampilan sosial ?
Dari tabel 5. diketahui bahwa nilai bahwa nilai sig. 0,231 > 0,05. maka H0
diterima. Artinya, tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gender
(jenis kelamin) terhadap keterampilan sosial. Hal ini berarti peningkatan
keterampilan sosial dalam kelompok eksperimen hanya dipengaruhi oleh model
pembelajaran pada pendidikan jasmani, tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin
siswa.
Dari hasil analisis yang telah dilakukan dan dari pembahasan sebelumnya
keterampilan sosial sedangkan gender tidak berpengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial. Hal ini terjadi mungkin karena siswa memang lebih tertarik
pada model pembelajaran dalam pendidikan jasmani baik itu untuk anak laki-laki
ataupun anak perempuan. Hal ini terjadi karena model pembelajaran yang
diberikan pada kelas eksperimen yakni model TGT merupakan model
pembelajaran yang jarang mereka dapatkan dalam pembelajaran penjas
sebelumnya. Sehingga, baik siswa laki-laki dan perempuan menunjukkan
ketertarikannya dalam pembelajaran penjas dengan partisipasi aktif mereka.
Dari gambar 1. Plot Interaksi Model Pembelajaran dan Jenis Kelamin,
diketahui bahwa tidak terdapat pertemuan garis antara model pembelajaran dan
jenis kelamin, sehingga diketahui bahwa tidak terdapat interaksi antara model
pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa. Namun jika
kita tarik garis putus-putus dari kedua garis, baik untuk garis model pembelajaran
dan garis jenis kelamin maka terdapat pertemuan antara kedua garis tersebut. Hal
ini berarti, jika penelitian dilakukan lebih lama atau jumlah sampel penelitian
yang digunakan ditambah, maka akan memberikan indikasi adanya interaksi
antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa.
Berdasarkan pada pengujian hasil penelitian dan pembahasan maka dapat
disimpulkan bahwa : 1). Terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap
keterampilan sosial siswa dalam pembelajaran pendidikan jasmani. 2) Tidak
terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa dalam
pembelajaran pendidikan jasmani. 3) Tidak terdapat interaksi antara model
pembelajaran dengan jenis kelamin pada keterampilan sosial siswa.
Berdasarkan kesimpulan yang dirumuskan, maka saran atau rekomendasi dari
penelitian antara lain: 1). Mengisi kekosongan tentang keterampilan sosial dan
model pembelajaran terutama model pembalajaran cooperative learning dalam pendidikan jasmani. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi
pengembangan pembelajaran pendidikan jasmani pada anak sesuai dengan
tahapan pendidikan dan perkembangan anak. 2). Hendaknya guru pendidikan
tingkatan paling dasar, sehingga pada tingkatan pembelajaran lanjutan siswa
sudah tidak asing dengan scientific method. 3). Untuk penelitian sejenis selanjutnya untuk menambahkan variabel moderat lainnya seperti keadaan sosial
ekonomi keluarga, jumlah saudara dan tingkat pendidikan serta pekerjaan orang
tua, sehingga faktor-faktor lainnya akan lebih terkontrol dan memberikan hasil
yang lebih akurat.
Daftar Pustaka
Al-Ali M, M. dkk. (t.t.) Social Anxiety In Relation To Social Skills, Aggression, And Stress Among Male And Female Commercial Institute Students
Education Vol. 132 No. 2.
Alimoeso, S. (2012). Remaja Harus Pahami Kesehatan Reproduksi: 20,9% Hamil di Luar Nikah, 21,5% Remaja Gunakan Narkoba. Riau Pos, 5
November. (Online). Tersedia :
http://www.riaupos.co/berita.php?act=full&id=19086&kat=3#.USWq
wvK69d0 Diakses 26 Desember 2012.
Andry. (2012). Angka Peredaran Narkoba Di Kalangan Siswa dan Mahasiswa Meningkat Tahun Ini. Indonesia Raya News, 26 Desember. (Online) Tersedia : http://indonesiarayanews.com/news/hukum-kriminal/12-26-
2012-10-33/angka-peredaran-narkoba-di-kalangan-siswa-dan-mahasiswa-meningkat-tahun-ini Diakses 26 Desember 2012.
ANTARA News. (2012). Praktisi: Degradasi Moral Pelajar Perlu Disikapi Serius. ANTARA News, 5 Mei 2012. (Online). Tersedia :
http://www.antarasumut.com/praktisi-degradasi-moral-pelajar-perlu-disikapi-serius Diakses 26 Desember 2012.
Arslan, E. dkk. (2011). Social Skills And Emotional And Behavioral Traits Of Preschool Children. Social Behavioral And Personality (39) 9.
Bailey, R. (2006). Physical Education And Sport In Schools: A Review Of Benefit And Outcomes. America: Journal of School Health.
Bucher, C.A & Wuest, D.A. (1999). Foundations Of Physical Education and Sport. The McGraw-Hill Companies, New York.
Budiman, D. (2009). Model Pengembangan Proses Sosial Siswa SD Melalui Metode Dan Pendekatan Mengajar Pendidikan Jasmani. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Caput-jogunica, R. (2009). Extracurricular Sports Activities In Presschool Children: Impact On Motor Achievement And Physical Literacy. Hrvat. Sportskomed. Vjesn.2009; 24.
Casey, A., Dyson, B., & Campbell, A. (2009). Action Research in Phyisical Education: Focusing Beyond Myself Through Cooperative Learning. Educational Action Research Vol. 17. No.3. Routledge.
Deniz, M. E. dkk (2009). Evaluation Of Depression With Respect To Different Social Skill: A Turkish Study. Social Behavior And Personality, 2009,
37(7), 881-888 © Society for Personality Research (Inc.)
Durmusoglu-Saltali, N. (2012) The Relationship Between Abuse Within The Family And Social Skills Of Turkish Senior Primary School Children.
Social Behavior And Personality, 2012, 40(4), 585-590 © Society for Personality Research
Dyson, B., Griffin, L L., Hastie, P. (2004). Sport Education, Tactical Games And Cooperative Learning : Theoretical And Pedagogical Considerations.
National Association fo Kinesiology And Physical Education in Higher Education, Quest 56.
Eldar, E & Ayvazo, S. (2009). Educating Through The Physical- Rationale.
Nevada, Las Vegas: Education And Treatment Of Children Journal.
Fraenkel J.R., & Wallen N. E., (1993). How To Design And Evaluate Research In Education. USA: McGraw-Hill.
Fraenkel J.R.,Wallen N. E., Hyun, H. H. (2011). ). How To Design And Evaluate Research In Education. USA: McGraw-Hill.
Goudas, M. & Magotsiou, E. (2009). The Effect of a Cooperative Physical Education Program on Student’s Social Skills. Journal of Applied Sport Phychology, 21. Routledge.
Gulay, H. Akman, K., & Kargi, E. (2004). Social Skills Of First-Grade Primary School Students And Preschool Education.. Educational Vol 131 No.3.
Gulay, O. dkk. (2010). Effect of Cooperative Games on Social Skill Levels and Attitudes Toward Physical Education. Eurasian Journal of Educationan Research, Issue 40, Summer 2010.
Hargie, O,. Dickson, D & Tourish, D. (2004). Communication Skill for Effective Management. Baingstoke: Macmilan.
Hollingsworth, M. A. (2009). Wellness and academic performance of elementary students. Paper presented at the American Counselling Association Annual Conference and Exposition, Charlotte, NC.
Huda, M. S. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Division (Stad) Untuk Meningkatkan Kemampuan Gerak Dasar Guling Depan Dalam Senam Lantai. Skripsi pada Prodi PKR Jurusan Pendidikan Olahraga FIK Universitas Negeri Surabaya. Dipublikasan dalam Jurnal Skripsi Online. Tersedia pada http://www.downloadskripsigratis.com/2009/10/skripsi-universitas-negeri-surabaya.html Diakses tanggal 7 April 2013.
Isjoni. (2012). Cooperative Learning: Efektifitas Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfabeta.
Juliantine, T., Subroto, T., & Yudiana, Y. (2013). Model-Model Pembelajaran Pendidikan Jasmani. Bandung: FPOK UPI.
Jurevičienė, M. dkk. (2012). Concept And Structural Components Of Social Skills. Lithuania: UGDYMAS KŪNO KULTŪRA SPORTAS.
Lavasani, M. G., Afzali, L, & Afzali, F. (2011). Cooperative Learning And Social Skills. Academic World Education & Research Center: CJES.
Maryati. (2012). Tawuran Pelajar Meningkat. ANTARA News, 23 Juli 2012. (Online). Tersedia :
http://www.antaranews.com/berita/322987/tawuran-pelajar-meningkat. Diakses tanggal 26 Desember 2012.
Maulana, S. (2012). Bahaya, Kasus Aborsi Di Kalangan Remaja Kian Meningkat. Islam Pos, 17 September. (Online). Tersedia :
http://islampos.com/bahaya-kasus-aborsi-di-kalangan-remaja-kian-meningkat-16852/ Diakses tanggal 26 Desember 2012.
Muzaiyin, P. (2013). Keterampilan Sosial Anak. (Online). Tersedia :
http://pujianimuzaiyin.blogspot.com/2013/06/ketrampilan-sosial-anak.html. Diakses 10 Maret 2014
Nazir Khan, Gul. & Inamullah, H. M. (2011). Effect of Student’s Team
Achievement Division (STAD) on Academic Achievement of Students. Asian Social Science, vol7, No. 12.
Nisfiannoor, M. (2009). Pendekatan Statistika Modern Untuk Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Noho, M. A. (2013). Validitas Internal dan Eksternal. Politeknik Kesehatan Gorontalo. (Online). Tersedia : http://mohamad-alim-noho-validitas.blogspot.com/2013/12/makalah.html Diakses tanggal 10 Juni 2014.
Nopembri, S. (2008). Model Pengembangan Keterampilan Sosial Melalui Olahraga Futsal (Studi Interaksi Sosial Pada Masyarakat Yang Berpartisipasi Dalam Olahraga Futsal). (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Nugroho, W. (2013). Aplikasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Terhadap Hasil Belajar Bermain Bolavoli Pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 3 Nguter Tahun Ajaran 2012 / 2013.
Martinovic, D. dkk. (2011). Gender Differences in Sports Involvement And Motivation For Engagement In Physical Education In Primary School. Problems Of Eduation in the 21st Century Volume 31.
Metzler, M. W. (2000). Instructional Models For Physical Education. Massachusetts, USA: A Pearson Education Company.
Pangrazi, R.P. (2007). Dynamic Physical Education for Elementary School Children. San Francisco, USA: Champaign.
Polvi, S. & Telama, R. (2000). The Use of Cooperative Learning as A Social Enhancer in Physical Education. Scandinavian Journal of Educational Research, Vol. 44 No. 1.
Rohmah, O. (2010). Hubungan Pembelajaran Penjas Dengan Perilaku Sosial Siswa. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Ryan, T. & Poirier, Y. (2012). Secondary Physical Education Avoidance And Gender: Problem And Antidotes. International Journal of Instruction. July 2012 Vol. 5 No.2.
Sattelmair, J., & Ratey, J. J. (2009). Physically Active Play and Cognition: An Academic Matter? Americal Journal of Play, 365 – 372.
Sinaga, L. H. M. (2012). “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
(Team Games Tournament) Terhadap Hasil Belajar Dribbling Pada Permainan Bola Basket Siswa Kelas IX SMP Negeri 7 Sibolga Tahun Ajaran 2012 / 2013”. A Thesis : Physical Education Department, Faculty Sport Of Sciences, State Universty of Medan 2012. Dipublikasikan pada http://digilib.unimed.ac.id/ Diakses pada tanggal 7 April 2013.
Slavin, R. (2005). Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice London: Allymand Bacon.
Sudrajat, U. (2010). Analisis Model Pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga, Dan Kesehatan Dalam Mendukung Perilaku Sosial Peserta Didik. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Suherman, A. (2009). Model Pembelajaran Pendidikan Jasmani: Alternatif Pengembangan dan Implementasi Model Pembelajaran dalam Pengajaran Pendidikan Jasmani. Bandung: FPOK.
Suherman, A. (2009). Revitalisasi Pengajaran dalam Pendidikan Jasmani. CV Bintang Warli Artika, Bandung.
Suherman, A. (2013). Membangun Kualitas Hidup Bangsa Melalui Pendidikan Jasmani. Pidato Pengukuhan Guru Besar UPI.
Suherman, A. (2014). Analisis Statistik Ancova, Manova Dan Mancova Dengan Menggunakan SPSS. Bandung: SPs UPI.
Talbot, M. (2001). World Summit On Physical Education. Berlin, Germany: ICSSPE. 39-50
Universitas Pendidikan Indonesia. (2013). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI PRESS.
Wang, M. (2012). Effect Of Cooperative Learning on Achievement Motivation of Female University Students. Published by Canadian Center of Science of Science and Education. Asian Social Science Vol 8 No. 15
Wikipedia. (2014). External Validity. (Online). Tersedia :